16
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Adapun hasil dari penelitian-penelitian terdahulu yang membahas mengenai topik konservatisme akuntansi, antara lain Alfian dan Sabeni (2003), Oktomegah (2012), Lo (2005), Deslatu dan Susanto (2010), Pramudita (2012), Dewi dan Suryanara (2014), Rohminatin (2016), Rahmadiar dkk (2016), dan Septian dan Anna (2014) Hasil penelitian Alfian dan Sabeni (2003) menyatakan bahwa rasio leverage, intensitas modal dan kesempatan tumbuh perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap konservatisme akuntansi. Sedangkan, ukuran perusahaan, kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik terbukti tidak berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Hal tersebut dapat mendukung pernyataan bahwa setiap perusahaan kemungkinan kecil sahamnya dipegang oleh manajer, kebanyakan memang dari publik ataupun instansi. Jikapun ada yang dipegang oleh manajer itupun pasti tidak banyak dan tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan konservatisme. Lain halnya dengan Oktomegah (2012) menyatakan bahwa political cost yang diproksikan untuk ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap konservatisme akuntansi. Hal tersebut dapat mendukung pernyataan bahwa semakin besar perusahaan maka manajer akan menggunakan kebijakan yang konservatif. Berbeda dengan debt covenant

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. …eprints.umm.ac.id/39137/3/2 BAB II.pdfmenyatakan bahwa teori akuntansi positif adalah teori yang menjelaskan dan ... berhubungan

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Adapun hasil dari penelitian-penelitian terdahulu yang membahas

mengenai topik konservatisme akuntansi, antara lain Alfian dan Sabeni

(2003), Oktomegah (2012), Lo (2005), Deslatu dan Susanto (2010),

Pramudita (2012), Dewi dan Suryanara (2014), Rohminatin (2016),

Rahmadiar dkk (2016), dan Septian dan Anna (2014)

Hasil penelitian Alfian dan Sabeni (2003) menyatakan bahwa rasio

leverage, intensitas modal dan kesempatan tumbuh perusahaan berpengaruh

positif dan signifikan terhadap konservatisme akuntansi. Sedangkan, ukuran

perusahaan, kepemilikan manajerial dan kepemilikan publik terbukti tidak

berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Hal tersebut dapat

mendukung pernyataan bahwa setiap perusahaan kemungkinan kecil

sahamnya dipegang oleh manajer, kebanyakan memang dari publik ataupun

instansi. Jikapun ada yang dipegang oleh manajer itupun pasti tidak banyak

dan tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan konservatisme.

Lain halnya dengan Oktomegah (2012) menyatakan bahwa political

cost yang diproksikan untuk ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan

dan positif terhadap konservatisme akuntansi. Hal tersebut dapat mendukung

pernyataan bahwa semakin besar perusahaan maka manajer akan

menggunakan kebijakan yang konservatif. Berbeda dengan debt covenant

10

yang diproksikan terhadap leverage memiliki pengaruh negatif yang

signifikan terhadap konservatisme akuntansi.

Lo (2005) menyatakan bahwa tingkat kesulitan keuangan perusahaan

berpengaruh positif terhadap kebijakan tingkat konservatisme akuntansi yang

dibuat oleh manajer perusahaan. Simpulan ini mendukung prediksi teori

signaling mengenai pengaruh tingkat kesulitan keuangan terhadap

konservatisme akuntansi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian

Pramudita (2012) menyatakan bahwa tingkat kesulitan keuangan berpengaruh

positif terhadap konservatisme akuntansi dan tingkat hutang tidak memiliki

pengaruh terhadap konservatisme akuntansi.

Deslatu dan Susanto (2010) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial,

debt covenant, tax and political costs tidak berpengaruh terhadap variabel

konservatisme akuntansi. Sedangkan, litigation berpengaruh terhadap

variabel konservatisme akuntansi. Hal tersebut berbeda dengan hasil

penelitian Rahmadiar dkk (2016) menyatakan bahwa risiko litigasi dan

financial distress secara parsial berpengaruh positif terhadap konservatisme

akuntansi. Sedangkan, struktur kepemilikan manajerial secara parsial tidak

berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi.

