Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Loyalitas Pelanggan
Dalam konsep pemasaran loyalitas pelanggan merupakan hasil dari
aktivitas pemasaran. Loyalitas pelanggan merupakan konsep yang sangat penting
dalam pemasaran dan menjadi salah satu ukuran kinerja bisnis (Gaskil and
Winzar, 2013). Secara umum loyalitas diartikan sebagai keputusan pelanggan
untuk secara sukarela terus berlangganan dengan perusahaan tertentu dalam
jangka waktu yang lama (Lovelock and Wright, 2007). Tindakan nyata dari
pelanggan yang loyal adalah melakukan pembelian kembali yang dapat
memberikan manfaat bagi perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Tujuan
utama pemasaran adalah pencapaian profitabilitas jangka panjang dengan
mengembangkan ikatan yang saling menguntungkan kepada setiap pelanggan.
Loyalitas pelanggan memberikan harapan bahwa perusahaan akan mendapatkan
keuntungan jangka panjang atas hubungan mutualisme yang terjalin dengan
pelanggan.
Dalam literatur pemasaran loyalitas ditemukan memiliki konsep beragam.
Loyalitas dapat dibedakan sebagai perilaku dan kondisi mental (Soderlund, 2006).
Loyalitas sebagai perilaku menyangkut customer share, frekuensi kunjungan,
tingkat pembelian silang, dan durasi hubungan, sedangkan loyalitas sebagai
kondisi mental menyangkut sikap, preferensi, komitmen, dan niat. Niat loyalitas
dapat merupakan niat dukungan yang berulang dan niat untuk melakukan
komunikasi dari mulut ke mulut. Konsep lainnya mengemukakan bahwa loyalitas
17
bukan sekedar aksi, tetapi loyalitas dapat pula dipahami sebagai suatu proses
sehingga loyalitas dibedakan menjadi sikap dan perilaku (Moraga et al.,2008).
Sikap loyalitas merefleksikan aspek kognitif, afektif, dan konatif sebagai
prasyarat hubungan yang berkelanjutan yang dapat membentuk komitmen
pelanggan dengan merek atau perusahaan, sedangkan perilaku loyalitas
menyangkut tindakan untuk berlangganan dan mendukung merek atau
perusahaan. Loyalitas sejati ditunjukkan dengan sikap dan perilaku setia pada
merek atau perusahaan. Loyalitas merupakan kesediaan pelanggan untuk menjaga
hubungannya dengan penyedia produk yang merupakan hasil dari kepercayaan
pelanggan (Tsoukatos and Rand, 2006). Dalam konsep tersebut loyalitas dapat
diekspresikan secara emosional dengan melakukan komunikasi dari mulut ke
mulut, dan loyalitas diekspresikan sebagai perilaku dengan tindakan untuk
bertahan / retensi.
Menurut teori tindakan beralasan, perilaku diprediksikan oleh niat perilaku
(Fishbein and Adzen, 1975), sehingga perilaku loyal dapat pula ditentukan oleh
niat perilaku loyal. Tindakan nyata dari perilaku loyal adalah pembelian kembali,
sehingga niat pembelian kembali dapat mencerminkan loyalitas pelanggan. Niat
pembelian kembali adalah probabilitas subyektif di mana individu akan membeli
produk dari produsen secara berkelanjutan di masa depan (Fang et al., 2011). Niat
pembelian kembali telah popular dalam sejumlah studi, di mana para ahli sering
menempatkan niat pembelian kembali sebagai tujuan dalam model pemasaran
(Zboja and Voorhees, 2006; Yang, 2009; Fang et al., 2011; Pappas et al., 2014).
Bila pelanggan berniat untuk melakukan pembelian kembali, maka kemungkinan
18
besar pelanggan tersebut akan mewujudkannya daripada pelanggan yang tidak
berniat untuk melakukan pembelian kembali.
Niat perilaku dibedakan secara ekonomi dan sosial (Lyon and Powers,
2004). Niat perilaku secara ekonomi merupakan niat konsumen yang
mempengaruhi aspek keuangan perusahaan, seperti perilaku pembelian ulang,
kemauan membayar lebih mahal, dan perilaku beralih. Niat perilaku secara sosial
adalah niat konsumen untuk mempengaruhi respon dan opini pelanggan dan
pelanggan potensial, seperti perilaku keluhan dan komunikasi dari mulut ke
mulut. Selain itu, sikap loyalitas dapat dipahami sebagai niat pelanggan untuk
tetap bersama perusahaan, niat pembelian kembali, dan niat memberikan
rekomendasi kepada orang lain (Yap et al., 2012). Loyalitas dapat diwujudkan
dalam bentuk niat pembelian kembali dan niat melakukan komunikasi dari mulut
ke mulut (Rigopoulou et al., 2008; Faullant et al., 2008). Niat pembelian kembali
merupakan niat pelanggan untuk memilih perusahaan yang sama dalam pembelian
selanjutnya, sedangkan niat melakukan komunikasi dari mulut ke mulut
merupakan niat pelanggan untuk merekomendasikan perusahaan kepada teman
atau keluarga.
2.2 Perilaku Konsumen
Model perilaku konsumen membahas dinamika perilaku pembelian
konsumen akhir yang merupakan individu dan rumah tangga yang membeli
barang atau jasa untuk konsumsi pribadi (Kotler and Armstrong, 2007: 198). Bagi
pemasar hal terpenting dalam menganalisis perilaku konsumen adalah mengetahui
bagaimana konsumen menanggapi usaha pemasaran oleh perusahaan. Banyak
19
faktor yang mempengaruhi konsumen dalam membeli barang atau jasa, di mana
faktor-faktor tersebut sangat bervariasi tergantung dari sudut mana pemasar
menilainya (McKechnie, 1992; Prasad and Jha, 2014).
Model perilaku konsumen pada dasarnya terdiri atas tiga komponen, yaitu
input, proses, dan hasil (Milner and Rosenstreich, 2013). Input mencakup situasi
pembelian (kontekstual dan variabel lingkungan), karakteristik konsumen
(pengaruh psikologis dan sosial), serta sumber informasi (bauran pemasaran dan
interpersonal). Proses mencakup rangsangan kebutuhan, informasi utilitas,
pengembangan kriteria, dan evaluasi alternatif. Hasil termasuk keputusan
(pembatalan pembelian / pembelian itu sendiri) dan evaluasi pasca-keputusan.
Menurut Kotler and Armstrong (2007: 199), model perilaku pembelian
konsumen digambarkan sebagai berikut:
Pemasaran dan rangsangan lain
PemasaranProdukHargaDistribusiPromosi
LainnyaEkonomiTeknologiPolitikBudaya
Kotak hitam pembeli
Karakteristikpembeli
Prosespengambilankeputusanpembeli
Tanggapan pembeli
Pilihan produkPilihan merekPilihan dealerPenetapan waktu pembelianJumlah pembelian
Gambar 2.1
Model Perilaku Pembelian Sumber: Kotler and Armstrong (2007: 200)
Pada Gambar 2.1 dijelaskan bahwa pemasaran dan rangsangan lain akan masuk ke
dalam “kotak hitam pembeli” dan menghasilkan tanggapan tertentu. Rangsangan
pemasaran terdiri atas bauran pemasaran, yaitu produk, harga, distribusi, dan
promosi. Rangsangan lainnya meliputi kekuatan dan kejadian penting di
20
lingkungan konsumen, yaitu ekonomi, teknologi, politik, dan budaya. Semua
input tersebut masuk ke dalam kotak hitam pembeli dan akan diubah menjadi
tanggapan pembeli yang berupa pilihan produk, pilihan merek, pilihan dealer,
waktu pembelian, dan jumlah pembelian.
Model perilaku konsumen menurut Assael (2004: 22) menunjukkan faktor
yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah konsumen individu dan pengaruh
lingkungan.
THE INDIVIDUAL CONSUMER
ENVIRONMENTAL INFLUENCE
CONSUMER DECISION MAKING
CONSUMER RESPONSE
FEEDBACK TO CONSUMER•Post purchase evaluation•Development of marketing strategies
FEEDBACK TO ENVIRONMENT•Word of mouth communication•Development of marketing strategies
Gambar 2.2
Model Perilaku Konsumen
Sumber: Assael (2004: 22)
Faktor konsumen individual artinya bahwa pilihan untuk membeli barang / jasa
dipengaruhi oleh hal-hal yang ada pada diri konsumen seperti kebutuhan,
persepsi, sikap, kondisi geografis, gaya hidup, dan karakteristik kepribadian
individu. Faktor lingkungan artinya pilihan konsumen terhadap barang / jasa
dipengaruhi oleh lingkungannya. Ketika konsumen membeli barang / jasa,
pilihannya akan didasari oleh banyak pertimbangan, misalnya karena meniru
temannya, karena tetangganya telah membeli lebih dulu, dan sebagainya. Dengan
21
demikian, interaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang akan turut
mempengaruhi pilihan produk yang akan dibeli.
Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh keadaan dan situasi lapisan
masyarakat di mana konsumen dilahirkan dan berkembang. Hal ini berarti
konsumen berasal dari lapisan masyarakat atau lingkungan yang berbeda akan
mempunyai penilaian, kebutuhan, pendapat, sikap, dan selera yang berbeda
sehingga pengambilan keputusan pembelian akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Menurut Kotler and Armstrong (2007: 199), pembelian konsumen sangat
dipengaruhi oleh karakteristik budaya, sosial, dan pribadi, di mana faktor-faktor
tersebut tidak dapat dikendalikan oleh pemasar, namun harus dipertimbangkan.
