Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I PENDAHULUAN
Pengembangan sumber daya manusia sangat penting di zaman
sekarang ini, kususnya pada mahasiswa. Untuk membentuk
mahasiswa yang baik dibutuhkan lingkungan yang baik, kecerdasan
emosi dan konsep diri yang bagus yang berguna bagi mahasiswa di
lingkungan kerja setelah mereka kuliah. Dalam bab ini, akan
diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan
penelitian, alasan meneliti, fenomena-fenomena, penelitian-
penelitian sebelumnya dan mengenai perilaku asertif pada
mahasiswa dan mengapa hal ini penting untuk diteliti. Selain itu
terdapat teori-teori dan penelitian – penelitian sebelumnya tentang
emotional intelligence, self concept dan perilaku asertif yang positif
maupun negatif. Selanjunya rumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat penelitian ini dilakukan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan bagian dari sumber daya
alam dan lingkungan. Dengan kata lain bahwa sumber daya
manusia sangat erat hubungannya dengan sumber daya alam.
Berdasarkan survei The Political and Economic Risk
Gonsultancy (PERC) disimpulkan bahwa sistern pendidikan di
Indonesia berada di urutan ke 12 di Asia (paling bawah di
ASIA). Urutan pertama dan kedua masing - masing diduduki
Korea Selatan dan Singapura. Di Indonesia dalam hal
peningkatan kualitas SDM yang beracuan pada MDG’s
2
(Millennium Development Goals). Hal tersebut dikenal Sasaran
Pembangunan Millenium, pemerintah menfokuskan membuat
program-program untuk peningkatkan pendidikan seperti
anggaran yang ditingkatkan hingga 20% dari APBN. Ada dua
strategi untuk peningkatan kualitas SDM Indonesia menjadi
SDM yang unggul yang di mana kedua strategi tersebut
nantinya saling interaktif satu sama lain sehingga tidak dapat
dipisahkan. Pertama, menciptakan pendidikan yang berkualitas,
yang dimanifestasikan dengan pemerataan pendidikan,
perluasan akses ke perguruan tinggi, dan penyediaan
infrastruktur pendidikan yang layak. Kedua, perbaikan status
kesehatan untuk terwujudnya SDM Indonesia yang produktif.
Hal ini dilakukan dengan memberikan pelayanan kesehatan
mendasar yang merata terhadap seluruh masyarakat Indonesia,
yang diungkap oleh Gade, (2013).
Dalam era modern sekarang ini, kemajuan dalam dunia
terjadi di semua bidang seperti pertahanan, ekonomi, industri,
teknologi, dan ilmu pengetahuan. Persaingan dalam ilmu
pengetahuan pada mahasiswa sangat ketat seperti saat ini. Ada
sebagian mahasiswa secara psikologis yang mengalami
perasaan-perasaan negatif secara psikologis seperti adanya
perasaan galau, takut kecewa jika tidak diterima oleh orang lain
baik dari teman sebaya, lingkungan sosial, orang tua maupun
dari dosen. Perasaan-perasaan negatif tersebut secara implisit
dapat mempengaruhi perilaku perilaku mahasiswa di dalam
proses belajar mereka di perguruan tinggi. Akhirnya, situasi
3
tersebut dapat membawa mahasiswa tersebut mengalami
berbagai masalah yang berkaitan dengan perasaan diterima dan
tidak disisihkan atau dikucilkan dari pergaulan. Pernyataan
tersebut dijelaskan oleh Hisyam, (2007).
Oleh sebab itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia
menjadi suatu hal yang penting dan harus menjadi perhatian dari
semua pihak. Dengan demikian, Indonesia perlu memberikan
prioritas investasi yang lebih tinggi pada upaya pembangunan
manusia. Hal ini dapat dimulai dari sekolah dasar sampai
kampus. Kwik Kian Gie (dalam Ruhana, 2012), menyimpulkan
bahwa pemerintah harus lebih banyak berinvestasi pada
program pembangunan manusia yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun
1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di
perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa juga merupakan calon
intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan
masyarakat yang sering kali sarat dengan berbagai predikat.
Menurut KUKM UKSW (1992), mahasiwa adalah peserta didik
yang telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh
Universitas. Sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa
kedinamisan sikap kenyataan objektif, sistematik, dan rasional.
Pernyataan tersebut didukung oleh Kenniston (dalam
Rahmawati, 2006) yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah
suatu periode yang disebut dengan “studenthood” yang terjadi
hanya pada individu yang memasuki post secondary education
4
dan sebelum masuk ke dalam dunia kerja yang menetap. Periode
ini merupakan tahap perkembangan masa dewasa awal dalam
perkembangan manusia.