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Suryanara (2014) menyatakan

bahwa pengaruh struktur kepemilikan manajerial dan leverage signifikan

positif pada konservatisme akuntansi. Sehingga, semakin tinggi saham yang

dimiliki manajer maka ia akan cenderung menerapkan akuntansi yang

konservatif. Begitu pula dengan besarnya leverage maka perusahaan akan

11

menggunakan akuntansi yang konservatif. Sedangkan, financial distress

mempunyai pengaruh signifikan negatif terhadap konservatisme akuntansi.

Sehingga, semakin tinggi financial distress akan mendorong manajer untuk

mengurangi tingkat konservatisme akuntansi.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Rohminatin (2016) menyatakan

bahwa bonus plan berpengaruh signifikan terhadap penerapan konservatisme

akuntansi. Semakin besar kepemilikan manajerial maka manajer akan

semakin konsen terhadap presentase kepemilikannya sehingga kebijakan yang

diambil semakin konservatif. Sedangkan, leverage dan political cost tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerapan konservatisme

akuntansi. Semakin tinggi rendahnya tingkat leverage dan political cost suatu

perusahaan maka tidak berpengaruh dalam penerapan konservatisme atau

tidak. Adakalanya penerapan konservatisme dilakukan saat terjadi hal-hal

mendesak yang mengharuskan penerapannya dilakukan.

Septian dan Anna (2014) menyatakan kepemilikan manajerial dan

ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap konservatisme akuntansi.

Sehingga, semakin tinggi saham yang dimiliki manajer dan semakin besar

perusahaan maka manajer akan cenderung memilih akuntansi yang

konservatif, Sedangkan, debt covenant tidak mempunyai pengaruh signifikan

terhadap konservatisme akuntansi. Semakin tinggi tingkat hutang yang

dimiliki perusahaan maka manajer akan memilih metode yang dapat

memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan sehingga

konservatisme menurun (Jayanti dan Sapari, 2016).

12

B. Teori dan Kajian Pustaka

1. Agency Theory (Teori Keagenan)

Teori agensi merupakan teori yang mendasari perusahaan dalam

melakukan praktik bisnisnya. Dalam teori keagenan ini terdapat pemisahan

antara pihak manajemen (agent) dan pemilik (principal). Oktomegah (2012)

menyatakan bahwa teori keagenan menjelaskan hubungan agensi muncul

ketika satu orang atau lebih pemilik (principal) mempekerjakan orang lain

(agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan

wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Jensen dan

Meckling (1976) dalam Susanto dan Ramadhani (2016) mengungkapkan

adanya masalah agensi dalam perusahaan yang terpisah antara kepemilikan

dan manajemen.

Pemilik (principal) memiliki kepentingan agar dana yang diinvestasikan

memberikan pengembalian yang maksimal. Sedangkan, manajemen (agent)

memiliki kepentingan terhadap perolehan insentif atas pengelolaan dana

pemilik perusahaan. Andreas dkk (2017) menyatakan dengan adanya

perbedaan kepentingan tersebut maka terdapat biaya agensi (agency cost)

yang akan mengurangi kerugian akibat tingkah laku dari manajer.

Adanya perbedaan kewenangan tersebut akan berpengaruh pada

kualitas laba yang dilaporkan. Ketika agen memiliki tujuan memperoleh

bonus, maka ia akan cenderung melaporkan laba dengan angka yang lebih

tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan pencegahan dengan menerapkan prinsip

konservatisme dalam penyusunan laporan keuangan. Lafond dan Watts

13

(2006) dalam Andreas dkk (2017) berpendapat bahwa laporan keuangan yang

mengaplikasikan prinsip konservatisme dapat mengurangi kemungkinan

manajer melakukan manipulasi laporan keuangan serta biaya agensi yang

muncul akibat dari asimetri informasi.

2. Signalling Theory (Teori Sinyal)

Teori signaling menjelaskan bahwa pemberian sinyal dialakukan oleh

manajer untuk mengurangi asimetri informasi antara prinsipal dan agen.

Hendrianto (2012) menyatakan bahwa manajer yang menerapkan kebijakan

akuntansi konservatisme akan menghasilkan laba yang lebih berkualitas. Pada

dasarnya memang prinsip ini dapat mencegah perusahaan dalam melakukan

tindakan membesar-besarkan laba. Sehingga, laba yang disajikan dengan

prinsip konservatisme tidak menghasilkan angka-angka yang overstatement.

