32
1 BAB I PENDAHULUAN Streets and their sidewalks, the main public places of a city, are its most vital organs. Think of a city and what comes to mind? Its streets. If a city’s streets look interesting, the city looks interesting; if they look dull, the city looks dull.” –Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities A. Latar Belakang “Kualitas ruang publik di Yogyakarta 5 tahun terakhir menapaki jalan turun. Realitas sosial menggambarkan ruang publik Yogyakarta telah diprivatisasi merk dagang tertentu. Sebentar lagi ruang publik Yogyakarta diprivatisasi dan diserahkan secara sukarela oleh penguasa Yogyakarta kepada seluruh partai politik peserta Pemilu 2014. Tanda-tanda zaman atas penurunan kualitas ruang publik semakin kentara, saat secara visual ruang publik Yogyakarta menjadi tempat sampah yang menampung ratusan sampah visual iklan komersial maupun iklan politik. Pada titik ini, ruang publik menjadi tidak ramah lingkungan dan ramah visual bagi warga. Ekstremnya, ruang publik Yogyakarta menjadi ruang terbuka yang tidak manusiawi. Dikatakan demikian, karena ruang publik yang terdiri dari ruang terbuka hijau, taman kota dan trotoar untuk pejalan kaki dilabeli merek dagang produk barang dan jasa. Sementara itu, beberapa penggal jalan lainnya, dikuasai partai politik tertentu. Simaklah penggal jalan: Sudirman, Senopati, Urip Sumoharjo, Diponegoro, AM Sangaji, Cokroaminoto, Wirobrajan, Timoho, Badran, dan Abubakar Ali. Tidak ketinggalan Kleringan, Jembatan Kewek, seputaran Kridosono dan Mandala Krida serta tempat lainnya. Di sana dapat disaksikan betapa kumuhnya ruang publik yang diprivatisasi merek dagang atau partai politik…” (Kedaulatan Rakyat, Rabu, 6/3/2013, hlm. 12.) 1 Penggalan artikel di atas menunjukkan gambaran tentang persoalan ruang publik yang dihadapi masyarakat Yogyakarta dalam beberapa tahun belakangan. Persoalan ini disebabkan oleh kehadiran iklan luar ruang. Ruang publik di Yogyakarta—tanpa disadari oleh warganya—ditengarai telah hilang. Iklan luar ruang telah menginvasi ruang publik dan keseharian warga kotanya. Ruang kota 1 Sumbo Tinarbuko dalam Rubrik Opini: Sampah Visual di Ruang Publik, Harian Kedaulatan Rakyat Edisi Rabu Wage 6/3/2013, hlm. 12

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/96700/potongan/S1-2016... · publik yang dihadapi masyarakat Yogyakarta dalam beberapa tahun

  • Upload
    hatuong

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

“Streets and their sidewalks, the main public places of a city, are its most vital organs. Think of a city and what comes to mind? Its streets. If a

city’s streets look interesting, the city looks interesting; if they look dull, the city looks dull.”

–Jane Jacobs, The Death and Life of Great American Cities

A. Latar Belakang

“Kualitas ruang publik di Yogyakarta 5 tahun terakhir menapaki jalan turun. Realitas sosial menggambarkan ruang publik Yogyakarta telah diprivatisasi merk dagang tertentu. Sebentar lagi ruang publik Yogyakarta diprivatisasi dan diserahkan secara sukarela oleh penguasa Yogyakarta kepada seluruh partai politik peserta Pemilu 2014. Tanda-tanda zaman atas penurunan kualitas ruang publik semakin kentara, saat secara visual ruang publik Yogyakarta menjadi tempat sampah yang menampung ratusan sampah visual iklan komersial maupun iklan politik. Pada titik ini, ruang publik menjadi tidak ramah lingkungan dan ramah visual bagi warga. Ekstremnya, ruang publik Yogyakarta menjadi ruang terbuka yang tidak manusiawi. Dikatakan demikian, karena ruang publik yang terdiri dari ruang terbuka hijau, taman kota dan trotoar untuk pejalan kaki dilabeli merek dagang produk barang dan jasa. Sementara itu, beberapa penggal jalan lainnya, dikuasai partai politik tertentu. Simaklah penggal jalan: Sudirman, Senopati, Urip Sumoharjo, Diponegoro, AM Sangaji, Cokroaminoto, Wirobrajan, Timoho, Badran, dan Abubakar Ali. Tidak ketinggalan Kleringan, Jembatan Kewek, seputaran Kridosono dan Mandala Krida serta tempat lainnya. Di sana dapat disaksikan betapa kumuhnya ruang publik yang diprivatisasi merek dagang atau partai politik…” (Kedaulatan Rakyat, Rabu, 6/3/2013, hlm. 12.)1

Penggalan artikel di atas menunjukkan gambaran tentang persoalan ruang

publik yang dihadapi masyarakat Yogyakarta dalam beberapa tahun belakangan.

Persoalan ini disebabkan oleh kehadiran iklan luar ruang. Ruang publik di

Yogyakarta—tanpa disadari oleh warganya—ditengarai telah hilang. Iklan luar

ruang telah menginvasi ruang publik dan keseharian warga kotanya. Ruang kota

1Sumbo Tinarbuko dalam Rubrik Opini: Sampah Visual di Ruang Publik, Harian Kedaulatan Rakyat Edisi Rabu Wage 6/3/2013, hlm. 12

2

Yogyakarta secara halus direbut dari warga kota oleh hingar-bingar visualitas

iklan luar ruang, atau biasa juga dikenal dengan reklame.

Reklame yang hadir dalam berbagai bentuk (poster, spanduk, baliho,

billboard, grafiti dan sejenisnya)-secara perlahan tapi pasti—mengambil alih

fungsi ruang publik. Beragam bentuk reklame tersebut tidak hanya hadir

memadati trotoardan perempatan jalan raya, melainkan juga berhamburan tersebar

di berbagai ruang kota seanteroYogyakarta. Kondisi ini disamping membawa

persoalan visualitas ruang kota, juga menciptakan masalah lingkungan, yaitu

sampah visual. Wajah kota yang dikenal sebagai kota budaya ini menjadi tidak

estetis lagi, estetika ruang kota tergantikan dengan visualitas reklame yang

dipasang berlomba-lomba untuk merebut perhatian warga kota.