Dalam perkuliahan terdapat juga berbagai masalah yang
dialami oleh mahasiswa. Permasalahan-permasalahan tersebut
diantaranya adalah mahasiswa seringkali mengalami kesulitan
dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Ketika
berinteraksi dengan orang lain, mahasiswa merasa tidak
diterima dan dikucilkan dari lingkungannya. Hal tersebut
mungkin disebabkan oleh pola pikirnya berbeda dengan orang
lain. Selain itu mahasiswa merasa tidak bisa mengungkapkan
apa yang ada dalam pikirannya sehingga individu tersebut
merasa terasingkan. Adanya perasaan-perasaan negatif muncul
dalam berkomunikasi, dapat membuat mereka merasa gagal
untuk mengungkapkan pendapat atau apa yang ada di pikiran
seseorang. Kondisi seperti itu dapat membuat mahasiswa
tersebut merasa tertekan. Pada akhirnya mahasiswa dapat
mengalami masalah dalam berhubungan sosial dengan orang
lain. Kemampuan berkomunikasi dan penyesuaian diri yang
baik dan efektif terutama sangat diperlukan oleh para
mahasiswa. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas
perkembangan pada masa mahasiswa yang tersulit yaitu yang
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Pernyataan tersebut
dijelaskan oleh Hurlock dkk, (1980). Selain itu terdapat fenomena lain yaitu fenomena malas
bertanya di kelas, mengutarakan pendapat, pikiran, dan mampu
5
berinteraksi yang baik dengan orang lain. Hal ini berdasarkan
dari hasil observasi selama penulis melakukan perkuliahan di
UKSW. Untuk keperluan penelitian tersebut, penulis pada
tanggal 9 mei 2013 melakukan obeservasi dan wawancara
dengan beberapa mahasiswa. Hasilnya adalah sebagian dari
mereka malu bertanya atau mengutarakan pendapat dan pikiran
mereka. Mereka menganggap telah memahami, bosan, dan
materi diskusinya tidak menarik. Sementara itu ada sebagian
dosen yang masih kurang bisa menggali minat mahasiswa untuk
bertanya. Pada dasarnya mereka bukan sekedar tidak berani
bertanya tetapi mereka merasa enggan dan malas meskipun
sebenarnya mereka kurang memahami materi yang diajarkan
oleh dosen. Temuan tersebut didukung oleh hasil penelitian
tindakan kelas yang dilakukan Ihza (dalam Herni, 2009) yang
memaparkan bahwa hanya 15% dari jumlah siswa satu kelas
yang berani mengemukakan pendapatnya. Kemudian sisanya
tidak berani untuk bertanya atau mengemukakan pendapat.
Sementara itu, wawancara penulis dengan 7 orang
mahasiswa di Fakultas Psikologi dari angkatan yang berbeda di
UKSW (pada tanggal 9 Mei 2013) menunjukkan bahwa mereka
tidak berani, mereka merasa takut bertanya karena dosen
dianggap “killer” dan membosankan. Selain itu, mereka takut
bertanya karena dianggap teman-teman anak yang bodoh, tidak
membuat pertanyaan atau kata-kata yang baik, tidak berani
bicara terbuka atau berdebat, dan takut salah. Pada akhirnya,
mereka cenderung melakukan kegiatan-kegiatan yang lain diluar
6
materi perkuliahan. Misalnya bermain HP, BBM, iPad, internet
daripada menanyakan hal-hal atau materi yang belum mereka
mengerti dan kurang jelas, sehingga mahasiswa lebih condong
untuk taat saja menerima materi daripada berusaha untuk berani
mengutarakan atau mengemukakan pendapat. Sebagai contoh
masih ada sebagian siswa yang tidak dapat merespon secara
langsung apabila dosen bertanya mengenai materi perkuliahan
yang telah dijelaskan, mahasiswa yang mengalami kesulitan
untuk mengemukakan pendapat secara jujur. Hal ini terjadi
karena adanya perasaan kurang percaya diri dan perasaan takut
salah ketika menjawab pertanyaan dari dosen, ketika mahasiswa
berada di lingkungan kampus mahasiswa yang memilih diam
atau berkumpul dengan teman-teman sambil menunggu
perkuliahan selanjutnya. Penulis juga menemukan beberapa
indikasi sebaliknya melalui hasil wawancara, dan mahasiswa
Fakultas Psikologi dari angkatan berbeda yang dilakukan pada
tanggal 9 mei 2013 menunjukkan bahwa terdapat beberapa
orang yang berani bertanya terhadap dosen, karena penjelasan
dosen masih belum dipahami. Selain itu dengan bertanya
mereka mendapat “point” tambahan dan menambah keberanian
atau kepercayaan diri.
Atas dasar berbagai fenomena tersebut penulis menganggap
bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut mengalami masalah
dalam asertif mereka. Oleh sebab itu penulis menyimpulkan
bahwa penelitian terhadap mahasiswa Fakultas Psikologi baik
laki-laki dan perempuan adalah penting dilakukan.
7
Ada beberapa pandangan tentang pria dan wanita, menurut
Bosman (dalam Hadi, 1994) menyatakan bahwa wanita lebih
kohesif, lebih terbuka, dan merasa malu berhubungan dengan
sesama anggota dibandingkan dengan pria. Selaras dengan
pendapat tersebut, Nurita (2012) wanita lebih cenderung
menunjukkan sifat pasivitas, sangat emosional atau
tempramental dan subjektivitas, sedangkan pria dipandang
menunjukkan sifat - sifat maskulin, seperti mandiri, bertindak
secara aktif, dan pola pikir analitis.
Pada umumnya terdapat mahasiswa yang memiliki masalah
dengan perilaku asertif dan menjadi non-asertif yang dihinggapi
rasa takut. Pada akhirnya, mereka tidak mau menyatakan
perasaan, kebutuhan, dan pendapatnya yang paling biasa
sekalipun, sehingga remaja selalu merasa bersalah atas segala
tindakan atau keputusan yang diambilnya itu. Mahasiswa-
mahasiswa yang menyatakan ide atau kebutuhannya dengan
cara begitu tidak menonjolkan diri, sehingga orang lain tidak
menghargai atau bahkan meremehkan mereka. Oleh karena
itulah, mahasiswa cenderung enggan bersikap asertif, untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yaitu adanya rasa
takut apabila nantinya dijauhi oleh teman-temannya atau
kelompoknya. Melalui perilaku asertif diharapkan para
mahasiswa dapat mengadakan hubungan sosial dengan teman
sebaya, terutama ditekankan pada hubungan interpersonal baik
sejenis atau lawan jenis. Hal ini dilakukan agar mahasiswa
diterima dalam kelompok teman sebaya sehingga mahasiswa
8
memperoleh rasa berharga dan dibutuhkan oleh orang lain
(Tanggela, 2012).
