Upload
lamtuong
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah Indonesia terus berusaha meningkatkan jumlah kunjungan wisata
dari 9,7 juta pada tahun 2014 menjadi 20 juta pada tahun 2019. Hal ini dilakukan dalam
usaha meningkatkan penerimaan devisa negara. Indonesia telah memberikan bebas visa
bagi 45 negara, termasuk negara-negara Asean. Pemerintah Indonesia tidak saja
meningkatkan wisatawan dari segi jumlah, tetapi juga harus mengutamakan wisatawan
yang berkualitas (quality tourism). Dengan demikian, pemerintah selalu berusaha untuk
meningkatkan kualitas, sarana dan prasarana, serta pelayanan yang memuaskan
termasuk destinasi wisata yang baru. Upaya melengkapi sarana dan prasarana, tidak
hanya pada fasilitas akomodasi dan restoran, tetapi juga peningkatan sarana dan
prasarana pendukung pariwisata minat khusus.
Salah satu kecenderungan dalam perkembangan pariwisata global dewasa ini
adalah kuatnya fenomena untuk berwisata kembali ke alam. Hal ini bisa dilihat dari
munculnya program atau aktivitas-aktivitas berwisata ke perdesaan atau pedalaman
seperti trekking, rafting, mengunjungi taman nasional, dan kehidupan masyarakat di
desa-desa sekitarnya. Di Indonesia, hal ini bisa dilihat dari semakin populernya daya
tarik wisata Taman Nasional Komodo dan daya tarik wisata alam di sekitarnya yang
dipadukan dengan wisata ke daerah perdesaan yang melahirkan istilah rural tourism.
Beberapa peneliti seperti Gorman (2005:123) memberikan batasan istilah rural tourism
sebagai wisata di daerah terpencil yang jauh dari perkotaan dengan jumlah penduduk
2
yang relatif kecil, kurang dari 1500 orang. Bukan jumlah penduduknya yang penting
tetapi potensi alam dan keunikan budaya yang dapat menjadi daya tarik wisata.
Batasan yang berbeda tentang rural tourism juga dijelaskan oleh European
Community. Rural tourism merupakan kegiatan wisata dengan motivasi menikmati
pengalaman hidup di pedesaan, terlibat dengan masyarakat, mempelajari cara hidup
masyarakat, dan menikmati warisan peninggalan unik yang ada di desa tersebut
(Gorman, 2005:123). Aktivitas menyerupai rural tourism di Indonesia adalah sepadan
dengan wisata perdesaan, dengan aktivitas melihat keindahan alam, menyaksikan
atraksi seni budaya, cara hidup masyarakat lokal. Trend wisata desa yang berkembang
di Indonesia ditandai oleh tumbuhnya minat melakukan wisata berkarakter nature-
based tourism (wisata berbasis alam) dan berminat menikmati pengalaman wisata
perdesaan (Sastrayuda, 2010), dan munculnya desa wisata (village tourism). Desa yang
membuka diri sebagai desa wisata tidak saja memiliki keindahan alam, tetapi banyak
juga memiliki daya tarik budaya, baik yang tangible maupun yang intangible. Stroma
Cole dalam penelitiannya di daerah Bajawa, Flores, misalnya, dalam kesimpulannya
menyebutkan bahwa desa ini juga memiliki potensi pariwisata warisan budaya (Cole,
1997:478).
Perkembangan rural tourism memberikan manfaat positif dan negatif. Pada satu
sisi, aspek positifnya adalah bermanfaat bagi para pengampu kepentingan terutama
pengelola bisnis wisata dan akomodasi. Akan tetapi, pada sisi lain masih terlihat cukup
banyak masyarakat di pedesaan yang tergolong miskin ataupun kurang sejahtera
(Scheyvens dan Mornsen, 2008; Putra dan Pitana, 2010). Sering terlihat belum adanya
3
pendalaman terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan. Di antaranya
kurangnya perhatian terhadap pelestarian lingkungan perdesaan sebagai objek wisata,
serta rendahnya pengetahuan tentang tata-kelola wisata perdesaan yang baik demi
menghasilkan dampak ekonomi yang maksimal (Sastrayuda, 2010).
Tanpa menampik kecenderungan itu, perlu juga dinyatakan bahwa belakangan
ini di beberapa tempat di Bali, terdapat contoh di mana desa-desa yang memiliki potensi
wisata ikut tampil mengelola potensi itu untuk mendapat keuntungan ekonomi. Sebagai
contoh, bisa disebutkan Desa Beraban (Kabupaten Tabanan) yang memiliki objek
wisata Tanah Lot dan Desa Kutuh (Kuta Selatan) yang memiliki objek wisata Pantai
Pandawa. Begitu pula, Desa Pecatu memiliki daya tarik wisata kawasan Pura Uluwatu
dengan pementasan kecak saat sunset telah menampakkan kesadaran baru untuk giat
mengelola potensi wisata di daerahnya karena nyata memberikan keuntungan ekonomi.
Warga Desa Jatiluwih juga menunjukkan minat yang sama dalam mengelola potensi
keindahan alam daerah persawahannya sebagai destinasi wisata setelah hamparan
sawah serta sistem subaknya ditetapkan sebagai bagian dari Warisan Budaya Dunia
oleh UNESCO pada bulan Juni 2012 (Sriwedari, 2015).
Fenomena munculnya desa mengelola potensi wisata di daerahnya, baik dalam
bentuk desa wisata atau mengelola daya tarik saja, memerlukan sistem yang dapat
menjamin agar hasil finansial dari pengelolaan itu dapat dinikmati oleh masyarakat
lokal daripada sebaliknya (Salazar, 2011). Salah satu upaya untuk menangani hal
tersebut adalah dengan mengubah pola pikir dan perilaku para pemangku kepentingan
dalam kegiatan pariwisata, dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat dan
4
pemerintah daerah terhadap pentingnya tata kelola yang baik dalam operasional rural
tourism yang berdasarkan pada komunitas masyarakat lokal (community based). Hal ini
akan turut memperhatikan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat perdesaan, dampak-
budaya, kelestarian lingkungan, sumber daya alam hayati dan tidak sekedar memikirkan
luas kawasan atau jumlah kunjungan wisatawan semata (Chang et al.. 2012).
Sejalan dengan pernyataan Chang et al., (2012) perlu digarisbawahi bahwa
perkembangan pariwisata di Indonesia saat ini mengenal trend ecotourism (ekowisata)
sebagai salah satu pendekatan pengembangan kepariwisataan. World Bank dan
International Development Bank menghentikan pemberian pinjaman dana bagi aktivitas
beach tourism secara masal karena merusak karang laut (Honey, 2008). Hal ini terbukti
sejak tahun 1990, World Bank dan International Development Bank mengarahkan
dukungan dana pinjaman bagi kecenderungan pada aktivitas ekowisata (Honey, 2003).
Pergeseran dan perubahan trend pariwisata dari beach tourism massal menuju
ecotourism tersebut diawali sejak tahun 1970-an di mana terjadi gelombang perubahan
mulai dari Eropa Barat, menjalar ke Amerika Utara, berlanjut ke Australia dan New
Zealand, lalu ke Asia dan berlanjut ke Eropa Timur. Hal ini merupakan gelombang
perubahan di mana mulai muncul pengakuan atas pariwisata di daerah perdesaan, yang
popular disebut sebagai rural tourism, di mana salah satu bentuknya adalah village
tourism (Lane, 2009: 354-356).
Penelitian yang dilaporkan dalam disertasi ini merupakan kajian perbandingan
(comparative study) atas dua desa wisata di Indonesia, yaitu Desa Pentingsari di
Jogyakarta dan Desa Bedulu di Ubud Gianyar. Dua desa wisata ini merupakan bagian
5
dari gencarnya program pemerintah antara lain melalui program PNPM Mandiri
mengembangan desa wisata di Indonesia sebagai bagian dari pemerataan pembangunan
dan pemanfaatan potensi desa untuk pembangunan ekonomi.
Jika menengok ke belakang, kecenderungan village tourism di Bali dimiliki
sejak awal tahun 1990 dalam peninjauan kembali Rencana Induk Pembangunan (RIP)
Bali yang dibiayai oleh United Nation Development Bank (UNDP). Saat itu,
dikembangkan sebuah konsep pengembangan pariwisata yang terintegrasi dengan desa
dan suasana perdesaan yang disebut desa wisata. Beberapa contohnya di antaranya Desa
Penglipuran Kabupaten Bangli dan Sebatu Gianyar (Putra dan Pitana, 2010). Dalam
perkembangannya, konsep desa wisata diterima secara luas oleh daerah-daerah di
Indonesia dan menjadi trend yang berkembang luas. Hal ini terbukti dengan banyaknya
objek wisata dalam bentuk desa wisata di beberapa provinsi di Indonesia seperti di
Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Bali (James, 2003; Hampton, 2003; Mitchell, 1994).
Bertolak dari pentingnya program pembangunan desa dan dimanfaatkannya potensi
desa untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari perkembangan industri pariwisata,
pemerintah Indonesia mendorong desa-desa untuk mengembangkan desa wisata.
Kesungguhan pemerintah Pusat untuk mengembangkan desa wisata semakin
tampak dalam beberapa tahun belakangan ini lewat program bantuan dana dan
pembinaan terhadap desa wisata. Pada tahun 2012, pemerintah Republik Indonesia
mengembangkan sebanyak 978 desa wisata melalui Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program PNPM untuk sektor pariwisata ini diberikan
selama dua hingga tiga tahun. Untuk bantuan tahun pertama, diberikan sebesar Rp
6
100 juta dan tahun kedua Rp 150 juta untuk setiap desa dengan komposisi 70 persen
bantuan langsung ke masyarakat, 20 persen untuk pendamping, dan 10 persen untuk
manajemen. Dana awal PNPM Mandiri Pariwisata sebesar Rp 100 juta diberikan pada
104 desa, dan khususnya digunakan untuk pembangunan yang menunjang daya tarik
wisata desa tersebut.1 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf)
sebagai pelaksana PNPM Mandiri Pariwisata sejak tahun 2009, menargetkan dua ribu
(2000) desa wisata dapat terbentuk sampai dengan tahun 2014.2
Jumlah dana yang telah dikucurkan pemerintah pun relatif besar dan terus
bertambah dari tahun ke tahun. Pada awal program PNPM Mandiri Pariwisata tahun
2009, dana yang dikucurkan untuk pengembangan desa wisata adalah sebanyak Rp
8,75 milyar untuk 104 desa di 17 provinsi. Pada tahun 2010, bertambah menjadi Rp
19,57 milyar untuk 200 desa di 29 provinsi. Begitu pula pada tahun 2011, dana yang
dikucurkan bertambah menjadi Rp 61,7 milyar untuk 569 desa di 33 provinsi. Pada
tahun 2012, dana PNPM Mandiri Pariwisata bertambah menjadi Rp 121,45 milyar
untuk 978 desa di 33 provinsi. Pada tahun 2013, dana bertambah menjadi Rp 123.25
miliar untuk 980 desa di 33 provinsi.3 Untuk jelasnya perkembangan dana PNPM
Mandiri untuk pengembangan pariwisata dapat dilihat pada Tabel 1.1
Tabel 1.1
Dana PNPM Mandiri Pariwisata Pengembangan Desa Wisata
1www.Indonesia.go.id Tahun ini Pemerintah Kembangkan 972 Desa Wisata.Diakses 2 Juni
2013.<http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-di-yogyakarta/1210-pariwisata/11632-
tahun-ini-pemerintah-kembangkan-972-desa-wisata> 2Prihtiyani 2011, 960 Desa Wisata pada Tahun 2012. Diakses 3 Juni 2013,
<http://travel.kompas.com/read/2011/11/07/17593283/960.Desa.Wisata.pada.Tahun.2012.> 3Kuntadi 2013, Kembangkan desa wisata Kemenparekraf kucurkan Rp123,25 M untuk PNPM Mandiri,
Diakses 2 Agustus 2013 <http://ekbis.sindonews.com/read/2013/06/17/34/750740/kemenparekraf-
kucurkan-rp123-25-m-untuk-pnpm-mandiri>
7
Tahun Dana Jumlah Desa Jumlah Provinsi
2009 Rp 8,75 milyar 104 17
2010 Rp 19,57 milyar 200 29
2011 Rp 61,7 milyar 569 33
2012 Rp 121,45 milyar 978 33
2013 Rp 123,25 milyar 980 33
Sumber: Kuntadi (2013) dan Prihtiyani (2011).
Peningkatan alokasi dana itu dari tahun ke tahun, serta peningkatan jumlah
daerah yang memperolehnya dapat dijadikan indikator keberlanjutan perhatian
pemerintah mengembangkan pariwisata di perdesaan. Hal ini juga merupakan wujud
keinginan untuk memeratakan pembangunan dengan menggarap potensi wisata desa.
Daerah terpencil memiliki banyak potensi keindahan alam dan keunikan seni budaya
yang pantas digarap sehingga menjadi produk daya tarik wisata. Banyak contoh yang
menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata ke sebuah daerah yang agak terpencil
bisa menjadi motor penggerak pembangunan sektor lainnya.
Hal yang menggembirakan dalam pengembangan desa wisata di Indonesia
adalah angka kunjungan ke desa wisata yang meningkat. Dalam sebuah survey pada
bulan September-November 2012 oleh Kementerian Parekraf bekerja sama dengan
konsultan independen dari Universitas Gajah Mada, ditunjukkan peningkatan angka
kunjungan sampai 63% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka ini
didasarkan pada survei terhadap 124 desa wisata penerima PNPM Mandiri Pariwisata
2011 di 33 provinsi.4
4 http://m.solopos.com/2013/11/25/desa-wisata-makin-naik-daun-468179 Akses 13 Juli2015.
