Upload
ferina-pohan
View
16
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
afsdgfh
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I. Pendahuluan
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditegakkan bahwa system
pemerintahan Indonesia adalah berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan
belaka. Dengan demikian atas hal tersebut, maka semua perbuatan yang
dilakukan baik oleh pemerintah maupun negara harus berdasarkan hukum. Salah
satu ketentuan yang mengatur bagaimana aparatur penegak hukum melaksanakan
tugasnya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendeteksi kebenaran materil yaitu
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana sehingga suatu
tindak pidana dapat terungkap dan pelakunya dijatuhi putusan yang seadil-
adilnya.
Dalam proses persidangan hal yang penting adalah yaitu proses
pembuktian sebab jawaban yang akan ditemukan dalam proses pembuktian
merupakan salah satu hal yang utama untuk Majelis Hakim dalam memutuskan
suatu perkara tindak pidana. Alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP
adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
Dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP menjelaskan, bahwa yang dimaksud
dengan keterangaan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus yang
dimiliki oleh seorang saksi ahli tidak dapat dimiliki oleh sembarangan orang,
karena merupakan suatu pengetahuan yang pada dasarnya dimiliki oleh orang
tertentu.
Pasal 44 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)
menjelaskan bahwa, tidak dikenakan hukuman terhadap barang siapa yang
melakukan suatu perbuatan pidana, yang tidak dapat dipertanggungkan
kepadanya, disebabkan karena kurang sempurnanya kemampuan berfikir atau
karena sakit ingatannya.
Berdasarkan penjelasan Pasal 44 Ayat (1) di atas, untuk dapat mengetahui
“kurang sempurna kemampuan berfikir atau sakit ingatan”, maka diperlukan
suatu keahlian khusus. Dalam hal ini orang yang memiliki keahlian khusus, yaitu
ahli psikiatri forensic. Dengan demikian, maka ahli psikiatri forensic memiliki
peran dan kedudukan khusus dalam penyelesaian perkara pidana.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ahli kedokteran forensic,
diantaranya Sidney Smith mendefinisikan “Forensic medicine may be defined as
the body of medical and paramedical scientific knowledge which may services in
the administration of the law”, yang maksudnya ilmu kedokteran forensik
merupakan kumpulan ilmu pengetahuan medis yang menunjang pelaksanaan
penegakan hukum. Prof. Dr. Amri Amir, Sp.F (2007) mendefinisikan Ilmu
Kedokteran Forensik sebagai penggunaan pengetahuan dan keterampilan di
bidang kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan.
Ada kecenderungan untuk menganggap bahwa psikiatri forensik
merupakan cabang dari ilmu kedokteran forensik. Di lain pihak ada pula yang
menganggap psikiatri forensik merupakan cabang ilmu psikiatri. Istilah psikiatri
forensik merupakan terjemahan dari forensic psychiatry merupakan suatu istilah
yang sudah lazim digunakan psychiatry forensik merupakan sub spesialis ilmu
kedokteran yang menelaah mental manusia dan berfungsi membantu hukum dan
peradilan. Sub spesialis ini merupakan titik singgung antara ilmu kedokteran dan
ilmu hukum dimana kegiatan utamanya adalah pembuatan Visum et Repertum
Psychiatricum untuk kasus pidana sebagai salah satu alat bukti seperti yang
termaktub dalam pasal 184 (1) KUHAP yakni sebagai keterangan ahli.