31
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang Gizi kurang merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada kelompok masyarakat tertentu di suatu tempat. Hal ini berkaitan erat dengan berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat yang tinggal di negara-negara berkembang (Depkes, 2000). Gizi kurang bukanlah penyakit akut yang terjadi mendadak, tetapi ditandai dengan kenaikan berat badan balita yang tidak normal pada awalnya atau tanpa kenaikan berat badan setiap bulan atau bahkan mengalami penurunan berat badan selama beberapa bulan. Perubahan status gizi balita diawali oleh perubahan berat badan balita dari waktu ke waktu. Bayi yang tidak mengalami kenaikan berat badan 2 kali selama 6 bulan, beresiko 12,6 kali lebih besar mengalami gizi kurang dibandingkan dengan balita yang berat badannya terus meningkat. Bila frekuensi berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar (Depkes, 2005). Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang menjadi gizi buruk (Dewi, 2013). Gizi buruk dapat dikatakan merupakan kurang gizi kronis akibat kekurangan asupan energi dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Anak disebut mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding umur tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Gizi Buruk dan Kurang

Gizi kurang merupakan salah satu penyakit tidak menular yang terjadi pada

kelompok masyarakat tertentu di suatu tempat. Hal ini berkaitan erat dengan

berbagai faktor multidisiplin dan harus selalu dikontrol terutama pada masyarakat

yang tinggal di negara-negara berkembang (Depkes, 2000).

Gizi kurang bukanlah penyakit akut yang terjadi mendadak, tetapi ditandai

dengan kenaikan berat badan balita yang tidak normal pada awalnya atau tanpa

kenaikan berat badan setiap bulan atau bahkan mengalami penurunan berat badan

selama beberapa bulan. Perubahan status gizi balita diawali oleh perubahan berat

badan balita dari waktu ke waktu. Bayi yang tidak mengalami kenaikan berat

badan 2 kali selama 6 bulan, beresiko 12,6 kali lebih besar mengalami gizi kurang

dibandingkan dengan balita yang berat badannya terus meningkat. Bila frekuensi

berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar (Depkes,

2005). Gizi kurang jika tidak segera ditangani dikhawatirkan akan berkembang

menjadi gizi buruk (Dewi, 2013).

Gizi buruk dapat dikatakan merupakan kurang gizi kronis akibat

kekurangan asupan energi dan protein yang berlangsung dalam jangka waktu yang

lama. Anak disebut mengalami gizi buruk apabila berat badan anak dibanding

umur tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

14

tanda-tanda bahaya (Moehji, 2002). Dampak gizi buruk pada anak terutama balita

antara lain :

a) Pertumbuhan badan dan perkembangan mental anak mengalami hambatan

hingga anak dewasa.

b) Mudah terserang penyakit diare, ISPA, dan yang lebih sering terjadi,

c) Bisa menyebabkan kematian apabila tidak diberikan perawatan yang

intensif.

Berdasarkan manifestasi klinisnya, gizi buruk terbagi menjadi tiga yaitu

gizi buruk karena kekurangan protein atau disebut kwashiorkor, akibat

kekurangan karbohidrat atau kalori atau yang dikenal dengan marasmus, dan

karena kekurangan kedua-duanya atau yang lebih dikenal dengan marasmus-

kwashiorkor. Gizi buruk sangat rentan terjadi pada anak balita (bawah lima tahun)

(Nency, 2005).

Gizi buruk sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, serta tingkat

kecerdasan anak. Gizi buruk yang diserta dengan penanganan yang buruk akan

memicu terjadinya penyakit lainnya yang pada akhirnya dapat menyebabkan

kematian (Subagyo, 2007).

Penentuan Status Gizi Balita

Ada dua jenis antropometri yang digunakan dalam mengidentifikasi status

gizi, yaitu berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Kedua ini disajikan dalam

bentuk indeks dan rasio berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan terhadap

umur (TB/U) dan rasio berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Status gizi

yang diukur dengan rasio BB/U mencerminkan status masa sekarang. Karena,

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

15

berat badan mencerminkan kondisi outcome tentang status gizi pada masa

sekarang. Rasio TB/U mencerminkan status gizi masa lalu, karena tinggi badan

merupakan outcome kumulatif status gizi sejak dilahirkan hingga saat sekarang

(Hidayat, 2005).

Di masa lalu, rujukan pertumbuhan dikembangkan menggunakan data dari

satu negara dengan mengukur contoh anak-anak yang dianggap sehat, tanpa

memperhatikan cara hidup dan lingkungan mereka. Mengingat hal tersebut World

Health Organization (WHO) telah mengembangkan standar pertumbuhan yang

berasal dari sampel anak-anak dari enam negara yaitu Brazil, Ghana, India,

Norwegia, Oman dan Amerika Serikat.

WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk

menyediakan data yang menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh,

dengan cara memasukkan kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan

kesehatan, dan tidak merokok). Penelitian tersebut mengikuti bayi normal dari

lahir sampai usia 2 tahun, dengan pengukuran yang sering pada minggu pertama.

Kelompok anak-anak lain umur 18 sampai 71 bulan, diukur satu kali. Data dari

kedua kelompok umur tersebut disatukan untuk menciptakan standar pertumbuhan

anak umur 0 sampai 5 tahun.

Indikator pertumbuhan digunakan untuk menilai status pertumbuhan anak

dengan mempertimbangkan umur, jenis kelamin dan hasil pengukuran. Dalam

modul ini akan dijelaskan cara melakukan penilaian status pertumbuhan

berdasarkan empat indikator berikut:

a) Panjang/Tinggi Badan Menurut Umur

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

16

b) Berat Badan Menurut Umur

c) Berat Badan Menurut Panjang/Tinggi Badan

d) Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut Umur

Untuk mengetahui ada tidaknya penurunan atau kenaikan berat badan

(BB) dapat dilihat pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Prinsipnya adalah anak yang

sehat, bertambah umur bertambah berat badan. Menurut Standar WHO BB ideal

anak laki-laki usia 2 tahun adalah 12,2 kg dan anak perempuan 11,5 kg. untuk

seterusnya setelah usia 2 tahun sampai 5 tahun, pertambahan BB rata-rata 2-2,5 kg

per tahun. Pemantauan panjang / tinggi badan juga perlu agar dapat diketahui

keadaan atau status gizi yang lebih akurat.