Pramudita (2012) menyatakan bahwa understatement laba dan aktiva

bersih yang relatif permanen merupakan suatu sinyal positif dari manajemen

kepada investor. Hal tersebut membuktikan bahwa manajer telah menerapkan

akuntansi konservatif untuk menghasilkan laba yang berkualitas. Sehingga,

investor diharapkan dapat menerima sinyal ini dan menilai perusahaan

dengan lebih baik.

Dalam topik tingkat kesulitan keuangan dan konservatisme akuntansi,

teori signaling menjelaskan bahwa jika kondisi keuangan dan prospek

perusahaan baik, maka manajer akan memberi sinyal dengan

menyelenggarakan akuntansi liberal (Lo, 2005). Jika perusahaan dalam

14

kesulitan keuangan dan mempunyai prospek buruk, maka manajer akan

memberi sinyal dengan menyelenggarakan akuntansi konservatif.

3. Positive Accounting Theory (Teori Akuntansi Positif)

Watts dan Zimmerman (1986) dalam Priambodo dan Purwanto (2015)

menyatakan bahwa teori akuntansi positif adalah teori yang menjelaskan dan

memprediksi konsekuensi yang terjadi ketika manajer menentukan pilihan

dalam memutuskan kebijakan akuntansi. Penjelasan dan prediksi tersebut

didasarkan pada proses kontrak (contracting process) atau hubungan

keagenan (agency relationship) antara manajer dengan kelompok lain seperti

investor, kreditor, auditor, pihak pengelola pasar modal, dan institusi

pemerintah.

Watts dan Zimmerman (1986) dalam Priambodo dan Purwanto (2015),

menyebutkan beberapa hipotesis yang berkaitan dengan teori akuntansi

positif. Hipotesis tersebut yaitu :

a. Hipotesis Rencana Bonus (Bonus Plan Hypothesis)

Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer dari perusahaan yang

memiliki kebijakan bonus akan cenderung memilih prosedur yang

mengalihkan laba dari periode mendatang ke periode berjalan. Hal tersebut

dapat mendorong manajer dalam melaporkan labanya secara optimis pada

suatu periode. Karena, bonus yang akan diterima berkaitan dengan target laba

yang dicapai oleh manajer. Semakin tinggi target laba yang dicapai, maka

semakin tinggi pula bonus yang akan diterima.

15

b. Hipotesis Kontrak Utang (Debt Covenant Hypothesis)

Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer ingin meningkatkan laba dan

aktiva pada periode tertentu guna mengurangi biaya yang mungkin terjadi

pada kontrak hutang yang sedang dilakukan oleh perusahaan. Hal tersebut

disebabkan karena banyaknya perjanjian hutang yang mensyaratkan

peminjam untuk mematuhi atau mempertahankan rasio hutangnya. Jika syarat

hutang ini dilanggar, maka peminjam mungkin akan dikenakan penalty.

Sehingga, penting bagi perusahaan dalam mempertahankan rasio-rasio

berhubungan dengan hutang.

Mamesak, dkk (2015) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki

tingkat leverage tinggi maka ia akan menyajikan labanya lebih tinggi pada

tahun berjalan. Sehingga laba yang dilaporkan pada periode mendatang dapat

dialihkan pada periode berjalan. Hal tersebut terjadi karena untuk

menghindari keraguan kreditor dalam pelunasan kewajiban perusahaan.

c. Hipotesis Biaya Politis (Political Cost Hypothesis)

Biaya politis terjadi dengan adanya kepentingan antara perusahaan

dengan pemerintah. Pihak pemerintah memiliki kekuatan untuk melakukan

pengalihan kekayaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya

berdasarkan peraturan-peraturan yang ada. Mamesah dkk (2015) menyatakan

bahwa perusahaan besar lebih memilih penggunaan metode akuntansi yang

dapat mengurangi laba periodik dibandingkan dengan perusahaan kecil.

Pada dasarnya memang manajer ingin mengecilkan laba untuk

mengurangi biaya politik yang potensial. Hipotesis ini mengatakan bahwa

16

semakin besar sebuah perusahaan, maka manajer cenderung akan memilih

prosedur akuntansi yang mengalihkan pelaporan laba dari periode berjalan ke

periode mendatang (Mamesah dkk, 2015).

4. Konservatisme Akuntansi

Definisi resmi dari konservatisme terdapat dalam FASB (Financial

Accounting Statement Board) No.2 dalam Priambodo dan Purwanto (2015),

mengartikan konservatisme sebagai reaksi hati-hati (prudent reaction) dalam

menghadapi ketidakpastian yang akan terjadi pada aktivitas perekonomian.