Lebih kompleks lagi, fenomena menjamurnya reklame—secara langsung

maupun tidak—merepresentasikan upaya logika ekonomi (kapitalisme) untuk

merebut keseharian warga di ruang kota. Visualitas yang memenuhi pandangan

mata didorong oleh gerak kapitalisme dengan warga kota sebagai konsumen dari

iklan-iklan tersebut. Keseharian warga kota dikonstruksi untuk melakukan

praktik-praktik konsumerisme. Dialektika yang dibangun di dalamnya adalah

dialektika konsumsi, dan bukanlah dialektika demokratis. Ruang publik tidak lagi

menjadi ruang bagi masyarakat untuk bertindak sebagai warga (act of citizenship),

melainkan menjadi ruang bagi masyarakat untuk bertindak sebagai konsumen,

serta sebagai ruang bagi penguasa untuk melakukan akumulasi kapital.

Kehadiran reklame memang bukan sesuatu yang baruterjadi di wilayah

urban seperti Yogyakarta. Seperti halnya di kota-kota besar lain, kehadiran

3

reklame merupakan konsekuensi logis dari peningkatan ekonomi di suatu kota.

Peningkatan ekonomi akan diiringi dengan pertumbuhan media-media promosi

untuk mengenalkan produk barang dan jasa yang dihasilkannya kepada

masyarakat. Kondisi ini terjadi karena para pengusaha—produsen produk barang

dan jasa—masihmenganggap bahwa iklan merupakan ujung tombak pemasaran

yang sangat penting. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mendorong

keberhasilan pemasaran dan aktivitas konsumsi—setelah masyarakat

menanggapinya dengan cara membeli—dibutuhkanmedia promosi (iklan) yang

besar.

Reklame kemudian menjadi opsidengan tingkat feasibilityyang tinggi untuk

dijadikan media beriklan karena dianggap paling mampu mencuri perhatian

konsumen (masyarakat) dalam keseharian mereka. Hal ini dikarenakan hampir

setiap hari, keseharian mereka sebagai masyarakat urban dihabiskan di luar ruang-

ruang privat mereka. Maka jika ditinjau dari sudut sasaran iklan, reklame mampu

menjangkau audience yang sifatnya heterogen—berasal dari segala golongan usia,

pekerjaan, bahkan kelas—secara simultan dan dalam jangka waktu lama. Dan

dengan karakteristik media luar ruang seperti ini, keterlihatan reklame menjadi

faktor penting bagi para produsen iklan. Dalam perspektif produsen iklan,

persoalan keterlihatan berorientasi pada tersampaikannya muatan iklan kepada

konsumen.

Oleh karena itu, reklame tidak hanya sekedar ditempatkan di luar ruangan

atau outdoor, melainkan harus ditempatkan pada lokasi yang mampu dijangkau

oleh banyak mata warga (konsumen). Bisa juga berarti secara simultan reklame

4

harus dipasang dalam jumlah banyak di berbagai tempat agar sering terlihat oleh

orang. Pemasangannya juga tak tanggung-tanggung kerap dijumpai dalam ukuran

besar dengan tiang pancang yang menjulang tinggi-tinggi, bahkan—bila perlu—

menutupi detail bangunan-bangunan kota. Berdasarkan itu semua, perburuan titik-

titik strategis lokasi pemasangan reklame pun dimulai. Selain di pusat-pusat

industri komersial (pertokoan), perempatan jalan juga merupakan titik strategis

dalam ruang kota untuk penempatan reklame.

Namun, keberadaan ruang publik di kota seperti taman kota, taman bermain,

dan pedestrian (trotoar) menjadi terancam seiring dengan pertumbuhan reklame

yang begitu pesat. Taman-taman kota, taman bermain dan trotoar jadi sasaran

tempat pemasangan reklame karena dianggap sebagai lokasi strategis. Hingga

akhirnya ruang-ruang publik di kota terlihat penuh dan sesak dipadati beragam

iklan. Pertumbuhan reklame pun menjadi tidak terarah. Kondisi ini, selain

berdampak pada distorsi visual, akhirnya ikut memberikan tekanan pada ruang

publik di kota Yogyakarta. Keberadaan ruang-ruang publik di kota menjadi

semakin tergerus oleh deru kapitalisme.

Pertumbuhan reklame yang terjadi di Yogyakarta juga tidak diiringi dengan

kontrol dari pemerintah. Kontrol pemerintah terhadap penyelenggaraan reklame

terbukti sangat minim dengan kebijakan pemerintah yang sangat rentan terhadap

pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran yang seringkali terjadi, antara lain: banyak

reklame yang terpasang ternyata belum memiliki izin, bagi reklame yang sudah

mengantongi izin pun banyak yang melanggar aturan pemasangannya. Reklame

dalam berbagai bentuk dipasang berjajar dengan jarak berdekatan di trotoar, tiang

5

listrik, tiang telepon, tiang lampu jalan, tiang rambu lalu lintas, tiang lampu lalu

lintas (traffic light), bahkan dipakukan di pohon-pohon perindang jalan.

Akibatnya, kondisi ini mengganggu aktivitas warga (publik) karena mengambil

alih fungsi trotoar dan mempersempit luas jalan.

Pemasangan reklame yang tidak beraturan dan berhamburan di ruang kota

pada akhirnya menghasilkan persoalan lingkungan baru di perkotaan, yaitu

sampah visual. Sampah visual didefinisikan sebagai iklan luar ruang yang

dipasang tidak sesuai dengan peruntukkannya (Arifin dan Nisa, 2014:13).Artinya,

reklame yang dipasang di ruang-ruang kota tidak pada tempatnya, seperti pada

fasilitas-fasilitas publik, misal tiang listrik, tiang penerangan jalan umum (PJU),

tiang rambu pendahulu penunjuk jalan (RPPJ), tiang rambu lalu lintas (seperti

traffic light, rambu U-turn dan sejenisnya), pohon perindang, atau ruang-ruang

publik, seperti trotoar, taman kota, dan taman bermain ini adalah sampah visual.

Selain mencemari keindahan lingkungan, sampah visual juga mencemari kondisi

visual ruang kota.

Sampah visual yang tersebar di ruang kota Yogyakarta pun tak berhenti

pada sampah visual yang dihasilkan oleh iklan komersial. Kehadiran iklan politik

pada masa kampanye menjelang pemilihan umum lima tahunan turut menyerbu

ruang-ruang publik. Invasi iklan politik bahkan masuk ke ruang-ruang publik

dengan lingkup yang lebih kecil, seperti jalanan perkampungan sekitar lokasi

pemukiman warga, lapangan-lapangan bola dan ruang-ruang tempat

berkumpulnya warga. Kondisi ini terjadi karena praktik kampanye konvensional

dengan menggunakan Alat Peraga Kampanye (APK) masih secara masif

6

dilakukan oleh partai politik dan para peserta pemilu, baik calon anggota

legislative (caleg), kandidat kepala daerah, maupun kandidat presiden dan wakil

presiden.

