32
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini. Handayani (2003) menulis tesis berjudul Wacana Kayob dalam Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna. Masyarakat Biak di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob, antara lain untuk memenuhi adat istiadat dan penerusan tradisi. Hasil penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, …erepo.unud.ac.id/11746/3/ffd5e2fce9da31cc4e06629d98dee476.pdf · Kawendo pada Masyarakat Adat Weweha di Pulau Sumba: ... kecamatan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura kajian pragmatik dipilih

sebagai topik dalam penelitian ini karena sejauh ini belum ditemukan penelitian

lain yang menggunakan bahasa Madura (BMd) pada tataran pragmatik. Oleh

karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah

dalam ritual atau upacara pernikahan yang tentunya akan banyak membantu

penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini akan memberikan gambaran bahwa apa yang

dibahas dalam penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian yang sudah

ada. Penjelasan hasil penelitian dipaparkan secara ringkas berikut ini.

Handayani (2003) menulis tesis berjudul “Wacana Kayob dalam

Masyarakat Biak: Aanalisis Bentuk, Fungsi, dan Makna”. Masyarakat Biak di

Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua memiliki ragam sastra lisan yang

berhubungan dengan ritual kematian, yaitu kayob. Penggunaan kayob dalam ritual

kematian mengalami pergeseran dengan masuknya pengaruh agama Kristen

Protestan. Kayob memiliki bentuk, fungsi, dan makna sehingga kayob

menempatkan dua dimensi, yaitu waktu lampau dan waktu kini. Dalam dimensi

lampau, tuturan kayob bersifat sangat sakral dan wajib dilaksanakan. Tujuan

tuturan kayob untuk menghormati arwah jenazah dan arwah para leluhur. Dimensi

waktu kini menempatkan kayob sebagai warisan budaya. Tujuan tuturan kayob,

antara lain untuk memenuhi adat istiadat dan penerusan tradisi. Hasil penelitian

Handayani menunjukkan bahwa bentuk kayob memiliki beberapa ciri, yakni

terdapat pola-pola formula dalam baris-baris kayob, jenis-jenis formula tersebut

adalah formula satu baris, setengah baris, dan satu kata. Ia juga mendeskripsikan

bahwa dalam wacana kayob yang ditelitinya ditemukan adanya tema, gaya bahasa,

dan estetika bunyi kayob. Fungsi yang terdapat dalam kayob meliputi fungsi

religius, fungsi sosiologis, fungsi ekonomis, dan fungsi apresiatif reflektif.

Analisis makna dalam syair kayob memiliki makna kepercayaan, makna sosial,

dan makna didaktis. Penelitian tersebut belum lengkap karena tidak dibahas secara

tuntas terutama nilai-nilai yang tercermin di balik wacana tersebut. Hal tersebut

perlu tinjauan lagi karena penelitian tersebut hanya memberikan deskripsi bentuk,

fungsi, dan makna.

Netra (2005) menyusun tesis berjudul “Eksplikasi Makna Ilokusional

Tuturan Upacara Memadik di Denpasar: Sebuah Kajian Metabahasa Semantik

Alami (MSA)”. Aspek yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah jenis tindak

tutur, makna ilokusional, dan eksplikasi makna ilokusional dengan teori tindak

tutur dan MSA. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan

bahwa tuturan upacara memadik di Denpasar dibangun oleh jenis tindak tutur dan

cultural scripts. Jenis tindak tutur yang ditemukan adalah (1) TT langsung (TL),

(2) TT tidak langsung (TTL), (3) TT literal (TLit), (4) TT tidak literal (TTLit), (5)

TT langsung literal (TLLit), (6) TT tidak langsung literal (TTLLit), (7) TT

langsung tidak literal (TLTLit), dan (8) TT tidak langsung tidak literal (TTLTLit).

Tuturan juga dibangun oleh cultural scripts pada tataran leksikon dan tata bahasa

(tag) yang dibangun oleh tipe predikat mental dengan makna asali

MEMIKIRKAN, MENGETAHUI, MERASAKAN, MENGINGINKAN,

MELIHAT, dan MENDENGAR. Di pihak lain tipe tindakan dibangun oleh

MELAKUKAN dan MENGATAKAN. Penelitian tersebut perlu kelanjutan

karena sejauh ini belum dikaji ideologi tuturan upacara memadik di Denpasar.

Namun, hasil penelitian tersebut memberikan hal yang sangat bermanfaat bagi

peneliti, terutama dalam menganalisis tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang

dibahas dalam penelitian tersebut. Walaupun objek penelitian tersebut berbeda

dengan objek yang dikaji oleh peneliti, penelitian tersebut dapat dijadikan kajian

pustaka yang memberikan sumbangan bagi peneliti untuk dijadikan bahan

pembanding.

Sastriadi (2006) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Tawur pada

Masyarakat Dayak Kaharingan di Kalimantan Tengah: Sebuah Kajian Wacana”.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa TRT memiliki sejumlah dimensi

struktur tekstual pada tataran superstruktur, yaitu struktur makro dan struktur

mikro. Pada tataran struktur makro TRT mengandung tema tentang permohonan

kepada roh beras untuk menyampaikan permohonan manusia kepada sahur

parapah „dewa‟. Pada tataran struktur mikro TRT ditemukan adanya paralelisme

leksikogramatikal pada unsur perangkat diad yang berpasangan berjumlah

maksimal sepuluh kata dalam klausa dan terdapat perangkat diad tunggal (tidak

memiliki pasangan). Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam TRT yang ditelitinya

ditemukan adanya makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna yang

berkenaan dengan ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan

manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Penelitian

tersebut belum mengkaji konteks situasi, seperti medan, pelibat, sarana, konteks

budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang tercermin dari TRT tersebut

sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi kesempurnaan. Akan

tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat bagi peneliti dalam hal

mengetahui struktur teks ritual TRT.