Dalam dunia pendidikan sekarang, mahasiswa sangat
dituntut untuk dapat mengemukakan pendapat, saran, dan
keinginan yang dimilikinya secara langsung, jujur dan terbuka.
Sistem belajar mengajar yang berlangsung dua arah, menuntut
mahasiswa untuk turut aktif di dalamnya dan tidak hanya diam
saja. Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Petrides dan
Furnham (2006) tentang ciri-ciri perilaku individu asertif ini
menjadi sebuah penegasan dalam memposisikan diri (secara
individu) sebagai manusia merdeka. Selain itu individu juga
mempunyai hak, kewajiban, dan martabat yang sama dengan
yang lainnya dalam menentukan sikap, bersuara/berpendapat,
mengapresiasikan bakat, minat, dan kemampuannya. Kemudian
Munandar (dalam Hergina, 2012) mengemukakan bahwa di
dalam perilaku asertif mengandung sifat-sifat yang sangat
penting dalam pembentukan pribadi yang kreatif yaitu sifat
percaya diri yang tinggi, kemampuan mengekspresikan
perasaan, keinginan, gagasan secara jujur, tegas, dan terbuka
tanpa perasaan cemas. Asertif juga merupakan keterampilan
sosial yang berperan untuk pengembangan diri, aktualisasi diri
maupun untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam berbagai
kehidupan.
Pentingnya meneliti perilaku asertif pada mahasiswa karena
apabila seorang mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif, maka
di masa yang akan datang (dalam pekerjaan atau organisasi
9
kemasyarakatan) mahasiswa tersebut akan merasa rendah diri
dan tidak berani mengemukakan perasaanya dan pendapat
kepada orang lain. Menurut Made & Awaluddin (2008) karena
perilaku asertif sangat penting bagi mahasiswa, apabila seorang
mahasiswa tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku
asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari
ataupun tidak, mahasiswa ini akan kehilangan hak-hak pribadi
sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi individu
yang bebas dan akan selalu berada di bawah kekuasaan orang
lain. Alasan seorang mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif
adalah karena mereka belum menyadari bahwa mereka memiliki
hak untuk berperilaku asertif. Mahasiswa dipilih, karena pada
masa ini terdapat keraguan akan identitas diri sebagai seorang
mahasiswa karena pada masa ini individu telah merasa dewasa
namun masih ada orang-orang di sekelilingnya yang
menyebutnya “anak kecil atau baru dewasa”. Perilaku asertif
dibutuhkan oleh mahasiswa, terlebih apabila seorang
mahasiswa berada dalam lingkungan yang kurang baik seperti
lingkungan perokok atau pecandu narkoba, pada satu sisi sorang
mahasiswa tidak ingin kehilangan teman dan pada sisi lainnya
seorang mahasiswa tidak ingin terjerumus pada hal-hal negatif,
hal tersebut diungkapkan oleh Made & Awaluddin (2008).
Mahasiswa dituntut untuk mengembangkan perilaku asertif
secara efektif dalam interaksi sosial di dalam lingkungannya,
terutama dalam interaksi sosialnya dalam situasi akademis.
Ninggalih, (2011), akibat dari non-asertifan individu antara lain:
10
membiarkan orang lain mengambil manfaat dari kondisi yang
sedang di alami, berperilaku agresif terhadap orang lain bahkan
tidak menerima kehadiran orang lain dengan sikap terbuka,
kedua belah pihak yang berkomunikasi tidak merasa nyaman
ada yang merasa ingin menyakiti lawan bicaranya dan tidak ada
yang merasa disakiti hatinya, akan ada pihak yang merasa
disalahkan dan dihina oleh keberadaan emosi negatif yang
dirasakan oleh lawan bicaranya.
Jika mahasiswa berperilaku asertif, maka bisa menyatakan
kebutuhannya secara jujur, langsung, dan berusaha menghargai
hak pribadi dan orang lain. Ketika masalah timbul, mahasiswa
yang berperilaku asertif akan menghadapi masalah yang timbul
dan berusaha mengatasinya. Selanjutnya cara mengatasi
masalah secara asertif dilakukan dengan cara pengungkapan
yang jujur, langsung, tidak berusaha menjauhi, dan tetap
menghargai hak pribadi maupun diri sendiri. Perilaku ini
menghasilkan suatu evaluasi terhadap diri sendiri yang
menyenangkan yang dapat mendorong terjadinya persetujuan
terhadap diri sendiri yang bisa jadi dapat meningkatkan rasa
percaya diri yang dijelaskan oleh Rathus & Nevid (dalam Herni,
2009).
