36
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Keadaan Iklim di Jakarta Jakarta adalah kota terbesar sekaligus ibukota Indonesia. Secara geografis, Jakarta terletak pada 6.12º LS dan 106.65º BT. Jakata memiliki iklim tropis lembab dan hangat. Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Jakarta sebagaimana daerah lainnya di Indonesia termasuk wilayah beriklim tropis basah (Am). Meskipun berada dekat dengan Khatulistiwa, Jakarta memiliki perbedaan musim hujan dan kemarau yang sangat nyata. Musim hujan berlangsung antara November Maret, namun kondisi basah terjadi hampir di sepanjang tahun. Sedangkan antara Mei - September, Jakarta mengalami musim kemarau. Musim hujan mencapai puncaknya pada bulan Januari dengan rata-rata curah hujan bulanan 460 mm sedangkan pada musim kemarau curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dengan rata-rata bulanan 50 mm (gambar 1.1). Gambar 1.1. Rata-rata curah hujan bulanan di Jakarta (data dari BMKG Jakarta, 1960 - 1999). 1.2. Hujan Petir di Jakarta Hujan deras disertai petir dan angin sering melanda Jakarta. Hujan deras seperti ini biasanya terjadi pada masa transisi. Namun karena musim hujan terjadi hampir di sepanjang tahun sehingga hujan deras yang disertai angin dan petir dapat terjadi kapan saja. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pembentukan cuaca lokal. Seperti diberitakan oleh sebuah media nasional tanggal 27 November 2010 bahwa hujan petir terjadi pada musim penghujan yang diakibatkan oleh perubahan pola angin yang seharusnya berhembus dari arah barat, tetapi ini justru dari arah timur. Hal ini disebabkan oleh karena adanya tekanan rendah di bagian barat selat Sunda. Tekanan rendah itu yang menyebabkan angin berhembus dari arah timur.

BAB I PENDAHULUAN · kombinasi massa udara hangat dan lembab menjadikan daerah ini sangat kondusif terhadap pembentukan badai konvektif

  • Upload
    dinhdat

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Keadaan Iklim di Jakarta

Jakarta adalah kota terbesar sekaligus ibukota Indonesia. Secara geografis, Jakarta terletak pada

6.12º LS dan 106.65º BT. Jakata memiliki iklim tropis lembab dan hangat. Berdasarkan klasifikasi iklim

Köppen, Jakarta sebagaimana daerah lainnya di Indonesia termasuk wilayah beriklim tropis basah (Am).

Meskipun berada dekat dengan Khatulistiwa, Jakarta memiliki perbedaan musim hujan dan kemarau yang

sangat nyata. Musim hujan berlangsung antara November – Maret, namun kondisi basah terjadi hampir di

sepanjang tahun. Sedangkan antara Mei - September, Jakarta mengalami musim kemarau. Musim hujan

mencapai puncaknya pada bulan Januari dengan rata-rata curah hujan bulanan 460 mm sedangkan pada

musim kemarau curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dengan rata-rata bulanan 50 mm (gambar 1.1).

Gambar 1.1. Rata-rata curah hujan bulanan di Jakarta (data dari BMKG Jakarta, 1960 - 1999).

1.2. Hujan Petir di Jakarta

Hujan deras disertai petir dan angin sering melanda Jakarta. Hujan deras seperti ini biasanya

terjadi pada masa transisi. Namun karena musim hujan terjadi hampir di sepanjang tahun sehingga hujan

deras yang disertai angin dan petir dapat terjadi kapan saja. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pembentukan

cuaca lokal. Seperti diberitakan oleh sebuah media nasional tanggal 27 November 2010 bahwa hujan petir

terjadi pada musim penghujan yang diakibatkan oleh perubahan pola angin yang seharusnya berhembus

dari arah barat, tetapi ini justru dari arah timur. Hal ini disebabkan oleh karena adanya tekanan rendah di

bagian barat selat Sunda. Tekanan rendah itu yang menyebabkan angin berhembus dari arah timur.

2

Tekanan rendah itu disebabkan oleh suhu di barat selat Sunda lebih hangat. Secara normal, tekanan

rendah itu seharusnya sudah berada di sekitar Darwin, di tenggara pulau Jawa. Tekanan rendah itu

mengakibatkan suhu di permukaan laut menghangat. Air laut menghangat karena adanya penguapan

wilayah atau penguapan lokal. Letak geografis Jakarta yang berada di dekat Khatulistiwa di mana terdapat

kombinasi massa udara hangat dan lembab menjadikan daerah ini sangat kondusif terhadap pembentukan

badai konvektif. Di wilayah Jakarta hujan petir yang disertai angin kencang dapat terjadi pada satu dari

setiap tiga hari.

Gambar 1.2. Jumlah rata-rata harian setiap tahun di mana badai terjadi di seluruh dunia. Jakarta

mengalami 40 - 60 hari badai petir setiap tahunnya.

Courtesy of Irfan Saputra (a) Courtesy of Aziz Indra (b)

Gambar 1.3. a). Badai konvektif di Jakarta. b). Hujan disertai petir di Jakarta.

3

1.3. Mekanisme Pemicu

Karena kurangnya studi mengenai mekanisme terjadinya hujan petir di Jakarta. Penulis berusaha

mengkaitkannya dengan mekanisme terbentuknya hujan petir yang umum terjadi di berbagai negara untuk

kemudian disesuaikan dengan kondisi geografis Jakarta. Hujan petir merupakan badai konvektif yang

terbentuk dengan naiknya udara. Jadi kemunculan badai sering dimulai ketika udara lembab hangat naik

dalam lingkungan tidak stabil bersyarat. Udara yang naik lebih hangat (kurang rapat) dari udara di

sekitarnya sehingga mengalami gaya bouyansi ke atas. Lebih hangat paket udara dengan udara sekitarnya

maka semakin besar gaya bouyansi yang bekerja dan konveksi juga menjadi semakin kuat. Mekanisme

pemicu yang diperlukan untuk menggerakkan udara ke atas dapat melalui:

1. Pemanasan yang tidak merata di permukaan.

2. Pengaruh topografi, atau naiknya udara di sepanjang lapisan perbatas rendah melalui angin permukan

yang konvergen.

3. Divergensi angin di lapisan atas, ditambah dengan konvergensi angin permukaan dan udara yang naik.

4. Udara hangat yang naik di sepanjang zona frontal.

Gambar 1.4. Suhu (K) di Jakarta dan daerah sekitarnya (Ilhamsyah, 2008).

Keempat mekanisme ini dapat dijumpai di Jakarta. Wilayah Jakarta yang berbatasan dengan laut

Jawa di utara, daerah pertanian di barat daya dan timur laut menjadikan wilayah ini mengalami pemanasan

yang tidak merata (gambar 1.4). Perbedaan suhu terutama antara laut Jawa dan Jakarta kota pada siang

dan malam hari di musim kemarau mengakibatkan wilayah Jakarta mengalami pembentukan angin laut

dan darat yang sangat baik (gambar 1.5 dan gambar 1.6.b).

Pada siang hari angin laut dengan kecepatan tinggi memasuki Jakarta menuju ± 60 km ke wilayah

selatan yang lebih tinggi untuk kemudian terhubung dengan angin lembah di Bogor. Penggabungan kedua

angin lokal ini menghasilkan resultan kecepatan angin yang lebih besar dan mengakitbatkan udara

terdorong ke atas di sepanjang lapisan perbatas rendah.

292

294

296

298

300

302

304

7 9 11 13 15 17 19 21 23 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 1 3 5

August 6-8,2004 (GMT+7)

Te

mp

era

ture

(K

)

Western rural area Eastern rural areaSeaCity

4

Gambar 1.5. Kecepatan angin laut permukaan dan suhu permukaan (K) di Jakarta pada 8 Agustus

2004 jam 15.00 WIB (Ilhamsyah, 2008).

(a) (b)

Gambar 1.6. a) Penampang lintang utara-selatan kecepatan angin laut di Jakarta dan angin lembah di selatan Jakarta pada 8 Agustus 2004 jam 15.00 WIB dengan Δs = 10 km (Ilhamsyah, 2008). b) Penampang lintang utara-selatan angin laut (m dt-1) di Jakarta pada 8 Agustus 2004 jam 15.00 WIB dengan Δs = 1 km (Ilhamsyah, 2008).