Sutama (2010) menyusun disertasi berjudul “Teks Ritual „Pawiwahan‟

Masyarakat Adat Bali: Analisis Linguistik Sistemik Fungsional”. Ia mengkaji

keseluruhan bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan

awal antara keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin

perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan). Struktur dikaji

secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa bagian yang satu dengan

yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu yang lama. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan masyarakat adat Bali memiliki

sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya yang berkaitan dengan adat tradisi, (b)

struktur makro yang berkaitan dengan konteks sosial, (c) struktur mikro yang

berkaitan dengan alur pesan dan informasi, dan (d) struktur makna. Ia juga

mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya

sistem mood, transitivitas, dan tema-rema. Penelitian tersebut memberikan

kontribusi kepada peneliti dalam hal mengetahui struktur ritual „pawiwahan‟

masyarakat adat Bali sehingga dapat dijadikan pembanding dan rujukan.

Lanny (2013) menulis tesis berjudul “Tuturan Ritual Kelahiran Orang Boti

di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur: Kajian Linguistik Kebudayaan”. Suku

Boti menganut agama yang disebut Halaika. Hasil penelitian Lanny menunjukkan

bahwa tuturan kelahiran orang Boti memiliki tujuh tahapan ritual, yaitu Onen toit

li‟ana, Na‟aup, Lef usaf, Onen na‟po li ana usan, Kanaf, Tapoitan li‟ana, Eu‟nak

funu. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam tuturan kelahiran orang Boti yang

ditelitinya ditemukan adanya (a) gaya bahasa, (b) fungi, (c) makna, dan (d) nilai.

Gaya bahasa meliputi metafora dan paralelisme. Fungsi meliputi fungsi magis,

fungsi emotif, dan fungsi konatif. Makna meliputi makna didaktis, makna religi,

dan makna sosiologis. Nilai meliputi nilai pendidikan, nilai hidup, dan nilai

budaya. Penelitian tersebut tidak membahas konteks situasi seperti medan (field),

pelibat (tenor), sarana (mode), dan konteks ideologi yang tercermin di balik

tuturan ritual kelahiran orang Boti sehingga masih dibutuhkan kelanjutan kajian

agar terjadi kesempurnaan. Akan tetapi, penelitian tersebut memberikan manfaat

bagi peneliti dalam hal mengetahui tahapan tuturan ritual kelahiran orang Boti.

Magdalena (2013) menulis disertasi berjudul “Teks Kette Katonga Weri

Kawendo pada Masyarakat Adat Weweha di Pulau Sumba: Analisis Linguistik

Sistemik Fungsional”. Data lisan diperoleh melalui metode observasi dan

wawancara dengan teknik perekaman empat acara KKWK pada masyarakat adat

Weweha di dua kecamatan dan di Kabupaten Sumba Barat Daya. Data dianalisis

dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif tepatnya metode padan. Hasil

analisis disajikan dalam bentuk formal, informal, dan gabungan dari keduanya.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa leksikogramatika teks dalam

KKWK mencakup transitivitas, modus, dan tema. Transitivitas memiliki tiga

unsur pokok, yaitu (a) partisipan direalisasikan oleh kelompok nomina dan

pronomina persona, (b) sirkumstan seperti waktu, (3) proses material, proses

verbal, proses relasional, proses wujud, proses mental, dan perilaku. Modus

meliputi indikatif dan imperatif. Di pihak lain tema meliputi topik, interpersonal,

dan tekstual. KKWK juga memiliki konteks situasi yang meliputi medan, pelibat,

dan sarana. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya

ditemukan adanya ideologi teks yang mencerminkan nilai-nilai penghormatan,

persatuan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesepakatan. Dalam penelitian tersebut

permasalahan dibahas secara lengkap. Penelitian tersebut memberikan kontribusi

bagi peneliti dalam hal menentukan ideologi sehingga dapat dijadikan rujukan dan

pembanding.

Suwendi (2013) menyusun tesis berjudul “Wacana Ritual Caru Eka Sata

Ayam Brumbun: Sebuah Analisis Linguistik Kebudayaan”. Ritual caru eka sata

ayam brumbun termasuk ritual bhuta yadnya. Caru ini menggunakan seekor ayam

brumbun sebagai sarana persembahan. Teks wacana ritual CES AB disusun dalam

bahasa Bali Kawi, yakni bahasa Bali yang banyak menyerap kosakata dan afiks

bahasa Jawa Kuno (Kawi). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa CES AB

memiliki beberapa struktur, seperti struktur skematik teks yang meliputi tiga

bagian, yaitu (a) bagian pendahuluan yang terdiri atas teks durmanggala, teks

biakaon, teks prayascita, dan teks pangulapan, yang semuanya disebut

pangresikan; (b) bagian isi yang merupakan bagian utama teks, yang juga disebut

inti caru; (c) bagian penutup yang disebut panyineb puja. Ia juga mendeskripsikan

bahwa dalam teks wacana ritual CES AB yang ditelitinya ditemukan beberapa

fungsi dan nilai, yaitu (1) fungsi magis yang mencerminkan adanya kekuatan

positif para dewa dan kekuatan negatif para bhuta kala, (2) fungsi informatif, dan

(3) fungsi emotif. Di pihak lain nilai yang terkandung di dalam teks CES AB

meliputi nilai religius, nilai permohonan, nilai ekonomi, dan nilai keharmonisan.

Penelitian tersebut hanya mengkaji struktur dasar, yaitu struktur teks, fungsi, dan

nilai. Penelitian tersebut belum memberikan deskripsi konteks situasi, seperti

medan, pelibat, sarana, konteks budaya atau tradisi, dan konteks ideologi yang

tercermin di balik CES AB.

