22
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang berhubungan dengan penelitian mengenai pelesapan argumen dilakukan Sawardi pada tahun 2011 dengan judul Pivot dan Subjek dalam Kasus Bahasa Jawa. Dalam makalahnya ini, Sawardi membahas mengenai peran pivot yang digunakan untuk mengetahui jenis bahasa Jawa apakah bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan A atau S sama dengan O. Jika bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan A maka bahasa Jawa termasuk bahasa akusatif sedangkan jika bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan O maka bahasa Jawa merupakan bahasa ergatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa bahasa Jawa tidak memiliki perilaku S/A pivot atau S/O pivot sehingga bahasa Jawa termasuk bahasa yang tidak memiliki mekanisme pivot. Penelitian kedua yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah penelitian yang dilakukan oleh I Made Netra, Petrus Pita, I Wayan Mandra, dan Paulus Subiyanto dengan judul Sistem Koreferensial Klausa Subordinatif Bahasa Indonesia. Penelitian ini berbentuk makalah dan menjadi salah satu makalah dalam Linguistika tahun 2008. Penelitian ini mengangkat masalah tipologi bahasa Indonesia dengan memperhatikan aliansi gramatikal pada penggabungan dua klausa, apakah bahasa Indonesia termasuk dalam bahasa akusatif yang memperlakukan S sama dengan A atau bahasa ergatif yang memperlakukan S sama dengan O. Pembahasan pada makalah ini terfokus pada bentuk struktur

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR · 2018-11-07 · Contoh kalimat (15) misalnya, ... Proses perubahan kalimat aktif menjadi kalimat pasif dapat dilihat pada kalimat berikut

  • Upload
    ngophuc

  • View
    248

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian pertama yang berhubungan dengan penelitian mengenai

pelesapan argumen dilakukan Sawardi pada tahun 2011 dengan judul Pivot dan

Subjek dalam Kasus Bahasa Jawa. Dalam makalahnya ini, Sawardi membahas

mengenai peran pivot yang digunakan untuk mengetahui jenis bahasa Jawa

apakah bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan A atau S sama dengan O.

Jika bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan A maka bahasa Jawa termasuk

bahasa akusatif sedangkan jika bahasa Jawa memperlakukan S sama dengan O

maka bahasa Jawa merupakan bahasa ergatif. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah bahwa bahasa Jawa tidak memiliki perilaku S/A pivot atau S/O pivot

sehingga bahasa Jawa termasuk bahasa yang tidak memiliki mekanisme pivot.

Penelitian kedua yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah

penelitian yang dilakukan oleh I Made Netra, Petrus Pita, I Wayan Mandra, dan

Paulus Subiyanto dengan judul Sistem Koreferensial Klausa Subordinatif Bahasa

Indonesia. Penelitian ini berbentuk makalah dan menjadi salah satu makalah

dalam Linguistika tahun 2008. Penelitian ini mengangkat masalah tipologi bahasa

Indonesia dengan memperhatikan aliansi gramatikal pada penggabungan dua

klausa, apakah bahasa Indonesia termasuk dalam bahasa akusatif yang

memperlakukan S sama dengan A atau bahasa ergatif yang memperlakukan S

sama dengan O. Pembahasan pada makalah ini terfokus pada bentuk struktur

11

tipologi kalimat subordinatif bahasa Indonesia secara morfologi dan sintaksis,

pengidentifikasian perubahan morfologis yang terjadi pada verba sekaligus

mempengaruhi argumen, dan perubahan argumen pada kalimat subordinatif

bahasa Indonesia. Kesimpulan yang diambil dalam penelitian ini adalah bahasa

Indonesia memiliki semua jenis tipologi bahasa yaitu akusatif, aktif, pasif, ergatif,

dan antipasif. Selain itu Netra, dkk (2008:152). juga menyatakan bahwa

perubahan morfologis verba sebuah klausa dapat mempengaruhi argumen inti

klausa lainnya.

Penelitian ketiga yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah

penelitian yang dilakukan Dendy Sugono dalam desertasinya yang berjudul

Pelesapan Subjek dalam Bahasa Indonesia. Sugono membahas mengenai tipe

kalimat bahasa Indonesia yang memiliki pelesapan subjek, rumusan kaidah

pelesapan subjek, serta menemukan unsur pengendali dan terkendali pada

pelesapan subjek bahasa Indonesia. Sugono melakukan penelitiannya pada klausa

koordinatif dan subordinatif bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya Sugono

(1991:284) menyimpulkan bahwa pelesapan subjek dalam bahasa Indonesia lebih

banyak dikendalikan oleh frasa nomina subjek daripada frasa nomina objek,

pelengkap, atau keterangan. Hal lain yang disimpulkan Sugono adalah pelesapan

subjek dapat menimbulkan ketaksaan jika dalam klausa tempat frasa nomina

pengendali terdapat frasa nomina lain yang memiliki kesamaan ciri semantik

dengan frasa nomina pengendali.