Hakikat iklan politik pun hampir sama dengan iklan komersial,

kehadirannya tanpa mempertimbangkan visualisasi dan estetika. Dalam

penyelenggaraannya, praktik iklan politik juga tercatat diwarnai banyak

pelanggaran. Dari data Bawaslu DIY per akhir bulan Februari 2014 tercatat

sebanyak 12.020 jenis pelanggaran Alat Peraga Kampanye (APK). Jumlah

tersebut tersebar di lima Kabupaten dan Kota, sedangkan terbanyak ditemukan di

Kota Yogyakarta mencapai 6.492 APK.2 Jenis pelanggarannya juga masih sama

seperti yang sebelumnya—periode pemilu sebelumnya—daripara caleg,

yaitudalam bentuk baliho, spanduk dan rontek. Dan pemasangannya tidak pada

zona yang ditentukan.

Pada saat yang sama, di tengah kekacauan visual yang terjadi di ruang kota

itu, pemerintah sebagai penentu kebijakan kota melihat peluang untuk

meningkatkan pemasukan daerahnya dengan kehadiran reklame. Reklame

menjadi salah satu sumber penyumbang terbesar bagi pemasukan asli daerah

(PAD) Kota Yogyakarta. Dalam kondisi tersebut, iklan luar ruang atau reklame

hanya dipandang sebagai salah satu aspek ekonomi yang perlu diatur oleh Negara.

Pengaturannya hanya berorentasi pada kontrol Negara terhadap persoalan

keterlihatan yang menyangkut titik-titik (lokasi) pemasangan reklame dengan

logika ekonomi. Persoalan keterlihatan dalam pengaturan tersebut tidak 2Lihat berita Kota Yogya Terbanyak Ditemukan Pelanggaran Pemasangan APK pada situshttp://jogja.tribunnews.com/2014/03/08/kota-yogya-terbanyak-ditemukan-pelanggaran-pemasangan-apk/

7

membicarakan sama sekali apakah pemasangan reklame nyaman bagi mereka

yang melihatnya (warga kota). Padahal, semestinya persoalan keterlihatan

reklame di ruang kota harus dilihat lebih dari sekedar persoalan mengenai pajak—

harga sewa dan besaran pemasukan—yang dihasilkan dari penyelenggaraan

reklame.

Persoalan keterlihatan reklame di ruang kota seharusnya dilihat sebagai

persoalan perlawanan terhadap dominasi narasi kapitalisme telah merebut ruang

publik dari warga kota itu sendiri. Ketika pemerintah tak mampu melakukan

perlawanan itu dan juga tak mampu melindungi warga kota dari gencatan

dominasi kapitalisme di ruang kota, maka warga kotalah yang harus melakukan

perlawanan untuk melindungi diri mereka sendiri.Menjelang tahun 2012, muncul

kampanye ‘anti sampah visual’ melalui media jejaring sosial yang diunggah oleh

Sumbo Tinarbuko, seorang dosen pengampu mata kuliah Desain Komunikasi

Visual (DKV) pada Jurusan Desain Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia

(ISI) Yogyakarta. Kampanye ‘anti sampah visual’ ini kemudian berkembang

menjadi sebuah gerakan sosial berbasis masyarakat. Gerakan ini mendorong

warga kota untuk lebih peka terhadap persoalan visualitas kota yang kian

memprihatinkan akibat ekspansi sampah visual di ruang-ruang kota.

Gerakan yang diinisiasi oleh Sumbo Tinarbuko ini kemudian diwadahi ke

dalam sebuah komunitas yang dikenal dengan nama Komunitas Reresik Sampah

Visual. Gerakan ini selain melakukan kampanye ‘anti sampah visual’ juga

melakukan protes yang ditujukan kepada pemerintah dengan aksi mencabuti

sampah visual di ruang-ruang kota Yogyakarta, yang kini dikenal dengan nama

8

gerakan reresik3 sampah visual.Hal yang menarik dari adanya gerakan ini adalah

gerakan ini sebenarnya bisa dilihat sebagai respon warga kota terhadap ancaman

ruang publik kota mereka dari dominasi kepentingan sektor privat yang

mengkerutkan ruang publik dengan serbuan sampah visual di ruang publik

kota.Berdasarkan itu semua, dengan mengambil kasus Gerakan Reresik Sampah

Visual, penelitian ini bermaksud melihat upaya perlawanan oleh warga kota

Yogyakarta terhadap dominasi kapitalisme untuk merebut kembali ruang publik

mereka.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimana GerakanReresik Sampah Visual dalam

upayanya merebut kembali ruang publik di Yogyakarta dilihat dalam konsep

gerakan sosial baru?”

C. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui upaya-upayayang dilakukan gerakanreresik sampah

visualuntuk merebut kembali ruang publik di kota Yogyakarta.

b. Untuk mengetahui dinamika gerakan dalam upaya merebut kembali ruang

publik di kota Yogyakarta.

c. Untuk mengetahui upaya gerakan reresik sampah visual untuk merebut

kembali ruang publik di kota Yogyakarta dalam konsep gerakan sosial

baru.

3Dalam bahasa Jawa, reresik memiliki arti membersihkan. Terminologi ini digunakan agar nama aksi bisa menjadi familiar di tengah masyarakat Yogyakarta, tempat lahirnya gerakan tersebut.

9

D. Kerangka Teori

Penelitian ini akan dilandasi dengan beberapa landasan berpikir yang akan

menjadi pembatas bagi penulis dalam mengumpulkan data dan menuangkannya

ke dalam tulisan. Diawali dengan pendefinisian ruang publik yang akan

mempengaruhi pendekatan konsep antara ruang publik yang akan digunakan

dalam tulisan ini. Kemudian, komersialisasi ruang publik yang melatarbelakangi

penelitian ini juga perlu dikerangkai dengan teorisasi mengenai minimalisme

ruang publik guna menjelaskan tentang bagaimana kemunculan sampah visual

dapat menyebabkan hilangnya ruang publik bagi masyarakat kota di Yogyakarta.

Sedangkan, Gerakan Reresik Sampah Visualdalam penelitian ini akan dilihat

dengan pendekatan gerakan sosial baru (GSB) untuk dapat mengetahui peran

gerakan ini dalam ranah politik di area perkotaan terkait persoalan komersialisasi

ruang publik, sekaligus untuk menjelaskan apakah strategi ini cukup efektif dalam

upaya merebut kembali ruang publik yang hilang dari masyarakat kota.

