29
1 BAB I PENDAHULUAN Pengembangan sumber daya manusia sangat penting di zaman sekarang ini, kususnya pada mahasiswa. Untuk membentuk mahasiswa yang baik dibutuhkan lingkungan yang baik, kecerdasan emosi dan konsep diri yang bagus yang berguna bagi mahasiswa di lingkungan kerja setelah mereka kuliah. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian, alasan meneliti, fenomena-fenomena, penelitian- penelitian sebelumnya dan mengenai perilaku asertif pada mahasiswa dan mengapa hal ini penting untuk diteliti. Selain itu terdapat teori-teori dan penelitian – penelitian sebelumnya tentang emotional intelligence, self concept dan perilaku asertif yang positif maupun negatif. Selanjunya rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian ini dilakukan. 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia merupakan bagian dari sumber daya alam dan lingkungan. Dengan kata lain bahwa sumber daya manusia sangat erat hubungannya dengan sumber daya alam. Berdasarkan survei The Political and Economic Risk Gonsultancy (PERC) disimpulkan bahwa sistern pendidikan di Indonesia berada di urutan ke 12 di Asia (paling bawah di ASIA). Urutan pertama dan kedua masing - masing diduduki Korea Selatan dan Singapura. Di Indonesia dalam hal peningkatan kualitas SDM yang beracuan pada MDG’s

BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9023/1/T2_832012013_BAB I.pdf · 3 tersebut dapat membawa mahasiswa tersebut mengalami berbagai masalah

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I PENDAHULUAN

Pengembangan sumber daya manusia sangat penting di zaman

sekarang ini, kususnya pada mahasiswa. Untuk membentuk

mahasiswa yang baik dibutuhkan lingkungan yang baik, kecerdasan

emosi dan konsep diri yang bagus yang berguna bagi mahasiswa di

lingkungan kerja setelah mereka kuliah. Dalam bab ini, akan

diuraikan mengenai latar belakang penulis ingin melakukan

penelitian, alasan meneliti, fenomena-fenomena, penelitian-

penelitian sebelumnya dan mengenai perilaku asertif pada

mahasiswa dan mengapa hal ini penting untuk diteliti. Selain itu

terdapat teori-teori dan penelitian – penelitian sebelumnya tentang

emotional intelligence, self concept dan perilaku asertif yang positif

maupun negatif. Selanjunya rumusan masalah, tujuan penelitian,

dan manfaat penelitian ini dilakukan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumber daya manusia merupakan bagian dari sumber daya

alam dan lingkungan. Dengan kata lain bahwa sumber daya

manusia sangat erat hubungannya dengan sumber daya alam.

Berdasarkan survei The Political and Economic Risk

Gonsultancy (PERC) disimpulkan bahwa sistern pendidikan di

Indonesia berada di urutan ke 12 di Asia (paling bawah di

ASIA). Urutan pertama dan kedua masing - masing diduduki

Korea Selatan dan Singapura. Di Indonesia dalam hal

peningkatan kualitas SDM yang beracuan pada MDG’s

2

(Millennium Development Goals). Hal tersebut dikenal Sasaran

Pembangunan Millenium, pemerintah menfokuskan membuat

program-program untuk peningkatkan pendidikan seperti

anggaran yang ditingkatkan hingga 20% dari APBN. Ada dua

strategi untuk peningkatan kualitas SDM Indonesia menjadi

SDM yang unggul yang di mana kedua strategi tersebut

nantinya saling interaktif satu sama lain sehingga tidak dapat

dipisahkan. Pertama, menciptakan pendidikan yang berkualitas,

yang dimanifestasikan dengan pemerataan pendidikan,

perluasan akses ke perguruan tinggi, dan penyediaan

infrastruktur pendidikan yang layak. Kedua, perbaikan status

kesehatan untuk terwujudnya SDM Indonesia yang produktif.

Hal ini dilakukan dengan memberikan pelayanan kesehatan

mendasar yang merata terhadap seluruh masyarakat Indonesia,

yang diungkap oleh Gade, (2013).

Dalam era modern sekarang ini, kemajuan dalam dunia

terjadi di semua bidang seperti pertahanan, ekonomi, industri,

teknologi, dan ilmu pengetahuan. Persaingan dalam ilmu

pengetahuan pada mahasiswa sangat ketat seperti saat ini. Ada

sebagian mahasiswa secara psikologis yang mengalami

perasaan-perasaan negatif secara psikologis seperti adanya

perasaan galau, takut kecewa jika tidak diterima oleh orang lain

baik dari teman sebaya, lingkungan sosial, orang tua maupun

dari dosen. Perasaan-perasaan negatif tersebut secara implisit

dapat mempengaruhi perilaku perilaku mahasiswa di dalam

proses belajar mereka di perguruan tinggi. Akhirnya, situasi

3

tersebut dapat membawa mahasiswa tersebut mengalami

berbagai masalah yang berkaitan dengan perasaan diterima dan

tidak disisihkan atau dikucilkan dari pergaulan. Pernyataan

tersebut dijelaskan oleh Hisyam, (2007).

Oleh sebab itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia

menjadi suatu hal yang penting dan harus menjadi perhatian dari

semua pihak. Dengan demikian, Indonesia perlu memberikan

prioritas investasi yang lebih tinggi pada upaya pembangunan

manusia. Hal ini dapat dimulai dari sekolah dasar sampai

kampus. Kwik Kian Gie (dalam Ruhana, 2012), menyimpulkan

bahwa pemerintah harus lebih banyak berinvestasi pada

program pembangunan manusia yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun

1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di

perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa juga merupakan calon

intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan

masyarakat yang sering kali sarat dengan berbagai predikat.

Menurut KUKM UKSW (1992), mahasiwa adalah peserta didik

yang telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh

Universitas. Sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa

kedinamisan sikap kenyataan objektif, sistematik, dan rasional.