Penelitian keempat yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah

penelitian yang dilakukan Paina dalam tesisnya yang berjudul Pelesapan Objek

dalam Wacana Tulis Bahasa Jawa. Paina membagi pelesapan objek menjadi dua

12

golongan, yaitu pelesapan objek karena kegramatikalannya dan pelesapan objek

karena sifat leksikal unsur pengisi fungsi predikat (2001:20). Pelesapan objek ini

juga tidak lepas dari unsur yang bersifat koreferensial dengan objek itu sendiri

sebagai pengendali pelesapan, baik berupa subjek, objek, pelengkap, maupun

keterangan. Dalam penelitian ini Paina menyimpulkan bahwa pelesapan objek

bisa terjadi apabila objek dalam sebuah klausa bersifat koreferensial dengan objek

klausa yang mengikutinya. Paina juga menyebutkan bahwa pelesapan objek

memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pembentuk struktur dan fungsi stilistika.

Penelitian kelima yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah

penelitian yang dilakukan oleh Artawa (1997:108) yang berjudul Keergatifan

Sintaksis dalam Bahasa : Bahasa Bali, Sasak, dan Indonesia. Penelitian yang

merupakan salah satu makalah di Pellba 10 ini bertujuan untuk mendeskripsikan

apakah ketiga bahasa tersebut, yaitu bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa

Indonesia dapat dikelompokkan menjadi satu tipe bahasa atau masing-masing

termasuk tipe yang berbeda dengan mendeskripsikan relasi S, A, dan O pada

penggabungan dua klausa. Penelitian ini juga menyinggung tentang perubahan

verba pada struktur kalimatnya, namun hanya sebatas pada kemungkinan-

kemungkinan penggabungan klausanya membutuhkan perubahan struktur atau

tidak sebagai tanda-tanda keakusatifan maupun keergatifan sebuah bahasa

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa ketiga bahasa tersebut

menunjukkan perilaku keergatifan meskipun dengan cara yang berbeda.

Penelitian keenam yang berkaitan dengan pelesapan argumen adalah

penelitian yang dilakukan oleh Jufrizal dalam kumpulan makalah Linguistika

tahun 2008. Penelitian yang berjudul Fenomena Tipologi Gramatikal Bahasa

13

Minangkabau : Akusatif, Ergatif, atau Campur? ini meneliti tentang tipe bahasa

Minangkabau dengan memperhatikan sistem aliansi gramatikal yang dimiliki

bahasa Minangkabau, apakah S diperlakukan sama dengan A atau S diperlakukan

sama dengan O. Dalam penelitian ini Jufrizal (2008:13) menemukan adanya

konstruksi zero pada bahasa Minangkabau. Konstruksi zero tersebut merupakan

konstruksi pentopikalan yang tidak hanya menyentuh tataran gramatikal, namun

sudah menyentuh tataran pragmatik.

Penelitian mengenai pelesapan argumen memang lebih banyak ditemukan

pada penelitian tipologi bahasa, mengingat pelesapan argumen merupakan salah

satu cara untuk menentukan jenis sebuah bahasa. Penelitian mengenai pelesapan

argumen selama ini masih terbatas pada penggunaannya untuk menentukan

apakah sebuah bahasa berperilaku akusatif maupun ergatif dan belum pernah

dibahas secara mendalam. Padahal masih banyak hal-hal yang perlu dibahas pada

penelitian pelesapan argumen. Salah satu hal yang menarik dan belum pernah

dibahas secara lebih lanjut dalam penelitian pelesapan argumen adalah masalah

perubahan struktur klausa yang mempengaruhi pelesapan argumen. Perubahan

struktur klausa pada pelesapan argumen ini penting dan menarik untuk dibahas

karena mempengaruhi apakah argumen bisa dilesapkan atau tidak. Selain itu

pemasifan juga menyebabkan terjadinya pergeseran kedudukan argumen.

B. Landasan Teori

Berdasarkan permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini, pada

bagian landasan teori akan dijelaskan teori mengenai klausa, perubahan struktur

klausa, argumen, pelesapan argumen, dan aliansi gramatikal.

14

1. Pengertian Klausa

Klausa merupakan bagian dari kalimat yang paling tidak terdiri dari subjek

dan predikat. Chaer menyatakan klausa merupakan “satuan sintaksis berupa

runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif” (2007:231). Pada kontruksi tersebut

ada unsur-unsur berupa kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat dan unsur

lainnya berfungsi sebagai subjek, objek, dan keterangan. Ramlan menjelaskan

klausa sebagai “satuan gramatikal yang terdiri dari subjek dan predikat baik

disertai objek, pelengkap, dan keterangan maupun tidak” (1987:89). Hal ini

terlihat pada contoh berikut.

