25
PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian di Indonesia Oleh: Miftahul Jannah ** Abstract Indonesia as a developing country, is currently building a variety of sectors. Globalization is a process of change in the organization of the functioning of capitalism is marked by the emergence of market integration and transnational corporations and entrainment of supranational institutions. Given this, it is possible will affect the working patterns of Indonesian society. That requires a legal action again when those who feel aggrieved not satisfied with the results of dispute resolution arising from the development of this globalization. Remedy which meant that the administrative effort as referred to in Article 48 of Law No. 51 of 2009 on the Amendment of Act No. 9 of 2004 on the Amendment of Act No. 5 of 1986 concerning State Administrative Court (Administrative Court). So as to ensure the welfare and public confidence in the law. The existence of this administrative effort is part of a system of administrative justice, because the administrative effort or a combination of special components with respect to the Administrative Court, the same - the same function to achieve the purpose of maintaining a balance, harmony and harmony between individual interests with the interests of the public or general interest, so that create a harmonious relationship between the government and the people in the realization of a just and prosperous society based on Pancasila and the 1945 Constitution. Abstrak Indonesia sebagai negara yang berkembang, saat ini sedang membangun diberbagai sektor. Globalisasi merupakan proses perubahan organisasi dari fungsi kapitalisme yang ditandai dengan munculnya integrasi pasar dan perusahaan- perusahaan transnasional dan tertinggalnya institusi supranasional. Dengan adanya hal ini, dimungkinkan akan mempengaruhi pola kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu dibutuhkan suatu upaya hukum lagi bila pihak yang merasa dirugikan belum merasa puas akan hasil penyelesaian sengketa yang timbul akibat perkembangan globalisasi ini. Upaya hukum yang dimaksud yaitu upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang ** Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan 2011.

Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian di Indonesia

Oleh: Miftahul Jannah**

Abstract Indonesia as a developing country, is currently building a variety of sectors.

Globalization is a process of change in the organization of the functioning of capitalism is marked by the emergence of market integration and transnational corporations and entrainment of supranational institutions. Given this, it is possible will affect the working patterns of Indonesian society. That requires a legal action again when those who feel aggrieved not satisfied with the results of dispute resolution arising from the development of this globalization. Remedy which meant that the administrative effort as referred to in Article 48 of Law No. 51 of 2009 on the Amendment of Act No. 9 of 2004 on the Amendment of Act No. 5 of 1986 concerning State Administrative Court (Administrative Court). So as to ensure the welfare and public confidence in the law. The existence of this administrative effort is part of a system of administrative justice, because the administrative effort or a combination of special components with respect to the Administrative Court, the same - the same function to achieve the purpose of maintaining a balance, harmony and harmony between individual interests with the interests of the public or general interest, so that create a harmonious relationship between the government and the people in the realization of a just and prosperous society based on Pancasila and the 1945 Constitution.

Abstrak Indonesia sebagai negara yang berkembang, saat ini sedang membangun

diberbagai sektor. Globalisasi merupakan proses perubahan organisasi dari fungsi kapitalisme yang ditandai dengan munculnya integrasi pasar dan perusahaan-perusahaan transnasional dan tertinggalnya institusi supranasional. Dengan adanya hal ini, dimungkinkan akan mempengaruhi pola kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu dibutuhkan suatu upaya hukum lagi bila pihak yang merasa dirugikan belum merasa puas akan hasil penyelesaian sengketa yang timbul akibat perkembangan globalisasi ini. Upaya hukum yang dimaksud yaitu upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang

**Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Angkatan 2011.

Page 2: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

153

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Adanya upaya administratif ini adalah bagian dari suatu sistem peradilan administrasi, karena upaya administratif merupakan kombinasi atau komponen khusus yang berkenaan dengan PTUN, yang sama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan memelihara keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, sehingga tercipta hubungan rukun antara pemerintah dan rakyat dalam merealisasikan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kata Kunci: Sengketa, Kepegawaian dan Upaya Hukum. A. Pendahuluan