Budaya merupakan serangkaian nilai, persepsi, keinginan, dan perilaku dasar yang
dipelajari oleh anggota masyarakat dari keluarga dan instansi penting lain. Faktor
kebudayaan terdiri atas budaya, subbudaya, dan kelas sosial yang mempengaruhi
perilaku konsumen. Kelas sosial merupakan pembagian kelompok masyarakat
yang relatif permanen dan teratur, di mana anggota-anggotanya memiliki nilai,
minat, dan perilaku serupa. Selain faktor budaya, perilaku konsumen dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga, serta status sosial.
Kepribadian merupakan karakteristik psikologi yang membedakan seseorang
dalam menghasilkan tanggapan secara konsisten terhadap lingkungannya. Faktor
pribadi yang berkontribusi pada perilaku konsumen terdiri atas usia dan siklus
hidup, pekerjaan dan lingkungan ekonomi, gaya hidup, kepribadian, serta konsep
diri. Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi oleh faktor psikologi, yaitu
motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan pendirian.
22
Keputusan pembelian konsumen merupakan suatu tindakan yang
dilakukan konsumen untuk membeli suatu produk, di mana setiap produsen akan
menjalankan berbagai strategi agar konsumen memutuskan untuk membeli
produknya. Keputusan pembelian menurut Schiffman and Kanuk (1997: 558)
adalah suatu keputusan seseorang, di mana dia memilih salah satu dari beberapa
alternatif pilihan yang ada. Pengertian ini menunjukkan bahwa keputusan
pembelian merupakan tindakan konsumen untuk melakukan pembelian suatu
produk. Oleh karena itu, pengambilan keputusan pembelian merupakan suatu
proses pemilihan salah satu dari beberapa alternatif penyelesaian masalah dengan
tindak lanjut yang nyata. Setelah itu konsumen dapat melakukan evaluasi pilihan
dan kemudian dapat menentukan sikap selanjutnya.
Proses keputusan pembelian konsumen menurut Kotler and Armstrong
(2007: 224), terdiri atas pengenalan kebutuhan, pencarian informasi,
pengevaluasian alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku setelah pembelian.
Pengenalankebutuhan
Pencarianinformasi
Pengevaluasianalternatif
Keputusanpembelian
Perilakusetelah
pembelian
Gambar 2.3
Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Sumber: Kotler and Armstrong (2007: 224)
Pengenalan kebutuhan merupakan tahap konsumen mengenali permasalahan atas
kebutuhan. Pencarian informasi merupakan tahap konsumen tergerak untuk
mencari informasi tambahan, di mana konsumen mungkin sekedar meningkatkan
perhatian atau mungkin pula mencari informasi secara aktif. Pengevaluasian
23
alternatif merupakan tahap konsumen menggunakan informasi untuk
mengevaluasi berbagai merek alternatif dalam serangkaian pilihan. Keputusan
pembelian merupakan tahap konsumen melakukan pembelian produk secara
aktual. Perilaku setelah pembelian merupakan tahap konsumen melakukan
tindakan lanjutan setelah pembelian berdasarkan kepuasan atau ketidakpuasan.
Kepuasan konsumen ditentukan oleh harapan dan kinerja produk yang dirasakan
(Oliver, 1980). Jika produk jauh di bawah harapan konsumen, maka konsumen
kecewa. Jika produk memenuhi harapannya maka konsumen terpuaskan, jika
melebihi harapan maka konsumen akan sangat senang. Semakin besar perbedaan
harapan dan kinerja produk, semakin besar pula ketidakpuasan konsumen.
Setiap konsumen melakukan berbagai keputusan tentang pencarian,
pembelian, serta penggunaan beragam produk setiap hari. Pengambilan keputusan
berbeda-beda tergantung pada jenis keputusan pembelian. Menurut Assael (1995:
19), perilaku pembelian konsumen dibedakan berdasarkan tingkat keterlibatan
pembeli dan tingkat perbedaan merek, sebagai berikut:
1) Keputusan pembelian yang rumit
Langkah konsumen dalam perilaku pembelian ini adalah mengembangkan
keyakinan tentang merek, kemudian membangun sikap tentang merek, dan
membuat pilihan pembelian yang cermat. Konsumen pada tipe ini
memiliki urutan hirarki pengaruh yang terdiri atas kepercayaan, evaluasi,
dan perilaku. Konsumen sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan
adanya perbedaan-perbedaan besar di antara merek yang harganya mahal,
jarang dibeli, berisiko, dan sangat mengekspresikan diri. Konsumen yang
24
melakukan pembelian dengan keterlibatan tinggi menghasilkan tipe
perilaku pembelian yang kompleks (complex decision making).
2) Perilaku pembelian pengurang ketidaknyamanan
Konsumen sangat terlibat dalam pembelian merek, namun di antara
berbagai merek terdapat sedikit perbedaan. Keterlibatan yang tinggi
didasari oleh fakta bahwa pembelian tersebut mahal, jarang dilakukan, dan
berisiko. Perilaku konsumen tipe ini adalah melakukan pembelian satu
merek tertentu secara berulang dan mempunyai keterlibatan tinggi dalam
proses pembeliannya. Konsumen berkeliling mempelajari apa yang
tersedia, membeli dengan cepat, sangat peka terhadap harga atau
kenyamanan berbelanja. Perilaku pembelian ini menghasilkan tipe
perilaku konsumen yang loyal terhadap merek.
3) Perilaku pembelian yang mencari variasi
Situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen dalam pembelian
rendah dan perbedaan merek tidak signifikan. Konsumen tipe ini akan
mencari suatu toko yang menawarkan produk berharga murah, jumlahnya
banyak, tersedia kupon dan contoh cuma-cuma, serta mengiklankan ciri-
ciri suatu produk sebagai dasar atau alasan bagi konsumen untuk mencoba
sesuatu yang baru. Perilaku pembelian konsumen tipe ini memiliki hirarki
pengaruh yang terdiri atas kepercayaan, perilaku dan evaluasi, serta
menghasilkan tipe perilaku konsumen limited decision making.
4) Perilaku pembelian karena kebiasaan
Situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen rendah, namun
perbedaan merek signifikan. Dalam situasi ini, konsumen sering
25
melakukan peralihan merek. Perilaku pembelian konsumen pada tipe ini
memiliki urutan hirarki pengaruh kepercayaan kemudian perilaku.
Konsumen ini tidak melakukan evaluasi sehingga pembelian suatu merek
hanya berdasarkan kebiasaan dan saat pembelian konsumen kurang
terlibat. Perilaku seperti ini menghasilkan perilaku konsumen tipe inertia.
Model perilaku konsumen sangat penting bagi pemasar dalam memahami
proses keputusan pembelian produk baru. Produk baru adalah barang, jasa, atau
ide yang dianggap oleh sebagian calon konsumen sebagai hal yang baru (Moraga
et al., 2008). Hal yang penting dipahami oleh pemasar terkait dengan produk baru
adalah cara konsumen mempelajari produk untuk pertama kali dan cara konsumen
membuat keputusan mengadopsi produk tersebut. Proses adopsi merupakan
proses mental yang dijalani oleh individu melewati dari pertama mempelajari
inovasi tertentu hingga ke adopsi akhir (Everdingen, et al., 2011). Adopsi
merupakan keputusan individu untuk menjadi pengguna tetap produk tertentu.
Tahap-tahap proses adopsi produk baru menurut Kotler and Armstrong, (2007:
229), terdiri atas:
1) Kesadaran, yaitu konsumen mengetahui produk baru tetapi kekurangan
informasi tentang produk tersebut.
2) Ketertarikan, yaitu konsumen mencari informasi tentang produk baru
tersebut.
3) Pengevaluasian, yaitu konsumen mempertimbangkan untuk mencoba
produk baru.
26
4) Percobaan, yaitu konsumen mencoba produk dalam skala kecil untuk
meningkatkan perkiraan besarnya nilai produk tersebut.
5) Pengadopsian, yaitu konsumen menentukan apakah akan menjadi pemakai
tetap atau tidak dari produk baru tersebut.
Model ini menyarankan supaya pemasar produk baru memikirkan cara membantu
konsumen melalui tahap-tahap tersebut.
2.3 Merek
2.3.1 Pengertian Produk dan Merek
Produk dan merek adalah dua hal yang memiliki pengertian secara
substansi berbeda. Produk adalah semua yang dapat ditawarkan kepada pasar
untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan
keinginan atau kebutuhan pemakainya (Kotler and Armstrong, 2007: 337).
Produk terdiri atas barang dan jasa, serta lebih luas produk mencakup
pengalaman, orang, tempat, organisasi, informasi, dan ide-ide, sehingga produk
juga diistilahkan sebagai pemuas, sumber daya, atau tawaran pemasaran.
Konsumen memandang produk sebagai kumpulan manfaat yang dapat
memberikan solusi atas masalah-masalah yang ada.