Hasil beberapa temuan tentang perilaku asertif menunjukkan
adanya perbedaan antara yang asertif dan yang tidak asertif hal
ini menurut Shosheva, (2010) menyebutkan adanya perbedaan
mekanisme pertahanan diri yang dipakai oleh kelompok asertif
dan tidak asertif. Menurut Shosheva, (2010) kelompok asertif
11
lebih banyak mernakai intelektualisasi, rasionanilasi yang
menandakan bahwa mereka lebih mampu mengatasi konflik dan
kecemasan dengan cara yang efektif dan dapat diterima oleh
lingkungan, sedangkan pada kelompok tidak asertif cenderung
menggunakan mekanisme pertahanan diri yang primitif, tidak
efektif dan tidak adaptif yaitu proyeksi, denial, represi, tidak
melakukan sesuatu, dan kompensasi berupa perusakan objek
atau perusakan diri sendiri. Sehingga, dengan penyesuaian
sosial yang baik dengan sendirinya akan membawa seseorang
pada kualitas hidup yang baik pula, karena dengan perilaku
asertif akan meningkatkan penyesuaian sosial yang baik, di
samping itu perilaku asertif akan mengurangi kemungkinan
seseorang untuk diserang hipertensi. Sebaliknya, penelitian
Rernaningsih, (2007) perilaku asertif dapat pula membantu
seseorang dalam mernenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Hal ini
disebabkan dalam proses aktualisasi dibutuhkan keterbukaan,
kesadaran diri, kemampuan menyesuaikan diri, dan perhatian
terhadap hak-hak orang lain. Hasil peneiitian lain Sanchez dan
Lewinsohn (Retnaningsih, 2007) menemukan bahwa semakin
tinggi kemampuan seseorang dalam berperilaku asertif akan
makin tidak mudah terbawa dalam kondisi depresi.
Hasil-hasil penelitian tentang perilaku asertif yang
dijelaskan oleh Ninggalih, (2011), perilaku asertif sangatlah
penting di lingkungan akademis karena beberapa alasan sebagai
berikut: Pertama, sikap dan perilaku asertif akan memudahkan
individu tersebut bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan
12
lingkungan seusianya maupun di luarnya lingkungannya secara
efektif. Kedua, dengan kemampuan untuk mengungkapkan apa
yang dirasakan dan diinginkannya secara langsung, terus terang,
maka para mahasiswa bisa menghindari munculnya ketegangan
dan perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyimpan
sesuatu yang ingin diutarakannya. Ketiga, dengan memiliki
sikap asertif, maka para siswa dapat dengan mudah mencari
solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atu permasalahn
yang dihadapinya secara efektif, sehingga permasalahan itu
tidak akan menjadi beban pikiran yang berlarut-larut. Keempat,
asertivitas akan membantu para mahasiswa untuk meningkatkan
kemampuan kognitifnya, memperluas wawasannya tentang
lingkungan, dan tidak mudah berhenti pada sesuatu yang tidak
diketahuinya (memiliki rasa keingintahuan yang tinggi).
Kelima, asertif terhadap orang lain yang bersikap atau
berperilaku kurang tepat bisa membantu mahasiswa yang
bersangkutan untuk lebih memahami kekurangannya sendiri dan
bersedia memperbaiki kekuarangan tersebut.
Hasil penelitian lainnya dari Kaplan & Sedney (dalam
Tanggela, 2012) mengemukakan bahwa pria lebih mempunyai
perilaku asertif dari pada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya
tuntutan masyarakat yang membuat pria lebih aktif, mandiri,
kompetitif. Sementara wanita menjadi pasif, tergantung pada
konformis. Sejalan dengan itu, Wilen & Liod (dalam Tanggela,
2012) yang mengemukakan bahwa kesulitan untuk berperilaku
lebih banyak terjadi pada wanita (berdasarkan penelitian pada
13
siswa tentang pengembangan perilaku asertif yang positif),
karena secara sosial wanita telah dibentuk untuk submisif
(tunduk dan mengalah), bersiakap baik dan tidak membuat
masalah. Beberapa pandangan tentang pria dan wanita lebih
cenderung menunjukkan sifat pasivitas, sangat emosional atau
tempramental dan subjektivitas. Pria dipandang menunjukkan
sifat-sifat maskulin, seperti; mandiri, bertindak secara aktif,
kecendrungan agresi dan pola pikir analitis.
Hasil penelitian lain dari Adam (1995) menunjukkan bahwa
100 mahasiswa terdapat 22 mahasiswa yang non-asertif dan
amat dihinggapi rasa takut sehingga mereka tidak mau
menyatakan perasaan, kebutuhan, dan pendapatnya yang paling
biasa sekalipun, sehingga remaja selalu merasa bersalah atas
segala tindakan atau keputusan yang diambilnya itu. Ada
beberapa mahasiswa yang menyatakan ide atau kebutuhannya
dengan cara begitu tidak menonjolkan diri, sehingga orang lain
tidak menghargai atau bahkan meremehkan mereka. Oleh
karena itulah mahasiswa cenderung enggan bersikap asertif,
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yaitu adanya
rasa takut apabila nantinya dijauhi oleh teman-temannya atau
kelompoknya, pernyataan tersebut dijelskan oleh Adam, (1995).
Keuntungan mempelajari perilaku asertif menurut Hergina
(2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa, perilaku
asertif dapat menambah perasaan sehat dan memungkinkan
seseorang untuk memperoleh penghargaan sosial serta rasa
senang seperti ia rnenerima penghargaan berupa materi, dengan
14
perilaku asertif ia dapat membantu seseorang untuk memperoleh
kepuasan hidup yang lebih besar. Agestin (2006) menambahkan
bahwa perilaku asertif dapat membantu seseorang untuk
mengkomunikasikan secara jelas dan tegas atas kebutuhan-
kebutuhan, keinginan, dan perasaan orang lain, karena orang
yang tidak asertif sering menyalahkan diri sendiri.
