29
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem Mukosilia Hidung Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem mukosilia dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan terjadi penyakit (Krouse dan Stachler, 2006). 2.1.1 Mukosa Sinonasal Sebagian besar permukaan kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius. Mukosa sinonasal secara histologis terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnal berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propia yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media, dan lapisan kelenjar profunda. Kulit pada vestibulum hidung sama seperti hidung bagian luar merupakan sel epitel skuamosa berkeratinisasi terdiri dari vibrise, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Pada bagian anterior konka inferior epitel berkeratinisasi tadi bercampur dengan epitel skuamosa tidak berkeratinisasi, epitel kolumnar tidak bersilia dan epitel respiratorius bersilia (Probst dkk, 2006). Saat mencapai nasofaring sel kolumner bercampur menjadi epitel skuamosa tidak berkeratinisasi yang mirip dengan epitel rongga mulut (Ballenger, 2003). Mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius dan mukosa olfaktorius. Sebagian besar mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem Mukosilia Hidung 2.pdf · mukosilia dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan terjadi penyakit (Krouse ... dengan epitel rongga mulut ... Pengaruh

  • Upload
    dongoc

  • View
    219

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sistem Mukosilia Hidung

Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem

mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan

palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem

mukosilia dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan terjadi penyakit

(Krouse dan Stachler, 2006).

2.1.1 Mukosa Sinonasal

Sebagian besar permukaan kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius.

Mukosa sinonasal secara histologis terdiri dari palut lendir (mucous blanket),

epitel kolumnal berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propia yang

terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media, dan lapisan kelenjar profunda.

Kulit pada vestibulum hidung sama seperti hidung bagian luar merupakan sel

epitel skuamosa berkeratinisasi terdiri dari vibrise, kelenjar sebasea dan kelenjar

keringat. Pada bagian anterior konka inferior epitel berkeratinisasi tadi bercampur

dengan epitel skuamosa tidak berkeratinisasi, epitel kolumnar tidak bersilia dan

epitel respiratorius bersilia (Probst dkk, 2006). Saat mencapai nasofaring sel

kolumner bercampur menjadi epitel skuamosa tidak berkeratinisasi yang mirip

dengan epitel rongga mulut (Ballenger, 2003).

Mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius dan mukosa

olfaktorius. Sebagian besar mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa

6

7

respiratorius. Mukosa respiratorius dilapisi oleh epitel kolumnar pseudostratified

bersilia yang merupakan kelanjutan dari sinus paranasal. Epitel bersilia berperan

dalam transportasi mukus dari kavum nasi ke nasofaring. Sedangkan atap septum

nasi dilapisi oleh mukosa olfaktorius (Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler,

2006).

2.1.1.1 Epitel

Epitel mukosa respiratorius tersusun atas sel bersilia, sel intermediate, sel

basal dan sel goblet yang berada pada membran basal. Epitel merupakan barier

mekanik yang utama untuk melawan infeksi. Sel kolumner bersilia merupakan sel

yang terbanyak dan membentang dari membran basal ke permukaan sel

(Ballenger, 2003). Setiap sel bersilia memiliki 150-200 silia yang tersusun atas

mikrotubulus (Probst dkk, 2006). Tugas dari silia adalah untuk membersihkan

palut ledir yang dihasilkan oleh sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung

ke nasofaring. Mikrovili berukuran lebih pendek daripada silia dan beberapa

memiliki cabang. Fungsi mikrovili ini masih belum jelas namun diduga dapat

memperluas permukaan sel. Sel basal terletak pada membran basal dan berfungsi

sebagai progenitor sel kolumner tidak bersilia menjadi sel kolumner bersilia

(Probst dkk, 2006).

2.1.2 Silia

Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel, bentuknya

panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Silia dapat ditemukan

di seluruh traktur respiratorius, kecuali vestibulum hidung, dinding posterior

orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia terdapat juga pada

8

tuba Eustachius, sebagian besar telinga tengah dan di dalam sinus paranasal

(Ballenger, 2003). Silia manusia memiliki ukuran panjang 2-6 µm dengan

diameter 0,3 µm. Setiap silia terdiri dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang

tersusun longitudinal atau fibril yang disebut aksonema. Mikrotubulus ini

dikelilingi sembilan pasang di bagian luar (gambar 2.1) (Ballenger, 2003).

Gambar 2.1 Struktur ultrasilia tubulus (Ballenger, 2003)

Pola pergerakan silia dikenal dengan ciliary beat (Gambar 2.2).

Gerakannya cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya

menyentuh lapisan mukoid kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan

ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Pukulan terjadi secara

metachronus dan berlangsung 3-25 mm/menit dengan frekuensi 12 Hz (Stierna,

2001) atau 1000 getaran per menit (Ballenger, 2003).

Gerakan silia terdiri dari dua fase dengan sumber energinya adenosine

triphosphate (ATP), mengakibatkan pergerakan filamen pada silia dikenal dengan

teori meluncurnya filamen. Silia pada epitel respiratorius bergerak secara

terkoordinasi dengan pola metachronous pada cairan perisilia yaitu lapisan yang

lebih dalam dari lapisan sol, yang mengalirkan lapisan gel superfisial ke arah

9

nasofaring (Probst dkk, 2006). Gerakan silia dipengaruhi oleh faktor eksternal

(Probst dkk, 2006).