(1) Ibu tidak berlari-lari S P

(2) Pemerintah akan menyelenggarakan pesta seni

S P O

(3) Orang itu selalu berbuat kebaikan

S P PEL

(4) Aku sudah menghadap komandan tadi

S P O KET

(Ramlan, 1987:91-99)

Contoh klausa (1), (2), (3), dan (4) di atas merupakan klausa yang terdiri

dari subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, dan keterangan maupun

tidak. Klausa tidak jauh berbeda dengan kalimat. Perbedaan yang dimiliki klausa

dan kalimat hanya terletak pada intonasi akhir atau tanda baca (Alwi, et al.,

2003:313). Klausa baru dapat disebut kalimat jika disertai intonasi dan tanda baca.

Baik kalimat maupun klausa mempunyai unsur fungsi, kategori, dan peran

di dalamnya. Fungsi dalam kalimat atau klausa adalah apa yang dikenal dengan

subjek, predikat, objek dan keterangan. Unsur kategori adalah yang sering disebut

15

dengan kelas kata, yaitu nomina, verba, ajektiva, dan numeralia. Unsur terakhir,

yaitu unsur peran mengistilahkan pelaku, penderita, dan penerima dalam klausa

(Chaer, 2007:207).

Ada beberapa jenis pembagian klausa dalam bahasa Indonesia. Jika dilihat

dari predikatnya, klausa dibagi menjadi dua, yaitu klausa transitif dan klausa

intransitif. Klausa transitif adalah klausa yang verbanya memerlukan objek.

Adapun Kridalaksana (2008:246) menjelaskan bahwa “verba atau predikat dalam

klausa transitif mengharuskan adanya tujuan”. Verba dalam klausa transitif

memerlukan nomina sebagai objek dalam kalimat aktif dan objek itu dapat

berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif (Alwi, et al., 2003:91). Beberapa

klausa berikut merupakan contoh klausa transitif.

(5) Ibu sedang membersihkan kamar itu.

(6) Polisi harus memperlancar arus lalu lintas

(7) Rakyat pasti mencintai pemimpin yang jujur

(Alwi, et al., 2003:91)

Pada contoh klausa (5), (6), dan (7) di atas, ibu, polisi, dan rakyat

merupakan fungsi subjek yang kemudian diikuti dengan predikat atau verba

membersihkan, memperlancar, dan mencintai. Sesuai dengan tipe klausa transitif,

predikat atau verba membersihkan, memperlancar, dan mencintai mengharuskan

adanya objek. Maka setelah membersihkan, memperlancar, dan mencintai, harus

diikuti objek berupa kamar itu, arus lalu lintas dan pemimpin yang jujur.

Kridalaksana (2008:96) menjelaskan arti intransitif sebagai “perbuatan atau

verba yang tidak mengharuskan adanya tujuan atau objek”. Alwi, dkk (2003:93),

yang menyebut intransitif dengan istilah taktransitif, menjelaskan “verba dalam

16

klausa intransitif tidak memiliki nomina di belakangnya yang dapat berfungsi

sebagai subjek dalam kalimat pasif”. Contoh klausa intransitif dapat dilihat

sebagai berikut.

(8) Maaf, Pak, Ayah sedang mandi

(9) Kami harus bekerja keras untuk membangun negara

(Alwi, et al., 2003:93)

Penelitian ini akan membahas mengenai penggabungan dua klausa yang

akan bersangkutan pada hubungan antara satu klausa dengan klausa lainnya.

Untuk menjadi sebuah kalimat, klausa bisa terdiri dari satu klausa saja ataupun

lebih. Kalimat yang terdiri dari satu klausa disebut kalimat tunggal sedangkan

kalimat yang terdiri dari dua klausa disebut kalimat majemuk. Ada dua cara untuk

menghubungkan klausa dalam kalimat majemuk, yaitu dengan koordinasi dan

subordinasi.

Hubungan koordinasi merupakan hubungan dua klausa atau lebih yang

masing-masing klausanya mempunyai kedudukan yang setara dalam struktur

konstituen (Alwi, et al., 2003:386). Hubungan antara klausa-klausa dalam

hubungan koordinasi tidak bersangkutan satu sama lain secara hierarki karena

klausa yang satu bukan konstituen klausa yang lainnya. Untuk lebih jelasnya

perhatikan contoh berikut.

(10) Ia segera masuk ke kamar lalu berganti pakaian.