Pernyataan tersebut didukung oleh Kenniston (dalam

Rahmawati, 2006) yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah

suatu periode yang disebut dengan “studenthood” yang terjadi

hanya pada individu yang memasuki post secondary education

4

dan sebelum masuk ke dalam dunia kerja yang menetap. Periode

ini merupakan tahap perkembangan masa dewasa awal dalam

perkembangan manusia.

Dalam perkuliahan terdapat juga berbagai masalah yang

dialami oleh mahasiswa. Permasalahan-permasalahan tersebut

diantaranya adalah mahasiswa seringkali mengalami kesulitan

dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Ketika

berinteraksi dengan orang lain, mahasiswa merasa tidak

diterima dan dikucilkan dari lingkungannya. Hal tersebut

mungkin disebabkan oleh pola pikirnya berbeda dengan orang

lain. Selain itu mahasiswa merasa tidak bisa mengungkapkan

apa yang ada dalam pikirannya sehingga individu tersebut

merasa terasingkan. Adanya perasaan-perasaan negatif muncul

dalam berkomunikasi, dapat membuat mereka merasa gagal

untuk mengungkapkan pendapat atau apa yang ada di pikiran

seseorang. Kondisi seperti itu dapat membuat mahasiswa

tersebut merasa tertekan. Pada akhirnya mahasiswa dapat

mengalami masalah dalam berhubungan sosial dengan orang

lain. Kemampuan berkomunikasi dan penyesuaian diri yang

baik dan efektif terutama sangat diperlukan oleh para

mahasiswa. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas

perkembangan pada masa mahasiswa yang tersulit yaitu yang

berhubungan dengan penyesuaian sosial. Pernyataan tersebut

dijelaskan oleh Hurlock dkk, (1980). Selain itu terdapat fenomena lain yaitu fenomena malas

bertanya di kelas, mengutarakan pendapat, pikiran, dan mampu

5

berinteraksi yang baik dengan orang lain. Hal ini berdasarkan

dari hasil observasi selama penulis melakukan perkuliahan di

UKSW. Untuk keperluan penelitian tersebut, penulis pada

tanggal 9 mei 2013 melakukan obeservasi dan wawancara

dengan beberapa mahasiswa. Hasilnya adalah sebagian dari

mereka malu bertanya atau mengutarakan pendapat dan pikiran

mereka. Mereka menganggap telah memahami, bosan, dan

materi diskusinya tidak menarik. Sementara itu ada sebagian

dosen yang masih kurang bisa menggali minat mahasiswa untuk

bertanya. Pada dasarnya mereka bukan sekedar tidak berani

bertanya tetapi mereka merasa enggan dan malas meskipun

sebenarnya mereka kurang memahami materi yang diajarkan

oleh dosen. Temuan tersebut didukung oleh hasil penelitian

tindakan kelas yang dilakukan Ihza (dalam Herni, 2009) yang

memaparkan bahwa hanya 15% dari jumlah siswa satu kelas

yang berani mengemukakan pendapatnya. Kemudian sisanya

tidak berani untuk bertanya atau mengemukakan pendapat.

Sementara itu, wawancara penulis dengan 7 orang

mahasiswa di Fakultas Psikologi dari angkatan yang berbeda di

UKSW (pada tanggal 9 Mei 2013) menunjukkan bahwa mereka

tidak berani, mereka merasa takut bertanya karena dosen

dianggap “killer” dan membosankan. Selain itu, mereka takut

bertanya karena dianggap teman-teman anak yang bodoh, tidak

membuat pertanyaan atau kata-kata yang baik, tidak berani

bicara terbuka atau berdebat, dan takut salah. Pada akhirnya,

mereka cenderung melakukan kegiatan-kegiatan yang lain diluar

6

materi perkuliahan. Misalnya bermain HP, BBM, iPad, internet

daripada menanyakan hal-hal atau materi yang belum mereka

mengerti dan kurang jelas, sehingga mahasiswa lebih condong

untuk taat saja menerima materi daripada berusaha untuk berani

mengutarakan atau mengemukakan pendapat. Sebagai contoh

masih ada sebagian siswa yang tidak dapat merespon secara

langsung apabila dosen bertanya mengenai materi perkuliahan

yang telah dijelaskan, mahasiswa yang mengalami kesulitan

untuk mengemukakan pendapat secara jujur. Hal ini terjadi

karena adanya perasaan kurang percaya diri dan perasaan takut

salah ketika menjawab pertanyaan dari dosen, ketika mahasiswa

berada di lingkungan kampus mahasiswa yang memilih diam

atau berkumpul dengan teman-teman sambil menunggu

perkuliahan selanjutnya. Penulis juga menemukan beberapa

indikasi sebaliknya melalui hasil wawancara, dan mahasiswa

Fakultas Psikologi dari angkatan berbeda yang dilakukan pada

tanggal 9 mei 2013 menunjukkan bahwa terdapat beberapa

orang yang berani bertanya terhadap dosen, karena penjelasan

dosen masih belum dipahami. Selain itu dengan bertanya

mereka mendapat “point” tambahan dan menambah keberanian

atau kepercayaan diri.

Atas dasar berbagai fenomena tersebut penulis menganggap

bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut mengalami masalah

dalam asertif mereka. Oleh sebab itu penulis menyimpulkan

bahwa penelitian terhadap mahasiswa Fakultas Psikologi baik

laki-laki dan perempuan adalah penting dilakukan.