Gambar 2.2 Siklus silia normal (Ballenger, 2003)

2.1.3 Palut Lendir

Palut lendir adalah lembaran yang tipis, lengket, dan liat yang dihasilkan

oleh kelenjar serus dan sel-sel goblet pada mukosa hidung. Palut lendir melapisi

permukaan epitel hidung berukuran 12-15 µm. Palut lendir terdiri dari dua lapisan

yaitu a) lapisan sol disebut juga cairan perisilia, terletak di lapisan dalam,

menyelimuti batang silia dan bersifat kurang viskus dan b) lapisan gel yang

terletak di superfisial, ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya

dan bersifat lebih viskus (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler,

2006).

Lapisan superfisial merupakan lapisan yang terdiri dari gumpalan mukus

yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisilia dibawahnya.

Cairan perisiliar kaya akan protein plasma seperti albumin, Ig G, Ig M dan faktor

komplemen (Stierna, 2001). Partikel yang larut maupun tidak larut akan ditangkap

dalam gumpalan mukus ini dan kemudian dibuang oleh gerak silia di bawahnya

menuju esofagus. Palut lendir mempunyai pH = 7 atau sedikit asam dan

10

mengandung air 95%, 2,5-3% glikoprotein, garam 1-2%. Komposisi ini

tergantung pada aktivitas sel goblet, kelenjar seromukus korion, kelenjar

lakrimalis dan penguapan udara inspirasi (Passali dkk, 2005). Fungsi palut lendir

ini adalah sebagai pelicin, melindungi dari keadaan kering dan menangkap

partikel dan gas yang larut (Ballenger, 2003).

Palut lendir dibersihkan ke arah nasofaring setiap 10 sampai 15 menit oleh

gerakan silia dan digantikan oleh mukus segar yang disekresikan kavum nasi dan

mukosa sinus (Walsh dan Kern, 2006). Palut lendir selalu bergerak dan gerakan

ini karena adanya silia. Silia bergerak untuk menghalau mukus dan debris yang

terperangkap melalui ostium dan ke hidung. Silia juga dapat tertarik ke bawah

searah gravitasi. Ostium sinus maksila berada di superior dinding medial sinus

sehingga tanpa gerakan silia yang menyapu mukus ke atas maka sinus maksila

tidak akan pernah mengalami drainase (Metson, 2005).

2.1.4 Sel Goblet

Sel-sel goblet epitel dan kelenjar seromukus pada mukosa hidung

menghasilkan palut lendir (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan

Stachler, 2006). Laktoferin, lisosim, secretory leukoprotease inhibitor dan

secretory Ig A dihasilkan oleh sel serus, sedangkan glikoprotein dihasilkan oleh

sel mukus. Fungsi utama Ig A adalah untuk mengeksklusi mikroorganisme di

jaringan dengan berikatan dengan antigen di lumen jalan napas sedangkan Ig G

bekerja pada mukosa dengan menginisiasi perubahan reaksi berupa inflamasi

ketika terpapar antigen bakteri (Stierna, 2001).

11

Sel goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus

lainnya, sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada

sinus paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus

paranasal sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah

terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia (Passali

dkk, 2005). Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan

penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar

secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat (Stierna,

2001).

2.2 Transpor Mukosilia

Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan

sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi di mana bahan partikel berjalan

sepanjang permukaan kavum nasi melalui transpor mukosilia disebut dengan

waktu transpor mukosilia (Probst dkk, 2006).

Bentuk sitoskeleton sel silia dan aktivitas dynein memungkinkan

terjadinya gerakan silia pada epitel respiratorius secara metachronous. Silia

bekerja menggerakkan sekresi mukus dari sel goblet dan sekresi serus dari

kelenjar hidung menuju nasofaring secara mekanik untuk membersihkan udara

inspirasi. Ujung silia dalam keadaan tegak akan masuk sepenuhnya menembus

gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan

materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah esofagus. Lapisan cairan

perisilia di bawahnya yaitu cairan yang kurang viskus beserta partikel yang

12

terlarut didalamnya juga dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi

mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Ballenger, 2003).

Kecepatan transpor mukosilia sangat bervariasi. Pada orang sehat partikel

yang ada pada palut lendir dipindahkan oleh silia yang aktif dengan kecepatan 3-

25 mm/menit dan rata-rata 6 mm/menit. Adanya infeksi dapat menghambat sistem

transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus misalnya virus influenza,

rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV juga menghambat transpor

mukosilia dengan mengubah ultrastruktur aksonemal atau bahan viskoelastik pada

palut lendir (Ballenger, 2003).

2.2.1 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Waktu Transpor Mukosilia

Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a) faktor eksternal yaitu struktur

kimia partikel yang diangkut, b) faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak

dengan larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi dan

c) faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus (Passali dkk,

2005; Ballenger, 2003). Karakteristik silia meliputi struktur, jumlah dan

koordinasi pergerakan silia sedangkan karakteristik mukus yaitu jumlah yang

disekresikan dan sifat viskoelastiknya merupakan komponen penting agar silia

dapat berfungsi secara efektif (Ramon, 1999; Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006).

1.2.2.1 Kelainan kongenital

Kelainan kongenital seperti diskinesia silia primer dapat berupa

kekurangan lengan dynein, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia

abnormal. Uji sakarin pada penderita ini adalah lebih dari 60 menit Al-rawi dkk

(1998). Sindrom kartagener merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,

13

dimana terjadi gangguan koordinasi gerakan siia sehingga terjadi gangguan

transpor mukosilia.

Jang dkk (2002) menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu

transpor mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi yang diduga

akibat hilangnya silia, proses inflamasi dan berkurangnya jumlah kelenjar.