8
Tahun 2014 direncanakan dikembangkan sebanyak 2000 desa wisata. Desa-desa
yang cukup sukses dalam mengelola dana yang mereka terima mendapatkan
penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atas prestasi sebagai
desa wisata yang memanfaatkan bantuan PNPM Mandiri Pariwisata. Penghargaan untuk
pengelolaan dana tahun 2010-2011 diberikan pada tahun 2012 kepada sepuluh Desa
Wisata, yaitu Desa Karangbanjar (Purbalingga, Jawa Tengah), Desa Bejiharjo
(Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta), Desa Banjarsari (Kulonprogo), Desa
Kauman (Kota Pekalongan), Desa Dieng Kulon (Banjarnegara), Kelurahan Bungus
Selatan (Kota Padang), Desa Pandai Sikek (Tanah Datar), Desa Lampulo (Kota Banda
Aceh), Desa Karangtengah (Bantul), dan Desa Kembangarum (Sleman).5
Perkembangan desa wisata di Indonesia sangat menonjol di tiga daerah, yaitu di
Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.6
Perkembangan desa wisata Yogyakarta dan Jawa Tengah didukung oleh letak geografis
desa-desa di sekitar obyek wisata yang sudah cukup terkenal seperti alamnya yang
indah, Candi Borobudur dan Candi Prambanan, serta adanya dukungan pembinaan dari
pemerintah setempat dan media untuk berkomunikasi antarpengelola. Forum
Komunikasi Desa Wisata di Yogyakarta dan Festival Desa Wisata, (Desa Wisata
Pentingsari sebagai Juara 1 pada tahun 2009) yang diadakan oleh Dinas Pariwisata
setempat telah menyokong pertumbuhan jumlah desa wisata di kawasan ini. Sokongan
5www.pnpm-mandiri.org Desa Wisata Karangbanjar Terbaik Nasional, Diakses 4 September 2013,
<http://www.pnpm-mandiri.org/index.php?option=com_content&view=article&id=370:desa-wisata-
karangbanjar-terbaik-nasional&catid=17:berita-daerah&Itemid=275> 6www.kompas.com Budpar: 200 Desa Jadi Desa Wisata, Diakses 4 September 2013,
<http://regional.kompas.com/read/2010/07/03/15501387/Budpar.200.Desa.Jadi.Desa.Wisata>
9
dan bantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, LSM, donor internasional dan
universitas dalam bentuk bantuan dana dan pembinaan juga mendukung bertumbuhnya
desa wisata di Jawa Tengah dan Yogyakarta (Putra dan Pitana, 2010: 75-77). Sebagai
contoh, di sekitar objek wisata Candi Borobudur (Magelang, Jawa Tengah) terdapat 20
desa wisata yang mendapat bantuan dana PNPM Mandiri Pariwisata dari
Kemenparekraf (Erwin et al., 2012: 4). Hal ini tentunya mempermudah perkembangan
desa wisata karena wisatawan lokal dan mancanegara yang berkunjung ke Candi
Borobudur misalnya dapat menjadi target utama mengunjungi desa wisata yang dekat
secara geografis.
Desa Wisata Pentingsari sebagai salah satu desa wisata yang ada di Yogyakarta
berkontribusi dalam perkembangan pariwisata berbasis masyarakat di Yogyakarta.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu (ketika itu) hadir ke
Desa Wisata Pentingsari tanggal 23 November 2013 untuk kembali memberi
penghargaan desa wisata terbaik tahun 2013. Hal ini merupakan indikator bahwa Desa
Wisata Pentingsari sudah mampu mengembangkan diri sesuai dengan potensinya dan
mencapai kemajuan dan perkembangan seperti diharapkan pemerintah, misalnya
berhasil melibatkan masyarakat lokal. Menteri Elka Pangestu memuji keberhasilan Desa
Pentingsari dalam transformasinya menjadi desa wisata, seperti dikutip sebuah media
masa sebagai berikut:
Awalnya desa Pentingsari tidak memiliki modal dan hanya mengandalkan
semangat gotong royong. Dengan semangat yang kuat, akhirnya mereka
mampu menyusun beberapa program dan atraksi budaya yang hidup di
10
masyarakat desa, sehingga mampu menghidupkan kearifan lokal menjadi daya
tarik untuk disuguhkan kepada wisatawan.7
Dalam pujian Menteri Elka Pangestu itu, secara eksplisit diungkapkan agar Desa
Pentingsari mengelola modal sosial dan modal budayanya untuk menjadikannya sebagai
daya tarik wisata sekaligus menghidupkan kearifan lokal. Dalam hal ini, jelas diakui
bahwa desa wisata tidak saja memberikan keuntungan ekonomi tetapi juga sebagai basis
untuk mengembangkan kearifan lokal, aspek budaya yang menjadi dasar identitas
masyarakat.
Pengelolaan desa wisata berbasis kearifan lokal tampak pada atraksi dan
aktivitas wisatanya yang ditawarkan. Program yang ditawarkan pada setiap paket wisata
mencakup aktivitas camping dan outbound, atraksi budaya membatik, wayang suket,
wisata sejarah, tracking dan wisata kuliner. Para wisatawan yang tidak membuat tenda
pada camping ground biasanya menginap di rumah penduduk (home stay) yang
disediakan oleh masyarakat setempat. Hampir semua kegiatan melibatkan pengelola dan
masyarakat setempat dan memberi kontribusi bidang sosial budaya, ekonomi, serta
lingkungan.
Desa wisata seirama dengan Petingsari yang berkembang di Bali dan menjadi
objek riset ini adalah Desa Wisata Arkeologi Bedulu. Fokus atau penekanan Desa
Wisata di desa Bedulu itu hampir sama dengan desa Pentingsari. Potensi utama desa
Bedulu adalah peninggalan budaya (arkeologi) yang dikeramatkan dan tersimpan di
pura-pura desa setempat (Astawa, 2012). Potensi lain desa Bedulu adalah lukisan para
7 Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/809240/34/menparekraf-beri-penghargaan-terhadap-124-desa-
wisata-1385192060 Akses 13 Juli 2015.
11
tokoh terkenal zaman dulu yang dipajang di Rumah Lukisan 22 yang dipadukan dengan
lukisan generasi muda desa Bedulu. Dalam hal kesenian, ditonjolkan atau diperkenalkan
seni patung dan seni tari Kecak Bedulu (sudah dikenal sejak 1930) dengan tema
Sugriwa-Subali (Astawa, 2012). Potensi budaya arkeologi di Desa Bedulu cukup
banyak dan tersimpan di beberapa pura serta tempat lain meliputi: museum arkeologi,
Pura Arjuna Metapa dengan peninggalan arkeolog, panorama di Persawahan Uma
Telaga dan Relief Yeh Pulu.
Aktivitas budaya di Desa Bedulu, menurut Astawa (2012), meliputi berbagai
kegiatan dan atraksi budaya, yakni membuat gerabah tradisional, memahat, melukis
telor dan menari, demonstrasi mebombong, menjahit, berbelanja ke pasar, membuat
makanan tradisional dan kursus memasak (cooking class). Aktivitas wisata alam
meliputi trekking dan hiking ke persawahan. Aktivitas penduduk yang ada di daerah ini
merupakan aktivitas murni yang telah berkembang dari tahun ke tahun sejak nenek
moyang, sehingga mempunyai histori yang telah lama. Pada saat ini, desa wisata di
daerah ini telah berkembang dengan kemajuan yang ada, terutama dengan alat
transportasi dan komunikasi modern. Masyarakat harus menyesuaikan kondisi teknologi
yang ada, terutama teknologi informasi seperti hand phone dan alat komunikasi lainnya.
Perkembangan desa wisata di Bali dimulai oleh Pemerintah Provinsi pada tahun
1993 dengan ditetapkannya tiga desa, yaitu Penglipuran, Sebatu, dan Jatiluwih sebagai
Desa Wisata oleh Gubernur Bali (Putra dan Pitana, 2010:72). Penetapan itu
dilaksanakan sesuai dengan besarnya potensi yang dimiliki ketiga desa tersebut. Di
antara beberapa desa wisata di Bali, yakni Desa Penglipuran, Desa Wisata Jati Luwih,
12
dan Desa Wisata Sebatu, ketiga desa ini ditetapkan sebagai model gagasan
pengembangan desa wisata. Namun, pendekatan yang bersifat top-down telah
menyebabkan kurang efektifnya perkembangan di desa-desa wisata tersebut.
Dibandingkan dengan ide awal dan lamanya waktu, inisiatif membangun tiga desa
wisata kurang optimal walaupun bukan berarti gagal.
Selain itu, LSM Yayasan Wisnu, bekerjasama dengan masyarakat juga
berinisiatif mengembangkan Jaringan Ekowisata Desa (JED) pada tahun 1999, yang
terdiri atas empat desa, yaitu Desa Plaga, Desa Ceningan, Desa Tenganan, dan Desa
Sibetan. Walau sempat terganjal oleh penurunan tren pariwisata karena tragedi Bom
Bali, JED berhasil bangkit kembali pada tahun 2004 dan masih bertahan hingga
sekarang (Putra dan Pitana, 2010:74-75). LSM lain yang juga menggerakkan
pembentukan desa wisata di Bali adalah Bali Community Based Tourism Association
(Bali COBTA) yang terbentuk pada tahun 2011. LSM non-profit ini telah membantu
lima desa wisata khususnya dalam hal pembentukan, pembinaan dan pemasaran Lima
desa wisata di Bali, yaitu: Budakeling, Pinge, Blimbingsari, Penglipuran, dan
Pancasari.8 Pada tahun 2013, dukungan Pemerintah untuk pengembangan desa wisata
melalui PNPM Mandiri Pariwisata di Bali telah mencapai 50 desa. Pemerintah Provinsi
Bali telah mengajukan pengusulan 164 desa untuk juga memperoleh dana PNPM
Mandiri untuk tahun 2014.9
8www.cbtbali.org Bali Cobta, Our Communities, Diakses 5 September 2013, <
http://www.cbtbali.org/?page_id=8 > 9www.beritasatu.com Bali Kembangkan 164 Desa Jadi Tujuan Wisata, Diakses 5 September 2013,
<http://www.beritasatu.com/nasional/119842-bali-kembangkan-164-desa-jadi-tujuan-wisata.html >
13
Kesuksesan pengembangan pariwisata berkelanjutan melalui program desa
wisata ini ditentukan oleh hubungan kerja sama elemen fundamental, yakni partisipasi
masyarakat lokal dalam perencanaan dan manajemen projek desa wisata (Garrod,
2001). Namun demikian, beberapa kajian empiris mengindikasikan masih adanya
hambatan dalam membangun hubungan tersebut, sehingga esensi program desa wisata
tersebut, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat sulit untuk terwujud. Proses
pengambilan keputusan top-down yang umum digunakan oleh otoritas pariwisata
seringkali berseberangan dengan kepentingan masyarakat setempat (Byrd, 2007;
Carmin et al., 2003). Kesuksesan pengembangan pariwisata berkelanjutan pada desa
wisata terletak pada pemberdayaan partisipasi masyarakat setempat sebagai aktor dalam
membangun, memiliki, dan mengelola langsung fasilitas wisata serta pelayanannya.
Pada akhirnya, mereka diharapkan dapat menikmati keuntungan ekonominya dan
dampak yang timbul terhadap lingkungan. Hal ini dapat terwujud apabila ada hubungan
yang baik atau sinergis antara pemerintah-masyarakat-pelaku pariwisata. Kajian-kajian
empiris menunjukkan masih adanya hambatan dalam membangun hubungan tersebut
(Byrd, 2007; Carmin et al., 2003), sehingga partisipasi masyarakat menjadi rendah dan
memberikan dampak kesejahteraan masyarakat yang semakin rentan. Di sinilah titik
lemah yang perlu diatasi sehingga bisa dibalik menjadi kenyataan bagaimana
pengembangan desa wisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau paling
tidak membantu mereka mengatasi kesulitan ekonomi dengan menyediakan peluang
bekerja atau berusaha.
14
Upaya pengembangan sektor pariwisata sangatlah holistik dan multidimensi.
Pengembangannya mencakup upaya membangun kapasitas dan memberdayakan
masyarakat lokal (Ardika, 2011). Aspek kekayaan alam, budaya, adat-istiadat, agama,
dan karakter masyarakat setempat berkontribusi secara holistik. Hal ini menunjang
perkembangan dunia pariwisata yang sangat cepat, seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pariwisata memainkan peran penting dalam menekan angka
kemiskinan karena dampak langsung dan tidak langsung dari ekonomi pariwisata (Putra
dan Pitana, 2010). Meskipun memberikan manfaat dalam menekan angka kemiskinan,
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) penting
memperhatikan daya dukung dan kerentanan lingkungan terhadap jumlah wisatawan
yang berkunjung, serta partisipasi dan timbal-balik yang dinikmati masyarakat lokal
serta dampak budaya dan ekonomi yang ditimbulkannya (Hampton, 2003).
