25
9 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 Angka 24 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disebut MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh sarusun umum (Pasal 1 Angka 14 UU Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun). Pertambahan penduduk daerah perkotaan mengakibatkan kebutuhan sarana dan pasarana perkotaan semakin meningkat terutama kebutuhan perumahan. Mengingat pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat terbatas, masalah pemenuhan kebutuhan perumahan sampai saat ini masih sulit dipecahkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di lain pihak, kebutuhan perumahan daerah perkotaan selalu meningkat dengan pesat (Panudju, 2009). Manakala kita bicara tentang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, potret yang terbayang dan muncul di benak kepala biasanya adalah perumahan yang padat, kacau balau tidak teratur, kotor, merusak atau ‘menodai’ citra kota (Budihardjo, 1987). Menurut Sumarwanto (2014) potret masyarakat Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Masyarakat Berpenghasilan Rendahrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/49651/3/Chapter II.pdf · hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan,

  • Upload
    dinhthu

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah

masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat

dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 Angka 24 UU Nomor 1

Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Masyarakat

berpenghasilan rendah yang selanjutnya disebut MBR adalah masyarakat yang

mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah

untuk memperoleh sarusun umum (Pasal 1 Angka 14 UU Nomor 20 Tahun 2011

Tentang Rumah Susun).

Pertambahan penduduk daerah perkotaan mengakibatkan kebutuhan sarana

dan pasarana perkotaan semakin meningkat terutama kebutuhan perumahan.

Mengingat pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat terbatas, masalah

pemenuhan kebutuhan perumahan sampai saat ini masih sulit dipecahkan,

terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di lain pihak, kebutuhan

perumahan daerah perkotaan selalu meningkat dengan pesat (Panudju, 2009).

Manakala kita bicara tentang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan

rendah, potret yang terbayang dan muncul di benak kepala biasanya adalah

perumahan yang padat, kacau balau tidak teratur, kotor, merusak atau ‘menodai’

citra kota (Budihardjo, 1987). Menurut Sumarwanto (2014) potret masyarakat

Universitas Sumatera Utara

10

berpenghasilan rendah ini tercermin dari kondisi sosial ekonomi dalam

kehidupannya dan ditunjukkan dengan kondisi perumahan masyarakat diberbagai

wilayah. Baik di perdesaan maupun di perkotaan masih dalam kondisi yang tidak

layak. Di pedesaan banyak dijumpai rumah penduduk berdinding kayu, beratap

daun dan berlantai tanah. Ketidaklayakan rumah mereka juga terlihat dari kondisi

prasarana, sarana dan utilitas yang masih belum memadai bagi kelangsungan

hidup mereka. Khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin

yang menghuni perumahan dan tempat-tempat yang tidak layak, mereka hidup

dengan keterpaksaan di kampung-kampung kumuh, di kolong-kolong jembatan,

pinggiran rel kereta api, bantaran sungai, pasar, dan fasilitas-fasilitas umum

lainnya yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, kenyamanan, dan

keselamatan hidupnya.

Lebih lanjut Turner (1968) dalam Hutapea (2012) menyatakan bahwa

terdapat kaitan antara kondisi ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan

perumahan pada setiap manusia. Bagi masyarakat golongan berpenghasilan

rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan perumahan yaitu :

1. faktor jarak menjadi prioritas utama

2. faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua

3. faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga

Menurut Wijaya dalam Budihardjo (2009) pembangunan permukiman bagi

masyarakat berpenghasilan rendah bukan merupakan usaha yang terisolisir.

Karena, pembangunan tersebut mempunyai multiplier effect yang besar, baik

peningkatan industri dan jasa kota maupun penyediaan lapangan kerja baru.

Universitas Sumatera Utara

11

Dalam pembangunannya, usaha-usaha baru yang bersifat mendasar perlu

dipikirkan untuk memberi landasan kerja yang mantap. Pertama, nilai dan sikap

masyarakat terhadap permukiman dan perumahan perlu ditinjau. Rumah harus

dibangun sekali dan baik untuk selamanya tidak merupakan kebutuhan pokok

yang mendesak, di samping tidak sesuai dengan realita kemampuan masyarakat.