2.2.2.2 Suhu dan kelembaban udara

Aktivitas silia dapat terganggu pada penurunan kelembaban, penurunan

suhu atau kohesi pada permukaan mukosa yang saling berhadapan (Walsh dan

Kern, 2006). Adrenergik β2 agonis dapat meningkatkan frekuensi gerakan silia,

sedangkan adrenergik 2 menghambat frekuensi gerakan silia (Ballenger, 2003).

Penelitian Salah dkk (1988) menyatakan bahwa subjek penelitian yang bernapas

dalam udara kering mengalami pemanjangan transpor mukosilia Hal ini

disebabkan oleh perubahan sifat reologis mukus pada udara kering.

2.2.2.3 Paparan debu

Soemadi dkk (2009) menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung

pada pekerja yang terpapar debu kayu lebih panjang. Paparan kronis dari debu

kayu dapat menyebabkan gangguan pada transpor mukosilia hidung. Black dkk.

pada tahun 1974 melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung pada

pekerja pabrik kayu di Inggris yang terpapar debu kayu selama lebih dari 10

tahun.

14

2.2.2.4 Umur

Penelitian Ho dkk, 2001 tentang transpor mukosilia hidung, Ciliary Beat

Frequency (CBF) serta ultrastruktur silia pada relawan sehat umur 11 - 90 tahun,

menemukan ada hubungan antara waktu transpor mukosilia dengan pertambahan

umur. Melalui hasil pemeriksaan mikroskop elektron terlihat peningkatan

kekacauan miokrotubulus silia sejalan dengan bertambahnya umur. Subjek yang

berumur diatas 40 tahun mengalami penurunan CBF yang bermakna dengan

waktu transpor mukosilia memanjang dibanding dengan mereka yang berumur

lebih muda.

2.2.2.5 Indeks massa tubuh

Penelitian oleh Valdez dan Cruz, 2009 untuk mengetahui apakah transpor

mukosilia dipengaruhi oleh indeks massa tubuh yang abnormal pada orang

dewasa umur 18 - 33 tahun, menyimpulkan bahwa orang dengan indeks massa

tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan waktu transpor mukosilia

hidung.

2.2.2.6 Paparan asap rokok

Özler dkk. (2014) dalam penelitiannya terhadap efek perokok pasif dan

aktif yang sedikitnya terkena paparan asap rokok selama tiga tahun terhadap

waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa terdapat pemanjangan waktu

bersihan mukosilia hidung secara signifikan pada perokok pasif dan aktif bila

dibandingkan dengan kontrol. Penelitian mengenai transpor mukosilia memakai

metode sakarin dan pemeriksaan CBF in vitro pada perokok dan bukan perokok

memperlihatkan adanya perbedaan CBF rata - rata atau waktu transpor mukosilia

15

rata - rata yang bermakna. Pada perokok kronis kelainan transpor mukosilia bukan

disebabkan oleh CBF yang melambat tapi mungkin karena berkurangnya jumlah

silia atau perubahan viskoelastisitas mukus.

2.2.2.7 Diabetes mellitus

Penelitian Selimoglu dkk, 1999 tentang adakah perubahan waktu transpor

mukosila terkait dengan diabetes mellitus, menyatakan bahwa pemanjangan

waktu transpor pada penderita diabetes mungkin disebabkan oleh menurunnya

aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangya air dan elektrolit, serta akibat

perubahan metabolisme karbohidrat.

2.2.2.8 Infeksi dan rinitis alergi

Yadav dkk, 2003 menyatakan bahwa kecepatan transpor mukosilia hidung

pada penderita rinitis alergi menurun akibat sekresi hidung yang bersifat alkali,

yang mana merupakan kondisi ideal bagi fungsi silia. Walaupun demikian hal

sebaliknya terjadi pada kasus rinitis alergi yang sangat lama, berkaitan dengan

perubahan sifat reologi mukus hidung.

Pengaruh infeksi hidung sinus paranasal kronik terhadap waktu transpor

mukosilia telah diselidiki oleh Majima dkk. Penelitian tersebut meneliti

viskoelastisitas mukus penderita sinusitis kronis dan menyimpulkan bahwa

viskoelastisitas mukus yang mukopurulen lebih tinggi dibanding dengan yang

mukoid, selanjutnya menyebabkan gangguan transpor mukosilia (Majima dkk,

1993).

16

2.2.2 Pemeriksaan Fungsi Mukosilia

Efektivitas fungsi mukosilia didasarkan pada hubungan fungsional antara

tiga komponen yaitu mukus, gerakan silia dan cairan perisilia (Probst dkk, 2006).

Ada dua metode yang telah digunakan untuk mengevaluasi aktivitas silia

pada mukosa nasal yaitu: metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung

menggunakan stroboscopy, roentgenography, maupun teknik photoelectron yang

membutuhkan tehnologi canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masing-

masing pelayanan kesehatan. Sedangkan metode tidak langsung misalnya uji

sakarin atau penggunaan 99m

Tc-MAA, merupakan pemeriksaan yang aman,

mudah, cepat dan dapat dipercaya untuk menilai transpor mukosilia. Uji sakarin

lebih mudah dikerjakan dan tidak membutuhkan bahan dan alat yang mahal

(Naxakis dkk, 2009). Oleh karena ketersediaannya dan mudah dikerjakan uji

sakarin telah dikenal sebagai alat skrining yang paling bermanfaat terhadap

dismotilitas silia dan untuk mengevaluasi transpor mukosilia (Ramon dkk, 1999).

2.2.2.1 Uji Sakarin

Prinsip uji sakarin dan pemeriksan dengan zat pewarna adalah menghitung

waktu yang diperlukan untuk sakarin atau zat pewarna yang diletakkan di

belakang ujung anterior konka inferior untuk mencapai rongga faring (Ballenger,

2003).

