34
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan), lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain) dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013; Thorat dan Sharma, 2010). 2.2 Epidemiologi Hingga saat ini MDT masih merupakan faktor utama dalam pengendalian penyakit kusta selama 3 dekade setelah diperkenalkannya obat ini untuk pertama kali. Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya MDT prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi penyakit kusta didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai <1 kasus per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan pada negara-negara dimana

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kustaerepo.unud.ac.id/17680/3/1114088206-3-BAB 2 KAJIAN...10 penyakit kusta bersifat endemik. Sebagai hasilnya target eliminasi penyakit kusta secara

Embed Size (px)

Citation preview

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kusta

Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang

disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit

dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ

lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Penyakit kusta memiliki

manifestasi klinis yang bervariasi dimana secara garis besar terdapat tiga

pembagian penyakit kusta yaitu tipe tuberkuloid (tipe kusta yang lebih ringan),

lepromatosa (tipe kusta yang lebih berat, dapat disertai keterlibatan organ lain)

dan borderline (terdapat gejala tuberkuloid maupun lepromatosa) (Sandle, 2013;

Thorat dan Sharma, 2010).

2.2 Epidemiologi

Hingga saat ini MDT masih merupakan faktor utama dalam

pengendalian penyakit kusta selama 3 dekade setelah diperkenalkannya obat ini

untuk pertama kali. Pada tahun-tahun pertama sejak diperkenalkannya MDT

prevalensi penyakit kusta menurun secara drastis hingga 45 %, sehingga WHO

kemudian mencanangkan program eliminasi penyakit kusta sebagai permasalahan

kesehatan masyarakat secara global pada tahun 2000. Eliminasi penyakit kusta

didefinisikan sebagai penurunan prevalensi penyakit hingga mencapai <1 kasus

per 10.000 populasi. Program ini terutama ditujukan pada negara-negara dimana

10

penyakit kusta bersifat endemik. Sebagai hasilnya target eliminasi penyakit kusta

secara global dapat dicapai pada tahun 2000 dengan perkecualian pada beberapa

negara dimana target eliminasi secara nasional baru dicapai pada tahun 2005

(WHO, 2014).

Berdasarkan data yang diperoleh dari 121 negara pada tahun 2014,

WHO melaporkan jumlah kasus baru yang terdeteksi adalah sebesar 213.899

jumlah ini menurun dibanding jumlah kasus baru pada tahun 2013 yaitu sebesar

215.656. Jumlah kasus baru terbanyak dilaporkan berasal dari Asia yaitu sebesar

154.834 (72%), kemudian Amerika 33.789, Afrika 18.597, Pasifik Barat 4337 dan

terakhir Meditarian Timur 2342. Berdasarkan data WHO Indonesia masih

menempati peringkat ketiga jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan Brasil

yaitu sebesar 17.025. Jumlah kasus baru ini mengalami peningkatan dibanding

tahun 2013 yaitu sebesar 16.856. Diantara negara di Asia, Indonesia juga

menempati jumlah kasus kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara

kasus baru yang terdeteksi, serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang

terbanyak yaitu sebesar 11,1%, sedangkan untuk jumlah kasus yang teregistrasi

selama trimester pertama 2015 berdasarkan data WHO adalah sebesar 175.554

(WHO, 2015). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik pada tahun

2013 jumlah kasus baru yang tecatat di provinsi Bali adalah sebesar 88 kasus

dengan 81 kasus MB dan 7 kasus PB, sedangkan pada tahun 2014 tercatat 81

kasus baru dengan 68 kasus MB dan 13 kasus PB. Angka prevalensi kusta di

Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah 0,21 per 10.000 penduduk (Yudianto dkk.,

2014; Sitohang dkk., 2015).

11

Penyakit kusta dapat mengenai semua usia namun yang terbanyak

adalah pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta

dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penyakit

kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang

ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Kemenkes RI, 2012).

2.3 Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang

merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur

pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali

ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 sehingga penyakit ini

dikenal pula sebagai Morbus Hansen (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010).

Mycobacterium leprae bersifat non motil berukuran panjang 1-8

mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat.

Tropisme dari bakteri ini adalah sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer

(sel Schwann). Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 13 hari, tumbuh maksimal

pada suhu 270 C hingga 30

0 C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010). Dinding sel

bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan

mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas

selular maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke

membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu

pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan

glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic

12

glycolipid-1 sangat imunogenik,dapat memicu imunoglobulin kelas

Imunoglobulin (Ig ) M yang ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta

tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013).

2.4 Patogenesis

Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas

didasari oleh respon imunitas pejamu (Gambar 2.1). Penderita kusta tipe

tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th

(T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada kulit dan saraf, yang

menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M.

leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan granuloma

dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi

yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe

lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 (IL-4

dan IL-10) yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T

CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe

borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia

dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).

13

Gambar 2.1

Spektrum Klinis Penyakit Kusta (Nath dan Chaduvula, 2010)

Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas

alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk

heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti

protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk., 2010). Lipoglikan lipomanan

(LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan

AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium,

berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag

dan imunomodulasi respon pejamu. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS

oleh sel fagosit melalui mekanisme respiratory burst (Hart dan Tapping, 2012).

Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR

4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle (Misch dkk., 2010).

14

Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1

dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui

pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali

lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi

oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan

lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan

mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan

IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae (Renault dan Ernst, 2015)

Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi

dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui

molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang

dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri

patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik

dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai

hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi

makrofag oleh PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α (Bath dan

Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012). Produk utama reaktivasi makrofag

adalah ROS dan nitric oxide (NO). Produksi ROS diperantarai oleh fagosit

oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal

dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS

dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal

superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan mengalami dismutasi

secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh

15

enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat

yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst (Abbas

dkk., 2015).

Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species

terutama NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide

synthase (iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai

respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila

dikombinasi dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi

sitrulin dan melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat

membentuk radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan

dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri

(Abbas dkk., 2015).