2.2 Konsep

Ada beberapa konsep operasional yang dipaparkan berdasarkan objek

dalam penelitian ini. Konsep dipaparkan dengan tujuan dapat menyatukan

persepsi untuk memberikan kemudahan dan gambaran yang jelas tentang arah

penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kridalaksana (2008:132) bahwa

konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau bahasa yang memerlukan

penggunaan akal budi untuk memahaminya.

2.2.1 Tuturan Upacara Pernikahan

Tuturan merupakan penggunaan bahasa yang dianggap sebagai alat

komunikasi yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu sehingga dapat

dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang berhubungan dengan

komponen fisik dan psikologis bahasa itu sendiri. Hal ini merupakan kebebasan

untuk melakukan interpretasi dari apa yang akan dikatakannya, seperti tuturan

upacara pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Madura di Desa Kalidandan,

Pakuniran, Probolinggo. Tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo memiliki beberapa tahapan, yaitu tahapan

peminangan (bekalan), prapernikahan, pernikahan, dan pascapernikahan.

Penggunaan tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengacu pada peristiwa tutur

tertentu. Dengan demikian, dipandang sebagai esensi penggunaan bahasa yang

berhubungan dengan komponen fisik dan psikologis.

Tuturan diartikan sebagai ekspresi bahasa yang digunakan oleh penuturnya

dalam konteks tertentu, sedangkan kalimat merupakan ekspresi bahasa yang

digunakan oleh penuturnya yang tidak terikat konteks tertentu. Artinya, tuturan

mencari maksud, sedangkan kalimat mencari makna (Matthew, 1997:393). Van

Dijk (1943:1) mengatakan sebagai berikut.

speech acts usually do not come alone. They may occur in ordered

sequences of speech acts accomplished by one speaker or by

subsequent speaker, e.g. in the course of a vonversation. Much in

the same way as sentences may occur in sequences which should

satisfy a number of constraints, e.g. those of semantic coherence, in

order to be acceptable as discourse, we should expect that speech

act sequences are not arbitrary. They must also satisfy a number of

constraints. One of the obvious tasks for an extension of a theory of

speech acts within linguistic pragmatics. Then, is the formulation

of these constraints.

Tuturan biasanya tidak hadir sendirian. Tuturan dapat terjadi dalam urutan

pesan yang disempurnakan oleh penutur dan petutur berikutnya dalam rangkaian

percakapan. Banyak cara dalam sebuah kalimat yang dapat terjadi secara

berurutan dan dapat memenuhi angka ketidakleluasaan, seperti dalam semantik

sebagai wacana yang menghasilkan tindak tutur yang berurutan dan tidak

berubah-ubah.

2.2.2 Konteks dalam Pragmatik

Sebelum dijelaskan makna tindak tutur, dipandang perlu dipahami makna

semantik dan pragmatik. Dalam kaitannya dengan penelitian ini Leech (1983:5--

6) memaparkan makna sebagai berikut.

semantics and pragmatics in practice, the problem of distinguishing

„language‟ (langue) and „language use‟ (parole) has centred on a

boundary dispute between semantics and pragmatics. Both fields are

concerned with meaning, but the difference between them can be

traced to two different users of the verb to mean:

[1] what does X mean? [2] what did you mean by X?

Semantics traditionally deals with meaning as a dyadic relation, as

in

[1], while pragmatics deals with meaning as a triadic relation. As in

[2], thus meaning in pragmatics as defined relative to a speaker or

user of the language. Whereas meaning in semantics is defined

purely as a property of expression in a given language, in

abstraction from particular situation, speakers, or hearer.

Berdasarkan paparan Leech di atas, dapat dipahami bahwa pragmatik

mempunyai kaitan yang erat dengan semantik. Semantik memperlakukan makna

sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi „diadik‟ seperti pada „apa

maksudnya X‟. Di pihak lain pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu

hubungan yang melibatkan tiga segi „triadik‟ seperti pada „apa maksudnya dengan

X‟. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberikan definisi dalam

hubungannya dengan penutur atau pengguna bahasa. Di pihak lain dalam

semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam

suatu bahasa tertentu, artinya terpisah dari situasi penutur dan lawan tuturnya.

Kiefer (1980:9) menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way

in which the interpretation of syntactically defined expressions depends on the

particular conditions of their use in context. Artinya, pragmatik berkaitan dengan

interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu. Cara

menginterpretasikan ungkapan tersebut bergantung pada kondisi-kondisi khusus

penggunaan ungkapan tersebut dalam konteks.

Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatics is the study of those

relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in

the structure of language. Artinya, pragmatik merupakan kajian hubungan antara

bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi dalam struktur

bahasa.

Mey (1993:42) menekankan konteks dan mengatakan bahwa pragmatics is

the study of conditions of human language uses as these are determined by the

context of society. Artinya, pragmatik adalah kajian tentang kondisi penggunaan

bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya.

Parker (1986:11) mengatakan bahwa: pragmatics is the study of how

language is used for communication. Pragmatik adalah kajian tentang bagaimana

bahasa digunakan untuk berkomunikasi dan menegaskan bahwa pragmatik tidak

menelaah struktur bahasa secara internal seperti tata bahasa, tetapi menelaah

secara eksternal.

Konteks menurut Preston (1984) adalah segenap informasi yang berada di

sekitar penggunaan bahasa, bahkan termasuk juga penggunaan bahasa yang ada di

sekitarnya (yang mendahahului ataupun sesudahnya). Dengan demikian, konteks

dapat dibedakan menjadi konteks bahasa dan konteks non-bahasa. Konteks

nonbahasa dapat dibedakan menjadi (1) konteks dialektal, di antaranya meliputi

usia, jenis kelamin, dan spesialisasi (menunjuk kepada profesi), (2) konteks

diatipik meliputi setting (tempat dan jarak interaksi), topik pembicaraan dan

fungsi, (3) konteks realisasi meliputi cara dan saluran yang digunakan orang untuk

menyampaikan pesan, yaitu pesan tertulis dan lisan, sedangkan saluran berupa

telepon, telegram, ataupun bersemuka.