Selanjutnya pada musim hujan, zona konvergensi terbentuk di wilayah Jakarta (gambar 1.7.a).

konvergensi ini diakibatkan oleh pertemuan angin sinoptik barat - barat daya dengan angin lokal (angin

laut). Angin sinoptik ini merupakan sirkulasi angin barat daya yang bertiup dari khatulistiwa dan utara

samudera Pasifik dengan angin barat dari samudera Hindia. Sirkulasi angin ini sebagian besar dipengaruhi

5

oleh tekanan rendah yang terbentuk di utara benua Australia. Zona konvergensi di wilayah Jakarta ini

dapat terjadi kapan saja angin laut terbentuk pada musim hujan. Zona ini umumnya bergerak dari pantai

barat Jakarta ke tenggara kota, keadaan ini menunjukkan bahwa angin sinoptik barat - baratdaya

cenderung mencegah masuknya angin laut dari laut Jawa menuju daratan (gambar 1.7.a). Gambar 1.8

memperlihatkan penampang lintang dari angin dan suhu potensial pada jam 13.00 WIB. Penampang

vertikal ini menggambarkan front angin laut pada 40 km di wilayah Jakarta, struktur subsidensi di belakang

front dan ketebalan angin laut (800 m). Subsidensi di belakang zona konvergensi yang disebabkan oleh

pemanasan bagian atas dari lapisan angin menjadikan ketebalan angin laut berkurang dengan ketebalan

masing-masing 0.5 km pada jam 12.00 WIB, 0.8 km pada jam 13.00 WIB, 0.4 km pada 14.00 WIB dan 0.2

km pada jam 15.00 WIB pada 10 Februari 2001 (gambar 1.8). Dapat dikatakan bahwa wilayah Jakarta

dibagi menjadi dua daerah konvergensi, yaitu bagian timur dipengaruhi oleh udara laut dari laut Jawa

sementara bagian barat tidak (Gambar 1.7.b).

(a) (b)

Gambar 1.7. a). Angin permukaan pada musim hujan (Sofyan et al., 2005). b). Wilayah Jakarta dibagi menjadi dua zona konvergensi (Sofyan et al., 2005).

Gambar 1.8. menunjukkan bagaimana udara hangat naik di sepanjang zona frontal. Udara hangat

yang naik ini menjadi pemicu terbentuknya hujan petir pada sore hari di Jakarta. Umumnya, beberapa dari

mekanisme ini juga terkait dengan wind shear vertikal untuk menghasilkan badai ekstrim. Sebagian besar

badai yang terbentuk di Jakarta berdurasi singkat, disertai hujan lebat, angin permukaan yang kencang,

guntur dan kilat serta terkadang membentuk hujan es kecil. Badai yang terjadi juga tidak mencapai status

ekstrim sebagaimana yang didefinisikan oleh badan cuaca nasional Amerika. Dinas ini mensyaratkan hujan

es besar dengan diameter lebih dari 1.9 cm atau dengan tiupan angin permukaan 93 km perjam (50 knot)

atau lebih atau mampu menghasilkan tornado. Namun tidak tertutup kemungkinan dengan keadaan

atmosfir tertentu, badai petir di Jakarta dapat pula berkembang menjadi badai yang lebih kompleks seperti

badai multi sel atau bahkan super sel; badai memutar yang besar yang dapat berlangsung selama

beberapa jam dan menghasilkan hujan es yang merusak, banjir, atau Tornado.

6

Gambar 1.8. Penampang lintang angin dan suhu potensial (K) di wilayah Jakarta pada jam 13.00 pada 10

Februari 2001 (di sepanjang garis AB, lihat gambar 1.7.a) (Sofyan et al., 2005).

1.4. Jenis badai konvektif di Jakarta

Badai konvektif yang terbentuk di Jakarta sering disebut dengan badai tersebar (scattered thunderstorms) yang biasanya terbentuk pada hari hangat lembab dan juga sering disebut sebagai badai sel biasa (ordinary cell thunderstorms) atau badai massa udara karena cenderung terbentuk dalam massa udara hangat dan lembab yang jauh dari signifikansi front cuaca. Badai sel biasa dapat dianggap sebagai badai sederhana karena jarang menjadi ekstrim, badai ini biasanya memiliki lebar kurang dari 2.4 kilometer dan memiliki siklus hidup yang terprediksi dari lahir hingga dewasa serta kemudian hilang yang biasanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam.

Badai sel biasa di Jakarta cenderung terbentuk di daerah dengan wind shear terbatas yaitu

dengan kecepatan angin dan arah angin yang tidak secara tiba-tiba mengalami perubahan terhadap ketinggian. Badai ini diawali dengan naiknya paket udara dari permukaan melalui turbulensi angin. Selain itu, badai ini sering terbentuk di sepanjang zona dangkal yang mengalami konvergensi angin. Zona ini dapat terbentuk melalui perbedaan topografi, front angin laut (gambar 1.5, 1.6 dan 1.7) atau melalui aliran udara dingin dari badai yang mencapai permukaan dan menyebar secara horizontal. Batas angin konvergen ini biasanya merupakan zona dengan suhu udara, kelembaban dan densitas udara yang berbeda. 1.5. Tahapan pembentukan badai konvektif di Jakarta

Kemunculan badai di Jakarta sering dicirikan melalui beberapa tahap pembentukan. Tahap pertama disebut dengan tahap kumulus, atau tahap pertumbuhan. Udara lembab yang hangat naik kemudian mendingin dan berkondensasi membentuk awan kumulus tunggal atau sekelompok awan. Awan kumulus tumbuh ke atas dengan jarak yang tidak terlalu tinggi dan kemudian menghilang. Bagian atas awan menghilang disebabkan tetesan awan mengalami penguapan karena bercampur dengan udara yang lebih kering di sekitarnya. Setelah menguap, udara menjadi lebih lembab dari sebelumnya. Jadi, udara yang naik mampu berkondensasi pada tingkat yang lebih tinggi dan awan kumulus tumbuh lebih tinggi

7

mengakibatkan munculnya kubah atau menara awan. Pada saat awan mulai tumbuh, uap air bertransformasi menjadi air atau partikel awan padat dan melepaskan sejumlah besar panas laten. Proses ini menjadikan udara terus naik di dalam awan yang lebih hangat (kurang padat).

Courtesy of Irfan Saputra (a) Courtesy of Irfan Saputra (b)

Gambar 1.9. a). Badai konvektif (ordinary cell thunderstorms) di Jakarta. b). Gulungan awan yang

terbentuk di balik hembusan front.

Awan tetap mengalami pertumbuhan dalam keadaan atmosfir yang tidak stabil asalkan terus didukung oleh udara yang naik dari bawah. Sehingga awan kumulus mengalami perkembangan vertikal dan membentuk awan kumulus yang menjulang (kumulus kongestus) hanya dalam beberapa menit. Selama tahap kumulus kongetus ini, presipitasi tidak terbentuk dan gerak udara ke atas menjaga tetesan air dan kristal es untuk tetap berada di dalam awan serta tidak terjadi petir atau guruh dalam tahap ini.

Pada saat awan tumbuh jauh di atas titik beku, partikel bertabrakan dan bergabung satu sama lain

sehingga menjadikan awan tumbuh menjadi lebih besar dan lebih berat. Akhirnya, udara yang naik tidak lagi mampu mempertahankannya dan partikel ini mulai jatuh. Pada saat fenomena ini terjadi, udara yang lebih kering dari awan di sekitar tertarik ke dalam sebuah proses yang disebut entrainment. Entrainment ini menyebabkan hujan mengalami penguapan sehingga udara menjadi dingin. Udara yang menjadi lebih dingin dan lebih berat dari udara di sekitarnya mulai turun sebagai suatu downdraft (gerak udara ke bawah). Downdraft menjadi lebih kuat pada saat presipitasi yang jatuh menarik udara bersama dengannya.

Kemunculan downdraft menandai awal tahap dewasa dari sebuah badai. Downdraft dan gerak

udara ke atas dalam badai dewasa sekarang menjadi sel. Pada beberapa badai, terdapat beberapa sel yang masing-masing dapat berlangsung kurang dari 30 menit. Pada saat udara lembab hangat naik di sepanjang tepi depan dari gust front maka terbentuk awan rak (shelf cloud) atau disebut juga awan arcus. Awan ini lazim terbentuk ketika atmosfir menjadi sangat stabil di dekat dasar badai. Terkadang, awan yang menjulur panjang terbentuk di belakang gust front. Awan dengan perputaran lambat ini dikenal dengan awan gulung (gambar 1.9.b).