(11) Dia bukannya sakit, melainkan malas saja.

(12) Dia di kawasan industri, hanya saja dia tidak bekerja di sana.

(Alwi, et al., 2003:388)

17

Pada contoh penggabungan klausa (10), (11), dan (12), kedua klausa yang

digabungkan merupakan klausa utama dan mempunyai kedudukan yang sama

sehingga bila dipisah, masing-masing mampu berdiri sendiri. Pada contoh klausa

(10) misalnya, klausa pertama ia segera masuk ke kamar bukan merupakan bagian

dari klausa kedua ia berganti pakaian, begitu pula sebaliknya.

Hubungan antar klausa subordinatif adalah penggabungan dua klausa atau

lebih yang salah satu klausanya menjadi bagian dari klausa yang lain (Alwi, et al.,

2003:388). Klausa-klausa dalam penggabungan klausa subordinatif tidak

mempunyai kedudukan setara dan salah satu klausanya merupakan konstituen dari

klausa lainnya. Contoh penggabungan klausa secara subordinatif dapat dilihat

dalam kalimat berikut.

(13) Partisipasi masyarakat terhadap program keluarga berencana

meningkat sesudah mereka menyadari manfaat keluarga kecil.

(14) Andaikan saya memperoleh kesempatan, saya akan mengerjakan

pekerjaan itu sebaik-baiknya.

(15) Meskipun usianya sudah lanjut, semangat belajarnya tidak pernah

padam.

(Alwi, et al., 2003:390)

Pada contoh penggabungan klausa (13), (14), dan (15), salah satu klausa

merupakan klausa turunan dari klausa lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri bila

dipisahkan. Klausa utama yang dapat berdiri sendiri disebut klausa utama

sedangkan klausa turunan dari klausa utama disebut klausa subordinatif. Contoh

kalimat (15) misalnya, terdiri dari dua klausa yaitu (i) meskipun usianya sudah

lanjut dan (ii) semangat belajarnya tidak pernah padam. Klausa (i) tidak dapat

18

berdiri sendiri tanpa klausa (ii). Klausa (i) disebut klausa subordinatif dan klausa

(ii) disebut klausa utama.

2. Perubahan struktur klausa

a. Pemasifan

Cook membagi klausa menurut hubungan subjek dengan

predikatnya menjadi empat yang meliputi : (i) kalimat aktif, yaitu kalimat

yang subjeknya merupakan pelaku predikat; (ii) kalimat pasif, yaitu

kalimat yang subjeknya menjadi sasaran predikat; (iii) kalimat medial,

yaitu kalimat subjeknya adalah pelaku dan penderita predikat; dan (iv)

kalimat resiprokal, yaitu kalimat yang predikatnya menyatakan tindakan

saling (dalam Sukini, 2010:89). Secara sederhana, pemasifan dapat

dijelaskan sebagai proses berubahnya kalimat aktif menjadi kalimat pasif.

Proses perubahan kalimat aktif menjadi kalimat pasif dapat dilihat pada

kalimat berikut.

(16) (i) Bu Siska memasak kue kering

(ii) Kue kering dimasak (oleh) bu siska.

(Sukini, 2010:96)

Adapun Dixon (1994:146) memiliki rumusan mengenai proses

perubahan klausa aktif menjadi klausa pasif. Rumusan pemasifan tersebut

dapat dikutipkan sebagai berikut.

a) “applies to an underlying transitif clause and forms a derived

intransitif” (diterapkan pada klausa transitif dan membentuk

turunan intranstif);

19

b) ―the underlying O NP becomes S of the passive‖ (FN O (frasa

nomina objek) menjadi S (subjek yang merupakan satu-satunya

argumen inti pada klausa bentuk turunan intransitifnya) pada

bentuk pasif);

c) ―the underlying A NP goes into a peripheral function, being

marked by a non-core case, preposition, etc; this NP can

omitted, although there is always the option of including it‖ (FN

A (frasa nomina agen) menjadi fungsi periferal, dimarkahi

dengan kasus bukan inti, preposisi, dan sebagainya; FN A ini

dapat dihilangkan, meski selalu ada pilihan untuk diikutkan

(dalam struktur klausanya));

d) ―there is some explicit formal marking of a passive construction

(generally, by a verbal affix or else by periphrastic element in

the verb phrase – such as English be...-en – although it could be

marked elsewhere in the clause)‖ (ada beberapa pemarkah

formal yang jelas pada konstruksi pasif (pada umunya dengan

verba berafiks atau elemen perifrastik pada frasa verbanya –

seerti dalam bahasa Inggris ditandai be...en – walau pemarkah

itu bisa pemarkah pada unsur lain dalam klausa).

