Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka dalam Bab II ini menjelaskan konsep atau teori yang
berhubungan dengan 1) Kajian Semiotik dalam genre sastra; 2) Pemaknaan dan
penyimbolan; 3) Simbol dalam sebuah cerpen; 4) Bentuk Simbol; 5) Fungsi Simbol;
dan 6) Makna Simbol.
2.1 Kajian Teori
Sebagai sebuah karya fiksi cerpen menyuguhkan kisah-kisah manusia yang
disuguhkan sesuai dengan pemikiran pengarang. Pengaran dalam menghayati
ceritanya dengan penuh kesungguhan dan diungkapkan kembali melalui fiksi sesuai
dengan pandangannya (Nurgiyantoro, 2018:2). Cerpen dituliskan berdasarkan
perasaan dan imajinasi yang telah ada di dalam pikiran pengarang. Cerpen
disuguhkan untuk mengungkapkan perasaan yang terpendam di dalam diri
pengarang. Seorang penulis tidak akan memiliki karya sastra termasuk cerpen yang
bagus jika tidak memiliki imajinasi (Nurgiyantoro, 2018:4). Seorang penulis akan
menciptakan sebuah karya yang bagus jika ia memiliki imajinasi yang tinggi.
Tulisan tersebut juga merupakan tulisan yang hanya dapat dibaca dengan
intelektual yang tinggi. Agar dapat mengartikan sebauh karya sastra dengan mudah
semiotika menawarkan ilmu tanda sebagai media dalam memaknai karya sastra.
Berdasarkan ulasan tersebut peneliti memberikan beberapa penjelasan yang lebih
detil terkait hal tersebut, seperti di bawah ini.
14
2.1.1 Kajian Semiotik dalam Genre Sastra
Semiotika adalah model dalam sastra yang mempertanggungjawabkan
faktor-faktor dan aspek yang melekat untuk memberikan pemahaman terhadap
gejala-gejala susastra terutama komunikasi khas di dalam masyarakat (Santosa,
2013:4). Sebagai sebuah kajian semiotik dalam sastra, semiotik memberikan
penjelasan mengenai sistem tanda dalam kehidupan masyarakat disuatu cerita.
Semiotik adalah menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua
faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi
yang khas di dalam masyarakat mana pun (Lantowa dkk, 2017:3). Dilanjutkan oleh
Cristomy (2004:79) mengatakan bahwa, studi semiotik tanda-tanda. Sebuah kata
yang merupakan tanda apapun yang berhubungan dengan tanda. Dengan kata lain
gagasan semiotik (tanda, makna, denotatum dan interpretan) dapat diterapkan untuk
mengartikan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan selama tidak ada
prasayarat tertentu yang mengikat, yaitu ada artinya diberikan, ada makna dan
interpretasi. Dilanjutkan oleh Sudjiman (1991:3), semiotika adalah studi tentang
tanda, tentang cara mempergunakannya, cara menerimanya, cara
menghubungkannya dengan tanda yang lain, dan cara memahami dalam
menggunakannya. Karena mewakili sesuatu, unsur tanda yang kita indera
merupakan sebuah representasi. Tanda di dalam sebuah pemaknaan kalimat
memiliki makna tersendiri. Tergantung konteks dimana tanda itu berada. Ketika
tanda dalam suatu kalimat telah menampakkan makna yang sebenarnya maka akan
membuat pembaca berimajinasi. Tanda merupakan bagian dari ilmu semiotika yang
menerangkan sesuatu dan memperjelas makna sebuah tanda objek kepada subjek.
Dalam hal ini, tanda selalu menunjukkan bentuk yang nyata seperti kejadian, benda,
15
perilaku, peristiwa, kalimat, kata, dan bentuk-bentuk lainnya (Santosa, 2013:5).
Beberapa jenis prosedur analisis semiotika yang telah digunakan untuk
menganalisis beberapa teks tertentu belum tentu juga dapat digunakan untuk
menganalisis teks-teks yang lain. Karena sebuah teks tentu memiliki karakter yang
berbeda-beda.
Semiotik menjelaskan mengenai tanda di dalam sebuah karya sastra, dimana
tanda tersebut berbentuk makna, ataupun sebuah pendapat yang ditulis oleh
pengarang. Semiotik dapat digunakan dalam memaknai karya sastra yang
membicarakan mengenai kehidupan dalam konteks apapun, terkecuali karya-karya
yang lebih menspesifikan cerita kedalam salah satu tema kehidupan. Semiotik
selalu membongkar pesan-pesan tersembunyi melalui tanda-tanda yang disajikan
seorang penulis karya sastra.