D.1. Ruang Publik

Sejak awal kemunculannya, setiap pembicaraan tentang ruang publik selalu

harus berhadapan dengan persoalan keberagaman definisi yang tidak mudah

diselesaikan. Istilah “ruang publik” memiliki beragam maknatergantung dari

konteks penggunaannya. Misalnya, ruang publik bagi para pemikir geografi dan

arsitektur, merujuk pada Lefebvre (1996: 67), yakni “jaringan keterlibatan dan

ruang sosial tertentu yang menyangga kerjasama dan koordinasi civitas, terutama

dalam interaksi antara kota besar dan ekonomi global”. Bagi para ekonom

mainstream, istilah ruang publik (public domain) merujuk sebagai sesuatu yang

10

muncul karena kegagalan mekanisme pasar bebas (market failure) dalam

menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan semua warga masyarakat. Pada

umumnya ruang publik dilihat sebagai bidang-bidang seperti lingkungan hidup,

kesehatan masyarakat, pendidikan masal, keamanan dan semacamnya yang

pengadaannya dianggap sebagai tugas pemerintah (B. Herry-Priyono, 2005: 153).

Ruang publik bagi berbagai refleksi budaya, merujuk ke Eagleton (2003:

74-102), mengacu pada gugus-gugus keyakinan, pandangan dan praktik yang

menyangkut sikap, wacana, cara berpikir dan merasa kolektif, selera, corak

keberadaban (civility) yang berlangsung dalam interaksi sosial. Sedangkan bagi

berbagai refleksi sosiologis, ruang publik mengacu pada jaringan trust dan

resiprositas yang menentukan ada-tidaknya kohesi suatu masyarakat atau dapat

dikatakan konsepsi yang bersifat Durkheimian, yakni konsepsi yang mengacu

pada ciri dan kadar sosial (the social) suatu masyarakat (Durkheim, 1964).

Selanjutnya, ruang publik dalam refleksi filsafat politik, konsepsi ruang publik

banyak mengacu pada konsepsi Habermas, yakni “ruang publik merupakan arus

keterlibatan kolektif yang selalu dinegosiasikan, bersifat tidak stabil, lentur dan

terbuka” (Habermas, 1989: 37). Dari beberapa contoh keberagaman definisi ruang

publik seperti yang diuraikan tersebut bisa dilihat dengan lebih jelas melalui

skema berikut:

11

Skema 1. Keragaman Definisi Ruang Publik4

Berdasarkan skema keragaman definisi ruang publik tersebut, secara positif

kita dapat menunjuk arti ruang publik dalam rumusan berikut: ruang publik adalah

arena maupun aset, barang, jasa, ruang, dan gugus infrastruktur lain yang

kinerjanya menjadi penyangga watak sosial suatu masyarakat, sehingga

masyarakat tersebut berevolusi dari sekedar ‘kerumunan’ (crowd)menjadi

‘komunitas’ (community) (B. Herry-Priyono, 2005: 158). Jika disimak dari

rumusan tersebut, maka ruang publik merupakan sebuah arena dimana keseharian

kita berkecimpung di dalamnya.Ruang publik baik dalam arti fisik maupun non

fisik tidak hanya merupakan sebuah arena sebagai tempat bagi kita beraktivitas,

tetapi juga sebuah ruang bagi berkembangnya ide, pikiran, dan artikulasi

4Gambar dipinjam dari Daniel Drache, “The Return of the Public Domain…” dalam Sunaryo Hadi Wibowo (Ed.), Republik Tanpa Ruang Publik, Yogyakarta: IRE Press, 2005, hlm. 156

RUANG PUBLIK

Social Capital:

Jaringan trust& resiprositas

Public Goods:

Kebutuhan umum (market failure)

Public Services:

Keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan, tanaman, lingkungan hidup, dsb

Public Space:

Ruang/tempat bertemu untuk debat-diskusi

Public Culture:

Bahasa, sikap, selera, cara pikir-rasa kolektif, civility

Interelasi antara ranah pasar, keluarga, pemerintah, dan kelompok independen yang membentuk the social suatu masyarakat

12

kepentingan kita. Dengan demikian, ruang publik bukan hanya sekedar sebuah

taman kota, jalan raya, maupun tempat-tempat yang berkaitan dengan tata kota

tetapi juga mencakup kehidupan kita dalam berdemokrasi melakukan praktik

sosial, politik dan ekonomi. Untuk itu, ruang publik bukanlah hak prerogatif

pemerintah dan keberadaannya pun tidak untuk diperjual-belikan melalui

mekanisme pasar-bebas.

Dalam tulisan ini, istilah ‘ruang publik’ mengacu pada dua arti: pertama,

istilah ruang publik dalam arti deskriptif, yakni sebagai sesuatu yang berkaitan

dengan distingsi antara publik dan privat. Istilah ini mengacu pada suatu ruang

yang dapat diakses semua orang, maka juga membatasi dirinya secara spasial dari

adanya ruang lain, yaitu ruang privat. Dalam arti ini, ruang publik—berbeda dari

ruang privat yang merupakan locus intimitas, seperti keluarga dan rumah—

merupakan locus kewarganegaraan dan keadaban publik, karena ruang publik

dibentuk oleh para warga yang saling respek terhadap hak mereka masing-masing.

Kedua, istilah ruang publik dalam arti normatif, yakni mengacu pada peranan

masyarakat warga dalam demokrasi. Ruang publik dalam arti normatif itu—yang

juga disebut “ruang publik politis”—adalah suatu ruang komunikasi para

warganegara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan (Hardiman, 2010:10-

11).

D.2. Minimalisme Ruang Publik5

Jika ruang publik dijelaskan dengan analogi sebuah wadah, maka wadah

tersebut dapat dikatakan mempunyai kualitas kepublikan (publicity) sejauh ia 5 Meminjam istilah Yasraf A. Piliang, “Minimalisme Ruang Publik: Budaya Publik di dalam Abad Informasi” dalam Sunaryo Hadi Wibowo (Ed.), Republik Tanpa Ruang Publik, Yogyakarta: IRE Press, 2005.

13

dapatmenampung di dalam dirinya berbagai entitas dengan beragam kepentingan

(interest). Dengan analogi yang sama pula, ruang publik juga dapat dibedakan

dalam ruang publik ideal (ideal public sphere) dan ruang publik riil (real public

space). Ruang publik ideal menjelaskan sebuah ruang teoritis yang didalamnya

terdapat berbagai elemen publik dengan berbagai kepentingan, dimana

kepentingan mereka secara maksimal dapat ditampung dan direalisasikan di

dalam ruang publik. Ruang publik riil menjelaskan ruang publik ‘nyata’ dalam

realitas sehari-hari, yang berdasarkan perannya, menampung kepentingan publik

dibedakan di dalam semacam spektrum kepublikan (the spectrum of publicness)

(Wibowo, 2005:1-3).