Rumusan pemasifan menurut Dixon tersebut dapat diterapkan pada

pemasifan kalimat (16) sebagai berikut.

a) Kalimat aktif transitif (16i) membentuk turunan intransitif pada

klaimat pasif (16ii).

20

b) Argumen objek kue kering pada kalimat aktif (16i) kue kering

menjadi subjek yang merupakan satu-satunya unsur inti pada

kalimat pasif (16ii).

c) Argumen agen Bu Siska pada kalimat aktif (16i) menjadi fungsi

periferal yang dimarkahi oleh hadirnya preposisi oleh pada

kalimat pasif (16ii).

d) Konstruksi aktif (16i) dimarkahi dengan prefiks me- pada verba

memasak dan konstruksi pasif dimarkahi dengan prefiks di-

pada verba dimasak.

b. Perubahan struktur klausa kausatif

Kausatif merupakan konstruksi verba dan afiks yang digunakan

untuk mengekspresikan siapa atau apa penyebab sesuatu terjadi (Sawardi,

2011:189). Hubungan sebab akibat penting dalam struktur kausatif karena

predikat atau verba pada struktur kausatif memiliki arti “membuat jadi”.

Pada bahasa Indonesia, predikat atau verba pada struktur kausatif ditandai

dengan afiksasi berupa : (i) akhiran –kan, (ii) akhiran –i, (iii) awalan per-,

(iv) imbuhan per—kan, dan (v) imbuhan per—i (Winarti, 2009:3).

Struktur kausatif dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kausatif

morfologi, kausatif perifrastik, dan kausatif leksikal. Pada penelitian ini

hanya akan dibahas perubahan struktur non-kausatif menjadi struktur

kausatif secara morfologi saja. Perubahan kausatif secara morfologi

memiliki ciri-ciri tertentu. Perubahan dari struktur bukan kausatif menjadi

kausatif secara morfologi ini hanya dapat dilakukan jika struktur sebelum

21

kausatifnya merupakan bentuk dasar atau intransitif (Sawardi, 2015:169).

Selain itu perubahan kausatif pada umumnya menyebabkan perubahan

valensi pada argumen-argumennya dengan bertambahnya jumlah argumen

(Winarti, 2009:65-66).

c. Perubahan struktur aplikatif

Aplikatif dideskripsikan sebagai pergeseran argumen dari kasus

bukan inti menjadi argumen inti. Sawardi (2002:1) menjelaskan bahwa

“aplikatif dalam ilmu sintaksis dipahami sebagai penambahan argumen inti

di bawah agen yang dibedakan dengan kausatif yaitu penambahan

argumen agen pada suatu proposisi”.Adapun Nurachman menyatakan

bahwa pada proses aplikatif, pergeseran argumen yang terjadi meliputi

promosi (advancement) dan demosi (demotion) (2002:274). Maksud dari

promosi dan demosi di sini adalah naik dan turunnya argumen berdasarkan

hierarkinya. Hierarki yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Subjek

2. Objek langsung

3. Objek tak langsung

4. Oblik

Kenaikan hierarki biasanya terjadi pada oblik atau kasus bukan inti

yang bergeser menjadi objek sedangkan penurunan hierarki biasanya

terjadi pada objek langsung yang bergeser menjadi objek tidak langsung

atau menjadi unsur bukan inti.

22

3. Argumen

Verhaar mendeskripsikan argumen sebagai konstituen inti pada sebuah

klausa yang biasanya berupa nomina atau frasa nominal (2008:165). Sebelumnya,

Verhaar membedakan nomina berdasarkan keintiannya menjadi dua jenis, yaitu

konstituen inti atau nuklir dan konstituen luar inti atau periferal (2008:164).

Nomina yang berupa periferal biasanya ditandai dengan preposisi, misalnya untuk

saya, oleh ayah, dan kepada para wartawan. Pembagian mengenai konstituen inti

dan kontituen periferal ini berdasarkan pada konstituen yang hadir karena sifat-

sifat khas dari verba yang menjadi induk konstruksinya. Verhaar

mencontohkannya pada klausa-klausa bahasa Inggris sebagai berikut. Pada contoh

klausa (17), preposisi to memiliki hubungan yang erat dengan verba dan

merupakan satu kesatuan tapi tidak untuk to pada klausa (18).

(17) They will object to this plan.

„Mereka akan keberatan dengan rencana ini‟

(18) They will go to the post office.

„Mereka akan pergi ke kantor pos.‟

(Verhaar, 2008:165)

Konstituen periferal yang erat hubungannya dengan predikat atau verba

klausanya dan diperlukan demi keutuhan klausa disebut sebagai komplemen

(Verhaar, 2008:165). Komplemen dapat dilihat pada struktur klausa saya tinggal

di Jakarta. Klausa saya tinggal bukan merupakan klausa lengkap tanpa hadirnya

konstituen di Jakarta.