Suyono (1990:20) mengatakan bahwa konteks meliputi konteks fisik dan

konteks sosial psikologis. Konteks fisik, misalnya berupa tempat, waktu, dan hal-

hal fisik lain yang dapat diindra. Di pihak lain konteks sosial psikologis, misalnya

berupa hubungan antarpesan, keadaan batin para pemeran, latar belakang sosial

ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Konteks didefinisikan oleh Mey (1993:38)

sebagai berikut.

The surroundings in the widest sense that enable the participants in

the communication process to interact and that make the linguistic

expressions of their interaction intelligible.

Situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur

berkomunikasi, dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami.

Artinya, situasi yang dapat menimbulkan seseorang berujar karena situasi tersebut

tidak mendukung keadaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diinterpretasikan bahwa untuk

menyampaikan suatu maksud atau fungsi sebuah makna kepada orang lain, bukan

hanya dengan satu modus tuturan, melainkan dengan banyak modus tuturan,

bergantung pada konteks situasi di mana bahasa itu digunakan atau dituturkan.

Hymes (1972:10--14) mengemukakan unsur-unsur yang dapat membentuk

konteks, yaitu sebagai berikut.

a) The form and content of the message (bentuk dan isi pesan).

b) The setting (perangkat lingkungan khas, misalnya waktu dan tempat).

c) The intent and effect of the communication (maksud dan dampak komunikasi).

d) The key (kunci atau petunjuk).

e) The medium (perantara).

f) The genre (genre).

g) The norm of interaction (norma interaksi).

2.2.3 Ideologi Tuturan Upacara Pernikahan

Konsep ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan

suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tuturan dan tindakan. Di

samping itu, juga dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-

temurun.

Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis ideologi sangat erat

berkaitan dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna

(pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain,

bahasa mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi penggunaan

bahasa.

Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan

sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam suatu

kelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martin (1997:237) bahwa

ideologi merujuk pada posisi kekuatan dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi

sosial membawa mereka dalam keyakinan.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini dikerangkai oleh dua teori, yaitu (1) teori pragmatik dan (2)

teori bahasa, konteks, dan teks. Teori pragmatik (Leech, 1983; Wijana, 1996)

digunakan untuk menganalisis dua permasalahan. Pertama, tindak tutur yang

ditemukan dalam tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua, tindak tutur yang memperlihatkan

tindak ilokusi dalam tuturan pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan,

Pakuniran, Probolinggo. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks (Halliday,

1985) untuk menganalisis permasalahan yang ketiga, yaitu ideologi yang

tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Kedua teori ini saling melengkapi sebagai

teori utama dan teori pendukung untuk menjawab permasalahan dalam penelitian

bahasa Madura (BMd). Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan jelas

tentang kedua teori yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan secara

terperinci di bawah ini.

2.3.1 Tindak Tutur

Berkaitan dengan bahasa dan konteks penggunaannya, Austin (1962)

dalam bukunya yang berjudul How to do things with Words mengatakan bahwa

suatu ekspresi tutur dapat digunakan untuk melakukan sesuatu selain untuk

mengatakan sesuatu. Dalam hal ini lebih lanjut dia berpendapat bahwa suatu

ekspresi tutur yang secara gramatika digolongkan sebagai tuturan yang eksklamasi

atau pernyataan belum tentu digunakan untuk mengatakan pernyataan, tetapi juga

dimaksudkan untuk bertanya, memerintah, dan sejenisnya (Austin, 1962:98--99).

Jika seseorang mengatakan “saya berjanji” (I promise), dia sebenarnya

tidak hanya mengucapkan ujaran tersebut, tetapi juga melakukan tindakan

berjanji. Dia berjanji akan melakukan hal yang diujarkan (Nadar, 2009:11).

Tuturan ini disebut tuturan performatif dan kata kerja yang digunakan dalam

tuturan ini juga disebut kata kerja performatif (Austin, 1962; Searle, 1977;

Cummings, 2007; Leech, 1983; Levinson, 1983:229--232).

Cohen (2008:2) menambahkan bahwa tindak tutur sering, tetapi tidak

selalu merupakan suatu bahasa yang terpola dan bersifat rutin dari penutur asli,

penutur, dan penulis nonasli yang secara pragmatik dianggap berkompeten

walaupun dengan berbagai versi dialeknya menggunakan bahasa tersebut dengan

fungsi-fungsi bahasanya, seperti mengucapkan terima kasih, memuji, meminta,

menolak, dan mengeluh. Menurutnya, selama ini pendekatan tradisional sudah

sering digunakan dalam menganalisis tindak tutur yang dalam implementasinya

jauh dari interaksi situasional.

Terkait dengan pendapat Cohen, Searle (1977:22) juga mengatakan hal

yang senada, yaitu menggunakan suatu bahasa berarti kita terlibat dalam suatu

bentuk tindakan atau berbicara adalah melakukan suatu tindakan menurut aturan.

Ujaran seperti (a) Sam smokes habitually, (b) Does Sam smoke habitually, (c)

Sam, smoke habitually, dan (d) Would that Sam smoke habitually merupakan

empat ujaran yang berbeda menurut bentuk atau fungsinya. Ujaran (a) merupakan

suatu penegasan (assertion), (b) bertanya, (c) memberikan perintah (giving an

order), dan (d) menyatakan harapan atau keinginan.

Pendekatan baru yang diajukan oleh Kasper (2006) dalam menganalisis

tindak tutur adalah discursive pragmatics, yaitu suatu pendekatan pragmatik yang

melibatkan analisis percakapan. Pendekatan ini tidak hanya menyokong kajian

tindak tutur dalam wacana atau dalam interaksi, tetapi juga melalui wacana

dengan menggunakan pendekatan conversations analysis (CA) terhadap tindakan,

arti, dan konteks dalam mempelajari tindak tutur.