Selama tahap dewasa, petir menjadi sering terjadi. Puncak awan yang telah mencapai wilayah

atmosfir yang stabil (mungkin saja Stratosfer) mulai berbentuk landasan. Pada saat angin di tingkat yang lebih tinggi menyebarkan kristal es secara horizontal. Awan itu sendiri dapat memperpanjang naik ke ketinggian lebih dari 12 km dengan diameter lebih dari 1.61 km di dekat dasarnya. Gerak udara ke atas dan downdraft mencapai kekuatan terbesar di tengah awan sehingga menciptakan turbulensi yang kuat.

Gulungan awan

8

Petir dan guruh juga hadir dalam tahap ini (gambar 1.10). Hujan lebat (terkadang hujan es kecil) jatuh dari awan. Sementara itu di permukaan, sering terjadi downrush udara dingin dengan presipitasi yang tinggi.

Courtesy of Irfan Saputra (a) Courtesy of Irfan Saputra (b) Gambar 1.10. a) Petir (sheet lightning) di Jakarta pada badai yang memasuki tahap dewasa. b) Forked lightning di Jakarta.

Gambar 1.11. Ilustrasi sederhana yang menggambarkan siklus hidup badai sel biasa yang hampir seimbang pada saat terbentuk di wilayah wind shear rendah. (Panah menunjukkan arus udara vertikal. Garis putus-putus mewakili isotherm titik beku 0 °C).

Pada saat downdraft dingin mencapai permukaan, udara menyebar dalam arah horizontal. Batas permukaan yang memisahkan udara dingin dengan udara hangat di sekitarnya disebut front hembusan (gust front). Di sepanjang gust front, angin mengalami perubahan arah dan kecepatan dengan cepat.

9

Setelah badai memasuki tahap dewasa, badai kemudian menghilang dalam waktu 15 hingga 30 menit. Tahap disipasi terjadi ketika gerak udara ke atas menjadi lemah pada saat gust front bergerak menjauhi badai.

Gambar 1.12. Ilustrasi gerak udara ke bawah dari badai yang mencapai permukaan, udara menyebar, membentuk sebuah front hembusan (gust front).

Pada tahap ini, downdraft cenderung mendominasi keseluruhan awan. Alasan badai tidak berlangsung dalam waktu yang sangat lama adalah bahwa downdraft di dalam awan cenderung memotong persediaan bahan bakar badai dengan menghilangkan gerak udara ke atas yang lembab. Karena kurangnya persediaan udara lembab hangat sehingga tetesan air awan tidak lagi terbentuk. Presipitasi ringan jatuh diikuti oleh downdraft yang lemah. Pada saat badai mereda, partikel awan di tingkat yang lebih rendah menguap dengan cepat sehingga terkadang membentuk awan cirus. Untuk mencapai ketiga tahapan ini, badai sel biasa dapat berlangsung selama satu jam atau kurang.

Courtesy of Irfan Saputra (a) (b)

Gambar 1.13. a). Pemandangan hujan yang turun mendadak biasanya juga disertai dengan hembusan angin kencang yang datang dari ketinggian menuju permukaan. Angin kencang ini bertiup di sepanjang permukaan dengan kecepatan melebihi 44.7 m dt-1 sehingga mengakibatkan kerusakan yang sejajar

10

dengan garis lurus pergerakan angin. Jika angin kencang horizontal ini bergerak dalam jarak yang cukup jauh, badai angin ini selanjutnya disebut derecho. b). Ilustrasi dari gambar 1.13.a.

Courtesy of Pipit (a) (b)

Gambar 1.14. a) dan b) Hujan es di Jakarta.

Beberapa bentuk petir yang teramati di Jakarta ketika badai memasuki tahap dewasa seperti terlihat pada

gambar di bawah ini.

Courtesy of Irfan Saputra (a) Courtesy of Irfan Saputra (b)

Gambar 1.15. a). Petir bercabang (forked lighting). b). Petir manik (Bead lighting), yaitu petir yang pecah

terkadang dapat juga muncul seperti rangkaian manik yang terikat ke tali.

11

Courtesy of Irfan Saputra (a) Courtesy of Irfan Saputra (b)

Gambar 1.16. a). Petir pita (Ribbon lighting). b). Petir bola (Ball lighting).

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Teori pembentukan badai

Badai petir adalah unsur cuaca yang sangat destruktif dan sulit untuk diprediksi. Beberapa aspek

berbahaya meliputi:

Gerakan udara vertikal dan turbulensi yang kuat,

Downburst dan hembusan front (gust front),

Mesosiklon dan tornado,

Petir dan guruh,

Hujan es dan presipitasi yang intensif.

Ketika persyaratan khusus terpenuhi, badai petir dapat menghasilkan angin yang merusak dan

hujan es dalam skala besar. Dalam beberapa kasus ekstrim, badai ini bahkan dapat melahirkan tornado.

Namun demikian, badai petir dapat dipelajari. Badai petir ini dapat diselidiki dengan radar dan pesawat dan

disimulasikan di laboratorium melalui komputer. Badai petir terbentuk di udara dan oleh karenanyaharus

mentaati hukum mekanika fluida dan termodinamika sebagai bagian atmosfer.

Badai petir juga cukup indah dan megah, berbahaya dan menarik pada saat yang bersamaan.

Nilai-nilai estetika dan sains bergabung sebagai badai petir serta memberikan daya tarik tak terbatas dan

kenikmatan kepada orang-orang yang mempelajarinya.

2.1. Keadaan konvektif

Dua keadaan dibutuhkan untuk membentuk konveksi basah tinggi seperti badai: ketidakstabilan

bersyarat dan suatu mekanisme pemicu. Ketidakstabilan bersyarat adalah keadaan khusus dari lingkungan

sekitar sebelum terbentuknya badai. Mekanisme pemicu adalah pengaruh eksternal yang memulai badai.

Setelah terbentuk, badai seringkali dapat mempertahankan diri.

2.1.1. Ketidakstabilan bersyarat

Perhatikan hasil sounding lingkungan yang diplot dengan garis hitam tebal pada gambar 2.1. Suhu

permukaan dan titik embun ditunjukkan oleh dua titik hitam. Situasi seperti ini adalah ciri khas lingkungan

pra-badai yang ditemukan di sore hari pada saat badai kemungkinan besar akan terjadi. Pada siang hari,

matahari memanaskan permukaan dan menguapkannya ke udara. Udara dekat permukaan menjadi tidak

stabil sehingga memungkinkan paket udara naik. Suhu dari paket udara yang naik menurun secara

adiabatik (pada gambar 2.1 paket udara mengikuti garis adiabatik kering (garis diagonal tipis) dan titik

embun mengikuti garis titik tipis (isohume)).

13

Parcel

Gambar 2.1. Diagram Termodinamika yang menggambarkan keadaan lingkungan pra-badai (Stull, 2000).

Sebagai contoh, sebuah paket udara menabrak lapisan stabil pada suatu lingkungan sounding di

ketinggian zi. Panas dan kelembaban yang terperangkap dalam lapisan perbatas di bawah zi mengalami

penumpukan pada siang hari dan berfungsi sebagai penyuplai energi terhadap pembentukan badai petir.

Tanpa penutup di zi, panas laten dan terindera (sensible) akan terus dilepas sebagai awan-awan kecil,

selanjutnya akan mencegah terbentuknya badai petir yang kuat.

Selanjutnya, misalkan beberapa mekanisme pemicu eksternal memaksa paket udara naik

melewati lapisan perbatas atas zi. Pada saat udara didorong di atas lifting condensation level (LCL), maka

terbentuk awan dan udara mengalami penambahan panas laten. Suhu udara jenuh naik mengikuti

adiabatik basah (garis putus-putus).

Jika ambient sounding kondusif untuk terbentuknya badai, sebagaimana yang disketsakan pada

gambar 2.1 dan jika mekanisme pemicu mendorong udara cukup tinggi, maka paket udara jenuh akan

mencapai ketinggian di mana udara tersebut kembali lebih hangat dibandingkan dengan lingkungan.

Ketinggian ini disebut level of free convection (LFC). Di atas titik ini, paket udara terus naik dan mengalami

percepatan melalui kemampuan buoyansinya, serta masih mengikuti garis adiabatik basah.