Teori semiotika dan karya sastra memiliki keterkaitan. Penekanan teori
semiotika dalam kaitannya dengan karya sastra adalah pemahaman makna karya
sastra melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem
tanda dan bahasalah yang menjadi media sastra (Lantowa dkk, 2017:4). Karya
sastra memiliki bahasa yang khas sesuai dengan penulisnya. Penulis menceritakan
sebuah kisah nyata maupun fiksi menggunakan media yaitu bahasa. Akan tetapi,
bahasa yang digunakan tidak ditulis secara lugas, melainkan ditulis menggunakan
makna tersirat sehingga terbentuklah sebuah tanda. Teks sastra hampir semua
memiliki tanda yang artinya bukan arti sesungguhnya dan perlu adanya pemaknaan
oleh pembaca (Lantowa dkk, 2017:4). Setidaknya sebuah karya sastra selalu
menyimpan berbagai ekspresi yang disajikan oleh pengarang. Pembaca dapat
16
memperjelas ekspresi yang ada di dalam tulisan tersebut sesuai dengan tingkat
pemahaman dan imajinasi pembaca
Keseluruhan teks dari suatu karya sastra merupakan tanda-tanda yang perlu
dimaknai untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap teks tersebut
(Sumardjo dkk, 2000:293). Teks dalam suatu karya sastra yang memiliki makna
absurd, atau tersembunyi. Dalam membaca karya sastra pembaca haruslah benar-
benar diperhatikan maknanya agar tidak salah dalam memaknai sehingga tidak
terjadi kesalahan pemahaman. Ditekankan kembali bahwa bahasa sehari-hari
memiliki sifat mimesis, sedangkan bahasa sastra bersifat semiotik. Karya sastra
mengekspresikan sesuatu dengan cara tersendiri, atau secara tidak langsung.
Dengan kata lain, karya sastra mengartikan sebuah kata bukan dari arti
sesungguhnya (Sumardjo dkk, 2000:27). Bahasa memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak perlu lagi menjabarkan
lebih detail apa yang dituliskan dalam sebuah karya. Akan tetapi, berbeda dengan
bahasa sastra, bahasa sastra memiliki bahasa sehari-hari akan tetapi arti dari kata
tersebut tidak sesuai dengan arti seseungguhnya, melainkan bahasa sastra memiliki
arti lain (bukan arti yang sesugguhnya), yang dimiliki kata itu sendiri.
Jika strukturalisme lebih fokus pada tanda di dalam sistem, maka semiotik
membahas tentang tanda-tanda itu sendiri. Artinya semiotik lebih menekankan arti
dari sebuah tanda (Noth dalam Budiman, 2004:26–27). Strukturalisme dan semiotic
memiliki kajian yang berbeda, jika strukturalisme lebih menekankan tanda yang
terdapat di dalam struktur sebuah cerita atau karya sastra seperti tanda dalam alur,
tema, penokohan, dsb. Akan tetapi, semiotik lebih menekankan pada tanda itu
17
sendiri. Semiotik memaknai segala tanda yang terdapat dalam sebuah cerita tanpa
melihat bagaimana struktur cerita itu dibuat.
2.1.2 Pemaknaan dan Penyimbolan
Peirce (dalam Santosa, 2013:13) mengatakan bahwa simbol merupakan alat
yang berfungsi sebagai penanda, secara kaidah konvensi hal tersebut telah disetujui
oleh masyarakat. Simbol bukan hanya diartikan sebagai bahasa dalam sebuah karya
sastra, akan tetapi merupakan makna dari kejadian dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Dilanjutkan (Santosa, 2013:15), pada simbol menampilkan hubungan
antara penanda dan petanda dalam sifatnya yang telah disetujui oleh kedua belah
pihak. Untuk menentukan hubungan penanda tersebut penafsir harus mulai
membayangkan dengan imajinasi yang dimilikinya. Selain itu, disisi lain tanda
dapat pula berubah menjadi simbol seperti yang dijelaskan oleh (Santosa, 2013:15),
tanda yang berubah menjadi simbol selalu dibubuhi dengan sifat-sifat kultural,
situasional, dan kondisional. Oleh sebab itu, bahasa sebenarnya merupakan prestasi
kemanusiaan yang besar mengenai penanda yang bersifat arbiter. Bahasa
merupakan pembentuk tanda, tanda yang berubah menjadi simbol akan memiliki
beberapa makna yang menjelaskan suasana, situasi, dan juga kondisi dalam sebuah
karya sastra.
Karya sastra memiliki arti yang berbeda dengan karya-karya non sastra,
karena kebanyakan dari karya sastra memiliki makna untuk membangun jati diri
seseorang. Pemaknaan dalam sebuah karya sastra juga memiliki hubungan dengan
semiotika. Semiotika sebagai teori sastra yang khusus mengkaji tanda-tanda dalam
karya sastra sebagai proses pemaknaan yang memudahkan pembaca dalam
18
memahami pesan yang terkandung dalam suatu teks sastra (Lantowa dkk, 2017: 7).