7

Ada beberapa pandangan tentang pria dan wanita, menurut

Bosman (dalam Hadi, 1994) menyatakan bahwa wanita lebih

kohesif, lebih terbuka, dan merasa malu berhubungan dengan

sesama anggota dibandingkan dengan pria. Selaras dengan

pendapat tersebut, Nurita (2012) wanita lebih cenderung

menunjukkan sifat pasivitas, sangat emosional atau

tempramental dan subjektivitas, sedangkan pria dipandang

menunjukkan sifat - sifat maskulin, seperti mandiri, bertindak

secara aktif, dan pola pikir analitis.

Pada umumnya terdapat mahasiswa yang memiliki masalah

dengan perilaku asertif dan menjadi non-asertif yang dihinggapi

rasa takut. Pada akhirnya, mereka tidak mau menyatakan

perasaan, kebutuhan, dan pendapatnya yang paling biasa

sekalipun, sehingga remaja selalu merasa bersalah atas segala

tindakan atau keputusan yang diambilnya itu. Mahasiswa-

mahasiswa yang menyatakan ide atau kebutuhannya dengan

cara begitu tidak menonjolkan diri, sehingga orang lain tidak

menghargai atau bahkan meremehkan mereka. Oleh karena

itulah, mahasiswa cenderung enggan bersikap asertif, untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yaitu adanya rasa

takut apabila nantinya dijauhi oleh teman-temannya atau

kelompoknya. Melalui perilaku asertif diharapkan para

mahasiswa dapat mengadakan hubungan sosial dengan teman

sebaya, terutama ditekankan pada hubungan interpersonal baik

sejenis atau lawan jenis. Hal ini dilakukan agar mahasiswa

diterima dalam kelompok teman sebaya sehingga mahasiswa

8

memperoleh rasa berharga dan dibutuhkan oleh orang lain

(Tanggela, 2012).

Dalam dunia pendidikan sekarang, mahasiswa sangat

dituntut untuk dapat mengemukakan pendapat, saran, dan

keinginan yang dimilikinya secara langsung, jujur dan terbuka.

Sistem belajar mengajar yang berlangsung dua arah, menuntut

mahasiswa untuk turut aktif di dalamnya dan tidak hanya diam

saja. Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Petrides dan

Furnham (2006) tentang ciri-ciri perilaku individu asertif ini

menjadi sebuah penegasan dalam memposisikan diri (secara

individu) sebagai manusia merdeka. Selain itu individu juga

mempunyai hak, kewajiban, dan martabat yang sama dengan

yang lainnya dalam menentukan sikap, bersuara/berpendapat,

mengapresiasikan bakat, minat, dan kemampuannya. Kemudian

Munandar (dalam Hergina, 2012) mengemukakan bahwa di

dalam perilaku asertif mengandung sifat-sifat yang sangat

penting dalam pembentukan pribadi yang kreatif yaitu sifat

percaya diri yang tinggi, kemampuan mengekspresikan

perasaan, keinginan, gagasan secara jujur, tegas, dan terbuka

tanpa perasaan cemas. Asertif juga merupakan keterampilan

sosial yang berperan untuk pengembangan diri, aktualisasi diri

maupun untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam berbagai

kehidupan.

Pentingnya meneliti perilaku asertif pada mahasiswa karena

apabila seorang mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif, maka

di masa yang akan datang (dalam pekerjaan atau organisasi

9

kemasyarakatan) mahasiswa tersebut akan merasa rendah diri

dan tidak berani mengemukakan perasaanya dan pendapat

kepada orang lain. Menurut Made & Awaluddin (2008) karena

perilaku asertif sangat penting bagi mahasiswa, apabila seorang

mahasiswa tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku

asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari

ataupun tidak, mahasiswa ini akan kehilangan hak-hak pribadi

sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi individu

yang bebas dan akan selalu berada di bawah kekuasaan orang

lain. Alasan seorang mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif

adalah karena mereka belum menyadari bahwa mereka memiliki

hak untuk berperilaku asertif. Mahasiswa dipilih, karena pada

masa ini terdapat keraguan akan identitas diri sebagai seorang

mahasiswa karena pada masa ini individu telah merasa dewasa

namun masih ada orang-orang di sekelilingnya yang

menyebutnya “anak kecil atau baru dewasa”. Perilaku asertif

dibutuhkan oleh mahasiswa, terlebih apabila seorang

mahasiswa berada dalam lingkungan yang kurang baik seperti

lingkungan perokok atau pecandu narkoba, pada satu sisi sorang

mahasiswa tidak ingin kehilangan teman dan pada sisi lainnya

seorang mahasiswa tidak ingin terjerumus pada hal-hal negatif,

hal tersebut diungkapkan oleh Made & Awaluddin (2008).

Mahasiswa dituntut untuk mengembangkan perilaku asertif

secara efektif dalam interaksi sosial di dalam lingkungannya,

terutama dalam interaksi sosialnya dalam situasi akademis.

Ninggalih, (2011), akibat dari non-asertifan individu antara lain:

10

membiarkan orang lain mengambil manfaat dari kondisi yang

sedang di alami, berperilaku agresif terhadap orang lain bahkan

tidak menerima kehadiran orang lain dengan sikap terbuka,

kedua belah pihak yang berkomunikasi tidak merasa nyaman

ada yang merasa ingin menyakiti lawan bicaranya dan tidak ada

yang merasa disakiti hatinya, akan ada pihak yang merasa

disalahkan dan dihina oleh keberadaan emosi negatif yang

dirasakan oleh lawan bicaranya.

Jika mahasiswa berperilaku asertif, maka bisa menyatakan

kebutuhannya secara jujur, langsung, dan berusaha menghargai

hak pribadi dan orang lain. Ketika masalah timbul, mahasiswa

yang berperilaku asertif akan menghadapi masalah yang timbul

dan berusaha mengatasinya. Selanjutnya cara mengatasi

masalah secara asertif dilakukan dengan cara pengungkapan

yang jujur, langsung, tidak berusaha menjauhi, dan tetap

menghargai hak pribadi maupun diri sendiri. Perilaku ini

menghasilkan suatu evaluasi terhadap diri sendiri yang

menyenangkan yang dapat mendorong terjadinya persetujuan

terhadap diri sendiri yang bisa jadi dapat meningkatkan rasa

percaya diri yang dijelaskan oleh Rathus & Nevid (dalam Herni,

2009).