Tabel 2.1 Indikator Pertumbuhan Menurut Z-score

Z-score

Indikator Pertumbuhan

PB/U atau TB/U BB/U BB/PB atau

BB/TB IMT/U

Di atas 3 Lihat Catatan 1

Lihat Catatan 2

Sangat gemuk

(Obes)

Sangat gemuk

(Obes)

Di atas 2 Gemuk

(Overweight)

Gemuk

(Overweight)

Di atas 1

Risiko Gemuk

(Lihat

Catatan3)

Risiko Gemuk

(Lihat Catatan

3)

0 (Angka

Median)

Di bawah -1

Di bawah -2 Pendek (Stunted)

(Lihat Catatan 4)

BB Kurang

(Underweight) Kurus (Wasted)

Kurus

(Wasted)

Di bawah -3

Sangat Pendek

(Severe Stunted)

(Lihat Catatan 4)

BB Sangat

Kurang

(Severe

Underweight)

Sangat Kurus

(Severe

Wasted)

Sangat Kurus

(Severe

Wasted)

Sumber: Modul C Pelatihan Penilaian Pertumbuahan Anak WHO 2005

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

17

Catatan:

1. Seorang anak pada kategori ini termasuk sangat tinggi dan biasanya tidak

menjadi masalah kecuali anak yang sangat tinggi mungkin mengalami

gangguan endokrin seperti adanya tumor yang memproduksi hormon

pertumbuhan. Rujuklah anak tersebut jika diduga mengalami gangguan

endokrin (misalnya anak yang tinggi sekali menurut umurnya, sedangkan

tinggi orang tua normal).

2. Seorang anak berdasarkan BB/U pada katagori ini, kemungkinan

mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi akan lebih baik bila anak ini

dinilai berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB atau IMT/U.

3. Hasil ploting di atas 1 menunjukkan kemungkinan risiko. Bila

kecenderungannya menuju garis Z-score 2 berarti risiko lebih pasti.

4. Anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan menjadi gemuk

bila mendapatkan intervensi gizi yang salah.

2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang

Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus,

kemudian pada tahun 2005 turun menjadi 4,42 juta kasus, tahun 2006 turun lagi

menjadi 4,2 juta kasus (944.246 di antaranya merupakan kasus gizi buruk) dan

tahun 2007 turun menjadi 4,1 juta (755.397 di antaranya merupakan kasus gizi

buruk) (Depkes, 2008).

Prevalensi nasional gizi kurang pada balita pada tahun 2008 adalah 13,0%

dan gizi buruk pada balita 5,4%. Hal ini menunjukkan capaian target MDGs

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

18

sebesar 18,5% dalam program perbaikan gizi, maupun target Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebesar 20%. Meskipun telah ada target

tersebut, sebanyak 19 provinsi memiliki prevalenzi gizi buruk dan gizi kurang

diatas target prevalensi nasional termasuk provinsi NTT (Badan Litbang

Kesehatan, 2008).

Secara nasional anak balita dengan status gizi kurang ditargetkan harus

kurang dari 15,0% pada tahun 2012 (Bappenas, 2011). Laporan Riset Kesehatan

Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan prevalensi gizi buruk dan kurang di

Indonesia sebesar 17,9% yang terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 4,9%.

Sekitar 37,3 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan.

Sebagian dari total rumah tangga mengkonsumsi energi dan protein kurang dari

kebutuhan tubuh sehari-hari. Sebanyak 5 juta balita berstatus gizi kurang dan

lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap masalah kurang gizi (Hadi, 2005).

Pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat kelima Negara dengan

kasus gizi kurang dan buruk terbanyak di dunia. Hal ini disebabkan karena jumlah

penduduk Indonesia yang menempati peringkat keempat negara dengan jumlah

penduduk terbesar di dunia. Jumlah anak balita yang mengalami gizi kurang di

Indonesia saat ini tercatat sekitar 900 ribu jiwa atau 4,5% dari jumlah keseluruhan

anak balita di Indonesia yakni 23 juta jiwa (Tarigan, 2012).

Daerah yang penduduknya mengalami gizi kurang tersebar hampir di

seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya daerah bagian timur Indonesia. Masalah

gizi kurang sering kali tidak terpantau dengan baik yang akhirnya tidak dapat

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

19

diatasi secara maksimal. Padahal masalah ini dapat memunculkan masalah yang

besar (Bappenas, 2011).

Krisis ekonomi bangsa menjadi salah satu pencetus terjadinya masalah gizi

di masyarakat. Status gizi yang buruk mengakibatkan terjadinya lost generation

yaitu suatu generasi dengan jutaan anak mengalami kekurangan gizi sehingga

tingkat kecerdasan (IQ) anak pun menjadi lebih rendah. Anak yang mengalami

kurang energi protein (KEP) mempunyai IQ yang lebih rendah 10-13 skor jika

dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami KEP. Anak yang terkena

anemia mempunyai IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan dengan anak yang

tidak anemia (UNICEF, 1998). Anak yang mengalami gangguan akibat

kekurangan iodium (GAKI) terancam mempunyai IQ yang lebih rendah 50 skor

dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami GAKI (Karsin, 2004).

Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight)

berdasarkan indeks BB/U dan pendek atau sangat pendek (stunting) berdasarkan

indeks TB/U dibanding standar WHO mempunyai resiko kehilangan tingkat

kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 10-15 poin (UNICEF, 1998).

2.3 Determinan Status Gizi

UNICEF (1990) menjelaskan bahwa upaya perbaikan gizi lebih efektif bila

memperhatikan faktor penyebabnya, dimana determinan kekurangan gizi di

masyarakat disebabkan oleh pemberian makanan yang tidak seimbang dan

penyakit infeksi. Pola asuh, ketersediaan makanan, air bersih, sanitasi serta

ketersediaan pelayanan kesehatan dasar dianggap sebagai faktor yang

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

20

Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan yang rendah

Penyediaan

makanan di

rumah

Penyebab

Langsung

Pola Asuh

dan perawatan anak

Kebersihan dan

sanitasi

Pelayanan

Kesehatan

Outcome

Status Infeksi Konsumsi Makanan

Status gizi Anak

Rendahnya pemberdayaan wanita dan keluarga, pemanfaatan sumber

daya masyarakat yang kurang

Gambar 2.1 Determinan Status Gizi Anak

Akar Masalah

Sumber : UNICEF 1990 disesuaikan dengan keadaan Indonesia

Pokok Masalah

Penyebab tidak

Langsung

berpengaruh tak langsung terhadap permasalahan gizi. Akar masalah dari faktor

tidak langsung tersebut dijelaskan adalah kemiskinan, kurang pangan, kurang

pengetahuan dan pendidikan seperti tergambar pada gambar 2.1.