Karya sastra sering kali menyuguhkan kalimat-kalimat yang sulit diartikan oleh
pembaca. Semiotika adalah suatu ilmu yang dapat membantu pembaca dalam
mengartikan kalimat-kalimat atau bahasa yang sulit diartikan oleh pembaca,
sehingga pembaca dapat lebih mudah memahami isi dari karya sastra itu sendiri.
Apapun yang berada di alam sekitar kita pada dasarnya memiliki simbol-
simbol yang memungkinkan kita untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain,
dan memberikan makna pada apa yang kita lihat (Sudjiman, 1991:1). Simbol
terkadang tidak terlihat bentuknya akan tetapi, dapat diarasakan melalui kata-
katanya maupun bentuknya. Peirce mengatakan bahwa kita hanya berpikir dengan
sarana tanda, selain dengan tanda saat berbicara kita tidak akan dapat
berkomunikasi dengan baik (Sudjiman, 1991:vii). Simbol bukan hanya hal-hal yang
tampak akan tetapi melalui struktur sebuah cerita pun makna dari sebuah simbol
dapat dicari. Beberapa kata unik yang terdapat di dalam sebuah karya sastra akan
memperkuat adanya sebuah simbol.
Pierce (dalam Santosa, 2013:7) menjelaskan bahwa, setiap lambang adalah
tanda, dan tidak setiap tanda itu dapat sebagai lambang. Dalam bahasa adakalanya
tanda dapat menjadi lambang secara keseluruhan. Sebuah simbol atau tanda dapat
menjadi sebuah lambang dengan media bahasa. Bahasa yang dipergunakan seorang
penulis karya selalu mengandung sebuah simbol yang dapat menjelaskan maksud
dari karya tersebut. Dilanjutkan (Santosa, 2013: 5), dalam hal ini, tanda selalu
menunjukkan pada sesuatu hal yang nyata, misalnya, benda, kejadian, tulisan,
bahasa, tindakan, peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda yang lain. Tanda atau simbol
dapat menunjukkan banyak hal yang diyakini dapat memberikan sebuah makna
19
karya sastra. Simbol dapat menjelaskan sebuah kejadian dengan jelas sesuai
imajinasi pembaca.
2.1.3 Simbol dalam Sebuah Cerpen
Menunjukkan sebuah simbol dapat menggunakan teks susastra, baik itu
berupa puisi, cerita pendek, novel maupun drama. Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa
perantara simbol dalam teks sastra dapat diharapkan menjadi suatu media agar
pembaca lebih mencintai teks sastra (Santosa, 2013:12). Simbol dalam karya sastra
memiliki banyak sisi positif yang dapat mendukung adanya karya sastra. Simbol
yang termuat dalam karya sastra memiliki makna-makna tersirat dan semakin
memperjelas pesan dalam cerita. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan
memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sebuah objek
representative (Endraswara, 2008: 64). Manusia dengan perantara tanda-tanda
dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya, sehingga dengan simbol pembaca
akan dapat memaknai kehidupan dalam cerita seakan-akan nyata dan benar-benar
terjadi. Simbol dalam karya sastra pasti mewakili sebuah objek yang terkait dalam
karya sastra. Jadi, makna-makna tersirat di dalam karya sastra akan nampak
semakin jelas.
Simbol yang digunakan dalam meneliti sebuah cerpen disebut juga dengan
kajian semiotik. Dengan tanda-tanda yang disajikan dalam sebuah cerpen dengan
media bahasa, sebuah cerpen dapat menyampaikan sebuah pesan. Arti bahasa yang
terdapat dalam cerpen juga disesuaikan dengan konvensi sastra. Menurut pierce
tanda-tanda selalu berkaitan dengan objek yang menyerupainya, keberadaannya
mempunyai hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan
20
konvensional dengan tanda-tanda tersebut (Syuropati, 2011: 71). Selanjutnya,
Nurgiyantoro (2018: 67) memaparkan bahwa perkembangan teori semiotik hingga
saat ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu semiotik komunikasi dan
semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan diri pada teori produksi
tanda, sedangkan semiotik signifikasi menekankan pemahaman, dan atau
pemberian makna, pada suatu tanda.