Hasil beberapa temuan tentang perilaku asertif menunjukkan

adanya perbedaan antara yang asertif dan yang tidak asertif hal

ini menurut Shosheva, (2010) menyebutkan adanya perbedaan

mekanisme pertahanan diri yang dipakai oleh kelompok asertif

dan tidak asertif. Menurut Shosheva, (2010) kelompok asertif

11

lebih banyak mernakai intelektualisasi, rasionanilasi yang

menandakan bahwa mereka lebih mampu mengatasi konflik dan

kecemasan dengan cara yang efektif dan dapat diterima oleh

lingkungan, sedangkan pada kelompok tidak asertif cenderung

menggunakan mekanisme pertahanan diri yang primitif, tidak

efektif dan tidak adaptif yaitu proyeksi, denial, represi, tidak

melakukan sesuatu, dan kompensasi berupa perusakan objek

atau perusakan diri sendiri. Sehingga, dengan penyesuaian

sosial yang baik dengan sendirinya akan membawa seseorang

pada kualitas hidup yang baik pula, karena dengan perilaku

asertif akan meningkatkan penyesuaian sosial yang baik, di

samping itu perilaku asertif akan mengurangi kemungkinan

seseorang untuk diserang hipertensi. Sebaliknya, penelitian

Rernaningsih, (2007) perilaku asertif dapat pula membantu

seseorang dalam mernenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Hal ini

disebabkan dalam proses aktualisasi dibutuhkan keterbukaan,

kesadaran diri, kemampuan menyesuaikan diri, dan perhatian

terhadap hak-hak orang lain. Hasil peneiitian lain Sanchez dan

Lewinsohn (Retnaningsih, 2007) menemukan bahwa semakin

tinggi kemampuan seseorang dalam berperilaku asertif akan

makin tidak mudah terbawa dalam kondisi depresi.

Hasil-hasil penelitian tentang perilaku asertif yang

dijelaskan oleh Ninggalih, (2011), perilaku asertif sangatlah

penting di lingkungan akademis karena beberapa alasan sebagai

berikut: Pertama, sikap dan perilaku asertif akan memudahkan

individu tersebut bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan

12

lingkungan seusianya maupun di luarnya lingkungannya secara

efektif. Kedua, dengan kemampuan untuk mengungkapkan apa

yang dirasakan dan diinginkannya secara langsung, terus terang,

maka para mahasiswa bisa menghindari munculnya ketegangan

dan perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyimpan

sesuatu yang ingin diutarakannya. Ketiga, dengan memiliki

sikap asertif, maka para siswa dapat dengan mudah mencari

solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atu permasalahn

yang dihadapinya secara efektif, sehingga permasalahan itu

tidak akan menjadi beban pikiran yang berlarut-larut. Keempat,

asertivitas akan membantu para mahasiswa untuk meningkatkan

kemampuan kognitifnya, memperluas wawasannya tentang

lingkungan, dan tidak mudah berhenti pada sesuatu yang tidak

diketahuinya (memiliki rasa keingintahuan yang tinggi).

Kelima, asertif terhadap orang lain yang bersikap atau

berperilaku kurang tepat bisa membantu mahasiswa yang

bersangkutan untuk lebih memahami kekurangannya sendiri dan

bersedia memperbaiki kekuarangan tersebut.

Hasil penelitian lainnya dari Kaplan & Sedney (dalam

Tanggela, 2012) mengemukakan bahwa pria lebih mempunyai

perilaku asertif dari pada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya

tuntutan masyarakat yang membuat pria lebih aktif, mandiri,

kompetitif. Sementara wanita menjadi pasif, tergantung pada

konformis. Sejalan dengan itu, Wilen & Liod (dalam Tanggela,

2012) yang mengemukakan bahwa kesulitan untuk berperilaku

lebih banyak terjadi pada wanita (berdasarkan penelitian pada

13

siswa tentang pengembangan perilaku asertif yang positif),

karena secara sosial wanita telah dibentuk untuk submisif

(tunduk dan mengalah), bersiakap baik dan tidak membuat

masalah. Beberapa pandangan tentang pria dan wanita lebih

cenderung menunjukkan sifat pasivitas, sangat emosional atau

tempramental dan subjektivitas. Pria dipandang menunjukkan

sifat-sifat maskulin, seperti; mandiri, bertindak secara aktif,

kecendrungan agresi dan pola pikir analitis.

Hasil penelitian lain dari Adam (1995) menunjukkan bahwa

100 mahasiswa terdapat 22 mahasiswa yang non-asertif dan

amat dihinggapi rasa takut sehingga mereka tidak mau

menyatakan perasaan, kebutuhan, dan pendapatnya yang paling

biasa sekalipun, sehingga remaja selalu merasa bersalah atas

segala tindakan atau keputusan yang diambilnya itu. Ada

beberapa mahasiswa yang menyatakan ide atau kebutuhannya

dengan cara begitu tidak menonjolkan diri, sehingga orang lain

tidak menghargai atau bahkan meremehkan mereka. Oleh

karena itulah mahasiswa cenderung enggan bersikap asertif,

untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yaitu adanya

rasa takut apabila nantinya dijauhi oleh teman-temannya atau

kelompoknya, pernyataan tersebut dijelskan oleh Adam, (1995).

