44
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Tekstil Tradisional Indonesia a. Sejarah Tekstil Tradisional Indonesia Kata tekstil berasal dari bahasa latin, yaitu textere yang berarti menenun atau dalam arti umum adalah bahan pakaian atau kain tenunan. Sejak zaman prasejarah nenek moyang kita telah pandai menenun untuk pakaian maupun untuk membuat layar perahu bercadik, sedangkan cara pemberian rupa di atas permukaan tekstil dilakukan melalui teknik ikat lungsi. Teknik ini merupakan yang tertua, dan telah dikenal sejak masa neolitikum dengan menggunakan alat tenun gedog (gendong) yang kemudian menyebar ke luar Nusantara (Kartiwa, 1986: 6). Berbagai corak tekstil tradisional Nusantara merefleksikan keanekaragaman tekstil Nusantara yang menyangkut unsur anyaman, aneka tekstil serta ragam hias dan warna yang berkembang. Struktur anyaman adalah prinsip penjalinan benang lungsi dan pakan yang menghasilkan sehelai kain melalui teknik tenun. Dengan cara mengikat salah satu benang atau keduanya kemudian mencelupnya akan menghasilkan kain tenun ikat yang beraneka ragam (Rizali, 2013:116). Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang mempengaruhi corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan iklim

BAB II KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR · keindahan di atas permukaan tekstil. Hal ini berkaitan erat dengan ... Di Indonesia tampaknya kerajinan batik tertua terdapat di periyangan,

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA & KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Tekstil Tradisional Indonesia

a. Sejarah Tekstil Tradisional Indonesia

Kata tekstil berasal dari bahasa latin, yaitu textere yang berarti menenun atau

dalam arti umum adalah bahan pakaian atau kain tenunan. Sejak zaman prasejarah

nenek moyang kita telah pandai menenun untuk pakaian maupun untuk membuat

layar perahu bercadik, sedangkan cara pemberian rupa di atas permukaan tekstil

dilakukan melalui teknik ikat lungsi. Teknik ini merupakan yang tertua, dan telah

dikenal sejak masa neolitikum dengan menggunakan alat tenun gedog (gendong)

yang kemudian menyebar ke luar Nusantara (Kartiwa, 1986: 6).

Berbagai corak tekstil tradisional Nusantara merefleksikan keanekaragaman

tekstil Nusantara yang menyangkut unsur anyaman, aneka tekstil serta ragam hias

dan warna yang berkembang. Struktur anyaman adalah prinsip penjalinan benang

lungsi dan pakan yang menghasilkan sehelai kain melalui teknik tenun. Dengan

cara mengikat salah satu benang atau keduanya kemudian mencelupnya akan

menghasilkan kain tenun ikat yang beraneka ragam (Rizali, 2013:116).

Keragaman kain-kain tradisional dihasilkan oleh perbedaan geografis yang

mempengaruhi corak hidup setiap suku bangsa di Nusantara. Perbedaan iklim

9

mempengaruhi flora dan fauna yang ada di lingkungannya juga mempunyai andil

besar terhadap perbedaan gaya hidup dan mata pencaharian sebuah kelompok

masyarakat, sehingga yang satu berbeda dengan yang lainnya (Kartiwa, 2007: 9).

Perbedaan sumber kehidupan masyarakat inilah yang turut memengaruhi

keragaman jenis kain dan ragam hiasnya.

Aktivitas masyarakat yang berbeda-beda di setiap wilayah memengaruhi nilai

budaya dan adat istiadat yang diciptakan oleh leluhur atau pendahulunya. Filosofi

kehidupan tertuang dan tercermin dalam adat, serta terjalin dengan kepercayaan

dan agama yang dianutnya. Dalam kaitan dengan nilai-nilai kepercayaan, unsur-

unsur ragam hias pada kain merupakan salah satu bentuk ekspresi pengakuan

terhadap keberadaan, keagungan dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta

kehidupan semua makhluk hidup di dunia. Dengan demikian pada sehelai kain

tersirat makna yang dalam tentang arti kehidupan.

b. Jenis Tekstil Tradisional Indonesia

Berdasarkan teknis pembuatan tekstil terdapat cara-cara pemberian rupa dan

warna, yaitu saat proses menenun, dan proses setelah menjadi kain. Pengertian

tersebut dikenal pula dengan istilah desain struktur dan desain permukaan pada

tekstil. Dengan demikian secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua

kelompok, yaitu:

Desain Struktur dalam tekstil dilakukan pada waktu proses menenun,

sehingga teknik ini sangat tergantung pada bahan serat dan benang yang

digunakan agar menghasilkan berbagai variasi tenunan. Desain struktur ini

dapat dilakukan melalui teknik tenun, jeratan, jalinan dan kepangan yang

10

menghasilkan kain polos maupun kain bercorak seperti aneka kain tenunan,

seperti tenun ikat lungsi, ikat pakan dan dobel ikat.

Desain permukaan pada tekstil dilakukan sebagai upaya member

hiasan di atas permukaan kain polos, sehingga menghasilkan nilai-nilai

keindahan di atas permukaan tekstil. Hal ini berkaitan erat dengan

kemampuan mengolah rupa dan warna yang dapat mewujudkan beberapa

jenis kain seperti di antaranya batik, celup ikat atau sulaman (Rizali, 2013:

126).

2. Batik

a. Pengertian Batik

Penulisan kata “batik” dalam bahasa Jawa mestinya “bathik” dan dalam

pengucapan dengan bahasa Indonesia juga seperti dalam bahasa Jawa. Namun

oleh para penulis terdahulu banyak yang mengacu pada “batik” sehingga dalam

penelusuran arti kata “batik” banyak yang memakai model “ kerata basa” yaitu

berasal dari kata “ngembat titik” atau “rambating titik-titik” dalam pengertian

bahwa batik merupakan proses rangkaian titik-titik. Menurut Kalingga (2002: 1-2)

pemaknaan kata “batik” seperti tersebut tidak tepat karena penulisannya dengan

aksara Jawa menggunakan “tha” bukan “ta”.

Dalam arti sederhana, bathik adalah suatu gambar yang berpola, motif dan

coraknya dibuat secara khusus dengan menggunakan teknik tutup celup. Shadily

(1990: 417) menyatakan bahwa : “batik adalah suatu cara untuk melukis di atas

kain (mori, katun, dan ada kalanya kain sutera) dengan cara melapisi bagian-

bagian yang tidak berwarna dengan lilin yang juga disebut malam”. Sementara itu,

pengertian batik telah dibakukan secara nasional yaitu: seni kain yang

11

menggunakan proses perintang lilin atau malam sebagai bahan media untuk

menutup permukaan kain dalam proses pencelupan warna (Syafrina, 1996:1).

Pembahasan tentang asal mula batik di Indonesia masih simpang siur. Secara

singkat dapat dikatakan bahwa ada sementara para seniman yang menyebutkan

bahwa batik berasal dari Turki, melewati Mesir, terus ke Parsi/ Pasai, dan akhirnya

masuk ke Nusantara. Di Indonesia tampaknya kerajinan batik tertua terdapat di

periyangan, yang disebut dengan istilah “simbut”. Kain simbut dibuat dengan mori

hasil pintalan dan tenunan sendiri, tidak menggunakan malam sebagai perintang

warna tetapi menggunakan kanji (jenang) beras ketan; hiasannya sederhana dan

lebih banyak menggunakan warna merah tua. Kemudian, sekitar abad ke-12 orang

Indonesia telah membuat campuran pewarna untuk menghasilkan batik bangun

tulak (hitam putih) (Haryono, 2008: 3-4).

Akhirnya pada abad ke-15 kerajinan batik menuju kearah keindahan setelah

mendapat pengaruh dari India, Cina, dan Arab seiring dengan berkembangnya

kebudayaan Islam yang masuk ke nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan

Agung, kerajinan batik banyak dilakukan di lingkungan keraton oleh para wanita.

Ketika itu telah ditemukan bahan pewarna merah dan kuning serta perpaduan

warna gula kelapa (Bratasiswara, 2000: 85-91). Kemajuan dalam pewarnaan

dalam dunia perbatikan berkembang pada abad ke-17 setelah ditemukannya

warna-warna baru seperti: soga (coklat), kuning (kunyit). Di sekitar tahun 1918

banyak jenis mori dan pewarna kimia dari Jerman, Inggris, Prancis, Swis, Belanda,

dan Jepang masuk ke Indonesia.