Gambar 2.2

Peran Makrofag pada Sistem Imunitas (Abbas dkk., 2015)

16

Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.

leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae

maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel

schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang

terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)

berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann,

selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer

diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin,

aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase

(Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan

Ernst, 2015). Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut

karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme

kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar

(Renault dan Ernst, 2015).

Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga

disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16,

IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang

dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis

sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron

yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang

merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf

disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf

17

sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst,

2015).

2.5 Cara Penularan

Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah M.leprae dan

sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak diobati. Kusta

tipe MB merupakan sumber infeksi yang lebih penting dibanding PB. Jumlah

bakteri pada kusta tipe lepromatosa dikatakan mencapai 7000 juta basil per gram

jaringan, sedangkan jumlah basil pada kusta tipe yang lain dikatakan lebih rendah,

namun semua kasus kusta yang aktif harus dipertimbangkan sebagai sumber

infeksi yang potensial (Eichelmann, 2013; Rao, 2012; Thorat, 2010).

Mekanisme transmisi M.leprae hingga saat ini masih belum diketahui

secara pasti. Saluran pernafasan terutama hidung merupakan tempat masuk utama

M. leprae, sehingga inhalasi melalui droplet merupakan metode transmisi utama

(Eichelmann, 2013; Rao, 2012). Berjuta basil dikeluarkan dari mukosa nasal

individu dengan pemeriksaan bakteriologis positif pada saat bersin, namun hanya

sedikit (kurang dari 3%) dari bakteri yang berhasil keluar bersifat viabel bahkan

pada kasus yang belum mendapat pengobatan. Sehingga kemampuan transmisi M.

leprae bersifat rendah dan kontak yang lama serta penduduk yang padat

merupakan salah satu faktor risiko (Eichelmann, 2013; Thorat, 2010). Metode

transmisi lainnya meliputi kontak kulit secara langsung, melalui fomit dan

inokulasi lewat trauma meskipun masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

18

Metode transmisi lain yang juga masih belum terbukti adalah transmisi in utero

dan melalui air susu ibu (Rao, 2012; Thorat, 2010).

2.6 Diagnosis

Berdasarkan pertemuan komite ahli WHO pada tahun 1997, penyakit

kusta didiagnosis berdasarkan atas 3 tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila

individu yang belum menyelesaikan pengobatan memiliki satu atau lebih tanda

kardinal berikut (Kumar dan Dogra, 2010) :

1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan hilangnya

atau gangguan sensasi

Makula atau plak dapat berwarna hipopigmentasi, hiperpigmentasi,

eritematosa atau berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau

kasar karena hilangnya fungsi kelenjar keringat atau berkilap atau dapat

pula dengan permukaan lembut. Dapat ditemukan hilangnya folikel

rambut dan lesi dapat berupa infiltasi, edema atau eritema. Adanya

anestesi merupakan hal yang spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan

adanya gangguan sensorik dilakukan terhadap rasa raba, nyeri dan suhu.

(Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder, 2010).

2. Keterlibatan saraf tepi yang ditunjukkan dengan adanya penebalan saraf

Pembesaran saraf tepi biasanya baru ditemukan setelah adanya lesi kulit.

Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus

komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih

sering ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan

19

pemeriksaan palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau

dengan palpasi), konsistensi (lunak, keras atau iregular) dan ukuran

(membesar, normal atau kecil). Pemeriksaan saraf meliputi pemeriksaan

nervus supraorbital, nervus aurikularis magnus, nervus ulnaris, nervus

radialis, nervus medianus, nevus poplitea lateralis, nervus peroneus, dan

nervus tibialis posterior (Kumar dan Dogra, 2010; Noto dan Schreuder,

2010).

3. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus

telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.

Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit kemudian dapat ditentukan indeks

bakteri (IB) dan indeks morfologi (IM) yang membantu dalam

menentukan tipe kusta dan evaluasi terapi (Eichelmann, 2013; Job dan

Ponnaiya, 2010).

Pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis.

Pemeriksaan histopatologis pada kusta akan menunjukkan gambaran granuloma

yang khas disertai keterlibatan saraf. Pada kusta tipe tuberkuloid umumnya akan

ditemukan gambaran granuloma epiteloid disertai infiltrat limfosit, sedangkan

pada kusta tipe lepromatosa akan ditemukan gambaran granuloma makrofag. Pada

kusta tipe borderline akan ditemukan gambaran granuloma dengan proporsi sel

epiteloid dan makrofag yang berbeda-beda (Porichha dan Natrajan; 2010).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serologis yaitu

20

pemeriksaan titer antibodi PGL-1 dan polymerase chain reaction (PCR)

(Eichelmann; 2013).

2.7 Klasifikasi

Klasifikasi kusta sangat penting dalam menentukan regimen

pengobatan, prognosis dan komplikasi serta perencanaan operasional misalnya

menemukan pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologi tinggi

sebagai target utama pengobatan. Selain itu klasifikasi kusta juga sangat penting

untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

Klasifikasi kusta yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan atas Ridley

dan Jopling 1962) yang membagi kusta menjadi 5 yaitu kusta tipe Tuberculoid

Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid-Borderline (BB), Borderline

Lepromatosa (BL) dan Lepromatous Lepromatous (LL). Pembagian ini

didasarkan pada kriteria klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis (Lee,

dkk., 2012; Mishra dan Kumar 2010). Klasifikasi kusta yang lain adalah

klasifikasi Madrid yang didasarkan pada Kongres Internasional Kusta di Madrid

pada tahun 1953. Klasifikasi ini terdiri dari kusta tipe Indeterminate (I),

Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B) dan Lepromatous (L).