Tazawa (2003) dalam Hati (2011) menyatakan bahwa konservatisme

merupakan praktik yang mengakui lebih lambat keuntungan dan pendapatan,

mempercepat pengakuan biaya atau kerugian, serta memperendah pengakuan

aktiva dan mempertinggi penilaian utangnya.

Diterapkannya prinsip konservatisme maka dapat menghasilkan laba

dan aset cenderung rendah, serta biaya dan hutang cenderung tinggi.

Kecenderungan tersebut terjadi karena konservatisme menganut prinsip

memperlambat pengakuan pendapatan dan mempercepat pengakuan biaya.

Akibatnya, laba yang dilaporkan cenderung terlalu rendah (understatement).

Dengan kata lain konservatisme dapat diterjemahkan lebih mengantisipasi

rugi daripada laba.

Hasil dari penerapan konservatisme akan menyebabkan pelaporan

keuangan yang pesimistik, hal tersebut akan mengurangi optimisme dari

pengguna laporan (Ardina dan Januarti 2012). Tujuan penggunaan konsep

konservatisme ini untuk menetralisir optimisme para usahawan yang terlalu

17

berlebihan dalam melaporkan hasil usahanya. Agar nantinya hasil pelaporan

tersebut dapat dilaporkan secara wajar tanpa adanya melebih-lebihkan

informasi. Penerapan konsep konservatisme akan menghasilkan laba yang

berfluktuatif, dimana laba yang berfluktuatif akan mengurangi daya prediksi

laba untuk memprediksi aliran kas pada masa depan (Sari dan Adhariani

2009).

Pentingnya penggunaan konsep konservatisme ini dapat mengurangi

terjadinya asimetri informasi antara agen dan principal. Dilain sisi ada yang

menyatakan bahwa dengan adanya konsep ini maka akan menghasilkan

pelaporan yang understatement. Beberapa perusahaan lebih merasakan

manfaatnya dengan adanya pelaporan understatement daripada overstatement.

Karena pelaporan understatement dirasa lebih menguntungkan dan dapat

mengurangi resiko kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan laporan

yang disajikan secara overstatement.

Febiani (2012) menyatakan bahwa masalah konservatisme merupakan

masalah penting bagi investor. Investor dapat mengambil keputusan investasi

dari laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan yang konservatif. Jika laba

yang dilaporkan konservatif, maka akan menambah keyakinan investor dalam

menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Karena, investor yakin

bahwa nantinya perusahaan tersebut akan mampu mengolah dana dan return

dengan baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Penman dan Zhang (2000) dalam

Deslatu dan Susanto (2009) menyatakan bahwa konservatisme justru

18

menyebabkan kualitas laba menjadi rendah dan kurang relevan.

Konservatisme akan mempengaruhi kualitas angka-angka yang dilaporkan

dalam neraca maupun laporan laba rugi.

Ketika perusahaan meningkatkan jumlah investasi, maka akuntansi

konservatif akan menghasilkan perhitungan laba yang lebih rendah

dibandingkan akuntansi liberal atau optimis. Akuntansi konservatif juga akan

menciptakan cadangan yang tidak tercatat, sehingga memungkinkan

manajemen lebih leluasa melaporkan angka laba di masa mendatang.

5. Struktur Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial didefinisikan sebagai persentase saham yang

dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan

perusahaan yang meliputi komisaris, direksi, dan karyawan (Rohminatin,

2016). Selain itu, Deviyanti (2012) dalam Rohminatin (2016) mendefinisikan

kepemilikan manajerial sebagai perbandingan persentase jumlah kepemilikan

saham antara pihak perusahaan dan pihak eksternal.

Pada dasarnya dalam pemilihan metode akuntansi dapat dipengaruhi

oleh manajer. Rahmadiar dkk (2016) menyatakan bahwa kepemilikan

manajer menentukan kebijakan dan pemilihan manajer terhadap metode

akuntansi termasuk konservatif. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam

menyelaraskan antara kepentingan pemilik (principal) dan manajemen

(agent) adalah dengan melibatkan manajemen dalam struktur kepemilikan

saham yang cukup besar.