Austin (1962), Searle (1977), Leech (1983), dan (Nadar, 2011:11--12)

mengatakan bahwa ada tiga syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi agar suatu

tindakan dapat berlaku atau terlaksana. Ahli linguistik menyebutnya dengan

istilah felicity conditions. Kondisi tersebut diformulasikan menjadi tiga bagian,

yaitu seperti berikut.

1. The person and circumtances must be appropriate, yaitu adanya kesesuaian

antara pelaku dan situasi. Tuturan untuk pengantin pada saat perkawinan atau

pria dan wanita yang sedang menikah “saya nyatakan Anda berdua sebagai

suami istri” hanya dapat berlaku jika yang mengucapkan adalah seorang yang

memegang wewenang untuk mengucapkan tuturan tersebut, misalnya pendeta

atau pastor.

2. The act must be executed completely and correctly by all participants, yaitu

tindakan tersebut harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua

pelaku. “Anda betul-betul bersalah” kepada bawahannya, tetapi tidak mampu

menunjukkan kesalahnnya ataupun peraturan yang menggariskan bahwa dia

bersalah dianggap tidak valid.

3. The participants must have the appropriate intentions, yaitu pelaku harus

mempunyai maksud yang sesuai. Tuturan “Saya akan menemui Anda di kantor

pukul tiga” dianggap tidak valid jika penutur tidak bisa datang karena sudah

membuat janji dengan pihak lain.

Searle (1977:23--24) di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The

Philoshopy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya

ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak

lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act).

Leech (1983:198--199) di dalam bukunya Principles of Pragmatics juga

mengatakan hal yang senada bahwa cara yang tepat untuk mengawali suatu kajian

mengenai verba tindak tutur adalah dengan menyajikan pembagian tindak tutur,

yaitu lokusi (locutionary), ilokusi (illocutionary), dan perlokusi (perlocutionary).

Nababan (1987:4) juga membedakan tindak bahasa secara analitis yang terjadi

secara serentak menjadi tiga macam, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan

tindak perlokusi.

Levinson (1983:236) states that “but if this notion that, in uttering

sentences, one is also doing things, is to be clear, we must first

clarify in what ways in uttering a sentence one might be said to be

performing actions. Austin isolates three basic senses in which in

saying something one is doing something, and hence three kinds of

acts that are simultaneously performed: locutionary act,

illocutionary act, and perlocutionary act”.

Levinson (1983:236) menyatakan bahwa jika seseorang bertindak tutur

dalam suatu kalimat, seseorang juga melakukan sesuatu sebagai tindakan. Kita

harus menjelaskan cara yang tepat untuk mengawali suatu ujaran yang dapat

dikatakan tindakan. Austin (1962:148--149) membagi tiga pengertian dasar

mengenai tindak tutur yang disebut seseorang melakukan sesuatu. Dengan

demikian, tiga jenis tindakan yang secara bersamaan disebut, yaitu tindak lokusi,

tindak ilokusi, dan tindak perlokusi.

Posisi setiap tindak tutur ini diperjelas oleh Cohen (2008:214) dengan

memberikan contoh ujaran “Do you have a watch?” secara literal ujaran ini

menanyakan apakah seseorang memiliki sebuah jam tangan. Makna ini disebut

dengan makna sesungguhnya atau “makna proposisional”, yaitu meminta

(request). Di pihak lain ada suatu maksud oleh penutur (intended illocutionary

meaning), yaitu meminta agar lawan tutur memberi tahu penutur pukul berapa

sekarang. Hal yang menarik dari tindak tutur adalah efek yang ditimbulkan

(perlocutionary effect) atau juga disebut actual illocutionary force of speech act,

yaitu lawan tutur diminta untuk mengatakan pukul berapa sekarang.

2.3.1.1 Komponen Tindak Tutur

Secara umum tindak tutur (TT) dibagi menjadi tiga, yaitu tindak lokusi

(locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act) (Austin, 1962; Searle, 1977; Leech, 1983:199). Berdasarkan

data yang ditemukan di lapangan, maka tindak tutur (TT) dalam upacara

pernikahan masyarakat Madura di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo,

dibedakan menjadi tiga. Ketiga tindak tutur tersebut dapat diuraikan berikut ini.

1. Tindak Lokusi

Tindak lokusi merupakan tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak

tutur ini disebut sebagai the act of saying something (Wijana, 2011:21). Leech

(1983:199) menyatakan sebagai tindakan menyatakan sesuatu yang berarti bahwa

tindak tutur ini mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam suatu

ungkapan, serupa dengan hubungan “pokok” dengan “predikat” atau “topik”

dengan “penjelasan” dalam sintaksis atau subject-predicate dan topic-comment

(Nababan, 1987:18) atau propositional act (Searle, 1977:29).

2. Tindak Ilokusi

Tindak tutur ini berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan

sesuatu atau untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of

doing something (Wijana, 2011:23). Tindak ilokusi ini juga dikatakan sebagai

suatu ungkapan untuk menyatakan pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, dan

sebagainya.

Yule (1996:48) menyatakan bahwa tindak ilokusi merupakan suatu bentuk

ujaran yang mempunyai fungsi-fungsi, seperti pernyataan, penawaran, janji,

dalam mengujarkan sebuah kalimat dengan parafrasa performatif yang eksplisit.