Pada akhirnya, paket udara yang naik mencapai ketinggian di mana menjadi lebih dingin dari

lingkungan. Ketinggian ini disebut limit of convection (LoC), dan menjadi batas puncak awan. Seringkali,

puncak awan ini terletak berdekatan dengan tropopause. Daerah antara LFC dan LoC menjadi daerah

dengan lingkungan tidak stabil bersyarat. Ini berarti bahwa lingkungan yang stabil secara statis

berhubungan dengan gerak kering (dan stabil dalam keadaan awal) sedangkan tidak stabil berkaitan

dengan gerak jenuh sepertihalnya paket udara jenuh yang naik melaluinya.

2.1.2. Mekanisme pemicu

Kondisi ambient seperti yang dijelaskan di atas adalah penting, namun belumlah memadai untuk

menciptakan sebuah badai. Dengan demikian, dibutuhkan juga mekanisme untuk memicu terjadinya badai

dengan memaksa udara di lapisan perbatas naik melewati lapisan rendah yang stabil. Setiap proses

Δz

14

eksternal yang memaksa naiknya udara di lapisan perbatas melalui penutup stabil ini dapat menjadi

pemicu terbentuknya badai.

Pemicu tersebut termasuk:

Front,

Garis-garis kering,

Front angin laut,

Hembusan front (gust front) dari badai lainnya,

Serta pemicu-pemicu lainnya:

Gelombang buoyansi atmosfir,

Pegunungan,

Wilayah yang terlokalisir dari pemanasan permukaan yang berlebih.

Sebagai contoh, sebuah front dingin yang datang dapat menggerakkan udara lapisan perbatas

sekitarnya dan memaksanya naik ke atas melalui lapisan stabil pada zi. Demikian pula, angin horizontal

yang menabrak lereng pegunungan dapat memaksa udara naik ke atas.

2.2. CAPE

Gerakan udara vertikal (updraft) dalam badai menandakan bahwa sejumlah energi besar sedang

dilepaskan. Ukuran jumlah energi yang tersedia untuk menciptakan gerakan tersebut adalah convective

available potential energy (CAPE). Konsep CAPE dapat diilustrasikan dalam diagram termodinamika

(Gambar 2.1).

Di antara LFC dan LoC, paket udara lebih hangat daripada lingkungan dan terdapat gaya buoyansi

positif yang cenderung mempercepat gerak udara ke atas. Ingat bahwa gaya buoyansi per satuan massa

adalah

Di mana | g | adalah percepatan gravitasi (9.8 m dt-2), Tvp adalah suhu virtual udara, dan Tve adalah

suhu virtual lingkungan pada ketinggian yang sama dengan paket udara.

Energi (kerja) adalah gaya dikalikan jarak. Sehingga, perubahan energi buoyansi per satuan

massa

yang dihubungkan dengan naiknya suatu paket udara yang melintasi kenaikan kecil dari jarak

adalah

. sekarang gunakan Tv T sehingga diperoleh:

15

Lapisan Stabil secara statis

Udara Kering

Udara Dingin

z

Wind Shear

Kenaikan energi sebanding dengan luas daerah di dalam bidang persegi yang diplot pada gambar

1.1. Lebar bidang persegi yang diarsir adalah selisih paket udara lingkungan terhadap ketinggian .

Energi total adalah sebanding dengan luas total bidang yang diarsir pada gambar 2.1, di mana

luas bidang yang diarsir ini dapat didekati dengan jumlah bidang persegi empat. Dengan demikian energi

potensi konvektif yang tersedia adalah:

atau

CAPE digunakan oleh ahli Meteorologi untuk menilai kemungkinan kekuatan badai. Kita definisikan

energi kinetik per satuan massa untuk udara yang bergerak ke atas:

, di mana w adalah

kecepatan gerak ke atas. Jika seluruh energi potensial dikonversikan menjadi energi kinetik, selanjutnya

KE = CAPE. Jika tidak ada gesekan maka kecepatan gerak ke atas pada LoC akan menjadi:

Kelembaman (inersia) dari kecepatan gerak ke atas yang besar ini dapat menyebabkan naiknya

puncak awan melampau LoC. Keadaan ini disebut dengan penetrasi konvektif dan teramati pada citra

satelit sebagai menara awan yang untuk sementara waktu mencapai Stratosfir terbawah dari puncak badai.

Gambar 2.2. Lingkungan yang kondusif untuk pembentukan badai ekstrim (Stull, 2000).

Udara hangat lembab

Tropopause

16

2.3. Lingkungan badai ekstrim

Badai datang dalam berbagai intensitas. Badai terekstrim dihasilkan melalui lingkungan yang sama

seperti gambar 2.2. Berikut beberapa aspek penting dari kondisi lingkungan yang memicu terjadinya badai

dahsyat.

Suhu titik embun di lapisan perbatas (lapisan terbawah pada gambar 2.2) menjadi indikator yang

baik sebagai penyuplai energi badai. Titik embun yang lebih besar menyiratkan lapisan perbatas

yang lebih lembab dan hangat untuk menyokong badai yang lebih ekstrim.

Titik embun tinggi hanya mungkin jika suhu udara dan kelembaban relatif tinggi, suatu kondisi yang

menyiratkan berlebihnya jumlah panas laten dan terindera untuk menggerakkan badai. Di Amerika

tengah, suhu titik embun 20 0C atau lebih besar sering dikaitkan dengan badai berintensitas sangat

besar.

Udara dingin di atas meningkatkan ketidakstabilan bersyarat. Hal ini berhubungan dengan

sounding lingkungan yang tetap dari udara yang naik, sehingga semakin memperbesar nilai CAPE.

Udara kering pada tingkat tengah berkontribusi terhadap intensitas downburst.

Seperti disebutkan sebelumnya, lapisan statis-stabil pada gambar 2.2 bertindak sebagai petutup

atau topi pada lapisan perbatas yang pada awalnya menjerat persediaan energi badai di dekat

permukaan. Hal ini memungkinkan tingkat energi berakumulasi dan bertambah hingga akhirnya

dilepas menjadi badai ekstrim.

Angin kencang di atas mendukung terbentuknya badai tornadik. Pada saat angin ini diganggu

oleh badai maka terbentuk vortisitas yang menyebabkan perputaran badai. Keadaan ini dikenal

dengan mesosiklon. Peregangan vortisitas karena gerakan udara vertikal ini dapat meningkatkan

vortisitas sehingga terbentuk tornado di dalam awan. Pada saat tornado meregang secara vertikal,

akhirnya bahagian bawah tornado muncul di dasar awan: pertama sebagai putaran terisolasi yang

turun dari dasar awan yang disebut dinding awan, selanjutnya sebagai corong awan (tornado yang

tidak mencapai permukaan) dan akhirnya sebagai tornado (saat mencapai permukaan).

Ketinggian wind shear yang rendah di lingkungan pra-badai menyokong badai yang lama. Tanpa

pengaruh wind shear, seluruh lingkungan termasuk badai dan lapisan perbatas akan bergerak

secara massal. Hal ini mengakibatkan badai yang mengkonsumsi persediaan energi terbatas akan

mereda setelah sekitar 15 menit. Dengan wind shear, angin pada lapisan perbatas bergerak relatif

terhadap badai, dan dapat terus menyuplai energi menjadi badai yang lebih lama. Wind shear

dengan ketinggian rendah juga dapat menghasilkan mesosiklon.

2.3.1. Kondisi yang memungkinkan terjadinya badai ekstrim

Hujan lebat adalah sistem skala meso yang mungkin berkembang menjadi badai ekstrim. Penting untuk

dicatat bahwa:

Beberapa aktivitas badai ekstrim tidak terjadi sebelum 12 - 18 jam setelah suhu menunjukkan

lapisan hangat pada suatu lapisan konvektif. Lapisan hangat seperti ini dapat mencegah

17

pelepasan energi konvektif, sehingga membangun jumlah energi yang kemudian dilepaskan

secara eksplosif.

Gambar 2.3. Ilustrasi sederhana yang menggambarkan gerakan udara dan ciri lain yang terkait dengan

badai multisel intens yang memiliki gerakan udara ke atas yang miring. Kedahsyatannya tergantung pada

intensitas pola sirkulasi badai.

(a) (b)

18

Gambar 2.4. a.) Jenis sounding suhu udara dan titik embun yang sering mendahului perkembangan badai

supersel. b) Keadaan yang mengarah pada pembentukan badai ekstrim, khususnya supersel. Daerah

berwarna kuning merupakan wilayah supersel akan terbentuk.

Dalam badai ekstrim, titik embun seringkali lebih tinggi dari 13 °C dan bahkan mungkin mencapai

18 °C. Pada tekanan 850 hPa nilai analog untuk θw ditentukan. Angin dari tenggara ke selatan -

baratdaya dengan kecepatan antara 37-56 km jam-1 (20 – 30 knot).