Selanjutnya, apabila ruang publik dinilai berdasarkan ‘kapasitas’ dan

‘kualitasnya’ dalam menampung dan memberi tempat berbagai kelompok dan

kepentingan, maka sebenarnya ada semacam ‘derajat kepublikan’ (a degree of

publicness) sebuah ruang publik (Piliang, 2005: 12). Ruang publik dapat

dibedakan dalam dua titik ekstrem berdasarkan derajat kepublikan tersebut, yakni

ruang publik yang ‘minimalis’ dan ruang publik yang ‘maksimalis’. Ruang publik

minimalis, yaitu ruang publik yang minimal tingkat kepublikannya, dan ruang

publik maksimalis, yaitu ruang publik yang tinggi kualitas kepublikannya.

Ruang publik dengan tingkat kepublikan yang minimalis rentan mengalami

apa yang disebut sebagai ‘minimalisme’. Merujuk pada Piliang (2005), istilah

‘minimalisme’ ini berkaitan dengan keadaan psikis pada diri seseorang atau

kelompok sosial, yang mengalami keadaan diri minimal (minimal self)

(Piliang,2005:13). Dalam konteks ruang publik, minimalisme terjadi dalam

14

berbagai unsur yang membangun ruang publik itu sendiri, yang meliputi aktor,

institusi, sarana, ide dan gagasan yang terlibat di dalamnya. Minimalisme ruang

publik dalam konteks masyarakat Indonesia dapat dijelaskan melalui berbagai

fenomena minimalisme sebagai berikut (Piliang,2005:15):

a. Pendangkalan ruang publik, yaitu ketika ruang publik cenderung

dibangun oleh representasi atau tindakan (action) yang dilandasi oleh

berbagai strategi populer yang memanfaatkan model-model psikologi

massa populer dalam rangka menguasai ruang publik melalui ‘kekuatan

popularitas’ di dalamnya, meskipun popularitas ini tidak didukung oleh

pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan yang sebenarnya.

b. Komodifikasi ruang publik, yaitu didominasinya ruang publik oleh

kaum borjuis-kapitalis yang menanamkan pengaruhnya tidak saja pada

sektor ekonomi akan tetapi pada sektor-sektor kehidupan lainnya.

Minimalisme ruang publik dalam hal ini adalah ketika ruang publik

dikerutkan atau diredusir ke dalam wujud komoditi.

c. Banalitas ruang publik, yaitu marjinalisasi dan minimalisasi berbagai hal

yang esensial dalam rangka memaksimalkan berbagai hal yang tak-

esensial, semata dalam rangka mengikuti mekanisme hasrat

kapitalisme—minimalisme yang esensial, maksimalisme yang tak-

esensial.

d. Virtualitas ruang publik, yaitu didominasinya relasi di dalam ruang

publik oleh model-model relasi virtual. Minimalisme ruang publik

dalam hal ini terbentuk ketika—lewat kemampuan teknologi digital dan

15

virtual dalam memanipulasi dan merekayasa citra realitas—ruang publik

didominasi oleh berbagai bentuk kepalsuan, kesemuan dan distorsi

realitas.

e. Transparansi ruang publik, dalam pengertian runtuhnya batas-batas yang

selama ini memisahkan antara ruang publik (public sphere) dengan apa

yang disebut ruang pribadi (private sphere). Minimalisme ruang publik

dalam hal ini terjadi ketika ruang tersebut didominasi oleh elemen-

elemen private space, yang sebelumnya dianggap rahasia kini dapat

disebarluaskan ke dalam berbagai jaringan global sebagai pengetahuan

publik.

f. Imortalitas ruang publik, yaitu kecenderungan tergusurnya berbagai

prinsip moral di dalam ruang publik, yang diambilalih oleh berbagai

kecenderungan permutarbalikan atau permainan moral (immortality).

Dengan kata lain, immortalitas ruang publik adalah proses ke arah

‘minimalisme moral’, yaitu diredusirnya makna moralitas itu sendiri ke

dalam bentuk yang paling rendah.

g. Mitologisasi dan mistifikasi ruang publik, yaitu didominasinya ruang

publik oleh berbagai mitor dan mistik dengan meminggrikan dunia

realitas yang sesungguhnya.

Minimalisme ruang publik tidak akan mampu menciptakan sebuah ruang

yang di dalamnya dapat dimaksimalkan debat publik secara demokratis. Maka,

jika Jurgen Habermas mengajukan ruang publik ideal (ideal public sphere)

sebagai syarat mutlak bagi sebuah proses demokratisasi, dengan melihat berbagai

16

kecenderungan minimalisme di atas, kemungkinan yang terbentuk justru

sebaliknya, yakni ‘ruang publik minimalis’ atau dengan kata lain, ruang publik

yang sangat tidak ideal bagi sebuah proses demokrasi.

Dalam tulisan ini minimalisme ruang publik mengacu secara spesifik dalam

konteks komodifikasi ruang publik. Pada kasus dominasi ruang publik oleh

sampah visual, ruang publik di kota Yogyakarta mengalami komersialisasi. Dan

bentuk komersialisasi ruang publik yang paling nyata terjadi adalah ketika

pemanfaatan ruang publik di kota berorientasi pada akumulasi kapital yang

ditunjukkan dengan pertumbuhan sampah visual yang justru dijadikan peluang

oleh pemerintah kota Yogyakarta untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.

D.3. Konsep Gerakan Sosial

Seiring dengan perkembangan kisah–kisah gerakan sosial, tidak ada

definisi tunggal mengenai konsep gerakan sosial sebagai suatu gejala sosial. Oleh

Gidden (1993: 642) misalnya, gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu upaya

kolektif untuk mengejar kepentingan bersama, mencapai tujuan bersama melalui

tindakan kolektif (collective action) di luar lembaga yang mapan. Definisi yang

lebih komprehensif dirumuskan oleh Van Klinken (2007: 11), gerakan sosial

sebagai kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu

bertindak di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan

menggugat atau mempertahankan otoritas, baik yang didasarkan secara

institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat,

kebudayaan atau tatanan dunia di mana merekamerupakan salah satu bagiannya.

17

Dari definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa gerakan sosial merupakan

suatu gerakan kolektif yang bersifat menentang dengan tujuan mencapai

kepentingan atau tujuan kolektif.Definisi ini bersifat luas karena gerakan sosial

memiliki ragam yang sangat variatif.

Konseptualisasi ini melibatkan 5 (lima) hal untuk bisa dikatakan sebagai

gerakan sosial (Haryanto, Hairini, Abu Bakar: 2013, 189), yakni: tindakan

kolektif atau gabungan, bersifat ekstra-institusional atau non institusional, tujuan

atau klaim-klaim yang berorientasi pada perubahan, organisasi sampai tingkat

tertentu (relasi), dan keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu.