2.3.1 Faktor Langsung

Secara umum, status gizi dipengaruhi oleh dua faktor langsung yaitu

asupan makanan dan infeksi penyakit. Asupan makanan sangat mempengaruhi

status gizi. Status gizi akan berkembang secara optimal bila tubuh memperoleh

zat-zat gizi yang dibutuhkan dan digunakan secara efisien, sehingga mendukung

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

21

maksimal. Status gizi kurang diakibatkan karena kurangnya asupan satu atau lebih

zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Almatsier, 2006). Infeksi penyakit

berkaitan erat dengan pelayanan kesehatan dan perawatan anak dan ibu hamil

(Supariasa, 2002). Penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan

atas (ISPA) mengakibatkan terganggunya proses penyerapan zat gizi oleh tubuh

sehingga, zat gizi tidak dapat terserap dengan baik (UNICEF, 2009).

2.3.1.1 Konsumsi Makan

UNICEF (1990) menjelaskan bahwa penyebab langsung status gizi anak

dipengaruhi adalah konsumsi makanan dan status infeksi anak. Bila seorang bayi

dan anak balita tidak mendapat Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping

ASI (MP-ASI) yang tepat maka daya tahan tubuh anak akan menjadi rendah

sehingga mudah terserang infeksi penyakit.

Konsumsi makanan haruslah memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi

yang dibutuhkan tubuh, meliputi memenuhi syarat makanan beragam, bergizi dan

berimbang. Pada tingkat yang lebih luas, ketersediaan pangan sangat erat

kaitannya dengan produksi dan distribusi bahan pangan. Ketersediaan pangan

beragam yang tersedia sepanjang waktu dan dalam jumlah yang cukup dan dengan

harga yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat sangat menentukan

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat asupan makanan keluarga.

Anak balita (dibawah lima tahun) merupakan kelompok masyarakat yang

sangat rentan mengalami masalah gizi. Pada fase ini anak mengalami fase tumbuh

kembang yang sangat pesat, sehingga sangat membutuhkan asupan makanan yang

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

22

sesuai dengan kebutuhan tubuh dan bergizi. Makanan yang bergizi adalah

makanan yang didalamnya terkandung karbohidrat, vitamin, mineral, dan protein.

Makanan yang bergizi justru cenderung kurang diminati anak karena pada anak

balita kerapkali terjadi masalah dalam pemberian makanan karena factor kesulitan

makan anak, yang mana anak suka memilih-milih makanan ataupun sulit untuk

diberikan makanan (Judarwanto, 2004).

Anak sulit makan merupakan salah satu masalah makan yang kerapkali

dialami oleh orang tua. Beberapa keluhan yang sering terjadi antara lain memilih-

milih makanan, menolak makan, tidak mau makan sama sekali, kalau diberi

makan muntah, mengeluh sakit perut, dan adanya peningkatan emosi saat diminta

untuk makan. Keluhan-keluhan tersebut merupakan indikasi bahwa anak sedang

mengalami gangguan makan (Zaviera, 2008).

Pada usia balita, gangguan kesulitan ini seringkali terjadi karena aktifitas

anak yang meingkat sepertti bermain dan berlari sehingga kadang anak sampai

lupa waktu dan melupakan rasa lapar mereka. Pola pemberian makan yang tidak

sesuai dengan keinginan anak pun menjadi penyebab anak menjadi sulit makan,

sedangkan pada balita terus terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan yang

sangat membutuhkan kecukupan nutrisi. Nutrisi yang dikonsumsi pada usia balita

mengalami banyak perubahan mulai dari perubahan bentuk makanan diawali

dengan ASI yang bentuknya cair, lalu perlahan-lahan ditingkatkan dengan asupan

makanan bertekstur halus dan sampai akhirnya diberikan makanan bertekstur

padat sebagai asupan utama (Irwanto, 2002).

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

23

Gangguan kesulitan makan pada anak, perlu mendapatkan perhatian serius

dan ditangani secepatnya agar tidak menimbulkan efek negative nantinya. Efek

negatif yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah kekurangan gizi, menurunnya

daya intelegensi dan menurunnya daya tahan tubuh anak yang berakibat anak

mudah terserang penyakit dan akhirnya akan menghambat tumbuh kembang

optimal pada balita (Santoso, 2009).

Konsumsi makan juga mencakup pola pemberian makan, yaitu pola

pemberian ASI eksklusif dan pola pemberian MP-ASI.

1) ASI eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan hasil sekresi dari kelenjar payudara ibu

yang berbentuk cairan. Air Susu Ibu Eksklusif (ASI eksklusif) adalah air susu

ibu yang diberikan selama 6 (enam) bulan kepada bayi tanpa adanya

penambahan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lainnya

(Kemenkes, 2012).

ASI eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin setelah persalinan,

diberikan tanpa terjadwal dan tanpa diberikan makanan atau minuman lain,

bahkan air putih sekalipun, hingga bayi berusia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan,

bayi mulai diperkenalkan dengan makanan atau minuman lain dan tetap

diberi ASI hingga bayi berumur dua tahun (Depkes, 2008).

Bayi yang baru lahir umumnya diberikan air susu setiap 2 sampai 3 jam

sekali. Waktu dan jarak menyusui akan semakin meningkat seiring bertambah

usianya, karena daya tampung mereka menjadi lebih besar. Hal sebaliknya

terjadi pada bayi baru lahir yang diberikan susu formula. Meraka akan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

24

mengkonsumsi susu kira-kira 3 sampai 4 jam sekali, selama minggu-minggu

pertama kehidupan mereka (Baskoro, 2008).

ASI eksklusif merupakan salah satu langkah yang paling efektif untuk

mencegah terjadinya kematian anak, namun Survei Demografi Kesehatan

Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa dari tiga bayi di bawah usia enam

bulan, hanya satu bayi yang diberikan ASI eksklusif. Hasil survey ini

menunjukkan bahwa sebagian besar bayi di Indonesia tidak mendapatkan

manfaat ASI yang optimal, dalam hal ini berkaitan dengan gizi dan

perlindungan tubuh terhadap penyakit.