Keuntungan mempelajari perilaku asertif menurut Hergina

(2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa, perilaku

asertif dapat menambah perasaan sehat dan memungkinkan

seseorang untuk memperoleh penghargaan sosial serta rasa

senang seperti ia rnenerima penghargaan berupa materi, dengan

14

perilaku asertif ia dapat membantu seseorang untuk memperoleh

kepuasan hidup yang lebih besar. Agestin (2006) menambahkan

bahwa perilaku asertif dapat membantu seseorang untuk

mengkomunikasikan secara jelas dan tegas atas kebutuhan-

kebutuhan, keinginan, dan perasaan orang lain, karena orang

yang tidak asertif sering menyalahkan diri sendiri.

Berperilaku asertif juga menuntut seseorang, khususnya

mahasiswa, untuk jujur terhadap dirinya dan jujur pula dalam

mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara

proporsional tanpa ada maksud untuk memanipulasi,

memanfaatkan atau merugikan pihak lain (Rini, 2001). Selain

itu, seseorang dikatakan asertif hanya jika dirinya mampu

bersikap tulus dalam mengungkapkan pikiran dan

pandangannya kepada pihak lain sehingga tidak merugikan atau

mengancam integritas pihak lain (Rini, 2001), sehingga

berdampak dengan memiliki perilaku asertif, seseorang akan

dengan mudah menyesuaikan diri dan diterima dengan baik

dalam lingkungan.

Dampak dari perilaku asertif menurut Tangella, (2012)

menyatakan siswa apat mengkomunikasikan apa yang

diinginkan secara jelas dengan menghormati hak-hak sendiri

dan hak orang lain dan dapat mengungkapkan perasaan,

pendapat dan kebutuhan diri secara jujur dan wajar. Sebaliknya,

dampak tidak asertif dikarenakan perubahan dan perkembangan

dalam masyarakat mengikuti globalisasi yang menunjukkan

kompetensi tampa memandang wanita atau pria.

15

Pada kesempatan berbeda, Rakos (1991), menjelaskan

bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi

terbentuknya perilaku asertif pada individu adalah: strategi

coping, kebudayaan, usia, jenis kelamin, pola asuh. Seseorang

dikatakan bersikap tidak asertif, jika ia gagal mengekspresikan

perasaan, pikiran dan pandangan atau keyakinannya; atau jika

orang tersebut mengekspresikannya sedemikian rupa hingga

orang lain malah memberikan respon yang tidak dikehendaki

atau negatif, yang dijelaskan oleh Pratanti (2009). Alasan

mengapa peneliti meneliti kecerdasan emosi dan perilaku

assertif pada mahasiswa yaitu untuk menindaklanjuti hasil

penelitian – penelitian sebelumnya yang masih secara umum

dan hanya pada anak-anak dan remaja. Sehingga, dengan

penelitian lanjutan serta dengan subjek yang berbeda, seperti

orang dewasa (mahasiswa). Dengan cara ini diharapkan dapat

memperkaya ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi

pendidikan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya

perilaku asertif, salah satunya kecerdasan emosi (emotional

intellegence). Dusseldorp, dkk (2010) kecerdasan emosional

atau emotional intelligence merupakan syarat atau kunci untuk

mencapai/ memiliki rasa sensitivity, empati, kreativitas, self-

awareness, self-control and asertivitas (assertiveness).

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan yang dimiliki

seseorang dalam mengenali emosi diri dan emosi orang lain

serta mampu mengelolanya dengan baik sehingga tercapai

16

tujuan-tujuan hidupnya dan memiliki hubungan yang baik

dengan orang lain. Menurut Ciarrochi, Forgas, & Mayer (dalam

Retnaningsih & Nugrohowati, 2007) seseorang yang memiliki

kecerdasan emosi akan mampu mencapai aktualisasi diri,

berguna dalam hubungan sosial, berguna dalam segala aspek

pekerjaan yang berkaitan dengan kelompok kerja, berguna

untuk membantu seseorang menjadi lebih sehat dan sejahtera

dalam kehidupannya.

Menurut Bar-On (dalam Stein & Book, 2004), area

kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk

mengenal dan mengendalikan diri sendiri. Bar-On juga

menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dibagi ke dalam lima

area, salah satunya adalah area intrapribadi. Area ini meliputi

perilaku asertif, kesadaran diri, kemandirian, penghargaan diri,

dan aktualisasi diri. Menurut Dusseldorp, dkk (2010)

kecerdasan emosional / emotional intelligence merupakan syarat

atau kunci untuk mencapai atau memiliki rasa sensitivity,

empati, dan kreativitas, adalah kesadaran diri (self-awareness),

kontrol diri (self-control) and perilaku asertif (assertive

behavior).

Terdapat manfaat yang diperoleh dari kecerdasan emosi,

pada kenyataannya tidak sedikit ditemukan seseorang yang

tidak berhasil dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan

sosialnya, seperti sering membuat kesal orang lain, gagal dalam

pekerjaannya, tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan

sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya seseorang tersebut

17

kurang memiliki kecerdasan emosi, maka dari itu diperlukan

kemampuan mengendalikan perasaan secara mendalam untuk

berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Stein dan

Book, 2004).

Ada beberapa hasil penelitian diantaranya hasi penelitian

dari Agestin & Widyarini, (2006), Petrides, dkk (2006),

Auslander, (2007), dan Shabgard, dkk. (2011) menunjukkan

adanya hubungan yang signifikan positif antara kecerdasan

emosi dan perilaku asertif. Sementara itu ada penelitian lain

yang bertolak belakang yang dilakukan oleh Merda, (2010) dan

Siti & Felix, (2010) dimana kecerdasan emosi tidak memiliki

hubungan yang signifikan dengan perilaku asertif.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agestin &

Widyarini, (2006) menunjukan bahwa terdapat hubungan yang

significant dengan arah positif hal ini terlihat dari hasil

penelitian yang menunjukkan terdapat sumbangan kecerdasan

emosi terhadap remaja di SMA di semarang yaitu 82% remaja

dan terdapat 17% yang menunjukkan tidak ada hubungan yang

berarti antara kecerdasan emosi dengan perilaku asertif.