19

6. Ukuran Perusahaan

Berdasarkan ukurannya perusahaan dapat dibagi menjadi perusahaan

besar dan kecil. Dimana perusahaan besar pasti memiliki sistem manajemen

yang lebih kompleks dan laba yang tinggi. Akan tetapi, perusahaan yang

besar memiliki masalah dan risiko yang lebih kompleks daripada perusahaan

kecil. Ukuran perusahaan dapat dinyatakan dalam total aktiva, penjualan dan

kapitalisasi pasar. Semakin besar total aktiva, penjualan dan kapitalisasi pasar

maka akan semakin besar pula ukuran perusahaan tersebut.

Proksi yang digunakan untuk menghitung ukuran perusahaan yaitu

logaritma natural (Ln). Logaritma Natural digunakan untuk meminimalkan

jumlah dari aktiva, penjualan, dan kapitalisasi perusahaan yang nominalnya

sangat besar (Pratiwi dan Amanah, 2017). Semakin besar aktiva perusahaan

maka akan semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan

maka semakin cepat perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar

maka semakin besar pula perusahaan dikenal masyarakat (Pratiwi dan

Amanah, 2017).

7. Leverage

Dalam membagi kegiatannya perusahaan dapat menggunakan sumber

dana dari dalam atau intern perusahaan (modal sendiri) dan dari luar (hutang)

(Suprihastini dan Pusparini, 2007). Jadi dapat dikatakan hutang adalah

kewajiban untuk menyerahkan uang, barang maupun jasa kepada pihak lain di

masa yang akan datang sebagai akibat dari transaksi yang terjadi sebelumnya.

Hutang bisa diartikan juga sebagai sejumlah dana yang diterima dari kreditor.

20

Menurut Altman (1968) dalam Zu’amah (2005) rasio yang digunakan

untuk mengukur proporsi penggunaan hutang dalam membiayai investasi

perusahaan dengan tingkat signifikasi tinggi adalah leverage. Semakin besar

leverage perusahaan, maka akan semakin besar pula resiko kegagalan

perusahaan. Jika perusahaan mempunyai hutang yang tinggi, maka kreditor

juga mempunyai hak untuk mengetahui dan mengawasi jalannya kegiatan

operasional perusahaan. Hal ini akan menyebabkan asimetri informasi antara

kreditor dan perusahaan berkurang karena manajer tidak dapat

menyembunyikan informasi keuangan yang mungkin akan dimanipulasi atau

melebih-lebihkan aset yang dimiliki.

Oleh karena itu, penerapan konservatisme dapat membantu manajer

dalam memperoleh pinjaman dana kepada kreditor. Karena semakin tinggi

tingkat hutang perusahaan maka semakin sempit tingkah laku manajer untuk

melebih-lebihkan pelaporan keuangannya kepada pihak kreditor.

8. Financial Distress

Menurut Atmini dan Wuryana (2005) dalam Pramudita (2012),

financial distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi

dimana suatu perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Financial

distress diartikan sebagai munculnya sinyal atau gejala-gejala awal

kebangkrutan terhadap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu

perusahaan (Rahmadiar dkk, 2016).

Financial distress perusahaan dapat mempengaruhi tingkat

konservatisme akuntansi. Teori akuntansi positif memprediksi bahwa kondisi

21

keuangan yang bermasalah dapat mendorong manajer untuk mengurangi

tingkat konservatisme akuntansi walaupun pemegang saham dan kreditur

menghendaki penyelenggaraan akuntansi yang konservatif (Lo, 2005).

C. Perumusan Hipotesis

Menurut Alfiana (2006) dalam Alfian dan Sabeni (2013), plan bonus

hypothesis dalam possitive accounting theory menyatakan bahwa manajer

akan bertindak seiring dengan bonus yang diberikan. Jika target laba tercapai,

maka manajer akan diberikan bonus oleh pemilik atau pemegang saham

perusahaan. Hal tersebut dapat memicu timbulnya pelaporan keuangan

perusahaan yang kurang konservatif. Namun, jika kepemilikan manajer

mempunyai proporsi yang lebih besar, maka ia akan berusaha giat untuk

meningkatkan nilai perusahaan dengan menerapkan konservatisme akuntansi

(Tarjo, 2005).

Wu (2006) dalam Septian dan Anna (2014) menyatakan bahwa

perusahaan yang memiliki presentase kepemilikan manajerial lebih tinggi

akan menunjukkan pola yang lebih konservatif dalam pelaporan

pendapatannya. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya presentase

saham yang dimiliki manajerial dalam suatu perusahaan publik. Sehingga,

semakin besar saham yang dimiliki, maka ia dapat mengendalikan

perusahaan, termasuk dalam hal pengambilan keputusan dalam manajemen.