Tahun 2014, hanya sepertiga ibu di Indonesia yang secara eksklusif

menyusui anak-anak mereka hingga usia enam bulan. Banyak hal yang

menjadi hambatan bagi ibu untuk menyusui, termasuk dukungan keluarga

yang rendah, beberapa ibu juga takut akan kesakitan ketika menyusui dan

tidak praktis (UNICEF, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hafrida tahun 2004 yang

dilakukan di kelurahan Belawan Bahari, anak-anak dengan keadaan gizi yang

baik atau normal berkaitan erat dengan perilaku pemberian ASI, dimana

mereka yang tidak pernah diberi ASI ternyata keadaan gizinya lebih rendah.

Di samping itu, ketahanan hidup bayi yang pernah mendapatkan ASI adalah

984 per 1000, sedangkan ketahanan hidup yang tidak pernah mendapat ASI

hanya 455 per 1000 (Nurmiati, 2008; Alharini, 2012).

Faktor pendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif sampai umur 6

bulan adalah adanya motivasi ibu untuk menyusui, sedangkan factor

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

25

penghambat keberlanjutan pemberian ASI adalah keyakinan ibu bahwa bayi

tidak akan cukup memperoleh zat gizi jika hanya diberi ASI sampai umur 6

bulan dan kepercayaan akan susu formula (Alharini, 2012).

2) MP-ASI

Makanan pendamping ASI merupakan makanan yang diberikan kepada

bayi atau anak selain ASI untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan gizi. MP-

ASI mulai diberikan kepada bayi atau balita sejak berumur 6 bulan, sebab jika

pasca usia 6 bulan bayi hanya diberikan ASI saja, maka kebutuhan gizi bayi

hanya terpenuhi 60%-70%. Kebutuhan lainnya yang tidak dapat dipenuhi

oleh ASI yaitu sebesar 30%-40% terpenuhi dari asupan makanan pendamping

atau tambahan (Indiarti, 2008).

Makanan Pendamping ASI harus mulai diberikan saat bayi berusia 6

bulan, karena sebelum usia 6 bulan, sistem pencernaan bayi masih belum

sempurna, seperti enzim-enzim pemecah protein diantaranya asam lambung,

pepsin, lipase, enzim amylase belum dihasilkan secara sempurna. Enzim-

enzim ini akan mulai diproduksi sempurna sejak bayi berusia 6 bulan. Selain

itu pada usia 6 bulan adalah saat di mana bayi mulai belajar menunyah dan

menelan makanan padat sehingga risiko tersedak menjadi berkurang. Pada

usia bayi 6-12 bulan, ASI hanya mencukupi setengah atau lebih dari

kebutuhan gizi bayi, memasuki usia 12-24 bulan, ASI hanya menyediakan

sepertiga dari kebutuhan gizinya sehingga diperlukan makanan pendamping

untuk mencukupi kebutuhan gizi tubuhnya (Satyawati, 2012).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

26

Bentuk MP-ASI terbagi menjadi 3 yakni makanan lumat, makanan lembek

dan makanan keluarga. Pada usia 6-9 bulan makanan terbaik adalah yang

teksturnya cair dan lembut seperti bubur buah, bubur susu atau bubur sayuran

yang dihaluskan. Memasuki usia 10-12 bulan, bayi mulai diperkenalkan

dengan makanan kental dan padat, namun harus tetap bertekstur lunak, seperti

aneka nasi tim. Pada usia 12-24 bulan bayi sudah dapat dikenalkan pada

makanan keluarga atau makanan padat seperti orang dewasa namun tetap

harus mempertahankan rasa. Hal yang peril diingat dalam pemberian

makanan pada bayi adalah menghindari jenis makanan yang dapat

mengganggu organ pencernaan, seperti makanan pedas, terlalu berbumbu

tajam, terlalu asam dan berlemak (Wulayani, 2012).

Pemberian makanan yang terlalu dini selain ASI dapat menimbulkan

gangguan pencernaan seperti diare, muntah dan sulit buang air besar pada

bayi. Sebaliknya, pemberian makanan yang terlalu lambat dapat

menyebabkan bayi mengalami kesulitan untuk belajar mengunyah, tidak

menyukai makanan padat, bayi mengalami kesulitan makan, dan akhirnya

bayi kekurangan gizi (Cott, 2003; Susanty, 2012). Pemberian MP-ASI yang

terlalu dini juga menyebabkan produksi ASI berkurang karena anak sudah

kenyang dan jarang menyusu. Selain itu menimbulkan alergi di kemudian hari

karena usus bayi masih mudah dilalui protein asing. Terlalu lambat

memberikan makanan pendamping juga tidak baik karena ASI saja hanya

bisa memenuhi kebutuhan bayi sampai 6 bulan. Sehingga pemberian MP ASI

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

27

lebih dari itu kemungkinan bayi akan mengalami malnutrisi (Soetjiningsih,

2004).

WHO menyarankan, makanan lumat dan lembek yang diberikan

hendaknya sudah lengkap terdiri dari sumber karbohidrat, protein, lemak,

mineral dan vitamin, pengenalan berbagai campuran bahan makanan, rasa dan

tekstur ini berguna untuk memperkaya zat gizi MP-ASI, keberagaman juga

bermanfaat untuk membantu penyerapan zat-zat gizi yang lain (Satyawati,

2012).

Kondisi status gizi baik akan dapat tercapai apabila asupan gizi yang

dibutuhkan oleh tubuh dapat tercukupi yang kemudian akan dimanfaatkan

secara efisien oleh tubuh untuk menopang pertumbuhan fisik, perkembangan

otak, dan ketahanan tubuh untuk bekerja demi tercapainya kesehatan yang

optimal (Roesli, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian Munawaroh (2006)

yang dilakukan di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa balita

dengan pola makan yang tidak baik lebih berisiko 8,1 kali untuk mengalami

status gizi kurang dari pada balita dengan pola makan yang baik.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rahmani tahun 1997 di

Sumatera Utara, usia pemberian MP-ASI pertama kali mempunyai hubungan

dengan status gizi anak balita. Sebagian besar ibu (69,05%) memberikan MP-

ASI tepat waktu kepada anaknya. Anak yang diberi MP-ASI pada usia ≥6

bulan mempunyai status gizi yang baik (Rahmani, 1997; Susanty, 2012)

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

28

2.3.1.2 Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi berkaitan erat dengan tingginya kejadian penyakit

menular dan buruknya sanitasi lingkungan. Penyakit infeksi dapat memperparah

keadaan gizi, terutama penyakit infeksi yang berat karena penyakit infeksi akan

mempengaruhi asupan gizi sehingga meningkatkan kehilangan zat-zat gizi yang

sangat dibutuhkan oleh tubuh yang berakhir pada status gizi yang semakin buruk.