Berperilaku asertif juga menuntut seseorang, khususnya
mahasiswa, untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam
mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara
proporsional tanpa ada maksud untuk memanipulasi,
memanfaatkan atau merugikan pihak lain (Rini, 2001). Selain
itu, seseorang dikatakan asertif hanya jika dirinya mampu
bersikap tulus dalam mengungkapkan pikiran dan
pandangannya kepada pihak lain sehingga tidak merugikan atau
mengancam integritas pihak lain (Rini, 2001), sehingga
berdampak dengan memiliki perilaku asertif, seseorang akan
dengan mudah menyesuaikan diri dan diterima dengan baik
dalam lingkungan.
Dampak dari perilaku asertif menurut Tangella, (2012)
menyatakan siswa apat mengkomunikasikan apa yang
diinginkan secara jelas dengan menghormati hak-hak sendiri
dan hak orang lain dan dapat mengungkapkan perasaan,
pendapat dan kebutuhan diri secara jujur dan wajar. Sebaliknya,
dampak tidak asertif dikarenakan perubahan dan perkembangan
dalam masyarakat mengikuti globalisasi yang menunjukkan
kompetensi tampa memandang wanita atau pria.
15
Pada kesempatan berbeda, Rakos (1991), menjelaskan
bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku asertif pada individu adalah: strategi
coping, kebudayaan, usia, jenis kelamin, pola asuh. Seseorang
dikatakan bersikap tidak asertif, jika ia gagal mengekspresikan
perasaan, pikiran dan pandangan atau keyakinannya; atau jika
orang tersebut mengekspresikannya sedemikian rupa hingga
orang lain malah memberikan respon yang tidak dikehendaki
atau negatif, yang dijelaskan oleh Pratanti (2009). Alasan
mengapa peneliti meneliti kecerdasan emosi dan perilaku
assertif pada mahasiswa yaitu untuk menindaklanjuti hasil
penelitian – penelitian sebelumnya yang masih secara umum
dan hanya pada anak-anak dan remaja. Sehingga, dengan
penelitian lanjutan serta dengan subjek yang berbeda, seperti
orang dewasa (mahasiswa). Dengan cara ini diharapkan dapat
memperkaya ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi
pendidikan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya
perilaku asertif, salah satunya kecerdasan emosi (emotional
intellegence). Dusseldorp, dkk (2010) kecerdasan emosional
atau emotional intelligence merupakan syarat atau kunci untuk
mencapai/ memiliki rasa sensitivity, empati, kreativitas, self-
awareness, self-control and asertivitas (assertiveness).
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki
seseorang dalam mengenali emosi diri dan emosi orang lain
serta mampu mengelolanya dengan baik sehingga tercapai
16
tujuan-tujuan hidupnya dan memiliki hubungan yang baik
dengan orang lain. Menurut Ciarrochi, Forgas, & Mayer (dalam
Retnaningsih & Nugrohowati, 2007) seseorang yang memiliki
kecerdasan emosi akan mampu mencapai aktualisasi diri,
berguna dalam hubungan sosial, berguna dalam segala aspek
pekerjaan yang berkaitan dengan kelompok kerja, berguna
untuk membantu seseorang menjadi lebih sehat dan sejahtera
dalam kehidupannya.
Menurut Bar-On (dalam Stein & Book, 2004), area
kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk
mengenal dan mengendalikan diri sendiri. Bar-On juga
menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dibagi ke dalam lima
area, salah satunya adalah area intrapribadi. Area ini meliputi
perilaku asertif, kesadaran diri, kemandirian, penghargaan diri,
dan aktualisasi diri. Menurut Dusseldorp, dkk (2010)
kecerdasan emosional / emotional intelligence merupakan syarat
atau kunci untuk mencapai atau memiliki rasa sensitivity,
empati, dan kreativitas, adalah kesadaran diri (self-awareness),
kontrol diri (self-control) and perilaku asertif (assertive
behavior).
Terdapat manfaat yang diperoleh dari kecerdasan emosi,
pada kenyataannya tidak sedikit ditemukan seseorang yang
tidak berhasil dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan
sosialnya, seperti sering membuat kesal orang lain, gagal dalam
pekerjaannya, tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan
sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya seseorang tersebut
17
kurang memiliki kecerdasan emosi, maka dari itu diperlukan
kemampuan mengendalikan perasaan secara mendalam untuk
berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Stein dan
Book, 2004).
Ada beberapa hasil penelitian diantaranya hasi penelitian
dari Agestin & Widyarini, (2006), Petrides, dkk (2006),
Auslander, (2007), dan Shabgard, dkk. (2011) menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan positif antara kecerdasan
emosi dan perilaku asertif. Sementara itu ada penelitian lain
yang bertolak belakang yang dilakukan oleh Merda, (2010) dan
Siti & Felix, (2010) dimana kecerdasan emosi tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan perilaku asertif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agestin &
Widyarini, (2006) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
significant dengan arah positif hal ini terlihat dari hasil
penelitian yang menunjukkan terdapat sumbangan kecerdasan
emosi terhadap remaja di SMA di semarang yaitu 82% remaja
dan terdapat 17% yang menunjukkan tidak ada hubungan yang
berarti antara kecerdasan emosi dengan perilaku asertif.
Semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi pula perilaku
asertif pada remaja SMA di Semarang.