Partisipasi warga dalam manajemen desa wisata tidak hanya memfasilitasi
pemahaman mereka tentang pariwisata lokal (Byrd, 2007), tetapi juga meningkatkan
kualitas perencanaan dan keputusan dengan mengikutsertakan pandangan penduduk
setempat (Beierle & Konisky, 2000; Carmin et al., 2003). Merangsang partisipasi
masyarakat lokal dalam proses manajemen membentuk landasan penting untuk
pengembangan desa wisata yang sukses, serta dapat memberikan dampak ekonomi yang
positif terhadap masyarakat setempat (Salazar, 2012; Chang et al., 2012). Di
samping itu, partisipasi juga harus dapat mengubah masyarakat dari hanya menjadi
objek pembangunan menjadi subyek yang berperan aktif dalam pengambilan keputusan
dan pengelolaan sehari-hari, dan oleh karena itu harus menguntungkan masyarakat
15
setempat. Bilamana desa wisata dikembangkan, maka desa wisata harus mendapat
manfaat, baik di bidang ekonomi, sosial budaya. Demikian pula, pengelolaan desa
wisata juga dapat ikut menjaga kelestarian lingkungan, karena dengan ditunjuknya
menjadi desa wisata, mereka akan berusaha untuk eksis pengelolaannya dan ikut
menjaga lingkungan.
Berdasarkan perbedaaan yang terjadi antara teori dengan aplikasi partisipasi
masyarakat terhadap lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi dalam pengelolaan desa
wisata, maka dipandang perlu melakukan penelitian lebih lanjut, dan dalam penelitian
ini dikaji dampak partisipasi masyarakat terhadap sosial budaya, lingkungan dan
ekonomi dalam pengelolaan desa wisata. Penelitian ini mengkaji secara komparatif
partisipasi masyarakat dan dampak sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam
pengelolaan dua desa wisata, yaitu desa wisata di Desa Bedulu, Bali dan Desa Wisata
Pentingsari di Yogyakarta. Tujuannya adalah untuk mengkaji operasional dan dampak-
dampak yang dirasakan masyarakat pada dua desa wisata yang diteliti dan
merangkumnya menjadi analisis bentuk model atau bentuk teori tentang partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan desa wisata yang efektif, dan dapat menumbuhkan sosial
budaya, lingkungan, dan ekonomi.
1.2 Alasan Empiris Pemilihan Objek Penelitian
Alasan empiris dalam memilih kedua desa wisata tersebut sebagai objek
penelitian adalah adanya persamaan dan perbedaan yang menarik untuk dipakai sebagai
menjadi bahan perbandingan. Alasan pertama, karena kedua desa ini adalah desa wisata
yang secara operasional sudah berjalan, dan telah memiliki fasilitas akomodasi,
16
memiliki ragam program kegiatan wisata, dan telah dipasarkan kepada umum, baik
lokal maupun internasional. Desa Bedulu mulai dikelola sebagai desa wisata pada tahun
2007. Pengajuan kebutuhan bantuan dana kepada pemerintah dilakukan pada tahun
2009, dan pengelolaannya menjadi lebih profesional setelah mendapatkan bantuan dana
PNPM Mandiri Pariwisata pada tahun 2011 sebesar Rp 150 juta. Desa Pentingsari
dijadikan desa wisata pada tahun 2008 dan telah menerima beberapa penghargaan baik
nasional maupun internasional. Usia kedua desa wisata ini relatif sama, sekitar tujuh
atau delapan tahun, dan keduanya menunjukkan perkembangan yang menjanjikan masa
depan yang bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya.
Alasan kedua, pemilihan dua studi kasus desa wisata ini juga
mempertimbangkan perbandingan menarik yang akan didapatkan, khususnya dari segi
perbedaan latar belakang budaya dan kepercayaan dan atau agama mayoritas
masyarakat pada masing-masing desa. Mayoritas penduduk desa Bedulu menganut
agama Hindu dan hampir seluruh penduduk Desa Pentingsari beragama Islam.
Perbedaan kepercayaan yang dianut masing-masing desa bukanlah dasar utama
motivasi penelitian ini, tetapi perbedaan ini dapat menghasilkan konteks hasil penelitian
yang tidak eksklusif ataupun culture-specific. Perbedaan kepercayaan/ agama
kebanyakan masyarakat pada dua desa wisata yang diteliti akan menghasilkan analisis
partisipasi masyarakat dalam tata-kelola desa wisata yang lebih fleksibel dan mampu
mengakomodasi serta diaplikasikan ke lebih banyak desa lain di kawasan Republik
Indonesia yang luas dengan latar belakang budaya berbeda.
17
Alasan ketiga, kedua desa wisata ini memiliki persamaan dalam hal atraksi yang
ditawarkan, di mana ada unsur wisata ziarah di dalam program kegiatan wisata di
masing-masing desa. Menurut Ulung (2013:3), definisi wisata ziarah adalah :
Kegiatan wisata ke tempat-tempat yang memiliki makna khusus, biasanya
berupa tempat ibadah, makam ulama, atau gereja, masjid dan situs-situs kuno
yang memiliki kelebihan. Kelebihan ini misalnya dilihat dari sisi sejarah, adanya
mitos dan legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan
arsitektur bangunannya.
Desa Bedulu memiliki situs kuno Relief Yeh Pulu dan beberapa peninggalan
arkeologi lainnya yang tersimpan di Pura di Desa Bedulu yang dikeramatkan dan
menjadi media pemujaan bagi umat Hindu. Desa Bedulu juga menyimpan makna
khusus sejarah berkembangnya Agama Hindu yang bersatu di Bali. Pada masa Bali
kuno, perkembangan keagamaan bersifat sektarian dan berhasil dipersatukan oleh
musyawarah yang bertempat di Pura Samuan Tiga yang dipercaya berlokasi di pusat
kerajaan Bali Kuno di Bedulu.
Desa Pentingsari memiliki situs-situs yang menurut mitos dan legenda penduduk
setempat memiliki makna dan kekuatan tersendiri seperti Pancuran Sendangsari, Watu
Dakon, Watu Persembahan, Watu Gajah, Watu Gandul, Goa Ponteng, dan Kali Pawon.
Di desa ini, terdapat sejarah peninggalan penjajah Belanda dan tungku peninggalan
yang legendaris. Desa Pentingsari juga menyimpan makna sejarah sehubungan dengan
pendiri desa ini yaitu Kyai Jokerto yang merupakan salah satu prajurit Pangeran
Diponegoro, yang hidup pada tahun 1790-1905. Pangeran Diponegoro adalah salah satu
18
Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang berjasa dalam perang melawan penjajah
Belanda 1825-1830. Desa Pentingsari ini juga digunakan sebagai objek wisata alam.
Alasan teoritik dalam memilih kedua desa wisata tersebut sebagai obyek
penelitian adalah adanya konsep tourism area life cycle (Butler, 1980), di mana setiap
produk wisata, termasuk desa wisata, pastilah mengalami sebuah siklus kehidupan
mulai dari eksplorasi dan keterlibatan (exploration and involvement), pertumbuhan
(development), penguatan dan kemacetan (consolidation and stagnation) dan setelah itu
pilihan antara penurunan (decline) atau perkenalan produk baru ataupun inovasi produk
(rejuvenation). Produk yang berhasil melakukan rejuvenation akan mengulangi kembali
siklus tourism area life cycle secara keseluruhan (Butler, 2006). Setiap level siklus
kehidupan sebuah daya tarik wisata tentunya memiliki karakteristik tersendiri yang
memiliki perbedaan mendasar dengan level siklus berikutnya ataupun sebelumnya. Hal
ini mengakibatkan diperlukannya contoh studi kasus yang disesuaikan dengan setiap
level siklus tourism area life cycle.
Desa Bedulu yang terletak di Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar,
Provinsi Bali, dipilih karena karakteristiknya sebagai desa wisata yang sedang dalam
masa pertumbuhan atau developing stage. Desa wisata yang satu ini mulai menikmati
pertambahan kunjungan wisatawan yang cukup signifikan dan mulai populer sebagai
daya tarik wisata, dengan angka kunjungan per bulan rata-rata 40 orang. Di lain pihak,
Desa Pentingsari yang terletak di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), dipilih karena karakteristiknya sebagai desa wisata yang juga sedang
19
berkembang dengan pesat, tahap development, jika meminjam tahapan-tahapan teori
tourism area life cycle (siklus hidup daerah wisata) yang diperkenalkan Butler (1980).
Penelitian ini khususnya akan mengadopsi sudut pandang masyarakat desa
untuk membandingkan efektivitas partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan desa
wisata, serta dikaitkan dengan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Hal ini penting
karena sumber daya manusia masyarakat lokal di desa seringkali masih kurang
kompeten dalam hal knowledge, attitude, dan skill untuk mengelola sebuah daya tarik
wisata, sehingga seringkali mereka kurang dilibatkan oleh investor maupun pemerintah
dalam pengembangan desa wisata (Salazar, 2011). Selain itu, pada akhirnya,
masyarakat lokal adalah yang akan paling merasakan dampak-dampak dari
pengembangan desa wisata baik dampak positif ataupun dampak negatif (Salazar,
2012). Oleh karena itu, sangatlah penting untuk berfokus pada partisipasi masyarakat
desa dan dampak-dampak yang mereka alami dari berkembangnya desa wisata.
Dampak yang akan diukur berkaitan dengan pelaku desa wisata atas dampak ekonomi,
sosial budaya, dan lingkungan yang terjadi pada masyarakat lokal.
Penekanan penelitian ini melihat dari comparative study mendasarkan pada studi
Breugel (2013) bertopik pariwisata berbasis masyarakat yang membandingkan
partisipasi masyarakat dan persepsi mereka terhadap dampak sosial budaya, lingkungan,
dan ekonomi, dari suatu kegiatan pengembangan pariwisata berbasis partisipasi
masyarakat di Thailand. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat lokal, semakin
positif pula langkah, kebijakan, dan persepsi mereka terhadap dampak yang
ditimbulkannya (Bruegel, 2013). Referensi di atas dari beberapa sumber dan fakta
20
memberi gambaran tentang adanya kesenjangan hasil penelitian (research gap) untuk
diteliti kedua desa wisata dengan melihat pada aspek kemanfaatannya dalam ekonomi,
sosial budaya, dan lingkungan. Dengan demikian, disusun rumusan masalah sebagai
berikut ini.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah ditetapkan sebagai berikut ini:
1) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap sosial
budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata Bedulu,
Gianyar, Bali?
2) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap sosial
budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata Pentingsari,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta?
3) Bagaimana perbandingan pengelolaan desa wisata dan dampaknya terhadap
sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi pada Desa Wisata Bedulu dan Desa
Wisata Pentingsari?
Studi di kedua desa wisata yang dipilih sebagai obyek penelitian ini didasarkan
pada kesamaan situasi masing-masing desa tersebut. Berdasarkan konsep tourism area
life cycle, desa Bedulu dan Desa Pentingsari masih berada dalam level development.
Pembangunan sarana dan prasarana pendukung aktivitas, kegiatan promosi, dan upaya
melibatkan masyarakat tetap dilakukan. Dibutuhkan dukungan dan analisis dari
21
berbagai pihak yang berkepentingan dan dilibatkan dalam pengembangan desa wisata
ini.
Pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun di pusat dan instansi terkait wajib
terlibat dalam mengembangkan pariwisata berbasis partisipasi masyarakat. Hasil
beberapa riset menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam berbagai
aktivitas desa wisata mampu mengembangkan sosial budaya masyarakat setempat,
melestarikan lingkungan, dan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Tujuan mulia
pada aspek sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi berkontribusi besar terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji tingkat partisipasi
masyarakat dan perbedaannya dalam pengelolaan desa wisata. Dari kajian ini,
diharapkan dapat diketahui dampak pengelolaan desa wisata terhadap sosial budaya,
lingkungan, dan ekonomi di dua desa wisata, yaitu Desa Wisata Bedulu dan Desa
Wisata Pentingsari. Penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan pokok-pokok
penting dalam pengelolaan desa wisata di kedua desa wisata tersebut. Luaran dari studi
ini adalah untuk mengoptimalisasikan model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
desa wisata dikaitkan dengan pengembangan sosial budaya, meminimalisir dampak
negatif terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat.
1.4.2 Tujuan Khusus.
22
Selaras dengan tujuan penelitian di atas, maka tujuan khusus penelitian ini
dibagi dalam tiga hal.
1) Untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap
sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata
Bedulu, Gianyar.
2) Untuk menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap
sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dalam pengelolaan Desa Wisata
Pentingsari, Yogyakarta.
3) Untuk mengetahui secara komparatif pengelolaan desa wisata dan
dampaknya terhadap sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi masyarakat
Desa Wisata Bedulu, Gianyar dan Desa Wisata Pentingsari, Yogyakarta.
1.5 Manfaat Penelitian.
Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan manfaat
teoritis dan praktis. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi untuk memperkaya dan melengkapi literatur ilmu pariwisata, terutama dalam
pengembangan partisipasi masyarakat. Analisis pada dua best practice desa wisata
tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan desa wisata, serta dampaknya
terhadap sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi yang dirasakan masyarakat dapat
dijadikan referensi dalam pengembangan desa wisata di masa depan.
Penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis
karena masih jarang penelitian yang berfokus pada partisipasi masyarakat dalam
konteks pengelolaan desa wisata, khususnya yang menghasilkan analisis pengelolaan
23
yang berdasarkan studi perbandingan. Hasil dari penelitian ini juga dapat
mengidentifikasi dan mengevaluasi dampak terhadap sosial budaya, lingkungan, dan
ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat setempat. Penelitian ini juga menjadi dasar
untuk penelitian lebih lanjut dalam konteks pengelolaan desa wisata yang lain ataupun
pengelolaan pariwisata pedesaan lain secara lebih luas.
Dari segi manfaat praktis, hasil dari penelitian ini dapat memberi informasi
tambahan dan bahkan dapat menjadi pedoman bagi para pengambil keputusan berkaitan
dengan pembentukan, pengembangan, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
desa wisata demi terwujudnya hasil yang lebih maksimal. Penelitian ini juga menjadi
dasar pembanding dalam menganalisis pengelolaan desa wisata yang berbeda
kondisinya dan dilihat dari sudut partisipasi masyarakat setempat.