Terdapat hubungan yang sangat erat antara infeksi penyakit dengan kejadian

malnutrisi. Terjadi hubungan yang timbal balik antara malnutrisi dengan penyakit

infeksi. Infeksi akan mempengaruhi status gizi dengan mempercepat malnutrisi,

dan sebaliknya malnutrisi menyebabkan anak mudah terserang penyakit infeksi

(Pudjiadi, 2001).

Mekanisme patologisnya berupa penurunan asupan zat gizi akibat

berkurang atau hilangnya nafsu makan sehingga menurunkan absorpsi zat-zat gizi

bagi tubuh, dan kebiasaan mengurangi asupan makanan saat sakit seperti batuk

pilek, serta terjadinya peningkatan kehilangan cairan tubuh dan zat gizi akibat

diare, mual muntah dan perdarahan yang terus menerus. Beberapa penyakit

infeksi yang sering diderita anak balita antara lain diare dan ISPA (Pudjiadi, 2003;

Kusriadi, 2010).

Diare, radang tenggorokan, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh anak balita. ISPA dan

diare terjadi pada anak balita karena sistem pertahanan tubuh anak rendah

(Adisasmito, 2007).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

29

2.3.2 Faktor Tidak Langsung

2.3.2.1 Sosial Ekonomi

Menurut Supariasa (2002), faktor sosial ekonomi meliputi data sosial

keadaan penduduk, keadaan keluarga diantaranya pekerjaan, pendapatan keluarga,

kekayaan, pengeluaran, banyaknya anggota dalam keluarga, dan harga makan.

Status ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau

pengeluaran keluarga baik pangan maupun non pangan selama satu tahun terakhir.

Pendapatan keluarga adalah rata-rata besarnya penghasilan yang diperoleh oleh

seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan

kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah

maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan non

pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non

pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah

terpenuhi (Kusriadi, 2010).

Jumlah pengeluaran pada keluarga dengan pendapatan rendah biasanya

akan lebih besar daripada pendapatan mereka. Pendapatan merupakan faktor yang

paling berkaitan erat dengan jumlah dan mutu makanan yang nantinya akan

mempengaruhi status gizi. Meningkatnya pendapatan akan berbanding lurus

dengan peningkatan perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang

berkaitan dengan gizi (Berg, 1987; Diah, 2011).

Sosial ekonomi adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap

kelangsungan hidup anak baik sakit maupun sehat. Pendapatan keluarga sebagai

salah satu determinan sosial ekonomi akan mempengaruhi keputusan keluarga

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

30

dalam memilih barang-barang konsumsi dengan mempertimbangkan nilai

kepentingan barang tersebut dibeli. Pendapatan juga menentukan daya beli

terhadap bahan pangan dan fasilitas lainnya seperti pendidikan, perumahan,

kesehatan dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka jumlah

pengeluaran total dan pengeluaran bahan makan cenderung akan ikut mengalami

peningkatan, maka ketersediaan makanan dalam keluarga akan semakin baik

sehingga asupan makanan juga akan meningkat dan meningkatkan status gizi

(Susianto, 2008).

Kusriadi (2010) dalam penelitiannya di NTB menjelaskan prevalensi gizi

buruk pada keluarga miskin lebih besar 37,5% dari keluarga tidak miskin,

disamping itu juga terdapat hubungan bermakna antara status ekonomi keluarga

dengan gizi kurang. Adanya hubungan antara sosial ekonomi keluarga dengan

ketahanan pangan dalam rumah tangga akan mempengaruhi asupan zat gizi dalam

keluarga dan berpengaruh terhadap status gizi anak.

2.3.2.2 Faktor Ibu

1) Pendidikan

Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani

oleh seseorang dan ditandai dengan kepemilikan ijasah. Pendidikan dapat

mempengaruhi seseorang dalam mencapai kesehatan yang optimal terutama

berkaitan dengan pola asuh anak, pemenuhan zat gizi serta informasi

kesehatan lainnya. Pendidikan ibu yang rendah menyebabkan keterbatasan

dalam memenuhi segala kebutuhan anak serta keluarga terhadap asupan gizi.

Dengan pendidikan yang baik, ibu dapat menunjang perekonomian keluarga

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

31

juga berperan dalam penyusunan menu makan sehat bagi keluarga dan

perawatan anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi

memudahkan menerima dan mengaktualisasikan informasi kesehatan

khususnya dibidang gizi (Depkes, 2005).

Dalam kehidupan bermasyarakat, tingkat pendidikan merupakan

salah satu penilaian yang menentukan seseorang citra sosialnya dimata

manusia lainnya. Tingkat pendidikan juga dapat menunjukkan keadaan sosial

ekonomi di dalam masyarakat. Pendidikan pada dasarnya betujuan untuk

merubah perilaku dan pengaruh sosial budaya yang menghambat perbaikan

kesehatan menjadi perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga dapat

meningkatkan taraf kesehatan perorangan maupun masyarakat (Soekirman,

2000).

Ernawati (2006) menjelaskan bahwa penerimaan informasi

seseorang tentang gizi sangat dipengaruhi oleh pendidikan dimana

masyarakat yang mempunyai pendidikan yang rendah akan sulit menerima

informasi baru berkaitan dengan bidang gizi sehingga tetap mempertahankan

tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan walaupun tradisi tersebut

tidak tepat. Selain itu tingkat pendidikan juga mempengaruhi penerimaan

seseorang dalam menerima suatu pengetahuan. Jika tingkat pendidikan

seseorang rendah, maka akan sulit bagi orang tersebut untuk menyerap

informasi yang diberikan termasuk pendidikan dan informasi tentang gizi

sehingga sulit untuk mencapai pola hidup bersih dan sehat. Begitu juga

sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

32

mudah orang tersebut menerima pendidikan ataupun pengetahuan tentang

gizi, dimana diharapkan dengan pendidikan gizi tersebut akan dapat tercipta

pola hidup yang baik dan sehat.

Lestari (2006) menerangkan pendidikan ibu sangat berpengaruh

terhadap status gizi balita. Lebih lanjut ditekankan oleh Anwar (2005) bahwa

tingkat pendidikan ibu beresiko 2,3 kali terhadap kejadian gizi buruk di

Lombok Timur.

Pendidikan dan kesehatan merupakan hal mendasar yang diperlukan

dalam membentuk kemampuan manusia yang lebih baik. Kesehatan

merupakan salah satu penentu kesejahteraan dan pendidikan merupakan hal

pokok yang menentukan tercapainya kesehatan yang optimal dan perbaikan

kehidupan kearah yang lebih baik (Kusriadi, 2010).