Studi yang dilakukan Petrides, dkk (2006) menunjukkan
bahwa peran kecerdasan emosional dalam peningkatan perilaku
asertif dalam hubungan teman sebaya di sekolah. Sebanyak 160
siswa (83 anak perempuan; rata-rata umur 10.8 tahun) dilakukan
pengukuran dengan kuesioner daftar sifat kecerdasan emosi dan
18
sesudah itu di minta untuk menominasikan teman sekelasnya
masing-masing yang cocok ke dalam tujuh deskripsi perilaku
yang berbeda (‘kooperatif’,’pengganggu’, ‘pemalu’, ‘agresif’,
‘dependen’, ‘pemimpin’, dan‘pengintimidasi’).
Para guru diminta untuk menominasikan seluruh siswa yang
cocok ke dalam tujuh deskripsi. Hasil yang diperoleh
menunjukkan siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi
yang tinggi lebih masuk nominasi untuk ‘kooperatif’ dan
‘kepemimpinan’, serta lebih rendah nominasinya untuk
‘pengganggu’, ‘agresif’, dan ‘dependen’. Analisis faktor dari
nominasi para guru menunjukkan dua faktor orthogonal
meliputi masing-masing deskripsi prososial dan antisosial.
Siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi yang tinggi ada
dalam faktor prososial.
Penelitian lainnya dari Auslander, (2007) mengungkapkan
dengan kemampuan berprilaku asertif yang baik, 70% remaja
perempuan mampu untuk menolak penyimpangan seksual serta
mampu mencegah Pregnancy-STD. Dalam penelitian dari
Auslander (2007) dikatakan bahwa remaja yang memiliki
kecerdasan emosional yang rendah akan memperlihatkan emosi
yang meledak-ledak, rendahnya toleransi terhadap rasa frustrasi,
kurang mampu dalam memecahkan masalah kurang mampu
menerima kritik, hal ini menunjukkan bahwa perilaku
assertifnya rendah. Berbeda dengan remaja yang memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi menunjukkan kemampuan
untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri
19
sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan
dengan orang lain.
Sejalan dengan itu, penelitian dari Shabgard, dkk. (2011)
menunjukkan bahwa ada korelasi yang potsif antara Emotional
intellegence mempengaruhi self-assertive. Kecerdasan emosi
yang baik dapat menunjukkan self-assertive yang kuat, hal itu
dapat dilihat dari hasil validitas = 0.76 dan reliabilitas = 0.88,
persentasi positif di mana ada 83% yang menunjukkan memiliki
emotional intellegence yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa
kecerdasan emosi dapat mempengaruhi perilaku asertif
seseorang, karena seseorang yang mampu menampilkan dirinya
secara bebas, langsung dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri
maupun orang lain dapat meningkatkan kecerdasan emosinya
dengan cara lebih mengenali emosi diri, mengelola emosi serta
membina hubungan baik dengan orang lain. Begitu pula
sebaliknya, seseorang yang tidak mampu menampilkan dirinya
secara bebas, langsung dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri
maupun orang lain tidak mampu mengenali emosi diri,
mengelola emosi serta membina hubungan baik dengan orang
lain.
Akan tetapi, hasil penelitian lainnya dari Merda, (2012)
dapat diketehui bahwa kecerdasan emosi memberikan kontribusi
yang rendah terhadap asertif pada remaja. Kontribusi yang
diberikan sebesar 25% sedangkan 75% kemungkinan
dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor pribadi,
lingkungan keluarga, lingkungan kelompok sebaya, lingkungan
20
sekolah, dan lingkungan masyarakat. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi subjek penelitian yang
berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
demikian juga dengan assertifnya, subjek berjenis kelamin laki
lebih tinggi daripada perempuan.
Penelitian lainnya dari Siti & Felix, (2010) tentang rendah
atau kurangnya kontribusi kecerdasan emosional terhadap
perilaku asertif pada remaja. Hasil analisis data penelitian
menunjukkan adanya sumbangan efektif kecerdasan emosi
terhadap perilaku asertif sebesar 30,3 % sebagaimana
ditunjukkan oleh R squared 0,303. Hal ini dapat diartikan masih
terdapat 69,7% faktor lain yang mempengaruhi asertivitas selain
kecerdasan emosi, seperti faktor jenis kelamin, dan usia. Dari
analisis juga diketahui bahwa nilai rerata empirik kecerdasan
emosi sebesar 91,48 yang berarti kecerdasan emosi pada subyek
penelitian tergolong sedang dan perilaku asertif subyek
penelitian tergolong tinggi.
Selain itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi
munculnya perilaku asertif, salah satunya yaitu konsep diri.
Menurut Rathus & Nevid (1983), yaitu, pola asuh orang tua,
jenis kelamin, kebudayaan, konsep diri, self esteem, usia. Oleh
karena itu, konsep diri mempunyai peranan penting dalam
menentukan perilaku individu, termasuk dalam perilaku asertif.
Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik akan lebih
asertif dalam berinteraksi dalam lingkungannya.