Pada uji sakarin, 1 mm tablet sakarin diletakkan sekitar 1 cm di belakang

ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia skuamosa

dengan menggunakan forsep kecil. Pasien diminta tetap bernapas biasa melalui

hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum. Kemudian pasien

17

diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan melaporkan jika merasakan

suatu rasa di tenggoroknya. Rasa alamiah tersebut tidak diberitahukan kepada

pasien sehingga pasien dapat ditanyakan mengenai kualitas sensasi tersebut.

Variasi lain adalah dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan

menggunakan Evans blue, sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring

(Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004).

Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan uji sakarin (Scadding dan Lund, 2004)

a. Forsep aligator dan tablet sakarin

b. Sakarin diletakkan kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka

inferior

Valia dkk. (2008) menyatakan bahwa uji sakarin merupakan suatu pengukuran

yang reprodusibel karena pengulangan uji sakarin pada subjek yang sama pada

suatu interval waktu tertentu tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada

Wilcoxon T test dengan p = 0,28. Penelitian Corbo dkk. (1989) menunjukkan

bahwa reprodusibilitas uji sakarin adalah baik yang ditunjukkan dengan

konsistensinya yang baik antara pengulangan pengukuran dengan nilai interclass

correlation coefficient atau Ri=0,80 dan tidak terdapatnya perbedaan yang

signifikan antara dua pengukuran tersebut.

18

Penelitian Leung dkk. (2014) menyatakan bahwa lama waktu bersihan

mukosilia hidung pada sebagian besar subjek normal adalah 10 menit. Hasil ini

tidak berbeda jauh dengan penelitian Munir (2010) yang menyatakan bahwa

waktu transpor mukosilia hidung subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit.

2.3 Mekanisme Pertahanan Tubuh

2.3.1 Daya pertahanan sinonasal melawan polusi udara

Sekitar 9000 liter udara melintasi rongga hidung setiap harinya. Hidung

melindungi sistem respirasi dengan cara menyaring udara, membersihkan berjuta -

juta partikel, bahan kimia dan mikroorganisme dari udara pernapasan. Polusi

udara bisa berbentuk gas ataupun partikel. Pengendapan polutan yang berbentuk

gas dalam rongga hidung tergantung pada daya larut gas, lamanya terpapar dan

faktor anatomi traktus sinonasal yang bisa diketahui melalui pola aliran udara

pernapasan. Untuk gas yang mudah larut seperti sulfur dioksida maka rongga

hidung merupakan filter yang sangat efektif. Rongga hidung efektif

menyingkirkan partikel yang berdiameter lebih dari 10 mikron. Apakah sistem

mukosilia bisa melindungi mukosa hidung terhadap gas inhalasi atau uap bahan

kimia seperti perlindungannya terhadap partikel belum banyak diketahui (Clerico,

2001).

Mekanisme pertahanan sinonasal terdiri dari transpor mukosilia, daya

reflek, daya imun dan daya pertahanan antimikroba. Reflek nasopulmoner, reflek

nasokardiak, reflek bersin melibatkan rongga hidung melalui mediasi saraf

trigeminal dengan koneksi sentralnya. Respon imun melibatkan sel imun dalam

19

sirkulasi maupun jaringan serta melibatkan daya pertahanan antimikroba dari

respon inflamasi nonseluler (Clerico, 2001).

Sitokrom P-450 banyak ditemukan pada mukosa hidung dan bertanggung

jawab terhadap biotransformasi bahan kimia endogen dan eksogen termasuk

polutan udara. Beberapa polutan mungkin memicu atau menekan ekspresi gen

yang mengkode ensim sitokrom P-450. Bahan kimia yang membahayakan akan

dinonaktifkan atau didetoksifikasi oleh sitokrom P-450 sementara bahan kimia

lain seperti trialkilfosforotiolat malah memerlukan aktifasi oleh sistem sitokrom

P-450 sebelum manjadi racun bagi jaringan. Oleh karena itu sistem sitokrom P-

450 berpotensi menyebabkan senyawa kimia yang tidak merusak kemudian

berefek merusak (Clerico, 2001).

2.3.2 Respon sinonasal akibat polutan dan mekanisme toksik polutan

Respon sinonasal terhadap bahan kimia inhalasi meliputi respon iritasi,

respon inflamasi, perubahan epitel, gangguan daya pertahanan hidung dan

resistensi aliran udara hidung. Respon sistemik terhadap polutan inhalasi seperti

respon imun telah terbukti mempunyai hubungan dengan terjadinya gangguan

sinus (Clerico, 2001).

2.3.2.1 Respon iritasi

Respon iritasi juga disebut dengan common chemical sense merupakan

bagian dari respon fisiologis awal terhadap inhalasi bahan kimia. Efek iritatif

antara lain berupa rasa terbakar di hidung dan mata, mata berair, sakit kepala,

batuk dan reflek apnea. Iritasi hidung dimediasi oleh saraf trigeminus yang ujung

sarafnya mengandung substan P (SP), calcitonin gene-related peptide (CGRP),

20

vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan neuropeptida lainnya. Penelitian

imunokimia mikroskop cahaya memperlihatkan serat imunoreaktif

(unmyelinatedneuro peptide-containing sensory nerves) meluas hampir ke seluruh

permukaan epitel rongga hidung. Pengamatan dengan mikroskop elektron

memperlihatkan lokasi ujung saraf tersebut berada dalam epitel hidung tepat di

bawah pertemuan antar sel yang tidak terpapar secara langsung kearah lumen

hidung (Clerico, 2001).