Dalam persaingan produsen berusaha membedakan produknya dari
pesaing dengan memberikan nama dan mengusahakan paten untuk melindungi
eksklusivitas produk, serta iklan untuk menyebarluaskan informasi tentang produk
yang telah memiliki nama kepada para pelanggan dan pelanggan potensial,
sehingga lahir konsep merek dalam pemasaran (Berry, 1992). Merek
dipergunakan sebagai alat untuk menjual produk yang memberikan makna
27
perbedaan dari produk yang sejenis (Wood, 2000). Merek diartikan sebagai
kombinasi dari produk, kemasan, nama merek, promosi, iklan, dan presentasi
secara keseluruhan sehingga merek merupakan sintesis dari unsur-unsur fisik,
estetika, rasional, dan emosional (Murphy, 1988). Merek juga didefinisikan
sebagai bagian dari produk yang dapat berupa nama, istilah, tanda, simbol, atau
kombinasi di antaranya yang berfungsi sebagai identitas suatu produk untuk
membedakannya dengan yang lain (Kotler and Armstrong, 2007: 349). Merek
dianggap sebagai aset perusahaan yang paling berharga dan dalam kegiatan
pemasaran merek dipergunakan sebagai tanda dagang yang melekat pada fisik
produk (Aaker, 1992; Muzellec et al., 2012). Dengan demikian merek dapat
diartikan sebagai suatu nama yang mewakili produk secara keseluruhan, baik
produk itu sendiri, jasa yang diberikan produk tersebut, perusahaan yang
memproduksinya, dan hal-hal terkait lainnya. Merek dapat berperan sebagai wakil
dari sesuatu yang dipasarkan yang menjadi penanda bagi suatu produk sekaligus
pembeda dengan produk-produk lainnya yang dapat berupa nama, logo, dan fitur-
fitur yang membedakan sebuah produk dari produk pesaing, serta pada ruang
lingkup yang lebih luas berbagai karakter yang ditampilkan oleh suatu merek
dapat mengarah pada sebuah identitas.
Perbedaan antara produk dan merek juga dapat diketahui dalam kaitannya
dengan kepuasan dan loyalitas pelanggan, yaitu produk dan merek dapat
dibedakan baik secara konseptual maupun praktis (Moraga et al., 2008). Produk
dan merek diasumsikan sebagai dua tahap dalam pengembangan manfaat yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi pelanggan. Demikian pula
kepuasan dan loyalitas dipandang sebagai dua tahap dalam tanggapan pelanggan
28
untuk penawaran perusahaan. Pada tahap awal peranan produk terlihat lebih
menonjol dalam pemenuhan kebutuhan pelanggan, sedangkan pada tahap dewasa
peranan produk digantikan oleh merek untuk mencapai kepuasan dan loyalitas
pelanggan. Produk dapat menjadi titik awal yang baik untuk memberikan
kepuasan dan menghasilkan loyalitas, sedangkan merek dapat berperan
menggantikan produk pada tahapan dewasa dari proses tersebut. Pada kajian yang
lebih dalam, merek sesungguhnya adalah suatu harapan terhadap janji yang
diberikan oleh pemasar untuk memenuhi keinginan calon konsumen (Susanto dan
Wijarnako, 2004: 15). Janji tersebut secara implisit merupakan jaminan bahwa
apa yang diharapkan konsumen menurut asosiasinya pada merek akan didapatkan
jika membeli dan menggunakan produk dengan merek tersebut. Oleh karena itu
merek dapat dikatakan sebagai sekelompok keyakinan yang disodorkan oleh
pemasar dalam bentuk identitas merek, dan apa yang diterima oleh konsumen
adalah dalam bentuk citra merek (Aaker, 1992; Wood, 2000).
Kinerja merek sangat tergantung pada besarnya pengorbanan serta manfaat
yang dirasakan oleh konsumen (Murphy, 1988). Jika pengorbanannya kecil tetapi
manfaatnya besar maka merek tersebut sangat bernilai bagi konsumen dan
dipandang mempunyai kinerja yang tinggi. Demikian pula, jika konsumen
merasakan manfaat yang diperoleh lebih besar daripada yang dijanjikan maka
merek tersebut juga dipandang bernilai bagi konsumen. Kinerja merek yang tinggi
akan menimbulkan loyalitas terhadap merek, dan sebaliknya jika kinerja merek
memburuk serta citra merek menjadi negatif, maka segala investasi yang telah
ditanamkan akan hilang. Seorang pelanggan yang telah kehilangan
kepercayaannya terhadap sebuah merek akan menjadi sasaran empuk bagi merek-
29
merek pesaing (Aaker, 1992; Wood, 2000). Dengan demikian, merek dapat
berfungsi sebagai indikator nilai yaitu menggambarkan seberapa kokoh nilai yang
ditawarkan kepada pelanggan, serta mempunyai peranan penting bagi konsumen
dalam menetapkan pilihannya.
2.3.2 Ekuitas Merek
Pada awalnya merek berfungsi untuk mengidentifikasi dan membedakan
suatu produk, kemudian merek berkembang pada jasa, organisasi, olahraga, seni,
ide, orang, dan tempat-tempat yang semuanya sekarang dapat bermerek dengan
tujuan untuk mengkomunikasikan makna dan identitasnya (Motion et al., 2003).
Pengembangan merek pada produk ditandai dengan memberikan nilai tambah
pada fungsi inti produk untuk membuat dan memelihara perbedaan dalam pasar
tertentu (Knox and Bickerton, 2003). Nilai tambah produk ini dapat dijelaskan
dengan konsep ekuitas merek yang dapat ditinjau dari perspektif perusahaan dan
konsumen, sehingga merek dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan dan
konsumen (Motameni and Shahrokhi, 1998; Wood, 2000; Kayaman and Arasli,
2007; Rajagopal, 2008). Ekuitas merek dapat tercermin dalam harga, pangsa
pasar, profitabilitas merek, serta cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak
dalam hubungannya dengan merek.
Ekuitas merek merupakan nilai suatu merek berdasarkan seberapa kuat
merek tersebut membentuk kesadaran konsumen akan nama merek, persepsi
kualitas, asosiasi merek, loyalitas merek, dan berbagai aset lainnya seperti paten,
merek dagang, dan hubungan jaringan distribusi (Kotler and Armstrong, 2007:
350). Ekuitas merek dipandang sebagai kekuatan di dalam pasar, di mana merek
30
yang kuat memiliki ekuitas merek yang tinggi. Ekuitas merek adalah seperangkat
aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu nama dan simbol merek
yang dapat menambah atau mengurangi nilai suatu barang atau jasa kepada
perusahaan dan pelanggan (Aaker, 1992). Aset dan liabilitas tersebut dapat
dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu:
1) Loyalitas merek adalah ukuran kesetiaan konsumen pada suatu merek
yang direpresentasikan dalam bentuk pembelian yang konsisten terhadap
merek sepanjang waktu.
2) Kesadaran merek adalah kemampuan konsumen untuk mengenali atau
mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori
produk tertentu.
3) Persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas
atau keunggulan suatu merek.
4) Asosiasi merek adalah sesuatu yang berkaitan dengan ingatan mengenai
suatu merek dan menunjukkan pencitraan yang menghasilkan suatu kesan
tertentu dalam kaitannya dengan atribut dan manfaat merek.
5) Aset lainnya yang dimiliki oleh merek, seperti paten, merek dagang, dan
hubungan jaringan distribusi.
Loyalitas merek merupakan elemen utama dalam ekuitas merek, karena loyalitas
merek mencerminkan aliran keuntungan bagi perusahaan. Pelanggan yang loyal
dapat diharapkan untuk menghasilkan perkiraan penjualan dan aliran keuntungan,
serta pelanggan yang puas dan melakukan pembelian merek yang berulang dapat
menjadi indikator dari merek yang sehat.
31
Kesadaran merek mencerminkan arti penting dari merek di benak
konsumen yang menyebabkan konsumen mampu untuk mengingat suatu merek
dan menjadikannya berbeda bila dibandingkan dengan merek lainnya. Kesadaran
merek dideskripsikan dalam beberapa tingkatan (Aaker, 1996), yaitu:
1) Pengakuan merek adalah kemampuan konsumen untuk mengenal merek
yang merupakan tingkatan terendah dari kesadaran merek.
2) Daya ingat merek adalah kemampuan konsumen untuk mengingat merek
dalam kategori produk tertentu tanpa adanya bantuan untuk memunculkan
merek tersebut.
3) Top of mind adalah tingkat kesadaran di mana suatu merek dapat menjadi
merek utama dalam benak konsumen.
4) Dominasi merek adalah tingkat kesadaran di mana merek merupakan satu-
satunya yang diingat oleh konsumen.
5) Pengetahuan merek adalah tingkat kesadaran di mana konsumen
mengetahui untuk apa merek diciptakan atau manfaat apa yang diberikan
oleh merek kepada pelanggan
6) Opini merek adalah tingkat kesadaran yang paling tinggi di mana
konsumen memiliki opini tentang merek.
Peranan kesadaran merek dalam ekuitas merek tergantung pada tingkat kesadaran
yang dicapai oleh konsumen, yaitu semakin tinggi tingkat kesadaran maka
semakin dominan merek akan dipertimbangkan dalam banyak situasi pembelian
(Keller, 1993; Motameni and Shahrokhi, 1998; Yasin et al., 2007). Dengan
demikian, kesadaran merek merupakan kesadaran konsumen yang dapat membuat
32
keakraban dengan merek sehingga mampu mengenal merek dengan baik dalam
kategori produk tertentu.
Merek yang memiliki ekuitas kuat merupakan aset berharga bagi
perusahaan karena selain dapat memberikan kekuatan tawar menawar lebih tinggi,
merek juga dapat meraih loyalitas konsumen (Aaker, 1992; Wood, 2000). Merek
dengan nama berkredibilitas tinggi akan memudahkan perusahaan untuk
memperluas produknya serta dapat melindungi perusahaan dari persaingan harga
yang mematikan (Robertson, 1989). Merek kuat memberikan manfaat bagi
perusahaan, yaitu menghasilkan pendapatan konsisten dari tahun ke tahun, merek
lebih berharga daripada merek lemah, menahan serangan harga pesaing, meraih
segmen pasar lebih adil, melakukan serangan, disukai oleh pengecer, dan
meningkatkan nilai perusahaan yang memilikinya (Berry, 1992). Selain itu merek
kuat juga menentukan titik harga dan margin lebih tinggi, mendorong bisnis yang
berulang, memberikan kredibilitas langsung ke pengenalan produk baru,
pemahaman yang jelas dalam internal perusahaan, toleransi pelanggan tinggi
terhadap kesalahan, serta dapat menarik karyawan terbaik dan menjaga kepuasan
karyawan (Davis, 2002). Dengan demikian, merek yang kuat merupakan suatu
pembeda yang jelas, bernilai, dan menjadi ujung tombak bagi daya saing
perusahaan secara berkesinambungan.