Adveksi udara kering di atmosfer menengah dengan ketidakstabilan potensial θw pada 500 hPa

dapat 2 °C – 5 °C lebih rendah dari pada 850 hPa. Angin di 500 hPa mengalami pembelokan

relatif 20 – 40° terhadap angin di 850 hPa dengan kecepatan 65 - 93 km jam-1 (35 – 50 knot).

Di atas 500 hPa angin mengalami pembelokan pada 300 hPa dari selatan - baratdaya ke barat

dengan kecepatan 93-157 km jam-1 (50 – 85 knot) yang merupakan kondisi menguntungkan untuk

terciptanya badai ekstrim.

2.4. Prediksi pembentukan awan konvektif

Asumsikan bahwa prediksi pembentukan harian awan konvektif di sore hari pada hari yang sama

harus menyertakan pernyataan mengenai peluang terhadap pembentukan awan kumulunimbus. Gambar

2.5. dapat dijadikan acuan.

Gambar 2.5. Perubahan laju penurunan lingkungan di siang hari (Kroon, 2011).

1. Tentukan mixing rasio maksimum rata-rata pada tekanan 50 hPa terbawah dengan menggunakan kurva titik embun dari data radiosonde jam 07.00 WIB. Perpotongan garis ini dengan laju penurunan suhu lingkungan akan didapatkan CCL.

2. Dari CCL ikuti garis adiabatik kering hingga tekanan permukaan (isobar) sehingga akan didapatkan nilai Tc (Suhu konveksi). Tc mengindikasikan bahwa awan konvektif sudah mulai terbentuk.

19

3. Tentukan apakah suhu udara melebihi Tc dan jika ya maka pertanyaannya adalah jam berapa awan ini akan terbentuk?. Perubahan suhu harian pada massa udara yang sama seperti hari-hari sebelumnya dapat menjadi suatu indikasi penting.

4. Jika Tc dilebihi maka ketinggian dasar awan harus ditentukan. Ini harus bertepatan dengan CCL karena di tingkat ini mulai terjadi kondensasi. Karena dibutuhkan supersaturasi, maka dasar awan dapat menjadi lebih tinggi. Selanjutnya, selama naiknya udara beberapa entrainment akan terjadi dan ini akan mengurangi kelembaban paket udara dan menaikkan dasar awan sedikit lebih tinggi di atas CCL. Dasar awan dapat menjadi lebih tinggi dari CCL karena udara tidak dapat naik secara langsung pada saat Tc telah dicapai, keadaan ini menghasilkan laju penurunan superadiabatik. Paket udara turun ke permukaan dan mulai kembali naik pada saat angin memutusnya dari permukaan Bumi. Oleh sebab itu beberapa knot kecepatan angin menjadi dibutuhkan. Jika suhu paket udara T > Tc

meninggalkan permukaan, maka udara akan naik mengikuti garis adiabatik berbeda yang memotong

pada ketinggian yang lebih tinggi dari CCL. Rata-rata dasar awan ± 25 hPa lebih tinggi dari CCL. Rumus empiris untuk ketinggian CCL (m) adalah hCCL (m) = 125 (T-Td) di mana T dan Td adalah suhu dan suhu titik embun di permukaan.

5. Secara teoritik, puncak awan berada pada D (gambar 2.5). Pada praktiknya, karena pengaruh yang disebutkan sebelumnya, puncak awan ± 25 hPa di bawah ketinggian D.

6. Mempredikasi tutupan awan (N) dari awan konvektif tidaklah mudah. Pada praktiknya situasi dari hari-hari sebelumnya, jika sama dapat menjadi petunjuk. Rumusan empiris yang memberikan suatu indikasi kasar adalah

Dimana UCCL adalah kelembaban relatif (%) pada CCL.

Untuk mempredikasi presipitasi dari awan konvektif, penting untuk menyadari bawah awan hanya

dapat menghasilkan presipitasi jika lapisan awan cukup tebal atau suhu di bagian atas awan cukup rendah.

Di suatu daerah, awan kumulus harus memiliki tingkat vertikal yang tinggi dan ketinggian 0 0C harus

dilewati untuk menghasilkan presipitasi. Jika puncak awan melewati ketinggian -7 0C dan kelembaban

relatif antara CCL dan ketinggian puncak awan cukup besar, maka memungkinkan untuk terbentuknya

hujan. Lebih tinggi puncak awan dan lebih besar luas ketidakstabilan pada diagram termodinamika maka

intensitas presipitasi akan lebih tinggi.

Suatu aspek penting dalam mempertimbangkan laju penurunan lingkungan adalah fakta bahwa

sedikit terbentuk awan konvektif di dalam daerah dengan isobar melengkung secara antisiklon. Tentu saja

gerak udara yang turun menjadi penting, terutama ketika terjadi inversi penurunan yang memungkinkan

turun secara bertahap dan melawan pembentukan vertikal awan kumulunimbus.

Setelah mencapai suhu maksimum, konveksi akan berkurang secara bertahap dan berhenti

setelah terbentuk inversi permukaan. Sisa awan akan menguap menciptakan downdraft karena

pendinginan evaporatif dari udara. Awan kumulus akan hilang dan sekarang awan kumulogenitus Sc dapat

teramati. Disipasi awan akan terjadi lebih cepat jika udara kering.

20

2.5. Prediksi badai

Kondisi terpenting untuk pembentukan badai adalah:

1. Sejumlah besar CAPE yang dapat dilepas oleh konveksi.

2. Vertikal windshear pada keseluruhan lapisan konvektif.

3. Intensitas badai tergantung pada jumlah awan pada saat CAPE dilepaskan: banyak awan kecil atau

sedikit lebih besar.

Wind shear memiliki pengaruh sebagai berikut:

Tanpa shear, gerak udara vertikal ke atas dan ke bawah akan sama. Awalnya awan akan tumbuh dan

gerak udara vertikal menjadi lebih kuat. Selanjutnya presipitasi akan jatuh dari bagian atas awan.

Presipitasi akan jatuh melalui wilayah dengan gerak udara vertikal ini, sehingga melemahkan gerak

udara vertikal (pendinginan evaporatif) dan awan menghilang dengan cepat.

Jika kecepatan angin, tetapi tidak dengan arah, bervariasi terhadap ketinggian maka gerak udara

vertikal diarahkan pada sudut vertikal dan presipitasi akan jatuh di samping wilayah gerak udara

vertikal ke atas. Gerak udara vertikal ke atas dan ke bawah berada di samping satu sama lain dan

awan tidak akan menghilang secepat dengan situasi tanpa wind shear. Gerak udara vertikal ini dapat

dihentikan melalui penyebaran udara dingin menyamping ketika gerak udara ke bawah mencapai

permukaan.

Jika terdapat shear baik dalam arah dan kecepatan angin maka sistem skala meso kompleks dapat

terbentuk. Keadaan ini berlangsung selama beberapa jam, tidak tergantung oleh pemanasan

permukaan.

21

BAB III

METODE STUDI

3.1. Pengumpulan data

Studi keadaan awal atmosfir untuk memprediksi pembentukan badai konvektif di Jakarta

menggunakan data rawinsonde yang diperoleh dari http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html. Data

ini diperoleh dua kali sehari pada 0Z dan 12Z melalui balon cuaca yang dilengkapi paket instrumen

radiosonde. Z merupakan singkatan dari Greenwich Mean Time (GMT). Selisih waktu antara GMT dan

Jakarta adalah 7 jam. Jakarta termasuk ke dalam zona waktu Indonesia barat (WIB). Maka data pada 0Z

mengindikasikan data pada jam 7.00 WIB di pagi hari sedangkan data 12Z adalah data pada jam 19.00

WIB di malam hari. Data rawinsonde untuk wilayah Jakarta menggunakan data rawinsonde di bandar

udara internasional Soekarno-Hatta Cengkareng (6.1º LS dan 106.7º BT) dengan elevasi 8 m di atas

permukaan laut. Meskipun lokasi bandar udara dengan kota Jakarta sedikit berjauhan. Akan tetapi, unsur-

unsur cuaca di bandar udara dapat mewakili keadaan atmosfir di Jakarta. Namun, untuk memperoleh hasil

yang dapat merepresentasikan keadaan atmosfir di Jakarta sebaiknya juga menggunakan data rawinsonde

dari stasiun cuaca di Jakarta. Beberapa peneliti juga menggunakan data rawinsonde di bandar udara

internasional Soekarno-Hatta Cengkareng untuk mengamati struktur vertikal atmosfir di Jakarta seperti

yang dilakukan oleh Matsumoto et al. 2009.