Apabila kita membuat ujaran ilokusi atau ujaran lainnya, hal yang perlu

diperhatikan adalah adanya verba dalam ujaran tersebut atau ungkapan yang mirip

verba (Leech, 1983:202). Hal ini merupakan kunci pokok yang digunakan untuk

menentukan bentu-bentuk tindak ilokusi tersebut. Beberapa verba yang

dikelompokkan ke dalam ilokusi oleh Leech (1983:203) adalah report (melapor),

announce (mengumumkan), predict (meramalkan), admit (mengakui), opine

(berpendapat), ask (meminta), reprimand (menegur), request (memohon), suggest

(menganjurkan), order (menyuruh), propose (mengusulkan), express

(mengungkapkan), congratulate (mengucapkan selamat), promise (berjanji), thank

(mengucapkan terima kasih), dan exhort (mendesak).

Searle (1979:44) membagi TT ilokusi menjadi lima bagian, yaitu

representative, directive, commissive, expressive, dan declarative. Di pihak lain

Fraser (1975:112) membedakan TT ilokusi menjadi delapan bagian, yaitu act of

asserting, act of evaluating, act of reflecting speaker attitude, act of stipulating,

act of requesting, act of suggesting, act of exercising authority, dan act of

commiting.

3. Tindak Perlokusi

Tindak tutur ini mempunyai pengaruh atau perlocutionary force atau efek

bagi yang mendengarkan. Efek ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dibuat

oleh penuturnya. Tindak tutur ini dimaksudkan untuk memengaruhi lawan

tuturnya sehingga sering disebut the act of affecting someone (Wijana, 2011:24).

Leech (1983:203) mengemukakan beberapa formula yang mampu menjelaskan

tindak perlokusi, di antaranya bring h to learn that (membuat lawan tutur tahu

tentang sesuatu), get h to do (membuat lawan tutur melakukan sesuatu), get h to

think about (membuat lawan tutur berpikir tentang sesuatu). Ketiga verba formatif

(learn, do, think) bisa dijabarkan menjadi beberapa verba performatif untuk tindak

tutur perlokusi, di antaranya persuade (membujuk), deceive (menipu), encourage

(mendorong), irritate (menjengkelkan), frighten (menakuti), amuse

(menyenangkan), inspire (mengilhami), impress (mengesankan), distract

(mengalihkan perhatian), relieve tension (melegakan), embarrass

(mempermalukan), attact attention (menarik perhatian), dan bore (menjemukan).

2.3.1.2 Jenis Tindak Tutur

Pembahasan tentang jenis tindak tutur (TT) sangat erat kaitannya dengan

modusnya. Pengklasifikasian tindak tutur dapat dilihat berdasarkan kalimat atau

kata-kata yang menyusunnya. Wijana (1996:36) mengembangkan pendapat

Austin (1962), Searle (1979), Leech (1983), Levinson (1983), Yule (1996), dan

Bach (1999). Wijana membagi tindak tutur secara terperinci ke dalam bahasa

Indonesia menjadi delapan, yaitu (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak

langsung, (3) tindak tutur literal, (4) tindak tutur tidak literal, (5) tindak tutur

langsung literal, (6) tindak tutur tidak langsung literal, (7) tindak tutur langsung

tidak literal, dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal.

1. Tindak Tutur Langsung

Tindak tutur langsung sering disebut dengan direct speech act adalah

tindak tutur berupa sebuah ujaran yang memiliki fungsi yang sama dengan modus

tuturannya, seperti modus interogatif untuk bertanya, modus deklaratif untuk

menginformasikan atau memberitahukan sesuatu, dan modus imperatif untuk

memerintah (Wijana, 1996:30), seperti tuturan berikut ini.

(1) + Kamu tinggal di mana?

- Di Bali.

(2) Walaupun dia pemalas, tetapi dia pintar.

Tuturan yang disampaikan penutur kepada petutur pada kalimat (1)

termasuk ke dalam modus interogatif yang melahirkan makna bertanya. tuturan itu

berfungsi untuk menanyakan sesuatu tanpa ada unsur menyuruh atau membujuk

lawan bicaranya. Di pihak lain kalimat (2) merupakan modus tuturan deklaratif

yang berfungsi untuk memberikan informasi tanpa unsur memengaruhi lawan

bicaranya. Jika diuraikan dalam bagan, modus tuturan di atas dapat ditentukan

berdasarkan unsur sintaksis dengan makna yang berbeda-beda, seperti terlihat

pada skema di bawah ini.

Tabel 1 Modus Tuturan

No Modus Makna

1. Deklaratif (berita) Memberitahukan

2. Interogatif (tanya) Bertanya

3. Imperatif (perintah) Perintah

2. Tindak Tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) adalah tindak tutur yang

sering digunakan penutur untuk memperhalus ujaran atau lebih sopan, misalnya

perintah diujarakan dengan lebih sopan dalam modus tuturan berita atau tanya.

Dengan demikian, petutur yang diperintah oleh penutur tidak merasa dirinya

diperintah (Wijana, 2011:28--29), seperti tuturan berikut ini.

(3) Rambutmu sudah panjang

Kalimat (3) termasuk ke dalam jenis TT tidak langsung yang diujarkan

dengan kalimat berita. Apabila tuturan (3) dituturkan oleh orang tua kepada

anaknya atau guru kepada muridnya dalam aktivitas sekolah, maka tuturan itu

dimaksudkan untuk menyuruh muridnya atau anaknya memotong rambutnya.

Dari uraian di atas, skema penggunaan modus kalimat dalam kaitannya

dengan kelangsungan tindak tutur dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabel 2 Modus Tuturan

No Modus Tindak Tutur

Langsung Tidak langsung

1. Deklaratif (berita) Memberitakan Menyuruh

2. Interogatif (tanya) Bertanya Menyuruh

3. Imperatif (perintah) Memerintah ----------

Skema di atas menunjukkan bahwa kalimat perintah tidak dapat digunakan

untuk mengutarakan tuturan secara tidak langsung.

3. Tindak Tutur Literal

Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang

maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 2011:30).

Perhatikan contoh berikut ini.