Untuk kepentingan program kusta WHO mengeluarkan klasifikasi

kusta pada tahun 1988 yang terdiri dari kusta tipe pausibasilar (PB) meliputi kusta

dengan pemeriksaan BTA negatif yaitu tipe I, TT dan BT berdasarkan klasifikasi

Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dan kusta tipe

MB yang meliputi kusta tipe LL, BL, BB menurut Ridley dan Jopling atau tipe B

21

dan L menurut klasifikasi Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

Keterbatasan pemeriksaan hapusan kulit yang tidak bisa diterapkan secara global

menyebabkan WHO kembali mengeluarkan klasifikasi pada tahun 1998 yang

membagi kusta menjadi 3 berdasarkan atas jumlah lesi yaitu kusta tipe PB dengan

lesi tunggal, kusta tipe PB dengan jumlah lesi 2-5 dan kusta tipe MB dengan

jumlah lesi lebih dari 5 atau semua kusta dengan BTA positif (Mishra dan Kumar

2010).

Tabel 2.1

Karakteristik Klasifikasi Kusta Ridley dan Jopling (Kumar dan Dogra, 2010)

Lesi TT BT BB BL LL

Jumlah Biasanya

tunggal (s/d

3)

Sedikit (s/d

10)

Beberapa

(10-30)

Banyak

asimetris

(>30)

Tidak

terhitung,

simetris

Ukuran Bervariasi,

umumnya

besar

Bervariasi,

beberapa

besar

Bervariasi Kecil,

beberapa

dapat besar

Kecil

Permukaan Kering,

dengan

skuama

Kering,

dengan

skuama,

terlihat

cerah,

terdapat

infiltrat

Kusam atau

sedikti

mengkilap

Mengkilap Mengkilap

Sensasi Hilang Menurun

dengan jelas

Menurun

sedang

Sedikit

menurun

Normal atau

menurun

minimal

Pertumbuhan

rambut

Tidak ada Menurun

dengan jelas

Menurun

sedang

Sedikit

menurun

Normal

pada tahap

awal

BTA Negatif Negatif atau

sedikit

Jumlah

sedang

Banyak Banyak

sekali

termasuk

globi

Reaktivitas

lepromin

Positif kuat

(+++)

Positif

lemah (+

atau ++)

Negatif atau

positif

lemah

Negatif Negatif

22

2.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit atau slit skin smear merupakan

pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan atau kerokan kecil pada kulit

yang kemudian diberikan pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Dari

keseluruhan pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk penyakit kusta,

pemeriksaan hapusan kulit merupakan pemeriksaan yang paling sederhana.

Tujuan pemeriksaan ini antara lain untuk konfirmasi diagnosis kusta, klasifikasi

penyakit, untuk mengetahui derajat infeksius penderita, progresivitas penyakit dan

pemantauan pengobatan. Pengambilan lokasi yang banyak mengandung bakteri

yaitu kedua telinga, siku kiri, dorsum jari kiri, dan ibu jari kanan (Mahajan, 2013).

Atau dapat pula diambil pada 2 atau 3 lokasi yaitu cuping telinga kanan dan kiri

serta lesi kulit yang aktif (Kemenkes RI, 2012). Pemeriksaan hapusan sayatan

kulit memiliki spesifitas sebesar 100% karena secara langsung menunjukkan

gambaran BTA, namun sensitivitasnya rendah yaitu berkisar antara 10%-50%.

Sensitivitas yang rendah ini disebabkan karena pemeriksaan hapusan sayatan kulit

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keterampilan petugas, teknik

pengambilan seperti kedalaman insisi dan ketebalan film serta kelengkapan alat

dan bahan seperti reagan dan mikroskop yang berfungsi dengan baik (Desikan

dkk., 2006; Bhushan dkk., 2008).

Setelah pengambilan spesimen, kemudian dilakukan pewarnaan dengan

metode Ziehl Neelsen dan diperiksa dibawah mikroskop. Jumlah BTA dalam

setiap lapangan pandang dihitung serta morfologi masing-masing basil

diperhatikan dengan seksama. Basil yang solid umumnya merupakan basil yang

23

masih hidup dan viabel sedangkan basil dengan morfologi granular, atau

terfragmentasi merupakan basil yang sudah mati dan tidak viabel. Berdasarkan

jumlah dan kepadatan bakteri serta morfologi bakteri dilakukan penghitungan IB

dan IM (Job dan Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Indeks bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA

dalam sediaan apus. Pada IB, penghitungan dilakukan baik pada basil yang masih

hidup (solid) maupun yang telah mati (fragmentasi dan granular). Penghitungan

dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:

a. +6 terdapat lebih dari 1000 BTA atau lebih dari 5 gumpalan pada satu

lapangan pandang.

b. +5 terdapat 100 sampai 1000 BTA pada satu lapangan pandang.

c. +4 terdapat 10 sampai 100 BTA pada satu lapangan pandang.

d. +3 terdapat 1 sampai 10 BTA pada satu lapangan pandang.

e. +2 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 10 lapangan pandang.

f. +1 terdapat 1 sampai 10 BTA pada 100 lapangan pandang

g. 0 terdapat 0 BTA pada 100 lapangan pandang (Bryceson, 1990; Job dan

Ponnaiya, 2010; Lee dkk., 2012).

Pada pasien yang tidak diobati, pemeriksaan pada cuping telinga

menghasilkan jumlah basil yang terbesar. Pada pasien yang diobati, permukaan

dorsal dari jari sering merupakan tempat terakhir yang memberikan hasil negatif.

Indeks morfologi merupakan persentase basil kusta berbentuk utuh atau solid

terhadap keseluruhan BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui

24

kemampuan penularan kuman dan menilai hasil pengobatan (Job dan Ponnaiya,

2010; Noto dan Schreuder, 2010).

Indeks bakteri umumnya mulai turun setelah setahun mendapatkan

terapi MDT sebesar log 0,6-1,0 per tahun atau +1 per tahun dan berlanjut

meskipun MDT telah dihentikan. Penurunan umumnya ditemukan lebih lambat

pada kasus MB dibanding PB (Mahajan, 2013). Pada penelitian yang dilakukan

oleh Maghanoy dkk (2011) di Filipina, ditemukan 98% pasien kusta dengan IB

yang tinggi (≥+4) masih tetap positif setelah 1 tahun pengobatan sedangkan pada

pasien kusta dengan IB yang rendah (<+4), 74% masih ditemukan dengan IB

positif setelah 1 tahun pengobatan.