Dixon mendeskripsikan argumen dengan membedakannya berdasarkan

partisipan yang dibutuhkan verba pada sebuah klausa. Dixon (1994:6)

menyatakan semua bahasa dibedakan antara klausa yang verbanya memiliki satu

23

argumen (klausa intransitif) dan klausa yang verbanya memiliki dua argumen atau

lebih. Untuk menandai argumen-argumen tersebut, Dixon menggunakan sistem

yang dapat digunakan lintas bahasa sebagai berikut.

S – subjek klausa intransitif

A – subjek klausa transitif

O – objek klausa transitif

Satu-satunya argumen pada klausa intransitif dinamakan subjek (S).

Biasanya predikat dari klausa intransitif ini tidak memerlukan hadirnya argumen

lain, seperti verba melompat, berkedip, berdiri, tumbuh, dan sebagainya.

Argumen-argumen pada klausa transitif masing-masing dinamakan agen (A) dan

objek (O).

Adapun untuk membedakan A dan O pada klausa transitif, Dixon (1994:7)

menggunakan dasar kajian peran semantik sebagai berikut.

Tipe Semantik Peran Semantik

Affect : hit, cut, burn agent, manip, target

Giving : give, lend, pay donor, gift, recipient

Speaking : talk, tell, order speaker, addressee, message

Attention : see, hear, watch perceiver, impression

Dixon menyatakan hampir semua bahasa menunjukkan tanda yang sama

dalam menentukan A dan O melalui peran semantik, yaitu agent „agen‟, donor

„donor‟, speaker „penutur‟, dan perceiver „yang merasakan‟ diidentifikasi sebagai

A dengan pertimbangan peran-peran tersebut paling berkaitan dengan aktivitas

yang dikerjakan (1994:8). Partisipan yang membuat potongan pada verba

24

memotong, dipetakan sama dengan partisipan yang memberikan sesuatu pada

verba memberi, dan partisipan yang memberitahukan informasi pada verba

mengatakan. Pada klausa transitif, partisipan yang tidak diidentifikasikan sebagai

A secara otomatis menjadi fungsi O. Pada klausa yang memiliki partisipan lebih

dari satu, hanya ada satu partisipan yang mengontrol aktivitas. Pada klausa Mary

hit John „Mary memukul John‟ (Dixon, 1994:115), Mary yang mengontrol

aktivitas tersebut. Walau ada kemungkinan Mary tidak sengaja memukul John,

tapi John tetap tidak bisa menjadi agen yang mengontrol aktivitas.

4. Pelesapan argumen

Pelesapan menurut Alwi, dkk adalah penghilangan unsur tertentu dari

suatu kalimat atau teks tanpa mengurangi makna kalimatnya (2003:415). Adapun

Ramlan mendeskripsikan pelesapan sebagai ”unsur kalimat yang tidak dinyatakan

secara tersurat pada kalimat berikutnya tetapi kehadiran unsur itu dapat

diperkirakan” (1993:24). Jadi dapat disimpulkan bahwa pelesapan argumen

merupakan penghilangan atau tidak dimunculkannya unsur argumen pada sebuah

kalimat.

Unsur yang hilang pada sebuah pelesapan tidak begitu saja dilesapkan

tanpa adanya acuan. Alwi, dkk menyatakan bahwa “unsur-unsur yang dilesapkan

dapat ditelusuri balik dari teks secara tepat” dan lebih lanjut menyebut unsur yang

sama yang tidak dilesapkan disebut anteseden dari unsur yang lesap (2003:415).

Adapun Sugono menyatakan bahwa unsur yang hilang pada sebuah pelesapan

memiliki anteseden atau acuan, baik acuan yang ada dalam konteks bahasa

maupun yang ada di luar konteks bahasa (1991:13). Hal ini berlaku pula pada

pelesapan argumen yang akan dibahas pada penelitian ini. Argumen yang lesap

25

harus memiliki anteseden yang menjadi acuan, terutama acuan yang ada pada

konteks bahasanya. Hubungan antara unsur yang lesap dengan antesedennya ini

disebut sebagai kekoreferensialan.