12

Persebaran batik di Nusantara cukup luas dan peran keraton juga sangat

menentukan. Batik Banyumasan perkembangan batik tidak bisa dilepaskan dari

adanya kademangan dan kadipaten di daerah Banyumas dari orang-orang yang

berasal dari kerajaan Mataram. Sebagai kademangan atau kadipaten, para

bangsawan di wilayah Banyumas ada keinginan menciptakan batik tulis untuk

memenuhi kebutuhan di lingkungannya. Hal ini membawa perkembangan

perbatikan di Banyumas semakin maju dan dikenal dunia luar khususnya Belanda.

Untuk memenuhi keperluan batik bagi bangsa Belanda, maka motif-motif batik

dimodifikasi sedemikian rupa sesuai keinginan mereka. Gaya batik Banyumasan

masih menyerupai gaya Yogyakarta dan Surakarta, namun diberi warna tambahan

terutama warna merah dan biru (Wahono, dkk. 2004: 54).

Di Surakarta perkembangan batik tidak dapat dilepaskan pula dari peran

keraton sebagai pusat tradisi dan adat-istiadat. Tradisi membatik diperkenalkan

sejak kecil bagi kaum wanita keraton, selain juga para abdi dalem. Peran keraton

terlihat adanya peraturan dalam hal pemakain batik untuk motif tertentu dan dalam

acara-acara tertentu. Perkembangan corak batik di Surakarta yang pesat justru

telah menurunkan kandungan nilai maknanya. Tatanan pemakaian batik menjadi

kabur karena antara yang digunakan untuk para bangsawan dan para warga

masyarakat biasa menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, Paku Buwono III membuat

suatu tatanan pemakain kain batik seperti berikut:

“Ana dene kang arupa jarit kang kalebu laranganingsun, batik sawat lan batik

parang, batik cemukiran kang celacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan

tumpal, apa dene batik cemungkiran kan calacap lung-lungan, kang sun

13

wenangake anganggota pepatihingsun lan sentananingsun, dene

kawulaningsun padha wedia”

“ Ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan saya, batik lar, batik

parang, batik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak

lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga batik cemukiran yang berbentuk

ujung lung (daun tumbuhan uang menjalar di tanah), yang saya ijinkan

memakai adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak

diperkenankan” (Kalingga, 2002: 9).

Di daerah Lasem keberadaan batik Lasem sangat erat kaitannya dengan

datangnya bangsa asing terutama bangsa Cina. Hal ini menimbulkan corak

tersendiri yaitu corak khas Cina. Daerah Lasem dan daerah yang terletak di

kawasan pesisir utara memang wilayah yang pertama kali bersentuhan dengan

budaya asing. Adapun di daerah Pekalongan perkembangan dan keberadaan batik

juga tidak terlepas dari pengaruh Cina, Arab, Belanda, Jepang, dan kraton

Surakarta. Bagi kaum Arab, seperti halnya terdapat pada seni Islam, motif yang

bercorak makhluk hidup tidak dikembangkan. Oleh karena itu yang berkembang

adalah motif dengan corak geometrik atau jlamprang. Pekalongan pernah

dijadikan pusat untuk produksi batik Belanda atau Indo-Eropa. Pengusaha batik

bangsa Belanda seperti Ajf Jeans, Lian Metzelaar, Tina van Zuylen, dan Eliza van

Zuylen merupakan penyumbang besar bagi perkembangan batik Pekalongan.

Ragam hias dan komposisinya disesuaikan dengan motif-motif yang berkembang

di Eropa sehingga akhirnya menimbulkan gaya khas Pekalongan atau pesisiran.

b. Kelompok Batik di Indonesia

Menurut Kusrianto (2013: 34) menilik sejarahnya, sejak zaman penjajahan

Belanda batik telah digolongkan menjadi dua kelompok besar dengan mengacu

14

pada sudut daerah pembuatan batik tersebut, yaitu batik Vorstenlanden dan batik

pesisir.

1) Batik Vorstenlanden

Batik Vorstenlanden merupakan istilah bagi batik yang berasal dari

wilayah Solo dan Yogyakarta karena pada saat itu daerah ini merupakan

daerah Keraton atau Kerajaan yang disebut Vorstenlanden. Kegiatan

membatik bagi kalangan keraton adalah sebagai media untuk mendekatkan

diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Batik di kalangan keraton juga

berkaitan dengan tingkat keningratan dan kebangsawanan. Ada corak-corak

tertentu yang hanya boleh di pakai oleh raja dan keluarga dekatnya. Biasanya

corak corak seperti ini di sebut corak larangan, artinya masyarakat umum

yang bukan trah keraton atau golongan bangsawan tidak boleh

mengenakannya.

Keberadaan batik Yogya tentu tidak lepas dari seejarah berdirinya

Kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati (Hamengkubuwono 1).

Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke Mataram, dia sering

bertapa di sepanjang pesisir pulau Jawa, antara lain Parang Kusuma menuju

Dlepih Parang Gupito, menelusuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak

seperti “pereng” atau tebing berbaris. Sebagai Raja Jawa yang tentu

menguasai seni, keadaan tempat tersebut mengilhaminya menciptakan pola

15

batik lereng atau parang, yang merupakan cirri ageman (pakaian) Mataram

yang berbeda dengan pola sebelumnya.

Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan kasunanan

Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana, termasuk

di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta

kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan Keraton

Yogyakarta sebagai kiblat perkembangan budaya, termasuk pola khazanah

batik, kalaupun batik di Keraton Surakarta memiliki beragam inovasi,

sebenarnya motif pakemnya tetap bersumber pada motif batik keraton

Yogyakarta (Wulandari, 2011: 55).

2) Batik Pesisir

Batik pesisir adalah batik yang berkembang di kawasan Pantai Utara

Pulau Jawa. Kemunculannya dengan membawa ciri yang sangat kuat

membuat para pengamat batik di zaman pendudukan Belanda dengan tegas

mengelompokkan batik Jawa menjadi dua, yaitu batik Vorstenlanden dan

batik Pesisiran

Dari situlah muncul stigma bahwa jika bukan batik Vorstenlanden, berarti

batik pesisiran. Jika tidak termasuk keduanya, berarti bukan motif batik. tentu

kita tidak akan berpegang pada pemikiran pengamat Belanda yang analisanya

dibuat pada akhir abad ke-19 itu. Selain kenyataan batik sudah meluas di

16

banyak daerah dan memiliki corak yang beraneka ragam, masing-masing

daerah telah mengembangkan ciri di daerah masing-masing.

Fenomena kemunculan batik pesisiran suatu "pemberontakan" terhadap

bentuk batik klasik yang telah lama ada. Motif batik pesisiran dianggap

"nyeleneh", tidak mirip batik yang telah akrab dalam kehidupan orang Jawa,

terutama dalam tampilan warna dan motifnya (Kusrianto, 2013: 208). Pada

awal kemunculannya, orang Jawa sebagai pemakai aktif jarit batik memang

sulit untuk menerima kenyataan bahwa yang seperti ini juga batik. Hal ini

berkaitan dengan penggunaan batik sebagai sarana pelengkap dalam

menjalani suatu ritual, misalnya hajatan, pemberian pada saat akan menikah,

maupun upacara resmi yang lain.

Batik pesisiran tidak mengenal pengkhususan pengguna sebagaimana

batik Keraton. Batik pesisiran merupakan silang budaya berbagai bangsa yang

pernah berinteraksi dengan penduduk di daerah pantai utara pulau Jawa ini

mampu menembus batas-batas bangsa, mengabaikan batas-batas kasta

maupun strata sosial. Dengan demikian, batik pesisiran cenderung lebih

luwes, tidak kaku, dan bernuansa lebih ceria (Kusrianto, 2013: 209).

Warna dalam batik pesisiran juga sangat beragam, biasanya menggunakan

latar warna gading (jingga atau warna mangga yang hampir masak), biru tua,

hijau tua, cokelat tanah, hingga ungu. Sedangkan ragam hiasnya sangat

dipengaruhi oleh unsur-unsur yang menjadi cirri khas daerah yang

17

bersangkutan, seperti letak geografis, keadaan alam, falsafah penduduk, sifat

masyarakat, pola penghidupan dan kepercayaan masyarakat (Wulandari,

2011: 64).

3. Ragam Hias Batik

a. Pengertian Ragam Hias

Ragam hias merupakan hasil budaya sejak masa pra sejarah dan berlanjut

sampai masa kini. Ragam hias memiliki pengertian secara umum, yaitu keinginan

manusia untuk menghias benda – benda di sekelilingnya, kekayaan bentuk yang

menjadi sumber ornament dari masa lampau yang berkembang di Istana Raja –

Raja dan Bangsawan, baik yang ada di Bangsa Barat maupun Bangsa Timur.