2.9 Terapi Kusta

World Health Organization sejak tahun 1981 merekomendasikan

penggunaan multidrug therapy (MDT) yang terdiri dari rifampisin, dapson dan

klofasimin untuk pengobatan kusta. Pengobatan dengan MDT bertujuan untuk

menurunkan insiden relaps pasca pengobatan, menurunkan efek samping serta

menurunkan durasi pengobatan sehingga menurunkan biaya (Pai dkk., 2010).

Regimen PB terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali ditambah dapson 100

mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg

sebulan sekali, dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan

lama pengobatan 12 bulan. Pengobatan baru yang juga efektif terhadap M. leprae

meliputi minoksiklin, ofloksasin, klaritromisin, rifabutin, rifapentin, bromidoprim

dan antibiotika golongan beta laktam (Pai dkk., 2010; Yawalkar, 2009).

25

2.10 Reaksi Kusta

Salah satu komplikasi pada penyakit kusta yaitu adanya reaksi kusta

yang dapat terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta

merupakan episode inflamasi akut atau subakut yang dimediasi oleh proses

imunologis pada perjalanan penyakit kusta yang bersifat kronis, yang dapat

mengenai kulit, saraf, membran mukosa dan lokasi lain. (Kar dan Sharma, 2010;

Yawalkar, 2009). Terdapat 3 jenis reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1, reaksi tipe 2

atau reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) dan fenomena lucio (Kar dan

Sharma, 2010).

Reaksi tipe 1 umumnya ditemukan pada kusta tipe borderline. Reaksi

tipe 1 dapat bersifat upgrading (reaksi reversal) apabila terjadi peningkatan

imunitas seluler sehingga terjadi pergeseran spektrum ke arah tuberkuloid atau

downgrading apabila terjadi pergeseran spektrum ke arah lepromatosa. Pada

reaksi reversal, lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa dan dapat

disertai timbulnya lesi baru. Lesi kulit dapat disertai dengan neuritis ringan hingga

berat (Lee dkk., 2012).

Reaksi kusta tipe 2 atau ENL merupakan reaksi kusta yang

dihubungkan dengan pembentukan kompleks imun antigen-antibodi pada jaringan

sehingga menyebabkan terjadinya fokus inflamasi akut. Reaksi tipe 2 ini terutama

sering ditemukan pada kusta tipe LL serta BL. Lesi dapat berupa papul kecil

ataupun nodul berwarna kemerahan dan nyeri pada penekanan. Pada ENL yang

berat berat dapat disertai dengan gangguan saraf, gejala sistemik dan gangguan

pada organ lain (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010; Lee dkk., 2012).

26

Fenomena lusio merupakan reaksi yang ditemukan pada penderita kusta lusio

diawali dengan terbentuknya plak merah kebiruan dengan halo eritematosa yang

selanjutnya berkembang menjadi infark hemoragik pada bagian tengah tanpa atau

disertai pembentukan bula (Bryceson, 1990; Kar dan Sharma, 2010).

2.11 Stres Oksidatif

2.11.1 Definisi

Stres oksidatif merupakan suatu kondisi yang disebabkan karena

ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Hal ini dapat disebabkan oleh

pembentukan radikal bebas atau ROS yang berlebihan atau karena defisiensi

antioksidan enzimatik dan nonezimatik atau keduanya (Dalle-Donne, 2006; Rahal

dkk., 2014). Setiap sel pada tubuh manusia mempertahankan kondisi homeostasis

antara oksidan dan antioksidan. Sekitar 1-3% oksigen yang dikonsumsi manusia

diubah menjadi ROS. Pada kondisi metabolisme normal pembentukan ROS secara

terus menerus dan radikal bebas lainnya diperlukan untuk fungsi fisiologis normal

seperti pembentukan Adenosine Triphosphate (ATP), berbagai macam proses

anabolik dan katabolik dan siklus reduksi-oksidasi seluler. Pembentukan ROS dan

radikal bebas lainnya yang berlebihan dapat disebabkan karena proses biologikal

endogen dan faktor eksogen yang berasal dari lingkungan seperti paparan kimia,

polusi atau radiasi (Rahal dkk., 2014). Adanya ROS berlebihan dapat

menyebabkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan

Deoxyribonucleic acid (DNA) sehingga selanjutnya dapat mempengaruhi

27

viabilitas sel dan menginduksi berbagai respon seluler yang dapat menimbulkan

kematian sel dan kerusakan jaringan (Dalle-Donne, 2006; Birben dkk., 2012).

2.11.2 Radikal bebas, reactive oxygen species, antioksidan

Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Radikal bebas bersifat tidak

stabil dan sangat reaktif karena elektron yang tidak berpasangan ini cenderung

akan mencari pasangan elektron dari molekul lain dengan tujuan untuk

menetralisasi dirinya sendiri. Pada saat reaksi antara radikal bebas dengan

molekul lain dapat terbentuk molekul nonradikal yang kurang reaktif atau akan

terbentuk radikal bebas lainnya yang lebih reaktif sehingga terjadi reaksi berantai.

Tanpa adanya suatu mekanisme untuk menonaktifkan radikal bebas ini maka

sejumlah besar radikal bebas akan terbentuk dalam waktu beberapa detik setelah

reaksi awal. Radikal bebas dapat berasal dari oksigen, sulfur, atau karbon, namun

yang paling signifikan secara fisiologis adalah radikal bebas yang berasal dari

oksigen (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).

Reactive oxygen species merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan sejumlah molekul reaktif dan radikal bebas yang berasal dari

molekul oksigen (Held, 2015). Terdapat dua kelompok ROS yaitu yang bersifat

radikal bebas dan bersifat non radikal. Anion superoksid (O2•-) dan radikal

hidroksil merupakan contoh ROS yang bersifat radikal bebas sedangkan hidrogen

peroksida (H2O2), singlet oksigen dan asam hipoklorat (HOCl) merupakan contoh

ROS yang bersifat non radikal (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001). Reactive

oxygen species dihasilkan oleh sel melalui berbagai mekanisme antara lain

28

sebagai konsekuensi metabolisme aerob normal oleh mitokondria, oksidatif atau

respiratory burst sel fagosit serta berasal dari metabolisme xenobiotik untuk

detoksifikasi substansi toksik. Pada umumnya ROS pada konsentrasi rendah

penting untuk fungsi fisiologis normal seperti ekspresi gen, pertumbuhan sel,

pertahanan terhadap infeksi, biosintesis molekul seperti tiroksin, prostaglandin,

serta memicu proliferasi sel T. Beberapa penelitian terakhir juga menemukan

peranan ROS sebagai molekul signaling yang penting untuk efek biologis.