24
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini menguraikan empat hal termasuk model penelitian yang
menggambarkan alur pemikiran dalam riset dan analisis. Bagian pertama merupakan
kajian terhadap penelitian sebelumnya yang relevan dengan topik desa wisata.
Manfaatnya adalah untuk mengapresiasi penelitian-penelitian serupa sebelumnya dan
menemukan gap persoalan yang belum tergarap dalam penelitian tentang desa wisata.
Bagian berikutnya menguraikan konsep, yaitu uraian atas istilah kunci dalam penelitian
ini yang mungkin masih ragu agar dapat dipaparkan secara jelas sehingga memudahkan
pembaca untuk mengikuti uraian dalam disertasi ini. Bagian ketiga adalah uraian
mengenai teori yang digunakan dalam menganalisis data. Teori menyediakan kerangka
berpikir dan jalan yang pasti dengan cara apa dan bagaimana data yang terkumpul
dianalisis. Bagian terakhir adalah ‘Model Penelitian’ yang merupakan alur pikir mulai
dari mengidentifikasi sumber masalah, menetapkan topik, konsep, teori, rumusan
masalah, dan simpulan.
2.1. Kajian Pustaka
Penelitian tentang desa wisata sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dan hal
ini terus berlanjut sejalan dengan munculnya berbagai fenomena dan gagasan untuk
pengembangan desa wisata di Indonesia. Penelitian-penelitian terhadap desa wisata
25
di Indonesia masih terfokus pada desa wisata di Jawa dan Bali, dan sedikit dengan yang
ada di Lombok dan Flores.
Assiyah (2008) dalam penelitiannya tentang Desa Wisata Ngablak, Yogyakarta
dan Wardani (2008) tentang Desa Wisata Kembang Arum, Yogyakarta, penelitian
mereka bersifat deskriptif dan sangat mendasar dalam menceritakan potensi-potensi
yang dapat dikembangkan sebagai desa wisata. Terdapat juga pembahasan desa wisata
dalam bentuk penelitian oleh Sukmana (2006) dan Sukmana (2008), tetapi itu lebih
mengarah pada pengelolaan lingkungan dan penataan kota dalam perspektif ekowisata
di Kota Batu, Jawa Timur. Demikian juga, penelitian Putra dan Pitana (2010) juga
menekankan aspek pengelolaan desa wisata dan manfaatnya bagi penyediaan sumber
pendapatan masyarakat. Stroma Cole, (1997) menulis ihwal potensi wisata desa Ngada
di Flores dengan menekankan uraian pada daya tarik alam dan potensi warisan budaya
desa tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Penelitian Cole, (1997) tidak secara spesifik
berbicara tentang desa wisata, tetapi lebih bagaimana desa dibangun sebagai daya tarik
wisata.
Berkenaan dengan kedua desa wisata yang menjadi objek penelitian ini, yaitu
Desa Pentingsari, Yogyakarta dan Desa Bedulu, Gianyar, Bali, sejauh ini belum
ditemukan ada penelitian. Dapat dikatakan bahwa tidak ada penelitian sebelumnya yang
secara spesifik membahas tata-kelola desa wisata, ataupun partisipasi masyarakat
di desa wisata Bedulu dan Pentingsari. Uraian kajian pustaka berikut ini diisi dengan
tinjauan terhadap berbagai literatur relevan yang membahas ihwal desa wisata atau
rural tourism secara umum seperti tulisan Salazar (2011).
26
Salazar dalam tulisan “The power imagination in transnational mobilities”
(2011) menganalisis dua desa wisata di Jawa Tengah, yaitu Desa Tembi, Yogyakarta
dan Desa Candirejo, Magelang, Jawa Tengah. Implementasi desa wisata Tembi dan
Candirejo yang awalnya dijadikan model desa wisata oleh Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata pada saat itu sesungguhnya dimiliki dan dikelola oleh investor dari
Australia (James, 2003). Karena berorientasi mencari keuntungan, maka harga-harga
yang ditetapkan di desa wisata Tembi sangat mahal, bahkan tidak terjangkau oleh
wisatawan domestik. Selain itu, keterlibatan masyarakat lokal dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan aktivitas pariwisata di Desa Tembi sangatlah sedikit
(Salazar, 2011; 580).
Pengelolaan di Desa Wisata Candirejo menunjukkan terlalu dominannya campur
tangan pemerintah dan pebisnis swasta dalam perencanaan dan pengelolaannya,
sehingga menghambat pertumbuhan desa wisata itu sendiri. Contoh di atas justru
bertentangan dengan norma kepariwisataan Indonesia, yakni pariwisata terintegrasi
yang terdiri atas kepariwisataan berbasis masyarakat lokal, berbasis budaya, dan
pariwisata berkelanjutan (Ardika, 2011). Mengenai Desa Wisata Candirejo, Putra dan
Pitana (2010) menyampaikan bahwa peran masyarakat melalui kooperasi sudah terasa
sejak awal. Pembentukan kooperasi desa wisata itu didorong oleh Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata waktu itu. Hasil pengelolaan dari kooperasi didistribusikan
secara proporsional kepada komunitas sehingga walau sedikit, masyarakat bisa
menikmati hasil dari perkembangan daerahnya sebagai desa wisata. Masyarakat yang
terlibat langsung dalam aktivitas desa wisata di sana seperti menawarkan tur, makanan,
27
membuka rumah untuk dikunjungi, dan sebagainya ; menikmati hasil langsung dari
aktivitas wisata. Pada awalnya, wisatawan yang berkunjung ke Candirejo datang dari
biro perjalanan atau hotel-hotel tempat mereka menginap di Yogyakarta. Belakangan,
sejak ada internet dan email, reservasi kunjungan bisa dilakukan melalui email, atau
kontak langsung tanpa melalui agen di Yogyakarta.
Sumber pustaka, baik berupa artikel jurnal maupun buku yang bersifat
internasional tentang desa wisata sangat terbatas. Hal ini mungkin disebabkan oleh
pengertian frase ‘desa wisata’ yang berbeda dalam bahasa Inggris. Jika diterjemahkan
langsung ke bahasa Inggris desa wisata adalah ‘tourism village’. Hal ini bukan
terminologi yang banyak digunakan dalam kajian pariwisata secara internasional.
Dalam konsep pariwisata di daerah perdesaan, yang lebih dikenal oleh para akademisi
secara internasional adalah “rural tourism” atau dalam bahasa Indonesia “wisata
perdesaan” yang mengandung arti mengunjungi desa-desa yang memiliki daya tarik.
Meskipun demikian, kondisi kedua desa di dalam negeri dan di luar negeri mempunyai
perbedaan yang nyata.
Konsep desa wisata di Indonesia berkembang dari konsep Community Based
Tourism (CBT), di mana masyarakat secara aktif menjadi pengelola dan ikut serta
dalam operasional obyek wisata, bukannya hanya secara pasif menjadi bagian dari daya
tarik obyek wisata. Hal ini diterangkan dengan jelas dalam buku yang ditulis oleh Putra
dan Pitana (2010: 71). Buku pariwisata pro-rakyat yang membahas penerapan teori
Pariwisata Pro-Rakyat dalam penerapan strategi pro-growth, pro-job creation, dan pro-
poor, serta contoh-contoh penerapan dalam perkembangan pariwisata di Indonesia.
28
Buku pariwisata pro-rakyat ini menjadi sumber yang berharga dalam relevansinya
terhadap penelitian ini. Bab pembahasan dari buku tersebut secara khusus membahas
desa wisata sebagai usaha memerangi kemiskinan serta beberapa contoh di Bali, Jawa
Tengah, serta Yogyakarta. Dikatakan bahwa:
Desa Wisata menjadi tumpuan harapan tidak saja untuk menghapus kemiskinan
atau meningkatkan kesejahteraan tetapi juga model pengembangan ideal
pariwisata Indonesia’ (Putra dan Pitana, 2010: 81).
Maksud dari ‘pengembangan ideal pariwisata Indonesia’ adalah pembangunan
yang memanfaatkan keindahan alam dan budaya Indonesia sebagai dasar pembangunan
yang mana hasil pemanfaatannya sebagai daya tarik wisata digunakan untuk
melestarikan kedua sumber daya tersebut. Selain itu, pembangunan desa wisata adalah
salah satu bentuk strategi pembangunan yang efektif untuk mewujudkan pemerataan ke
daerah pedalaman atau rural area. Pembangunan di daerah pedalaman biasanya ditarik
oleh tersedianya sumber daya alam tambang yang bernilai. Namun, kalau desa hanya
memiliki alam yang indah dan budaya yang unik, jarang dilirik sebagai alasan
pembangunan desa. Belakangan, ketika pariwisata berkembang, banyak daerah
terpencil dikunjungi wisatawan dan dari sana pembangunan infrastruktur biasanya
dimulai. Ketika pemerintah mendorong desa mengembangkan dirinya sebagai daya
tarik wisata, di sana pemerintah sebetulnya sudah secara tidak langsung menerapkan
strategi pembangunan yang efektivitasnya terjamin.
Penting juga dirujuk di sini penelitian Nepal (2007) tentang pengalaman dua
desa yang mengembangkan ekowisata. Penelitian Breugel (2013) tentang pariwisata
berbasis masyarakat di dua desa di Thailand, dan penelitian Madiun (2008) tentang
29
partisipasi masyarakat dalam pengembangan kawasan di daerah Nusa Dua. Kedua
penelitian ini menarik untuk dijadikan referensi karena sama-sama mengungkapkan
pengalaman desa-desa dalam pengembangan desa wisata. Kedua desa wisata di negara
bagian Asia tersebut memiliki persamaan dengan desa wisata di Indonesia.
Nepal (2007) dalam tulisannya “Indigenous Perspectives on Ecotourism in
Nepal: The Ghale Kharka-Sikles and Sirubari Experience” yang dimuat sebagai bab
dalam buku Critical Issues in Ecotourism: Understanding a Complex Tourism
Phenomenon menemukan keberhasilan implementasi di dua desa wisata di Nepal.
Keberhasilan itu, katanya, tergantung pada beberapa factor, yakni dukungan masyarakat
lokal, marketing dan publikasi, pendirian economy participant, keinginan masyarakat
untuk mengadopsi peluang ekonomi, penerapan prinsip partnership dan kolaborasi serta
dukungan external NGO (Non Government Organization) dan pemerintah. Desa wisata
akan mempunyai keberlanjutan bila destinasi dipromosikan dan diterapkan dengan
menggunakan konsep sustainable tourism, target harus fokus pada wisatawan yang
berkualitas walaupun dalam jumlah kecil. Dalam studi ini, tampak jelas bahwa
keterlibatan dan kesungguhan masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan desa wisata
merupakan jaminan keberlanjutan pembangunan pariwisata tersebut. Dukungan dari
pemerintah dan NGO sama pentingnya dengan kesungguhan masyarat setempat. Kata
kuncinya adakah “partisipasi”, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Terkait dengan konsep studi komparatif antara dua desa wisata di Thailand,
Breugel (2013) menjelaskan hubungan antara tipe partisipasi masyarakat setempat dalam
pengembangan pariwisata dan persepsi masyarakat atas hasil proyek pariwisata yang
30
dilaksanakan. Pada akhir penelitian, juga dianalisis dampak dari partisipasi masyarakat
dalam desa wisata terhadap pengembangan sosial budaya, lingkungan, dan. pertumbuhan
ekonomi.
Menyinggung ihwal “partisipasi”, Madiun (2008) menjelaskan bentuk-bentuk
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal, dalam pengembangan kawasan
pariwisata Nusa Dua, dengan berbagai implikasi yang ditimbulkannya. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa bentuk partisipasi yang dilakukan pada awal fase
perencanaan dan pengembangan kawasan Nusa Dua, adalah partisipasi karena paksaan
(manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coersive participation).
Pada fase implementasi perencanaan dan awal aktivitas di kawasan, bentuk
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal adalah partisipasi karena dorongan
(induced participation), di mana masyarakat lokal terdorong untuk melakukan berbagai
aktivitas yang terkait dengan pariwisata. Partisipasi masyarakat secara spontan
(spontaneous participation) merupakan bentuk partisipasi masyarakat lokal pada fase
munculnya berbagai dampak aktivitas kepariwisataan di kawasan Nusa Dua.
Tersedianya potensi sumber daya yang memenuhi syarat, munculnya paradigma baru
dalam pembangunan masyarakat lokal yang berorientasi pada pariwisata, pengaruh
wacana yang berkembang di masyarakat lokal, keinginan mendapatkan manfaat
ekonomi, pengaruh modernisasi dalam kehidupan masyarakat lokal, prospek usaha
komplementer ke depan, dan keinginan mewujudkan masyarakat yang mandiri,
merupakan berbagai faktor yang mendorong masyarakat lokal untuk berpartisipasi
dalam perencanaan dan pengembangan kawasan Pariwisata Nusa Dua.
31
Makna partisipasi masyarakat lokal dari bentuk-bentuk partisipasi yang
dilakukan antara lain: makna kepatuhan, makna ekonomi, makna pluralisme serta
multikulturalisme, dan makna persaingan. Dua temuan spesifik dalam penelitian yang
dilakukan Madiun (2008) adalah hegemoni penguasa terhadap hak-hak masyarakat
lokal, dan termarjinalisasinya masyarakat lokal dalam merebut peluang.