Permukiman merupakan kepentingan bersama semua anggota masyarakat, bukan

hanya Pemerintah. Pemerintah hanya membantu mempermudah masyarakat

memelihara permukimannya di kota. Pemerintah perlu memikirkan untuk

memberi pembinaan dan penerangan yang luas tentang peranan masyarakat dalam

pembinaan lingkungan; antara lain pembuangan sampah dan penghematan

pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk membeli dan memiliki tempat tinggal

yang layak.

Kedua, untuk membuat permukiman baru yang terjangkau oleh masyarakat

berpenghasilan rendah memerlukan beberapa kombinasi dan kebijaksanaan untuk

di satu pihak menekan biaya dan di lain pihak meningkatkan daya beli masyarakat

berpenghasilan rendah. Harga tanah semakin tinggi di daerah yang mendekati

pusat kota, maka perkampungan yang dekat pusat kota tetapi yang parah keadaan

perumahannya diremajakan dengan pembanguna flat bertingkat 4 atau maksimum

6 dengan tangga kaki.

Menurut Panudju (2009) dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah,

masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas

utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan

kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

12

sehari-hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status

pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun

kualitas rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah

tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan

hidupnya.

Begitu juga Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) yang mengungkapkan bahwa

rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah : (Hutapea, 2012)

1. dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan

pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal

2. kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat

menyelenggarakan kehidupan

3. hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak

penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara

berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas

2.2. Permukiman Kumuh

2.2.1. Pengertian Permukiman

Permukiman ialah sebagai suatu tempat bermukim manusia yang

menunjukkan suatu tujuan tertentu. Permukiman sudah seharusnya memberikan

kenyamanan kepada penghuninya (termasuk orang yang datang ke tempat

tersebut). Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari terjemahan

kata human settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim.

Universitas Sumatera Utara

13

Terlihat jelas bahwa kata permukiman mengandung unsur dimensi waktu dalam

prosesnya (Suparno dan Marlina, 2005).

Pengertian permukiman menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Pasal 1

tentang perumahan dan kawasan permukiman, permukiman adalah bagian dari

lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang

mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang

kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan.

Rumah adalah suatu bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan

kehidupannya. Menurut Sarwono dkk dalam Budihardjo (2009) perumahan

merupakan sekelompok rumah. Setiap perumahan memiliki sistem nilai serta

kebiassan sendiri yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut berbeda

antara satu perumahan dengan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan

masyarakat setempat. Menurut Rapoport (1969) rumah adalah suatu bentuk

fenomena budaya dan pengaturannya sangat dipengaruhi oleh budaya

lingkungannya.

Hierarki kebutuhan menurut Maslow terlihat dalam gambar 2.1. menunjukkan

tingkat intensitas dan arti penting dari kebutuhan dasar manusia. Pada tingkat

terbawah, rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan

binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani.

Pada tingkat di atasnya, rumah harus bisa menciptakan rasa aman sebagai tempat

menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga dan

menjamin hak pribadi (Budihardjo, 1987).

Universitas Sumatera Utara

14

Gambar 2.1. Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow (Sumber : Budihardjo, 1987)

Menurut Doxiadis (1971) dalam Ahyat (2012) permukiman adalah paduan

antara unsur alam, manusia dengan masyarakatnya, dan unsur buatan berupa

naungan dan networking. Menurut Turner (1972) dalam Batudoka (2005) rumah

adalah bagian yang utuh dari permukiman, dan bukan hasil fisik sekaligus tetapi

merupakan sebuah proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas

ekonomi penghuninya dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, yang

terpenting dari rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud dan

standar fisiknya.

Buku yang berjudul An Introduction to the Science of Human Settlements

(1969) oleh dalam Hutapea (2012) Doxiadis menyebutkan bahwa mempelajari

tentang kawasan perumahan permukiman tidak hanya mempelajari area terbangun

dan area terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan tersebut. Oleh karenanya

dalam mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya, kita harus

Universitas Sumatera Utara

15

mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan di sekitar luar

kawasan tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan

kawasan tersebut dengan kawasan lainnya, karena aktifitas di sekitar kawasan

permukiman juga sangat mempengaruhi fungsi dari permukiman.