Semakin tinggi kecerdasan emosi semakin tinggi pula perilaku

asertif pada remaja SMA di Semarang.

Studi yang dilakukan Petrides, dkk (2006) menunjukkan

bahwa peran kecerdasan emosional dalam peningkatan perilaku

asertif dalam hubungan teman sebaya di sekolah. Sebanyak 160

siswa (83 anak perempuan; rata-rata umur 10.8 tahun) dilakukan

pengukuran dengan kuesioner daftar sifat kecerdasan emosi dan

18

sesudah itu di minta untuk menominasikan teman sekelasnya

masing-masing yang cocok ke dalam tujuh deskripsi perilaku

yang berbeda (‘kooperatif’,’pengganggu’, ‘pemalu’, ‘agresif’,

‘dependen’, ‘pemimpin’, dan‘pengintimidasi’).

Para guru diminta untuk menominasikan seluruh siswa yang

cocok ke dalam tujuh deskripsi. Hasil yang diperoleh

menunjukkan siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi

yang tinggi lebih masuk nominasi untuk ‘kooperatif’ dan

‘kepemimpinan’, serta lebih rendah nominasinya untuk

‘pengganggu’, ‘agresif’, dan ‘dependen’. Analisis faktor dari

nominasi para guru menunjukkan dua faktor orthogonal

meliputi masing-masing deskripsi prososial dan antisosial.

Siswa-siswa dengan skor sifat kecerdasan emosi yang tinggi ada

dalam faktor prososial.

Penelitian lainnya dari Auslander, (2007) mengungkapkan

dengan kemampuan berprilaku asertif yang baik, 70% remaja

perempuan mampu untuk menolak penyimpangan seksual serta

mampu mencegah Pregnancy-STD. Dalam penelitian dari

Auslander (2007) dikatakan bahwa remaja yang memiliki

kecerdasan emosional yang rendah akan memperlihatkan emosi

yang meledak-ledak, rendahnya toleransi terhadap rasa frustrasi,

kurang mampu dalam memecahkan masalah kurang mampu

menerima kritik, hal ini menunjukkan bahwa perilaku

assertifnya rendah. Berbeda dengan remaja yang memiliki

kecerdasan emosional yang tinggi menunjukkan kemampuan

untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri

19

sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan

dengan orang lain.

Sejalan dengan itu, penelitian dari Shabgard, dkk. (2011)

menunjukkan bahwa ada korelasi yang potsif antara Emotional

intellegence mempengaruhi self-assertive. Kecerdasan emosi

yang baik dapat menunjukkan self-assertive yang kuat, hal itu

dapat dilihat dari hasil validitas = 0.76 dan reliabilitas = 0.88,

persentasi positif di mana ada 83% yang menunjukkan memiliki

emotional intellegence yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa

kecerdasan emosi dapat mempengaruhi perilaku asertif

seseorang, karena seseorang yang mampu menampilkan dirinya

secara bebas, langsung dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri

maupun orang lain dapat meningkatkan kecerdasan emosinya

dengan cara lebih mengenali emosi diri, mengelola emosi serta

membina hubungan baik dengan orang lain. Begitu pula

sebaliknya, seseorang yang tidak mampu menampilkan dirinya

secara bebas, langsung dan jujur tanpa menyakiti diri sendiri

maupun orang lain tidak mampu mengenali emosi diri,

mengelola emosi serta membina hubungan baik dengan orang

lain.

Akan tetapi, hasil penelitian lainnya dari Merda, (2012)

dapat diketehui bahwa kecerdasan emosi memberikan kontribusi

yang rendah terhadap asertif pada remaja. Kontribusi yang

diberikan sebesar 25% sedangkan 75% kemungkinan

dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti faktor pribadi,

lingkungan keluarga, lingkungan kelompok sebaya, lingkungan

20

sekolah, dan lingkungan masyarakat. Hasil penelitian juga

menunjukkan bahwa kecerdasan emosi subjek penelitian yang

berjenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan

demikian juga dengan assertifnya, subjek berjenis kelamin laki

lebih tinggi daripada perempuan.

Penelitian lainnya dari Siti & Felix, (2010) tentang rendah

atau kurangnya kontribusi kecerdasan emosional terhadap

perilaku asertif pada remaja. Hasil analisis data penelitian

menunjukkan adanya sumbangan efektif kecerdasan emosi

terhadap perilaku asertif sebesar 30,3 % sebagaimana

ditunjukkan oleh R squared 0,303. Hal ini dapat diartikan masih

terdapat 69,7% faktor lain yang mempengaruhi asertivitas selain

kecerdasan emosi, seperti faktor jenis kelamin, dan usia. Dari

analisis juga diketahui bahwa nilai rerata empirik kecerdasan

emosi sebesar 91,48 yang berarti kecerdasan emosi pada subyek

penelitian tergolong sedang dan perilaku asertif subyek

penelitian tergolong tinggi.

Selain itu, terdapat faktor lain yang mempengaruhi

munculnya perilaku asertif, salah satunya yaitu konsep diri.

Menurut Rathus & Nevid (1983), yaitu, pola asuh orang tua,

jenis kelamin, kebudayaan, konsep diri, self esteem, usia. Oleh

karena itu, konsep diri mempunyai peranan penting dalam

menentukan perilaku individu, termasuk dalam perilaku asertif.

Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik akan lebih

asertif dalam berinteraksi dalam lingkungannya.