Indonesia sebagai negara yang berkembang, saat ini sedang membangun diberbagai sektor. Misalnya disektor perekonomian, sejalan dengan isu globalisasi yang tidak dapat dielakkan lagi, negara kita tidak dapat menutup mata begitu saja terhadap dampak perkembangan ekonomi dunia. Berdasarkan pandangan ekonomi politik, globalisasi merupakan proses perubahan organisasi dari fungsi kapitalisme yang ditandai dengan munculnya integrasi pasar dan perusahaan-perusahaan transnasional dan tertinggalnya institusi supranasional.1

Dengan adanya hal ini, dimungkinkan akan mempengaruhi pola kerja masyarakat Indonesia. Untuk itu dibutuhkan suatu upaya hukum, bila pihak yang merasa dirugikan belum merasa puas akan hasil penyelesaian sengketa yang timbul akibat perkembangan globalisasi ini. Upaya hukum yang dimaksud yaitu upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.2

Adanya upaya administratif ini adalah merupakan bagian dari suatu sistem peradilan administrasi, karena upaya administratif merupakan kombinasi atau komponen khusus yang berkenaan dengan PTUN, yang sama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan memelihara keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan

1Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2000), hlm. 40. Baca juga Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 51.

2S.F.Marbun,dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 19.

Page 3: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

154

kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, sehingga tercipta hubungan rukun antara pemerintah dan rakyat dalam merealisasikan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.3

Sebelum reformasi penyelenggaraan negara dan pemerintahan di warnai dengan praktek maladministrasi, bahkan, terdapat pandangan yang menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Terkadang, birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan jelek koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korup.4

Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik hanya dapat tercapai dengan peningkatan mutu aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan, juga penegakan asas-asas pemerintahan umum yang baik. Bahwa sering kali setiap keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan, rawan akan terjadinya rasa ketidakpuasan dari masyarakat, atau telah merasa dirugikan. Untuk menyelesaikan salah satu contoh permasalahan di atas, diperlukan lembaga independent yang menjadi jembatan penghubung antara kedua belah pihak, sekaligus memberikan keputusan yang bijaksana.5

Permasalahan seperti ini, dapat kita kategorikan dalam sengketa tentang administrasi negara atau masalah tata usaha negara. Kemudian pihak manakah yang berwenang menyelesaikan masalah ini. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN disebutkan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.6 Kekuasaan Kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan

3Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hlm. 54. 4Soesilo Zauhar, Reformasi Administrasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004) hlm. 1 5J. Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala

Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.52. 6Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Page 4: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

155

ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.7

Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen) disebutkan, bahwa:8

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.

2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi.

Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman saat ini selain diselenggarakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam empat lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK).9 Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 merupakan puncak dari badan-badan peradilan di empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1 (satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu: Agama, Militer dan Tata Usaha Negara. Keempat lingkungan peradilan tersebut masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah MA.10

Untuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986

7Jimly Assiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:PT Bhuana

Populer, 2007) hlm. 517. 8Jimly Ashidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen,

(Jakarta: Konpress, 2006), hlm. 42-43., Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994), hlm. 231-232. Baca juga Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, (Jakarta: Konpress, 2003), hlm. 1. Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, (Jakarta: Konpress, 2005), hlm. 2. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 281.

9Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konpress, 2006), hlm. 131.

10Ibid.

Page 5: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

156

tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.11

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Hakim Tata Usaha Negara adalah pejabat yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di dalam lingkungan PTUN. Secara umum memang kewenangan hakim adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa. Menurut Pasal 1 angka 10 undang-undang nomor 51 tahun 2009 tentang sengketa tata usaha negara menyebutkan, sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Berdasarkan hal di ataslah penulis akan mengkaji secara mendalam tentang Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian di Indonesia. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dirumuskan di atas maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi dasar hukum kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara dalam Bidang Kepegawaian di Indonesia ?