2.2.2. Pengertian Permukiman Kumuh

Menurut Yudohusodo (1991) permukiman kumuh adalah suatu kawasan

dengan bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola (misalnya letak rumah

dan jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan

sarana air bersih, MCK) bentuk fisiknya yang tidak layak misalnya secara reguler

tiap tahun kebanjiran. Keberadaan kawasan permukiman kumuh diperkotaan

dapat menjadi masalah serius bagi masyarakat maupun pemerintah, baik ditinjau

dari aspek keruangan, estetika, lingkungan dan sosial.

Lingkungan permukiman kumuh menurut Komarudin (1997) didefinisikan

sebagai lingkungan permukiman yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per

Ha), kondisi sosial ekonomi rendah, jumlah rumah yang sangat padat dan

ukurannya dibawah standar, prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak

memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, dibangun di atas tanah negara atau

tanah milik orang lain, dan diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh

menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menemukan permukiman

kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya

yang sub standar; penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani

Universitas Sumatera Utara

16

berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang

berkepentingan) (Titisari dan Kurniawan, 1999 dalam Hutapea, 2012).

Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak

layak huni. Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain berada pada lahan yang tidak

sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam

luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, serta

kualitas bangunan yang sangat rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang

memadai dan membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghidupan

penghuninya (Budihardjo, 1987).

Permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas.

Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang

telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial

ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang

layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya

benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada

umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk

yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti

halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang

terbuka/rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan (Masrun, 2009

dalam Hutapea, 2012).

Lingkungan permukiman kumuh, secara estimologis dapat dibedakan

menjadi dua yaitu slum dan squatter. Pengertian dari keduanya adalah :

(Budihardjo, 1997 dalam Sulaiman, 2005)

Universitas Sumatera Utara

17

a. slum yaitu kawasan kumuh tetapi sah sebagai sebagai daerah permukiman

b. squatter yaitu permukiman kumuh liar, yang menenempati lahan tidak

ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya di sepanjang rel KA, pinggir

sungai, pembuangan sampah dan sebagainya

2.2.3. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh

Tumbuhnya permukiman kumuh merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi

yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari

nafkah. Hidup di kota sebagai warga dengan mata pencaharian terbanyak pada

sektor informal. Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada

urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu ke kota lainnya.

Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana mereka tinggal, sudah terbatas,

bahkan kondisi desapun tidak dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus

bertambah, sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu

menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya

pemanfaatan ruang yang tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan

kualitas lingkungan bahkan kawasan permukiman, terutama di daerah perkotaan

yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan industri, kawasan bisnis,

kawasan pesisir dan pantai yang dihuni oleh keluarga para nelayan, serta di

bantaran sungai, dan bantaran rel kereta api (Marwati, 2004 dalam Mulia, 2011).

Menurut Komarudin (1997) penyebab utama lingkungan kumuh antara lain :

1. urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah

Universitas Sumatera Utara

18

2. sulitnya mencari pekerjaan

3. sulitnya mencicil atau menyewa rumah

4. kurang tegasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan

5. program perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik

rumah (misalnya tarif sewa rumah makin tinggi)

6. disiplin warga yang rendah

Penyebab adanya permukiman kumuh menurut Nawagamuwa dan Viking (2003)

dalam Hutapea (2012) adalah :

1. karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak

terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat

2. karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak

tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi,

sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh

ialah permukiman yang kondisi lingkungannya tidak layak untuk dihuni dan

lokasinya yang berada di lahan milik negara (berstatus ilegal). Penyebab

timbulnya permukiman kumuh menurut para ahli diantaranya disebabkan oleh

tingkat pertumbuhan dan perpindahan penduduk, masyarakat berpenghasilan

rendah, serta tingginya harga tanah dan kurangnya lahan untuk permukiman.