Persentase ROS meningkat pada kondisi inflamasi kronik, infeksi, olahraga yang

berlebihan, paparan terhadap alergen, obat dan toksin (Krishnamurthy dan

Wadhwani, 2012; Bennett dan Griffiths, 2013).

Terdapat berbagai macam ROS, namun yang paling berperan adalah

anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (OH

•.).

Anion superoksid terbentuk dari penambahan 1 elektron pada molekul oksigen.

Proses ini dimediasi oleh enzim nicotinamide adenine dinucleotide phosphate

(NADPH) oksidase atau xantine oksidase atau oleh sistem transport elektron

mitokondria. Mitokondria merupakan lokasi utama pembentukan anion

superoksid namun enzim NADPH juga ditemukan pada leukosit, neutrofil,

monosit dan makrofag. Selama proses fagositosis terjadi respiratory burst yang

memproduksi superoksid. Superoksid kemudian diubah menjadi hidrogen

peroksida oleh superoksid dismutase (SOD) (Birben dkk., 2012; Kunwar dan

Priyadarshini, 2011; Valko dkk., 2006).

Hidrogen peroksida dapat diproduksi oleh xanthine oxidase, asam

amino oksidase dan NADPH oksidase. Struktur H2O2 menyerupai air dan dapat

29

berdifusi didalam maupun diantara sel. Hidrogen peroksida memiliki sifat yang

kurang reaktif namun dapat bergabung dengan besi serta tembaga membentuk

radikal hidroksil yang sangat reaktif. Anion superoksid juga dapat bereaksi

dengan H2O2 dan menghasilkan radikal hidroksil (OH-). Radikal hidroksil

merupakan ROS yang sangat berbahaya karena reaktivitas yang tinggi dan

memiliki waktu paruh yang sangat singkat sehingga umumnya menimbulkan

kerusakan terutama pada lokasi disekitarnya (Birben dkk., 2012; Halliwell, 2001;

Kunwar dan Priyadarshini, 2011).

Untuk mengimbangi efek merugikan yang ditimbulkan oleh adanya

stres oksidatif pada sel, sistem tubuh telah melengkapi dirinya dengan beberapa

strategi seperti mekanisme pencegahan dengan cara mempertahankan

pembentukan ROS seminimal mungkin, mekanisme perbaikan untuk mengurangi

kerusakan sel, mekanisme proteksi fisik serta yang terpenting adalah mekanisme

pertahanan antioksidan. Antioksidan merupakan suatu substansi dengan

konsentrasi rendah yang dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron

sehingga mencegah oksidasi substrat yang rentan teroksidasi (Kunwar dan

Priyadarshini, 2011; Rahal dkk., 2014). Sistem pertahanan antioksidan endogen

meliputi jaringan molekul antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang

umumnya terdistribusi pada sitoplasma dan organel sel. Antioksidan juga dapat

berasal dari eksogen seperti yang berasal dari makanan. Antioksidan eksogen dan

endogen berfungsi secara interaktif dan sinergis untuk menetralisir radikal bebas

(Winarsi, 2007). Antioksidan enzimatik meliputi superoksid dismutase (SOD),

glutation peroksidase (GPx), dan katalase (CAT), sedangkan antioksidan

30

nonenzimatik meliputi asam askorbat (vitamin C), α-tocopherol (vitamin E),

glutathione (GSH), karatenoid, flavonoid dan antioksidan lainnya (Valko dkk.,

2006).

Superoksid dismutase merupakan protein yang mengandung metal

berfungsi untuk mengkatalisasi superoksid membentuk hidrogen peroksida.

Terdapat tiga isozim SOD, yaitu SOD1 mengandung Cu dan Zn sebagai kofaktor

logamnya ditemukan di sitosol, SOD2 yang mengandung logam Mn ditemukan

pada mitokondria dan SOD3 yang juga mengandung kofaktor logam Cu dan Zn,

ditemukan di ekstrasel (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007; Valko dkk., 2006).

Hidrogen peroksida yang berasal dari aktivitas SOD atau oksidase lainnya akan

digunakan untuk mengoksidasi glutation tereduksi (GSH) menjadi glutation

teroksidasi (GSSG) oleh GPx. Enzim katalase juga dapat mereduksi H2O2 menjadi

air (Birben dkk., 2012).

Vitamin C, vitamin E, glutation dan beta karoten merupakan

antioksidan nonenzimatik yang paling banyak diteliti. Antioksidan non enzimatik

disebut juga antioksidan pemecah rantai yang dapat berupa senyawa nutrisi

maupun non nutrisi. Vitamin C dianggap sebagai antioksidan larut air yang

penting pada cairan ekstraseluler. Vitamin C mampu menetralisir ROS pada fase

aqueous sebelum dimulainya peroksidasi lipid. Vitamin E merupakan antioksidan

larut lemak dan antioksidan pemecah rantai utama yang melindungi membran

asam lemak dari peroksidasi lipid. Glutation banyak ditemukan pada semua

kompartemen sel dan merupakan antioksidan larut dengan efek antioksidan

glutation melalui kerja sama dengan GPx. Glutation juga berfungsi mengubah

31

vitamin C dan E menjadi bentuk aktifnya. Beta karoten dan karotenoid lainnya

juga dipercaya memiliki perlindungan antioksidan terhadap jaringan kaya lemak

yang bekerja secara sinergis dengan vitamin E (Birben dkk., 2012; Winarsi,

2007). Mekanisme pertahanan antioksidan enzimatik dan non enzimatik secara

lebih jelas digambarkan pada Gambar 2.3 dibawah ini.