Gerakan sosial bisa memiliki partisipan yang sedikit, tetapi bisa juga memiliki

partisipan dalam jumlah ribuan bahkan jutaan orang. Gerakan sosial bisa

beroperasi dalam batas-batas legalitas suatu masyarakat, namun bisa juga

bergerak secara illegal atau sebagai kelompok ‘bawah tanah’ (underground

groups) (Suharko, 2006: 3). Tarrow (1998) menempatkan gerakan sosial dalam

kategori yang lebih umum, yaitu tentang politik perlawanan (contentious politics).

Politik perlawanan terjadi ketika rakyat biasa sering bergabung dengan

para warga yang lebih berpengaruh untuk menggalang kekuatan melawan para

elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Politik perlawanan bisa

mencakup gerakan sosial, siklus penentangan (cyclus of contention) dan

revolusi.Perlawanan seperti ini biasanya muncul ketika kesempatan dan hambatan

politik tengah berubah sehingga menciptakan dorongan bagi aktor-aktor sosial

yang kurang memiliki sumber daya pada dirinya sendiri. Ketika perlawanan

didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi kultural

18

dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang

berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, sehingga menghasilkan suatu gerakan

sosial.

Tindakan yang mendasari politik perlawanan menurut Tarrow (1998)

adalah aksi kolektif yang melawan (contentious collective action). Tindakan atau

aksi kolektif ini bisa dilihat dalam banyak bentuk, yakni singkat atau

berkelanjutan, terlembagakan atau cepat bubar, membosankan atau dramatis. Aksi

kolektif memiliki semangat perlawanan apabila aksi dilakukan oleh orang-orang

yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim baru

atau klaim yang tidak diterima oleh pemegang otoritas atau pihak lain yang

ditentang. Aksi kolektif yang sifatnya melawan merupakan basis dari gerakan

sosial, karena aksi tersebut seringkali menjadi satu-satunya sumberdaya yang

dimiliki untuk menentang pihak-pihak yang lebih kuat, seperti negara.

Akan tetapi, tidak semua bentuk perlawanan politik bisa disebut sebagai

gerakan sosial. Tarrow (1998: 4-7) merumuskan bahwa gerakan sosial harus

memiliki empat hal yang mendasar, yakni:

a. Tantangan kolektif (collective challenge)

Hal yang membedakan gerakan sosial dari tindakan-tindakan kolektif lain

adalah bahwa gerakan sosial selalu ditandai oleh tantangan-tantangan untuk

melawan melalui aksi langsung yang mengganggu terhadap para elit, pemegang

otoritas, kelompok-kelompok lain, atau aturan-aturan kultural tertentu. Tantangan

kolektif seringkali ditandai oleh tindakan mengganggu, menghalangi atau

membuat ketidakpastian terhadap kegiatan-kegiatan pihak lain, dan biasanya

19

disimbolisasikan lewat slogan, corak pakaian dan musik, atau penanaman baru

objek-objek yang familiar dengan simbol yang berbeda atau baru.

Tantangan kolektif merupakan karakteristik paling umum dari gerakan

sosial. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa gerakan sosial biasanya kurang

memiliki sumberdaya yang stabil (dana, organisasi, akses terhadap negara).

Dalam menghampiri konstituen baru dan menegaskan klaim-klaim mereka,

penentangan (contention)mungkin hanya satu-satunya sumberdaya gerakan yang

bisa dikuasai. Itulah mengapa, gerakan mempergunakan tantangan kolektif untuk

menjadi titik fokus bagi para pendukung untuk memperoleh perhatian dari kubu

yang dilawan.

b. Tujuan bersama (common purpose)

Jika ada alasan yang paling jelas mengapa orang terikat bersama dalam

gerakan adalah untuk menyusun klaim bersama menentang pihal lawan,

pemegang otoritas, atau para elit. Meskipun tidak semua konflik semacam itu

muncul dari kepentingan kelas, tetapi nilai dan kepentingan bersama dan tumpang

tindih merupakan basis dari tindakan-tindakan bersama (Suharko: 2006, 6)

c. Solidaritas dan Identitas Kolektif

Sesuatu yang menggerakan secara bersama-sama dari gerakan sosial

adalah pertimbangan tentang kepentingan bersama yang kemudian mengantarai

perubahan dari sekedar potensi gerakan menjadi aksi nyata (Suharko: 2006, 6).

Perancang gerakan memainkan peran penting dalam merangsang munculnya

konsesus semacam itu. Akan tetapi, pemimpin gerakan hanya dapat menciptakan

20

suatu gerakan sosial ketika mereka menggali lebih dalam perasaan-perasaan

solidaritas atau identitas.

d. Memelihara Politik Perlawanan

Memelihara aksi kolektif melawan pihak musuh merupakan cara yang

paling efektif untuk bisa membawa suatu cerita perlawanan menjadi gerakan

sosial. Politik perlawanan ini bisa dipelihara gerakan dengan bantuan tujuan

kolektif, identitas bersama dan tantangan yang teridentifikasi. Namun, hal

sebaliknya akan terjadi jika gerakan tidak mampu memelihara tantangan bersama.

Gerakan akan menguap menjadi semacam kebencian atau kemarahan individual,

atau merubah menjadi sekte religious, atau bahkan mungkin menarik diri ke

dalam isolasi. Oleh karena itu, memelihara aksi kolektif dalam interaksi dengan

pihak lawan yang kuat dapat menandai titik pergeseran suatu penentangan

(contention) berubah menjadi suatu gerakan sosial (social movement).

D.4. Gerakan Sosial Baru

Wacana tentang Gerakan Sosial Baru (GSB) bermula di negara-negara

maju sebagai bagian dari konteks perkembangan peradabannya. Istilah “gerakan

sosial baru” digunakan secara luas untuk merujuk pada fenomena gerakan sosial

yang muncul sekitar tahun 1960-an – 1970-an di negara-negara maju seperti

Amerika Serikat dan Eropa Barat yang pada masa itu telah memasuki era ekonomi

pasca-industrial (post-industrial economy). Para ilmuwan sosial yang mengamati

fenomena gerakan sosial ini sejak awal kemunculannya mendapati bahwa GSB

merupakan tambahan baru untuk teori gerakan sosial yang menekankan baik pada

elemen makrohistoris maupun mikrohistoris pada gerakan social (Pichardo, 1997:

21

411).Pada tingkat makro, GSB menekankan hubungan antara kemunculan gerakan

sosial kontemporer dan struktur ekonomi yang lebih besar, serta peran budaya

dalam gerakan tersebut. Sedangkan, pada tingkat mikro, GSB menekankan

bagaimana isu-isu identitas dan perilaku pribadi terikat dalam gerakan sosial

(Pichardo, 1997: 411).