21

Konsep diri berperan penting dalam menentukan perilaku

individu. Bagaimana individu memandang dirinya akan tampak

dari seluruh perilakunya. Apabila individu memandang dirinya

sebagai orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan

sesuatu, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan

kemampuannya. Demikian pula sebaliknya, apabila individu

memandang dirinya sebagai orang yang tidak mampu, maka

seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan

(Burns, 1998). Seorang yang memiliki konsep diri yang positif

akan memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang baik

sehingga di dalam lingkungan pergaulan ia akan merasa bebas

untuk mengungkapkan dirinya, dapat berkomunikasi dengan

semua orang secara terbuka, dapat berkomunikasi dengan semua

orang secara terbuka, langsung dan tepat, bertindak dalam cara

yang dihargainya dalam situasi menekan dan menghasilkan

tingkah laku interpersonal yang efektif. Sebaliknya menurut

Benner, (dalam Keliat, 1992) konsep diri yang negatif akan

mempengaruhi individu baik itu hubungan interpersonal

maupun fungsi mental lainnya. Individu yang memiliki konsep

diri rendah akan mempunyai perasaan tidak aman, kurang

penerimaan diri, dan biasanya memiliki harga diri yang rendah.

Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan

dalam komunikasi interpersonal karena setiap orang bertingkah

laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Individu

yang memiliki konsep diri yang positif akan memiliki

kepercayaan diri yang baik untuk berkomunikasi dalam

22

interaksi sosialnya dalam masyarakat. Sementara itu individu

yang merasa rendah diri, ia akan mengalami kesulitan untuk

mengkomunikasikan gagasannya, tidak mampu berbicara

dihadapan umum atau ragu-ragu menuliskan pemikirannya

kepada orang lain. Hal tersebut tentu saja akan menjadi

penghambat dalam interaksi sosial dalam masyarakat (Burns,

1998). Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak

sosial (social contact) dan adanya komunikasi (Yadi, 2009).

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu antar

individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok.

Sedangkan arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa

seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang

berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap),

perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang

tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan

reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain

tersebut.

Komunikasi yang efektif tidak lepas dari bagaimana

individu memunculkan perilaku asertif di dalam interaksi

sosialnya. Terdapat faktor yang mempengaruhi munculnya

perilaku asertif, di antaranya adalah konsep diri yang

mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku

individu, termasuk juga dengan perilaku asertif. Seseorang yang

memiliki konsep diri yang baik akan lebih asertif dalam

berinteraksi dalam lingkungannya.

23

Ada beberapa halsil penelitian diantaranya dari Wulandari,

(2003), Hergina, (2012), dan Landazabal, (1999) yang

menunjukkan bahwa konsep diri memiliki hubungan yang

signifikan terhadap perilaku asertif. Sementara itu, ada hasil

penelitian yang lain bertolak belakang yaitu penelitian dari

Partosuwido, (1993) dan Coulhoun, (1990) yang menyatakan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsep diri

dengan perilaku asertif.

Hal ini seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh

Wulandari, (2003) yang melihat hubungan antara konsep diri

dengan asertivitas pada remaja akhir (anak SMA). Penelitian

tersebut menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara

konsep diri dan perilaku asertif, sehingga semakin baik konsep

diri seorang individu akan meningkatkan perilaku asertifnya.

Penelitian lainnya dari Hergina, (2012) menunjukkan bahwa

ada hubungan positif yang sangat signifikan antara konsep diri

dengan perilaku asertif pada siswa MAN Wonokromo. Semakin

tinggi konsep diri pada siswa maka semakin tinggi perilaku

asertif yang dimiliki, sebaliknya semakin rendah konsep diri

pada siswa maka semakin rendah perilaku asertif yang dimiliki.

Konsep diri memberi sumbangan efektif sebesar 11,8% dalam

mempengaruhi perilaku asertif siswa MAN Wonokromo,

sedangkan sisanya 88,2% faktor-faktor lain yang mempengaruhi

perilaku asertif. Berdasarkan kategori kedua variabel penelitian

dapat disimpulkan bahwa mayoritas skor subyek penelitian,

pada perilaku aserti terdapat mayoritas subyek (89,21%)

24

termasuk dalam kategori sedang dan pada variabel konsep diri

terdapat mayoritas subyek (58,82%) termasuk dalam kategori

sedang.

Hasil penelitian lain dari Landazabal, (1999) kepada anak-

anak di SMA di Provinsi Guipúzcoa, Spanyol Utara tentang

dampak perilaku asertif pada perilaku membantu atau menolong

pada teman sekelas dikucilkan dan apakah perilaku asertif

dipengaruhi oleh konsep diri anak tersebut. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa; terdapat peningkatan secara signifikan

terhadap konsep diri (82 % dari jumlah anak-anak dalam kelas),

terutama dalam kaitannya dengan karakteristik afektif dan

karakteristik sosialisasi, dan terdapat penurunan yang signifikan

(79% tingkat penurunan) dalam perilaku yang pasif, dan

meningkatnya perilaku asertif dalam berinteraksi dengan

sahabat lain dalam segala situasi sosial.

Akan tetapi, penelitian lain dari Partosuwido (1993),

individu yang memiliki perasaan rendah diri, cemas, dan mudah

terpengaruh dikatakan memiliki konsep diri yang negatif. Hal

ini terlihat dari hasil penelitiannya yang menunjukkan konsep

diri tidak terlalu atau tidak signifikan mempengaruhi perilaku

asertif (hanya 23%). Konsep diri dapat mempengaruhi

perkembangan perilaku asertif individu. Individu dengan konsep

diri negatif memiliki kecemasan ketika mengungkapkan apa

yang dirasakan sehingga akan menghambat individu tersebut

untuk berperilaku asertif kepada orang lain. Individu dengan

konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak

25

diterima oleh lingkungan, sehingga cenderung tidak berani

mengambil resiko, oleh Partosuwido, (1993).