Jenis semiotik yang digunakan dalam mengkaji sebuah cerpen yaitu jenis
semiotik signifikasi yang di dalamnya lebih menekankan pemahaman dan
pemberian sebuah makna terhadap suatu tanda yang terdapat dalam cerpen. Selain
itu, semiotika menjadi sebuah bukti untuk karya sastra dan karya seni. Mukarovsky
(dalam Faruk, 2012: 77) menyebutkan bahwa karya sastra yang termasuk ke dalam
karya seni adalah sebuah fakta semiotik. Selanjutnya, Endraswara (2008: 63)
mengatakan bahwa karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan, dan
keinginan pengarang lewat bahasa. Berdasarkan pengertian ini maka setiap tanda
yang terdapat dalam karya sastra (baik mengenai penanda maupun petandanya)
selama masih dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak,
terutama insan susastra, dapat dikategorikan ke dalam ancangan semiotika (santosa,
2013:2).
Pada intinya segala yang berhubungan dengan tanda pastilah temasuk ke
dalam semiotika. Jika mengkaji sebuah karya sastra dengan sistem tanda artinya
peneliti harus memilih menggunakan semiotika komunikasi atau signifikasi. Karya
sastra memiliki arti berbeda dengan berbeda dengan arti yang sebenarnya dalam
setiap kata-katanya, sehingga dapat diartikan bahwa kata tersebut termasuk dalam
simbol atau tanda.
21
2.1.4 Bentuk Simbol
Tanda yang dirubah menjadi simbol akan dengan sendirinya dibubuhi
dengan adanya situasional, kondisional, dan kultural (Santosa, 2013:15). Simbol
merupakan bentuk yang memberikan makna pada setiap kata ataupun kalimat yang
disajikan dalam sebuah karya sastra. Agar sebuah tanda dapat menajdi sebuah
simbol, di dalamnya akan terdapat suatu kondisi, situasi dan budaya tertentu. Akan
tetapi simbol terkadang memberikan makna di luar kata itu sendiri atau memberikan
makna pada kata dengan arti lain (bentuk tidak tetap). Selain itu, walaupun simbol
memiliki arti di luar arti sebenarnya. Simbol tidak dapat memaknai simbol lainnya
dengan makna yang sama. Kode simbolik merupakan dunia perlambangan, yakni
dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Hal ini
dapat kita kenali melalui kelompok-kelompok konvensi atau berbagai bentuk yang
teratur (Santosa, 2013:40). Sebuah simbol yang menunjukkan adanya arti di
dalamnya merupakan sebuah pemikiran yang dibuat oleh manusia berdasarkan
kehidupan sehari-harinya. Mulai dari hal terkecil hingga terbesar seorang manusia
pasti akan melakukan sebuah kode simbolik untuk menunjukkan kehidupan
manusia yang sebenarnya.
Dalam hal ini, simbol dalam sebuah tulisan pasti akan menunjukkan hal-hal
yang nyata, misalnya seperti benda, kejadian, tulisan bahasa, tindakan, peristiwa,
dan bentuk-bentuk tanda yang lainnya (Santosa, 2013:5). Simbol yang disajikan
oleh pengarang bukan hanya sebuah simbol yang tak berarti. Simbol yang
dituliskan merupakan sebuah interpretasi dari kejadian nyata yang dialami oleh
pengarang. Selain itu, pengarang yang benar-benar berimajinasi sebagai luapan
emosinya dalam tulisan ia akan menggunkan simbol-simbol tertentu lainnya.
22
Tanda-tanda tertentu dapat dilaksanakan oleh makhluk lain yang tidak memiliki
sifat-sifat kultural, misalnya bunyi-bunyi binatang yang menunjuk pada “nama
binatang” itu sendiri (Santosa, 2013:6). Jadi, simbol bukan hanya sebuah bahasa,
kejadian dan lain sebagainya. Akan tetapi, sebuah simbol juga dapat memiliki
bentuk yang berbeda seperti suara binatang yang menunjuk pada binatang itu
sendiri. selain itu, simbol-simbol lainnya ditunjukkan dengan adanya warna-warna
yang terdapat dalam sebuah cerpen. Suatu lambang yang memiliki kaitan dengan
simbol-simbol jika sudah diberikan sifat-sifat kultural, situasional, juga
kondisional, seperti warna merah yang memberikan makna gagah, berani, dan
semangat yang berkobar-kobar untuk meraih cita-cita (Santosa, 2013:6). Sebuah
warna dapat menjadi simbol dalam cerita. Dalam mengartikan simbol warna
pembaca dapat melihat hal-hal yang sebelumnya terkait dengan warna tersebut,
sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memberikan makna.
Selain simbol-simbol yang disebutkan, (Hermintoyo, 2014:37–45) juga
menjelaskan dalam sebuah karya sastra memiliki simbol yang berhubungan dengan
Metafora di antaranya:
1. Blank Symbol (Simbol Kosong), disebut Blank Symbol jika kata-kata yang
dipakai sebagai simbol metafora maknanya secara umum sering dipakai dan
sudah diketahui atau klise.