Menurut Doxiadis (1968) dalam Hutapea (2012) disebutkan bahwa pertumbuhan

permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

Universitas Sumatera Utara

19

growth of density (pertambahan penduduk), dengan adanya pertambahan

jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah

keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin

menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin

bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang

menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman

urbanization (urbanisasi), dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan

menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota.

Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang

membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di

permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan

pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota

2.2.4. Karakteristik Permukiman Kumuh

Menurut Kuswartojo dkk (2005) permukiman kumuh yaitu permukiman

yang padat, kualitas konstruksi rendah, prasarana, dan pelayanan permukiman

minim adalah pengejawantahan kemiskinan. Meskipun ada pengecualian dan

keadaan khusus, pada umumnya kita sepakat kalau kita memformulakan bahwa di

permukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal. Ini terutama kita jumpai di

kawasan perkotaan.

Karakteristik permukiman kumuh menurut Silas (1996) dalam Hutapea (2012)

adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

20

keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6

m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena

tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada,

maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya

permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat

mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas

keterjangkauan) baik membeli atau menyewa

manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga

murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi

Menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) ciri-ciri kampung/permukiman

kumuh terdiri dari :

1. penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan

menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80

jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang

dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan

perlindungan terhadap penyakit

2. jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya,

kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang

sudah bersinggungan satu sama lain

3. fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan

tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan

tergenang oleh air

Universitas Sumatera Utara

21

4. fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya

yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah

5. fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur

dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan

6. tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak

permanen dan malahan banyak sangat darurat

7. pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih

merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa

Menurut Turner (1976) dalam Mulyati (2008) permukiman Spontan

merupakan salah satu alternatif pemecahan yang mereka lakukan yaitu

permukiman yang tidak teratur, tidak legal baik tanah, rumah, atau keduanya.

Biasanya merupakan rumah gubuk dengan fasilitas yang tidak memadai tata letak

fisiknya, ciri pemilikannya atau lokasinya.

Gambaran lingkungan kumuh menurut Komarudin (1997) yaitu lingkungan

permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas

rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, rumah hanya sekedar tempat

berlindung dari panas dan hujan, hunian bersifat sementara dan dibangun di atas

tanah yang bukan milik penghuni, lingkungan dan tata permukimannya tidak

teratur tanpa perencanaan, prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan,

listrik, jalan lingkungan, fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai

pengobatan), mata pencaharian tidak tetap dan usaha non-formal, serta pendidikan

masyarakat rendah.

Universitas Sumatera Utara

22

Menurut Yudohusodo (1991) dalam bukunya yang berjudul Rumah Untuk

Seluruh Rakyat, perumahan liar tumbuhnya agak jauh dari jalan kendaraan, di

pinggir-pinggir sungai dan bantaran sungai, di sepanjang jalan kereta api, di

sekitar pasar dan stasiun kereta api, dan di daerah rendah yang sering kebanjiran.

Daerah-daerah tersebut pada umumnya adalah berupa tanah yang belum

dipergunakan, ditinggalkan atau yang tidak diawasi oleh pemegang haknya.

Penghuninya merupakan pendatang dari pedesaan dan kota-kota lainnya,

berpenghasilan rendah bahkan sangat rendah. Mereka tinggal di gubuk-gubuk dari

bahan-bahan yang tidak tahan lama dan bahan-bahan bekas, tetapi kadang-kadang

terdapat pula bangunan permanen yang cukup baik. Lingkungan permukiman

kumuh mempunyai karakteristikk sebagai berikut :

kondisi fisik lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan

kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas dan

utilitas lingkungan. Walaupun ada, kondisinya sangat buruk dan disamping

itu, tata letak bangunan tidak teratur.

kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang

digunakan adalah bahan bangunan yang bersifat semi permanen.

kepadatan bangunan dengan KDB yang lebih besar dari yang diijinkan,

dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (lebih dari 500 jiwa per ha)

fungsi-fungsi kota yang bercampur dan tidak beraturan

Siswono (1991) dalam Sulaiman (2005) membagi lingkungan kumuh dalam lima

kelompok :

