Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
37
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara
Asal mula lembaga Peradilan Tata Usaha Negara
sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang
menurut fakta sejarahnya merupakan pelopor kelahiran
lembaga sejenis ini untuk pertama kali. Peranan negara ini
terasa sampai sekarang. Antara lain negara ini berperan
sebagai pemuka dalam “Association Internationale des
Houstes Jurisdictions Adminitrstives/International
Assosiation of Supreme Administrative Jurisdictions”.
Sejarah kelahiran Peradilan Administrasi di Perancis dimulai
sekitar tahun 1790, dengan Undang-Undang tanggal 16 dan
24 Agustus 1790, yang memberi fungsi kepada Conseil
d’Etat untuk bertindak sebagai lembaga pengawas (Judiciil
Controle) terhadap administrasi atau pemerintah dan
lembaga peradilan umum dilepaskan wewenangnya untuk
memeriksa dan mengadili sengketa administrasi, dan saat
38
itulah dapat dikatakan sebagai awal mulanya penafsiran dari
prinsip yang mengakibatkan lahirnya sistem Perancis tentang
kontrol administrasi yang dilakukan oleh suatu Peradilan
Administrasi yang bebas dan terpisah.1
Pada mulanya Lembaga Conseil d’Etat merupakan
satu-satunya lembaga Peradilan Administrasi dalam arti
umum untuk seluruh Perancis, yang berarti bahwasannya
semua sengketa administratif diadili oleh Conseil d’Etat
kecuali sengketa-sengketa yang secara tegas diserahkan
penyelesaiannya kepada badan-badan Peradilan Administrasi
khusus lainnya. Akibatnya, beban lembaga Conseil d’Etat
tiap hari kian banyak, sehingga pada tahun 1953 saja jumlah
perkara yang diajukan kepada lembaga ini mencapai 26.000
perkara, yang mengakibatkan hal-hal tersebut justru sangat
merugikan kepada semua pihak, sehingga perlu ditempuh
jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai jalan keluarnya
pada tahun 1953 dibentuklah apa yang kita kenal sekarang
1 Benjamin Mangkoedilaga. “Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu
Prospek di Masa Datang”. Angkasa Bandung. 1988. hal.1
39
sebagai “Tribunal Admnistratif”, yang berkedudukan di
daerah tersebut dan merupakan lembaga Peradilan
Administratif dalam tingkat pertama.2
Selanjutnya mengenai Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia awal mulanya dan merupakan tonggak sejarah
berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara yakni dengan
adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian dilakukan
perubahan dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya dilakukan perubahan lagi dengan adanya
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
2 Benjamin Mangkoedilaga. “Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu
Orientasi Pengenalan” Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. 1988. hal.2
40
Mengenai konsep rancangan Undang-Undang tentang
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya
sudah lama dibicarakan bahkan pada tahun 1948 sudah
dibicarakan tentang konsep rancangan hukum acara ini. Pada
waktu itu, rancangan Undang-Undang ini disusun oleh Prof.
Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH kira-kira pada tahun 1948
atas perintah Menteri Kehakiman Drs. Susanto Tirtoprodjo,
SH di Yokyakarta sebelum ada penyerahan kedaulatan oleh
Belanda pada penghabisan tahun 1949.3
Pernah juga disusun rancangan Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dirumuskan dan
dimatangkan oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional/LPHN pada tanggal 10 Januari 1966, dan
dipublikasi di dalam penerbitan 1 LPHN 1967. Tetapi
rancangan Undang-Undang tersebut belum sempat
dimajukan oleh pemerintah kepada DPR GR, oleh DPR
pernah diusahakan sebagai unsul inisiatif oleh DPR GR
3 Ibid, Hal.81
41
tahun 1967 tetapi rancangan tersebut gagal atau tidak dapat
menyelesaikan.4
Di tempat yang sama pernah juga dilaksanakan
simposium dimana dalam simposium tersebut membahas
konsep naskah rancangan Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta tanggal 5-7 Februari
1976.5
Kenginginan untuk segera membentuk Peradilan Tata
Usaha Negara itu dipertegas lagi dalam pidato kenegaraan
Presiden Republik Indonesia, Soeharto, di hadapan sidang
pleno DPR pada tanggal 16 Agustus 1978 yang isinya tenta
mekanisme untuk meratakan keadilan, yaitu :
4 http://makalah-perkuliah.blogspot.com/2013/06/sejarah-peradilan-tata-usaha-
negara 5 Ibid, Hal.107
42
1) Penyelesaian perkara seadil-adilnya dan secepat-
cepatnya
2) Bantuan hukum untuk mereka yang kurang
mampu
3) Segera akan dibentuknya Peradilan Tata usaha
Negara
Lebih lanjut Presiden Soeharto mengirim surat
kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia di Jakarta dengan Nomor: R.07/PU/V/1982,
tanggal 13 Mei 1982 Perihal Ranangan Undang-Undang
tentang Peradilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara. Dimana isi surat tersebut pada pokoknya “untuk
mohon dibiarakan dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat
guna mendapatkan persetujuan pada sidang 1981-1982.
Selanjutnya untuk keperluan pembicaraan dalam persidangan
mengenai rancangan Undang-Undang tersebut kami
persilahkan saudara menghubungi saudara Menteri
43
Kehakiman.6 Selanjutnya pada tahun 1986 pemerintah
mengajukan Rancangan Undang-Undang tersebut kepada
DPR dan pada waktu itu DPR menyetujui.
Pada tanggal 29 Desember 1986 disahkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 7 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29
Desember 1986 oleh Menteri Sekretaris Negara Republik
Indonesia Sudharmono, SH.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka ada
angin segar tentang pembentukan Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia. Sejak mulai efektif dioperasikan
Undang-Undang tersebut pada tanggal 14 Januari 1991
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991
Tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang sebelumnya
ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata 6 Ibid, Hal.138
44
Usaha Negara di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta
lima Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan,
Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.7 Maka sejak itu
terbentuklah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Kemudian seiring dengan berkembangnya maka
semakin banyak pula dibentuk pengadilan di kota-kota
lainnya. Sedangkan mengenai susunan Pengadilan Tata
Usaha Negara terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris. Pimpinan Pengadilan terdiri atas
seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Sedangkan Hakim
anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah
Hakim Tinggi.8
7 Keppres Nomor 52 Tahun 1991 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negaradi Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang. 8 Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1986
45
B. Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara sendiri adalah
Pengadilan dalam lingkup hukum publik yang mempunyai
tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata usaha Negara, yaitu suatu
sengketa yang timbul dalam bidang hukum Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun daerah
sebagai akibat dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Subjek dan objek dari Peradilan Tata Usaha Negara
sendiri adalah seseorang atau badan hukum perdata sebagai
penggugat dan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
sebagai tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di
Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara.
46
Dilihat dari kedudukan para pihak dalam sengketa
Tata Usaha negara, selalu menempatkan seseorang atau
badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan
atau pejabat Tata Usaha negara sebagai pihak tergugat.
Mengenai Objek sengketa di Pengadian Tata Usaha Negara
adalah keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan
keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 yaitu :
1. Keputusan Tata Usaha Negara.
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Yang
berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final
47
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif.
Objek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara
termaksud Keputusan Tata Usaha Negara yang
fiktif negatif sebagaimana dimaksud Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :
1. Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu
menjadi kewajiban maka hal tersebut disamakan
dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan dimaksud
telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
48
Negara tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak menetukan jangka waktu maka
setelah lewat jangka waktu 4 (empat) bulan sejak
diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak bisa dengan
sendirinya, mau dikerjakan atau tidak dikerjakan karena
sudah terang dan jelas kalau Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dalam menjalan tugas, pokok, dan fungsinya dibatasi
tentang penyelesaian suatu pekerjaan, sebagaimana yang
sudah dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan, jika
jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan atau setelah lewat empat
bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat
49
Tata Usaha Negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohonkan, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Oleh karena itu dalam hal sikap pasif Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mengeluarkan
keputusan itu dapat disamakan dengan keputusan tertulis
yang berisi penolakan meskipun tidak tertulis dan memang
tidak ada wujudnya atau dengan kata lain tidak ada
barangnya. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif
negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis
dan memang tidak ada wujudnya, dan menurut penulis sikap
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat
dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan
negatif berarti karena isi keputusan itu berupa penolakan
terhadap suatu permohonan yang diajukan oleh orang atau
badan hukum perdata.