Ekuitas merek dari perspektif konsumen secara individual merupakan efek
diferensial pengetahuan merek terhadap respon konsumen pada pemasaran merek
(Keller, 1993; Kayaman and Arasli, 2007; Fayrene and Lee, 2011). Prinsip
ekuitas merek berbasis pelanggan adalah kekuatan merek terletak pada apa yang
dilihat, dibaca, didengar, dipelajari, dipikirkan, dan dirasakan pelanggan tentang
33
merek sepanjang waktu (Keller, 1993). Berdasarkan pengertian tersebut terdapat
tiga elemen kunci dalam ekuitas merek berbasis pelanggan, yaitu pertama, ekuitas
merek timbul akibat adanya respons perbedaan dari konsumen. Jika tidak ada
perbedaan, maka merek merupakan suatu komoditas atau versi generik dari
produk. Kedua, respons perbedaan adalah akibat dari pengetahuan konsumen
tentang merek yang terdiri atas semua pikiran, perasaan, citra, pengalaman,
keyakinan, dan lain-lain yang berhubungan dengan merek. Secara khusus merek
harus menciptakan asosiasi merek yang kuat, menyenangkan, dan unik dengan
pelanggan. Ketiga, respons perbedaan (diferensial) dari konsumen yang
membentuk ekuitas merek tercermin dalam persepsi, preferensi, dan perilaku yang
berhubungan dengan semua aspek pemasaran merek.
Dalam konsep ekuitas merek berbasis pelanggan juga dijelaskan
pengetahuan merek dibangun oleh kesadaran merek dan citra merek (Keller,
1993; Kayaman and Arasli, 2007). Kesadaran merek merupakan kemampuan
konsumen mengidentifikasi merek dalam kondisi yang berbeda-beda, sedangkan
citra merek merupakan persepsi konsumen tentang suatu merek yang muncul dari
asosiasi merek yang ada pada ingatan konsumen (Keller, 1993). Citra merek
dibentuk oleh asosiasi yang terkait dengan atribut dan manfaat produk. Aribut
produk dapat terkait dengan hal-hal yang melekat pada produk (warna, ukuran,
disain), dan hal-hal yang tidak melekat pada produk (harga, kemasan, pemakai,
citra penggunaan). Manfaat produk dapat berupa manfaat fungsional, manfaat
simbolis, dan manfaat pengalaman. Manfaat fungsional berkaitan dengan solusi
bagi masalah konsumen, manfaat simbolis berkaitan dengan keinginan konsumen
dalam upaya memperbaiki diri, dihargai sebagai anggota kelompok, dan citra diri
34
yang diinginkan, serta manfaat pengalaman merupakan representasi dari
keinginan konsumen terhadap produk yang dapat memberikan rasa senang,
pengalaman baru, keanekaragaman, dan stimulasi kognitif.
Merek yang lebih kuat menghasilkan pendapatan yang lebih besar (Aaker,
1996; Davis, 2002). Ekuitas merek dikatakan tinggi apabila konsumen menyadari
keberadaan merek, memiliki asosiasi kuat, menguntungkan, serta menyadari
keunikan atau keunggulan merek (Aaker, 1996). Ekuitas merek tergantung pada
upaya membangun merek, dapat dilakukan dengan memilih nama atau logo
identitas merek dan melalui program pemasaran, serta komunikasi. Usaha
komunikasi pemasaran yang efektif dan konsisten sangat dibutuhkan untuk
membangun dan mempertahankan ekuitas merek. Ekuitas merek berbasis
pelanggan yang positif dapat menyebabkan pendapatan lebih besar, biaya lebih
rendah, dan keuntungan lebih tinggi, memiliki implikasi langsung atas
kemampuan perusahaan pada harga yang lebih tinggi, kesediaan pelanggan untuk
mencari saluran distribusi baru, efektivitas komunikasi pemasaran, dan
keberhasilan atas peluang ekstensi merek dan perizinan (Keller, 1993). Merek
yang memiliki ekuitas tinggi mencerminkan produk berkualitas tinggi dan
merepresentasikan nilai yang baik. Semakin tinggi ekuitas merek, semakin tinggi
nilai yang diberikan merek kepada konsumen. Apabila ekuitas merek meningkat,
maka loyalitas konsumen meningkat pada produk atau merek tersebut.
2.3.3 Keunikan Merek
Salah satu prinsip ekuitas merek berbasis konsumen adalah menekankan
kekuatan merek yang terletak pada adanya respon perbedaan oleh konsumen
35
sebagai akibat pengetahuan konsumen tentang merek yang ditimbulkan dari
asosiasi merek (Keller, 1993). Asosiasi merek merupakan informasi di dalam
benak konsumen yang terkait dengan keunikan (Aaker, 1992, 1996). Kunci
asosiasi dan komponen perbedaan dalam ekuitas merek melibatkan dimensi-
dimensi unik dari merek (Motameni and Shahrokhi, 1998). Merek perlu dirasakan
sebagai suatu perbedaan sehingga perbedaan menjadi karakteristik mendasar dari
suatu merek. Dengan demikian, aktivitas pemerekan pada dasarnya menunjukkan
kemampuan produsen memberikan manfaat pada produk dengan keunikan atau
kualitas superior dan menyediakan suatu kesempatan untuk mentransfer hubungan
yang tidak dapat diidentifikasi pada produk lainnya.
Keunikan (diferensiasi) merupakan tingkat perasaan konsumen bahwa
suatu merek berbeda dengan merek lainnya yang sedang bersaing (Anselmsson et
al., 2007). Keunikan merupakan salah satu hal penting dalam literatur pemasaran
yang berkaitan erat dengan konsep diferensiasi dan unique selling propositions.
Keunikan dapat berakar pada satu atribut atau kombinasi atribut-atribut yang
secara bersama membuat merek unik, dan atribut tersebut dapat berupa karakter
berwujud atau tidak berwujud. Ketika merek memiliki keunikan tidak berwujud,
hal ini sangat spesifik dan sulit untuk disebutkan dan didefinisikan, sehingga sulit
pula untuk ditiru. Nilai secara fungsional yang dipersepsikan oleh konsumen
terdiri atas dua komponen, yaitu keunikan dan persepsi harga-kualitas (Shukla,
2012). Pada dasarnya, aktivitas konsumsi oleh konsumen dilakukan berdasarkan
dua kebutuhan, yaitu kebutuhan rasa nyaman dan kebutuhan keunikan. Dengan
demikian, jika suatu merek dirasakan sebagai suatu hal yang berbeda maka akan
memiliki kemudahan dalam menentukan harga premium (Motameni and
36
Shahrokhi, 1998). Tingkat keunikan merek merupakan dimensi terpenting dalam
menciptakan harga premium, yaitu keunikan menjadi alasan mengapa konsumen
bersedia membayar harga tertinggi pada suatu merek (Anselmsson et al., 2007).
Keinginan konsumen pada keunikan dapat dijelaskan dengan teori
keunikan, bahwa individu memilih benda-benda material untuk membedakan
dirinya dengan yang lain (Knight and Kim, 2007). Keinginan konsumen pada
keunikan disebabkan oleh kenyamanan atas pilihan kreatif, pilihan tidak popular,
dan menghindari persamaan. Ketiga perilaku konsumen tersebut menunjukkan
konsumen membeli barang mengekspresikan keunikannya, bersedia menerima
risiko akibat keunikan produk, dan konsumen memilih merek yang tidak
berpotensi menjadi merek yang terlalu popular, tetapi merek tersebut mampu
membuat konsumen menjadi berbeda dengan yang lain. Alasan psikologis
mengapa keunikan menjadi sangat penting juga dijelaskan dengan teori memilih,
bahwa ketika konsumen sedang menghadapi pilihan, konsumen cenderung
menghapus atribut umum dalam alternatif, karena hal tersebut tidak menawarkan
petunjuk yang bersifat preferensial sehingga atribut yang unik menjadi penting
(Anselmsson et al., 2007).
Keunikan suatu merek tergantung pada penilaian konsumen atas fitur-fitur
yang membedakan merek dengan yang lainnya (Kemp et al., 2012). Aspek-aspek
unik dari suatu merek mempengaruhi preferensi pelanggan pada suatu merek,
serta pelanggan sering mengasosiasikan keunikan dengan nilai superior dan
kualitas yang lebih tinggi. Pada produk makanan, keunikan merek memainkan
peranan penting dalam menentukan ekuitas merek dan harga premium
37
(Anselmsson et al., 2007). Keunikan merek pada atribut makanan terletak pada
rasa, aroma, tekstur, penampilan, fungsi, serta kemasan dan bahan.
2.4 Kinerja Pemasaran dan Metriks Pemasaran
2.4.1 Kinerja Pemasaran
Eksistensi fungsi pemasaran menghadapi tantangan dan terancam
kehilangan pengaruh serta sumber daya dalam organisasi karena dipandang tidak
mampu menunjukkan akuntabilitasnya (Verhoef and Leeflang, 2009; Gaskill and
Winzar, 2013). Para praktisi dan akademisi sering memandang pemasaran sulit
diukur efektifitas dan efisiensinya pada setiap aktivitas, keputusan, atau program
pemasaran. Fakta lainnya menunjukkan semakin banyak tugas pemasaran juga
dilakukan oleh fungsi bisnis lainnya dalam perusahaan. Pemasaran dipandang
sebagai hubungan, jaringan, dan interaksi yang memandang bahwa setiap orang
dalam perusahaan adalah pemasar, sehingga pemasaran tidak terbatas hanya pada
departemen pemasaran dan penjualan saja (Gummesson, 1994).