21
Konsep diri berperan penting dalam menentukan perilaku
individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak
dari seluruh perilakunya. Apabila individu memandang dirinya
sebagai orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
sesuatu, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan
kemampuannya. Demikian pula sebaliknya, apabila individu
memandang dirinya sebagai orang yang tidak mampu, maka
seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan
(Burns, 1998). Seorang yang memiliki konsep diri yang positif
akan memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang baik
sehingga di dalam lingkungan pergaulan ia akan merasa bebas
untuk mengungkapkan dirinya, dapat berkomunikasi dengan
semua orang secara terbuka, dapat berkomunikasi dengan semua
orang secara terbuka, langsung dan tepat, bertindak dalam cara
yang dihargainya dalam situasi menekan dan menghasilkan
tingkah laku interpersonal yang efektif. Sebaliknya menurut
Benner, (dalam Keliat, 1992) konsep diri yang negatif akan
mempengaruhi individu baik itu hubungan interpersonal
maupun fungsi mental lainnya. Individu yang memiliki konsep
diri rendah akan mempunyai perasaan tidak aman, kurang
penerimaan diri, dan biasanya memiliki harga diri yang rendah.
Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam komunikasi interpersonal karena setiap orang bertingkah
laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Individu
yang memiliki konsep diri yang positif akan memiliki
kepercayaan diri yang baik untuk berkomunikasi dalam
22
interaksi sosialnya dalam masyarakat. Sementara itu individu
yang merasa rendah diri, ia akan mengalami kesulitan untuk
mengkomunikasikan gagasannya, tidak mampu berbicara
dihadapan umum atau ragu-ragu menuliskan pemikirannya
kepada orang lain. Hal tersebut tentu saja akan menjadi
penghambat dalam interaksi sosial dalam masyarakat (Burns,
1998). Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak
sosial (social contact) dan adanya komunikasi (Yadi, 2009).
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu antar
individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok.
Sedangkan arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa
seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang
berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap),
perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang
tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan
reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain
tersebut.
Komunikasi yang efektif tidak lepas dari bagaimana
individu memunculkan perilaku asertif di dalam interaksi
sosialnya. Terdapat faktor yang mempengaruhi munculnya
perilaku asertif, di antaranya adalah konsep diri yang
mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku
individu, termasuk juga dengan perilaku asertif. Seseorang yang
memiliki konsep diri yang baik akan lebih asertif dalam
berinteraksi dalam lingkungannya.
23
Ada beberapa halsil penelitian diantaranya dari Wulandari,
(2003), Hergina, (2012), dan Landazabal, (1999) yang
menunjukkan bahwa konsep diri memiliki hubungan yang
signifikan terhadap perilaku asertif. Sementara itu, ada hasil
penelitian yang lain bertolak belakang yaitu penelitian dari
Partosuwido, (1993) dan Coulhoun, (1990) yang menyatakan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri
dengan perilaku asertif.
Hal ini seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh
Wulandari, (2003) yang melihat hubungan antara konsep diri
dengan asertivitas pada remaja akhir (anak SMA). Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara
konsep diri dan perilaku asertif, sehingga semakin baik konsep
diri seorang individu akan meningkatkan perilaku asertifnya.
Penelitian lainnya dari Hergina, (2012) menunjukkan bahwa
ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri
dengan perilaku asertif pada siswa MAN Wonokromo. Semakin
tinggi konsep diri pada siswa maka semakin tinggi perilaku
asertif yang dimiliki, sebaliknya semakin rendah konsep diri
pada siswa maka semakin rendah perilaku asertif yang dimiliki.
Konsep diri memberi sumbangan efektif sebesar 11,8% dalam
mempengaruhi perilaku asertif siswa MAN Wonokromo,
sedangkan sisanya 88,2% faktor-faktor lain yang mempengaruhi
perilaku asertif. Berdasarkan kategori kedua variabel penelitian
dapat disimpulkan bahwa mayoritas skor subyek penelitian,
pada perilaku aserti terdapat mayoritas subyek (89,21%)
24
termasuk dalam kategori sedang dan pada variabel konsep diri
terdapat mayoritas subyek (58,82%) termasuk dalam kategori
sedang.
Hasil penelitian lain dari Landazabal, (1999) kepada anak-
anak di SMA di Provinsi Guipúzcoa, Spanyol Utara tentang
dampak perilaku asertif pada perilaku membantu atau menolong
pada teman sekelas dikucilkan dan apakah perilaku asertif
dipengaruhi oleh konsep diri anak tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa; terdapat peningkatan secara signifikan
terhadap konsep diri (82 % dari jumlah anak-anak dalam kelas),
terutama dalam kaitannya dengan karakteristik afektif dan
karakteristik sosialisasi, dan terdapat penurunan yang signifikan
(79% tingkat penurunan) dalam perilaku yang pasif, dan
meningkatnya perilaku asertif dalam berinteraksi dengan
sahabat lain dalam segala situasi sosial.
Akan tetapi, penelitian lain dari Partosuwido (1993),
individu yang memiliki perasaan rendah diri, cemas, dan mudah
terpengaruh dikatakan memiliki konsep diri yang negatif. Hal
ini terlihat dari hasil penelitiannya yang menunjukkan konsep
diri tidak terlalu atau tidak signifikan mempengaruhi perilaku
asertif (hanya 23%). Konsep diri dapat mempengaruhi
perkembangan perilaku asertif individu. Individu dengan konsep
diri negatif memiliki kecemasan ketika mengungkapkan apa
yang dirasakan sehingga akan menghambat individu tersebut
untuk berperilaku asertif kepada orang lain. Individu dengan
konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak
25
diterima oleh lingkungan, sehingga cenderung tidak berani
mengambil resiko, oleh Partosuwido, (1993).