2) Pengetahuan

Ibu adalah orang yang paling berperan penting dalam menentukan

konsumsi makanan keluarga khususnya untuk anak balita. Pengetahuan yang

dimiliki oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi makanan

keluarga. Jika pengetahuan ibu tentang gizi rendah, maka berakibat

rendahnya anggaran belanja untuk makanan, keanekaragaman makanan

kurang, serta kurangnya asupan gizi bagi tubuh. Pengeluaran keluarga akan

lebih besar pada pembelian kebutuhan papa, yang tidak terlalu mendesak

untuk dipenuhi karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan. Gangguan

gizi juga disebabkan oleh kekurangmampuan ibu dalam mengolah informasi

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

33

mengenai gizi untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Ernawati,

2006).

Berg dalam Hidayat (2006) menegaskan bahwa pengetahuan sangat

mempengaruhi penentuan komposisi dan pola konsumsi pangan. Walaupun

keluarga mampu membeli dan menyiapkan pangan, tetapi bila tidak disertai

dengan pengetahuan gizi yang tepat akan tetap menjadi masalah.

Istiono (2009), menerangkan bahwa tingkat pengetahuan

mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam memilih makananan

untuk dikonsumsi, yang di kemudian hari akan berdampak pada keadaan gizi

orang tersebut. Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu factor

yang sangat berpengaruh terhadap status gizi anak balita.

3) Jarak Kelahiran Anak

Jarak kelahiran adalah perbedaan kelahiran dalam hitungan tahun

antara anak yang terakhir dengan yang diatasnya. Jarak kelahiran yang terlalu

dekat akan meningkatkan kejadian bayi lahir yang belum cukup umur dengan

berat bayi lahir rendah. Status gizi yang rendah terkait pula dengan terlalu

dekatnya jarak kelahiran yang akan diikuti dengan pendeknya waktu

menyusui ibu kepada bayinya. Akhirnya jarak antar kelahiran yang pendek

akan mengakibatkan terjadinya kompetisi dari anak-anak dalam pembiayaan

untuk kebutuhan makan, kesehatan dan pendidikan yang akhirnya

berpengaruh kepada status gizi dan kesehatan anak-anak (Wilopo, 2010).

Anak yang lahir dengan jarak kelahiran tiga sampai lima tahun dengan

kelahiran sebelumnya mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

34

tinggi 2,5 kali dari pada anak yang lahir dengan jarak kelahiran kurang dari

dua tahun. Anak-anak yang lahir dengan jarak kelahiran lebih dari tiga tahun

dengan kelahiran sebelumnya tingkat kesehatannya lebih tinggi saat mereka

dilahirkan dan kemungkinan hidup yang lebih baik pada setiap tahap tumbuh

kembangnya (Depkes, 2005).

4) Jumlah anak

Program KB merupakan salah satu upaya membenahi dan

memperbaiki kesejahteraan keluarga yang patut dilihat dalam hubungannya

dengan masalah gizi. keluarga dengan jumlah anak yang banyak dan jarak

kelahiran antar anak yang berdekatan akan menimbulkan lebih banyak

masalah (Apriadji, 1986).

Sebagaimana pemberantasan gizi kurang pada anak-anak dan ibu

hamil dapat mendorong kearah terbentuknya keluarga kecil, maka pembatasan

jumlah anggota keluarga bisa membantu memperbaiki gizi dan daya tahan

anak-anak. Survei pangan di India memperlihatkan bahwa persediaan protein

per anak dalam keluarga yang mempunyai satu atau dua anak akan lebih tinggi

22% (kira-kira 13% perkepala) dibandingkan dengan keluarga yang

mempunyai anak lebih dari 2 (Berg, 1986).

5) Pekerjaan Ibu

Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah

seorang ibu yang bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan di

samping membesarkan dan mengurus anak di rumah. Lerner (2001), ibu

bekerja adalah ibu yang memiliki anak dari umur 0-18 tahun dan menjadi

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

35

tenaga kerja. Kemiskinan yang semakin meningkat dan semakin tingginya

angka pengangguran merupakan penyebab banyaknya ibu yang bekerja pada

masa sekarang terutama di Negara berkembang termasuk Indonseia (Tjaja,

2000).

Ibu yang bekerja tidak saja mempunyai dampak positif terhadap status

gizi anak, tetapi juga membawa dampak negative. Ibu yang bekerja akan lebih

membantu perekonomian keluarga dalam rangka mencukupi kebutuhan

makanan anggota keluarga, namun juga membawa dampak negative dimana

ibu menjadi tidak memperhatikan tumbuh kembang anak sehingga anak

menjadi tidak berkembang dan betumbuh secara optimal. Begitupula

sebaliknya pada ibu yang tidak bekerja yang dapat meluangkan waktu

sepenuhnya untuk merawat anaknya, namun mengalami kesulitan memenuhi

asupan gizi anak karena tidak mampu membeli makanan yang bergizi akibat

ekonomi yang lemah, hal ini terutama cenderung terjadi pada keluarga dengan

ekonomi lemah.

2.3.2.3 Sanitasi

Sanitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan masyarakat dengan

menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi derajat kesehatan manusia (Azwar, 1995; Diah 2011). Sanitasi

adalah upaya kesehatan yang dilakukan dengan cara memelihara kebersihan

lingkungan dari subyeknya, misalnya menyediakan air yang bersih untuk

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

36

keperluan konsumsi, menyediakan tempat sampah untuk menampung sampah

agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004).

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang

mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan

sebagainya (Notoadmodjo, 2003). Soekirman (2000) menyatakan bahwa sanitasi

lingkungan sangat erat kaitannya status gizi. Persediaan air bersih, ketersediaan

jamban, sistem pembuangan air limbah, dan kebersihan alat makan pada setiap

keluarga mempengaruhi setiap anggota keluarga terhadap paparan penyakit yang

kemudian berpengaruh terhadap status gizi anak.