Nusa Dua bukanlah desa wisata, tetapi kawasan kantong (enclave) yang
dibangun “terpisah” dari ruang perdesaan masyarakat. Meski demikian, Madiun
berpendapat bahwa tetap perlu pelibatan masyarakat dalam pengembangan kawasan
tersebut karena mereka bersentuhan langsung dengan kawasan itu dan wisatawan.
Masyarakat jelas merupakan salah satu kelompok dari stakeholder dari kawasan wisata
Nusa Dua. Sebagai salah satu dari pengampu kepentingan, pelibatan dan partisipasi
mereka sangat penting. Namun, akan lebih penting lagi kalau pelibatan masyarakat
berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan desa wisata tempat tinggal mereka
menjadi daya tarik wisata, seperti dua desa wisata yang dijadikan objek penelitian ini.
2.2 Konsep Penelitian
Ada enam konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu (1) desa
wisata, (2) pariwisata pro-rakyat, (3) Pariwisata berbasis masyarakat, (4) dampak
lingkungan, (5) dampak ekonomi, dan (6) dampak sosial budaya. Keenam konsep itu
akan dibahas satu per satu berikut ini.
32
2.2.1 Desa Wisata
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan “desa wisata” adalah desa yang
membuka diri untuk menerima kunjungan wisata lebih dari sekadar objek atau daya
tarik wisata. Dalam hal desa wisata, termasuk di dalamnya ketersediaan akomodasi dan
fasilitas lainnya sehingga wisatawan tidak saja datang berkunjung dan kembali, tetapi
menetap di desa wisata. Pengertian desa wisata berbeda dengan “wisata desa” yang
mengacu pada aktivitas wisatawan yang berkunjung ke perdesaan tanpa tujuan untuk
bermalam di tempat tersebut karena tidak tersedia fasilitas untuk itu. Dalam aktivitas
tour ke desa ini, desa hanya sebagai objek atau daya tarik wisata.
Desa wisata didefinisikan oleh Nuryanti (1993) sebagai “suatu bentuk integrasi
antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur
kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku”
(Nuryanti, 1993: 2-3). Batasan ini menekankan pada fasilitas wisata, tetapi tidak
memasukkan partisipasi atau peran masyarakat dalam pengelolaan.
Terdapat dua konsep utama dalam komponen desa wisata: 1) akomodasi:
sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang
berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk, dan 2) atraksi: seluruh kehidupan
keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan
berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif seperti : kursus tari, bahasa, dan
lain-lain yang spesifik. Di lain pihak, Edward Inskeep (2000: 166), dalam Tourism
Planning an Integrated and Sustainable Development Approach memberikan definisi
berikut :
33
Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional, often
remote villages and learn about village life and the local environment.
Artinya bahwa ‘desa wisata’ adalah di mana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam
atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar
tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat.
Pengembangan desa wisata harus menggunakan pendekatan perencanaan secara
hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasar penelitian dan studi-studi
dari UNDP (United Nation Development Program) dan WTO (World Tourism
Organization) dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam
menyusun kerangka kerja pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata. Nuryanti
(1993) menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan dalam pengembangan desa wisata
di Indonesia, yaitu pendekatan pasar dan pendekatan fisik. Pendekatan pasar bisa
dilakukan dengan langsung, setengah langsung, maupun tidak langsung. Secara tidak
langsung, pengembangan desa wisata didekati dengan cara bahwa desa mendapat
manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi
seperti penulisan buku-buku tentang desa yang berkembang, kehidupan desa, seni,
budaya lokal, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, dan pembuatan kartu pos.
Pendekatan setengah langsung dapat berbentuk one day trip yang dilakukan oleh
wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi : makan, berkegiatan bersama penduduk, dan
kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip pendekatan
setengah langsung ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal
bersama dengan penduduk. Namun, pendekatan langsung adalah dengan wisatawan
34
dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa
tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan, yaitu
daya dukung dan potensi masyarakat setempat.
Alternatif lain dari model ini adalah penggabungan dari model pertama dan
model kedua (WTO, 1981). Agar dapat berhasil, pendekatan fisik memerlukan beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah desa wisata, yaitu dari segi atraksi wisata, jarak
tempuh, besaran desa, sistem kepercayaan serta kemasyarakatan, dan ketersediaan
infrastruktur. Atraksi wisata; yaitu semua yang mencakup alam, budaya, dan hasil
ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih haruslah yang paling menarik dan atraktif di desa.
Jarak tempuh adalah jarak dari kawasan wisata terutama tempat tinggal wisatawan dan
juga jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari ibukota kabupaten. Besaran desa
menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk, karakteristik, dan luas
wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu
desa. Sistem kepercayaan dan kemasyarakatan merupakan aspek penting mengingat
adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa. Dalam hal ini, yang
juga perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem
kemasyarakatan yang ada. Ketersediaan infrastruktur meliputi fasilitas dan pelayanan
transportasi, fasilitas listrik, air bersih, drainase, dan telepon.
Pendekatan kedua adalah pendekatan fisik, yang merupakan solusi yang umum
dalam mengembangkan sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan
standar-standar khusus dalam mengontrol perkembangan dan menerapkan aktivitas
konservasi. Pendekatan ini dilaksanakan dengan mengkonservasi sejumlah rumah yang
35
memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi serta mengubah fungsi rumah tinggal
menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk perawatan dari rumah
tersebut. Contoh pendekatan dari tipe pengembangan model ini adalah Desa Wisata di
Koanara, Flores. Desa yang terletak di daerah wisata Gunung Kelimutu ini mempunyai
aset wisata budaya berupa rumah-rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas.
Dalam rangka mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah tersebut, penduduk
desa menempuh cara memuseumkan rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali.
Untuk mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut, dibangun juga sarana wisata untuk
wisatawan yang akan mendaki gunung Kelimutu dengan fasilitas berstandar resort
minimum dan kegiatan budaya lain.
Cara lain dalam pendekatan fisik adalah dengan mengkonservasi keseluruhan
desa dan menyediakan lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk desa
tersebut dan sekaligus mengembangkan lahan tersebut sebagai area pariwisata dengan
fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata
Sade, di Lombok. Selain itu, pendekatan fisik juga dapat dilakukan dengan
mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah desa tersebut yang
dioperasikan oleh penduduk desa tersebut sebagai industri skala kecil. Contoh dari
bentuk pengembangan ini adalah Desa Wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di
daerah ini sangat beragam antara lain kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-rumah
tradisional, dan pemandangan ke arah laut, dan sebagainya. Desa wisata di daerah ini
dikembangkan dengan membangun sebuah perkampungan skala kecil di dalam
lingkungan Desa Wolotopo yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang
36
unik. Fasilitas-fasilitas wisata ini dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat.
Fasilitas tersebut berupa akomodasi bagi wisatawan, restoran, kolam renang, peragaan
tenun ikat, kebun, dan dermaga perahu.
2.2.2 Pariwisata pro-rakyat
Dalam beberapa dekade terakhir, khususnya sejak 1990-an, industri pariwisata
mendapat tugas tambahan sebagai usaha yang diharapkan dapat mengentaskan
kemiskinan. Gagasan ini muncul karena industri pariwisata banyak dilihat telah
memberikan keuntungan yang besar bagi investor dan perusahaan-perusahaan besar.
Karena itu, industri ini juga diberi harapan besar untuk memberikan penghidupan bagi
rakyat miskin. Ide ini menimbulkan konsep yang dikenal dengan nama pro-poor
tourism (PPT), secara literal berarti ‘pariwisata yang berpihak pada orang miskin’ atau
‘pariwisata yang memperhatikan kebutuhan orang miskin’. Di Indonesia, istilah
pro-poor lebih tepat diterjemahkan menjadi ‘pariwisata pro-rakyat’; rakyat dalam
konteks pembangunan ekonomi adalah orang yang dianggap miskin.
Istilah pro-poor tourism ini dicetuskan pertama kali oleh Department for
International Development (DFID) di Inggris, yang bekerjasama dengan lembaga riset
Overseas Development Institute (ODI) dan menghasilkan strategi implementasi (Putra
dan Pitana, 2010: 5). PPT didefinisikan sebagai strategi alternatif dalam pengembangan
pariwisata yang memberikan manfaat bersih (net benefits) bagi masyarakat miskin
(Putra dan Pitana, 2010: 5; Goodwin, 2009: 91). PPT menggunakan sejumlah strategi
untuk mengentaskan kemiskinan terutama dengan mengubah distribusi kekayaan,
37
memberikan peluang usaha dan lapangan kerja, pendidikan, dan kesetaraan (Goodwin,
2009).
Pro-Poor Tourism (PPT) diadopsi oleh banyak organisasi internasional dan
negara-negara berkembang sebagai salah satu strategi dalam program pengentasan
kemiskinan yang mereka laksanakan. Asian Development Bank (ADB) dan World Bank
(WB) mendukung proyek-proyek yang menerapkan PPT dengan sokongan dana guna
tercapainya pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat miskin.
Pemerintah Indonesia berkomitmen dengan menggunakan Millenium
Development Goals (MDGs) sebagai dasar acuan penyusunan Poverty Reduction
Strategy Paper (PRSP) yang berisi pedoman jangka panjang yang komprehensif bagi
pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat untuk program pengurangan
kemiskinan. Penerapan PRSP yang mendukung MDGs dan menerapkan PPT terbukti
dari aktifnya pemerintah dalam mendorong pembentukan desa wisata yang dianggap
sebagai salah satu bentuk perkembangan pariwisata yang merefleksikan rakyat yang
aktif, kreatif, dan proaktif (Putra dan Pitana, 2010: 6-7). Sejak tahun 2009, dukungan
pendanaan dari pemerintah untuk pengembangan desa wisata tampak melalui program
PNPM Mandiri Pariwisata. Jumlah dana yang digelontorkan bertambah dengan cukup
drastis dari hanya Rp 8,75 milyar pada tahun 2009 sampai dengan Rp 123,25 milyar
pada tahun 2013.
Pengembangan desa wisata identik dengan pengembangan pariwisata pro-rakyat
dengan catatan masyarakat setempat benar-benar bisa menikmati manfaat ekonomi
aktivitas pariwisata. Pengembangan desa wisata, seperti sudah diuraikan dalam Bab
38
Pendahuluan, tidak saja memanfaatkan potensi desa menjadi daya tarik wisata tetapi
juga membuka akses masyarakat miskin kepada sumber ekonomi baru sehingga mereka
bisa mendapatkan pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2.2.3 Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pariwisata berbasis masyarakat adalah terjemahan dari konsep community based
tourism. Sebagai salah satu penerapan dari teori Pro-Poor Tourism (PPT), Community
Based Tourism (CBT) memberi peluang pada masyarakat untuk berpartisipasi secara
aktif, meningkatan pendapatan masyarakat, dan perluasan lapangan kerja (Islam dan
Carlsen, 2001). Namun, pada kenyataannya banyak hambatan yang membatasi para
masyarakat miskin untuk turut berpartisipasi dalam berbagai program pariwisata
di antaranya keterbatasan modal dan keterampilan. Keterbatasan ini juga membuat
masyarakat belum mampu merasakan manfaat dari desa wisata. Diperlukan modal
pengetahuan, modal yang dalam hal ini sikap individu untuk turut berpartisipasi dalam
kegiatan desa wisata, sehingga mendapat manfaat (benefit) ekonomi.
Partisipasi masyarakat di dalam operasional desa wisata sebagai salah satu
bentuk dari CBT seringkali terhambat. Tipe tatakelola masing-masing desa wisata
sangat beragam dan dapat menghalangi ataupun merusak partisipasi masyarakat lokal.
Sebagai contoh, Desa Wisata Bedulu kekurangan sumber daya profesional yang cakap
berbahasa Inggris (Oka, 2013).
Sebagai tantangan pengembangan desa wisata, konsep pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan tanpa batas cenderung bersifat hedonisme yang mengesampingkan
pemerataan, mengekploitasi sumber daya secara berlebihan, dan pengelolaan finansial
39
berdasarkan kerakusan (Ardika, 2011). Dalam hal ini, dibutuhkan konsep
pengembangan pariwisata yang berbasis pada capacity building, empowerment, equity
(local, national and regional), sustainable dan spirituality (Ardika, 2011).
Implementasi konsep keseimbangan berdasarkan UU Kepariwisataan 2009
menjabarkan konsep keseimbangan hidup antara sumber daya alam, potensi geografis
dan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta. Konsep keseimbangan ini mendukung
upaya pariwisata yang pro terhadap konservasi lingkungan dengan menerapkan
pariwisata berbasis alam, budaya, dan kearifan lokal (Honey, 2001).
Nilai utama dari suatu desa yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata
adalah kualitas, keorsinilan, keunikan, khas daerah, dan kebanggaan daerah
(Sastrayuda, 2010). Nilai ini dapat dicermati melalui gaya dan kualitas hidup
masyarakat, khususnya berkaitan dengan perilaku integritas, keramahan dan
kesungguhan penduduk, di samping warisan budaya, pertanian, dan bentangan alam
yang indah. Dengan demikian, proses perencanaan pemodelan desa wisata tidak dapat
dipisahkan dari partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat muncul secara partisipatif sebagai alternatif terhadap
pendekatan pembangunan serta sentralisasi dan bersifat bottom up. Munculnya proses
partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat mendasarkan atas dua perspektif.
