Upload
dangthuan
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Definisi Pajak
Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang -
undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara
langsung. Banyak ahli yang memberikan pengertian pajak, namun dari semua
itu memiliki makna yang sama. Berikut ini beberapa pendapat para ahli
mengenai pengertian pajak.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang No.6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 16 tahun
2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disana dijelaskan
mengenai pengertian Pajak yaitu, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada
negara yang terhutang orang pribadi maupun badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar – sebesarnya
kemakmuran rakyat.
Difinisi pajak menurut P. J. A. Adriani adalah, Pajak adalah iuran
masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
7
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja, Pajak adalah iuran wajib
berupa uang atau barang uang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-
norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa
kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang- undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.
Definisi pajak dalam Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan Undang – Undang ( yang dapat dipaksakan )
dengan tiada mendapat jasa timbal balik ( kontraprestasi ) yang langsung
dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1) Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta
aturan pelaksanaannya.
2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
3) Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
8
4) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukkannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai
public investment.
2.1.2 Pengelompokan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:5) pajak dapat di golongkan ke dalam beberapa
kelompok, yaitu:
1) Menurut Golongannya
(a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang
lain.
Contoh: Pajak Penghasilan
(b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai
2) Menurut Sifatnya
(a) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan
pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib
Pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan
(b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
9
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah
3) Menurut Lembaga Pemungutnya
(a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai
(b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak daerah terdiri atas:
(i). Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
(ii). Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran,
dan Pajak Hiburan.
2.1.3 Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:1) ada beberapa fungsi pajak antara lain:
1) Fungsi Budgetair (penerimaan)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah
satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran
baik rutin maupun pembangunan.
10
2) Fungsi Regulerend (Pengatur)
Pajak mempunyai fungsi mengatur, artinya pajak sebagai alat untuk
mengatur atau meleksanakan kebijakan pemerintah dalam sosial dan
ekonomi, mencapai tujuan – tujuan tertentu diluar bidang keuangan.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Ada tiga sistem pemungutan pajak, menurut Waluyo (2009:10)
sebagai berikut:
1) Official Assesment System
Official Assesment System adalah suatu sistem pemunggutan pajak
yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terhutang.
2) Self Assesment System
Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada
wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3) With Holding Tax System
With Holding Tax System suatu sistem pemungutan Pajak yang
memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau
memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
11
2.1.5 Syarat Pemungutan Pajak
Karena pajak merupakan peralihan kekayaan dari sector swasta
ke sector negara, maka pemungutannya agar tidak menimbulkan
berbagai hambatan atau perlawanan dari pihak yang dipungut, maka
harus memenuhi beberapa syarat, antara lain yaitu :
1) Pemungutan Pajak Harus Adil ( Syarat Keadilan )
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang
Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam
perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum
dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan dari masing-
masing wajib pajak. Sedang adil dalam pelaksanaannya, yakni
dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding
kepada Majelis Pertimbangan Pajak atas utan pajak yang telah
ditetapkan.
2) Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang Undang ( Syarat
Yuridis )
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hokum untuk menyatakan keadilan, baik bagi
negara maupun bagi warganya.
12
3) Pemungutan Pajak Tidak Mengganggu Perekonomian (Syarat
Ekonomis ).
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan
produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan
kelesuan perekonomian masyarakat.
4) Pemungutan Pajak Harus Efisien ( Syarat Finansiil )
Syarat finansiil ini sejalan dengan fungsi budgetair, yaitu bahwa
pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang akan
digunakan untuk menutup sebagian pengeluaran negara. Dengan
demikian maka pemungutan pajak harus diusahakan seefektif dan
seefisien mungkin sehingga bisa memasukkan uang ke kas negara
sebanyak-banyaknya dan meminimalkan biaya pemungutan sekecil-
kecilnya.
5) Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana ( Syarat Sederhana )
Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan
mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang Undang perpajakan yang
baru.
2.1.6 Masa dan Tahun Pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, Masa Pajak adalah jangka waktu yang
13
menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang KUP. Masa Pajak sama dengan 1 (satu)
bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
Sedangkan Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender
kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan
tahun kalender.
2.1.7 Surat Pemberitahuan (SPT)
Menurut Mardiasmo (2011:29) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang.
14
2.1.8 Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan
dalam tahun pajak. Penghasilan merupakan setiap tambahan kemapuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun. (Undang – Undang No. 36 Tahun 2008 tentang pajak
penghasilan).
2.1.9 Subjek Pajak Penghasilan dan Wajib Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:129) Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun
Pajak. Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
1) a. Orang pribadi.
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak.
2) Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
15
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif.
3) Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi:
1) Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari:
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus
berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
2. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu:
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali
unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah.
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara.
16
c. Subjek Pajak warisan, yaitu:
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
2) Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia.
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia.
Subjek Pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila
telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek Pajak badan dalam negeri menjadi
Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek Pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus
17
menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh
penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau
badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
2.1.10 Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk:
1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
2) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3) Laba usaha.
4) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
18
6) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
7) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
8) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tetentu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah.
12) Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14) Premi asuransi.
15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
17) Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
19
18) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Tidak termasuk sebagai Objek Pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3)
Undang-Udang Nomor 36 Tahun 2008 adalah:
1) Bantuan sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2) Warisan.
3) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah.
5) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
6) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
20
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia.
7) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai.
8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
9) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi.
10) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian
ijin usaha.
11) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.