Hipotesis tersebut didukung oleh hasil penelitian Dewi dan Suryanara

(2014) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial akan

22

menyebabkan laporan keuangan menjadi konservatif. Dengan demikian,

dapat disimpulkan hipotesis pertama adalah:

H1 : Struktur kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap

konservatisme akuntansi.

Size hypothesis berasumsi bahwa perusahaan besar lebih sensitif secara

politis dan memiliki biaya politis yang lebih besar daripada perusahaan kecil

(Septian dan Anna, 2014). Menurut Almilia (2007) bahwa perusahaan besar

memiliki tarif pajak yang lebih tinggi dan memperoleh manfaat politis yang

lebih besar sebagai kompensasi dari tarif pajak yang tinggi. Aristiyani dan

Wirawati (2013) menyatakan bahwa perusahaan yang berukuran besar akan

dikenakan biaya politis yang tinggi, sehingga untuk mengurangi biaya

tersebut perusahaan dapat menerapkan akuntansi yang konservatif.

Hipotesis political cost menyatakan bahwa semakin besar sebuah

perusahaan, maka manajer cenderung akan memilih prosedur akuntansi yang

mengalihkan pelaporan laba dari periode berjalan ke periode mendatang

(Mamesah dkk, 2015). Sehingga, manajer tentunya memilih menerapkan

prinsip konservatisme. Dengan demikian, dapat disimpulkan hipotesis kedua

adalah:

H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap konservatisme

akuntansi.

Tingkat hutang yang tinggi menunjukkan besarnya modal pinjaman

yang digunakan untuk pembiayaan aktiva perusahaan. Semakin tinggi

leverage maka cenderung semakin besar risiko keuangan bagi kreditur dan

23

pemegang saham. Dimana semakin besar tingkat hutang yang dimiliki suatu

perusahaan, maka perusahaan akan cenderung menerapkan akuntansi

konservatif (Quljanah dkk, 2017). Dengan begitu perusahaan akan lebih

berhati-hati karena dengan tingkat hutang yang tinggi akan menjadi ancaman

bagi kelangsungan hidup perusahaan tersebut.

Hal tersebut sepadan dengan Alfian dan Sabeni (2013) menyatakan jika

leverage memberikan pengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi.

Semakin tinggi tingkat hutang maka perusahaan akan semakin baik

kemampuannya dalam mengembalikan hutangnya. Semakin terdorong juga

manajer dalam meningkatkan penerapan konservatisme akuntansi. Namun

hasil tersebut berbeda dengan Pramudita (2012) menyatakan bahwa leverage

tidak memiliki pengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Dengan

demikian, dapat disimpulkan hipotesis ketiga adalah:

H3 : Leverage berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi.

Berdasarkan teori signaling, kondisi keuangan yang bermasalah dapat

mendorong manajer dalam mengatur tingkat konservatismenya. Jika

perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan mempunyai prospek buruk,

maka manajer memberi sinyal dengan menyelenggarakan akuntansi

konservatif. Namun, manajer akan mengurangi tingkat konservatisme bila

tingkat kesulitan keuangan perusahaan tinggi sesuai dengan asumsi teori

akuntansi positif (Suprihastini dan Pusparini, 2007).

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat kesulitan keuangan

perusahaan yang semakin tinggi akan mendorong manajer untuk menaikkan

24

tingkat konservatisme akuntansi, dan sebaliknya jika tingkat kesulitan

keuangan rendah manajer akan menurunkan tingkat konservatisme akuntansi.

Lo (2005) menyatakan adanya pengaruh positif antara financial distress

dengan konservatisme akuntansi. Namun hasil tersebut berbeda dengan Dewi

dan Suryanawa (2014) menyatakan bahwa financial distress tidak

berpengaruh dalam pemilihan kebijakanmetode konservatisme akuntansi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan hipotesis keempat adalah:

H4 : Financial distress berpengaruh positif terhadap konservatisme akuntansi.

D. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

H1

Struktur Kepemilikan

Manajerial

(X1)

Konservatisme

Akuntansi

(Y) Leverage

(X3)

Financial Distress

(X4)

H2

H3

Ukuran Perusahaan

(X2)

H4