Lemak terlarut merupakan stimulus yang paling efektif bagi saraf

trigeminus intranasal untuk menyebabkan common chemical sense. Selain itu

beberapa polutan seperti ozon akan melemahkan hubungan antar epitel serta

meningkatkan permeabilitas mukosa. Zat yang sangat larut dalam air menembus

lapisan mukus dengan tekanan yang lebih besar. Percobaan pada binatang

pengerat menunjukkan bahwa serabut saraf yang mengandung CGRP-SP sering

ditemukan pada rongga hidung yang paling sempit seperti pada konka nasi yang

menyentuh septum atau pada pemukaan yang melengkung tajam. Tidak ada

penelitian pada manumur yang sebanding namun jika temuan ini konsisten maka

kemungkinan inflamasi neurogenik yang dipicu oleh polusi udara akan

mengakibatkan obstruksi pada saluran yang sempit seperti pada komplek

ostiomeatal sehingga sinusitis yang diakibatkannya nampak masuk akal. Substan

P bisa menyebabkan perubahan komposisi mukus hidung sehingga menggangu

daya pertahanan. Substan P juga mengubah aktifitas sekresi kelenjar rongga

hidung sehingga memperburuk kondisi patologi yang ada. Efek menyerupai

growth factor juga dikeluarkan oleh SP yang sebagian besar terjadi pada sel basal

21

dan kelenjar mukosa hidung. Pelepasan SP melalui stimulasi antidromik saraf

trigeminal menyebabkan pemanjangan periode vasodilatasi. Vasodilatasi tersebut

mengakibatkan kongesti mukosa dan berpotensi menyebabkan obstruksi ostium.

Pelepasan SP juga menyebabkan ekstravasasi plasma dan edema jaringan

sehingga memperbesar sumbatan ostium (Clerico, 2001).

2.3.2.2 Respon inflamasi

Inflamasi hidung akibat polusi udara mungkin berhubungan atau

tergantung pada mekanisme iritasi melalui inflamasi neurogenik. Inflamasi

neurogenik tersebut antara lain vasodilatasi, edema dan infiltrasi lekosit yang

dipicu oleh aktifasi ujung saraf sensoris. Neuropeptida seperti substan P,

neurokinin A dan CGRP berada di ujung saraf sensoris dan memiliki kemampuan

vasodilatasi yang kuat. Neutral endopeptidase (NEP) bertugas melakukan down

regulation inflamasi neurogenik melalui degradasi SP (Clerico, 2001).

Bukti eksperimental mendukung dugaan bahwa saraf sensoris bertindak

sebagai jaras aferen juga eferen bagi inflamasi neurogenik oleh karena iritasi

polutan. Berbagai bahan kimia seperti asap rokok, nikotin, kapsaisin, eter dan

formaldehid menyebabkan pelepasan SP dari mukosa hidung. Mekanisme lain

dari proses inflamasi yang diakibatkan oleh polusi udara terjadi melalui kerusakan

jaringan secara langsung oleh polutan itu sendiri. Beberapa polutan udara

diketahui bersifat sitotoksik dan merusak sel sehingga mengakibatkan pengerahan

sel - sel inflamasi (Clerico, 2001).

22

2.3.2.3 Respon imunitas hidung

Ada dua kemungkinan yang menerangkan bagaimana polusi bahan kimia

menyebabkan terjadinya infeksi sinus paranasal. Sistem transpor mukosilia yang

terganggu oleh berbagai bahan kimia akan menyebabkan retensi sekret sehingga

mengakibatkan infeksi. Mekanisme kedua melalui efek imunotoksik dari bahan

kimia tersebut. Gangguan kemampuan fagositosis menyebabkan penurunan daya

tahan tubuh dan terjadinya infeksi. Nampaknya polusi bahan kimia akan merusak

epitel sinonasal melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung secara

bersamaan. Oleh karena itu paparan polutan tidak hanya mengurangi aliran

mukosilia sehingga kontak mukosa dengan mikroorganisme menjadi lebih lama

namun penyakit virus sendiri juga bisa menurunkan transpor mukosilia sehingga

memperpanjang kontak antara polutan dengan mukosa hidung (Clerico, 2001).

2.4.2.4 Perubahan epitel

Kerusakan epitel jalan napas disebabkan oleh karena adanya respon yang

berlebih terhadap stimulasi inhalasi bahan kimia. Polusi udara tersebut

melemahkan kekuatan intraepitel sehingga permeabilitas epitel meningkat

(Clerico, 2001).

2.3.2.5 Gangguan daya pertahanan tubuh

Polusi udara dapat menimbulkan efek buruk terhadap daya pertahanan

tubuh melalui berbagai cara. Aliran mukosilia adalah daya pertahanan tubuh yang

paling banyak dibicarakan. Iritasi oleh gas inhalasi dapat merangsang dan

menghambat fungsi mukosilia hidung. Polutan yang berkadar rendah dalam

jangka waktu pendek dalam beberapa penelitian terbukti merangsang aliran

23

mukosilia menandakan adanya mekanisme pertahanan. Tetapi polutan berkadar

tinggi dalam jangka panjang terbukti mengurangi aliran mukosilia. Penurunan

aliran mukus hidung yang berkepanjangan atau berulang - ulang oleh karena

paparan polutan dianggap sebagai faktor penyebab penyakit sinus kronis.

Mekanisme iritan inhalasi mengganggu fungsi mukosilia antara lain melalui

perubahan viskoelastisitas mukus, menyebabkan mukus sel goblet menjadi

lengket, mengganggu fungsi silia atau melalui perubahan ketebalan hypophase.