2. Natural Symbol (Simbol Alam), disebut Natural Symbol jika kata-kata yang
diciptakan menggunakan simbol-simbol realitas alam sebagai proyeksi
kehidupan. Simbol ini berupa kehidupan binatang, fenomena air, udara,
tumbuh-tumbuhan, tanah.
23
a. Simbol kehidupan binatang, manusia tidak terlepas dari kehidupan binatang
baik untuk ternak, dimanfaatkan tenaganya, untuk lauk, dan sebagainya.
Dengan demikian pengarang dalam mengembangkan imajinasinya tidak lepas
dengan fenomena binatang.
b. Simbol fenomena air, imaji pengarang dalam menuangkan idenya tidak lepas
dengan penggunaan kata-kata atau frase yang memakai simbol air. Simbol air
ini meliputi air, sungai, danau, pantai, laut, samudera.
c. Simbol fenomena udara, udara (angina, bayu) adalah simbol kehidupan, nyawa,
pengelana, sejuk lembut, petaka, amarah.
d. Simbol fenomena tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan adalah benda hidup
yang dapat layu, mati, indah berbunga, rimbun menyejukkan, berakar, kokoh,
berbuah.
e. Simbol fenomena tanah, fenomena tanah meliputi, lembah, bukit, gunung,
simbol tanah menggambarkan tempat kelahiran, negara, kematian, keangkuhan,
kekokohan, sumber air, kehidupan, dan sebagainya.
3. Private Symbol (Simbol Khusus), disebut private Symbol jika kata-kata yang
diciptakan mengandung simbol secara khusus, dan digunakan untuk
membangkitkan keunikan atau gaya ciptaannya.
Dari ketiga bentuk simbol tersebut dapat dipahami bahwasanya simbol
bukan hanya apa yang dapat dilihat melainkan dari bahasa, pemikiran, dan juga
ucapan. Akan tetapi, peneliti akan menggunakan bentuk beberapa dari simbol
tersebut dalam pembahasan. Beberapa simbol yang telah dijelaskan oleh
Hermintoyo tersebut akan digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, Van Zoest
24
memberikan lima ciri tanda, pertama tanda harus dapat diamati agar berfungsi
sebagai tanda. Sebagai contoh Zoest menggambarkan:
1) Di pantai terdapat orang-orang yang duduk di kubangan pasir, disekitar
kubangan pasir didirikan sebuah dinding pengaman yang terbuat dari pasir dan
di rangkailah karang-karang sehingga membentuk tulisan ‘Duisburg’. Hal ini
menandakan bahwa yang berada di sekitar dinding tersebut adalah orang-orang
Jerman dari Duisburg;
2) Tanda harus bisa di tangkap merupakan syarat mutlak. Seperti kata ‘Duisburg’
yang di bentuk dari karang. Apapun bahan yang digunakan untuk membuat
sebuah tulisan itu tidak penting, yang terpenting adalah kata itu ada;
3) Merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Duisburg adalah
suatu kota di Jerman. Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’,
‘menggantikan’, ‘mewakili’, dan ‘menyajikan’;
4) Tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung
dengan sifat interpretatife, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya
hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga
penafsiran ‘di sana duduk-duduk orang jerman’;
5) Sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Pierce
menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap
Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu,
mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah
kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di
Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu
25
keseluruhan peraturan, perjnjian dan kebiasaan yang di lembagakan yang
disebut kode.
Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian
ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang
berdasarkan interpretasi individual dan incidental atau berdasarkan pengalaman
pribadi.
Selain itu, Peirce menjabarkan bahwa tanda memiliki tiga aspek yaitu
ikonik, indeksikal, dan simbol. Simbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi
sebagai penanda yang oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan dalam
masyarakat. Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada; 1) Hubungan
antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan tanda itu disebut ikon.
2) Hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi, tanda itu disebut
Indeks. 3) Akhirnya hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah
terbentuk secara konvensional, tanda itu adalah simbol. Dilanjutkan Pateda (dalam
Sobur, 2004) sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat Sembilan macam
semiotik yang kita kenal sekarang. Jenis-jenis semiotik ini antara lain semiotic
analitik, diskriptif, faunal zoosemiotik, kultural, naratif, natural, normatif, sosial,
dan struktural.
2.1.5 Fungsi Simbol
Dalam sebuah karya sastra sering ditemui kata-kata yang berupa lambang
atau simbol yang digunakan penyair dalam memberikan maksud dan tujuan cerita
itu dibuat. Menurut Ratna (2013:116) simbol dapat dianalisis melalui gaya bahasa
seperti, kata, kalimat, paragraph, alinea, bab dan seterusnya. Bahkan, dapat dianalisi
26
melalui tanda baca, angka dan sejenisnya. Dengan kata lain, simbol merupakan
suatu kata ataupun bahasa yang digunakan pencipta karya sastra untuk
mengungkapkan makna pada karya sastra yang diciptakannya. Selain itu, simbol
akan menunjukkan keterkaitan antara simbol itu sendiri dengan objeknya. Objek
yang telah ditulis oleh pengarang akan memperjelas pesan di dalam cerita.