Pertama, pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perencanaan, dan
pelaksanaan program yang akan mewarnai kehidupan masyarakat, sehingga dengan
demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap, dan pola piker, serta
nilai-nilai pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua, membuat umpan
40
balik yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan
pembangunan. Sastrayuda (2010) menyatakan bahwa perencanaan dan program
pemodelan desa wisata dalam kerangka pembangunan desa secara keseluruhan
berintikan: (1) adanya tata pemerintahan desa; (2) penduduk desa menjalankan pola
kehidupan dan keagamaannya, serta berkumpul dalam satu harmonisasi kehidupan yang
mencerminkan tata krama masyarakat; (3) masyarakat desa melakukan kegiatan waktu
luang dan berekreasi bercengkerama di alam desa yang mereka miliki; serta (4)
masyarakat memiliki sikap, perilaku melindungi, memelihara dan memanfaatkan
kepemilikan seni budaya, lingkungan, nilai-nilai tradisi yang dapat mendorong
kelestarian promosi desa sendiri.
Partisipasi ini idealnya bisa mengubah kondisi atau posisi masyarakat dari hanya
obyek menjadi subyek pembangunan dan karena itu harus menguntungkan dan
menyejahterakan masyarakat. Bilamana desa wisata dikembangkan, maka desa wisata
harus memiliki beberapa manfaat sebagai berikut ini.
a. Pemberdayaan budaya.
Pendekatan integratif dalam menata kehidupan dapat dikaitkan melalui kearifan
lokal, yang terdiri atas pemerintah daerah, sebagai regulator dan fasilitator
melakukan identifikasi dan kegiatan atas bentuk, mekanisme dalam pemecahan
masalah kependudukan, perbaikan pelayanan dan peningkatan kualitas
pendidikan, perbaikan pelayanan masyarakat. Unsur-unsur tersebut perlu
menjadi pertimbangan utama dalam mengkaji kawasan desa wisata, mengingat
pengembangan kepariwisataan secara umum tidak terlepas kaitannya dengan
41
pariwisata sebagai suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan
melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap
masyarakat setempat. Di samping itu, ada berbagai dampak yang tidak
diharapkan muncul dalam desa wisata, seperti memburuknya kesenjangan
pendapatan antara kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antara
daerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi.
Pentingnya kajian sosiologi terhadap penerapan pemodelan pariwisata semakin
jelas, karena tipe pariwisata yang dikembangkan adalah desa wisata, di mana
desa wisata mempunyai beberapa ciri, seperti; desa wisata melibatkan
masyarakat lokal secara lebih luas dan lebih intensif karena dasarnya adalah
berkaitan dengan kehidupan budaya yang menjadi daya tarik wisata melekat
pada masyarakat itu sendiri. Fiquerola (dalam Pitana, 2005) menyampaikan
pentingnya mengidentifikasi dampak sosial budaya pariwisata yang tercakup
dalam enam kategori, yaitu: 1) dampak terhadap struktur demografi, 2)
dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian, 3) dampak terhadap
transportasi nilai, 4) dampak terhadap gaya hidup tradisional, 5) dampak
terhadap pola konsumsi, dan 6) dampak terhadap pembangunan masyarakat
yang merupakan manfaat budaya pariwisata.
b. Pemberdayaan lingkungan desa wisata.
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menyangkut tiga dimensi penting,
yaitu, budaya, lingkungan, dan ekonomi. Budiharsono (2006) mengemukakan
dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan
42
pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi
dan konsumsi ke arah yang seimbang. Adapun dimensi lingkungan di antaranya
mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi pengelolaan
limbah serta konservasi atau preservasi sumber daya alam.
c. Pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Desa wisata perlu dukungan melalui kelancaran dan efektivitas pemberdayaan
ekonomi kerakyatan, dengan mengembangkan kegiatan usaha dan mata
pencaharian berkelanjutan, melalui: (1) usaha kecil, mikro dan kooperasi yang
memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal dan lestari; (2) dikembangkan
badan usaha milik rakyat yang dapat berdampingan, kemitraan dengan
kooperasi; (3) pengembangan klaster-klaster usaha ekonomi rakyat yang
menampilkan produk-produk unggulan yang bernilai tambah tinggi sebagai
sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat. Dukungan bagi kelancaran dan
efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut di atas dapat dikembangkan
secara partisipatif sesuai dengan prioritas masyarakat seperti prasarana fisik
yang memperlancar transportasi dan komunikasi, pelayanan dasar, perluasan
ruang publik pada tingkatan masyarakat yang mendukung berbagai lapisan
masyarakat, pengembangan tenaga kerja, dan lingkungan kerja bagi tenaga kerja
usia muda.
d. Pemberdayaan kelembagaan dan sumber daya manusia.
Pemodelan kelembagaan dan sumber daya manusia pada desa wisata lebih
menekankan kepada: (1) investasi pada modal manusia (human capital), yaitu
43
dalam bidang pendidikan dan kesehatan; (2) peningkatan kapasitas organisasi di
perdesaan selain organisasi pemerintahan desa yang secara bersama-sama
memiliki keinginan untuk mengembangkan desa wisata sebagai upaya
pembangunan yang berkelanjutan; (3) memperluas dan mengintegrasikan
mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa tercapai; (4)
memperbaiki budaya kerja, kerja keras, tanggung jawab, dan hemat; (5)
menghilangkan sifat dan mental negatif, konsumtif yang dapat merusak
produktivitas. Selanjutnya, kebijakan melalui pendidikan lebih diarahkan kepada
peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat dalam bentuk pekerjaan
yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan pelatihan tidak hanya
memberikan keilmuan; yang lebih penting adalah kesadaran untuk tumbuhnya
sikap menerima, bekerja sama, dan menimbulkan perilaku baru dalam upaya
mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan.
Partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi desa wisata mutlak
dibutuhkan, tetapi dalam kenyataannya terjadi problema yang cukup kompleks mulai
dari perbedaan level dan klasifikasi, pembedaan power di masyarakat, dan sebagainya
(Chutlil, 2001). Pendekatan otokrasi dalam pengambilan keputusan secara perlahan
akan membuka jalan menuju collectivity (Cuthill, 2001), yang akan membangun
kepercayaan dan komitmen. Implementasi prinsip partisipasi dalam manajemen wisata
berbasis masyarakat dan lingkungan membantu konservasi lingkungan oleh masyarakat
setempat.
44
Lynch (2002) menjelaskan bahwa pengembangan pariwisata yang
berkesinambungan akan sukses dan berhasil apabila dimulai dari hal-hal yang bersifat
lokal fisik, berbasis budaya, dan melibatkan partisipan secara inclusive dalam aktivitas
perencanaan, implementasi, dan pengembangan. Pernyataan ini menekankan bahwa
kesuksesan dan keberlanjutan pengembangan destinasi sangat tergantung pada
kesamaan visi dari masyarakat lokal bersama pemerintah setempat dan ditambah
dengan kolaborasi serta partisipasi masyarakat lokal (Cuthill, 2004; Carson dan Gelber,
2001).
Lyons et al. (2001) melihat aspek operasional capacity building melalui
eksplorasi dan hubungan antara partisipasi, pemberdayaan, dan keberlanjutan.
Sementara itu, Jackson (2001) melihat aspek pendekatan strategik kontemporer untuk
mengajak publik dan masyarakat lokal terlibat secara penuh. Pendekatan-pendekatan ini
tepat digunakan pada aktivitas yang berbasis budaya, tradisi, dan lingkungan yang
sepenuhnya membutuhkan partisipasi masyarakat lokal di dalamnya.
2.2.4 Dampak Sosial-Budaya
Sama dengan dampak lingkungan, dampak sosial budaya ditimbulkan oleh
aktivitas kepariwisataan terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Dalam
konteks penelitian ini, dampak sosial budaya mengacu pada kehidupan sosial dan
budaya masyarakat desa yang membuka diri sebagai desa wisata. Dampak sosial budaya
tidak selamanya berarti negatif, tetapi bisa juga sebaliknya. Idealnya, kehadiran
aktivitas wisata di sebuah desa diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan
45
kemampuan masyarakat setempat untuk melestarikan sistem nilai budaya dan
keseniannya. Jika kemampuan untuk melestarikan seni budaya membutuhkan anggaran,
maka hasil ekonomi dari aktivitas wisata diharapkan bisa menjadi sumber daya baru
untuk biaya pelestarian.
Beberapa penelitian telah mengkaji tingkat dukungan masyarakat terhadap
pariwisata, di mana keterkaitan dengan dampak budaya yang dirasakan dari pariwisata
menjadi salah satu topik utama (Andereck et al., 2005; Teye et al., 2002). Berkaitan
dengan pengembangan pariwisata lokal, masyarakat setempat memberikan dukungan
yang kuat terhadap kegiatan pariwisata apabila nantinya dapat memberikan keuntungan
budaya mereka, khususnya tidak menghancurkan struktur dan praktik budaya lokal
yang sudah dijunjung bertahun-tahun (Dyer et al., 2007; Gursoy and Rutherford, 2004).
Pengelolaan desa wisata yang didasarkan pada partisipasi masyarakat desa
setempat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang mencakup
peningkatan efisiensi dan produktivitas dapat meningkatkan pemerataan hasil dan
kesejahteraan mereka. Namun, proses ini harus terintegrasi dan seimbang dalam
mendukung kelestarian budaya dan pemberdayaan masyarakat lokal untuk mewujudkan
keajegan budaya lokal. Hal ini sangat penting karena masyarakat lokal dapat
terpengaruh oleh demonstration effect, yaitu perubahan gaya hidup, di mana masyarakat
lokal berusaha mengikuti gaya hidup para wisatawan yang dalam banyak segi sangat
berbeda dengan kearifan dan budaya lokal (Fisher, 2004). Seperti dikatakan Hitchcock
(1997), dalam era global sekarang ini. perubahan sosial budaya tidak bisa dikenakan
46
pada aktivitas pariwisata saja karena banyak aspek kehidupan sudah bisa menelusup ke
desa, yang bisa memberikan dampak sosial budaya seperti halnya aktivitas pariwisata.
2.2.5 Dampak Lingkungan
Yang dimaksud dengan dampak lingkungan dalam penelitian ini adalah akibat
yang ditimbulkan oleh kegiatan wisata terhadap lingkungan, khususnya lingkungan
alam. Kehadiran wisatawan ke suatu desa, apalagi dalam jumlah banyak dan
menggunakan alat trasportasi besar, sementara fasilitas jalan atau akses fisik lainnya
tidak memadai, maka dampak lingkungan yang ditimbulkan akan terjadi seketika.
Demikian pula, jika fasilitas terbatas, dampak lingkungan juga terjadi dalam waktu
sangat cepat. Ketiadaan tempat parkir di sebuah desa wisata, misalnya, akan membuat
jalan-jalan desa yang umumnya sempit menjadi terancam rusak bila digunakan untuk
parkir bagi kendaraan yang mengakut wisatawan. Dampak lingkungan akibat aktivitas
wisata di perdesaan jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan, misalnya akumulasi
sampah yang meningkat akibat tiadanya pengolaan yang memadai.
Kawasan desa wisata harus sudah mengantisipasi secara terpadu kemungkinan
terjadinya dampak lingkungan hidup dan sumber daya alam sejak dini. Antisipasi harus
dilakukan sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan, sehingga upaya untuk
mencegah dan mengurangi serta mengendalikan dampak lingkungan hidup dan sumber
daya alam sebagai bagian dari pengembangan desa wisata dapat dilakukan. Nelson
(2004) dalam riset di Tanzania menemukan bahwa peran pemerintah dalam aspek
hukum dapat mencegah konflik antara pemerintah sebagai pihak yang mengatur
penggunaan lahan dan lingkungan dengan masyarakat setempat. Nelson (2004)
47
menyimpulkannya ini dalam evolusi community-based ecotourism di Northern
Tanzania. Program ini sangat berdampak signifikan dalam konteks regional dan
nasional, yang mencakup; 1). Pengurangan tingkat kemiskinan melalui diversifikasi
ekonomi perdesaan, dan 2). Konservasi biodiversity dilakukan mencakup manajemen
sumber alam dan lingkungan setempat yang handal.
Dalam keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 299
Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek dalam Penyusunan Amdal, terdapat
tiga pertanyaan yang disebut dapat membantu menganalisis dampak yang dirasakan
oleh masyarakat lokal, yang menyangkut :
1) Rencana usaha atau kegiatan yang akan menimbulkan perubahan mendasar pada
struktur penduduk (kepadatan dan komposisi penduduk), dan proses penduduk
(pertumbuhan dan mobilitas penduduk),
2) Rencana usaha atau kegiatan yang akan menimbulkan perubahan mendasar
terhadap pola pemilikan dan penguasaan sumber daya alam, pola mata
pencaharian penduduk, atau pendapatan/pengeluaran rumah tangga, dan
3) Rencana usaha atau kegiatan yang akan menimbulkan perubahan mendasar
terhadap tatanan norma dan nilai masyarakat setempat, pranata-pranata (lembaga-
lembaga kemasyarakatan) yang berkaitan dengan kekerabatan (kohesi), kegiatan
ekonomi, dan pemilikan sumber daya alam.
Tiga pertanyaan tersebut diadopsi dengan modifikasi oleh penelitian ini dan digunakan
dalam pedoman pertanyaan wawancara (Lampiran 1).
48
2.2.6 Dampak Ekonomi
Para ahli berpendapat bahwa pariwisata merupakan salah satu sumber daya
ekonomi yang dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan.
Aktivitas wisata tidak saja membuka peluang bagi warga desa yang dikunjungi untuk
menawarkan jasa wisata yang bisa ditukar dengan uang, tetapi juga menjadi lokomotif
ekonomi desa. Makin banyak orang datang kerkunjung ke suatu desa, makin bertambah
barang yang dibutuhkan baik untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun untuk
kebutuhan konsumsi.