Universitas Sumatera Utara

23

1. berada pada lokasi yang sangat strategis dalam mendukung fungsi kota yang

menurut rencana kota dapat dibangun untuk komersial atau pelayanan

masyarakat kota yang baik

2. lokasinya yang kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan memberi

pelayanan kepada masyarakat kota. Meskipun dalam rencana kota untuk

dijadikan kawasan komersial namun kurang memiliki potensi

3. lokasinya kurang strategis dan menurut rencana kota hanya boleh dibangun

untuk perumahan

4. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang menurut rencana kota tidak

diperuntukkan bagi perumahan

5. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang berbahaya, yang menurut

rencana kota disediakan untuk jalur pengaman, seperti bantaran sungai, jalur

jalan kereta api dan jalur tegangan listrik

2.3. Garis Sempadan Rel Kereta Api

Penyediaan RTH (Jalur Hijau) pada garis sempadan jalan rel kereta api

merupakan RTH yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara

kegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut

perlu dengan tegas menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan

perkotaan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang

penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan).

Universitas Sumatera Utara

24

Tabel 2.1. Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api (Sumber : Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008)

2.4. Penggunaan Tanah Negara Untuk Hunian

Di daerah perkotaan, tidak tersedianya perumahan yang cukup

mengakibatkan tumbuhnya slums dan semi slums yang pada gilirannya

menimbulkan berbagai masalah sosio ekonomis. Di samping itu padatnya

penduduk di kota akan mengakibatkan semakin kurang memadainya fasilitas

permukiman seperti jalan dan prasarana lainnya. Salah satu masalah utama yang

menghambat pembangunan perumahan di daerah perkotaan ialah kurang

tersedianya tanah yang siap dibangun dan terus menigkatnya harga tanah serta

kesulitan-kesulitan dalam proses pembebasan tanah untuk perumahan.

Kebijksanaan mengenai tata guna tanah di daerah perkotaan (urban and policy)

masih belum didukung oleh peraturan perundangan yang memadai (Cosmas

dalam Budihardjo, 2009).

Lahan publik merupakan aset yang dimiliki oleh populasi kota dan

hendaknya dimanfaatkan oleh populasi tersebut. Sayangnya saat ini lahan yang

Jalan Rel Kereta Api

terletak di :

Obyek

Tanaman Bangunan

a. Jalan rel kereta api

lurus > 11 m > 20 m

b. Jalan rel kereta api

belokan/lengkungan

- Lengkung dalam

- Lengkung luar

> 23 m

> 11 m

> 23 m

> 11 m

Universitas Sumatera Utara

25

dimiliki pemerintah cenderung dilihat sebagai komoditas yang dapat dipasarkan

tinimbang sebagai lahan untuk kepentingan bersama, sehingga penjualan atau

penyewaan seringkali diberikan kepada penawar tertinggi untuk pusat

perbelanjaan, lahan parkir, hotel mewah dan lapangan golf, alih-alih taman kota,

sekolah, taman bermain, pasar rakyat, dan perumahan murah yang sangat

diperlukan oleh kota-kota kita (Sumarwanto, 2014).

Salah satu cara jitu mengurangi biaya lahan untuk perumahan bagi kalangan

berpenghasilan rendah adalah menggunakan lahan publik, yang dapat disewakan

oleh badan pemerintah yang memilikinya, atau ditetapkan sebagai lahan berhak

guna bagi perumahan komunitas berpenghasilan rendah. Ini dapat direncanakan

dan dibangun dengan berbagai strategi maupun bentuk kemitraan (Thomas

A.Keer-AHCR, 2009) dalam Sumarwanto (2014).

2.5. Bentuk Pola Permukiman Kumuh di Indonesia

Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung merupakan salah satu

elemen pembentuk kota. Secara fisik, kondisi kampung di kota-kota besar saat ini

pada umumnya sangat buruk. Hal ini terutama dipicu karena masalah kepadatan.