Gangguan mekanisme pertahanan hidung tersebut selanjutnya menyebabkan

waktu paparan mukosa sinonasal dengan zat inhalasi termasuk virus, bakteri,

partikel atau zat kimia semakin lama. Pada gilirannya terjadi lingkaran setan

antara kerusakan jaringan dan disfungsi daya pertahanan tubuh (Clerico, 2001).

2.3.2.6 Resistensi aliran udara hidung

Pemeriksaan rinometri yang dilakukan pada mereka yang terpapar sulfur

oksida berkadar 5 ppm menunjukkan adanya peningkatan resistensi aliran udara

hidung. Penderita sindroma sensitif bahan kimia multipel lebih peka terhadap

bahan kimia inhalasi sehingga resistensi aliran udara hidung pada penderita

tersebut akan lebih besar saat terpapar bahan kimia atau bau tertentu (Clerico,

2001).

2.4 Industri Konveksi

Industri konveksi adalah suatu perusahaan yang menghasilkan pakaian jadi,

baik pakaian wanita, pria, anak, olah raga dan lain-lain. Umumnya perusahaan

konveksi memiliki bahan baku berupa tekstil dari bermacam-macam jenis, seperti

24

katun, linen, polyester, rayon dan bahan-bahan sintesis lain ataupun bahan

campuran dari jenis bahan-bahan tersebut.

Proses dalam perusahaan konveksi ini merupakan kegiatan memproses kain

atau barang setengah jadi diubah menjadi pakaian siap jadi. Proses mengubah

material tersebut dibagi menjadi 4 bagian besar, yaitu proses memotong sesuai

dengan pola pakaian, proses menjahit, proses merapikan, dan proses pengepakan.

Bahan-bahan dan alat-alat yang dipergunakan dalam mengelola industri

konveksi ini dapat terjadinya faktor penyebab gangguan kesehatan dan

keselamatan kerja yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Debu merupakan

salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk akibat proses

pengolahan dari proses industri konveksi.

2.5 Debu

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel

yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1

mikron sampai 500 mikron. Debu adalah partikel-partikel zat padat yang

dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanisme seperti pengolahan,

penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan dan lain-lain,

baik dari bahan organik maupun non-organik. (Cayanto dkk, 2007;UU K3, 1970).

Debu merupakan salah satu bahan pajanan yang menimbulkan risiko

pekerjaan. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernapasan bagi pekerja pada

industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Sifat debu yang

disebarkan pada lingkungan kerja sangat berhubungan dengan sifat bahan dasar

25

penghasil debu tersebut. Hasil akhir efek samping debu industri tergantung pada

tipe debu yang dihirup dan tempat debu melekat pada saluran napas, hal tersebut

bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses

bernapas itu sendiri. Debu memiliki beberapa sifat yaitu (Mengkidi, 2006):

a) Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena

gaya grafitasi bumi. Namun karena kecilnya kadang-kadang debu ini

relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap dapat mengandung

proporsi partikel lebih dari pada yang ada di udara.

b) Sifat permukaan basah, sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah

dilapisi oleh air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian

debu dalam tempat kerja.

c) Sifat penggumpalan, oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga

dapat menempel satu sama lain dan menggumpal. Kelembapan di bawah

saturasi kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Akan tetapi bila

tingkat kelembapan di atas titik saturasi maka akan mempermudah

penggumpalan.

d) Sifat listrik statis, debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik

partikel lain yang berlawan dengan demikian partikel dalam larutan debu

mempercepat terjadinya penggumpalan.

e) Sifat Opsis, partikel yang basah/lembap lainnya dapat memancarkan sinar

yang dapat terlihat pada kamar gelap.

Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat

debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat

26

pajanan debu. Dahulu beberapa debu dianggap tidak berbahaya atau debu inert

karena debu yang berukuran 5-10 μm yang masuk ke dalam saluran napas akan

dikeluarkan seluruhnya. Hal ini terjadi jika jumlah debu yang masuk kurang dari

10 partikel. Jika jumlah debu yang masuk lebih dari 1000 partikel maka sekitar

10% akan tertimbun dalam saluran napas. Jika jumlahnya mencapai lebih dari

100.000 partikel maka persentase penimbunannya akan bertambah besar lagi

(Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001).

Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi 2 yaitu:1).

Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di

udara dan partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi, 2) Suspended

particulate matter yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah

mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron (Cayanto dkk, 2007;

Wahab, 2001).

Berdasarkan fibrogenitasnya terhadap jaringan dibedakan debu fibrogenik dan

nonfibrogenik. Debu fibrogenik yaitu debu yang menimbulkan fibrosis jaringan,

misalnya debu batubara, debu silica dan debu asbes. Sedangkan debu

nonfibrogenik yaitu debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan. Pada awalnya

debu golongan ini dianggap tidak berbahaya bagi kesehatan, tetapi kemudian

diketahui kadar debu yang tinggi akan menyebabkan reaksi saluran napas seperti

hipertrofi dan hipersekresi saluran napas. Tingkat pajanan ditentukan oleh

lamanya waktu pajanan dan kadar debu rata-rata di udara lingkungan kerja

(Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001).