2. Bagaimana kewenangan dan peranan hakim Peradilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa kepegawaian di Peradilan Tata Usaha Negara Yogyakarta

C. Pembahasan

Istilah Tata Usaha Negara di sebagian lingkungan perguruan tinggi dikenal dengan nama administrasi negara, alasannya karena istilah Tata Usaha Negara lebih sempit dari pada Istilah administrasi negara itu sendiri. Hukum administrasi adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik tinggi maupun rendah,

11Udiyo Basuki, Pedoman Beracara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: SUKA

PRESS, 2013), hlm. 3. 12M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 34. Udiyo Basuki, Pedoman Beracara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: SUKA PRESS, 2013), hlm .7.

Page 6: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

157

setelah alat-alat itu menggunakan kewenangan-kewenangan ketatanegaraan.13

Bagi Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Administrasi Negara sebetulnya sudah ada sejak zaman pemerintahan Belanda. Namun, keinginan itu selalu kandas di tengah perjalanan karena berbagai alasan. Keinginan itu baru terwujud pada penghujung tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember 1986.14

1. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara

Dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:15

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang

(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Kemudian, Pasal 25 UUD 1945 menentukan, syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.

Menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan dalam amandemen UUD 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk

13Pada mulanya penyebutan istilah ini bermacam-macam, antara lain Peradilan

Administrasi Negara, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, setelah berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang sekarang sudah mengalami perubahan menjadi UU Nomor 51 Tahun 2009, istilah yang digunakan bisa Peradilan Tata Usaha Negara atau Peradilan Administrasi Negara.

14Victor S, Soedibyo, Pokok-pokok Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta. PT Rineka Cipta, 1998), hlm. 16

15Lihat Pasal 24 UUD 1945

Page 7: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

158

menjaga kemandirian dan integritas hakim, amandemen UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial.16

Sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 maka dibuatlah undang-undang nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dalam undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:17

1. Peradilan Umum. 2. Peradilan Agama. 3. Peradilan militer. 4. Peradilan Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitus.18 Dari bunyi pasal tersebut jelaslah bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri ternyata cukup kuat, sama halnya dengan ketiga Peradilan lainnya yang sudah lama ada yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Militer.19

Sesuai dengan maksud pasal 145 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat lambatnya lima tahun sejak undang-undang ini diundangkan, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada tanggal 14 Januari 1991 diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 8 semenjak itu mulailah 5 buah Pengadilan Tata UsahaNegara dan 3 buah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang sudah dibentuk sebelumnya menjalankan tugasnya masing-masing.20

16Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Kencana,

2012), hlm. 87 17Kekuasaan kehakiman sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945. 18Kekuasaan kehakiman pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. 19Jimly Assiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT

Bhuana Populer: 2007), hln. 513. 20Rozali, Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta. PT. Raja

Grafindo Persada, 2004) hlm. 13.

Page 8: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

159

Setelah reformasi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengalami perubahan tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara itu merupakan salah satu undang-undang yang mengatur bahwa perlu dilakukan perubahan di lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dam finansial di bawah Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dikehendaki oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.21 Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:22

1. Penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

2. Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim.

3. Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc. 4. Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan

pemberhentian hakim. 5. Kesejahteraan hakim. 6. Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan. 7. Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan

dan pertanggungjawaban biaya perkara. 8. Bantuan hukum.

21Ibid, hlm.15. 22Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Page 9: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

160

9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

2. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-

Undang Nomor 51 Tahun 2009 jauh lebih sempit lagi, karena tidak semua perkara yang pokok sengketanya terletak di lapangan Hukum Publik (Hukum Tata Usaha Negara) dapat diadili di Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, haruslah memenuhi syarat-syarat:23

1. Bersifat tertulis, hal ini diperlukan untuk memudahkan pembuktian. Pengertian tertulis disini bukanlah dalam arti bentuk formalnya, melainkan cukup tertulis, asal saja: a. Jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha yang mengeluarkannya. b. Jelas isi dan maksud tulisan tersebut yang menimbulkan

hak dan kewajiban. c. Jelas kepada siapa tulisan ini ditujukan.

Mengenai syarat tertulis ini ada pengecualiannya sebagai mana dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu:

a. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

b. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

c. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan

2. Bersifat kongkrit, artinya obyek yang diputus dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu berwujud tertentu atau dapat ditentukan.

23Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum

Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.24.

Page 10: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

161

3. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi ditujukan untuk orang-orang atau badan hukum perdata tertentu. Jadi tidak berupa suatu peraturan yang berlaku umum.

4. Bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum, atau ketetapan yang tidak membutuhkan lagi persetujuan dari instansi atasannya.

Di samping mengadili pada tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara juga berwenang:24

1. Memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat Banding.

2. Memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.

Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding. Akan tetapi untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986. Dalam pasal 48 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan sebagai berikut :

1. Dalam hal suatu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.

2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

24Ibid, hlm.26.

Page 11: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

162

Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara: pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi), kedua, dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van distributie van rechtsmacht), ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif.25

Pertama, dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN). Kedua, dengan melakukan pembedaan atas kewenangan mengadili dengan pembagian kompetensi atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Atribusi, yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) m engenai materinya, yang dapat dibedakan:

a) Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/ setingkat. Contoh: Pengadilan Administrasi terhadap Pengadilan Negeri (umum), Pengadilan Agama atau Pengadilan Militer.

b) Secara vertical, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarki mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh: Pengadilan Negeri (umum) terhadap Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.

2. Distribusi, yang berkaitan dengan pembagian wewenang yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh; antara Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan Pengadilan Negeri antara lain di Bantul, Sleman dan Kulonporogo.

Ketiga, adalah pembagian atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa yang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.

25Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1999), hlm. 28.

Page 12: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

163

Kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.

Kompetensi relatif, adalah kewenangan dari pengadilan sejenis, yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan peradilan tata usaha negara yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Apakah PTUN Ujung Pandang, Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, atau Medan, dan sebagainya.26 Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut di atas, dalam pasal 77 UU PTUN disebutkan:

1. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.

2. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.

3. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapatdiputus bersama dengan pokok sengketa.

Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN, harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban atas pokok sengketa, apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas pokok sengketa, maka eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima. Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara bukan untuk mencari-cari kesalahan, apalagi mengurangi kewibawaan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, tetapi justru sebaliknya agar terbinanya aparatur yang mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa dan selalu berdasarkan hukum serta bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilandasi semangat serta sikap pengabdian untuk masyarakat di dalam menjalankannya tugasnya. Di lain pihak juga tindakan yang tidak tepat dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karenanya

26Ibid, hlm. 30

Page 13: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

164

Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara akibat pelaksanaan atau penggunaan wewenang pemerintahan yang dilakukan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa dengan warga masyarakat atau badan hukum privat, atau sengketa dengan warga masyarakat atauu badan hukum privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Susunan Peradilan Tata Usaha Negara sama halnya dengan Peradilan Umum, terdiri dari dua tingkat Peradilan, yaitu:

1. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan Tingkat Pertama.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan Tingkat Banding.

Sama halnya dengan ketiga Peradilan lain, Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung, sebagai Peradilan Negara tertinggi yang berfungsi antara lain sebagai Peradilan Kasasi. Susunan Pengadilan sesuai dengan pasal 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 terdiri atas:

1. Pimpinan 2. Hakim Anggota 3. Panitera 4. Sekretaris Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk

mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum, atau tepat menurut Undang-Undang, ataupun tepat secara efektif maupun berfungsi secara efisien. Faktor terpenting untuk mendukung efektifitas peranan pemerintah adalah faktor makna kontrol Yudisial dengan spesifikasi karakteristiknya. Hal tersebut, mendasari konsepsi mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia tidak akan mencontoh belaka pada sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Negara lain. Akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kondisi serta perkembangan di Indonesia, bahkan akan diciptakan sistem sendiri yang sesuai dengan kebut uhan dan keadaan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila.27

27Victor S, Soedibyo, Pokok-pokok Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1992), hlm. 11.

Page 14: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

165

3. Sengketa dan Keputusan Tata Usaha Negara

Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkan, Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat di keluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari:

1. Subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.

2. Obyek sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Sebagai Jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintah, sehingga Dapat menjadi pihak yang tergugat dalam sengketa TUN dapat dikelompokkan dalam :28

1. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah presiden sebagai kepala eksekutif.