Selanjutnya data ini ditampilkan menggunakan software RAOB (Rawinsonde Observation

Program). Sehingga diperoleh informasi mengenai keadaan atmosfir termasuk stabilitas, kecepatan

vertikal, ketinggian dasar awan, ketinggian puncak awan dan informasi lain yang berkaitan dengan

kinematika dan termodinamika Troposfir dan bahkan Stratosfir. Informasi ini nantinya menjadi masukan

(input) pada berbagai indeks prediksi badai yang telah dikembangkan untuk mengamati potensi

terbentuknya badai di sore hari.

Studi ini didahului oleh pengumpulan sejumlah informasi mengenai waktu terjadinya hujan petir di

Jakarta, kemudian penyesuaian dan pengumpulan data rawinsonde di waktu itu dan menganalisnya

menggunakan software RAOB. Berikut beberapa informasi mengenai hujan petir yang pernah terjadi di

Jakarta.

Tabel 3.1. Hujan petir di Jakarta.

No. Tanggal Keterangan Sumber

1. 13 Februari 2010 Hujan angin petir di Jakarta http://detiknews.com

2. 5 Oktober 2010 Sebagian Jakarta dilanda hujan petir http://tempointeraktif.com

3. 27 November 2010 Hujan angin petir di Jakarta http://us.metro.vivanews.com

4. 13 Juni 2011 Hujan angin petir di bandara internasional Soekarno Hatta

22

5. 25 Oktober 2011 Hujan petir di Depok http://megapolitan.kompas.com

6. 26 Oktober 2011 Hujan disertai petir guyur Jakarta http://news.okezone.com

3.2. RAOB

Program Observasi Rawinsonde (RAOB) berfungsi untuk menampilkan data rawinsonde sekaligus menghitung berbagai indeks bagi pengguna (user). Indeks ini biasanya terkait dengan konveksi yang ditampilkan dalam tabel cuaca buruk (severe weather) RAOB. RAOB memungkinkan pengaturan ambang (threshold) untuk masing-masing indeks di dalam tabel cuaca buruk sehingga program ini dapat dengan cepat menampilkan indeks mana yang menunjukkan peluang tinggi dan rendah terhadap pembentukan konveksi. Pengaturan threshold menjadi penting karena dapat disesuaikan pada berbagai wilayah iklim yang berbeda. RAOB juga dapat menampilkan data dengan berbagai jenis file yang berbeda yang dapat diperoleh dari berbagai sumber di internet.

3.3. Indeks prediksi badai

Untuk memprediksi badai, sejumlah aturan dan indeks telah dikembangkan. Gambaran singkat

mengenai indeks disajikan sebagai berikut:

Indikasi badai dari ketinggian puncak awan:

- di bawah 4000 m: kecil kemungkinan.

- antara 4000 dan 5000 m: besar kemungkinan.

- di atas 5000 m: sangat besar kemungkinan.

Berikut beberapa penjelasan indeks yang dapat digunakan untuk memprediksi potensi badai di

Jakarta.

3.3.1. Indeks Jumlah Total (Total totals Index)

Indeks ini biasanya digunakan sebagai indikator cuaca buruk dan didefinisikan oleh:

Indeks TT Potensi badai

< 45 Lemah

45-55 Sedang

> 55 Kuat

23

3.3.2. Indeks angkat (Lifted Index)

Indeks stabilitas digunakan untuk menentukan potensi badai. LI dihitung berdasarkan gerak udara naik secara adiabatik dari 50 hPa di atas permukaan ke 500 hPa. Perbedaan antara suhu paket udara dengan suhu lingkungan di 500 hPa mewakili indeks ini.

Indeks angkat Potensi badai

> -3 Lemah

-3 hingga -5 Sedang

< -5 Kuat

3.3.3. Indeks K (K Index)

Didefinisikan oleh:

KI = T850 – T500 + Td.850 – (T700 – Td.700)

Indeks KI Potensi badai

< 20 Tidak ada

20 – 25 Lemah: badai terisolasi

26 – 30 Sedang: badai tersebar secara luas

31 – 35 Sedang: badai tersebar

> 35 Kuat: badai banyak

3.3.4. Indeks Showalter (Showalter Index)

Indeks yang dikembangkan untuk menentukan kestabilan udara. Selisih T pada saat P 500 mb

dengan T paket udara pada P yang sama.

SI = T 500 – T’ 500

T adalah suhu lingkungan pada 500 hPa dan T’ adalah suhu paket udara pada 500 hPa.

Indeks SI Potensi badai

> 3 Troposfir stabil, tidak ada badai, hujan sebentar

1 < SI < 3 Kecil peluang terjadi hujan badai, konveksi lemah, ada hambatan lapisan stabil

-3 < SI < 1 Hujan badai meningkat, troposfir tidak stabil lemah

-6 < SI < -3 Hujan badai hebat, troposfir tidak stabil

SI < -6 Hujan badai Tornado, troposfir sangat tidak stabil

24

Indeks di atas harus selalu digunakan dalam hubungannya dengan indikator skala besar badai. Energi konvektif ekstra dapat tergantung pada:

Posisi dan gerakan udara atas palung (Trough) atau daerah bertekanan rendah (Lows). Badai

biasanya ditemukan di sepanjang atau hanya pada front udara atas Trough atau Lows.

Keberadaan dan gerakan garis konvergensi tingkat rendah, seperti front.

Daerah tinggi dapat menerima pemanasan berlebih.

Alat sinoptik lainnya yang berguna adalah:

Analisis titik embun dan/atau θw. Titik embun tinggi atau θw dapat membantu untuk menentukan daerah

dengan risiko tinggi dari badai;

Selisih θw pada daerah bertekanan 500 dan 850 hPa.

Kelengkungan siklonik dari isobar permukaan.

3.4. CAPE dan Intensitas Badai

Hubungan antara CAPE dan intensitas badai potensial diberikan pada tabel di bawah ini, di mana CAPE(m2/s2) = 38 CAPE (ºC km).

Tabel. 3.2. Estimasi intensitas badai vs. CAPE

CAPE ºC km CAPE(m2/s2) Intensitas

CAPE < 0 CAPE < 0 Tidak ada konveksi

0 < CAPE < 26 0 < CAPE < 1000 Konveksi lemah / Kumulus

26 < CAPE < 66 1000 < CAPE < 2500 Badai sedang

66 < CAPE < 92 2500 < CAPE < 3500 Badai kuat

92 < CAPE 3500 < CAPE Badai ekstrim

25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa Data dan Pembahasan

Gambar 4.1. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 7.00 WIB pada 13 Februari 2010. Garis di kanan adalah profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Gambar 4.1 adalah hasil sounding di bandar udara internasional Jakarta. Informasi yang diperoleh

dari rawinsonde antara lain:

Tekanan permukaan = 1008 hPa.

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 25.2 0C dan 23.8 0C.

Suhu konvektif = 33.2 0C.

CAPE = 2 J kg-1.

Nilai CAPE yang rendah ini menandakan bahwa kecepatan gerak udara ke atas (updraft) untuk

membentuk awan konvektif juga rendah. Namun nilai Richardson (BRN) 0 mengindikasikan aliran udara

tidak stabil dan turbulen. Nilai BRN yang kecil menandakan wind shear yang relatif kuat. Keadaan ini

sesuai dengan informasi yang diberikan oleh gambar 4.1, bahwa arah angin berlawanan dengan

kecepatan vertikal wind shear dengan kecepatan 10 m dt-1 pada lapisan bertekanan 900 – 700 hPa. Titik

jenuh (LCL) yang menandakan dasar awan terbentuk pada 988 hPa dengan ketinggian 180 m di atas

permukaan. Ketinggian awan mencapai 3 km dan kecepatan vertikal maksimum relatif rendah sebesar 2 m

26

dt-1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wilayah ini sedang tidak mengalami badai. Hal ini juga

sesuai dengan indeks prediksi badai (tabel 4.1) yang hampir kesemuanya menyimpulkan bahwa potensi

badai lemah dengan kemungkinan terjadi hujan berintensitas ringan di wilayah ini.