Istilah yang lain berkaitan dengan ragam hias adalah ragam. Ragam menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “pola” atau “corak”,sedangkan corak

berarti bunga atau gambar – gambar (Shadly,1980:593). Pengertian yang hampir

serupa dengan ragam hias adalah ragam hiasan dan ornamen. Ragam hiasan

adalah suatu pola atau corak hiasan yang terungkap sebagai ungkapan ekspresi

jiwa manusia terhadap keindahan atau pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat

budaya.Ornamen pada hakekatnya sekedar gambaran dari “irama”dalam garis

atau bidang.

Ragam hias atau ornamen adalah wujud hasil karya manusia yang merupakan

produk kebudayaan. Seperti yang diungkapkan Koentjaraningrat (1974; 15-16)

bahwa kebudayaan paling tidak memiliki tiga wujud, yaitu: pertama, sebagai

suatu kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan lain-lain; kedua, sebagai

18

suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat; dan ketiga

sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan pertama dikenal

sebagai wujud ideal kebudayaan; yang kedua dikenal sebagai sistem sosial; yang

ketiga dikenal sebagai kebudayaan fisik.

Batik Indonesia memiliki ragam hias yang beraneka macam. Berbagai bentuk

dan unsur keragaman budaya yang sangat kaya dapat dilihat dalam ragam hias

batik. Ragam hias batik adalah hasil lukisan pada kain dengan menggunakan alat

yang disebut dengan canting (Wulandari, 2011: 104). Jumlah ragam hias batik di

Indonesia saat ini sangat beragam, baik variasi bentuk maupun warnanya.

Ragam hias batik pada umumnya dipengaruhi oleh letak geografis daerah

pembuatan, sifat dan tata penghidupan daerah bersangkutan, kepercayaan dan

adat istiadat yang ada, keadaan sekitar, termasuk flora dan fauna, serta adanya

kontak atau hubungan antar daerah pembatikan.

b. Kelompok Ragam Hias Batik

1) Ragam Hias Geometris

Ragam hias geometris adalah ragam hias yang mengandung unsur-

unsur garis dan bangun, seperti garis miring, bujur sangkar, persegi

panjang, trapezium, belah ketupat jajaran genjang, lingkaran, dan bintang,

yang disusun secara berulang-ulang untuk membuat satu kesatuan corak.

Yang termasuk ragam hias geometris adalah ceplok, ganggong, parang

atau lerang, dan banji.

19

a) Ceplok atau ceplokan adalah ragam hias batik yang didalamnya

terdapat gambaran-gambaran bentuk lingkaran, roset, binatang,

dan variasinya. Beberapa nama ragam hias ceplok yaitu ceplokan

nogo sari, ceplok kesatrian, ceplok supit urang, ceplok teruntum,

dan ceplok cakra kusuma.

Gambar 1. Ceplok kesatrian (Sumber: Prasetyo, 2010: 51)

b) Ganggong, ragam hias ganggong dan ceplok sepintas hampir

sama. Namun kalau diperhatikan dengan detail, akan terlihat

perbedaan antara ragam hias ganggong dengan ragam hias ceplok.

Cirri khas yang membedakan ragam hias ganggong dengan ceplok

adalah adanya bentuk isen yang terdiri atas seberkas garis yang

panjangnya tidak sama, dan ujung garis yang paling panjang

berbentuk serupa tanda + (Wulandari, 2011: 107). Nama-nama

ragam hias ganggong antara lain adalah ganggong arjuna,

ganggong madusari dan ganggong sari.

20

Gambar 2. Ragam hias ganggong (Sumber: Wulandari, 2011: 107)

c) Parang, merupakan salah satu ragam hias yang sangat terkenal

dalam kelompok corak garis miring. Ragam hias ini terdiri atas

satu atau lebih ragam hias yang tersusun membentuk garis-garis

sejajar dengan sudut kemiringan 45° (Wulandari, 2011: 107).

Gambar 3. Parang rusak barong (Sumber: Wulandari, 2011: 21)

d) Banji, berdasarkan ornament swastika, dibentuk atau disusun

dengan menghubungkan swastika pada garis-garis, sehingga

21

membentuk sebuah corak. Swastika ini menggambarkan kekerasan

yang diterima oleh masyarakat pada masa pendudukan Jepang di

Indonesia (Wulandari, 2011: 108).

Gambar 4. Banji (Sumber: Wulandari, 2011: 109)

2) Ragam Hias Nongeometris

Ragam hias nongeometris merupakan susunan tidak teratur, artinya

polanya tidak dapat diukur secara pasti, meskipun dalam bidang luas dapat

terjadi pengulangan seluruh corak.

a) Semen, merupakan ragam hias batik yang tersusun secara bebas

terbatas ornamen-ornamennya. Bebas terbatas di sini menyatakan

bahwa suatu ragam hias yang telah tersusun dari beberapa motif

tertentu akan kembali diulang untuk mengharmonisasikan pola

hiasnya (Susanto, 1980: 231).

22

Gambar 5. Semen sidomukti (Sumber: Wulandari, 2011: 110)

b) Buketan, merupakan ragam hias yang tersusun dari rangkaian

bunga atau kelopak bunga dengan kupu-kupu, burung, atau

berbagai bentuk dan jenis satwa kecil yang mengelilinginya.

Gambar 6. Buketan (Sumber: Ishwara, Yahya & Moeis, 2011: 92)

23

c) Dinamis, ragam hias yang tergolong dinamis merupakan ragam

hias yang terdiri dari motif-motif yang dapat dibedakan unsur-

unsurnya, namun di dalamnya tidak lagi berupa ornamen-ornamen

tradisional, melainkan berupa ornamen-ornamen bergaya dinamis

yang mendekati abstrak. ragam hias ini sebenarnya pemilihan

antara batik dengan pola hias klasik dan batik dengan pola hias

modern (Susanto, 1980: 249).

d) Pinggiran, golongan ragam hias ini khusus yang digunakan sebagai

hiasan pinggiran kain sebagai pembatas antara bidang yang

berpola dan bidang kosong yang tak berpola. Ragam hias ini pada

dasarnya memang khusus terdapat pada ujung atau tepi dari kain

panjang, selendang, ikat kepala, taplak, dan sterusnya.

Gambar 7. Ragam hias pinggiran (Sumber: Ishwara, Yahya & Moeis, 2011: 140 )

24

c. Struktur Ragam Hias Batik

Menurut Kusrianto (2013: 5) motif batik klasik disusun berdasarkan ragam

hias yang sudah baku, dimana susunannya terdiri dari tiga komponen.

1) Komponen Utama, berupa ornamen-ornamen gambar bentuk tertentu yang

merupakan unsur pokok. Ornamen ini sering kali dijadikan nama motif

batik.

2) Komponen pengisi, merupakan gambar-gambar yang dibuat untuk

mengisi bidang diantara motif utama. Bentuknya lebih kecil dan tidak

turut membentuk arti atau jiwa dari pola batik itu. Motif pengisi ini juga

disebut dengan ornamen selingan.

3) Isen-isen, gunanya untuk memperindah pola batik secara keseluruhan.

Komponen ini bisa diletakkan untuk menghiasi motif utama maupun

pengisi, dan juga untuk mengisi dan menghiasi bidang kosong antara

motif-motif besar. Isen-isen umumnya merupakan titik, garis lurus, garis

lengkung, lingkaran-lingkaran kecil, dan sebagainya. Isen ini memiliki

nama-nama tertentu sesuai bentuknya, dan tidak jarang isen ini disertakan

pada motif batik.

25

d. Faktor Pengaruh Ragam Hias Batik

Seni batik termasuk dalam senin lukis dengan media berupa kain. Hasil

lukisan tersebut kemudian disebut dengan nama ragam hias. Ragam hias dalam

batik umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor,

1) Letak geografis daerah pembuatan batik yang bersangkutan

2) Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan

3) Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan

4) Keadaan alam sektarnya, termasuk flora dan fauna

5) Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan (Djoemena, 1986:

1).

Djoemena, (1986:2) mengemukakan bahwa sebagai akibat dari letak geografis

kepulauan Indonesia di jalur perdagangan dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke

Timur terutama pesisir pulau Jawa sebelah utara sering disinggahi kapal-kapal

asing. Terkenalnya rempah-rempah Indonesia dan hasil bumi lainnya merupakan

daya tarik tersendiri untuk diunjungi.