(4) Pulau Bali pemandangannya indah

(5) Penyanyi itu suaranya bagus

Kalimat (4) dan (5) termasuk ke dalam jenis TT literal yang maksudnya

sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Kalimat (4) mengandung

makna bahwa penutur benar-benar mengagumi keindahan pemandangan Pulau

Bali, sedangkan kalimat (5) memang benar dimaksudkan untuk mengagumi

kemerduan suara seorang penyanyi.

4. Tindak Tutur Tidak Literal

Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang

maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang

menyusunnya (Wijana, 2011:31), seperti tuturan berikut ini.

(6) Suaramu bagus, tapi tak usah nyanyi saja

(7) Radionya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku ingin belajar

Kalimat (6) termasuk ke dalam jenis TT tidak literal karena maksud

tuturannya berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Di awal kalimat

terkesan memuji atau mengagumi suaranya, padahal secara tidak langsung

menyarankan secara sopan agar petutur diam dan sebaiknya tidak perlu bernyanyi.

Kalimat (7) juga terkesan berlawanan dengan maksud leksikalnya. Sebenarnya

makna kalimat yang disampaikan penutur kepada petutur adalah untuk

mengecilkan volume suara radionya karena pada situasi saat itu penutur ingin

belajar.

5. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) merupakan

kombinasi tindak tutur langsung dan tindak tutur literal. Tindak tutur langsung

literal adalah TT yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama

dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan

kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu

dengan kalimat tanya, dsb (Wijana, 2011:32), seperti tuturan berikut ini.

(8) Jam berapa sekarang?

(9) Orang itu sangat pandai

(10) Buka mulutmu

TT langsung literal pada kalimat (8) merupakan TT langsung dengan

modus interogatif yang dituturkan penutur kepada petutur untuk menanyakan

waktu. Kalimat (9) termasuk TT dengan modus tuturan deklaratif yang berfungsi

memberitahukan bahwa orang yang dibicarakan penutur kepada petutur sangat

pandai, sedangkan kalimat (10) termasuk TT dengan modus tuturan imperatif

yang berfungsi menyuruh petutur membuka mulutnya, misalnya pada situasi saat

itu penutur sebagai dokter akan memeriksa pasien yang sedang sakit gigi atau

situasi petutur ingin membersihkan karang giginya.

6. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah TT

yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud

pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa

yang dimaksudkan penutur. Dalam TT ini maksud memerintah diutarakan dengan

berita atau kalimat tanya (Wijana, 2011:33), seperti tuturan berikut ini.

(11) Lantainya kotor

(12) Di mana handuknya?

Kalimat (11) dan (12) merupakan TT tidak langsung literal. Dalam

konteks ini seorang ibu rumah tangga berbicara dengan pembantunya, yakni pada

(11). Dalam tuturan ini tidak hanya terkandung informasi, tetapi juga terkandung

maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat

berita. Makna kata-kata yang menyusun (11) sama dengan maksud yang

dikandungnya. Demikian pula dalam konteks seorang suami bertutur dengan

istrinya pada (12). Dalam kalimat tersebut maksud memerintah untuk

mengambilkan handuk diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat tanya.

Makna kata-kata yang menyusunnya sama dengan maksud yang dikandung.

Untuk memperjelas maksud memerintah (11) dan (12) di atas, dilakukan

perluasannya ke dalam konteks (13) dan (14). Perluasaan tersebut diharapkan

dapat membantu.

(13) + Lantainya kotor

- Baik, saya akan menyapu sekarang, Bu.

(14) + Di mana handuknya?

- Sebentar, saya ambilkan.

Akan sangat lucu dan janggal bila dalam konteks seperti (13) dan (14)

seorang pembantu dan istri menjawab seperti (15) dan (16) berikut.

(15) + Lantainya kotor

- Memang kotor sekali ya, Bu.

(16) + Di mana handuknya?

- Di lemari

Jawaban (-) pada (15) akan mengagetkan sang majikan yang memang

sudah merasa jengkel melihat lantai kamar rumahnya kotor. Di pihak lain jawaban

(-) pada (16) akan mengejutkan sang suami yang lupa membawa handuk dan

sudah telanjur berada di kamar mandi.

7. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah TT

yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi

kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud

penuturnya (Wijana, 2011:34), seperti tuturan berikut ini.

(17) Suaramu bagus, kok

(18) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu

Kalimat (17) termasuk ke dalam jenis TT langsung tidak literal, yaitu

maksud tuturannya bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Di pihak lain pada

kalimat (18) penutur menyuruh petutur yang mungkin dalam hal ini anaknya atau

adiknya untuk tidak berbicara sewaktu makan agar terlihat sopan. Data (17) dan

(18) menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur bukanlah apa yang

dikatakan yang penting, melainkan bagaimana cara mengatakannya.

8. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)

adalah TT yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak

sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (Wijana, 2011:34), seperti tuturan

berikut ini.

(19) Lantainya bersih sekali

(20) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran

(21) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kaudengar?

Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang

majikan dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (19). Demikian

pula untuk menyuruh seorang tetangga mematikan atau mengecilkan volume

radionya penutur dapat mengutarakan kalimat berita (20) dan kalimat tanya (21).

Di samping ketidaksesuaian modus, makna kata-kata yang menyusunnya

juga berbeda dengan maksud tuturannya. Jenis tindak tutur dapat digambarkan

sebagai berikut.