Tabel 4.1. Indeks potensi badai di Jakarta jam 7.00 WIB pada 13 Februari 2010.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat 0.3 Lemah

TT Jumlah total 37.5 Lemah

KI KI 31.1 Sedang: badai tersebar

SI Showalter 3.25 Troposfir stabil, tidak ada badai, hujan sebentar

Gambar 4.2. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 19.00 WIB pada 13 Februari 2010. Garis di kanan

adalah profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap

ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Informasi yang diperoleh dari rawinsonde pada gambar 4.2 adalah:

Tekanan permukaan = 1007 hPa.

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 26.0 0C dan 25.1 0C.

Suhu konvektif = 34.5 0C.

CAPE = 1947 J kg-1.

LCL = 994 hPa = 117 m.

27

Tabel 4.2. Indeks potensi badai di Jakarta jam 19.00 WIB pada 13 Februari 2010.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat -3.4 Sedang

TT Jumlah total 41.7 Lemah

KI KI 36.8 Kuat: badai banyak

SI Showalter 1.07

Kecil peluang terjadi hujan badai, konveksi lemah, ada hambatan lapisan stabil

Dari analisis indeks LI, TT dan KI disimpulkan bahwa kategori badai adalah lemah, sedang dan

kuat dengan intensitas yang berbeda. Indeks Showalter juga menyatakan potensi badai yang terjadi adalah

kecil. Keadaan ini diperkuat oleh konveksi yang lemah dan terdapat hambatan lapisan stabil. Ketiadaan

inversi suhu di ketinggian juga mengindikasikan bahwa atmosfir tidak mengalami ketidakstabilan konvektif,

juga diperkuat oleh nilai BRN 473 yang menyatakan bahwa udara secara dinamik stabil. Namun nilai CAPE

yang besar menyiratkan bahwa potensi untuk terjadinya badai pada malam hari tetap ada.

Gambar 4.3. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 7.00 WIB pada 5 Oktober 2010. Garis di kanan adalah

profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap

ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Informasi yang diperoleh dari sounding pada gambar 4.3 adalah:

Tekanan permukaan = 1007 hPa.

28

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 24.6 0C dan 22.9 0C.

Suhu konvektif = 31.0 0C.

CAPE = 231 J kg-1.

LCL = 982 hPa = 219 m.

Tabel 4.3. Indeks potensi badai di Jakarta jam 7.00 WIB pada 5 Oktober 2010.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat -1.0 Lemah

TT Jumlah total 43.9 Lemah

KI KI 37.7 Kuat: badai banyak

SI Showalter -1.09 Hujan badai meningkat, troposfir tidak stabil lemah

Gambar 4.3 memperlihatkan angin yang tidak mengalami perubahan arah yang signifikan dan

berlawanan, namun memiliki kecepatan bervariasi terhadap ketinggian. Subsidensi inversi terjadi pada

ketinggian 239 m. Selanjutnya, awan terbentuk hingga mencapai ketinggian ±11 km di Troposfir atas.

Bentuk awan yang dapat disimpulkan adalah kumulunimbus dengan kecepatan vertikal maksimum adalah

21 m dt-1 dan wind shear 13 m dt-1 di sepanjang lapisan bertekanan 900 - 700 hPa. Dari analisis indeks,

kategori badai lemah hingga kuat dengan CAPE 231 J kg-1 dan downdraft CAPE pada 6 km adalah 108 J

kg-1. Dengan demikian disimpulkan bahwa Jakarta mengalami hujan petir berdurasi singkat dengan potensi

hembusan microburst 17 km jam-1.

29

Gambar 4.4. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 19.00 WIB pada 5 Oktober 2010. Garis di kanan

adalah profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap

ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Informasi yang diperoleh dari sounding pada gambar 4.4 adalah:

Tekanan permukaan = 1007 hPa.

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 27.8 0C dan 23.4 0C.

Suhu konvektif = 34.3 0C.

CAPE = 1122 J kg-1.

LCL = 944 hPa = 567 m.

Tabel 4.4. Indeks potensi badai di Jakarta jam 19.00 WIB pada 5 Oktober 2010.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat -3.5 Sedang

TT Jumlah total 43.4 Lemah

KI KI 34.8 Sedang: badai tersebar

SI Showalter 0.98 Hujan badai meningkat, troposfir tidak stabil lemah

Pada gambar 4.4 teramati bahwa pada lapisan bertekanan ~600 – 450 hPa terjadi inversi di mana

kelembaban menurun tajam di lapisan ini. Lapisan kering ini menggambarkan ketidakstabilan konvektif

yang kuat di Jakarta. Pada lapisan kering ini juga ditandai dengan tidak terbentuknya awan. Freezing level

di atas lapisan inversi menunjukkan bahwa awan kembali terbentuk. Awan kumulunimbus terbentuk hingga

ketinggian 11 km di Troposfir. Keadaan konvektif ini juga diperkuat oleh nilai CAPE 1195 J kg-1. Nilai CAPE

tinggi ini juga menggambarkan potensi kecepatan maksimum dari updraft untuk menghasilkan konvektif

yang kuat. Kecepatan angin rendah di permukaan dan meningkat terhadap ketinggian dengan nilai

kecepatan maksimum terjadi pada lapisan inversi mencapai 37 km jam-1. Sementara itu, kecepatan vertikal

wind shear adalah 11 m dt-1 di sepanjang lapisan bertekanan 900 – 700 hPa. Dari analisisi indeks juga

diprediksi bahwa akan terjadi hujan petir dengan kategori lemah dan sedang dengan potensi gust di

permukaan sebesar 54 km jam-1.

30

Gambar 4.5. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 7.00 WIB pada 25 Oktober 2011. Garis di kanan

adalah profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap

ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Informasi yang diperoleh dari sounding pada gambar 4.5 adalah:

Tekanan permukaan = 1008 hPa.

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 26.8 0C dan 24.8 0C.

Suhu konvektif = 31.4 0C.

CAPE = 2574 J kg-1.

LCL = 979 hPa = 258 m.

Tabel 4.5. Indeks potensi badai di Jakarta jam 7.00 WIB pada 25 Oktober 2011.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat -6.7 Kuat.

TT Jumlah total 47.7 Sedang.

KI KI 35.6 Kuat: badai banyak.

SI Showalter -1.86 Hujan badai meningkat, troposfir tidak stabil lemah.

Berdasarkan prediksi indeks dan CAPE, keadaan atmosfir pada pagi hari di Jakarta

mengindikasikan potensi badai dengan intensitas sedang hingga tinggi. Pada Troposfir bawah, udara

berada dalam keadaan tidak stabil bersyarat. Keadaan ini diperkuat oleh terbentuknya lapisan udara kering

pada ~500 – 300 hPa sehingga mengakibatkan tidak terbentuknya awan di lapisan ini. Dan pada lapisan ini

31

pula terjadi pembelokan arah angin yang mengindikasikan wind shear yang lebih kuat di lapisan atas

dibanding kecepatan wind shear pada lapisan ~900 – 700 hPa yang bernilai 7 m dt-1. Kecepatan angin di

permukaan mencapai 56 km jam-1.

Gambar 4.6. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 19.00 WIB pada 25 Oktober 2011. Garis di kanan

adalah profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap

ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Informasi yang diperoleh dari sounding pada gambar 4.6 adalah:

Tekanan permukaan = 1006 hPa.

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 27.2 0C dan 19.2 0C.

Suhu konvektif = 34.7 0C.

CAPE = 2 J kg-1.

LCL = 895 hPa = 1029 m.

Tabel 4.6. Indeks potensi badai di Jakarta jam 19.00 WIB pada 25 Oktober 2011.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat 0.1 Lemah

TT Jumlah total 46.9 Sedang

KI KI 35.6 Kuat: badai banyak

SI Showalter -1.34 Hujan badai meningkat, troposfir tidak stabil lemah

32

Dari analisis indeks menyatakan bahwa peluang badai yang terbentuk adalah lemah, sedang dan

kuat. Walaupun tidak memiliki nilai CAPE yang cukup besar namun pembelokan arah angin di lapisan

inversi dengan kecepatan angin yang bervariasi mendukung terbentuknya hujan dengan intensitas sedang

yang disertai petir di malam hari.

Gambar 4.7. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 7.00 WIB pada 26 Oktober 2011. Garis di kanan

adalah profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap

ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Informasi yang diperoleh dari sounding pada gambar 4.7 adalah:

Tekanan permukaan = 1006 hPa.

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 23.0 0C dan 20.0 0C.

Suhu konvektif = 32.1 0C.

CAPE = 0 J kg-1.

LCL = 962 hPa = 390 m.