Kurangnya air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai serta

praktek-praktek kebersihan yang buruk adalah beberapa penyebab yang mendasari

penyakit malaria dan kematian pada anak-anak. Jika anak mengalami diare yang

disebabkan karena kurangnya air bersih atau karena praktek kebersihan yang

buruk, maka akan menguras nutrisi dari tubuhnya. begitu seterusnya, dari buruk

menjadi lebih buruk (UNICEF, 2008)

Tingkat higienitas dan sanitasi lingkungan merupakan salah satu faktor

resiko terhadap kejadian gizi buruk dan merupakan determinan penting dalam

bidang kesehatan. Sanitasi yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya

gizi balita yang baik (Istiono, 2009). Rumah tangga di daerah Indonesia Timur

umumnya mempunyai kondisi yang lebih buruk dari daerah Indonesia Barat.

Sekitar 40,0% rumah tangga di NTB, NTT, Maluku dan Papua berkondisi tanpa

sanitasi yang baik (Atmarita, 2006). Data Riskesdas 2010 menunjukkan akses

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

37

rumah tangga terhadap sanitasi yang layak secara nasional baru mencapai 55,53%

dan Provinsi NTT paling rendah yaitu 25,35%.

Sanitasi rumah adalah upaya yang dilakukan masyarakat demi tercapainya

kesehatan yang optimal dengan menitikberatkan pada pengawasan terhadap

struktur fisik rumah. Hal-hal yang mencakup sanitasi rumah meliputi suhu,

ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban, penerangan alami, konstruksi bangunan,

sarana pembuangan sampah, saranan pembuangan kotoran manusia, sistem

pembuangan air limbah dan penyediaan air bersih. Sanitasi rumah yang tidak

memadai seperti rumah yang lembab, tidak memiliki fasilitas air bersih dan sistem

pembuangan sampah dan kotoran manusia yang tidak terjamin akan menyebabkan

lingkungan yang tidak sehat (Kusriadi, 2010).

Lingkungan rumah yang kotor memungkinkan berkembangnya penyakit-

penyakit. Anak balita sebagai kelompok umur yang rawan akan mudah terinfeksi

penyakit. Hal ini berkaibat pada semakin lemahnya kondisi tubuh dan

menurunkan nafsu makan dan selanjutnya berpengaruh terhadap status gizinya

(Ginting, 1997; Diah, 2011).

Menurut Notoadmojo (2003) suatu rumah dikatakan sehat bila memenuhi

syarat-syarat diantaranya, 1) ventilasi yang cukup sehingga aliran udara di dalam

tetap segar, 2) pencahayaan ke dalam rumah yang cukup baik, 3) rumah memiliki

fasilitas penyediaan air bersih yang memadai, tempat pembuangan tinja yang baik,

saluran pembuangan air limbah, tempat pembuangan sampah, dapur dan ruang

kumpul keluarga, 4) bahan bangunan rumah meliputi lantai, dinding dan atap.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

38

Hidayat (2006), menjelaskan bahwa kondisi kesehatan rumah tangga yang

mencangkup fasilitas pembuangan air besar dan sumber air minum secara

deskritif berkaitan dengan prevalensi status gizi balita. Rumah tangga yang

memiliki fasilitas jamban sendiri memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang

lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang menggunakan fasilitas

pembuangan air besar pada jamban di kamar mandi umum. Sementara rumah

tangga yang mengkonsumsi air dari sumber air minum yang bersih memiliki

prevalensi gizi buruk dan gizi kurang lebih rendah dibandingkan dengan rumah

tangga yang menggunakan sumber air minum lainnya.

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam

penentuan status gizi balita. Lingkungan dan sanitasi yang buruk dapat

menyebabkan penyakit kurang gizi (Sukarni, 1999; Diah, 2011). Bappenas (2009)

menegaskan bahwa semakin baik sanitasi maka semakin rendah kematian anak

dan semakin baik nutrisi anak. Selain itu akses dan penggunaan air bersih,

sanitasi, kebiasaan mencuci tangan pada keluarga dan individu memiliki efek

langsung terhadap status kesehatan. Studi di delapan negara menunjukkan

penggunaan air bersih secara langsung telah berpengaruh terhadap kesehatan anak

yaitu penurunan anak yang terkena diare sebesar 6,0% dan berpengaruh tidak

langsung terhadap status gizi anak.

Kusriadi (2010) dalam penelitiannya di Propinsi NTB menunjukkan

bahwa sanitasi lingkungan yang tidak memadai meningkatkan risiko gizi buruk

1,33 kali lebih tinggi dari lingkungan sanitasi yang memadai. Hal yang sama juga

dijelaskan oleh Ginting dalam Diah (2011) lingkungan yang kurang baik

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

39

berpengaruh 2,8 kali dibanding lingkungan yang baik terhadap status gizi balita

dan KEP balita di Kecamatan Menpawah Pontianak.

2.3.2.4 Pelayanan Kesehatan Dasar

Pelayanan kesehatan dasar adalah keterjangkauan keluarga dan masyarakat

terhadap upaya pencegahan terhadap penyakit dan pemeliharaan kesehatan yang

meliputi immunisasi, pertolongan persalinan, pemeriksaan kehamilan,

pemantauan pertumbuhan anak melalui penimbangan anak, penyuluhan kesehatan

dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek

swasta, rumah sakit dan klinik lainnya. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan

karena hambatan ekonomi maupun non ekonomi seperti jarak yang jauh, tidak

mampu membayar, kurang pengetahuan dan penyebab lainnya merupakan

masalah dan kendala masyarakat maupun keluarga dalam memanfaatkan sarana

pelayanan kesehatan yang tersedia, yang pada akhirnya akan berakibat pada

kondisi status kesehatan anak (Depkes, 2008)

Salah satu akses pelayanan kesehatan dasar primer adalah posyandu.

Posyandu merupakan tempat melakukan pemantauan pertumbuhan anak dan

tempat untuk mendapatkan informasi dan edukatif di tingkat pelayanan kesehatan

dasar.

Walaupun posyandu masih merupakan pilihan utama untuk penimbangan

anak balita (81 %), tetapi hanya 56 % anak balita yang melakukan penimbangan

balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 (20,8 %) anak balita tidak pernah

ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Indikator D/S (jumlah anak yang ditimbang

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

40

terhadap jumlah seluruh anak di wilayah penimbangan tersebut) harus menjadi

indikator kinerja utama untuk memantau keberhasilan pemberdayaan keluarga dan

masyarakat (Riskesdas, 2010).