Akuntabilitas yang lemah dapat mengurangi kredibilitas fungsi pemasaran
dan mengancam eksistensi pemasaran sebagai kapabilitas tersendiri dalam
perusahaan. Menurut American Marketing Association, akuntabilitas pemasaran
merupakan tanggung jawab manajemen sumber daya pemasaran yang sistematis,
serta proses pencapaian keuntungan yang terukur dalam laba investasi dan
peningkatan efisiensi pemasaran melalui kualitas dan nilai korporasi (Gaskill and
Winzar, 2013). Akuntabilitas pemasaran merupakan hasil analisis kinerja
pemasaran yang menunjukkan peranan pemasaran sebagai salah satu sumber daya
dalam organisasi. Kinerja pemasaran merupakan kemampuan untuk
38
menghubungkan kegiatan pemasaran terhadap hasil perusahaan baik secara
finansial maupun non finansial yang berdampak positif terhadap kinerja
perusahaan (Gaskill and Winzar, 2013). Pentingnya pengukuran kinerja
pemasaran adalah untuk mengetahui alasan dan konsekuensi setiap keputusan
pemasaran. Untuk tujuan tersebut dibutuhkan analisis kinerja pemasaran yang
terpusat pada penilaian profitabilitas dan produktivitas pemasaran (Kotler and
Keller, 2009: 146). Analisis profitabilitas merupakan penilaian yang dilakukan
untuk menelaah pengaruh program pemasaran terhadap laba yang diharapkan dari
suatu produk, sedangkan analisis produktivitas adalah penilaian terhadap
konsekuensi penjualan atau pangsa pasar yang dihasilkan dari strategi pemasaran.
Dalam menilai kinerja pemasaran diperlukan skema pengukuran
keberhasilan program pemasaran. Pengukuran kinerja pemasaran merupakan
suatu proses bisnis yang memberikan umpan balik kinerja bagi organisasi
sehubungan dengan hasil usaha pemasaran (Clark et al., 2006; Kotler and Keller,
2009: 143). Tanpa skema pengukuran kinerja yang jelas akan menimbulkan
keraguan mengenai kontribusi aktivitas pemasaran terhadap perusahaan. Aktivitas
pemasaran seharusnya diperlakukan sebagai investasi yang memberikan
kontribusi kepada perusahaan.
2.4.2 Metriks Pemasaran
Penggunaan berbagai metrik dalam mengevaluasi kinerja pemasaran
sering dilakukan oleh manajemen perusahaan untuk mengetahui efektivitas
kegiatan pemasaran. Metriks merupakan sistem pengukuran yang
mengkuantifikasi tren, dinamika, atau karakteristik tertentu (Farris et al., 2006).
39
Metriks dipergunakan untuk menjelaskan fenomena, mendiagnosis penyebab,
berbagai temuan penting, dan memproyeksikan hasil pada masa yang akan datang.
Metriks pemasaran adalah perangkat ukuran yang membantu perusahaan
menghitung, membandingkan, dan menginterpretasikan kinerja pemasaran (Kotler
and Keller, 2009: 143). Metriks pemasaran dapat digunakan oleh manajer merek
untuk merancang program pemasaran serta oleh manajer puncak digunakan untuk
memutuskan alokasi anggaran pemasaran. Menurut Marketing Science Institue
(2004), metriks pemasaran didefinisikan sebagai indikator kinerja yang digunakan
manajemen puncak untuk melacak dan menilai kemajuan, khususnya kinerja
pemasaran dari bisnis atau unit bisnis (Gaskill and Winzar, 2013). Metriks
pemasaran dapat digunakan untuk mengukur hasil dari kegiatan pemasaran dan
kontribusinya terhadap akuntabilitas pemasaran. Melalui penggunaan metriks,
fungsi pemasaran dapat menunjukkan hubungan antara kinerja pemasaran dan
kinerja perusahaan.
Pada saat ini terdapat banyak metriks pemasaran yang dapat dipergunakan
untuk mengukur efektivitas pemasaran. Manajer dapat menggunakan empat alat
untuk memeriksa kinerja pemasaran, yaitu analisis penjualan, analisis pangsa
pasar, analisis biaya atas penjualan pemasaran, dan analisis keuangan (Kotler and
Keller, 2009: 146). Menurut Farris et al. (2006), kriteria-kriteria dalam metriks
pemasaran dapat meliputi : 1) pangsa pasar; 2) margin dan keuntungan; 3)
manajemen produk dan portofolio; 4) tingkat keuntungan pelanggan; 5)
manajemen tenaga penjual dan distribusi; 6) strategi harga; 7) promosi; 8) media
iklan dan web; dan 9) pemasaran dan keuangan. Selain itu, kinerja pemasaran juga
dapat dinilai dengan metriks pemasaran finansial dan non finansial (Gaskill and
40
Winzar, 2013). Metriks pemasaran finansial menyangkut laba atas investasi
pemasaran (ROMI), pendapatan per pelanggan, pengeluaran pemasaran
berbanding anggaran, dan pengeluaran pemasaran sebagai persentase pendapatan,
sedangkan metriks pemasaran non finansial menyangkut merek, pangsa pasar,
website traffic, dan jumlah pelanggan baru yang merefleksikan kinerja pemasaran
lebih terpusat pada pelanggan, seperti kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan,
kesediaan untuk merekomendasikan, dan kualitas produk yang dirasakan.
Di antara metriks yang ada, metriks pemasaran yang paling sering
digunakan sebagai indikator keberhasilan kinerja pemasaran adalah metriks yang
menyangkut merek dan pelanggan (Davis, 2002; Smith, 2003; Rajagopal, 2008).
Dari kriteria-kriteria yang ada dalam metriks pemasaran dapat diketahui bahwa
aktivitas pemasaran mencakup banyak hal sehingga metriks yang digunakan juga
beragam. Selain itu, metriks pemasaran ditemukan berpengaruh terhadap
akuntabilitas pemasaran, manfaat pemasaran, dan kinerja bisnis (Gaskill and
Winzar, 2013). Dengan demikian, pengembangan seperangkat metriks pemasaran
dapat memungkinkan fungsi pemasaran untuk menunjukkan akuntabilitas dan
mendapatkan pengaruh dalam organisasi.
2.4.3 Metriks Merek
Salah satu pengukuran kinerja pemasaran adalah menyangkut kinerja
merek (Gaskill and Winzar, 2013). Pengukuran kinerja merek dapat dilakukan
dengan metriks merek yang merupakan kunci dalam pengembangan kekuatan dan
nilai merek yang meliputi customer touch points metrics dan strategic metrics
(Smith, 2003). Customer touch points metrics menilai berbagai kegiatan merek
41
yang terkait dengan menyentuh pengalaman pelanggan, sedangkan strategic
metrics menilai dampak strategis merek bagi tujuan perusahaan. Selain itu,
metriks merek juga terdiri atas dampak merek dan citra merek (Davis, 2002).
Dampak merek mengukur peranan merek dalam mengatur secara keseluruhan
kesehatan dari bisnis perusahaan, sedangkan citra merek mengukur tingkat
kesadaran merek, nilai merek, serta kemampuan merek dalam meningkatkan niat
pembelian pelanggan. Metriks merek juga dipergunakan untuk mengukur kinerja
investasi merek (input keuangan) dan dampak merek (hasil pertumbuhan) dalam
bisnis. Untuk tujuan tersebut, metriks merek terdiri atas perceptional metrics,
performance metrics, dan financial metrics (Rajagopal, 2008). Perceptional
metrics mengukur kinerja merek dalam berinteraksi dengan pelanggan,
performance metrics mengukur kinerja merek dalam mendorong hasil bisnis
secara keseluruhan, dan financial metrics mengukur dampak ekonomi pada bisnis
baik pertumbuhan pendapatan maupun laba atas investasi. Berdasarkan pendapat
tersebut dapat dipahami bahwa metriks merek merupakan pengukuran kinerja
merek dalam memberikan pengalaman bagi pelanggan dan memberikan dampak
bagi perusahaan.
Dari perspektif pelanggan ekuitas merek terletak pada pengetahuan
pelanggan bahwa merek berbeda dengan merek pesaing (Keller, 1993). Merek
perlu dirasakan sebagai suatu perbedaan sehingga perbedaan menjadi karakteristik
yang sangat mendasar dari suatu merek. Asosiasi pelanggan tentang perbedaan
pada merek dapat terkait dengan dimensi-dimensi yang unik dari merek (Aaker,
1996; Motameni and Shahrokhi, 1998). Keunikan merek merupakan tingkat
perasaan konsumen bahwa suatu merek berbeda dengan merek lain yang dapat
42
berupa karakter berwujud atau tidak berwujud pada satu atribut atau kombinasi
atribut-atribut yang secara bersama-sama membuat merek unik (Anselmsson et
al., 2007; Kemp et al., 2012). Dari perspektif perusahaan ekuitas merek terletak
pada loyalitas merek yang merupakan ukuran kesetiaan konsumen pada suatu
merek (Aaker, 1996). Loyalitas merek menjadi dasar untuk memprediksi seberapa
besar kemungkinan pelanggan berpindah ke merek lain. Oleh karena itu, kinerja
merek pada dasarnya menunjukkan kemampuan produsen dalam menciptakan
keunikan dengan kualitas superior yang tidak dapat ditemukan pada produk lain
dan kemampuan merek dalam menciptakan loyalitas merek. Kinerja merek dalam
menciptakan keunikan dapat diukur dengan customer touch points metrics dan
kinerja merek dalam menciptakan loyalitas merek dapat diukur dengan strategic
metrics (Smith, 2003). Dengan demikian, pengukuran kinerja merek dapat
menggunakan metriks merek yang terdiri atas customer touch points metrics
untuk mengukur kinerja keunikan merek dalam menyentuh pelanggan, dan
strategic metrics untuk mengukur sejauh mana pelanggan setia pada merek.