Thapa (2010) dalam riset di Nepal Village Resort menjelaskan bahwa village
tourism (wisata perdesaan) dapat memberikan dampak ekonomi yang positif. Hal ini
disebabkan karena turis yang tinggal di desa merasa menjadi bagian dari keluarga yang
ditempati dan bagian dari masyarakat setempat, di mana mereka mempelajari tradisi dan
menikmati atau mengalami kehidupan desa, terlibat dengan masyarakat lokal dan
memasak, serta mengkonsumsi makanan masyarakat lokal. Baral et al., (2008) pada
Sirubari Village Tourism Nepal juga menemukan bahwa wisatawan bersedia membayar
dua kali lipat lebih mahal pada desa wisata karena desa tersebut sangat menjaga dan
melindungi keaslian alam lingkungannya serta memberi pelayanan yang optimal. Jadi,
desa wisata dengan lingkungan dan pelayanan yang lebih baik akan memperoleh
dampak positif bagi ekonomi masyarakat lokal. Hal ini juga didukung oleh Putra dan
Pitana (2010) dalam penelitiannya terhadap desa wisata Candirejo di Jawa Tengah dan
beberapa desa wisata lainnya di Bali sebagai salah satu jalan untuk mengentaskan
kemiskinan.
49
Peningkatan pendapatan yang diperoleh dari wisatawan domestik dan
mancanegara yang mengunjungi desa wisata akan memberikan dampak positif secara
ekonomi bagi masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat dalam perubahan fisik rumah
ataupun tempat tinggal warga setempat (Hussey, 1989). Rumah penduduk yang dulunya
dibagun dari bahan yang berkualitas rendah, gedeg, dan kayu cepat rapuh, tetapi setelah
adanya desa wisata mereka bisa membangun dari kualitas bahan yang lebih baik dengan
kamar mandi tersendiri yang bersih dan memenuhi persyaratan, higienis. Dulu lantai
dari tanah/semen, tetapi sekarang sudah memiliki lantai ruangan dari keramik dan
bahkan kamar mandi langsung di dalam kamar sebagaimana biasa digunakan oleh
wisatawan. Taraf hidup masyarakat desa pun akan meningkat seiring dengan
bertambahnya pendapatan mereka. Hal ini dapat dilihat dari kualitas makanan yang
dikonsumsi yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas kesehatan masyarakat.
2.3. Kerangka Teori
Ada tiga teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori partisipasi
masyarakat, teori pariwisata keberlanjutan, dan teori stakeholder. Ketiga teori ini akan
dijadikan referensi dalam mengkaji keterlibatan masyarakat, dan pemangku
kepentingan dalam pariwisata sehingga menjamin keberlangsungan pariwisata pada
desa wisata yang menjadi objek penelitian.
2.3.1 Teori Partisipasi
Kata ‘partisipasi’ berasal dari akar kata berbahasa Inggris yaitu to participate
yang berarti ikut serta atau mengambil bagian. Menurut Tosun (1999: 494), partisipasi
memungkinkan masyarakat orang-orang atau penduduk melakukan berbagai kegiatan
50
pada tingkatan yang berbeda-beda, baik lokal, regional, maupun nasional. Partisipasi
yang dilakukan dapat berbeda-beda pula, baik partisipasi karena paksaan (manipulative
participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coersive participation), karena adanya
dorongan (induced participation), partisipasi yang bersifat pasif (passive participation),
maupun partisipasi secara spontan (spontaneous participation).
Pretty (1995) menggambarkan partisipasi masyarakat pada tujuh tingkatan,
dimulai dari partisipasi manipulatif (manipulative participation), passive participation,
functional participation, interactive participation sampai pada mobilisasi mandiri (self
mobilization). Setiap tingkatan memungkinkan untuk membedakan tingkat keterlibatan
eksternal dan kontrol lokal, serta merefleksikan hubungan kekuasaan di antara mereka.
Model partisipasi masyarakat dari Pretty (1995) itu dijabarkan pada Tabel 2.1. berikut.
Menurut Arnstein (1971), partisipasi penduduk adalah redistribusi kekuasaan
yang memungkinkan penduduk yang tidak mampu secara perlahan dan penuh kehati-
hatian dapat berpartisipasi secara berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa mereka
mendorong adanya perubahan yang memungkinkan mereka ikut menikmati keuntungan
dalam masyarakat yang kaya. Dalam definisi partisipasi ini, satu hal yang sangat
penting adalah tingkat distribusi kekuasaan. Pendekatan yang dilakukan oleh Arnstein
dalam pembahasan partisipasi ini didasarkan atas tipologi penduduk yang terdiri atas
delapan tingkatan, yang kemudian dibagi menjadi tiga kategori. Tingkatan partisipasi
paling rendah adalah partisipasi manipulatif, sedangkan tingkatan partisipasi yang
paling tinggi menunjukkan tingkat kekuasaan masyarakat (degrees of citizen’s power).
51
Partisipasi pada kategori menengah menunjukkan tingkatan aktivitas penduduk (degrees
of citizen’s tokenism).
Tabel 2.1.
Typology of Community Participation
Participation ladder: a meter for the quality of engagement
Typology Components of Each Type
Self- mobilization People participate by taking initiatives independent of external
institutions to change systems.
Interactive
participation
People participate in joint analysis, which leads to action plans
and the formation of new local groups or the strengthening of
existing ones.
Functional
participation
People participate by forming groups to meet predetermined
objectives related to the project, which can involve the
development or promotion of externally initiated social
organization.
Participation for
material
incentives
People participate by providing resources, for example labor,
in return for food, cash or other material incentives.
Participation
by consultation
People participate by being consulted, and external agents
listen to views. These external agents define both problems and
solutions, and may modify these in the light of people's
responses.
Participation in
information-
giving
People participate by answering questions posed by extractive
researchers and project managers using questionnaire surveys
or similar approaches.
Passive
participation
People participate by being told what is going to happen or
what has already happened. It is unilateral announcement by
an administration or by project management; people's
responses are not taken into account. The information being
shared belongs only to external professionals.
Sumber: Pretty (1995).
52
Tosun (1999) mengembangkan suatu tipologi partisipasi masyarakat dalam
pariwisata dengan mengklasifikasikan tipe-tipe partisipasi masyarakat ke dalam tiga
bagian utama, yang masing-masing memiliki sub-bagian. Ketiga bagian utama tersebut
adalah partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous participation), partisipasi
masyarakat karena adanya kekerasan (coersive participation), dan partisipasi
masyarakat karena masyarakat terdorong untuk melakukannya (induced participation).
Partisipasi secara spontan menurut model Tosun (1999) adalah sama dengan
tingkatan kekuasaan penduduk pada model Arnstein (1971), serta mobilisasi mandiri
dan partisipasi interaktif pada model Pretty (1995). Partisipasi spontan (spontaneous
participation) ini merepresentasikan suatu alat yang sangat ideal, yang menyediakan
tanggung-jawab manajerial dan kekuasaan pada masyarakat. Partisipasi dalam bidang
pariwisata karena dorongan sebagaimana yang ditunjukkan pada model Tosun (1999),
sama dengan tingkatan aktivitas masyarakat pada model Arnstein (1971) dan sama
dengan partisipasi fungsional dan partisipasi dengan insentif material dan partisipasi
melalui konsultasi pada model Pretty (1995).
Pada tipe yang paling ideal, yakni partisipasi karena masyarakat terdorong untuk
melakukannya (induced participation), masyarakat lokal mempunyai kesempatan untuk
mendengar dan didengarkan suaranya. Mereka memiliki suara dalam proses
pembangunan pariwisata, tetapi pandangan-pandangan mereka belum tentu
diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan lain yang memiliki kepentingan seperti
kekuatan yang berasal dari pemerintah, perusahaan besar, tour operator internasional,
dan kekuatan besar lainnya. Tipe partisipasi ini kebanyakan ditemukan di negara-negara
53
yang sedang berkembang, di mana masyarakat lokal hanya mendukung keputusan
mengenai pembangunan pariwisata yang dibuat untuk mereka, bukannya oleh mereka.
Partisipasi jenis ini bersifat top-down, pasif, dan tidak langsung. Masyarakat lokal
berpartisipasi dalam implementasi dan mendapatkan keuntungan dari pariwisata, tetapi
tidak ikut dalam proses pembuatan keputusan.
Partisipasi koersif (coersive participation) merupakan bentuk partisipasi yang
dimanipulasi dan diakali sebagai pengganti partisipasi yang nyata. Partisipasi ini
menunjukkan bagian paling bawah dari tangga Arnstein (1971), yaitu manipulasi dan
terapi, dan juga partisipasi pasif dan manipulatif pada model Pretty (1995). Dalam tipe
ini, meskipun pembangunan pariwisata kelihatannya menempatkan masyarakat sebagai
prioritas, tetapi sesungguhnya lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan para pengambil keputusan, pengusaha, dan wisatawan. Secara detail, model
partisipasi Tosun (2006) digambarkan dalam Tabel 2.2 di bawah ini.
Dalam penelitian ini, teori ini digunakan untuk menganalisis tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan desa wisata di Desa Wisata Bedulu, Gianyar dan Desa
Wisata Pentingsari, Yogyakarta. Penelitian ini mengadopsi tiga tingkat (level)
partisipasi yang dijabarkan oleh Tosun (1999), yaitu spontaneous, induced, dan coersive
participation. Materi yang dianalisis dalam bagian ini diambil dari wawancara yang
pedoman pertanyaannya bisa dilihat pada Lampiran 3.
54
Tabel 2.2
Normative Typologies of Community Participation
Level 1 7. Self-mobilization
6.Interactive
Participation
8. Citizen Control
7. Delegated power
6. Partnership
Spontaneous participation:
bottom up; active and direct
participation, participation
in decision making, authentic
participation, self planning
Level 2 5.Functional
participation
4. Participation for
material incentives
3. Participation by
consultation
5. Placation
4. Consultation
3. Informing
Induced participation: top
down, passive, formal, mostly
indirect, degree of tokenism,
manipulation, pseudo
participation, participation
in implementation, sharing
benefit, device between
proposed alternatives and
feedback Level 3
2. Passive
participation
1. Manipulative
participation
2. Therapy
1. Manipulation
Coercive participation: top
down, passive, mostly
indirect, formal,
participation in
implementation but not
necessarily sharing benefits,
choice between proposed
limited alternatives or no
choice, paternalism, non
participation, high degree of
tokenism and manipulation.
Level 4 Non Participation
Sumber : Tosun (2006).
2.3.2 Teori Pariwisata Berkelanjutan
Perdebatan mengenai keberlanjutan (sustainability) telah berlangsung cukup
lama, diawali dengan kesadaran akan siklus pembangunan ekologi yang mula-mula
sukses dan kemudian diikuti oleh krisis yang tidak diharapkan. Kondisi yang kontras ini
melahirkan gagasan untuk menjamin agar pembangunan yang sukses bisa terus
Pretty’s (1995) typology
of community
participation
Arnstein’s (1971)
typology of community
participation
Tosun’s (1999) typology
of community
participation
55
dipertahankan, dan krisis bisa dicegah sejak awal atau jika terjadi bisa dipecahkan agar
manfaat pembangunan tetap bisa dipertahankan. Salah satu pendekatan yang multilevel
dan multidimensional mengenai sustainability dikembangkan oleh Cavagnaro dan
Curiel (2012) yang menggabungkan konsep-konsep relevan seperti Corporate Social
Responsibility (CSR), personal leadership, dan sustainable development.
Penjelasan teori yang digambarkan oleh sebuah kerangka berpikir yang disebut
sebagai The Three Levels of Sustainability (TLS) terlihat pada Gambar 2.1 berikut.
Cavagnaro dan Curiel (2012)
Gambar 2.1
The Three Levels of Sustainability (TLS)
Segitiga terluar dari TLS menggambarkan tiga dimensi sustainability pada level
sosial masyarakat (sustainable society) yaitu, pertumbuhan ekonomi yang bertanggung
jawab, kemajuan yang adil. dan perlindungan lingkungan yang efektif.
Leadership
for Sustainability
Care for me
Care for me&you Care for all
Sustainable Organization
Planet People
Sustainable Society
Environmental Value Sosial Value
Profit
Economic Value
56
Segitiga di bagian tengah dari TLS menggambarkan tiga dimensi berikutnya pada
tingkat organisasi (sustainable organization), yang diadopsi menggunakan pendekatan
Triple Bottom Line milik Elkington (1997) yaitu: people, planet, dan profit. People
merujuk pada dampak operasional sebuah organisasi terhadap meningkatkan kualitas
Stakeholder. Planet merujuk pada peningkatan kelestarian lingkungan yang dihasilkan
oleh aktivitas organisasi tersebut. Profit merujuk pada dampak finansial ataupun
peningkatan nilai ekonomi sebagai akibat beroperasinya sebuah organisasi atau
institusi.
Segitiga terdalam dari TLS menggambarkan tiga dimensi berikutnya pada level
individu atau pribadi yaitu: care for me, care for you, dan care for all. Cavagnaro dan
Curiel (2012) berpendapat bahwa segitiga terdalam adalah yang terpenting karena inilah
sumber dari kesadaran, kepemimpinan, dan aktivitas yang mendukung terciptanya
sustainability pada tingkat (level) organisasi dan masyarakat. Care for me memasukkan
nilai-nilai dalam kehidupan seseorang. Care for me and you memasukkan nilai-nilai
dalam hubungan interaksi antarindividu. Selanjutnya, care for all memasukkan nilai-
nilai dalam hubungan interaksi dengan semua mahluk hidup dan lingkungan.