Kejadian gizi buruk dan kurang tidak terjadi secara tiba-tiba dan

mendadak, tetapi melalui suatu proses yang ditandai dengan adanya kenaikan

berat badan anak yang tidak normal selama beberapa bulan belakangan dan dapat

diketahui melalui penimbangan setiap bulannya. Penimbangan bulanan balita

yang dilakukan di posyandu merupakan sarana efektif untuk memantau

pertumbuhan dan melakukan deteksi secara dini jika terjadi gangguan

pertumbuhan sehingga tidak berkembang menjadi gizi buruk. Namun, kinerja

pemantauan pertumbuhan di posyandu dilaporkan belum optimal, sehingga kasus-

kasus gizi buruk ditemukan lebih banyak di luar mekanisme posyandu (Depkes,

2005).

Pada posyandu terdapat beberapa kegiatan salah satunya adalah

penimbangan bulanan balita. Penimbangan bulanan balita pada dasarnya adalah

upaya pemantauan pertumbuhan dan perkembanagan balita disertai dengan

kegiatan promosi kesehatan. Seorang anak yang mengikuti secara rutin dan teratur

pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat terlindungi dari kemungkinan

gangguan pertumbuhan yang serius seperti gizi buruk. Seorang yang mengalami

tiga kali tidak naik berat badan atau berat badan dibawah garis merah, jelas

mengalami gangguan pertumbuhan dan harus segera mendapatkan penanganan

agar tidak berkembang menjadi gizi buruk (Depkes 2005; Kusriadi, 2010).

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

41

Posyandu masih merupakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita.

Bappenas (2011) melaporkan hanya 56,0% anak balita dari 81,0% yang

melakukan penimbangan balita 4 kali atau lebih, bahkan 1 dari 5 anak balita

(20,8%) tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir. Kusriadi (2010) dalam

penelitian menjelaskan pemantauan pertumbuhan anak balita melalui

penimbangan dan pemanfaatan posyandu yang baik lebih sedikit mengalami gizi

kurang dibandingkan yang jarang melakukan penimbangan dan pemanfaatan

posyandu. Dengan demikian ibu yang teratur melakukan penimbagan terhadap

anak balitanya di posyandu dapat mendeteksi secara dini pertumbuhan anaknya

sehingga memberikan efek positif terhadap sikap dan prilaku ibu untuk menjaga

supaya berat badan anak tetap normal.

2.4 Studi Determinan Status Gizi

Supariasa (2002), menjelaskan status gizi anak disebabkan oleh berbagai

faktor. Secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi makanan dan

kesehatan. Konsumsi makanan meliputi zat gizi dalam makanan, ada tidaknya

pemberian makanan di luar keluarga, daya beli keluarga, kebiasaan makan,

persediaan makanan di rumah, kemiskinan, kurang pendidikan, kurang

ketrampilan dan krisis ekonomi.

Menurut Notoatmodjo (2005), keadaan sosial ekonomi merupakan aspek

sosial budaya yang sangat mempengaruhi status kesehatan dan juga berpengaruh

pada pola penyakit dan juga dapat berpengaruh pada kematian misalnya obesitas

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

42

banyak ditemukan pada golongan masyarakat berstatus ekonomi tinggi, malnutrisi

lebih banyak ditemukan pada kelompok masyarakat dengan ekonomi rendah.

Menurut Diah (2011) faktor yang paling berperan terhadap gizi buruk dan

kurang adalah frekuensi sakit anak, pengetahuan ibu, pendapatan perkapita dan

frekuensi ke posyandu. Hasil serupa ditunjukkan dalam penelitian Yusrizal

(2008), faktor sosial ekonomi masyarakat diantaranya pendidikan, pekerjaan,

pendapatan dan jumlah anggota keluarga sangat berpengaruh positif terhadap

status gizi anak. Sanitasi yang baik merupakan salah satu parameter tercapainya

gizi balita yang baik (Pudjiadi, 2003; Istiono, 2009).

Menurut Devi (2010) faktor yang paling dominan berhubungan dengan

status gizi adalah jenis pekerjaan ayah dan jenis pekerjaan ibu. Berdasarkan data

tingkat pendidikan orang tua dan jenis pekerjaan orang tua, keluarga yang

mempunyai balita gizi buruk atau kurang memperlihatkan indikasi dari golongan

keluarga yang tingkat pendapatannya rendah. Jenis Kelamin, umur balita, jumlah

anggota keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan jenis pekerjaan orang tua

berhubungan dengan status gizi balita di pedesaan.

Hidayat (2005), menjelaskan terdapat pengaruh yang signifikan antara

kesehatan rumah tangga dan asupan gizi terhadap status gizi balita. Peningkatan

kesehatan rumah tangga akan berdampak pada meningkatnya status gizi anak,

begitu pula sebaliknya jika kesehatan rumah tangga menurun, maka status gizi

anak pun mengalami penurunan. Disamping itu pendidikan ibu berpengaruh

positif terhadap status gizi balita. Sedangkan menurut Yusrizal (2008),

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gizi Buruk dan Kurang II.pdf · 2.2 Situasi Gizi Buruk dan Kurang Kasus gizi buruk dan kurang tahun 2004 tercatat berjumlah 5,1 juta kasus, ... 2011). Laporan

43

menjelaskan bahwa pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pengetahuan ibu memiliki

hubungan dengan status gizi balita.

Dalam penelitian yang dilakukan di Kabupaten Lombok Timur tahun 2005

menunjukkan bahwa terdapat hubungan status ekonomi, pendidikan ibu,

pengetahuan ibu dalam monitoring pertumbuhan, perhatian dari ibu,pemberian

ASI, kelengkapan imunisasi, dan asupan makanan balita dengan kejadian gizi

buruk (Kusriadi, 2010). Rendahnya pendidikan ibu mempengaruhi ketersediaan

pangan di tingkat rumah tangga, yang kemudian berpengaruh terhadap kuantitas

dan kualitas makanan yang dikonsumsi dan merupakan penyebab langsung

kejadian kurang gizi pada anak balita (Kosim, 2008). Selain pendidikan,

pemberian ASI dan kelengkapan imunisasi juga memiliki hubungan yang

bermakna dengan gizi buruk karena ASI dan imunisasi memberikan zat kekebalan

kepada balita sehingga balita tersebut menjadi tidak rentan terhadap penyakit.

Balita yang sehat tidak akan kehilangan nafsu makan sehingga status gizi tetap

terjaga baik (Supartini, 2002).

UNICEF (1990) menerangkan status gizi balita dipengaruhi oleh penyebab

langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung adalah asupan zat gizi dan

penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung terdiri dari tiga faktor besar

yaitu kesediaan pangan yang tidak cukup, pola asuhan yang tidak tepat dan

sanitasi lingkungan, serta kesehatan dasar yang kurang memadai.