Indonesia yang kaya akan rempah-rempah dan hasil bumi menarik bangsa

asing untuk berlomba-lomba mendatangi kepulauan Indonesia, silih berganti

bangsa Cina, India, Portugis, Arab, Belanda, Inggris datang ke Indonesia. Negara

pendatang ada yang menetap dan bahkan menjajah hingga ratusan tahun, seperti

bangsa Belanda yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun.

Penduduk dari bangsa pendatang sedikit banyak menyesuakan diri dengan

26

penduduk setempat, sehingga perpaduan antar kebudayaan tidak dapat

dihindarkan. Pendatang asing banyak yang memakai kain batik atau membuat

barang-barang khas dari batik untuk kebutuhan mereka.

Faktor berikutnya yang mempengaruhi terbentuknya ragam hias batik adalah

sifat tata kehidupan daerah pembatikan dan kepercayaan serta adat-istiadat dari

wilayah pembatikan. (Anas, Pangaben, dan Hasanudin, 1997: 31) menyatakan

bahwa seni kerajinan batik di Indonesia berkaitan erat dengan seni tradisi sosial

yang berlaku di dalam suatu lingkungan masyarakat, hal tersebut terlihat dari

penyajian coraknya. Oleh karena itu lah perkembangan batik senantiasa sejalan

dengan nilai-nilai ketradisian dan dinamika masyarakat pendukungnya.

Rancangan motif yang diciptakan tidak lepas dari kehidupan keagamaan dan

kebudayaan bangsa, sehingga hingga saat ini batik dirasakan sebagai kebanggaan

bangsa Indonesia yang bernilai adiluhung.

Kerajinan batik tradisional mempunyai unsur-unsur dalam bentuk proporsi,

warna serta garis yang diekspresikan dalam bentuk motif, pola, dan ornamen yang

penuh dengan makna simbolis, magis, dan perlambangan selain halus dan teliti

penggarapannya, hal itulah yang membentuk keindahan dalam keanekaragaman

pola hias, salah satu contohnya adalah pola hias Sawat atau Lar yang berlatar

belakang kebudayaan Hindu-Jawa, meskipun di daerah pesisir ragam hias ini

hanya merupakan hiasan semata tanpa memberikan arti simbolis.

27

Faktor ketiga dan keempat yang mempengaruhi pembentukan ragam hias

batik adalah keadaan alam sekitar termasuk flora dan fauna. Keadaan alam di sini

mencakup kondisi yang ada di sekitar wilayah pembatikan seperti kondisi alam

yang mendukung mata pencaharian masyarakat, ataupun fauna yang menjadi ciri

khas dari setiap wilayah pembatikan. Kekhasan tersebut dapat menjadi inspirasi

bagi para pembatik untuk menuangkannya ke dalam ragam hias.

Bagian terakhir adalah faktor adanya kontak atau hubungan daerah sekitar,

salah satu contoh adanya kontak tersebut misalnya di daerah pesisir madura yang

masyarakatnya terkenal sebagai pelaut menyinggahi pelabuhan Lasem,

Indramayu, dan sebagainya. Persinggahan tersebut dapat menjadi penyebab

seringkali dijumpai persamaan dalam ragam hias atau warna pada batik antar

daerah (Djoemena, 1986: 40).

4. Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Astaufi Herpi Perdana (2012) tentang

batik tulis Lasem, dengan judul “Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO

Tentang Batik Tahun 2009”. Masalah yang di kaji dalam penelitian ini tentang

perkembangan pola dan makna estetis yang terkandung di dalam batik tulis

Lasem pasca penetapan UNESCO tentang batik 2009.

Dalam penelitiannya Astaufi mengatakan secara garis besar batik Lasem dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu batik dengan selera Cina yang oleh umum

dinamakan batik Laseman dan batik selera pribumi yang sering disebut batik

28

rakyat yang kemudian di pilah lagi menjadi dua golongan besar masing-masing

jenis pola tersebut. Penggolongan tersebut adalah golongan Geometris dan

golongan Non geometris. Batik Lasem memiliki berbagai macam bentuk

perubahan dari mulai bentuk pola, motif, dan warna yang sudah tidak lagi sesuai

pola pakem Batik Lasem. Secara struktural pola batik Lasem tersebut disusun

dengan susunan geometris (Lereng dan Ceplok) dan non geometris (Semenan dan

Buketan). Struktur susunan motif seringkali dilakukan tidak dengan sistem

pengulangan pola kecuali pada pola Lerengan dan Ceplokan. Corak yang terjadi

pada batik Lasem merupakan mimesis dari kehidupan masyarakat Lasem itu

sendiri. Bentuk-bentuk motifnya yang dulu memiliki makna filosofi yang

mendalam, sekarang sudah berubah karena persaingan pasar yang begitu ketat.

Penamaan batik Lasem yang dulu sesuai dengan warna yang diterapkan, sekarang

berubah sesuai jenis motif yang ada di dalamnya.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kwan, Rosina, Aulia (2010) mengenai

perkembangan budaya batik Lasem. perkembangan batik Lasem mereka

golongkan menjadi beberapa periode.

a. Periode Rintisan ( ... – 1349)

Pada periode awal ini jenis kain atau pakaian yang digunakan masyarakat

Lasem belum dapat ditentukan. Belum diperoleh sumber data yang terpercaya,

termasuk data arkeologis hasil ekskavasi situs Caruban Lasem. Namun demikian,

kita dapat membuat dugaan awal bahwa pakaian yang dipakai sebelum tahun

29

1350 di Lasem terbuat dari kapas dan sebagian daripadanya kemungkinan

merupakan hasil proses batik. Dugaan ini dibuat berdasarkan data sebagai berikut:

1) Penjualan kapas Jawa pada Cina sejak abad ke-7 sebagai indikator adanya

budaya pemakaian kapas untuk bahan baku pakaian.

2) Kemungkinan sudah terdapatnya teknologi penenunan di pulau Jawa

sebagaimana tampak pada ukiran kain yang dikenakan oleh berbagai arca di

banak candi di pulau Jawa.

3) Sebuah laporan dari sumber Cina tahun 1350 manyatakan bahwa Jawa sudah

memiliki batik dan mengekspornya ke Vietnam, Irak dan bahkan Colombo

(Srilanka).

Tiga data tersebut diatas menjelaskan tentang keberadaan budaya kapas, tenun

dan batik di pulau Jawa, tetapi data tersebut tidak menyebutkan sama sekali

tentang Lasem. Selain itu, wilayah Lasem belum menjadi sebuah pusat

pemerintahan pada periode pra 1350 Masehi. Dengan demikian, kemungkinan

adanya pemakaian kain batik di Lasem sampai tahun 1350 masih berupa dugaan

sementara yang belum dapat dibuktikan sebelum diperolehnya data tambahan

baru yang lebih relevan dan terpercaya.

b. Periode Pengaruh Budaya Jawa-Hindu-Buddha Kerajaan Majapahit (1350-

1500)

Periode ini merupakan awal penggunaan dan produksi batik di wilayah Lasem

dimana desainnya dipengaruhi oleh budaya Jawa saat itu yang berbasis pada

30

agama Hindu dan Buddha. Budaya batik diperkirakan banyak dipengaruhi oleh

keberadaan kaum penguasa/ aristrokat dari berbagai kerajaan di kepulauan

Nusantara. Hal ini dibuktikan oleh:

1) Artefak arkeologis, misalnya motif batik kawung dan batik gringsing pada

patung Kertarajasa Jayawardhana/ Raden Wijaya (raja pertama kerajaan

Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309 M) di Candi Ngrimbi,

Jombang, menunjukkan sudah digunakannya pakaian batik sejak jaman

Majapahit.

2) Kelangsungan batik vorstenlanden/ pedalaman/ kraton yaitu batik-batik

Surakarta dan Yogyakarta dimana aneka bentuk motif dan makna filosofisnya

disesuaikan dengan tata cara kehidupan kraton, menunjukkan peranan penting

kraton sebagai acuan pengembangan budaya batik di kepulauan Nusantara.

3) Proses pembuatan kain batik membutuhkan teknologi produksi yang

kompleks dan biaya produksi yang tidak sedikit sehingga lebih

memungkinkan pengembangannya di lingkungan masyarakat bangsawan/

priyayi yang memiliki penguasaan modal, pengetahuan dan teknologi yang

relatif tinggi.

Dengan demikian, keberadaan sebuah keraton atau sistem pemerintahan pada

masa kerajaan Nusantara kemungkinan dapat menjadi sebuah indikator awal dari

eksistensi budaya batik tertentu di wilayah kekuasaan kraton tersebut. Dengan

hipotesis semacam ini, maka kita perlu mencari tahu ada tidaknya kraton di

wilayah Lasem pada masa lalu.