Tingginya angka kepadatan penduduk di kampung-kampung di perkotaan

membawa berbagai dampak negatif bagi kondisi kampung tersebut, yaitu :

(Suparno dan Marlina, 2005)

1. kehidupan sosial yang tidak teratur

2. tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah

3. kurangnya infrastruktur

Universitas Sumatera Utara

26

4. tataguna lahan yang tidak teratur

5. kondisi rumah yang kurang sehat

Permukiman mempunyai berbagai pola yang umum terjadi akibat berbagai faktor

yang mempengaruhi, antara lain: (Ahyat, 2012)

sub kelompok komunitas, pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri

dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang

penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya

(Gambar 2.2.)

Gambar 2.2. Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas (Sumber : Ahyat, 2012)

face to face, pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian

sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas

yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya

(Gambar 2.3.)

Universitas Sumatera Utara

27

Gambar 2.3. Pola Permukiman Face to face (Sumber : Ahyat, 2012)

2.6. Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh

Program pemerintah dalam penanganan permukiman kumuh telah dimulai

sejak tahun 1969 melalui Program Perbaikan Kampung (Kampoeng Improvement

Program/KIP) dan berakhir tahun 1989. Kemudian dilanjutkan dengan

Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok (P2BPK) sepanjang periode

1989-2000. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan KIP Komprehensif (1998-

2002) yang telah mengadopsi aspek modal manusia dan modal sosial. Program

sejenis juga dilaksanakan dengan menambahkan aspek modal ekonomi yaitu

Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada tahun 1999, dan

Community-Based Initiatives for Housing and Local Development (COBILD)

(2000-2003). Pada tahun 2004 diluncurkan Neighborhood Upgrading and Shelter

Sector Project (NUSSP) yang mengadopsi aspek fisik, sosial, manusiadan

ekonomi, dan kegiatan Urban Renewal yang fokus pada aspek fisik berupa

pembangunan rumah susun, peremajaan kawasan dan penataan lingkungan.

Kegiatan terbaru yang dicanangkan oleh presiden pada tahun 2011 adalah

Universitas Sumatera Utara

28

program Pro Rakyat Klaster IV yang berfokus pada penataan kawasan kumuh

(Mungkasa, 2012).

Terlihat pada era tahun 2000, program yang dilaksanakan terbagi dalam 2

(dua) kategori yaitu yang bersifat menyeluruh dan fokus aspek fisik saja. Selain

itu, perubahan yang terjadi tidak terlihat benang merahnya, kemungkinan karena

kegiatan yang bersifat proyek dan tidak didukung oleh ketersediaan payung

kebijakan penanganan permukiman kumuh (Mungkasa, 2012).

Sementara Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 meluncurkan

kegiatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan,

ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana, Sarana dan

Utilitas (PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan

kegiatan bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan

stimulan peningkatan kualitas (PK) dan pembangunan baru (PB) bagi rumah

tangga kumuh, kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa),

dan disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan

Perumahan (FLPP) (Mungkasa, 2012).

Pada prinsipnya KIP (Kampoeng Improvement Program) bertujuan untuk

memperbaiki kondisi lingkungan secara menyeluruh. KIP ini dikembangkan

dengan 3 program, yaitu : (Suparno dan Marlina, 2005)

1. program perbaikan lingkungan (bina lingkungan)

2. program pengembangan manusia (bina manusia)

3. program pengembangan ekonomi (bina usaha)

Universitas Sumatera Utara

29

Berdasarkan tujuan KIP, contoh –contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada KIP

adalah sebagai berikut : (Suparno dan Marlina, 2005)

1. perbaikan jalan masuk ke lingkungan

2. perbaikan jalan untuk pejalan kaki

3. perbaikan saluran drainase

4. perbaikan saluran pembuangan

5. penyediaan air bersih

6. penyediaan MCK

7. pengadaan fasilitas sosial sebagai tambahan (misal fasilitas kesehatan, dll)

8. penyuluhan kesehatan kepada warga

Secara keseluruhan, program-program yang dilaksanakan tidak sepenuhnya

dapat membantu usaha penataan dan perbaikan permukiman kumuh. Poerbo

dalam Komarudin (1997) berpendapat program-program yang dijalankan

pemerintah masih cenderung bersifat top down, serta kurang mampu menggali

aspirasi dan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Selain itu, banyaknya proyek

peremajaan permukiman kumuh yang tidak didahului oleh survei sosial

merupakan penyebab lainnya. Karakteristik masyarakat yang perlu dikenali,

antara lain : aspek sosial, sumber daya manusia, ekonomi (mata pencaharian),

alam, dan fisik seperti kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan lain sebagainya

(Lestari, 2006).