Metriks merek merupakan peta bagi perusahaan untuk mengetahui dengan cepat
di mana merek berkinerja baik dan buruk dalam mencapai tujuan secara
keseluruhan, serta memberikan pedoman strategis yang mengarah pada nilai yang
diharapkan.
2.5 Komunikasi Persuasif
Persuasi secara sederhana diartikan membujuk, mengajak, atau merayu.
Menurut Myers (2012: 304), persuasi adalah proses komunikasi yang bertujuan
mengubah atau mempengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang
43
sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Pada
umumnya sikap seseorang yang akan dipengaruhi terdiri atas tiga komponen,
yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Assael, 1995: 267). Komponen kognitif
menyangkut keyakinan seseorang atas suatu obyek, di mana seseorang telah
mencapai tingkat mengetahui obyek yang diperkenalkan. Komponen afektif
menyangkut penilaian seseorang atas suatu obyek, di mana seseorang telah
mempunyai kecenderungan suka atau tidak suka pada obyek. Komponen konatif
merupakan intensi seseorang atas suatu obyek, di mana seseorang sudah berniat
melakukan suatu tindakan terhadap obyek. Pengetahuan seseorang tentang suatu
obyek dapat mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap suatu obyek. Dengan
demikian, mengubah pengetahuan seseorang pada suatu obyek akan dapat
mengubah sikap dan perilaku seseorang pada suatu obyek.
Persuasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu central route to
persuasion dan peripheral route to persuasion (Krishnan and Kothari, 2009).
Central route to persuasion terjadi ketika seseorang tertarik pada argumen dan
merespon dengan pemikiran yang memihak, sedangkan peripheral route to
persuasion dapat terjadi karena seseorang dipengaruhi oleh isyarat kebetulan,
seperti daya tarik pembicara. Menurut Myers (2012), proses central route dapat
berlangsung ketika seseorang termotivasi dan tertarik pada sebuah isu yang
berfokus pada argumen-argumen. Jika argumen-argumen tersebut kuat dan
memaksa maka persuasi kemungkinan besar terjadi, dan sebaliknya argumen-
argumen yang lemah akan dilawan sehingga persuasi tidak terjadi. Proses
peripheral route berfokus pada isyarat-isyarat yang memicu penerimaan otomatis
44
tanpa banyak berpikir. Dalam situasi ini, memahami pendapat yang familiar lebih
mudah bersifat persuasif daripada pendapat baru dengan makna yang sama.
Komunikasi persuasi dapat berlangsung di mana-mana dalam masyarakat,
termasuk dalam proses pemasaran produk. Dalam kegiatan pemasaran,
komunikasi persuasi sering dijumpai pada aktivitas pengiklanan yang berusaha
meyakinkan konsumen bahwa produk yang ditawarkan lebih baik daripada
produk lainnya (Miles, 2013). Pemasaran produk dengan keterlibatan konsumen
yang tinggi, pemasar dapat memilih central route to persuasion, sedangkan
produk dengan keterlibatan konsumen yang rendah dapat melakukan peripheral
route to persuasion (Schiffman and Kanuk, 1997: 298). Central route to
persuasion untuk iklan high involvement products dilakukan dengan
mempresentasikan iklan yang kuat dan isu disebarkan dengan argumen yang
relevan sehingga dapat mendorong proses kognitif konsumen. Untuk low
involvement products, pemasar dapat melakukan peripheral route to persuasion
dengan menekankan elemen pesan non konten sebagai latar belakang, musik, atau
menggunakan juru bicara selebriti.
Keberhasilan / ketidak berhasilan suatu pesan yang bertujuan persuasif
ditentukan oleh sejumlah faktor persuasi, terdiri atas komunikator, pesan,
bagaimana pesan dikomunikasikan, dan khalayak (Myers, 2012: 309). Dengan
kata lain, siapa yang mengatakan apa, dengan metode apa, kepada siapa, dan
bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi target. Dalam model proses
persuasi pada Gambar 2.4 dijelaskan stimuli eksternal terdiri atas komunikator,
komunikasi, dan situasi. Hal pertama dalam proses komunikasi adalah
komunikator atau sumber pesan dengan aspek yang meliputi kredibelitas, rasa
45
suka, dan kelompok referensi yang berpengaruh dalam proses evaluasi terhadap si
komunikator (Taylor et al., 2009: 182). Kredibilitas menggambarkan komunikator
yang kredibel, yaitu orang yang dipersepsikan sebagai ahli dan terpercaya. Orang
cenderung lebih mau dibujuk oleh komunikator dengan kredibilitas tinggi, serta
komunikasi dari sumber berkredibilitas tinggi lebih mampu menimbulkan
perubahan sikap daripada sumber berkredibilitas rendah. Sumber yang ahli
biasanya lebih persuasif daripada sumber non-ahli.
Komunikator
Kredibilitas
Rasa suka
Kelompok
referensi
Komunikasi
Diskrepansi
Adanya motif
Kekuatan argumen
Situasi
Peringatan lebih dini
Distraksi
(gangguan)
Keterlibatan
Pengenalan
(gagasan, isi pesan)
Pembelajaran pesan
Transfer efek
Mekanisme
konsistensi
Kontra - argumen
Perubahan sikap
Derogasi sumber
Distorsi pesan
Penolakan
terselubung
Stimuli EksternalTarget Proses yang
Mengintervensi
Respons
ATAU
Gambar 2.4
Model Proses Persuasi
Sumber: Taylor et al. (2009: 182)
Proses persuasi dapat terjadi pada komunikasi dari mulut ke mulut yang
merupakan komunikasi interpersonal antara dua atau lebih individu-individu yang
menjadi anggota kelompok referensi (Assael, 1995: 633). Jenis komunikasi
interpersonal (dari mulut ke mulut) dapat berupa cerita tentang pengalaman
pribadi, pemberian nasihat, dan informasi tentang produk. Dalam aktivitas
pemasaran, komunikasi dari mulut ke mulut telah diakui sebagai faktor penting
46
dalam pengambilan keputusan konsumen yang mencerminkan pengaruh
interpersonal antara pengirim dan penerima pesan, di mana komunikasi
interpersonal dapat merubah sikap dan perilaku penerima, baik positif atau negatif
(Wang, 2011). Konsumen yang telah berpengalaman dengan suatu merek dapat
menjadi komunikator yang kredibel dan mampu melakukan stimuli eksternal
kepada pihak lain untuk merubah sikap dan perilakunya tentang suatu merek.
Konsumen tersebut diasumsikan sebagai orang yang netral, independen dari
perusahaan, dan nasihatnya dianggap lebih relevan dan kredibel oleh penerima
daripada komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan (Pongjit and Zee, 2015).
Dengan demikian, konsumen yang puas dan loyal dapat menjadi tenaga penjualan
yang baik karena dapat mempengaruhi anggota keluarga dan teman-temannya
untuk melakukan pembelian. Sebaliknya, konsumen yang tidak puas dapat
mengajak anggota kelurga dan teman-temannya untuk tidak membeli produk /
merek perusahaan sehingga dapat menurunkan penjualan.
Seseorang ingin agar kognisinya konsisten dengan perasaannya, maka
kemungkinan akan mengubah sikapnya menjadi setuju dengan orang-orang yang
disukai. Selain itu, juga cenderung mau dibujuk jika suatu pendapat diadopsi oleh
sekelompok orang yang disukai atau di mana dia menjadi anggotanya. Kelompok
ini dinamakan kelompok referensi, yaitu kelompok seseorang atau kelompok yang
ingin dimasuki seseorang yang berfungsi sebagai standar perilaku dan sikap
seseorang (Taylor et al., 2009: 182). Pesan dari dalam kelompok juga lebih
persuasif karena diproses secara berbeda dari pesan luar kelompok. Dengan
demikian, orang yang menyampaikan komunikasi atau pesan dan kualitas dari
komunikator adalah penting dalam mempengaruhi bagaimana pesan dievaluasi.
47
Orang yang menarik, kredibel, dan ahli akan lebih persuasif daripada orang yang
tidak memiliki atribut-atribut tersebut.
2.6 Pemasaran Relasional
Definisi pemasaran menurut American Marketing Association (AMA,
2007) adalah suatu aktivitas organisasi dan serangkaian proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan mempertukarkan nilai
yang ditawarkan kepada pelanggan, klien, mitra, dan masyarakat umum (Hunt,
2010: 61). Berdasarkan definisi tersebut, pemasaran dapat dipahami sebagai
kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan konsumen dan dipandang sebagai
proses sosial yang menekankan aktivitas pertukaran. Pemasaran sebagai proses
sosial menggambarkan individu dan kelompok memperoleh apa yang dibutuhkan
dan diinginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan pihak lain.
Kebutuhan merupakan keadaan merasa kekurangan dan menjadi dasar sifat
kodrati manusia, sedangkan keinginan adalah bentuk kebutuhan yang tercipta oleh
budaya dan kepribadian individu (Kotler and Armstrong, 2007: 7). Secara umum
manusia mempunyai keinginan yang tidak terbatas tetapi sumber daya yang
dimilikinya terbatas, sehingga timbul keinginan untuk memilih nilai paling tinggi
dari sumber daya yang dimilikinya. Obyek untuk memuaskan kebutuhan dan
keinginan manusia adalah produk yang terdiri atas barang dan jasa, serta lebih
luas lagi produk dapat mencakup pengalaman, orang, tempat, organisasi,
informasi, dan ide-ide (Kotler and Keller, 2009: 9). Manusia sebagai konsumen
memandang produk sebagai kumpulan manfaat dan memilih produk yang akan
memberi manfaat terbaik atas sumber daya yang dimilikinya.