50
Jadi singkatnya mengenai keputusan fiktif negatif ini
merupakan perluasan dari keputusan Tata Usaha Negara
tertulis yang menjadi objek dalam sengketa Tata Usaha
Negara. Oleh karena itu keputusan fiktif negatif juga
merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara.
C. Subjek Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara
a. Penggugat
Penggugat adalah seorang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berisi tuntutan menurut
peraturan perundang-undangan. Isi dari tuntutan dari
keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yaitu
menyatakan batal atau tidak sah dan Pejabat Tata Usaha
Negara yang notabene sebagai tergugat untuk membayar
ongkos atau biaya perkara di dalam sidang pengadilan.
51
Didalam persidangan Pengadilan Tata Usaha
Negara, penggugat mengajukan terhadap penundaan
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang dijadikan
objek gugatan selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha
Negara sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Tergugat
Dalam hal orang atau badan hukum perdata
mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara
sudah pasti dalam gugatan menyebutkan siapa yang
digugat. Tergugat sendiri adalah Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.9
9 Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
52
D. Asas-Asas Didalam Peradilan Tata Usaha Negara
Konsep negara yang demokratis, Indonesia memiliki
sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut
pemerintah atau eksekutif memeliki peran dan wewenang
yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga
lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap perbuatan
pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu
bentuk kontrol atas tindakan pemerintah adalah melalui
lembaga peradilan. Konsep atau ide dasar untuk membentuk
peradilan administrasi sudah ada lama bahkan sebelum
kemerdekaan. Namun realisasi terhadap ide-ide
pembentukannya baru terwujud setelah diundangkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Desember 1986, dan atas
dasar Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991
pemerintah menetapkan berlakunya Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut secara efektif pada tanggal 14 Januari 1991,
kini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah
53
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Diubah kembali
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
a. Dalam melakukan proses berjalannya Peradilan Tata
Usaha Negara terdapat beberapa asas-asas dalam
Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri, yaitu10 :
1. Asas Praduga rechtmatig,yang mengandung
makna bahwa setiap tindakan pengusa selalu
harus dianggap benar sampai ada pembatalannya.
Dengan asas ini, gugatan tidak menunda
pelaksanaan Keputusan Tata usaha Negara yang
dibuat.
2. Asas Pembuktian Bebas Hakim, yang menetapkan
beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan
10 Rozali Abdullah. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” CV
Rajawali. Jakarta. 2002. Hal 23
54
ketentuan Pasal 1865 BW dengan ketentuan pada
Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.
3. Asas Keaktifan Hakim (dominus litis), keaktifan
hakim dimaksud untuk mengimbangi kedudukan
para pihak yang tidak seimbang. Pihak tergugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang menguasai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan kewenangan dan atau
dasar dikeluarkan keputusan yang digugat.
Sedangkan pihak penggugat adalah orang-
perorangan atau badan hukum perdata yang dalam
posisi lemah, karena belum tentu mereka
mengetahui betul peraturan perundang-undangan
yang dijadikan sumber untuk dikeluarkannya
keputusan yang digugat.
4. Asas putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat (ergo omnes).
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa di
55
ranah hukum publik. Dimana akibat hukum yang
timbul dari putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap akan mengikat
tidak hanya para pihak yang bersengketa namun
berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat
siapa saja.11
5. Asas Peradilan Berjenjang. Jenjang peradilan
dimulai dari tingkat yang paling bawah yaitu
Pengadilan Tata usaha Negara, kemudian
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan
puncaknya adalah Mahkamah Agung.
6. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk
mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan
Pengadilan sebagai ultimatum remedium. Dalam
sengketa administrasi sedapat mungkin
diupayakan dulu penyelesaiannya melalui
musyawarah mufakat (upaya administratif),
11 Darda Syahrizal, SH “Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata
Usaha Negara” Pustaka Yustisia. Yokyakarta. Cetakan Pertama 2012. hal.81-
82.
56
apabila musyawarah tidak mencapai mufakat,
maka barulah penyelesaian melalui Peradilan Tata
Usaha Negara dilakukan.
7. Asas Objektifitas. Untuk tercapai putusan yang
adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah
bercerai dengan tergugat, penggugat, atau
penasihat hukum atau antara hakim dengan salah
seorang hakim atau panitera juga terdapat
hubungan sebagaimana yang disebut diatas, atau
hakim atau penitera tersebut mempunyai
kepentingan langsung dan tidak langsung dengan
sengketanya. (Pasal 78 dan Pasal 79 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara).
57
Dengan melihat apa yang ada di dalam asas-asas
dalam Peradilan Tata Usaha Negara maka dapat dikatakan
bahwa sebenarnya Undang-Undang telah memberikan
berbagai kemudahan didalam mencari keadilan, namun
demikian untuk mewujudkan asas-asas dan kemudahan-
kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada
pencari keadilan tersebut diatas agar terwujud dalam tataran
praktek di Peradilan Tata Usaha Negara dan pemerintahan
yang baik perlu adanya suatu komitmen bersama yg
sungguh-sungguh bagi semua di lingkungan Peradilan.
E. Proses Pemeriksaan Persidangan
Setelah penggugat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara yang ditunjuk kepada Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara, maka langkah selanjutnya
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara menunjuk kepada
hakim yang ada di Pengadilan Tata Usaha Negara yang
terdiri dari satu Ketua Majelis Hakim dan dua anggota
58
Majelis Hakim, selanjutnya ditentukan pula Panitera.
Selanjutnya ditentukan kapan dilakukan sidang, setelah
ditentukan kapan tanggal dan hari sidang maka Panitera
memanggil kepada para pihak.
Proses berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara
pada pokoknya melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
A. Pemeriksaan Pendahuluan :
1. Pemeriksaan administrasi di kepaniteraan
perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pemeriksaan pada surat gugatan seperti nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan,
tempat kedudukan tergugat, dan pembayaran
uang muka biaya perkara.
2. Dismissal prosedur oleh Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara (Pasal 62 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986).
(1) “Dalam rapat permusyawaratan, Ketua
Pengadilan berwenang memutuskan denga
suatu penetapan yang dilengkapi dengan
59
pertimbangan-pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan itu dinyatakan
tidak diterima atau tidak berdasar, dalam
hal :
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak
termaksud dalam wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah
diberitahu dan diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada
alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan
sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau
telah lewat waktunya.
60
3. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam hal
pemeriksaan persiapan ini, merupakan
kewajiban yang harus dilakukan oleh Majelis
Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara,
karena merupakan suatu kewajiban. Jadi
pemeriksaan persiapan itu dilakukan hakim
sebelum memeriksa pokok perkara dan
dilakukan tidak dimuka umum. Dalam periode
pemeriksaan persiapan itu, dilakukan
pengumpuulan dokumen-dokumen atau
informasi-informasi resmi yang diperlukan
yang berkaitan dengan sengketa yang sedang
diperiksa oleh para pihak.
Mengenai ketentuan pemeriksaan persiapan
diatur dalam pasal 63 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, dalam pasal tersebut menyatakan :
61
Ayat (1) : “Sebelum pemeriksaan pokok sengketa
dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi
gugatan yang kurang jelas.”
Ayat (2) : “Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) Hakim :
a. Wajib memberi nasehat kepada penggugat
untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang
diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh
hari.