Dalam kehidupan masyarakat tentunya aka nada interaksi antara satu orang
dengan orang lainnya. Tidak mungkin dalam sebuah masyarakat tidak ada simbol
sosial dengan interaksi. Oleh sebab itu, masyarakat dituntut kreativitasnya untuk
menemukan pesan yang dituliskan oleh penulis atas karya sastra ciptaannya. Hal
tersebut disebabkan bahwa pembaca adalah satu-satunya orang yang dapat
menciptakan pertalian antara teks, penafsir, dan interteks (Santosa, 2013:31). Jadi,
pada sebuah karya sastra yang memiliki banyak simbol pasti pembaca akan
mendeskripsikan menurut imaji yang dimiliki oleh pembaca. Seringkali masyarakat
juga akan menggunakan sebuah simbol untuk menyampaikan maksud tertentu
kepada orang lain. Seperti halnya dalam sebuah karya sastra. Pencipta pasti akan
menunjukkan adanya interaksi antara tokoh satu dengan lainnya sehingga dapat
mempengaruhi tingkah laku tokoh.
Simbol memiliki peran sangat banyak dalam kehidupan manusia. Akan
tetapi, seringkali manusia tidak memahaminya. Karena hal itulah seorang pencipta
karya sastra selalu memberikan sebuah kata unik agar dapat dimaknai oleh pembaca
sehingga pembaca dapat mengambil manfaat dari karya sastra tersebut dengan
positif. Walau secara formal sebuah simbol kelihatan terbatas, sebagaimana kata-
kata dalam bahasa, jika dilihat lebih jauh simbol memiliki hal dan makna lebih dari
sekedar terbatas (Hadi, 2014:138). Dilanjutkan kembali oleh Hadi (2004:138),
27
fungsi simbol yang utama ialah menghilangkan ketegangan antara ide dan
pengalaman empiris serta mengenyahkan ketidakseimbangan antara ide, bentuk dan
isi, ungkapan lahir dan makna yang disembunyikan di balik ungkapan tersebut.
Simbol bukan hanya mengartikan sebuah kata dengan arti sebenarnya. Melainkan
simbol memiliki beberapa arti yang menunjukkan bukan arti yang sebenarnya dari
kata itu sendiri.
Peran imajinasi ialah menghimpun simbol-simbol imajinatif bagi keperluan
pengetahuan akal. Imajinatif sangat diperlukan dalam penerapan kaidah takwi,
namun yang tidak kalah penting ialah ruh pemikiran (fikr) (Hadi, 2004: 94). Simbol
dalam kaitannya dengan bahasa diartikan sebagai ruh pemikiran seseorang dalam
mengartikan sebuah kata maupun kalimat. Simbol juga dapat menghantarkan
pembaca untuk berimajinasi dengan tulisan. Simbol adalah penanda yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim
digunakan dalam masyarakat (Rokhmansyah, 2014: 97). Dilanjutkan oleh (Santosa,
2013:14) Hubungan pikiran dengan jenis petandanya; a) rheme or seme, penanda
yang bertalian dengan mungkin terpahaminya objek petanda bagi penafsir; b) dicent
or dicisign or pheme, penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya; c)
argument, penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah. Dalam
mengartikan sebuah simbol diperlukan adanya imajinasi di dalam fikiran. Pembaca
sebuah karya sastra dalam memahami karya sastra pastilah akan membayangkan
bagaimana sifat tokoh, bagaimana perilaku yang ditunjukkan tokoh di dalam sebuah
cerita.
Selain itu, simbol memiliki fungsi sebagai tanda sebuah dialog antar tokoh
dalam sebuah cerita. Di tengah masyarakat seseorang berbicara dan bercerita pasti
28
akan menunjukkan adanya sebuah simbol dalam menyampaikan pesan agar tidak
ada salah faham di antara satu sama lain. Selain itu, simbol dapat berfungsi
mengurangi adanya pertengkaran atau meminimalisir kesalahan dalam suatu cerita
baik lisan maupun tulisan. (Rokhmansyah, 2014:91), dalam hal ini Peirce
menjelaskan kaitan antara sesuatu yang membuat tanda menjadi berfungsi dengan
mengklasifikasikan tanda ke dalam tiga sifat Ground yakni:
1. Qualisign, yaitu kualitas dari suatu tanda. Misalnya kualitas kata-kata yang
digunakan dalam menyertai tanda tersebut seperti kata-kata yang keras, kasar
ataupun lembut. Perbedaan dengan Qualisign pada bentuk simbol, yang di
tekankan pada Qualisign ini adalah pemilihan kata yang unik. Tak hanya kata-
kata yang menetukan kualitas dari pada suatu tanda, dapat pula berupa warna
yang digunakan bahkan gambar yang menyertainya.