48
Dalam perkembangannya pemasaran mengalami perubahan paradigma
dari pemasaran transaksional ke pemasaran relasional (Gummesson, 1994;
Gronroos, 1994; Sheth and Parvatiyar, 1995). Pada pemasaran transaksional
aktivitas pemasaran bertujuan untuk menghasilkan transaksi dalam jangka
pendek, di mana intensitas hubungan produsen dengan konsumen rendah, dimensi
kualitas diimplementasikan hanya pada proses produksi yang berorientasi hasil,
dan fokus produksi massal. Pada pemasaran relasional, aktivitas pemasaran
bertujuan untuk membangun hubungan dalam jangka panjang, di mana intensitas
hubungan produsen dengan konsumen tinggi, dimensi kualitas diimplementasikan
pada seluruh proses yang menekankan interaksi, dan fokus produksi kustomisasi.
Pemasaran transaksional dipahami sebagai pemasaran tradisional yang
menerapkan strategi klasik STP (segmentation, targeting dan positioning) dan
bauran pemasaran 4P (product, price, promotion dan place) (Gummesson, 1994).
Strategi pemasaran tersebut menempatkan pemasar berperan aktif, sedangkan
konsumen berperan pasif dan secara umum tidak ada hubungan personal antara
konsumen dengan produsen dan pemasar. Dalam konteks sosial aktivitas
pemasaran merupakan proses interaktif, di mana relasi menjadi landasan penting
pada pemasaran produk (Gronroos, 1994; Holmlund and Kock, 1996). Pada
konsep pemasaran moderen perusahaan tidak hanya berfokus pada bauran
pemasaran 4P saja, tetapi mengarahkan kegiatannya untuk membangun,
memperkuat, dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan guna mengetahui
kebutuhan dan keinginannya. Konsep tersebut dikenal sebagai pemasaran
relasional yang memandang pemasaran sebagai hubungan, jaringan, dan interaksi
(Gummesson, 1994). Hubungan tersebut melibatkan produsen dan pelanggan
49
yang saling berinteraksi sebagai mitra dalam hubungan yang saling
menguntungkan, serta mengarah pada hubungan yang lebih kompleks dan tumbuh
menjadi jaringan.
Pemasaran relasional merupakan upaya terpadu untuk mengidentifikasi,
mempertahankan, dan membangun jaringan dengan pelanggan, serta memperkuat
jaringan secara terus menerus melalui kontak interaktif dan nilai tambah dalam
jangka waktu yang panjang (Shani and Chalasani, 1993). Tujuan utama
pemasaran relasional adalah pencapaian profitabilitas jangka panjang dengan
mengembangkan ikatan yang saling menguntungkan kepada setiap pelanggan.
Hubungan interaktif perusahaan dan pelanggan dalam proses manajemen secara
keseluruhan untuk pencapaian profitabilitas jangka panjang telah menempatkan
tanggung jawab pemasaran pada manajemen perusahaan secara keseluruhan
(Gummesson, 1994; Wray et al., 1994). Pengembangan relasi perusahaan dan
pelanggan dapat melibatkan seluruh karyawan sehingga setiap orang dalam
perusahaan adalah pemasar, dan pemasaran tidak terbatas hanya pada departemen
pemasaran saja.
Konsep pemasaran relasional telah menjadi tren bisnis moderen, di mana
aktivitas pemasaran dipusatkan pada pengembangan relasi yang berkelanjutan
melalui rangkaian produk yang terkait dengan kebutuhan dan keinginan
pelanggan. Pemasaran adalah membangun, memelihara, dan meningkatkan relasi
dengan pelanggan sehingga tujuan secara ekonomi dapat tercapai (Gronroos,
1994). Segala aktivitas dalam pemasaran bertujuan untuk mendapatkan pelanggan
dan kemudian pemasar berusaha untuk mempertahankannya. Untuk mencapai
tujuan tersebut pelanggan harus dipuaskan dengan memberikan merek yang
50
berkualitas, namun persaingan yang tinggi menyebabkan pelanggan yang puas
dapat beralih ke merek yang lain (Davis, 2002; Story and Hess, 2006). Hal ini
melahirkan konsep pemasaran relasional, yaitu bagaimana membangun,
memelihara, dan meningkatkan relasi yang baik dengan pelanggan. Dalam
konteks merek aktivitas pemasaran tidak hanya bertujuan untuk memuaskan
pelanggan saja, tetapi merek dapat dipergunakan untuk membina relasi dengan
pelanggan. Hubungan secara pribadi pelanggan dan merek dapat melahirkan
loyalitas merek yang merupakan tujuan dalam pemasaran relasional. Ketika
pelanggan berperilaku loyal terhadap suatu merek, maka merek dapat menjadi
aset yang sangat berharga bagi perusahaan.
2.6.1 Kualitas Relasional
Pemasaran relasional berorientasi pada penciptaan relasi dengan
pelanggan dalam jangka waktu panjang dan merupakan salah satu strategi yang
dilakukan oleh pemasar untuk menciptakan loyalitas pelanggan. Keberhasilan
program pemasaran dalam menciptakan loyalitas pelanggan dapat ditentukan oleh
kualitas relasional (Ivens, 2004; Lin and Ding, 2005; Chen et al., 2014). Kualitas
relasional berasal dari konsep pemasaran relasional yang merupakan kekuatan
relasi antara perusahaan dan pelanggan dalam mempertahankan pelanggan untuk
jangka waktu yang lama melalui tingkat loyalitas yang tercipta pada diri
pelanggan.
Loyalitas pelanggan dapat menjadi ukuran keberhasilan program
pemasaran, selain pangsa pasar yang diperoleh oleh perusahaan (Caceres and
Paparoidamis, 2007; Yap et al., 2012; Gaskil and Winzar, 2013). Dalam
51
pemasaran relasional, loyalitas pelanggan menunjukkan hubungan dengan satu
pelanggan akan menciptakan transaksi berulangkali yang dapat memberikan
keuntungan kepada perusahaan dan pelanggan. Transaksi tersebut tidak hanya
terbatas pada satu produk, tetapi juga pada produk-produk lain yang dimiliki oleh
perusahaan (Soderlund, 2006). Konsumen yang loyal dapat menjadi aset berharga
bagi perusahaan dalam jangka waktu tertentu yang disebut dengan customer life
time value (Smith, 2003). Dengan demikian, pemasar harus memperhatikan
hubungan dengan pelanggan yang telah dimilikinya agar dapat menciptakan
customer life time value dan mendapatkan profitabilitas dalam jangka waktu yang
panjang.
Kualitas relasional merupakan penilaian mengenai kekuatan relasi pihak-
pihak yang terlibat dalam relasi. Dalam literatur pemasaran relasional dijelaskan
bahwa kualitas relasional antara pihak-pihak yang terlibat merupakan faktor
penentu dari kekuatan dan intensitas hubungan yang mengarah pada keberhasilan
program pemasaran relasional (Caceres and Paparoidamis, 2007). Kualitas
relasional merupakan penilaian secara umum atas kekuatan relasional yang
menggambarkan sejauh mana relasi dapat memenuhi kebutuhan dan harapan dari
pihak-pihak yang terlibat (Lin and Ding, 2005). Kualitas relasional yang
menggambarkan kekuatan relasi perusahaan dan pelanggan dapat diukur melalui
beberapa komponen kunci yang mencerminkan relasi perusahaan dan pelanggan.
Faktor-faktor yang disertakan dalam kualitas relasional masih
diperdebatkan dan sejumlah ahli telah menyertakan kepuasan, kepercayaan, dan
komitmen sebagai dimensi dalam kualitas relasional (Ivens, 2004; Brun et al.,
2014). Pendapat lainnya mengemukakan bahwa kualitas relasional terdiri atas
52
kepercayaan dan komitmen (Morgan and Hunt, 1994; Aurier and Lanuze, 2011).
Kepuasan, kepercayaan, dan komitmen telah dipandang sebagai dimensi kualitas
relasional, namun kepuasan dan kepercayaan mendapatkan perhatian yang lebih
besar daripada komitmen (Wray et al., 1994; Selnes, 1998; Lin and Ding, 2005;
Caceres and Paparoidamis, 2007; Kuhne et al., 2013; Chen et al., 2014). Dengan
demikian, kualitas relasional lebih sering dipahami sebagai kepuasan dan
kepercayaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam relasi.
2.6.1.1 Kepuasan
Kepuasan merupakan konsep yang sangat penting dalam pemasaran dan
dipandang oleh sejumlah ahli sebagai konsep multi-dimensi (Parker and Mathews,
2001; Alegre and Cladera, 2009). Kepuasan dapat dipahami sebagai suatu proses
dan suatu hasil atas pengalaman mengkonsumsi produk, serta dalam
perkembangannya kepuasan juga diartikan sebagai sikap pelanggan secara
keseluruhan terhadap produk. Pemahaman kepuasan sebagai suatu proses
diarahkan pada proses kognitif yang diturunkan dari sejumlah teori dalam
perspektif psikologi. Di antara teori tersebut yang paling umum digunakan dalam
menjelaskan kepuasan adalah teori ekspektasi-diskonfirmasi, yaitu kepuasan
pelanggan merupakan persepsi pelanggan atas perbedaan ekspektasi dan kinerja
produk, di mana diskonfirmasi positif dapat meningkatkan kepuasan pelanggan
dan diskonfirmasi negatif memberikan dampak sebaliknya (Oliver, 1980).