Penelitian lain dari Coulhoun, (1990) menunjukkan hasil
bahwa konsep diri yang negatif seringkali menunjukkan
perilaku yang tidak asertif dan menunjukkan penyangkalan-
penyangkalan informasi tentang dirinya yang tidak dapat
diterimanya dengan baik dan juga mengancam konsep dirinya.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini karena,
penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih ke arah akademis
pada mahasiswa dan juga lingkungan sosial pada mahasiswa
yang menginjak masa dewasa dalam hal ini mahasiswa-
mahasiswi yang sedang berkuliah dan berada dalam lingkungan
akademis. Karena di dalam perkuliahan terdapat hal-hal yang
dapat mempengaruhi perilaku asertif dari mahasiswa dalam
mengemukakan pendapat di depan kelas, berdiskusi dengan
teman-teman maupun dosen, dalam hal menyanggah dosen
maupun teman dan juga dalam hal berdebat dengan dosen
maupun teman-teman tentang masalah tertentu. Apakah mereka
memiliki perilaku asertif yang baik seperti berani mengutarakan
pendapatnya, percaya diri, sikap dan tingkah laku yang baik dan
juga sikap dalam hal mempertahankan argumennya dalam
diskusi dengan teman-teman maupun dosen di lingkungan
akademis. Sedangkan penelitian sebelumnya dari Wulandari,
(2003) hanya pada remaja akhir secara umum. Selain masalah
yang sudah di bahas sebelumnya peneliti juga tertarik
melakukan penelitian karena, pada penelitian yang sebelumnya
26
oleh Wulandari, (2003) cenderung ke arah konsep diri dan
perilaku asertif pada remaja akhir (anak SMA). Maka dari itu
penulis melakukan penelitian pada mahasiswa psikologi yang
pada tigkatan mahasiswa dituntut untuk berani mengambil
keputusan sendiri, pendapat, saran, dan keinginan yang
dimilikinya secara jujur dan aktif dalam perkuliahan dan juga
dalam lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Alasan lain yang membuat penulis ingin meneliti karena,
perilaku asertif pada mahasiswa lebih jauh karena peneliti
menilhat bahwa mahasiswa yang enggan berperilaku asertif
karena mereka merasa bahwa suara atau keinginan mereka akan
diabaikan oleh figur otoritas seperti orang tua, guru, atau bahkan
teman sebaya di lingkungan mereka. Alasan pentingnya
penelitian ini dilakukan adalah, karena apabila seorang
mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif, maka dimasa yang
akan datang (dalam pekerjaan atau organisasi kemasyarakatan)
mahasiswa tersebut akan merasa merasa rendah diri dan tidak
berani mengemukakan perasaanya dan pendapat kepada orang
lain karena merasa apa yang disampaikannya selalu tidak
dipedulikan orang lain, maka penulis merasa penting untuk
meneliti perilaku asertif ini yang dipengaruhi Emotional
Intelligence dan Self Concept pada mahasiswa di UKSW
kususnya pada mahasiswa laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara
Emotional Intelligence, Self Concept Terhadap Perilaku Asertif
27
Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi (laki-laki dan perempuan)
di Universitas Kristen Satya Wacana”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan
sebelumnya maka yang menjadi permasalahan dalam pemilihan
ini adalah:
1. Apakah ada hubungan antara emotional intelligence dan self
concept terhadap perilaku asertif pada mahasiswa Fakultas
Psikologi di UKSW
2. Apakah ada pengaruh interaksi antara emotional intelligence
dan jenis kelamin terhadap perilaku asertif pada mahasiswa
Fakultas Psikologi di UKSW
3. Apakah ada pengaruh interaksi self concept dan jenis kelamin
terhadap perilaku asertif pada mahasiswa Fakultas Psikologi
di UKSW
4. Apakah ada perbedaan emotional intelligence ditinjau dari
jenis kelamin
5. Apakah ada perbedaan self concept ditinjau dari jenis
kelamin
6. Apakah ada perbedaan perilaku asertif ditinjau dari jenis
kelamin
28
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji:
1. Ada hubungan antara emotional intelligence dan self
concept terhadap perilaku asertif pada mahasiswa di
UKSW
2. Ada pengaruh interaksi antara emotional intelligence dan
jenis kelamin terhadap perilaku asertif pada mahasiswa di
UKSW
3. Ada pengaruh interaksi self concept dan jenis kelamin
terhadap perilaku asertif pada mahasiswa di UKSW
4. Ada perbedaan emotional intelligence ditinjau dari jenis
kelamin
5. Ada perbedaan self concept ditinjau dari jenis kelamin
6. Ada perbedaan perilaku asertif ditinjau dari jenis kelamin
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.4.1 Manfaat teoritis
Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu
psikologi, khususnya bidang psikologi pendidikan (dalam
hal ini tentang pengaruh kecerdasan emosi dan konsep diri
terhadap perilaku asertif pada mahasiswa (laki-laki dan
perempuan).
29
1.4.2 Manfaat praktis
a. Bagi mahasiswa
Memberikan tambahan pengetahuan mengenai pentingnya
kecerdasan emosi dan konsep diri yang positif, dan
berperilaku asertif dalam kehidupan sosial di dalam
perkuliahan maupun di lingkungan tempat tinggalnya.
b. Bagi pendidik
Memberikan tambahan pentingnya kecerdasan emosi
dan.konsep diri yang positif sehingga mahasiswa menjadi
asertif di kelas dan memberikan pengajaran di kelas
sehingga, perkuliahan dapat menjadi efektif.
c. Bagi penelitian selanjutnya
Memberikan tambahan referensi data dan hasil penelitian,
sehingga dapat berguna pada pengembangan penelitian
kususnya tentang kecerdasan emosi, konsep diri dan
perilaku assertif.