31

Dalam catatan sejarah , Lasem pernah menjadi sebuah kerajaan kecil di bawah

kekuasaan kerajaan Majapahit, yaitu pada masa pemerintahan Bhre Lasem I/

Rajasaduhitendudewi/ dewi Indu (1350-1375). Mengingat bahwa kemungkinan

besar batik sudah menjadi pakaian bangsawan kerajaan Majapahit, maka hal ini

juga berlaku di wilayah Lasem. Dengan demikian kita dapat mengemukakan 3

(tiga) hipotesis sebagai berikut:

1) Pakaian batik sudah digunakan oleh para bangsawan di Lasem paling tidak

sejak pemerintahan Bhre Lasem 1/ Dewi Indu. Digunakannya kain batik oleh

para bangsawan kerajaan Majapahit berimplikasi pada kemungkinan

penggunaan kain batik oleh para bangsawan di wilayah kekuasaan Majapahit,

termasuk Lasem.

2) Diduga desain batik yang digunakan di Lasem adalah sama persis atau

sebagian besar sama dengan corak batik yang dikembangkan di pusat kerajaan

Majapahit. Para penguasa wilayah Lasem tidak memiliki kepentingan untuk

mengembangkan corak batik khas Lasem yang berbeda nyata dengan corak

batik Majapahit karena secara historis penguasa Lasem tidak pernah berupaya

menciptakan identitas politik “ke-Lasem-an” yang berbeda dengan “ke-

Majapahiit-an”. Bhre Lasem 1 (Dewi Indu) merupakan adik perempuan raja

Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit yang tidak pernah memberontak untuk

melawan kakaknya sendiri. Penguasa lasem berikutnya, yaitu Bhre lasem II

(Nagarawardhani), walaupun memihak suaminya (Wirabumi II) melawan raja

Majapahit Wikramawardhana dalam Perang Paregrek. Namun demikian,

32

konflik politik tersebut tetap dalam konteks perebutan kekuasaan di Majapahit

sehingga tidak dapat menciptakan perlunya sebuah identitas baru ke-Lasem-

an sebagai basis pengembangan desain batik baru untuk dipakai oleh kaum

bangsawan di Lasem. Sedangkan Bhre Lasem III, Bhre Lasem IV dan Bhre

Lasem V berturut-turut adalah istri dan keponakan yang loyal kepada Prabu

Wikramawardhana.

3) Belum jelas lokasi produksi kain batik yang digunakan di Lasem pada

kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan kecil, Lasem tidak menjadi

tempat tinggal bangsawan Majapahit di luar keluarga Bhre Lasem. Hal ini

menyebabkan sedikitnya jumlah kebutuhan pakaian bermotif batik yang

memerlukan produksi batik di daerah Lasem sendiri. Keluarga Bhre Lasem

dapat memperoleh kain batik di lokasi lain di luar Lasem yang merupakan

tempat produksi batik keluarga kerajaan Majapahit.

Namun demikian, mengingat preferensi terhadap kain batik dan bersifat

personal maka Bhre Lasem mungkin memiliki pembatikan sendiri di Lasem

dengan mempekerjakan tenaga pembatik trampil kepercayaannya. Kedua dugaan

yang saling bertentangan tentang ada tidaknya lokasi pembatikan di Lasem jaman

Majapahit sulit diverivikasi kebenaranya mengingat tidak adanya penunjang

berupa artefak kain batik Lasem jaman Majapahit, prasasti atau babad yang dapat

menjelaskanya. Dengan demikian, ada tidaknya lokasi produksi kain batik yang

dipakai oleh para bangsawan di Lasem pada jaman Majapahit sulit ditentukan

sampai saat ini.

33

Motif dan warna batik Majapahit yang dipakai para Bhre Lasem I diduga

mirip dengan sebagian desain batik Mataram Yogyakarta dan Surakarta (batik

vorstenlanden) saat ini, yaitu motif gringsing dan kawung pada ukiran pakaian

dari arca-arca candi peninggalan kerajaan Majapahit atau masa sebelumnya.

Warna coklat pada kain batik diperoleh dari hasil pencampuran tiga jenis zat

pewarna alam, yaitu kayu tingi, jambal, dan tegeran. Sedangkan warna biru

diperoleh dari hasil fermentasi tanaman nila (indigo tinctoria sp.). Warna batik

yang digunakan di daerah-daerah kekuasaan Majapahit, termasuk Lasem, diduga

berwarna coklat tua dan biru tua dengan pertimbangan sebagai berikut:

1) Warna coklat tua dan biru tua sampai sekarang masih disebut sebagai soga

Majapahit di daerah Lasem.

2) Warna pakem batik Kalangbret yang konon merupakan penerus batik

Majapahit di daerah Tulungagung berwarna cokelat tua dan biru tua.

3) Warna coklat tua dan biru tua merupakan batik Mataram sebagaimana tampak

dipakai pada batik gaya Yogyakarta saat ini. Besar kemungkinan warna coklat

tua dan biru tua juga merupakan warna batik pada masa Majapahit. Hal ini

mengingat (a) lambatnya perkembangan teknologi pewarnaan alami

menyebabkan warna batik majapahit yang diduga berwarna coklat tua dan

hiru tua tersebut terus berlanjut ke generasi batik berikutnya, yaitu batik

Mataram, (b) adanya pengakuan terhadap garis keturunan yang sama antar

penguasa sejak jaman kerajaan Singasari, Majapahit, Demak, Pajang sampai

Mataram Islam sehingga besar kemungkinan warna pakaian sebagai identitas

34

politik para penguasa tidak terlalu berpengaruh. Warna coklat tua dan biru tua

merupakan warna pakaian batik yang dipakai pada berbagai masa kerajaan

tersebut.

Pengaruh budaya Jawa dan agama Hindu Buddha masa kerajaan Majapahit

masih terasa pada motif dan warna batik Lasem yang dihasilkan saat ini. Motif

kawung dan gringsing banyak dipakai pada batik Baganan, yaitu bati Lasem yang

berasal dari Desa Babagan. Sedangkan warna soga dan biru tua tetap menjadi

kombinasi warna favorit batik Lasem. Warna soga dan biru tua dipakai pada jenis

batik Lasem bergaya voerstenlanden yang umumnya dipakai oleh masyarakat

Jawa di pedesaan kabupaten Rembang.

c. Periode Masuknya Pengaruh Budaya Champa (1413)

Berdasarkan kitab “Serat Badra Santi” karangan Mpu Santibadra pada tahun

19497 Masehi dan ditulis ulang oleh keturunannya yaitu Raden Panji Khamzah

dengan menambahkan bab Cerita Lasem/ Babad Lasem menjadi relevansi

terhadap sejarah perkembangan batik Lasem yang terletak pada:

Kitab Serat Badra Santi memuat istilah “batik” pada bab 558 halaman 1

sebagai berikut:

“Padha ngudhi nggambar nyungging sing setiti”

“Ngati-ati natah ngukir barang rimpi”

“Ditlateni nyongket, mbatik widyarini”

35

Pada tahun 1335 Saka (1435 Masehi), Bi Nang Un seorang Champa yang

pernah menjadi salah seorang nahkoda kapal dari Armada Laut Laksamana Cheng

Ho (digelari Ma Sam Po atau Dampu Awang) mendarat di Pantai Regol (sekarang

disebut pantai Binangun), Kadipaten Lasem.

Bi Nang Un datang di Lasem bersama istri (putri Na Li Ni), anak lelaki (Bi

Nang Na, berusia 5 tahun), dan anak perempuan (Bi Nang Ti, berusia 3 tahun)

beserta sanak saudaranya. Mereka bertempat tinggal di daerah Kemendhung

(sekarang sekitar daerah Jatirogo, Lasem) yang telah dihadiahkan oleh Adipati

Lasem saat itu, yaitu Adipati Wijayabrata.

Rombongan Bi Nang Un terdiri dari orang-orang Champa yang beragama

Buddha dan pandai dalam bidang kesenian (membatik, menari, membuat

perhiasan emas, membuat peralatan kuningan, dan sebagainya). Putri Na Li Ni

(istri Bi Nang Un) mengajarkan seni membatik, menari dan membuat slepi merak

kepada putra-putrinya serta para remaja putri di Taman Banjaran Mlati,

Kemendung.