Gambar 2.3

Mekanisme Pertahanan Antioksidan Enzimatik dan Non Enzimatik

(Atukeren dan Yigitoglu, 2013)

2.11.3 Kerusakan akibat stres oksidatif

Konsekuensi utama adanya stres oksidatif adalah kerusakan yang dapat

ditimbulkan pada DNA, lipid dan protein yang pada akhirnya akan dapat

menyebabkan kematian sel (Birben dkk., 2012).

32

Gambar 2.4

Mekanisme Kerusakan Sel Akibat Stres Oksidatif (Dawane dan Pandit, 2012)

1. Efek pada DNA

Reactive oxygen species dapat menyebabkan modifikasi DNA melalui beberapa

mekanisme yang melibatkan degradasi basa, pemecahan DNA rantai tunggal atau

ganda, modifikasi purin, pirimidin atau ikatan gula, delesi dan translokasi dan

ikatan silang dengan protein. Terdegradasinya basa DNA akan menghasilkan

produk seperti 8-hidroksiguanin, hidroksimetil urea, timin, glikol dan produk

lainnya. Penanda stres oksidatif tingkat DNA yang dapat diukur adalah 8-

hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) (Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).

2. Efek pada Protein

Reactive oxygen species dapat menyebabkan fragmentasi rantai peptida, gangguan

pada tenaga elektrik protein, menyebabkan ikatan silang dan oksidasi asam amino

spesifik. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap proteolisis

karena degradasi protease tertentu. Produk-produk oksidasi protein yang dapat

33

diukur adalah gugus thiol tereduksi dalam protein plasma, protein karbonil dalam

plasma dan orto-tirosin dalam protein plasma. Biomarker yang umum digunakan

untuk pengukuran protein teroksidasi adalah protein karbonil melalui kalorimeter

(Birben dkk., 2012; Winarsi, 2007).

3. Efek pada Lipid

Membran sel merupakan struktur yang sangat rentan terhadap oksidasi yang

disebabkan oleh ROS karena adanya asam lemak dalam konsentrasi yang tinggi

pada komponen lipid. Reaksi ROS dengan membran lipid menyebabkan

terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid didefinisikan sebagai proses dimana

oksidan seperti radikal bebas dan spesies nonradikal bereaksi dengan lipid yang

mengandung ikatan karbon-karbon ganda, terutama asam lemak tak jenuh ganda

(PUFA). Reaksi ini menimbulkan pemisahan hidrogen dari karbon dan

penambahan oksigen yang menghasilkan radikal peroksil lipid (LOO•) dan

hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada kondisi fisiologis atau derajat lipid

peroksidase yang rendah (kondisi subtoksik), sel mempertahankan diri melalui

sistem pertahanan antioksidan atau aktivasi jalur sinyal yang mengatur protein

antioksidan sehingga terjadi respon adaptif terhadap stres. Sebaliknya pada derajat

peroksidasi lipid yang berat kerusakan oksidatif melebihi kapasitas perbaikan

sehingga terjadi induksi program kematian sel apoptosis atau nekrosis. Kedua

proses ini pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan molekular sel dengan

berbagai kondisi patologis (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).

Proses peroksidasi lipid secara keseluruhan terdiri atas 3 tahap yaitu

inisiasi, propagasi dan terminasi (Gambar 2.4). Pada tahap inisiasi ROS seperti

34

radikal hidroksil memisahkan hidrogen dan membentuk radikal lipid dengan

karbon pada bagian tengah (L•). Pada fase propagasi radikal lipid (L

•) secara cepat

bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksi lipid (LOO•) yang

menarik hidrogen dari molekul lipid lainnya membentuk L• yang baru (reaksi

berantai) dan hidroksiperoksida lipid (LOOH). Pada tahap terminasi antioksidan

akan mendonasikan atom hidrogennya pada LOO• menghasilkan produk

nonradikal. Sekali peroksidasi lipid diinisiasi, reaksi berantai akan terus terjadi

hingga produk terminasi terbentuk (Ayala dkk., 2014; Valko dkk., 2006).

Gambar 2.5

Tahapan Proses Peroksidasi Lipid (Boots dkk., 2012)

Salah satu akibat penting peroksidasi lipid adalah pembentukan

senyawa-senyawa aldehida. Hidroksiperoksida lipid bersifat tak stabil dan dapat

di dekomposisi atau terurai menjadi aldehid seperti malondialdehyde (MDA),

propanal, heksanal, 4-hidroksinonenal (HNE). Selain itu produk sekunder

peroksidasi lipid juga dapat berupa siklik endoperoksidase seperti isoprostan dan

hidrokarbon. Diantara produk sekunder tersebut MDA merupakan produk yang

paling bersifat mutagenik. Malondialdehyde mampu meninaktivasi protein selular

dengan cara membentuk ikatan silang protein, sedangkan HNE menyebabkan

35

deplesi GSH intrasel dan induksi pembentukan produksi peroksida. Terjadinya

peroksidasi lipid juga dapat menimbulkan inaktivasi ikatan reseptor dan enzim

pada membran sehingga mengganggu fungsi sel (Ayala dkk., 2014; Birben dkk,

2012; Dalle-Donne dkk., 2006).

2.11.4 Malondialdehyde sebagai biomarker stres oksidatif

Biomarker didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang dapat diukur

dan dievaluasi secara objektif sebagai indikator proses biologis normal, proses

patogenik, atau respon farmakologik terhadap intervensi terapi. Biomarker stres

oksidatif yang ideal harus bersifat stabil, dapat berakumulasi pada konsentrasi

yang dapat dideteksi, menggambarkan jalur oksidasi spesifik dan berhubungan

dengan keparahan penyakit sehingga bisa digunakan sebagai alat diagnostik.