Penelitian lain dari Coulhoun, (1990) menunjukkan hasil

bahwa konsep diri yang negatif seringkali menunjukkan

perilaku yang tidak asertif dan menunjukkan penyangkalan-

penyangkalan informasi tentang dirinya yang tidak dapat

diterimanya dengan baik dan juga mengancam konsep dirinya.

Penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini karena,

penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih ke arah akademis

pada mahasiswa dan juga lingkungan sosial pada mahasiswa

yang menginjak masa dewasa dalam hal ini mahasiswa-

mahasiswi yang sedang berkuliah dan berada dalam lingkungan

akademis. Karena di dalam perkuliahan terdapat hal-hal yang

dapat mempengaruhi perilaku asertif dari mahasiswa dalam

mengemukakan pendapat di depan kelas, berdiskusi dengan

teman-teman maupun dosen, dalam hal menyanggah dosen

maupun teman dan juga dalam hal berdebat dengan dosen

maupun teman-teman tentang masalah tertentu. Apakah mereka

memiliki perilaku asertif yang baik seperti berani mengutarakan

pendapatnya, percaya diri, sikap dan tingkah laku yang baik dan

juga sikap dalam hal mempertahankan argumennya dalam

diskusi dengan teman-teman maupun dosen di lingkungan

akademis. Sedangkan penelitian sebelumnya dari Wulandari,

(2003) hanya pada remaja akhir secara umum. Selain masalah

yang sudah di bahas sebelumnya peneliti juga tertarik

melakukan penelitian karena, pada penelitian yang sebelumnya

26

oleh Wulandari, (2003) cenderung ke arah konsep diri dan

perilaku asertif pada remaja akhir (anak SMA). Maka dari itu

penulis melakukan penelitian pada mahasiswa psikologi yang

pada tigkatan mahasiswa dituntut untuk berani mengambil

keputusan sendiri, pendapat, saran, dan keinginan yang

dimilikinya secara jujur dan aktif dalam perkuliahan dan juga

dalam lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

Alasan lain yang membuat penulis ingin meneliti karena,

perilaku asertif pada mahasiswa lebih jauh karena peneliti

menilhat bahwa mahasiswa yang enggan berperilaku asertif

karena mereka merasa bahwa suara atau keinginan mereka akan

diabaikan oleh figur otoritas seperti orang tua, guru, atau bahkan

teman sebaya di lingkungan mereka. Alasan pentingnya

penelitian ini dilakukan adalah, karena apabila seorang

mahasiswa tidak dapat berperilaku asertif, maka dimasa yang

akan datang (dalam pekerjaan atau organisasi kemasyarakatan)

mahasiswa tersebut akan merasa merasa rendah diri dan tidak

berani mengemukakan perasaanya dan pendapat kepada orang

lain karena merasa apa yang disampaikannya selalu tidak

dipedulikan orang lain, maka penulis merasa penting untuk

meneliti perilaku asertif ini yang dipengaruhi Emotional

Intelligence dan Self Concept pada mahasiswa di UKSW

kususnya pada mahasiswa laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara

Emotional Intelligence, Self Concept Terhadap Perilaku Asertif

27

Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi (laki-laki dan perempuan)

di Universitas Kristen Satya Wacana”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan

sebelumnya maka yang menjadi permasalahan dalam pemilihan

ini adalah:

1. Apakah ada hubungan antara emotional intelligence dan self

concept terhadap perilaku asertif pada mahasiswa Fakultas

Psikologi di UKSW

2. Apakah ada pengaruh interaksi antara emotional intelligence

dan jenis kelamin terhadap perilaku asertif pada mahasiswa

Fakultas Psikologi di UKSW

3. Apakah ada pengaruh interaksi self concept dan jenis kelamin

terhadap perilaku asertif pada mahasiswa Fakultas Psikologi

di UKSW

4. Apakah ada perbedaan emotional intelligence ditinjau dari

jenis kelamin

5. Apakah ada perbedaan self concept ditinjau dari jenis

kelamin

6. Apakah ada perbedaan perilaku asertif ditinjau dari jenis

kelamin

28

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji:

1. Ada hubungan antara emotional intelligence dan self

concept terhadap perilaku asertif pada mahasiswa di

UKSW

2. Ada pengaruh interaksi antara emotional intelligence dan

jenis kelamin terhadap perilaku asertif pada mahasiswa di

UKSW

3. Ada pengaruh interaksi self concept dan jenis kelamin

terhadap perilaku asertif pada mahasiswa di UKSW

4. Ada perbedaan emotional intelligence ditinjau dari jenis

kelamin

5. Ada perbedaan self concept ditinjau dari jenis kelamin

6. Ada perbedaan perilaku asertif ditinjau dari jenis kelamin

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1.4.1 Manfaat teoritis

Memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu

psikologi, khususnya bidang psikologi pendidikan (dalam

hal ini tentang pengaruh kecerdasan emosi dan konsep diri

terhadap perilaku asertif pada mahasiswa (laki-laki dan

perempuan).

29

1.4.2 Manfaat praktis

a. Bagi mahasiswa

Memberikan tambahan pengetahuan mengenai pentingnya

kecerdasan emosi dan konsep diri yang positif, dan

berperilaku asertif dalam kehidupan sosial di dalam

perkuliahan maupun di lingkungan tempat tinggalnya.

b. Bagi pendidik

Memberikan tambahan pentingnya kecerdasan emosi

dan.konsep diri yang positif sehingga mahasiswa menjadi

asertif di kelas dan memberikan pengajaran di kelas

sehingga, perkuliahan dapat menjadi efektif.

c. Bagi penelitian selanjutnya

Memberikan tambahan referensi data dan hasil penelitian,

sehingga dapat berguna pada pengembangan penelitian

kususnya tentang kecerdasan emosi, konsep diri dan

perilaku assertif.