27

2.5.1 Debu dalam industri konveksi

Debu merupakan salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk

akibat proses pengolahan dari proses pemotongan, menjahit dan merapikan bahan

tekstil. Bahan dasar tekstil terbanyak adalah kapas karena mempunyai keunggulan

ongkos tanam dan biaya pengolahan rendah (Mulyani, 2007). Kapas termasuk

noksa yang dapat merusak struktur anatomis organ dan perubahan fungsi. Noksa

adalah bahan yang dapat merusak struktur anatomis organ atau tubuh dan

sekaligus menimbulkan perubahan fungsi. Dalam lingkungan kerja, para pekerja

terpapar dan menghirup noksa yang berasal dari bahan baku hasil produksi,

produk sampingan, atau dari limbah. Secara umum noksa lingkungan dapat

digolongkan sebagai berikut:

1. Debu organik : nabati, hewani

2. Debu inorganik : pertambangan, industri logam, keramik

3. Gas iritan :industri petrokimia, farmasi

Debu pada industri konveksi dibedakan atas debu yang alami dan debu

dari bahan sintetis. Debu yang alami berasal dari bahan wool, sutera, linen, dan

katun sementara sebagian besar debu dari bahan sintetis adalah paparan debu

tersering yaitu berasal dari serat sintetis seperti polyamide dan acrylic. Sebagian

besar pakaian mengandung bahan sintetis seperti polyester, elastan dan lycra, hal

ini disebabkan karena harganya yang murah dan mudah perawatannya menjadi

pilihan utama industri konveksi. Namun proses pengolahan bahan ini pada

industri konveksi menimbulkan polusi dan sulit untuk didaur ulang (Mulyani,

2007).

28

2.5.2 Debu kapas

Debu kapas adalah debu organik yang terlepas ke udara selama tindakan

pengolahan serat kapas yang mengandung banyak bahan seperti komponen

tumbuhan, serat, bakteri, jamur, pestisida, dan kontaminan lainnya yang dapat

berakumulasi dengan kapas selama proses menanam, panen, pengangkutan dan

pemintalan. Debu kapas juga dapat didefinisikan sebagai semua debu yang timbul

akibat proses pengolahan kapas hingga proses penjahitan kain, pemotongan kain,

proses setrika dan pengepakan (Mulyani, 2007).

Pembagian debu kapas berdasarkan tipenya dibagi menjadi 3, yaitu: 1.)

Inhalable dust yaitu partikel debu yang dapat terhirup dan terdeposit di saluran

napas seperti mulut dan hidung, 2.) Thoracic dust yaitu material berbahaya yang

dapat masuk ke dalam paru-paru dan ikut dalam pertukaran udara, 3.) Respirable

dust yaitu fraksi dari debu yang dapat masuk mencapai alveoli paru (Mulyani,

2007).

Ukuran debu sangat bervariasi, berikut klasifikasi debu kapas berdasarkan

ukuran partikel debu seperti tertera dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi debu berdasarkan ukuran partikel

Tipe Ukuran partikel (µm)

Sampah debu Di atas 500

Debu 50-500

Debu mikro 15-50

Debu yang dapat terhirup Kurang dari 15

29

Pada perusahaan tekstil dampak negatif terhadap polusi udara sangat

bervariasi. Proses spinning dan weaving akan mempengaruhi kualitas udara

sementara proses dyening dan printing yang menggunakan zat kimia akan

melepaskan zat-zat yang mudah menguap dan berbahaya bagi kesehatan. Debu

kapas menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia,

mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung

maupun peradangan pada sinus paranasalis. Debu kapas termasuk debu organik

yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis

alergi pada penderita alergi (Wahab, 2001).

2.5.3 Kadar debu total

Dalam Enviromental Protection Departement (WHO, 2005) disebutkan

kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat tersuspensi total (TSP)

mengacu pada semua partikel di atmosfer. Kadar debu total merupakan pertikel di

udara yang memiliki diameter kurang dari 100 µm (mikrometer). Di antara kadar

debu total, termasuk partikel yang dapat terhisap oleh sistem pernapasan. Partikel

ini merupakan partikel di atmosfer yang memiliki ukuran sama dengan atau

bahkan kurang dari 10 µm (WHO, 2005).

2.5.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu

Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk

mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah

konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam

sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan

30

berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan

yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang

mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun

bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari

semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. (Depkes RI, 2008).

Nilai Ambang Batas debu mengikuti ambang batas udara ambien yaitu

berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999

atau PP RI No. 41 tahun 1999 menyebutkan NAB dalam 1 jam adalah 90 µg/Nm3

sedangkan dalam 24 jam adalah 230 µg/Nm3. Menurut Keputusan Menteri

Kesehatan (Kepmenkes) No.1405/MENKES/SK/XI/2002 NAB maksimal di

industri sebesar 10mg/m3. Penelitian pendahuluan dan pengukuran kadar debu di

perusahaan tekstil X pada tahun 2001 diperoleh NAB debu kapas yaitu 0,114-

0,148mg/m3 pada unit spinning dan 0,223-0,614 mg/m

3 pada unit carding

(Wahab, 2001).

2.5.5 Pengukuran debu

Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah

yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar

debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu

pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu

tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter

aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah

partikel yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan

31

kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar

kadar debu terhirup dan lama pajanan (Wahab, 2001).

2.5.5.1 Konsentrasi partikel debu

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama

pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin

banyak (Yunus, 2003).

2.5.5.2 Lama Pekerjaan

Jenis pekerjaan dalam industri mempengaruhi risiko terjadinya pajanan

debu. Pekerja yang memiliki resiko tinggi terpapar debu adalah pekerja yang

berhubungan dengan proses produksi (Suherman, 2013).