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan
atau Pejabat tata Usaha Negara yang
bersangkutan.
Ayat (3) : “Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat
belum menyempurnakan gugatan, maka
hakim menyatakan dengan putusan bahwa
gugatan tidak dapat diterima.
62
Ayat (4) : “Terhadap putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya
hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.”
Jadi ada kalanya penggugat atau kuasa hukum
penggugat dalam membuat gugatan kurang jelas, maka
hakim dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk
menyampaikan kepada Penggugat untunk melengkapi atau
memperbaiki terhadap gugatannya sehingga gugatan menjadi
terang dan jelas, artinya hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan, bagi gugatan yang kurang lengkap
maka hakim menyuruh kepada penggugat untunk melengkapi
gugatan dan untuk gugatan yang ada kekeliruan atau salah
maka hakim wajib membri nasehat kepada penggugat untuk
memperbaiki.
Mengenai jangka waktu untuk memperbaiki gugatan
tersebut yang diberikan oleh Undang-Undang adalah 30 hari,
namun jika dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang sedangkan penggugat tidak melakukan
perbaikanterhadap gugatan dan bahkan penggugat entah
63
kemana perginya maka dalam hal keadaan yang demikian itu
hakim dapat menyatakan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima.
Untuk putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima
karena penggugat tidak dapat melakukan perbaikan terhadap
gugatan sedangkan waktu yang telah diberikan Undang-
Undang telah habis, maka penggugat tidak dapat melakukan
upaya hukum namun langkah yang dapat ditempuh oleh
penggugat adalah dengan mengajukan gugatan baru.
Sedangkan untuk tergugat pada saat pemeriksaan
persiapan biasanya hakim meminta keterangan kepada
tergugat. Mengenai permintaan keterangan kepada tergugat
ini biasanya berkaitan dengan apakah objek gugatan yang
merupakan keputusan Tata Usaha Negara merupakan
keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat, kemudian
dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan keputusan
yang disengketakan.
64
B. Pemeriksaan Persidangan :
1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986)
“Pemeriksaan sengketa dimulai dengan
membaca isi gugatan dan surat yang memuat
jawabannya, pihak tergugat diberi kesempatan
untuk mengajukan jawabannya.”
2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986)
“Pemeriksaan sengketa dimulai dengan
membaca isi gugatan dan surat yang memuat
jawabannya, pihak tergugat diberi kesempatan
untuk mengajukan jawabannya.”
3. Replik (Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986) “penggugat dapat
mengubah alasan yang mendasari gugatan
hanya samapai dengan replik, asal disertai
alasan yang cukup serta tidak merugikan
65
kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus
diperhatikan dengan saksama oleh hakim.”
4. Duplik (Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986) “Tergugat dapat
mengubah alasan yang mendasari jawabannya
hanya sampai dengan duplik, asal disertai
alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan penggugat dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan saksama oleh
hakim.”
5. Pembuktian (Pasal 100 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986) yang dapat dijadikan
alat bukti di dalam persidangan adalah sebagai
berikut : Surat atau tulisan, keterangan ahli,
keterangan saksi, pengakuan para pihak,
pengetahuan hakim,
6. Kesimpulan (Pasal 97 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986) “Dalam hal
pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan,
66
kedua belah pihak diberikan kesempatan
untuk mengemukakan pendapat yang terakhir
berupa kesimpulan masing-masing.”
7. Putusan (Pasal 108 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986)
(1) Putusan pengadilan harus diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Apabila salah satu pihak atau kedua belah
pihak tidak hadir pada waktu Putusan
Pengadilan diucapkan, atas perintah
Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu
disampaikan denga surat tercatat kepada
yang bersangkutan.
(3) Tidak dipenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berakibat putusan Pengadilan tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
67
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai Pejabat
Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak.
Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan,
melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan.
Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan
sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh
hakim12.
Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan
oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya
mengandung sanksi berupa hukuman terhadap pihak yang
dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sangsi
hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun
Hukum Acara Pidana pelaksanaannya dapat dipaksakan
kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu, hanya saja
bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa
pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada
pihak yang telah dirugikan atau yang dimenangkan dalam
persidangan pengadilan dalam suatu sengketa, sedangkan
12 Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum acara Perdata Indonesia. Yogjakarta:.
Liberty.hal 210
68
dalam Hukum Acara Pidana umumnya hukumannya penjara
dan atau denda13.
Tujuan suatu dimuka pengadilan adalah untuk
memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap,
artinya putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi. dengan
putusan ini, hubungan antara kedua Belah pihak yang
berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud
supaya apabila tidak ditaati secara sukarela, dipaksakan
dengan bantuan alat -alat Negara (dengan kekuatan umum).
F. Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk
menegakan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum sehingga dapat memberikan
pengayoman kepada masyarakat khusunya dalam
hubungan antara Badan atan Pejabat Tata Usaha Negara
dan masyarakat dalam hal pelaksanaan eksekusi terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
13 Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik. Jakarta: Sinar
Grafika. hal 2011.
69
berkekuatan hukum tetap secara terang dan jelas diatur
dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
dan mengalami perubahan terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009. Dalam Pasal 116
tersebut menyatakan :
1. Salinan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua
Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat
belas hari kerja.
2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterima tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara
70
yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah
90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar
Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi
administratif.
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
71
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh
panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6. Disamping diumumkan pada media cetak setempat
dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk
memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan
putusan pengadilan, dan kepada lembaga
perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi
pengawasan.
7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis
sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran uang paksa atau sanksi administratif
diatur dengan peraturan Perundang-Undangan.
72
Dalam hal putusan Pengadilan berupa pengabulan
gugatan (Pasal 97 ayat (7) huruf b), maka kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara meliputi:
a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan.
b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang
baru.
c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam
hal gugatan didasarkan pada pasal 3 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986.
d. Membayar ganti rugi.
e. Melakukan rehabilitasi.
Pasal 97 mengatur mengenai macam-macam bentuk
putusan yaitu sebagai berikut: (7) Putusan Pengadilan
dapat berupa:
a. gugatan ditolak
b. gugatan dikabulkan
73
c. gugatan tidak diterima
d. gugatan gugur
Dengan adanya ketentuan tersebut sebenarya
sudah tidak ada kendala lagi dalam pelaksanaan eksekusi
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, namun dalam hal
tidak dipatuhi oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara ini salah satu faktor yang menjadi hambatan
dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan.
Seperti yang terdapat dalam Pasal 116 ayat (2)
“Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
yang dimaksud pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.” Yang dimaksud dalam ayat (2)
74
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi adalah, suatu
kebijakan hukum yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha
Negara yang disengketakan, dimana setelah 60 (enam
puluh) hari kerja kebijakan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi. Dalam contoh kasus diatas
mengenai pembayaran gaji penggugat permasalahannya
terletak pada Pejabat Tata Usaha Negara, karena yang
berhak mengeksekusi putusan tersebut kembali lagi
kepada Pejabat tata Usaha negara itu sendiri.
Pasal 116 ayat (3) dalam hal penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan
pengadilan tersebut masih menemui kendala, jika
tergugat dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara masih
mempertahankan agar tidak mengeksekusi putusan dari
Pengadilan Tata Usaha Negara, maka akan berdampak
pada ayat (4), (5), (6), dan (7).
Memang dalam Pasal 116 ayat (4), (5), (6), dan
(7) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 secara
75
terang dan jelas kalau Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap
pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi
administratif ayat (4), diumumkan kepada media cetak
setempat oleh Panitera ayat (5), diajukan kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi ayat (6),
dan besaran uang paksa ayat (7) namun demikian timbul
pertanyaan apakah peraturan perundang-undangan
tentang upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang
paksa dan atau sanksi administratif sudah dibuat ? jika
belum ada peraturannya sulit dalam memberikan sanksi
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.