2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan.

3. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

4. Instansi -instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

Obyek sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Jenis-jenis Keputusan Tata Usaha Negara/ KTUN (Beschikking) menurut doktrin (pendapat/ teori para pakar administrasi Negara)

28A.Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: PT.

Refika Aditama, 2007) hlm. 5.

Page 15: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

166

terdapat berbagai rumusan, antara lain menurut P.De Haan (Belanda), dalam bukunya: “Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat”, dikelompokkan sebagai berikut:29

1. KTUN Perorangan dan Kebendaan (Persoonlijk en Zakelijk) a. KTUN perorangan adalah keputusan yang diterbitkan

kepada seseorang berdasarkan kualitas pribadi tertentu, dimana hak yang timbul tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : SK PNS, SIM,dan sebagainya.

b. KTUN kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas kebendaan atau status suatu benda sebagai obyek hak, dimana hak yang timbul dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : Sertifikat Hak atas Tanah, BPKP/STNK kendaraan bermotor, dan sebagainya

2. KTUN Deklaratif dan Konstitutif (Rechtsvastellend en Rechtsscheppend) a. KTUN deklaratif adalah keputusan yang sifatnya

menyatakan atau menegaskan adanya hubungan hukum yang secara riil sudah ada. Contoh : Akta Kelahiran, Akta Kematian, dan sebagainya.

b. KTUN konstitutif adalah keputusan yang menciptakan hubungan hukum baru yang sebelumnya tidak ada, atau sebaliknya memutuskan hubungan hukum yang ada. Contoh : Akta Perkawinan, Akta Perceraian, dan sebagainya.

3. KTUN Bebas dan Terikat (Vrij en Gebonden) KTUN bebas adalah keputusan yang didasarkan atas kebebasan bertindak (Freis Ermessen/ Discretionary Power) dan memberikan kebebasan bagi pelaksananya untuk melakukan penafsiran atau kebijaksanaan. Contoh: SK Pemberhentian PNS yang didasarkan hukuman disiplin yang telah diatur secara jelas dan rinci di dalam perundang-undangan.

4. KTUN yang membebankan dan yang menguntungkan (Belastend en Begunstigend) a. KTUN yang member beban adalah keputusan yang

memberikan kewajiban. Contoh : SK tentang Pajak, Restribusi, dan lain-lain.

29Ujang Abdullah, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Sistem

Peradilan di Indonesia”, artikel diakses pada 10 November 2013 dari http://www.ptun.palembang.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=575&Itemid=294.

Page 16: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

167

b. KTUN yang menguntungkan adalah keputusan yang memberikan keuntungan bagi pihak yang dituju. Contoh : SK pemutihan pembayaran pajak yang telah kadaluwarsa.

5. KTUN Seketika dan Permanen (Einmaligh en Voortdurend) a. KTUN seketika adalah keputusan yang masa berlakunya

hanya sekali pakai. Contoh: Surat ijin pertunjkan hiburan, music, olahraga, dll

b. KTUN pemanen adalah keputusan yang masa berlakunya untuk selamalamanya, kecuali ada perubahan atau peraturan baru. Contoh : Sertifikat Hak Milik

Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara:

1. Keputusan Tata Usaha Negara Positif (Pasal 1 angka (3)) Yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif (Pasal 3 angka (1)) Yaitu keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnya dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menurut kewajibannya tetapi ternyata tidak diterbitkan, sehingga menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata. Contoh : Dalam kasus kepegawaian, seorang atasan berkewajiban membuat DP3 atau mengusulkan kenaikan pangkat bawahannya, tetapi atasannya tidak melakukan.

3. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif (Pasal 3 ayat (2)) Yaitu keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan seseorang atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak ditanggapi atau tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan penolakan (negatif). Contoh : Pemohon IMB, KTP, Sertifikat, dan sebagainya apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tidak dijawab/diterbitkan, maka dianggap jelas-jelas menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang menolak.