2. Sinsign, adalah eksistensi dan aktualitas atas suatu benda atau peristiwa
terhadap suatu tanda. Misalkan kata banjir dalam kalimat “terjadi bencana
banjir” adalah suatu peristiwa yang meneranggkan bahwa banjir diakibatkan
oleh adanya hujan.
3. Legisign, adalah norma yang terkandung dalam suatu tanda. Hal ini berkaitan
dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Misalkan tanda dilarang
merokok menunjukan bahwa kita dilarang merokok pada lingkungan dimana
tanda itu berada. Yang lebih umum lagi tentu saja adalah rambu lalu lintas, yang
menunjukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh kita lakukan saat berkendara.
29
2.1.6 Makna Simbol
Sebuah karya sastra tidak pernah meninggalkan bahasa dalam
menyampaikan maksud dan tujuan penciptaan sebuah karya. Bahasa adalah alat
komunikasi yang efektif dan digunakan dalam karya sastra untuk menyampaikan
makna dan pesan. Hermintoyo (2014:17), mengatakan bahwa untuk menyampaikan
perasaan dan pikiran adalah bahasa. Baik atau tidaknya suatu makna dalam karya
sastra bergantung dengan bagaimana pengarang menyampaikan kata-katanya.
Dalam menyampaikan makna sebuah cerita. Pencipta karya sastra selalu
menyampaikan pesannya melalui bahasa. Pencipta menggunakan bahasa tanpa
berpikir baik atau buruknya bahasa tersebut akan tetapi bagaimana seorang
pembaca dapat berimajinasi dengan membayangkan arti dari tulisan pencipta.
Makna yang diberikan pada sebuah simbol merupakan produk dari interaksi
sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu
pada simbol tertentu (Abdurrohman, 2015: 30). Makna dalam sebuah karya
memang tidak terlihat. Dalam memaknai sebuah kata ataupun kalimat diperlukan
adanya bayangan dalam diri pembaca. Seringkali dalam memaknai pembaca hanya
akan membayangkan tanpa mencatat apa makna dari karya sastra tersebut. Simbol
yang memiliki makna pastilah akan memberikan efek yang berbeda atau rasa yang
berbeda, karena sebuah simbol yang bermakna tidak akan tetap pada wujudnya.
Sekalipun sebuah simbol hadir dengan wujud aslinya dapat dipastikan bahwasanya
makna yang dibawa simbol tersebut berbeda dengan makna aslinya.
Simbol positif tidak akan selalu dianggap atau diartikan dengan makna yang
positif. Simbol positif juga dapat bermakna negatif begitu pula sebaliknya.
Walaupun demikian, beberapa orang melihat pernikahan sebagai sebuah institusi
30
yang opresif. Orang-orang tersebut akan memberikan reaksi yang negatif terhadap
cincin kawin dan segala simbol lainnya yang mereka anggap sebagai situasi yang
merendahkan (West dalam Abdurrohman, 2015: 20). Dengan kata lain cincin kawin
mengartikan bahwa seseorang akan mengikat janji suci dengan pasangannya dan
hal tersebut bersifat positif. Akan tetapi, terkadang orang mengartikan dengan
prasangka negatif orang lain akan beranggapan bahwasanya sebuah pesta
pernikahan jika hanya memberikan sebuah cincin maka dianggap tidak punya
modal menikah. Dapat jadi orang lain akan beranggapan bahwa cincin kawin adalah
benda murahan.
Tujuan penciptaan karya satra tidak lepas dari proses yang telah dijalani
oleh pengarang. Dengan adanya karya sastra yang diciptakan pengarang dapat
mengungkapkan perasaan yang terpendam dalam dirinya. Produk interaksi sosial
dalam karya sastra biasanya disuguhkan dengan cara penggambaran perilaku, sifat-
sifat teladan tokoh maupun kebiasaan tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu
dalam karya sastra sering disematkan sebuah makna-makna yang bersifat positif
misalnya, saling tolong menolong, tidak berprasangka buruk terhadap orang lain,
mengubah inner negatif menjadi positif dalam masyarakat. Makna yang tidak tetap
pun pasti ada di dalam sebuah karya sastra. Makna tidak tetap memiliki ciri makna
yang bukan sebenar-benarnya kata itu sendiri.
Makna simbol tidaklah sama sekali tetap. Makna-makna baru dapat saja
ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada sarana-sarana simbolis yang lama.