Setelah dewasa, Bi Nang Na menjadi seorang ahli karawitan terkenal. Ia

menciptakan Gagrak Lasem (yang merupakan hasil kombinasi Gagrak Champa

dan Gagrag Majapahit), Pathet Lasem, Suluk Lasem, dan Sampak Lasem. Ia

kemudian dikenal sebagai Mpu Winarna. Sedangkan Bi Nang Ti setelah dewasa

menjadi mahir dalam membatik dan menari. Bi Nang Ti kemudian menikah

36

dengan Adipati Badranala dan memiliki dua orang anak, yaitu Wirabajra dan

Santibadra.

Wirabajra kelak menjadi Adipati Lasem dan beranak Wiranagara. Wiranagara

kemudian memeluk agama Islam dan beristrikan putri Maloka (putri Sunan

Ampel dan kakak Sunan Bonang). Sedangkan Santibadra mendalami agama

Syiwa Buddha dan menjadi pujangga kerajaan Majapahit dengan gelar Mpu

Tumenggung Wilatikta. Santibadra-lah yang menulis Serat Badra Santi (Babad

Tanah Lasem) pada tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi.

d. Periode Pengaruh Budaya Cina (1500-1799)

Kerajaan Hindu Buddha Majapahit runtuh pada akhir abad XV yang

digantikan oleh kerajaan Islam demak pada sekitar tahun 1500. Pada awal masa

pemerintahan kerajaan Demak, kelompok masyarakat Cina Islam yang disebut

sebagai Cina Peranakan menguat peranannya di bidang ekonomi dan politik.

Namun di bidang seni budaya, pengaruh Cina Peranakan Islam bersifat minimal

terhadap budaya penduduk pribumi Jawa. Masyarakat Cina Peranakan mambaur

secara harmonis dengan masyarakat lokal Jawa. Dengan demikian, pengaruh

Cina Peranakan Islam dalam konteks perkembangan seni budaya lokal, termasuk

batik Lasem, tidak signifikan.

Pada awal abad XVI tersebut di atas, diduga buadaya pakaian batik masih

berlaku di kalangan bangsawan atau priyayi saja. Dari perspektif bisnis,

rendahnya permintaan terhadap produksi kain batik tersebut menyebabkan belum

37

terjadinya industrialisasi batik. Dengan demikian, usaha batik belum menjadi

pilihan kegiatan ekonomi pengusaha Cina Peranakan Islam. Akibatnya, tidak ada

faktor yang mendorong upaya memasukkan motif dan warna yang dipengaruhi

budaya Cina terhadap desain batik pesisir Jawa, termasuk batik Lasem. Dengan

kata lain, pada awal abad XVI tersebut motif dan warna batik Lasem tetap tidak

mengalami perubahan. Motif batik Lasem masih berwujud motif-motif yang

diperngaruhi budaya Jawa, Hindu, Buddha dan Champa.

Selanjutnya, abad XVII merupakan awal era kolonialisme Belanda di

kepulauan Nusantara. Abad XVII ini juga ditandai oleh datangnya gelombang

besar pendatang baru dari Cina dan Arab di pulau Jawa. Pendatang baru dari

Cina tersebut disebut sebagai Cina Totok. Berbeda dengan Cina Peranakan Islam

yang memiliki kedekatan terhadap budaya lokal Jawa, maka Cina Totok masih

mempertahankan budaya leluhur mereka. Hal ini menyebabkan Cina Totok lebih

cenderung memakai desain budaya Cina pada aneka perabot rumah tangga,

arsitektur dan pakaian terutama di awal kedatangan mereka di pulau Jawa.

Pria Cina Totok menggunakan pakaian tradisional mereka yaitu tungsha.

Sedangkan perempuan Cina menggunakan pakaian qibao. Sementara itu, pria dan

perempuan Cina Peranakan besar kemungkinan sudah menggunakan kain sarung

sebagai pakaiannya. Penggunaan kain sarung oleh perempuan Cina Peranakan di

Lasem dapat dimengerti karena konon para perantau dari Cina saat datang di

Lasem adalah kaum pria. Mereka menikah dengan para permpuan pribumi Jawa.

38

Tidaklah mengherankan jika pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia,

perempuan Tionghoa di Lasem disebut “nyai” oleh keluarganya sendiri.

Pada akhir abad XVII diperkirakan batik Lasem sudah mulai diproduksi

dalam skala terbatas sebagai industri rumah tangga di kota kecamatan Lasem.

Batik yang dibuat pada masa ini memakai kombinasi ragam hias Jawa, Champa

dan Cina. Konsumen batik Lasem tersebut adalah para perempuan Cina

peranakan, baik di kota Lasem maupun kota-kota lain di pulau Jawa.

e. Periode Awal Industrialisasi Batik Lasem & Pengaruh Budaya India (1800-

1899)

Abad XIX diduga merupakan awal perkembangan industri rumah tangga batik

Lasem secara lebih masif. Berkembangnya budaya pakaian batik di kalangan

perempuan etnis Cina di berbagai kota pulau Jawa dan Sumatra menyebabkan

tingginya permintaan terhadap batik Lasem yang bermotif kombinasi Cina-Jawa.

Semua batik Lasem yang dihasilkan pada abad XIX ini masih mengandalkan

teknologi canting tulis.

Pada periode ini juga terjadi adopsi motif budaya kain India pada batik Lasem

sebagai akibat kelangkaan kain chintz India pada akhir abad XVIII. Pengusaha

batik Lasem diperkirakan memanfaatkan kesempatan bisnis tersebut dngan

memproduksi kain batik bergaya chintz India pada awal abad XIX. Namun

demikian, ada kemungkinan pengaruh budaya India pada pembentukan budaya

batik Lasem sudah terjadi sejak masa Majapahit. Hal ini mengingat kerajaan

39

Majapahit dan kerajaan-kerajaan sebelumnya mengadopsi agama Hindu-Buddha

sebagai agama kerajaan. Beberapa pengamat Barat antara lain Robyn Maxwell

(2003) dan Rudolf G. Smend etal (2007) menyatakan bahwa bati Lasem

dipengaruhi oleh chintz yang dihasilkan di Coromandel, India. Dengan

membandingkan motif kain chintz tersebut dengan motif batik Lasem, kita dapat

melihat adanya beberapa persamaan di antara kedua jenis kain tradisional

tersebut.

f. Periode Keemasan Industri Batik Lasem dan Pengaruh Budaya Belanda pada

Batik Lasem (1900-1941)

Awal abad XX, tepatnya sektar tahun 1900 sampai dengan masuknya Jepang,

industri batik Lasem mengalami masa kejayaan. Pada masa ini, desain motif yang

dipengaruhi oleh budaya Belanda juga mulai dipakai untuk memperindah kain

batik Lasem.

Era paruh kedua abad XIX ditandai oleh berjayanya batik Pekalongan bergaya

Indo Belanda. Pada masa ini kita dapat mencatat masa keemasan para pengusaha

perempuan Belanda seperti Lien Metzelaar (c. 1855-1930), Eliza van Zuylen

(1863-1947), Ny. Simonet (c. 1865-1937), dan sebagainya. Mereka menciptakan

desain batik bergaya buketan Eropa yang naturalis dan disusun secara horizontal.

Bagian latar dari kain batik Indo-Belanda tersebut umumnya tidak diberi isen-

isen. Sedangkan pewarnaan yang digunakan merupakan zat kimia naftol dan

indigosol dengan warna cerah dan lembut.

40

Kemajuan industri batik Indo-Belanda membuat engusaha batik Lasem yang

lebih pragmatis untuk meniru desainnya. Kain batik Lasem pun mulai diberi

hiasan buketan sederhana yang tidak naturalis. Akibatnya arti ragam hias buketan

batik Lasem sulit ditelusuri jenis bunga yang menjadi inspirasi desainnya. Sejalan

dengan berkembangnya motif batik yang terinspirasi oleh cerita rakyat Eropa,

seperti Litle Red Riding Hood, batik Lasem pun juga mengikuti dengan

penampilan motif batik yang merupakan gambaran dari cerita rakyat Cina, seperti

Pat Sian Kwee Hay (Delapan Dewa menyebrangi Lautan).

Selain itu, pengaruh desain Belanda pada batik Cirebon seperti tampak pada

jenis kain batik Kompeni juga telah memacu motivasi pengusaha batik Lasem

untuk menampilkan desain batik sejenis yang menkankan susasana kehidupan

etnis Cina, misalnya Arak-arakan Pengantin Tionghoa. Sedemikian kuat

pengaruh desain Belanda ini pada perkembangan industrI batik Lasem sehingga

terdapat beberapa orang pengusaha batik Lasem yang mengkhususkan diri untuk

produksi batik bergaya van Zuylen ala Pekalongan, yaitu Tan Sik Liang khusus

membuat dan menjual batik bergaya van zuylen Pekalongan. Sedangkan Tio

Swan Sie membuat batik gaya Pekalongan dan Solo (Surakarta).