Pengukuran ROS secara langsung cukup sulit karena ROS sangat reaktif dan

memiliki waktu paruh yang singkat. Pengukuran stres oksidatif umumnya

dilakukan dengan cara menilai metabolit yang bersifat stabil atau produk

oksidasinya seperti produk akhir dari peroksidasi lipid. Biomarker peroksidasi

lipid merupakan hasil kerja radikal bebas yang diketahui paling awal dan paling

mudah pengukurannya karena itulah reaksi ini paling sering dilakukan untuk

mempelajari stres oksidatif (Patil, 2006; Winarsi, 2007).

Malondialdehyde merupakan ketoaldehid yang diproduksi oleh

dekomposisi peroksidatif lemak tidak jenuh dan sebagai hasil antara metabolisme

asam arakidonat. Malondialdehyde ditemukan hampir di seluruh cairan biologis

termasuk plasma, urin, cairan aqueous, cairan persendian, cairan bronkoalveolar,

cairan empedu, cairan getah bening, cairan amnion, perikardial dan seminal,

36

namun plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan, karena

paling mudah didapat dan tidak invasif. Malondialdehyde sangat sesuai sebagai

biomarker untuk stres oksidatif karena beberapa alasan, yaitu pembentukannya

meningkat sesuai dengan stres oksidatif, kadarnya dapat diukur secara akurat

dengan berbagai metode, bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi,

pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi

kandungan lemak dalam diet, merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid

dan terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan

cairan biologis sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi interval

(Palmiere dan Sblendorio, 2006; Patil dkk., 2006; Winarsi, 2007).

Sejak bertahun-tahun MDA telah digunakan sebagai biomarker

peroksidasi lipid karena reaksinya dengan thiobarbituric acid (TBA).

Pemeriksaan dengan TBA berdasarkan atas reaktivitas TBA terhadap MDA yang

menghasilkan kromogen dengan fluoresensi berwarna merah (Dalle-Donne dkk.,

2006). Berdasarkan penelitian, interval nilai normal MDA pada laki-laki

diperkirakan sebesar 1,14-1,53 μmol/L sedangkan pada perempuan adalah 1,08-

1,41 μmol/L (Nielsen dkk., 1997).

2.12 Stres Oksidatif pada Penyakit Kusta

2.12.1 Patogenesis stres oksidatif pada penyakit kusta

Patogenesis terjadinya stres oksidatif pada penyakit kusta hingga saat

ini masih belum diketahui secara pasti. Diduga stres oksidatif pada penyakit kusta

dihubungkan dengan infeksi oleh M. leprae itu sendiri, respon imunitas pejamu

37

terhadap infeksi serta adanya defek pada imunitas seluler yang akan

mengakibatkan peningkatan produksi ROS pada penderita kusta (Prabhakar dkk.,

2012; Vijayaraghavan dan Paneerselvam, 2011).

Seperti diketahui, pada penyakit kusta berkembangnya infeksi pada

pejamu dihubungkan dengan kualitas respon imunitas. Mekanisme pertahanan

utama pada infeksi M. leprae melibatkan sel-sel imunitas terutama makrofag,

limfosit dan sitokin-sitokin yang mengatur produksi, pelepasan dan modulasi

reaksi imunitas seluler (Lima dkk., 2007; Prabhakar dkk., 2012). Makrofag

merupakan sistem pertahanan utama melawan infeksi M. leprae. Sel-sel fagosit

seperti makrofag, neutrofil, eosinofil serta limfosit T dan B memiliki enzim

NADPH oksidase yang bertanggung jawab pada produksi ROS saat terjadinya

stimulasi respon imun. Makrofag akan mengenali M. leprae atau komponen

dinding selnya melalui TLR, ikatan ini akan mengaktivasi jalur nuclear factor

kappa B (NF-κB) yang akan menginduksi pelepasan sitokin seperti TNF-α, IL-1,

IL-6 dan IL-12. Sitokin-sitokin ini akan menyebabkan terjadinya inflamasi dan

menstimulasi imunitas adaptif. Interleukin-12 akan mengaktivasi sel T dan

menginduksi pelepasan IFN γ yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim fagosit

oksidase (NADPH oksidase) sehingga terjadi pelepasan ROS seperti superoksid,

radikal hidroksil dan hidrogen peroksida. (Prasad dkk, 2007; Rahal dkk., 2014;

Hart dan Tapping, 2012; Abbas dkk., 2015).

Reactive oxygen species yang terbentuk dapat berdifusi dari tempat

terbentuknya dan menyebabkan kerusakan pada DNA, protein dan lipid sehingga

terjadi kerusakan pada fungsi dan integritas sel serta kerusakan jaringan. Adanya

38

kerusakan jaringan akan ditandai oleh peningkatan biomarker stres oksidatif

termasuk MDA sebagai produk akhir peroksidasi lipid. Reactive oxygen species

yang terbentuk ini juga dapat menyebabkan kerusakan saraf pada penyakit kusta

sehingga berhubungan dengan manifestasi klinis penyakit (Prasad dkk., 2007).

Beberapa penelitian terakhir menghubungkan peran ROS dalam

memediasi proses inflamasi dan kaskade sinyal sistem imunitas, dimana

peningkatan ROS juga ternyata dapat mengaktivasi sinyal NF-κB, menunjukkan

peranan ROS sebagai secondary messenger untuk tranksripsi gen proinflamasi

dan respon sinyal sitokin selama proses infeksi (Spooner dan Yilmaz, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh King dkk. yang menstimulasi sel mononuklear

perifer dengan ROS, menemukan adanya MDA dan HNE sebagai hasil dari

peroksidasi lipid ternyata dapat menstimulasi diferensiasi sel Th menuju fenotip

kearah Th2 sehingga menginduksi hiporesponsif sel limfosit T (Bennet dan

Griffiths, 2013).

Gambar 2.6

Mekanisme Pembentukan ROS Selama Proses Fagositosis

(Abbas dkk., 2015)

39

Mekanisme penurunan sistem antioksidan pada penyakit kusta juga

masih belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga disebabkan karena inhibisi

enzim atau rendahnya konsentrasi protein enzim yang disebabkan karena regresi

gen SOD pada tingkat DNA. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa

lipopolisakarida bakteri diduga dapat mempengaruhi gen SOD. Selain itu PGL-1

yang dimiliki M. leprae juga dikatakan dapat berikatan dengan enzim SOD

sehingga menghambat aktivitas SOD dan mengakibatkan down-regulasi ekspresi

gen SOD pada sel darah merah dan makrofag (Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat

dan Borade, 2000; Schalcher dkk, 2012).