Lagi pula, individu-individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna
umum sebuah simbol (Dillistone, 2002: 114). Dilanjutkan lagi olehnya, bahwa
‘makna yang diperlihatkan dalam bentuk simbol’. “Konsep yang terungkap dalam
31
bentuk simbolis” merupakan pusat minat dan penelitiannya (Dillistone, 2002: 116).
Sebuah kata yang menandakan sebuah simbol dapat membuat pembaca
berimajinasi. Dengan kata lain sebuah kata yang menjadi simbol dapat diartikan
dengan berbagai pendapat, artinya sebuah kata dapat memiliki berbagai macam
makna atau arti yang terlepas dari arti kata itu sendiri.
Menafsirkan simbol-simbol, menelaah makna simbolis berarti membawa
diri ke dalam hidup yang lebih tinggi dan bermakna (Dillistone, 2002: 130).
Mencoba mengartikan sebuah simbol dengan memaknainya akan membuat hidup
kita lebih berisi dan juga memiliki imajinasi yang tinggi. Karthadinata (dalam
Sumanto, 2015: 60) menjelaskan bahwa, Dalam simbol tersimpan berbagai makna
antara lain berupa gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat,
kepercayaan, dan pengalaman yang dapat dipahami bersama. Di lanjutkan oleh
Sumanto bahwa, dalam kajian kesenian sistem simbol adalah pemberian makna
pada suatu bentuk karya seni yang ada dalam kehidupan masyarakat (Sumanto,
2015: 60). Sastra adalah sebuah karya seni tulisan yang memiliki simbol di
dalamnya. Rangkaian kata-kata yang dibangun oleh karya sastra merupakan arti
dari sebuah pesan tersirat sehingga, membutuhkan pembacaan yang intensif agar
mengerti arti dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri.
Dalam sebuah karya seni bukan hanya sastra yang termasuk di dalamnya,
melainkan juga gambar-gambar visual maupun audio visual itu juga termasuk ke
dalam seni. Suatu karya seni termasuk karya gambar anak-anak juga dapat
dipahami mempunyai makna (simbol) yang bersifat spesifik sesuai ide, obyek,
bentuk, warna yang diungkapkannya (Sumanto, 2015: 61). Simbol dan makna
adalah suatu kesatuan yang untuh. Jika terdapat sebuah simbol maka di baliknya
32
akan ada sebuah makna atau pesan yang ingin di sampaikan. Simbol dianggap
sebuah seni di dalam karya sastra, karena karya sastra memiliki bahasa-bahasa yang
terkadang memang tidak mudah untuk di pahami. Simbol dalam karya sastra dapat
berbentuk gambar ataupun sebuah susunan kata atau kalimat. Simbol mengarahkan
pembaca pada sebuah makna tertentu yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
1.2.Kerangka Berpikir Peneliti
Dalam penelitian terhadap kumpulan cerpen “Belajar Mencintai Kambing”
karya Mahfud Ikhwan ini menggunakan pendekatan semiotika. Dengan penerapan
pendekatan tersebut dapat menyelesaikan permasalahan yang akan dikaji, yaitu
simbol serta makna yang terdapat dalam kumpulan cerpen “Belajar Mencintai
Kambing”. Dari bentuk penuisan sebuah cerpen yang tidak sesuai dengan tatanan
bahasa tersebut, penulisan cerpen diubah kedalam bentuk yang sesuai dengan
tatanan bahasa sebagai usaha untuk memahami dan menafsirkan simbol yang
bermakna dalam cerpen. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori untuk
menganalisis cerpen dalam usaha mencari makna yang dikandung dari cerpen.
Kumpulan cerpen “Belajar Mencintai Kambing” karya Mahfud Ikhwan dengan
bahasa yang terdapat simbol-simbol yang bermakna. Dalam cerpen tersebut
terdapat kata-kata sebagai simbol untuk menghadirkan makna yang dikandungnya.
Oleh karena itu digunakan pendekatan semiotik untuk menganalisis teks cerpen
tersebut.
Peneliti ini menggunakan tahap-tahap analisis semiotik untuk mengungkapkan
makna simbol yang terdapat dalam cerpen tersebut. Dari analisis yang dilakukan,
33
akan diperoleh simpulan mengenai makna yang terkandung dari kumpulan cerpen
“Belajar Mencintai Kambing” karya Mahfud Ikhwan.
Kumpulan Cerpen “Belajar Mencintai Kambing” Karya Mahfud Ikhwan
Metode Deskriptif
Simbol dalam Kumpulan Cerpen “Belajar Mencintai Kambing” Karya Mahfud Ikhwan
Semiotika C.S Peirce
Makna simbol Bentuk Simbol Fungsi Simbol
Karya Sastra dan Realitas Simbol Masyarakat
Penggunaan Simbol