Page 17: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

168

Dalam praktek administrasi pemerintahan terdapat beberapa KTUN yang berpotensi menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu antara lain:30

1. Keputusan Tentang Perijinan Secara yuridis suatu ijin adalah merupakan persetujuan yang diberikan pemerintah (Badan/Pejabat TUN) kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk melakukan aktivitas tertentu. Menurut Philipus M. Hadjon ada 5 tujuan diadakannya perijinan pada pokoknya adalah untuk:

a. Mengarahkan atau mengendalikan aktivitas tertentu (misal: ijin prinsip, IMB, ijin pertambangan, ijin pengusahaan hutan, ijin berburu, dan sebagainya)

b. Mencegah bahaya atau gangguan (misal: gangguan/ Hinder Ordanatie, amdal, dan sebagainya)

c. Melindungi obyek tertentu (misal: ijin masuk obyek wisata, cagar budaya, dan sebagainya)

d. Distribusi benda atau barang langka (misal: ijin trayek, ijin perdagangan satwa langka, dan sebagainya)

e. Seleksi orang atau aktivitas tertentu (misal: SIM, ijin memiliki senjata api, ijin penelitian, dan sebagainya).

2. Keputusan tentang status hukum, hak dan kewajiban a. Status hukum perorangan atau badan hukum, misalnya

akta kelahiran, akta kematian, akta pendirian/pembubaran badan hukum, KTP, Ijasah, sertipikat (Tanda Lulus Ujian), dll.

b. Hak/ kewajiban perorangan atau badan hukum terhadap suatu barang atau jasa, misalnya pemberian/pencabutan hak atas tanah, hak untuk melakukan pekerjaan, dan sebagainya.

3. Keputusan tentang kepegawaian. a. Keputusan tentang mutasi PNS, dimana pegawai yang

dimutasi keberatan karena merasa dirugikan, menghambat karier atau karena mutasi itu dianggap sebagai hukuman disiplin terselubung.

b. Keputusan tentang hukuman disiplin PNS, dimana pegawai yang bersangkutan menganggap hukuman itu tidak sesuai dengan prosedur atau tidak adil.

30SF Marbun dkk, Dimensi-dimensi Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII

Press, 2004), hlm. 19.

Page 18: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

169

c. Keputusan tentang pemberhentian PNS, misalnya dalam rangka perampingan pegawai atau likuidasi suatu instansi, dan sebagainya.

Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No.43 Tahun 1999 menyebutkan bahwa sengketa kepegawaian diselesaikan melalui PTUN. Kemudian ayat (2) menyebutkan bahwa sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK). Badan Pertimbangan Kepegawaian dalam Keppres No.67 Tahun 1980, mempunyai tugas pokok memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh PNS yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke bawah tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1980 sepanjang mengenai hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Badan Pertimbangan Kepegawaian juga memberikan pertimbangan kepada presiden mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke atas serta pembebasan dari jabatan eselon I.31

Dalam hal ini, yang dapat diajukan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian berupa Pegawai Negeri yang berpangkat Pembina ruang IV/a ke bawah yang dijatuhi hukuman disiplin:

1. Pemberhentian dengan hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS

2. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS Pegawai Negeri Sipil yang dijatuhi hukuman disiplin berat, berhak

mengajukan keberatan ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK), sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Pengajuan keberatan itu diajukan kepada pejabat yang berwenang menghukum, harus disertai alasan, tanggapan dan datadata lain yang diperlukan serta dalam tenggang waktu yang ditentukan, yaitu 14 hari terhitung mulai tanggal menerima Surat keputusan hukuman disiplin.

Penyelesaian sengketa kepegawaian sedapat mungkin dilakukan dalam lingkungan unit kerja di instansinya yang mengeluarkan keputusan hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan tidak dengan hormat sebagai

31Victor M. Sitomurang, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1998), hlm. 18.