Tabel 4.7. Indeks potensi badai di Jakarta jam 7.00 WIB pada 26 Oktober 2011.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat 2.7 Lemah

TT Jumlah total 43.5 Lemah

KI KI 35.2 Kuat: badai banyak

SI Showalter 0.05 Hujan badai meningkat, troposfir tidak stabill lemah

33

Keadaan atmosfir di Jakarta pada pagi hari berada pada ketidak stabilan konvektif di tandai

dengan terbentuknya lapisan inversi pada ~600 – 300. ketidakstabilan konvektif ini memicu terjadi hujan

petir dengan intensitas sedang di sore hari seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.8 serta berdasarkan

analisis prediksi indeks pada tabel 4.8. Variasi arah dan kecepatan wind shear 9 m dt-1 pada lapisan ~900

– 600. Sementara itu, potensi kecepatan microburst adalah 28 km jam-1.

Gambar 4.8. Diagram Skew-T Log-P di Jakarta jam 19.00 WIB pada 26 Oktober 2011. Garis di kanan

adalah profil suhu dan garis di kiri adalah profil suhu titik embun. Angin ditampilkan sebagai barbs terhadap

ketinggian di tepi kanan luar diagram.

Informasi yang diperoleh dari sounding pada gambar 4.8 adalah:

Tekanan permukaan = 1009 hPa.

Suhu dan suhu titik embun di permukaan = 25.2 0C dan 21.9 0C.

Suhu konvektif = 30.0 0C.

CAPE = 148 J kg-1.

LCL = 961 hPa = 428 m.

Tabel 4.8. Indeks potensi badai di Jakarta jam 19.00 WIB pada 26 Oktober 2011.

Singkatan Nama indeks Nilai (diagram RAOB) Potensi badai

LI Angkat -1.4 Lemah

TT Jumlah total 43.8 Lemah

KI KI 28.9 Sedang: badai tersebar secara luas

SI Showalter -0.94 Hujan badai meningkat, troposfir tidak stabil lemah

34

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Simpulan

1. Jakarta berada pada daerah konvergensi antar Tropik (ITCZ) atau ekuator termal sehingga tidak

mengalami perbedaan suhu yang nyata untuk setiap musimnya.

2. Karena berada di daerah ITCZ maka hujan petir yang disertai oleh angin permukaan yang kencang

menjadi lazim terjadi di Jakarta. Hujan petir ini menjadi lebih intensif ketika memasuki masa

transisi dari musim kemarau ke musim hujan pada akhir September hingga Oktober dan masa

transisi dari musim hujan ke musim kemarau akhir Maret hingga April.

3. Hujan petir di Jakarta tergolong ke dalam badai konvektif jenis badai sel biasa (Ordinary Cell

Thunderstorms) atau dikenal juga dengan istilah badai massa udara. Karena Jakarta berada di tepi

lautan sehingga banyak dipengaruhi oleh gerak massa udara maritim yang datang dari laut Jawa.

Massa udara maritim ini kemudian bertemu dengan sirkulasi angin sinoptik dari barat sehingga

terbentuk zona konvergensi di wilayah Jakarta. Zona konvergensi ini mendorong udara hangat

naik dalam lingkungan tidak stabil bersyarat sehingga terbentuk awan konvektif yang menjadi

indikator awal terbentuk badai sel biasa di Jakarta. Karena termasuk ke dalam badai sel biasa

maka hujan petir di Jakarta memiliki durasi yang tidak terlalu lama kurang lebih satu hingga dua

jam saja. Pergerakan massa udara maritim di wilayah Jakarta ini merupakan salah satu

mekanisme pemicu dari terbentuk badai konvektif di Jakarta. Mekanisme lainnya adalah

pemanasan yang tidak merata di permukaan dan penguapan lokal yang berasal dari laut serta

sumber air yang ada di Jakarta dan sekitarnya.

4. Lingkungan pra-konvektif memiliki ciri khusus yang ditandai dengan turunnya kelembaban

terhadap ketinggian di tekanan tertentu yang dengan mudah diamati melalui Termodiagram.

5. Keadaan atmosfir di Jakarta disajikan melalui data rawinsonde yang diperoleh dua kali sehari pada

0Z dan 12Z di bandar udara internasional Soekarno-Hatta untuk kemudian dianalisis mengunakan

software RAOB sehingga diperoleh beberapa indeks prediksi terbentuknya hujan petir di Jakarta.

6. Indeks prediksi badai yang sesuai digunakan untuk wilayah Jakarta adalah: indeks jumlah total

(total totals index), indeks angkat (lifted index), indeks K (K index), indeks Showalter (Showalter

index).

7. Badai konvektif di Jakarta di awali oleh naiknya udara dalam lingkungan tidak stabil bersyarat,

kehadiran lapisan inversi pada ~500 – 300 hPa yang menyiratkan turunnya kelembaban sehingga

mendorong ketidakstabilan konvektif, nilai CAPE tinggi yang juga menggambarkan potensi

kecepatan maksimum gerak udara ke atas sehingga menimbulkan konveksi yang kuat dan gerak

vertikal wind shear yang bervariasi baik dalam arah dan kecepatan terhadap ketinggian.

8. Lingkungan atmosfir yang tidak stabill di pagi hingga siang hari mendukung terbentuknya hujan

petir di sore hari di Jakarta.

35

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas masing-masing indeks (sifat statistik) ketika

digunakan sebagai prediktor badai, yaitu ketika digunakan untuk memprediksi peluang terjadi badai

berdasarkan nilai ambang tertentu terutama di wilayah Jakarta dengan memperhatikan aspek

klimatologisnya.

2. Perlu dilakukan pengujian terhadap indeks prediktor badai lainnya dan membandingkan kemampuan

masing-masing indeks untuk memprediksi badai terutama struktur pra-konvektif termodinamika

Troposfir di wilayah Jakarta. Evaluasi untuk masing-masing indeks dapat menggunakan forecast skill

sebagai fungsi dari nilai ambang yang dipilih. Karena sifatnya berupa uji statistik maka diperlukan

informasi data rawinsonde atau data pendeteksi petir ATD dalam rentang waktu yang lama.

3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan nilai ambang terbaik dalam suatu skema

prediksi badai dikotomik di wilayah Jakarta.

4. Untuk mendapatkan keakurasian yang baik terhadap prediksi badai, perlu adanya data rawinsonde

dengan interval 6 jam-an.

5. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai cakupan spasial data rawinsonde.

36

Daftar Pustaka

Ahrens, C.D. and P. Samson., Extreme Weather and Climate, Pearson Prentice Hall, Brooks/Cole;

Thomson Learning, USA, 2011.

Brothers, D.A., Forecasting Summertime Convection in Western North Dakota using RAOB, Free published

paper, North Dakota Atmospheric Resource Board, Bismarck, North Dakota.

Haklander, A., Thunderstorm predictors and their forecast skill for the Netherlands, Master Thesis, Institute of Marine and Atmospheric research, Utrecht University, the Netherlands, 2002.

Ilhamsyah, Y., A Preliminary Study of Land Surface Modification to the Effect of Urban Heat Islands in

Jakarta by using MM5, A study report for mesoscale meteorological modeling lecture, Wageningen University, the Netherlands, 2008.

Kroon, L.J.M., Convective Clouds, hand-out practical lecture of Atmospheric practical, Wageningen

University, the Netherlands, 2011.

Lutgens, F. K. and E. J. Tarbuck., The atmosphere : an introduction to Meteorology, Pearson Prentice Hall, USA, 2007. Matsumoto, J., Peiming, W., Kamimera, H., Hamada, J-I., Mori, S., Yamanaka, M., Sakurai, N., Syamsudin,

F., Sulistyowati, R., Arbain, A.A. and Y.S. Djajadihardja., Torrential in Indonesia Capital City Jakarta, The seventh International Conference on Urban Climate, Yokohama, Japan, 29 June - 3 July 2009.

Sofyan, A., Kitada, T. and G. Kurata., Characteristics of Local Flow in Jakarta, Indonesia and its implication

in air pollution transport, The 9th Atmospheric Sciences and Air Quality Conferences, San Francisco, USA, 26-29 April 2005.

. Stull, B. R., Meteorology for Scientist and Engineers, Brooks/Cole; Thomson Learning, USA, 2000.

Vivanews., Pemicu Hujan, Angin dan Petir di Jakarta, http://us.metro.vivanews.com/news/read/190933-

jakarta-hujan--angin-dan-petir--ini-sebabnya, 6 November 2011.