Pada masa ini, teknologi produksi batik Lasem mengalami perkembangan.

Tidak saja pengusaha batik Lasem menghasilkan batik tulis, tetapi mereka mulai

memakai cap batik untuk membuat batik cap. Tidaklah mengherankan jika

kemudian pemasaran batik Lasem mampu manjangkau sasaran konsumen di

seluruh pulau Jawa dan Sumatera (khususnya Sumatera Selatan, Sumatera Barat

41

dan Jambi), semenanjung Malaka, Thailand Selatan “daerah Pattani”, Bali,

Sulawesi Utara dan Suriname (Amerika Tengah).

g. Periode Stagnasi Industri Batik Lasem (1942-1945)

Selama masa penjajahan Jepang, industri batik Lasem mengalami masa

stagnasi total. Semua industri batik Lasem melakukan tutup usaha. Hal ini

disebabkan oleh tidak kondusifnya iklim usaha pada masa tersebut. Bala tentara

Jepang menyita persediaan kain mori dan bahan makanan layak yang dimiliki

oleh pengusaha batik dan penduduk lain di Lasem. Bahkan sebagian dari tentara

Jepang tersebut melakukan gangguan terhadap kaum perempuan.

Sementara itu, masyarakat konsumen tidak diperkenankan menggunakan

pakaian yang layak. Akibatnya, permintaan terhadap batik Lasem dan kain

bermutu tinggi lainnya turun drastis atau bahkan tidak sama sekali. Dengan

mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial politik dan keamanan yang tidak

kondusif tersebut diatas, tidaklah mengherankan jika semua pengusaha batik

Lasem serentak menutup total usaha pembatikannya.

h. Periode Konsolidasi & Pengaruh Budaya Lokal (1946-1950)

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 diwarnai dengan

revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Periode revolusi

fisik ini berlangsung sampai sekitar terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB) di

Den Haag, tahun 1949.

42

Pada periode awal kemerdekaan Indonesia tersebut, situasi ekonomi belum

stabil sama sekali. Permintaan terhadap produk kain batik, termasuk batik Lasem,

secara bertahap mulai meningkat. Namun demikian, industri batik Lasem belum

pulih dari keterpurukannya pada masa penjajahan Jepang. Diperkirakan hanya

sedikit pengusaha batik Lasem yang mulai aktif kembali pada masa revolusi fisik

tersebut.

Dampak negatif dari tidak berfungsinya industri batik Lasem tersebut sangat

terasa. Para pengusaha batik Lasem kehilangan kesempatan perolehan laba usaha.

Mereka harus bertahan hidup dari tabungan yang dimiliki selama ini. Sementara

itu, para perempuan pembatik di pedesaan terpencil merasakan dampak yeng jauh

lebih parah. Mereka kehilangan pekerjaan membatik yang menjadi andalan untuk

memperoleh penghasilan tambahan. Keluarga pembatik pun harus mengalami

penderitaan dalam mempertahankan hidup dengan mengandalkan hasil bumi dan

pakaian sekedarnya.

Pada masa penjajahan Jepang, sejumlah kecil industri batik di Pekalongan

berhasil bertahan dan bahkan menghasilkan kain batik Hokokai yang sangat indah

dengan mengakomodasi desain budaya Jepang, Cina, dan Jawa. Sebaliknya, tidak

berfungsinya industri batik Lasem pada masa tersebut menyebabkan ketiadaan

nuansa budaya Jepang pada desain batik Lasem.

43

i. Periode Revitalisasi Industri (1951-1970)

Setelah situasi ekonomi dan sosial politik Indonesia kembali tenang, industri

batik Lasem secara bertahap mulai bangkit kembali. Beberapa orang pengusaha

batik Lasem mulai berusaha kembali. Tetapi sisa pengusaha batik Lasem lainnya,

sebagai contoh Njoo Wat Djiang (ayah dari pengusaha batik Sigit Witjaksono)

memutuskan untuk tidak meneruskan usaha batik tersebut.

Pada masa ini para pengusaha batik Lasem menghadapi tantangan perubahan

pasar yang baru. Para perempuan etnis Cina yang merupakan sebagian besar dari

konsumen batik Lasem pada masa pra Perang Dunia II telah mengubah kebiasaan

berpakaiannya. Mereka tidak lagi mengenakan kombinasi kebaya encim dan kain

batik, termasuk batik Lasem, serta menggantikannya dengan pakaian bergaya

barat yang dianggap lebih nyaman (misal, rok dan gaun). Akibatnya, para

pengusaha batik Lasem harus mencari pasar konsumen pengganti.

Target pasar baru produk batik Lasem adalah masyarakat Indonesia non etnis

Cina. Konsekuensinya, desain batik Lasem harus disesuaikan dengan selera dan

nilai sosial budaya dari calon konsumen baru tersebut. Motif batik Lasem yang

semula di dominasi oleh ragam hias Cina dan Jawa diubah menjadi Sebagai

berikut:

1) Penggunaan motif lokal non hewan untuk menggantikan motif hewan

yang berasal dari budaya Cina. Desain motif latohan, lombokan, watu

44

kricak dan sebagainya dikembangkan sebagai pengganti motif Cina seperti

naga (liong), burung phoenix (hong), kilin dan sebagainya.

2) Pengenalan warna hijau sebagai salah satu warna dominan kain batik

lasem, disamping warna-warna tradisonal lain seperti merah, biru dan

soga/ coklat.

Sedikt banyak, perubahan desain motif dan warna batik Lasem tersebut diatas

disesuaikan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam yang menjadi mayoritas

penduduk Indonesia. Fenomena ini secara tegas menyatakan desain batik Lasem

telah berubah total dari ragam hias primordial budaya Cina-Jawa-Champa-India-

Belanda yang tanpa pengaruh ajaran agama Islam menjadi ragam hias yang lebih

universal dan dipengaruhi ajaran agama Islam. Pemakaian ragam hias lokal non

primordial seperti rumput laut latohan, misalnya menyebabkan desain batik

Lasem dapat diterima oleh kalangan konsumen dengan identitas sosial budaya

yang lebih beragam.

j. Periode Kemerosotan Industri (1970 – 2004)

Periode tahun 1970-2004 mencatat kemerosotan industri batik Lasem. Jumlah

pengusaha menurun drastis dari sekitar 144 orang (1970an) menjadi hanya 18

orang (Januari 2004). Beberapa penyebab kemerosotan jumlah pengusaha batik

Lasem sebagai berikut:

1) Pengenalan teknologi printing batik, baik secara manual (sablon) maupun

otomatis (rotary printing machine) menyebabkan persaingan ketat terhadap

45

industri batik berteknologi produksi tradisional yaitu canting tulis dan cap.

Harga kain tektstil bermotif batik yang dihasilkan teknologi printing batik

jauh lebih rendah daripada harga kain batik cap dan batik tulis. Akibatnya,

permintaan terhadap batik tradisional Lasem, khususnya batik cap, menjadi

merosot tajam. Batik cap Lasem terpuruk hebat akibat kalah bersaing dengan

batik printing, sebagai produk substitusi-nya, sehingga produksi batik cap

terus dikurangi sampai menjadi nihil sama sekali pada awal tahun 2004.

Sementara itu, batik tulis Lasem masih dapat bertahan untuk menahan

gempuran persaingan dari batik printing karena eksklusivitas desain dan

teknik produksinya.

2) Krisis moneter perbankan yang dialami Indonesia beberapa kali, antara lain

November 1978, Juni 1983, dengan puncak krisis pada tahun 1997-1998

menyebabkan kesulitan pengusaha batik Lasem tradisonal dalam

mempertahankan kelangsungan usaha mereka. Merosotnya daya beli

masyarakat konsumen batik ditambah dengan kenaikan biaya produksi batik

yang sangat tergantung pada bahan baku serta bahan penolong dari luar negeri

(kapas dan bahan pewarna), menyebabkan para pengusaha batik mengalami

kesulitan pemasaran, permodalan dan pembayaran kembali dari para

konsumen. Akibatnya, banyak pengusaha batik Lasem terpaksa menutup

usaha batik keluarga mereka dan beralih pada bisnis baru yang dianggap lebih

aman dan menguntungkan.