Page 19: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

170

pegawai negeri sipil oleh pimpinan atau pejabat pembina kepegawaian, baik di tingkat pusat maupun daerah maka dapat ditempuh upaya banding administratif. Upaya administratif merupakan prosedur yang hanya dapat ditempuh oleh seorang pegawai negeri sipil apabila tidak puas terhadap suatu keputusan yang dijatuhkan kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat sesuai Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri, setelah melakukan keberatan kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian dan telah memperoleh keputusan tetap. Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian seperti yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) dalam Keppres No.67 Tahun 1980 tersebut adalah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh semua pihak yang bersangkutan.32

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa dalam keputusan tersebut tidak tersirat upaya pembelaan diri dalam hukum peradilan yang ditempuh oleh Pegawai Negeri Sipil yang telah dijatuhi hukuman disiplin karena melanggar Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980. namun di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dijelaskan bahwa upaya administratif terdiri atas:33

1. Keberatan, apabila penyelesaian sengketa itu dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu.

2. Banding administratif, apabila penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.

Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu Keputusan Tata Usaha Negara baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid) maupun aspek Opportunitas (Doelmatigheid), para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti halnya di lembaga peradilan, tapi dengan pendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapatterjadi pada tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya ditempuh. Tidak semua peraturan dasar penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara mengatur mengenai upaya administrasi, oleh karena itu adanya ketentuan pasal 48 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

32Ibid. 33Sri Hartini, dkk, Hukum Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

hlm. 152

Page 20: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

171

Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan aspek prosedural yang sangat penting yang berkaitan dengan kompetensi atau wewenang untuk mengadii sengketa Tata Usaha Negara.34

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan, yang dimaksud Upaya Adiministratif adalah, Pengajuan surat keberatan (Bezwaarscriff Beroep) yang diajukan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan (Penetapan/ Beschikking) semula. Pengajuan banding administratif (administratif Beroep) yang ditujukan kepada atasan Pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang memeriksa ulang keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.35

Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa peninjauan surat keberatan, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya adiministratif berupa surat keberatan dan atau mewajibkan surat banding administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.36

Ketentuan tersebut sesuai pula dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 48 ayat (2) yang menyatakan “pengadilan baru berwenang memeriksa, menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan “ jo ketentuan pasal 51 ayat (3) ditentukan bahwa dalam hal suatu sengketa dimungkinkan adanya administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara apabila keputusannya merupakan keputusan banding administratif. Berdasarkan ketentuan-ketentuan

34 Ibid. 35Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 1991 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

36Rozali, Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 20.

Page 21: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

172

tersebut maka dapat dibuat bagan “Proses Penyelesaian Upaya Administrasi” sebagai berikut:37

Dalam menganalisa kewenangan Hakim Tata Usaha Negara dalam good governance ini, perlu kiranya kita melihat kembali jenis-jenis lembaga peradilan di Indonesia sebagai studi kelembagaan yang berbicara tentang konsep yang digunakan. Hal ini diperlukan karena kewenangan Hakim tentunya dapat dipersepsikan dengan kewenangan-kewenangan lembaga peradilan itu juga. Dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-

37Novy Dewi Cahyati, Hand out Kuliah Hukum Acara PTUN, Program Studi ilmu

Hukum Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

Page 22: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

173

Undang No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa, Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Kemudian dalam Pasal 47 Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga disebutkan, pengadilan bertugas memeriksa, memutus, danmenyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.38

Indonesia merupakan negara hukum yang memandang setiap orang sama kedudukannya di depan hukum implikasinya penyelenggara Negara wajib memenuhi asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dan menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum karena:39

1. Setiap Warga Negara Republik Indonesia, memiliki hak yang sama dalam hukum dan mendapatkan keadilan dan penjaminan kepentingan sebagai warga negara, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

2. Setiap Warga Negara Republik Indonesia, dengan tetap mengingat pada ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

38Udiyo Basuki, “Qua Vadis UUD 1945: Refleksi 67 Tahun Indonesia

Berkonstitusi, dalam Jurnal Kajian Ilmu Hukum Supremasi Hukum, Vol.1, No.1, Juni 2012. 39Ibid. Lihat juga Udiyo Basuki, Konstitusionalisme Pengaturan HAM di

Indonesia, Penelitian Kompetitf, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2012, hlm.45. Perhatikan juga Abdul Qodir Jaelani, Pancasila Sebagai Etika Bersama Dalam Memahami Multikulturalisme Bangsa Indonesia, Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional, Tahun 2013, hlm.15. Miftahul Janah dan Abdul Qodir Jaelani, Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta Dalam Menyelesaikan Sengketa Kepegawaian Nomor:6/G/2013/PTUN.YK. Perspektif Good Governance, Penelitian Kompetitif, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2013, hlm.150.