Gambar 2.7

Peroksidasi Lipid pada Penyakit Kusta (Vazques dkk., 2014)

Penelitian yang ada juga menghubungkan antara stres oksidatif pada

kusta dengan indeks bakteri yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan karena

utilisasi biometal seperti zinc, besi, dan kalsium dari sel pejamu untuk pertahanan

hidup M. leprae, sehingga dapat mempengaruhi metaloenzim seperti SOD

(Swathi dan Tagore, 2015; Bhadwat dan Borade; 2000).

MDA

40

2.11.2 Tingkat stres oksidatif pada penyakit kusta

Berbagai macam penelitian mengenai tingkat stres oksidatif pada

penyakit kusta telah dilakukan. Tingkat stres oksidatif dinilai melalui pengukuran

kadar oksidan seperti pengukuran nitrat atau nitrit yang merupakan produk stabil

NO, pengukuran kadar antioksidan enzimatik seperti SOD, katalase atau GSH,

atau kadar antioksidan nonenzimatik seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E,

serta melalui pengukuran biomarker kerusakan akibat stres oksidatif seperti MDA

(Dalle –Donne, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Prasad dkk. pada tahun 2007 pada 100

pasien baru yang terdiagnosis kusta menemukan penurunan kadar SOD, katalase

serta peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta dibanding kontrol

sehat. Penurunan kadar SOD, katalase dan peningkatan kadar MDA ditemukan

lebih besar pada kusta tipe lepromatosa serta pada penderita kusta dengan IB yang

lebih tinggi. Sehingga disimpulkan adanya hubungan antara stres oksidatif dengan

tipe kusta dan indeks bakteri.

Penelitian lain pada tahun 2007 oleh Jyothi dkk. menemukan hal yang

serupa dimana terdapat penurunan kadar SOD serta peningkatan kadar MDA pada

pasien kusta. Hal ini juga ditemukan lebih signifikan pada penderita kusta tipe

MB. Pada penelitian ini juga dihitung rasio MDA/SOD yang ditemukan

mengalami peningkatan signifikan pada kusta tipe MB. Penelitian yang dilakukan

oleh Lima dkk. (2007) untuk mengetahui peroksidasi lipid dan kadar antioksidan

non enzimatik pada kusta menemukan peningkatan kadar MDA dibanding

kontrol, dengan peningkatan sesuai dengan spektrum penyakit dimana kadar

41

tertinggi ditemukan pada kusta tipe lepromatosa. Pada penelitian ini juga

ditemukan penurunan kadar vitamin A dibanding kontrol dengan penurunan yang

lebih besar pada kusta tipe lepromatosa. Penelitian serupa yang dilakukan oleh

Trimbake dkk. juga menemukan peningkatan kadar MDA serum dan penurunan

kadar vitamin E secara signifikan pada kusta tipe PB dan MB. Penelitian ini

menunjukkan adanya stres oksidatif pada penderita kusta juga disebabkan karena

adanya penurunan antioksidan nonenzimatik.

Penelitian yang dilakukan oleh Vijayaraghavan dkk. di India pada

tahun 2011 menemukan penurunan secara signifikan kadar antioksidan enzimatik

seperti SOD, katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase dan glutation-s-

transferase pada penderita kusta tipe MB dibandingkan kontrol yang sehat.

Penelitian lain oleh Garad (2014) dkk. mengenai peroksidasi lipid juga

menemukan adanya peningkatan MDA secara signifikan pada penderita kusta

dibanding kontrol serta lebih tinggi pada kusta tipe MB dibanding PB. Pada

penelitian ini juga ditemukan penurunan kadar antioksidan thiol pada penderita

kusta terutama tipe MB dibanding kontrol sehat. Penelitian oleh Meneses dkk.

(2014) yang menggunakan sampel urin menemukan peningkatan MDA urin pada

penderita kusta dibanding kontrol.

Penelitian mengenai stres oksidatif pada penyakit kusta tidak hanya

dilakukan pada pasien yang baru terdiagnosis namun juga pada pasien yang sudah

mendapatkan terapi maupun yang sudah selesai pengobatan (Release from

treatment/RFT). Penelitian oleh Prabhakar dkk. tahun 2012 pada penderita kusta

tipe MB yang telah mendapat terapi menemukan penurunan kadar SOD,

42

glutathione, total antioksidan status serta peningkatan kadar MDA secara

signifikan pada pasien kusta tipe MB dibanding kontrol. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Ozan dkk. (2010) pada pasien kusta yang sudah selesai pengobatan

mendapatkan peningkatan signifikan kadar MDA dan aktivitas GSH dan katalase

dibanding kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian stres oksidatif

tidak hanya dapat terjadi pada kasus baru kusta namun juga pada kusta yang yang

telah selesai mendapatkan pengobatan.

Meskipun sebagian besar penelitian menunjukkan bukti adanya tingkat

stres oksidatif terutama melalui peningkatan kadar MDA namun beberapa

penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Penelitian oleh Schalcer pada

tahun 2013 yang dilakukan pada 23 pasien penderita kusta sebelum mendapat

terapi. Pada penelitian ini didapatkan kadar MDA yang tidak berbeda antara

penderita kusta dan kontrol sehat, namun kadar SOD ditemukan mengalami

penurunan secara signifikan dibanding kontrol sehat.

Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Schalcher dkk. pada tahun

2014 yang bertujuan untuk mengetahui stres oksidatif pada pasien yang sudah

mendapatkan terapi MDT, menemukan kadar MDA yang tidak berbeda secara

signifikan antara penderita kusta dibanding kontrol sebelum maupun setelah

mendapat terapi sedangkan kadar SOD ditemukan menurun pada pasien kusta dan

penurunan ini ditemukan menetap setelah mendapatkan terapi MDT.