3) Kendala regenerasi pengusaha dan pengrajin batik (pembatik) mempersulit

kesinambungan usaha batik Lasem. Generasi muda dalam keluarga

46

pengusaha batik di Lasem memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi di

berbagai kota besar, sperti Surabaya, Jakarta, Semarang, Bandung dan

Yogyakarta. Seusai lulus dari perguruan tinggi, generasi muda calon penerus

usaha batik Lasem tersebut enggan untuk kembali ke Lasem. Kota Lasem

dianggap sebagai sebuah kota kecil yang terkesan tidak menjanjikan masa

depan ekonomi dan tidak tersedia pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas

intelektual mereka yang baru. Keengganan generasi muda Lasem untuk

menjadi pengusaha batik Lasem tersebut telah memudarkan semangat para

pengusaha batik Lasem, orang tua mereka, untuk berinvestasi dan memajukan

usaha batik. sedikit-demi sedikit perusahaan batik Lasem tutup usaha karena

alas an pemiliknya berusia lanjut, sakit atau bahkan meninggal dunia.

k. Periode Revitalisasi Industri II (2004 - 2009)

Tahun 2004, batik tulis Lasem mulai bangkit kembali. Tahun 2008, terjadi

polemik dengan diakuinya batik sebagai budaya Negara Malaysia, yang kemudian

memicu industri batik tulis Lasem untuk samakin bersinar dan menjadi

fenomenal.

Lasem terkenal sebagai salah satu sentra batik penting di Jawa pada akhir

abad ke-19. Warna batik tulis Lasem sangat khas yang dipercaya karena pengaruh

tanah dan iklim setempat. Invasi jepang pada tahun 1942-1945 membuat semua

usaha batik tutup. Daerah Pekalongan lahir dengan corak Hokokainya, tetapi di

Lasem tak tampak pengaruh Jepang.

47

Batik tulis Lasem mengalami keterlambatan untuk bangkit kembali, karena

pemakaian kain batik tinggal para perempuan Tiong hoa lanjut usia, sementara

pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (motif lokcan) dan Suriname berubah

selera. Pemilik usaha batik tulis Lasem juga berubah. Tahun 1990-an semua

usaha batik milik keturunan Tiong hoa, setelah krisis ekonomi tahun1998, muncul

pengusaha batik suku Jawa. Tahun 2004, ada 14 pengusaha Tiong hoa dan 4

pengusaha Jawa. Tahun 2009, dari 32 pengusaha batik di Lasem, kira-kira dua

sepertiganya suku Jawa.

B. Landasan Teori/Kerangka Berpikir

1. Teori

Teori yang digunakan sebagai landasan dalam pengkajian yang membahas

tentang batik tulis Lasem pada zaman sekarang adalah pendekatan berdasarkan

dari teori desain Nanang Rizali.

Desain mempunyai beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan, sehingga

pada akhirnya akan dicapai suatu kesatuan (unity) secara menyeluruh. Untuk

mencapai suatu kesatuan (unity) organisasi yang baik, sebuah desain memiliki

unsur, kriteria dan prinsip yang perlu mendapat perhatian dari seorang desainer.

(Rizali, 2006: 43).

Desain pada hakikatnya adalah proses usaha kreatif untuk memenuhi tuntutan

kebutuhan manusia. Dalam pemenuhan kebutuhan rohani dan jasmaninya, desain

mempunyai hubungan dengan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, budaya,

teknologi, estetika, dan lain-lain. Sehingga suatu produk diharapkan dapat

memenuhi tuntutan pemakai, pasar dan pembelinya(Nanang Rizali,40:2006).

Kriteria dan prinsip-prinsip desain menurut Nanang Rizali adalah irama,

keseimbangan, pusat perhatian/emphasis khususnya pada desain tekstil.

48

a. Irama, pada bidang seni rupa (khususnya desain tekstil) irama terbentuk

karena pengulangan (repetition) dan gerakan (movement). Pengulangan

mungkin diwujudkan melalui warna dan nada bidang / bentuk, garis dan

tekstur.

b. Keseimbangan adalah suatu kondisi atau kesan optimis, tentang kesan

berat, tekanan, tegangan dan kesetabilan. Dalam penciptaan desain dapat

diasosiakan wujud – wujud elemen dasar seperti garis, bidang tekstur dan

warna sebagai anak timbangan pada sebuah neraca, dapat diasosiakan

tentang keseimbangan horizontal, keseimbangan vertikal, keseimbangan

radikal.

c. Pusat Perhatian, pada desain tekstil pusat perhatian ini lebih dikenal

dengan eye cathers yang terwujud oleh motif (ragam hias) dan warna serta

tekstur. Untuk dapat menarik perhatian tersebut, suatu ciri visual bagian

hendaknya dikontraskan dengan daerah sekitarnya

Adapun unsur-unsur desain menurut Nanang Rizali diantaranya garis, bentuk,

warna, dan tekstur.

a. Garis, merupakan pertemuan beberapa titik. Menurut Rizali garis dibagi

menjadi dua yaitu, garis bersifat grafis ( calligraphic mark), dan garis

yang bersifat/menjadi pengikat ruang, massa, warna dan bentuk

(structural line).

b. Bentuk, Sebuah garis yang dihubungkan akan membentuk suatu daerah

yang disebut bentuk (Rizali, 2006: 52).

49

c. Warna, penggunaan atau penerapan warna memberikan ciri atau karakter

pada sebuah desain, misalnya warna monokromatik untuk pakaian dengan

bahan kain tipis.

d. Tekstur, dapat dibentuk melalui penciptaan dan desain struktur misalnya

melalui proses pertenunan, beberapa cara dan teknik akan membantu

dalam membuat efek – efek tekstur sekaligus menambah variasi pada

unsur desain yang lain.

Tahapan penting dalam rangkain proses desain tekstil adalah

mempertimbangkan berbagai aspek secara terpadu seperti aspek fungsi, estetika,

bahan, proses dan mode.

a. Aspek fungsi adalah pemikiran yang berhubungan dengan pemakai tekstil,

misalnya untuk busana, dengan memperhatikan usia pemakai dan

tingkatan golongan di dalam masyarakat.

b. Aspek estetika adalah pertimbangan gagasan atau sumber ide dan tema

termasuk olahan ragam hias dan warnanya. Juga diperhitungkan skala

proporsi, pengulangan, komposisi dan teknis penampilan desain.

c. Aspek bahan adalah pertimbangan pemilihan jenis serat benang, struktur

tenunan, sifat dan daya serap atau suai kain.

d. Aspek proses adalah teknik produksi yang dapat dilakukan melalui

berbagai teknik dengan memperhatikan kemampuan daya produksi dan

pengulangan.

50

e. Aspek mode adalah pertimbangan kecenderungan gaya(style) yang

disesuaikan dengan pemakainya, waktu, musim dan tempatnya. Desain

mode secara detail atau styling berada dalam penanganan perancang mode

busana.

2. Kerangka Pikir

Bagan kerangka pikir menjadi gambaran arah penelitian yang akan dilakukan.

Penggunaan kerangka pikir bertujuan untuk memfokuskan proses kajian yang

Gambar 8. Bagan Kerangka Pikir

51

akan dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan. Kajian ragam hias batik Lasem

masa kini menjadikan latar belakang masalah pada langkah awal penelitian.

Setelah menentukan latar belakang masalah, kemudian dibentuklah

perumusan masalah.dalam perumusan masalah pertama membahas bagaimana

latar belakang pengembangan ragam hias batik Lasem masa kini,bagaimana

perwujudan ragam hias batik Lasem masa kini dan bagaimana konsep desain

ragam hias batik Lasem masa kini. Setelah melalui perumusan masalah maka

proses penelitian masuk pada tahap pembahasan masalah yang dikaji dengan

menggunakan analisis data.

Kerangka fikir dalam penelitian sangat dibutuhkan supaya penulisan akan

lebih fokus dan lebih mengerucut. Teori yang digunakan untuk membahas

“Kajian Ragam Hias Batik Lasem Masa Kini” menggunakan teori desain Nanang

Rizali.. Pertama menjelasakan tentang latar belakang pengembangan ragam hias

batik Lasem berdasarkan latar belakang ekonomi, sosial budaya dan teknologi.

Kedua membahas tentang perwujudan ragam hias batik Lasem, dimulai dari

penggolongan batik Lasem hingga visualisasi yang dikaji berdasarkan unsur

desain dan prinsip desain. Terakhir menjelaskan tentang konsep desain ragam hias

batik Lasem berdasarkan aspek fungsi, bahan, proses, estetika, trend mode dan

selera konsumen.