Pelesapan argumen diperkenalkan oleh Dixon pada tahun 1994 dengan

istilah pivot yang digunakan untuk menentukan tipe bahasa, apakah bahasa

tersebut termasuk bahasa akusatif atau bahasa ergatif dengan memperhatikan

perilaku kekoreferensialan antarargumen pada penggabungan klausa. Adapun

Heath menggunakan istilah pivot untuk menerangkan fenomena sintaksis yang

menyangkut pengidentifikasian kekoreferensialan dalam kalimat kompleks (dalam

Artawa, 1997:113). Disamping istilah pivot, dia juga menggunakan istilah

controller. Masing-masing istilah ini dalam bahasa Indonesia disebut terkendali

dan pengendali. Frasa nomina yang berfungsi sebagai pengendali dalam klausa

inti disebut sebagai controller pengendali dan klausa nominal pada klausa turunan

disebut pivot atau terkendali. Dalam bahasa akusatif, seperti bahasa Inggris,

pivotnya adalah subjek dalam sebuah klausa, sedangkan dalam bahasa bertipe

ergatif seperti bahasa Dyrbal, pivotnya adalah objek.

Mengenai kekoreferensialan antarargumen, Dixon mengemukakan

beberapa kemungkinan argumen yang berkoreferensial pada penggabungan klausa

(1994:157-158). Kemungkinan kekoreferensialan argumen tersebut adalah

sebagai berikut.

Kedua klausa merupakan klausa intransitif

a. S1 = S2

Klausa pertama intransitif dan klausa kedua transitif

b. S1 = O2

26

c. S1 = A2

Klausa pertama transitif dan klausa kedua intransitif

d. O1 = S2

e. A1 = S2

Kedua klausa merupakan klausa transitif dengan satu kekoreferensialan

f. O1 = O2

g. A1 = A2

h. O1 = A2

i. A1 = O2

Kedua klausa merupakan klausa transitif dengan dua kekoreferensialan

j. O1 = O2 dan A1 = A2

k. O1 = A2 dan A1 = O2

Perilaku kekoreferensialan antarargumen pada penggabungan klausa yang

kemudian salah satunya dilesapkan dan digunakan untuk menentukan

kecenderungan jenis bahasa diilustrasikan secara sederhana oleh Dixon (1994:158)

dalam bahasa Inggris sebagai berikut.

a. S1 = S2 : Bill entered and sat down

b. S1 = O2 : Bill entered and was seen by Fred

c. S1 = A2 : Bill entered and saw Fred

d. O1 = S2 : Bill was seen by Fred and laughed

e. A1 = S2 : Fred saw Bill and laughed

f. O1 = O2 : Bill was kicked by Tom and punched by

Bob

g. A1 = A2 : Bob kicked Jim and punched Bill

h. O1 = A2 : Bob was kicked by Tom and punched Bill

i. A1 = O2 : Bob punched Bill and was kicked by Tom

j. O1 = O2 dan A1 = A2 : Fred punched and kicked Bill

27

k. O1 = A2 dan A1 = O2 : Fred punched Bill and was kicked by him

Dari ilustrasi di atas dapat diketahui bahwa terjadi pemasifan pada

beberapa kemungkinan kekoreferensialan argumen bahasa Inggris yang cenderung

berjenis bahasa akusatif. Pemasifan tersebut terjadi pada kekoreferensialan

argumen yang melibatkan argumen O, yaitu pada kekoreferensialan (b), (d), (f),

(h), (i), dan (k). Adapun kekoreferensial argumen (a), (c), (e), (g), dan (j) tidak

mengalami perubahan struktur klausa.

5. Tipologi Linguistik dan Aliansi Gramatikal

Tipologi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu bahasa berdasarkan

ciri-ciri fonologis, gramatikal, atau leksikal untuk menemukan tipe-tipenya,

terlepas dari perkembangan historisnya (Kridalaksana, 2008:123). Adapun

tipologi linguistik dapat diartikan pengelompokan suatu bahasa dengan tataran

tata bahasanya. Menurut Artawa (1997:108) tujuan pokok dari linguistik tipologi

adalah untuk mengklasifikasikan bahasa-bahasa berdasarkan properti struktural

bahasa tersebut dan menjawab pertanyaan “seperti apakah bahasa X itu?”. Kajian

tipologi linguistik berusaha menetapkan pengelompokan bahasa secara luas

berdasarkan unsur gramatikal yang saling berhubungan dalam bahasa tersebut.

Dalam perkembangannya, tipologi linguistik dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu tipologi gramatikal dan tipologi fungsional (Jufrizal, 2008:6). Tipologi

fungsional merupakan pengelompokan bahasa yang berdasarkan pada fungsi

prakmatis atau fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Tipologi gramatikal

merupakan pengelompokan bahasa berdasarkan sifat gramatikalnya.

Pengelompokan bahasa dalam tataran sintaksis berhubungan erat dengan aliansi

gramatikal. Jufrizal (2008:6) menjelaskan aliansi gramatikal (grammatical

28

alliance) merupakan sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam

atau antar klausa dalam suatu bahasa secara tipologis, apakah persekutuan itu S =

A, ≠ O atau S = O, ≠ A, atau Sa = A, So = O atau sitem yang lainnya (Jufrizal

menggunakan istilah pasien (P) yang merujuk pada argumen objek (argumen O)

pada Dixon).