Kepuasan pelanggan juga dapat merujuk pada teori disonansi kognitif,
yaitu secara prinsip individu termotivasi untuk mempertahankan konsistensi /
kesesuaian di antara pasangan keyakinan kognitif, ide, persepsi, perilaku, dan
53
lingkungan (Burnes and James, 1995; O’Neil and Palmer, 2004). Teori ini
menekankan ketidak-konsistenan psikologis (disonansi) antara dua elemen
kognitif yang menyebabkan tekanan untuk mengembalikan elemen itu menjadi
saling sesuai (Taylor et al., 2009: 171). Apabila salah satu elemen tidak sesuai
dengan elemen lainnya maka kedua elemen tersebut berada dalam situasi
disonansi, yaitu keadaan yang muncul ketika seseorang secara bersamaan
menganut dua keyakinan yang saling bertentangan satu sama lain. Dalam konteks
kepuasan pelanggan, kedua elemen kognitif direpresentasikan sebagai ekspektasi
terhadap produk dan kinerja produk. Kepuasan pelanggan adalah tingkatan di
mana anggapan kinerja suatu produk sesuai dengan harapan pelanggan (Kotler
and Armstrong, 2007: 10). Dengan demikian, tingkat kepuasan atau
ketidakpuasan pelanggan sangat tergantung pada sejauh mana harapan pelanggan
dapat terpenuhi oleh suatu produk.
Kepuasan sebagai suatu hasil merupakan perasaan senang atau kecewa
seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja produk yang dipikirkan
terhadap kinerja yang diharapkan (Kotler and Keller, 2009: 177). Pendekatan
kepuasan ini juga dipahami sebagai keadaan emosional yang merupakan reaksi
pelanggan pasca pembelian berupa kemarahan, ketidakpuasan, kejengkelan,
netralitas, kegembiraan, atau kesenangan (Lovelock and Wright, 2007: 102).
Komponen emosional dalam kepuasan merupakan suatu respon afektif seseorang
atas persepsinya pada serangkaian atribut yang membangun kinerja suatu produk
(Yu and Dean, 2001). Komponen emosional ini dibedakan menjadi emosi positif
yang terdiri atas bahagia, penuh pengharapan, kejutan yang positif, serta emosi
negatif yang terdiri atas marah, tertekan, perasaan bersalah, dan terhina.
54
Dalam pemasaran relasional, kepuasan dibedakan secara ekonomi dan
sosial (Ivens, 2004). Kepuasan ekonomi merupakan evaluasi hasil secara ekonomi
akibat adanya relasi, sedangkan kepuasan sosial terkait pada aspek psikososial
dengan adanya relasi. Kepuasan merupakan keadaan emosional sebagai respon
terhadap penilaian atas pengalaman interaksi antara pembeli dan penjual, serta
kepuasan dapat menyebabkan kelangsungan hubungan jangka panjang dan
mengindikasikan kepercayaan (Lin and Ding, 2005). Kepuasan juga dapat
dipergunakan untuk memprediksi perilaku pembelian di masa depan, yaitu
pembelian berulang, merekomendasikan produk, dan pelanggan kurang tertarik
terhadap penawaran pesaing (Moraga et al., 2008). Dalam perkembangannya,
kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai sikap pelanggan secara keseluruhan
terhadap produk (Alegre and Cladera, 2009; Fang et al., 2011; Yap et al., 2012).
Sikap ini sebagai respon atas penilaian kinerja produk dari proses secara
keseluruhan sampai dengan hasil akhir yang dipersepsikan oleh pelanggan.
2.6.1.2 Kepercayaan
Pemasaran relasional bukan sekedar hubungan transaksional biasa, tetapi
merupakan hubungan yang menguntungkan semua pihak secara berkelanjutan.
Hubungan ini dikembangkan atas dasar kepercayaan yang dapat memfasilitasi
pemecahan masalah bersama dan mengurangi kecurigaan antara pihak-pihak yang
terlibat dalam pertukaran. Kepercayaan dikonseptualisasikan sebagai keyakinan
satu pihak terhadap kehandalan dan integritas mitra pertukaran (Morgan and
Hunt, 1994). Konsep ini mengartikan kepercayaan sebagai kesediaan satu pihak
bahwa mitra pertukaran yang diyakininya bisa dihandalkan dan memiliki
55
integritas tinggi. Kehandalan dan integritas tersebut dapat diasosiasikan bahwa
mitra pertukaran memiliki kualitas yang konsisten, kompeten, jujur, bertanggung
jawab, siap menolong, dan berniat baik. Selain itu, kepercayaan juga merupakan
keyakinan seseorang pada keahlian, reliabilitas, dan niat dari mitra terhadap
kondisi ketidakpastian dan kelemahan-kelemahan yang ada (Gronroos, 1994).
Pendapat ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan konsumen dalam
mengevaluasi produk memerlukan kepercayaan yang tinggi, serta tidak
menempatkannya dalam kekuasaan tenaga penjualan.
Kepercayaan dapat dipahami sebagai dua hal yang berbeda, yaitu
kepercayaan kredibilitas dan kepercayaan kebajikan (Yap et al., 2012).
Kepercayaan kredibilitas adalah keyakinan bahwa produk disampaikan sesuai
dengan janji, sedangkan kepercayaan kebajikan merupakan keyakinan bahwa
produk berkinerja pada kepentingan terbaik konsumen dan tidak mengambil
keuntungan sepihak dari relasi yang dibangun. Pendapat lainnya menjelaskan
bahwa kepercayaan terdiri atas tiga dimensi, yaitu kompetensi, integritas, dan
kebajikan (Brun et al., 2014). Dimensi kompetensi menyangkut persepsi atas
keterampilan, kecakapan, dan keahlian, sehingga kompetensi mencerminkan
kapasitas satu pihak untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pihak lain. Dimensi
integritas merupakan keyakinan bahwa pihak yang dipercaya mematuhi aturan
perilaku yang berlaku, seperti kejujuran dan menepati janji. Dimensi kebajikan
merepresentasikan pencarian keuntungan bersama dan bersikap peduli tentang
kesejahteraan pihak lain.
Konsep kepercayaan dalam konteks merek dapat dijelaskan secara kognitif
dan afektif (Belaid and Behi, 2011). Komponen kognitif mengacu pada
56
kredibilitas merek yang terkait dengan kehandalan yang dirasakan pada kinerja
merek dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, dan komponen afektif merupakan
penilaian pelanggan mengenai motivasi merek terhadap dirinya secara pribadi.
Kepercayaan merek dapat pula dijelaskan dengan dimensi reliabilitas dan niat
(Ballester and Aleman, 2005). Dimensi reliabilitas memiliki sifat teknis atau
berbasis pada kompetensi yang melibatkan kemampuan dan kemauan untuk
menepati janji serta memenuhi kebutuhan konsumen. Dimensi niat merupakan
atribusi dari niat baik untuk merek dalam kaitannya dengan kepentingan dan
kesejahteraan konsumen, misalnya ketika masalah tak terduga dengan produk
muncul. Dengan demikian, merek yang dapat dipercaya adalah merek yang secara
konsisten menjamin janji-janji nilainya kepada pelanggan melalui cara produk
dikembangkan, diproduksi, dijual, dilayani, dan diiklankan sehingga merek
memberikan hasil yang positif bagi pelanggan.
2.7 Teori Tindakan Beralasan
Teori tindakan beralasan dikemukakan oleh Fishbein and Ajzen (1975),
menjelaskan hubungan antara niat dan perilaku.
Gambar 2.5
Teori Tindakan Beralasan Sumber: Fishbein and Adzen (1975)
57
Perilaku seseorang ditentukan oleh niat seseorang, artinya, jika ingin mengetahui
apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui niat orang
tersebut. Niat ditentukan oleh dua faktor, yaitu sikap dan norma subyektif. Sikap
dipengaruhi oleh keyakinan akan hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma
subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta motivasi
untuk mentaati pendapat tersebut. Secara lebih sederhana, teori ini mengatakan
bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang
perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia
melakukannya.
Sikap merupakan evaluasi terhadap objek, isu, atau orang yang didasarkan
pada informasi afektif, behavioral, dan kognitif (Taylor et al., 2009: 165).
Komponen afektif terdiri atas emosi dan perasaan seseorang terhadap suatu
stimulus, khususnya evaluasi positif atau negatif. Komponen behavioral adalah
cara orang bertindak dalam merespon stimulus. Komponen kognitif terdiri atas
pemikiran seseorang tentang objek tertentu, seperti fakta, pengetahuan, dan
keyakinan. Pendapat lainnya menjelaskan bahwa sikap adalah suatu reaksi
evaluatif yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau
seseorang (Myers, 2012: 164). Sikap sering kali berakar pada kepercayaan
seseorang dan muncul dalam perasaan serta perilaku seseorang. Dengan demikian,
sikap dapat dipahami sebagai respon terhadap sesuatu atau seseorang berdasarkan
atas komponen afektif (pengaruh), behavioral (perilaku), dan kognitif.
Dalam teori tindakan beralasan dijelaskan bahwa sikap mempengaruhi
perilaku melalui suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan,
dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal. Pertama, perilaku tidak banyak
58
ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu.
Kedua, perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap tetapi juga oleh norma
subyektif, yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita
lakukan. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama-sama norma subyektif
membentuk intensi atau niat untuk berperilaku tertentu. Niat merupakan fungsi
dari dua determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (aspek personal)
dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak
melakukan perilaku (norma subyektif).