Seiring dengan perubahan tata sosial dan peradaban Barat, para ilmuwan

sosial melihat gerakan-gerakan sosial di sana memiliki tampilan watak yang

berubah dari gerakan-gerakan sosial sebelumnya (gerakan sosial ‘lama’ atau

klasik atau tradisional) (Suharko, 2006:8). Gerakan sosial lama (klasik) seperti

dalam teori-teori Marxis, dicirikan secara kuat dengan tujuan ekonomis-material

sebagaimana tercermin dari gerakan-gerakan kelas pekerja atau kaum buruh,

sedangkan GSB lebih menekankan pada tujuan-tujuan yang bersifat non-material.

Kemudian dalam perkembangannya, para ilmuwan sosial memperluas kajiannya

ke berbagai negara yang sedang berkembang. Hasilnya adalah temuan gerakan

sosial yang memiliki tipe kurang lebih sama, meskipun latar dan konteks

perkembangan masyarakat pasca-industrial belum terjadi di negara-negara

tersebut. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Singh (2001), GSB bukan hanya

terjadi di negara-negara Barat, akan tetapi juga berlangsung di negara-negara

berkembang.

Gerakan sosial baru sendiri bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, GSB

sebagai suatu tipe gerakan sosial yang memiliki karakter unik dan berbeda jauh

dari gerakan-gerakan sosial pada era industri atau gerakan sosial lama. Kedua,

akumulasi pengetahuan yang dihasilkan dari riset-riset tentang GSB telah

22

membawanya pada status sebagai suatu cara pandang terhadap suatu

permasalahan (paradigma) dalam memahami kenyataan sosial itu sendiri

(Pichardo, 1997; Singh, 2001). Perbedaan-perbedaan karakter gerakan yang

membentuk keunikan dari gerakan sosial baru tampak dalam tujuan dan ideologi,

taktik, struktur dan partisipan atau aktor gerakannya.

Karakteristik utama GSB adalah pandangan ideologisnya yang berbeda

(Dalton et al, 1990). Perjuangan-perjuangan GSB lebih menekankan pada

permasalahan gaya hidup dan kualitas hidup daripada berfokus pada redistribusi

ekonomi seperti yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan kelas pekerja. Gerakan

sosial baru tidak lagi tertarik dengan isu-isu seperti kenaikan upah buruh dalam

industri, perjuangan terhadap ketimpangan ekonomi dan eksploitasi kelas yang

diakibatkan oleh bekerjanya sistem kapitalisme (Suharko, 2006: 9). Secara

bersamaan, nilai-nilai GSB berpusat pada otonomi dan identitas (Offe, 1995;

Pichardo, 1997: 414). Fokus pada identitas juga dianggap unik karena “politik

identitas juga mengungkapkan keyakinan bahwa identitas itu sendiri—dengan

elaborasi, ekspresi atau penegasannya—harus menjadi fokus fundamental dari

kerja politik. Dengan cara ini, politik identitas telah menghasilkan sebuah

politisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dari medan nonpolitik”

(Kauffman, 1990: 67). Hal ini diungkapkan dalam gagasan bahwa “pribadi

adalah politik” (Picardo, 1997: 414).

GSB pada dasarnya hadir sebagai bentuk respon terhadap menguatnya

kehadiran dua institusi, yakni negara (the state) dan pasar (the market) terhadap

masyarakat sipil (Singh, 2001), dimana ruang sosial warga mengalami penciutan

23

dikarenakan kontrol negara yang berlebihan dan pasar yang menerobos masuk

hampir ke dalam semua aspek kehidupan warga. Oleh karena itu, GSB

membangkitkan isu ‘pertahanan diri’ komunitas dan masyarakat untuk melawan

ekspansi aparat negara dan pasar yang makin meningkat. Ekspresinya mewujud

dalam lahirnya agen-agen yang memperjuangkan pengawasan dan kontrol sosial,

seperti kaum urban marginal, aktivis lingkungan, kelompok anti otoritarian, kaum

anti rasisme dan juga para feminis. GSB melawan tata sosial dan kondisi yang

didominasi oleh negara dan pasar, serta menyerukan sebuah kondisi yang lebih

adil dan bermartabat (Suharko,2006: 10).

Taktik-taktik yang digunakan GSB mencerminkan orientasi ideologinya.

Keyakinan pada karakter demokrasi modern yang tidak representatif konsisten

dengan orientasi taktik yang anti-institusional. GSB lebih memilih saluran-saluran

di luar politik formal. Dalam tujuannya untuk mendapatkan daya tawar politik,

para aktivis GSB menerapkan taktik yang bersifat mengganggu (disruptive)

dengan melakukan mobilisasi wacana atau opini publik dan menggunakan bentuk-

bentuk demonstrasi yang sangat dramatis lengkap dengan representasi-

representasi simbolik (Tarrow, 1994). Namun, tidak berarti GSB tidak melibatkan

diri dalam politik atau menghindari menjadi terlembaga sendiri. Beberapa gerakan

sosial baru telah berintegrasi ke dalam sistem kepartaian dan mendapatkan akses

pada pengaturan, pelaksanaan dan lembaga pengambil keputusan, sedangkan

beberapa lainnya telah membentuk partai politik yang secara rutin berkompetisi

dalam pemilihan perwakilan, seperti sejumlah partai Hijau (Green parties) yang

24

terkenal di Eropa dengan beberapa yang memiliki perwujudan local di Amerika

Serikat.

Pada umumnya, GSB membidik isu-isu yang bersumber dari masyarakat

sipil (civil society) daripada perekonomian dan negara. Dalam sasaran

perjuangannya, GSB membatasi pada empat hal, yakni: tidak berjuang untuk

kembalinya komunitas-komunitas utopia yang tidak terjangkau di masa lalu;

berjuang untuk otonomi, pluralitas dan perbedaan; melakukan upaya sadar untuk

belajar dari pengalaman masa lalu untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui

penalaran; mempertimbangkan keberadaan formal negara dan ekonomi pasar

(Cohen: 1985). Dengan demikian, Cohen berpandangan bahwa tujuan GSB adalah

menata kembali hubungan negara, masyarakat dan perekonomian, serta untuk

menciptakan ruang publik yang di dalamnya wacana demokratis tentang otonomi

dan kebebasan individual, kolektivitas, serta identitas dan orientasi mereka bisa

didiskusikan.

Sikap anti-institusional GSB juga meluas terhadap cara mereka mengatur

diri. GSB mencoba untuk meniru jenis pemerintahan representatif yang mereka

inginkan ke dalam struktur mereka sendiri. Artinya, mereka mengorganisir diri

dalam gaya cair dan tidak kaku agar terhindar dari bahaya oligarkisasi. Mereka

juga mendukung sikap anti-birokrasi untuk melawan apa yang mereka anggap

sebagai karakter dehumanisasi birokrasi modern (karakter birokrasi yang

merendahkan martabat) (Kitschelt, 1993: 15). Jadi, mereka menuntut sekaligus

menciptakan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan

25

individu-individu, yakni struktur yang terbuka, terdesentralisasi dan tidak bersifat

hirarkis.