2.6 Paparan Debu pada Perusahaan Konveksi dan Waktu Transpor

Mukosilia

Bekerja dalam lingkungan yang dipenuhi oleh debu menyebabkan

terhirupnya debu ke saluran napas yang dapat menyebabkan masalah kesehatan

apabila partikel debu tersebut mengendap dan kontak langsung dengan saluran

napas. Pada saat bernapas partikel mengendap di saluran napas. Rute utama

pernapasan adalah melalui hidung. Kemampuan mengendap dari debu tergantung

dari ukuran, bentuk, kelarutan dan surface chemistry (Wahab, 2001).

Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia, mulai

dari gangguan yang ringan (terganggunya fungsi silia) hingga yang lebih berat

berupa kerusakan atau perubahan struktur (hiperplasia kelenjar mukus dan

32

peningkatan sel piala) maupun gangguan yang benar-benar patologi (metaplasia

sel skuamosa sampai karsinoma) (Watelet dkk., 2002; Irawan, 2004).

Debu pada perusahaan konveksi berasal dari bahan yang terbanyak

digunakan pada pabrik konveksi yaitu bahan tekstil kain yang berasal dari kapas.

Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh debu kapas terhadap penurunan

fungsi paru dan bisinosis (Syahputra dkk., 2015; Fadli dkk., 2012) namun

penelitian mengenai pengaruh debu kapas terhadap waktu transpor mukosilia

masih jarang.

Paparan debu organik dari perusahaan tekstil dapat menimbulkan penyakit

paru-paru obstruktif seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

Paparan debu organik ini dapat menyebabkan terjadinya inflamasi persisten yang

tampak dari inversi makrofag paru, perubahan rasio dendrit. Sejumlah mikroba

telah tebukti terdapat pada kapas seperti kuman gram negatif, kuman gram positif,

actinomyces dan berbagai jamur. Endotoksin yang dihasilkan oleh kuman gram

negatif inilah yang dapat mempengaruhi pergerakan silia dan fungsi paru

(Akunsari dkk., 2010).

Ahmed, 2012 menemukan bahwa pada perusahaan tekstil selain faktor

lokasi bekerja (spinning dan carding) memiliki paparan debu kapas yang lebih

tinggi, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa deposit jamur Aspergilus niger dan

Penicillium juga dijumpai dapa paru lobus kanan dan kiri pekerja bagian tersebut.

Sebuah literatur mengemukakan bahwa proses flocking pada perusahaan

konveksi di Ontario pada tahun 1990, yaitu proses memotong bahan yang

mengandung serat sintetis (nylon, rayon dan polyester) menjadi potongan kecil

33

untuk membuat pakaian menimbulkan pneumositis dengan gejala batuk progresif

dan sesak. Akunsari dkk., 2010 juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan terhadap paparan debu kapas dan penurunan fungsi paru fungsi paru

tenaga kerja wanita di Sukoharjo.

Penelitian Sangeetha dkk., 2013 menunjukkan bahwa lokasi (bagian

knitting) tempat bekerja pada perusahaan tekstil dan konveksi memiliki paparan

debu kapas yang paling tinggi dan dapat mempengaruhi fungsi paru.

2.7 Lama Bekerja dan Waktu Transpor Mukosilia

Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia bukan

hanya dipengaruhi oleh ukuran partikel debu namun juga lamanya pajanan

terhadap partikel tersebut. Apabila endapan debu atau partikel ini berlebihan atau

berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa hidung

(Suherman, 2013).

Penelitian Soemadi dkk., 2009 menyimpulkan bahwa waktu transpor

mukosilia dipengaruhi oleh lama masa bekerja, semakin lama kerja karyawan

tersebut maka semakin tinggi waktu transpor mukosilia ( Spearman rho’s=0,774

dan p = 0,000). Waktu transpor mukosilia pada karyawan perusahaan mebel

mengalami perubahan yang bermakna setelah mereka bekerja selama minimal 3

tahun, dan perubahan tersebut semakin bermakna seiring dengan bertambahnya

lama kerja. Peningkatan waktu transpor mukosilia ini berawal dari mekanisme

pengendapan partikel debu kayu yang kemudian menyebabkan gangguan transpor

mukosilia. Terganggunya transpor mukosilia menyebabkan terganggunya

bersihan partikel, sehingga kontak partikel dengan mukosa hidung menjadi lebih

34

lama . Kondisi ini dapat menimbulkan peradangan maupun ulserasi pada mukosa

hidung secara langsung. Epitel cenderung kehilangan silia dan jumlah sel goblet

meningkat.

Syahputra dkk., 2015 menyatakan bahwa masa kerja > 5 tahun, kebiasaan

merokok, dan laki-laki usia yang lebih tua dan pendidikan menengah ke bawah

memiliki kecenderungan menderita bisinosis akibat paparan debu kapas (p =

0,005).

Suherman (2013) di Yogyakarta menyatakan bahwa lama bekerja pada

pekerja kerajinan perak memiliki korelasi yang sangat kuat (r = 0,856 p <0,05)

dan mempengaruhi transpor musilia hidung sebesar 79,3%. Black dkk (1974) juga

melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung akibat paparan debu kayu

selama lebih dari 10 tahun.

Penelitian Legrans (2015) mendapatkan kejadian rinitis akibat kerja pada

pekerja konveksi lebih tinggi pada masa kerja ≥60 bulan yaitu sebesar 81,8%

dibandingkan masa kerja <60 bulan (45,8%) dengan odd ratio 5,3 dan p<0,01.

Walusiak (2006) mendapatkan insiden rinitis akibat kerja cukup tinggi

yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja. Sedangkan

Gautrin dkk (2006) insiden gejala rinitis meningkat pada pekerja dengan masa

kerja 12-20 bulan dan terus meningkat pada masa kerja lebih dari 24 bulan.