Page 23: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

174

hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Selanjutnya, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selanjutnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menegaskan bahwa “Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara”.

D. Penutup

Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam uraian di atas, maka kelompok kami mengambil kesimpulan dari makalah ini sebagai berikut :

Kewenangan hakim Peradilan tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa kepegawaian Sesuai dengan amanah Undang-Undang No.51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, yang mana tugas kekuasaan kehakiman itu adalah dalam rangka menyelenggarakan peradilan dan peradilan itu sendiri mempunyai kewajiban memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Singkatnya hakim Tata Usaha Negara adalah pejabat yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk membedakan apakah sengketa harus diselesaikan melalui banding administratif atau keberatan dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelasaikannya:

a. Apabila diselesaikan oleh instansi atasan Pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut atau instansi yang lainnya dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, maka penyelesaiannya tersebut disebut dengan “BANDING ADMINISTRATIF”.

b. Apabila diselesaikan instansi atau Pejabat yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut, penyelesaian tersebut disebut dengan“KEBERATAN”.

Page 24: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

175

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Rozali, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Assiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konpress, 2006. _____________, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat

UUD Tahun 1945, Jakarta: Konpress, 2003. _____________,Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994. _____________,Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan

Hukum Nasional Indonesia, Jakarta: Konpress, 2005. _____________, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Press,

2009. _____________,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Amandemen, Jakarta: Konpress, 2006. _____________,Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:PT

Bhuana Populer, 2007. _____________,Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:

PT Bhuana Populer: 2007. Basuki Udiyo, “Qua Vadis UUD 1945: Refleksi 67 Tahun Indonesia

Berkonstitusi, dalam Jurnal Kajian Ilmu Hukum Supremasi Hukum, Vol.1, No.1, Juni 2012.

_____________,Konstitusionalisme Pengaturan HAM di Indonesia, Penelitian Kompetitf, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2012.

_____________,Pedoman Beracara Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta: SUKA PRESS, 2013.

Cahyati Novy Dewi, Hand out Kuliah Hukum Acara PTUN, Program Studi ilmu Hukum Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

Harahap M. Yahya, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Jaelani Abdul Qodir, Pancasila Sebagai Etika Bersama Dalam Memahami

Multikulturalisme Bangsa Indonesia, Karya Tulis Ilmiah Tingkat

Nasional, Tahun 2013.

Janah Miftahul dan Jaelani Abdul Qodir, Kewenangan Hakim Pengadilan

Tata Usaha Negara Yogyakarta Dalam Menyelesaikan Sengketa

Kepegawaian Nomor:6/G/2013/PTUN.YK. Perspektif Good

Page 25: Kewenangan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam

Miftahul Jannah: Kewenangan Hakim Pengadilan…

PANGGUNG HUKUM Vol.1, No.1, Januari 2015 Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

176

Governance, Penelitian Kompetitif, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tahun 2013.

Kaloh J, Kepemimpinan Kepala Daerah Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku

Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar

Grafika, 2010.

Mustafa Bachsan, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2000.

Ridman, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta:

Kencana, 2012.

S.F.Marbun,dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,

Yogyakarta: UII Press, 2004.

Sitomurang Victor M., Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1998.

Soedibyo Victor S, Pokok-Pokok Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta. PT

Rineka Cipta, 1998.

Soetami A.Siti , Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung:

PT. Refika Aditama, 2007.

Sri Hartini, dkk, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,

2008.

Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2011.

Zauhar Soesilo, Reformasi Administrasi, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.