Dixon menyatakan bahwa aliansi gramatikal dapat dibagi menjadi tiga

yang selanjutnya menunjukkan tiga tipe bahasa juga, yaitu bahasa yang termasuk

tipe akusatif, tipe ergatif, dan bahasa yang termasuk tipe split-s atau s-terpilah

(1994:14). Bahasa yang memperlakukan S-nya sama dengan A disebut bahasa

bertipe akusatif sedangkan bahasa yang memperlakukan S-nya sama dengan O

disebut bahasa ergatif. Adapun tipe bahasa s-terpilah, subjek yang mirip agen (Sa)

dan subjek yang mirip objek (So) dimarkahi berbeda Tiga tipe bahasa yang

disampaikan Dixon tersebut digambarkan oleh Sawardi (2009:3-5) sebagai berikut.

a. Tipe bahasa akusatif

S - He danced

„Dia menari‟

A O - He hit him

„Dia memukulnya (dia)‟

Tipe bahasa akusatif adalah tipe bahasa yang memperlakukan

S pada klausa intransitifnya sama dengan A pada klausa transitifnya.

Hal ini dicontohkan pada bahasa Inggris dengan klausa intransitif he

danced dan klausa intransitif he hit him. He yang merupakan S

klausa intransitif diperlakukan sama dengan he yang merupakan A

29

klausa transitif. Hal ini berbeda dengan argumen O yang mengambil

bentuk him.

b. Tipe bahasa ergatif

S - ηuma banaga-nyu

Ayah (ABS) kembali

„Ayah kembali‟

A O - Yabu ηuma-ηgu bura-n

Ibu(ABS) ayah-ERG lihat-

NONFUT

„Ayah melihat ibu‟

Tipe bahasa ergatif adalah tipe bahasa yang memperlakukan S

pada klausa intransitifnya sama dengan O pada klausa transitifnya.

Hal ini dapat dilihat pada contoh bahasa Dyirbal. Dalam contoh di

atas terlihat bahwa S pada klausa intransitifnya, ηuma „ayah‟,

diperlakukan sama dengan yabu yang merupakan O pada klausa

transitifnya, yaitu dengan tidak dimarkahi. Adapun A pada klausa

transitif ηuma-ηgu dimarkahi oleh hadirnya –ηgu yang

membedakannya dari S.

c. Tipe bahasa s-terpilah

Sa So - Siti tiba

Nama jatuh

Siti jatuh

A O - Siti n-joget

Nama AKT-menari

„Siti menari‟

Tipe bahasa dengan s-terpilah adalah tipe bahasa yang

pemarkahan verba intransitifnya terpilah menjadi dua, yaitu subjek

yang mirip agen (Sa) dimarkahi secara berbeda dengan subjek yang

30

mirip objek (So). Pada contoh kalimat dalam bahasa Jawa di atas,

subjek Siti dengan verba tiba „jatuh‟ memiliki perilaku pasien

sehingga verbanya tidak diberi nasal sebagai pemarkah aktif

sedangkan subjek Siti dengan verba n-joget „menari‟ memiliki

perilaku seperti agen yang mengontrol verbanya dan diberi

pemarkah aktif nasal.

C. Kerangka Pikir

Penelitian menganai pelesapan argumen pada penggabungan klausa ini

menggunakan teori Dixon mengenai keakusatifan dan keergatifan dan pivot

feeding. Kerangka pikir yang digunakan untuk menganalisis pelesapan pada

penggabungan klausa dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Pada tahap awal, peneliti menentukan objek penelitian, yaitu pelesapan

argumen pada penggabungan klausa. Peneliti melakukan pemahaman

terhadap pelesapan argumen pada penggabungan klausa sehingga

menemukan permasalahan mengenai perubahan struktur klausa yang

mempengaruhi pelesapan argumen pada penggabungan klausa.

2. Setelah melakukan pemahaman yang mendalam, tahap selanjutnya

adalah mengaitkan pelesapan argumen pada penggabungan klausa

dengan perubahan struktur klausa aktif-pasif, kausatif, dan aplikatif.

3. Tahap selanjutnya adalah menentukan teori yang akan digunakan

untuk menganalisis permasalahan mengenai pelesapan argumen pada

penggabungan klausa. Penelitian ini menggunakan teori pelesapan

argumen yang dikemukakan oleh Dixon.

31

4. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah simpulan, yaitu memaparkan

hasil analisis mengenai pelesapan argumen pada penggabungan klausa.

Bagan 1

Kerangka Pikir