2.1.11 Dasar Pengenaan Pajak Dan Cara Menghitung Penghasilan Kena
Pajak
21
Didalam Mardiasmo (2011: 143) untuk dapat menghitung PPh,
terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak
dalam negri dan Bentuk Usaha Tetap ( BUT ) yang menjadi dasar pengenaan
pajak adalah Penghassilan Kena Pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar
negri yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah penghasilan bruto.
Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung
sebesar penghasilan netto .sedangkan untuk Wajib Pajak badan dihitung
sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).
2.1.12 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :
1.) Rp. 24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
2.) Rp. 2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
3.) Rp. 24.300.000,00 tambahan untuk seorang istri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dengan syarat:
(a) Penghasilan istri semata – mata diterima atau diterima atau
diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak
berdasarkan ketentuan dalam Undang – Undang PPh Pasal 21, dan
(b) Pekerjaan istri yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau
pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga yang lain.
22
4.) Rp. 2.025.00,00, tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta
anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya ( maksimal 3
orang ).
Penghitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal tahun
pajak atau bagian awal tahun pajak . Penghitungan PTKP untuk pegawai lama
(tahun sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat
keadaan pada awal tahun takwim ( 1 Januari ). Bagi pegawai yang baru datang
dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP
tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang
bersangkutan.
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya
untuk dirinya sendiri .dalam hal karyawati tidak kawin, pengurangan PTKP
selain untuk dirinya sendiri juga PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya.
2.1.13 Tarif Pajak
1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
23
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena pajak bagi
Wajib Pajak orang pribadi dalam negri adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%
Di atas Rp. 50.000.000,00 sampai
dengan Rp. 250.000.000,00
15%
Di atas Rp. 250.000.000,00 sampai
dengan Rp. 500.000.00,00
25%
Di atas Rp. 500.000.000,00 30%
Sumber: Mardiasmo (2011:150)
Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% yang diatur melalui Peraturan Pemerintah.
2.1.14 Norma Perhitungan Penghasilan Netto
Di dalam Mardiasmo (2011:148) menyebutkan apabila dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajaknya Wajib Pajak menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Netto, besarnya penghasilan netto adalah sama
besarnya dengan besarnya (presentase) Norma Perhitungan Penghasilan Netto
dikalikan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas
setahun.
24
Pedoman untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan
disempurnakan terus– menerus serta diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pajak
berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Mentri Keuangan.Wajib Pajak
yang diperkenankan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto
adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1.) Peredaran bruto kurang dari 4.800.000,00 per tahun
2.) Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 (Tiga) bulan
pertama dari tahun buku
3.) Menyelenggarakan pencatatan.
2.1.15 Norma Untuk Pedagang Eceran
Berdasarkan KeputusanDirjen Pajak nomer KEP-536/PJ/2000
mengatur tentang pedagang eceran tekstil, pakaian jadi hasil pemintalan,
pertenunan, perajutan, hasil pengolahan kulit, termasuk barang keperluan
kaki.Seperti tekstil, pakain jadi, kain batik, macam-macam benang, tali-
temali, karpet/permadani dari bahan tekstil macam-macam hasil perajutan,
kulit/kulit imitasi, barang-barang dari kulit dan barang-barang keperluan kaki
untuk daerah 10 ibukota Provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar dan Pontianak dikenakan
tarif sebesar 30 %.
2.1.16 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013
25
Peraturan pemerintah tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1.Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan.
2.Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila
Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun
kalender.
Pasal 2
1.Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
2.Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a.Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap; dan
26
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
3.Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a.menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik
yang menetap maupun tidak menetap; dan
b.menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum
yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
4.Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)adalah:
a.Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b.Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
27
1.Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
2.Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun
Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
3.Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah
melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak
Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang
bersangkutan.
4.Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu
Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
1.Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
2.Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
28
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas
penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat
melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
a.kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-
turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b.Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian
dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
29
c.kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang
bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat
dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan
Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi
secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1.didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan,
dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua
belas) bulan;
2.didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak
terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak
yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini
di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;
30
3.didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib
Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahu 2013
merupakan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengenaan pajak yang
penghasilan yang bersifat final dan penetapan besaran tarif pajak terhadap
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu. Pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final
tersebut ditetapkan dengan berdasarkan pada pertimbangan perlunya
kesederhanaan dalam pemungutan pajak.
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai pengenaan pajak yang
bersifat final untuk peredaran bruto tertentu selain penghasilan yang telah
dikenakan pajak penghasilan yang dikenai pajak penghasilan final
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang – Undangan di bidang
perpajakan. Adapun penghasilan yang tidak boleh dikenai peraturan
pemerintah ini adalah sebagai berikut :
a.) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
b.) Penghasilan dari usaha dan kegiatan
c.) Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak atau harta tak gerak
31
d.) Penghasilan lain – lain, seperti pembebasan utang dan hadiah
e.) Penghasilan yang diperoleh dari orang pribadi yang melakukan kegiatan
perdagangan dan atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat
dibongkar pasang.
Dasar pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final ini adalah 1%
dikalikan jumlah penghasilan bruto pada satu masa pajak dengan catatan pada
tahun sebelumnya peredaran bruto kegiatan usaha tersebut tidak melebihi Rp.
4.800.000.000,00. Sedangkan jika jumlah penghasilan bruto dalam 1 tahun
telah melebihi Rp. 4.800.000.000,00, wajib pajak dapat menggunakan PP No.
46 ini apabila penghasilan bruto tahun sebelumnya melebihi Rp.
4.800.000.000,00 dan untuk tahun pajak berikutnya wajib pajak tersebut wajib
mengunakan tarif pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008.