Universitas Sumatera Utara

30

2.7. Diagram Kepustakaan

Gambar 2.4. Diagram Kepustakaan

Permukiman Kumuh

Doxiadis, 1968; Yudohusodo, 1991; Silas, 1996; Komarudin, 1997;

Budihardjo, 1997; Kuswartojo, 2005

Permukiman

Rapoport, 1969; Doxiadis, 1969 & 1971; Turner, 1972; Budihardjo, 1987; Suparno

dan Marlina, 2005; Budihardjo, 2009

Budaya Bermukim

Rapoport 1969

Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Turner 1968; Budihardjo, 1987; Santoso, 2002; Panudju, 2009

Daya Beli

Yudohusodo 1991; Komarudin 1997

Permukiman Di Pinggiran Rel

Kereta Api

Universitas Sumatera Utara

31

2.8. Studi Kasus Sejenis

2.8.1. Kajian Luas Rumah Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Rendah di

Kawasan Pusat Kota, Ahda Mulyati, 2008

Permukiman masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kampung, yang

umumnya terletak di sekitar pusat kota, mempunyai kepadatan tinggi tanpa

halaman yang cukup, serta prasarana fisik lingkungan yang kurang memadai.

Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang, pangan dan

kesehatan, dan berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat bermukim, sebagai proses

yang berlanjut, sebagai shelter, mesin kehidupan, tempat bercengkerama,

menjamu sahabat, mendidik anak, bekerja dan berprestasi, sebagai aset dan modal

kehidupan. Karena keterbatasan lahan, ruang terbuka merupakan ruang yang

paling dominan dipergunakan untuk segala aktivitas. Hasil penelitian

menunjukkan : Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik sebagai ruang multi

fungsi merupakan ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatan-

kegiatan dalam menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena

ruang-ruang adalah milik bersama; karena keterbatasan lahan, rumah tinggal

dibangun sesuai dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa

mempertimbangkan faktor keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan

lingkungan permukiman yang layak untuk hunian; luasan rumah tinggal masih

bervariasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni.

Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik yang multi fungsi merupakan

ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang

menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena ruang-ruang

Universitas Sumatera Utara

32

adalah milik bersama. Karena keterbatasan lahan, rumah tinggal dibangun sesuai

dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa mempertimbangkan faktor

keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan lingkungan permukiman yang

layak untuk hunia. Luasan rumah tinggal masih bervariasi sesuai dengan

kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni.

2.8.2. Dampak Urbanisasi Terhadap Permukiman Kumuh (Slum Area) di

Daerah Perkotaan, Waston Malau, 2013

Urbanisasi menyebabkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah

perkotaan sehingga menimbulkan beragam permasalahan, salah satu diantaranya

adalah semakin banyaknya permukiman kumuh (slum area) pada lahan-lahan

kosong di daerah perkotaan seperti bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman

kota, maupun di bawah jalan layang. Penghuni permukiman kumuh (daerah slum)

adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin

mengubah nasib. Mereka umumnya tidak memiliki keahlian dan jenjang

pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di perkotaan. Mereka

hanya bisa memasuki sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga

tidak mampu mendiami perumahan yang layak.

Angka kelahiran dan urbanisasi merupakan dua faktor utama yang

menyebabkan pertambahan penduduk yang pesat di daerah perkotaan.

Pertambahan penduduk yang pesat ini mengakibatkan terjadinya sejumlah

permasalahan di daerah perkotaan, salah satu diantaranya adalah munculnya

permukiman kumuh atau daerah slum (slum area) yaitu daerah yang sifatnya

kumuh dan tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Penghuni

Universitas Sumatera Utara

33

permukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari

desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib. Mereka tidak memiliki

keahlian dan jenjang pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di

daerah perkotaan, sehingga akhirnya memasuki sektor informal. Akibatnya

mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki

penghasilan yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi

dikota.

Universitas Sumatera Utara