Tabel 3 Jenis Tindak Tutur

No Modus

Unit Leksikal

Tindak Tutur

Langsung

Tindak Tutur

Tidak

Langsung

Tindak Tutur

Literal

Tindak Tutur

Tidak Literal

1. Deklaratif

(berita)

Memberitakan Menyuruh ---------- ----------

2. Interogatif

(tanya)

Bertanya Menyuruh ---------- ----------

3. Imperatif

(perintah)

Memerintah ---------- ---------- ----------

4. Unit Leksikal ---------- ---------- Sesuai Tidak Sesuai

Dari tabel di atas tampak bahwa TT langsung sesuai dengan modus tuturan

secara sintaksis, dibuktikan pada modus interogatif bermakna tanya, modus

deklaratif bermakna memberitahukan atau menginformasikan, dan modus

imperatif bermakna perintah secara langsung. Berbeda dengan makna TT tidak

langsung yang tidak sesuai dengan modus tuturan secara sintaksis, tetapi lebih

bersifat pragmatis dan semantis, seperti pada modus interogatif bermakna

menyuruh, modus perintah tidak bermakna secara langsung, dan modus deklaratif

bermakna menyuruh. TT literal bermakna sama dengan makna kata-kata yang ada

dalam tuturan, sedangkan TT tidak literal bermakna berbeda dengan makna kata-

kata yang ada dalam tuturan.

2.3.1.3 Fungsi Tindak Tutur

Kajian tindak tutur merupakan sebuah kajian pemaknaan berdasarkan

konteks dan situasi bahasa yang digunakan. Tindak tutur merupakan alat

komunikasi untuk mengungkapkan, baik identitas sosial penutur maupun budaya

penutur. Fungsi tindak tutur berhubungan langsung dengan situasi kontekstual

sehingga sifatnya sangat komunikatif.

Berdasarkan tindak komunikatif seorang penutur, Searle (1979:44--45)

membagi tindak tutur menjadi lima. Kelima tindak tutur tersebut, yaitu (1) fungsi

representatif, (2) fungsi direktif, (3) fungsi ekspresif, (4) fungsi komisif, dan (5)

fungsi deklarasi. Kelima fungsi tindak tutur ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Fungsi Representatif

Fungsi representatif ialah fungsi TT yang mengikat penutur kepada

kebenaran atas apa yang dikatakan, misalnya menyatakan, melaporkan,

menunjukkan, dan menyebutkan.

2. Fungsi Direktif

Fungsi direktif ialah fungsi TT yang dilakukan penutur dengan maksud

agar pendengar atau mitra tuturnya melakukan tindakan yang disebutkan dalam

tuturan tersebut, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan

menantang.

3. Fungsi Ekspresif

Fungsi ekspresif ialah fungsi TT yang dilakukan penutur dengan maksud

agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam

tuturan tersebut, misalnya meminta maaf, berterima kasih, mengkritik, dan

mengeluh.

4. Fungsi Komisif

Fungsi komisif ialah fungsi TT yang mengikat penuturnya untuk

melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji dan

bersumpah.

5. Fungsi Deklarasi

Fungsi deklarasi ialah fungsi TT yang dilakukan oleh penutur dengan

maksud untuk menciptakan status sosial, misalnya memutuskan, membaptis,

membatalkan, melarang, mengizinkan, memberikan maaf.

2.3.2 Teori Bahasa, Konteks, dan Teks

Dilihat dari bentuknya, teks dapat berupa kata, grup, frasa, klausa,

paragraf, dan naskah atau buku. Dari bentuknya itu dapat diklasifikasikan adanya

teks kecil (small texts), teks menengah (medium texts), dan teks besar (large

texts). Dalam teks menengah dan teks besar terdapat konteks linguistik atau ko-

teks, yaitu hubungan antara satu teks dan teks sebelumnya dan sesudahnya.

Hubungan tersebut terjadi melalui kohesi. Teks memiliki hubungan yang sangat

erat dengan konteks eksternal atau disebut juga konteks sosial.

Konteks sosial meliputi konteks-konteks berikut.

(a) Konteks situasi, yaitu segala sesuatu yang melingkupi atau mendampingi teks.

Konteks situasi terdiri atas hal-hal di bawah ini.

Medan (field), seperti aktivitas, tempat, dan waktu.

Pelibat (tenor), seperti orang-orang yang ikut di dalamnya.

Sarana (mode), seperti bahasa yang digunakan.

(b) Konteks budaya, yaitu budaya penggunaan bahasa, misalnya apa yang boleh

dilakukan, kata-kata apa yang boleh diucapkan atau digunakan, dan tahap-

tahap yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.

(c) Konteks ideologi, yaitu pemahaman atas nilai-nilai dalam bentuk simbolik

yang telah menjadi konvensi dalam masyarakat, sudut pandang yang dianut,

bentuk-bentuk perilaku, dan lain-lain (Halliday, 1985:12).

2.4 Model Penelitian

Penelitian tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura di Desa

Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo dimulai dari pengumpulan data lisan BMd

yang berbentuk tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Analisis dibagi

menjadi dua, yaitu teori pragmatik (Leech, 1983) dan (Wijana, 1996) digunakan

untuk menganalisis tindak tutur dan mengklasifikasikannya ke dalam jenis tindak

tutur. Di pihak lain teori bahasa, konteks, dan teks digunakan untuk menganalisis

ideologi yang tercermin di balik tuturan upacara pernikahan masyarakat Madura

di Desa Kalidandan, Pakuniran, Probolinggo. Ideologi ini ialah ideologi dalam

tuturan tradisi yang dituturkan oleh masyarakat madura secara turun-temurun.

Keterangan:

↓ memiliki hubungan bawahan

↔ memiliki hubungan timbal balik

Bahasa Madura

Tindak Tutur

(Leech, 1983)

Tuturan Tradisi BMd

Lokusi, Ilokusi,

dan Perlokusi

Jenis Tindak Tutur

(Wijana, 1996)

Tindak Ilokusi

Bahasa, Konteks, dan

Teks (Halliday, 1985)

Ideologi

Temuan/Hasil

Pendekatan Deskriptif

Kualitatif

Tuturan Pernikahan BMd

Analisis

Data

Lisan

BMd

Pragmatik