Shkira et al. (2011) menemukan model pengembangan pariwisata berkelanjutan
melalui partisipasi masyarakat. Model ini penting untuk pengambilan keputusan baik
dalam pembangunan, implementasi rencana kerja maupun strategik. Terminologi
pariwisata berkelanjutan digunakan dalam industri pariwisata, lingkungan, dan
pengembangan sumber daya masyarakat untuk pariwisata. Karakteristik pengembangan
pariwisata berkelanjutan diciptakan oleh masyarakat, memberi keuntungan kepada
57
masyarakat, konservasi sumber daya dan lingkungan, manajemen pariwisata
berkelanjutan, pembelajaran, dan upaya memfasilitasi kepuasan wisatawan (Shkira,
2011).
Mann (2000) mendefinisikan pariwisata berbasis masyarakat (CBT) sebagai
wisata yang dimiliki dan dijalankan sepenuhnya atau sebagian oleh masyarakat lokal,
dengan kemungkinan untuk melibatkan mitra non-masyarakat seperti lembaga swadaya
masyarakat (LSM) atau tour operator komersial,
France (1997) mendefinisikan CBT sebagai jenis wisata yang dijalankan oleh
dan untuk masyarakat setempat, dan melibatkan berbagai skala operasi, berbagai paket
wisata masal dengan pelatih yang terorganisir. Warisan budaya juga menjadi salah satu
atraksi yang paling penting dari pariwisata berbasis masyarakat, yang juga cenderung
lebih bersifat sosial berkelanjutan karena kegiatan pariwisata dikembangkan dan
dioperasikan oleh anggota masyarakat setempat.
Model integrasi masyarakat dalam pemasaran dan perencanaan serta
pengembangan pariwisata berkelanjutan diformulasikan oleh Shkira et al. (2000),
sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.2 berikut ini.
58
Sumber: Shkira et al. (2011).
Gambar 2.2
A Model for integrating Community into Marketing and Planning to Develop
Sustainable Tourism
Local Base Factor
Attraction Tourist Product Local Governance Local Operator
Government, Stakeholder Tourist
Identify Community
Stakeholder
Development of Marketing
Objective
Target market identification
and selection
Community & Tourism
Development Objective
Community & Tourism
Resources Audit
Development of Tourism
Product & Marketing Mix
On Going Stakeholder
Involvement
Monitor and Review Tourism Development Strategy
Implementation of Tourism
Marketing
To Participate
To Oversee
59
Kerangka kerja ini terdiri atas proses perencanaan paralel. Proses pertama
(kolom kanan) meliputi tahapan yang umumnya terkait dengan pengembangan strategi
pemasaran, yang terdiri atas identifikasi target pasar, membangun pasar, produk, bauran
pemasaran hingga implementasi. Proses kedua (kolom kiri) mengidentifikasi berbagai
pertimbangan masyarakat yang sesuai dengan masing-masing tahap pengembangan
pemasaran. Kolom kiri meliputi aktivitas identifikasi masyarakat dan pemangku
kepentingan, tujuan pengembangan pariwisata, audit masyarakat dan sumber daya
pariwisata, dan keterlibatan masyarakat serta pemangku kepentingan dalam aktivitas
pariwisata. Elemen kunci dari model ini menjadi tujuan dan orientasi masyarakat yang
digunakan untuk memandu seluruh proses strategi pemasaran menuju pariwisata
berkelanjutan.
Model ini memberikan langkah logis dalam pencapaian tujuan pemasaran dan
segmen pasar yang menjadi target utama. Model ini juga menguraikan komponen yang
diperlukan dalam perencanaan partisipatif dan strategi pemasaran yang harus dilakukan,
walaupun dalam pelaksanaannya mendapat banyak tantangan.
2.3.3 Konsep Stakeholder
Konsep stakeholder bermula dari teori manajemen atau organisasi yang
memberikan perhatian kepada pihak yang berkepentingan dengan dunia usaha lebih dari
sekedar satu pihak. Pada awalnya, dunia manajemen hanya memberikan perhatian dan
penghargaan kepada shareholder, yaitu pemegang saham sebuah usaha, sedangkan
pihak lain seperti karyawan dan masyarakat kurang mendapat perhatian dalam
60
keberhasilan sebuah usaha. Tugas pengelola usaha dianggap hanya satu yaitu
memuaskan shareholder, bukan yang lain. Belakangan terjadi perubahan paradigma
berpikir yang dilandasi oleh sudut pandang yang lebih komprehensif, di mana
dinyatakan bahwa selain shareholder, nasib sebuah usaha juga ditentukan oleh pihak
lain seperti pelanggan, karyawan, masyarakat, pemerintah, dan lain-lain. Paradigma
yang komprehensif inilah yang melahirkan konsep stakeholder, pengampu kepentingan.
Freeman (1984: 94) mendefinisikan stakeholder (pemangku kepentingan)
sebagai sebuah kelompok atau individu yang memiliki minat dan terlibat dalam
operasional suatu organisasi dan kemampuan untuk mempengaruhi organisasi itu. Teori
stakeholder berangsur-angsur mulai diterima oleh para peneliti pariwisata sebagai
sarana untuk menjelaskan dimensi keberlanjutan dari suatu organisasi. Hardy dan
Beeton (2001) menerapkan teori stakeholder untuk menentukan keberlanjutan
pengembangan pariwisata di Queensland, Australia, dari perspektif pariwisata. Studi ini
menyoroti pentingnya peran pemahaman dan persepsi stakeholder dalam menciptakan
keberlanjutan bisnis pariwisata. Pforr (2006) meneliti peran stakeholder dalam
pembuatan kebijakan di Northern Territory, Australia. Secara khusus, ia mengamati
faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan stakeholder. Pforr (2006) menyatakan
bahwa pemahaman terhadap karakteristik stakeholder dan jaringan stakeholder yang
terlibat dalam sebuah area sangat penting dalam konteks tata kelola pariwisata.
Pembangunan pariwisata umumnya dianggap sebagai proses improvisasi yang
melibatkan dinamika para stakeholder dan pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan
pembangunan (Miller dan Twining-Ward, 2005). Dalam beberapa kasus, para
61
pemangku kepentingan yang sama, seperti lembaga otonom yang disponsori oleh
pemerintah, dapat terlibat sekaligus dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan
pariwisata. Dalam kasus lain, stakeholder hanya mungkin bertanggung jawab untuk
merumuskan kebijakan seperti instansi pemerintah, dan yang lain hanya dalam
pelaksanaan kebijakan seperti organisasi pemasaran destinasi yaitu Destination
Management Organization (DMO) (Miller dan Twining-Ward, 2005; Timur dan Getz,
2008). Dalam semua kasus tersebut, proses pengembangan pariwisata meliputi
identifikasi stakeholder (Freeman 2010; Parmar et al., 2010), merancang dan mengelola
kegiatan pariwisata yang terkait (Araujo dan Bramwell, 1999, Robson, 1996) dan
memastikan terlaksananya secara efektif di seluruh jaringan pariwisata (Mackellar,
2006, Scott et al., 2008; Baggio dan Cooper, 2008).
Timur dan Getz (2008: 446) menyatakan bahwa menggabungkan teori
stakeholder dan teori jaringan (network theory) dapat memberikan landasan yang
berguna untuk mengidentifikasi siapa saja stakeholder yang berperan penting dalam
pengembangan daerah tujuan wisata dan juga untuk mengidentifikasi pihak yang harus
memimpin dalam pembentukan jaringan stakeholder pariwisata.
Menurut Timur dan Getz (2008), stakeholder menjadi lebih kuat perannya saat
mereka memiliki lebih banyak atribut. Hal ini disebabkan karena atribut dikaitkan
dengan peran fungsional mereka dalam jaringan pariwisata dan hubungan mereka
dengan stakeholder dari industri lain yang sangat terkait dengan atau mendukung
keberlangsungan industri pariwisata.
62
Granovetter (2005) mendefinisikan ‘atribut’ sebagai afiliasi antara para stake-
holder dan hubungan dengan pihak ketiga yang terdiri atas ikatan yang bersifat formal
atau kuat, dan ikatan non-formal atau lemah. Melalui afiliasi ini, perspektif objektif dan
subjektif dari stakeholder menciptakan struktur hubungan di dalam jaringan. Kekuasaan
dan pengetahuan yang dimiliki oleh para stakeholder dapat sangat mempengaruhi
dinamika afiliasi di dalam jaringan kebijakan pariwisata (Mitchell et al., 1997 ; Clarke
et al., 2009). Oleh karena itu, stakeholder, baik secara individu maupun kolektif, dapat
menjalankan kekuasaan dan legitimasi mereka untuk mendorong perumusan kebijakan
dan implementasi dari kebijakan tersebut.
Penciptaan jaringan stakeholder (stakeholder network) tidak selalu menjamin
pengembangan pariwisata yang efektif, karena seringkali tidak semua anggota
berpartisipasi secara aktif. Ladkin dan Bertramini (2002: 74) menjelaskan bahwa
ketegangan hubungan (tension) dapat terjadi di antara para stakeholder dalam jaringan
pariwisata. Ini dapat disebabkan oleh ketidaksepakatan dalam implementasi kebijakan
dan siapa yang bertanggung jawab atas implikasi dari kebijakan tersebut.
Ketidakpercayaan dan kesalahpahaman di antara para stakeholder juga dapat
terjadi karena adanya tradisi otoritas terpusat yang telah lama berurat berakar, pelaporan
keuangan yang kurang transparan, kurangnya konsensus mengenai standar operasional
prosedur, kemampuan otoritas perencanaan pariwisata yang terbatas, kurangnya
komitmen dari sejumlah stakeholder, dan tidak adanya perencanaan strategis jangka
panjang (Ladkin dan Bertramini, 2002; Wesley dan Pforr, 2010). Coleman (1988)
63
menjelaskan bahwa struktur jaringan yang dibuat untuk tujuan tertentu mungkin gagal,
jika ada satu atau sejumlah stakeholder memboikotnya.
Teori stakeholder sangat esensial dalam analisis kondisi dan perkembangan desa
wisata. Kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan sebuah desa wisata ditentukan
oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
biro perjalanan yang mengajak wisatawan berlibur ke desa wisata, dan tentu saja
wisatawan itu sendiri.
2.3.4 Kerangka Model Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka di atas, maka peninjauan aspek penelitian
mencakup beberapa hal. Dalam kerangka model penelitian, dijabarkan bahwa
stakeholder yang terlibat dalam desa wisata meliputi NGO lokal dan internasional,
investor dan pebisnis pariwisata, wisatawan domestik, pemerintah pusat dan lokal, serta
masyarakat lokal. Penggalian penelitian Desa Wisata Bedulu dan Pentingsari
memfokuskan pada aspek keterlibatan masyarakat lokal. Peran serta dan partisipasi
masyarakat lokal dalam berbagai aktivitas desa wisata memberi dampak pada sosial
budaya, lingkungan, dan ekonomi.
Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan desa wisata juga diteliti
berdasarkan pendekatan teori partisipasi, teori pariwisata berkelanjutan, dan teori
stakeholder. Gambar 2.3 menjelaskan model kerangka penelitian Desa Wisata Bedulu
dan Pentingsari.
64
NGO Lokal dan
Internasional
Pemerintah Pusat dan
Lokal
Masyarakat Lokal
Investor dan Pebisnis
Pariwisata
Wisatawan Domestik,
Mancanegara
Desa Wisata
1. Bedulu 2. Pentingsari
Ukuran Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan
Desa Wisata terhadap Ekonomi, Sosial Budaya dan
Lingkungan, (Studi Desa Wisata Bedulu dan
Pentingsari)
Perbandingan dampak
partisipasi masyarakat
pada pengelolaan Desa
Wisata Bedulu dan
Pentingsari
Tingkat partisipasi
masyarakat dan
dampaknya bagi
masyarakat Desa Wisata
Bedulu
Tingkat partisipasi
masyarakat dan
dampaknya bagi
masyarakat Desa Wisata
Pentingsari
Konsep DesaWisata
Konsep Pariwisata Pro Rakyat
Konsep Community Based Tourism
Participation Theory
Sustainability Theory
Stakeholder Theory
Temuan Penelitian
Rekomendasi
Model Partisipasi Masyarakat
Gambar 2.3
Kerangka Model Penelitian
Kerangka Model Penelitian pada Gambar 2.3 di atas menunjukkan
pentingnya beberapa pemangku kepentingan di dalam pengembangan desa wisata.
Pemangku kepentingan yang dimaksudkan adalah investor untuk menanamkan
modalnya, wisatawan untuk datang menikmati alam, masyarakat lokal yang
menyediakan jasa, NGO lokal yang ikut mengontrol dan mendorong akselerasi
pembangunan desa wisata, dan peran pemerintah sendiri dalam memberikan bantuan
dan memfasiltiasi pengembangan desa wisata.
Berjalan dan berkembanganya desa wisata membawa dampak yang positif
dan negatif terhadap ekologi dan lingkungannya. Dalam perjalanannya, dampak
tersebut juga dapat berupa, dampak terhadap sosial budaya, dan dampak ekonomi
yang ada. Khususnya sosial budaya akan mempunyai dampak yang positif seperti
yang diinginkan oleh pemerintah dalam menciptakan kawasan lingkungan dan
daerah wisata yang berkelanjutan.
Temuan penelitian ini adalah dua model partisipasi masyarakat desa wisata
di Indonesia yang memiliki konsep produk dan pelayanan serupa. Kedua model ini
dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan desa wisata yang berbasis masyarakat.
Model pengelolaan ini selanjutnya dapat direkomendasikan kepada pemerintah dan
stakeholder dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Dengan
mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi yang
ditimbulkannya, maka model ini sangat penting untuk mengukur bentuk peran serta
dan kontribusi masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
64