Para aktor-aktor atau partisipan GSB berasal dari berbagai basis sosial.

Mereka tidak bisa dibedakan berdasarkan kelas, gender, suku, umur, lokalitas,

pendidikan, pekerjaan dan seterusnya. Mereka tidak terkotakkan pada

penggolongan tertentu seperti kaum proletar, petani dan buruh, sebagaimana

aktor-aktor gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum marjinal dan

teralienasi (Suharko, 2006: 11). Meskipun ada anggapan bahwa partisipan GSB

umumnya berasal dari kalangan kelas menengah baru (the new middle class):

strata sosial yang baru-baru ini muncul yang bekerja di sektor-sektor ekonomi

non-produktif, akan tetapi strata sosial ini justru mampu menghasilkan partisipan-

partisipan utama atau pemimpin-pemimpin gerakan. Hal ini disebabkan karena

mereka yang termasuk dalam kalangan ini umumnya tidak terikat oleh motif-

motif keuntungan korporasi dan juga tidak bergantung pada korporasi untuk

kelangsungan hidup mereka. Sebaliknya, mereka umumnya bekerja di sektor-

sektor yang sangat bergantung pada belanja negara seperti kaum akademia,

seniman, dan agen-agen pelayanan kemanusiaan, dan mereka pun umumnya

merupakan kaum terdidik (Pichardo, 1997: 416-417)

Para aktor GSB tidak dibedakan berdasarkan batasan-batasan kelas,

melainkan ditandai berdasarkan keprihatinan bersama atas isu-isu sosial, karena

ini bukanlah komunitas berbasis suku, agama ataupun kelas, melainkan berbasis

ideologi dan nilai yang sama. Offe (1985) menawarkan pandangan yang sedikit

berbeda terkait siapa aktor-aktor dalam GSB. Ia berpandangan bahwa aktor atau

26

partisipan GSB berasal dari tiga sektor, yakni: kelas menengah baru, unsur-unsur

kelas menengah lama (petani, pemilik toko dan penghasil karya seni), dan

populasi pinggiran yang terdiri dari orang-orang yang tidak terlalu terlibat dalam

pasar kerja (mahasiswa, ibu rumah tangga dan para pensiunan).

Berdasarkan uraian karakteristik tersebut, GSB menampakkan wajah

sebagai gerakan sosial yang plural. Pluralitas itu terpantul jelas dari bentuk-bentuk

aksi GSB yang menapaki banyak jalur, mencita-citakan beragam tujuan, dan

menyuarakan aneka kepentingan (Suharko,2006: 12). Isu-isu yang menjadi

perhatian GSB melintasi batasan-batasan bangsa dan masyarakat, bahkan

melintasi dunia melintasi dunia manusia menuju dunia alami. Artinya, dalam

konteks ini GSB menampakkan wajah trans-manusia dengan mendukung

kelestarian alam dimana manusia merupakan salah satu bagiannya, diantaranya

seperti pada gerakan-gerakan ekologi atau lingkungan, anti nuklir, perdamaian

dan sejenisnya, yang menghamparkan kebersamaan warga dari beragam

nasionalitas, kebudayaan dan sistem politik (Singh, 2001).

Berdasarkan teorisasi GSB tersebut, tulisan tentang Gerakan Reresik

Sampah Visualini akan dilihat dengan perspektif GSB. Asumsinya bahwa ide-ide

dasar gerakan didasarkan pada isu seputar ruang publik dan lingkungannya, dan

perhatian terhadap budaya dan gaya hidup sosial warga kota. Mobilisasi wacana

publik tentang bencana sosial berupa sampah visual yang dilakukan oleh gerakan

ini menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan Peraturan Daerah

(Perda) tentang penyelenggaraan iklan luar ruang (reklame) juga merupakan

alasan mendasar penggunaan konsep GSB dalam tulisan ini.

27

E. Metode Penelitian

E.1. Jenis Penelitian

Banyak metode penelitian yang dapat digunakan sebagai referensi untuk

menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian mengenai gerakan reresik sampah

visualini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, metode

penelitian kualitatif digunakan karena dianggap mampu mendeskripsikan suatu

fenomena secara lebih mendalam. Penelitian kualitatif juga memberikan jawaban

atau rincian lebih kompleks yang mungkin tidak bisa diungkapkan dengan

menggunakan metode kuantitatif (Yin,2006).

Secara lebih spesifik, dalam upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian,

penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Hal ini didasarkan pada kasus

yang ingin diungkapkan merupakan sebuah kasus spesifik dan cenderung tidak

mampu digeneralisir dalam mencari jawabannya. Studi kasus merupakan tipe

pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya hanya kepada satu kasus yang

dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Studi kasus

juga merupakan sebuah penelitian dimana hal yang diteliti adalah hal yang

bersifat kontemporer. Dengan kata lain, kasus tersebut sedang atau telah selesai

terjadi namun masih memiliki dampak yang dapat dirasakan pada saat penelitian

dilaksanakan, atau yang dapat menunjukkan perbedaan fenomena yang biasa

terjadi.

Sebagai sebuah metode yang cukup tua dalam mahzab kualitatif, studi kasus

senantiasa mengalami perkembangan dalam perjalanannya. Menurut Mooney

(1998) ada empat sudut pandang dalam melihat studi kasus. Dalam penelitian ini,

28

penulis mengacu pada studi kasus tunggal dengan Single Level Analysis, yakni

studi kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu

masalah penting. Lebih dalam lagi studi kasus ini berada pada tahap explanation

yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang diteliti.Penggunaan studi kasus

tunggal dalam penelitian ini, dirasa penulis paling pas untuk dalam menjelaskan

fenomena yang ingin diteliti, yaitu proses gerakan reresik sampah visualmerebut

kembali ruang publik di wilayah perkotaan Yogyakarta. Ini masuk ke dalam kasus

tunggal karena memang yang menjadi target penelitian adalah satu masalah yang

bersifat kontemporer dan didalamnya terdapat keterlibatan individu atau

kelompok individu dalam merespon suatu fenomena.

Studi kasussebenarnya memiliki beberapa kelemahan, yakni terkait

intepretasi dan objektivitas. Dalam penelitian dengan studi kasus sendiri, peneliti

diharapkan dapat menjadi bagian dari kelompok individu atau komunitas

tujuannya agar data yang didapatkan bisa lebih mendalam. Akan tetapi, hal inilah

yang menyebabkan objektivitas akan sedikit terganggu. Kedekatan peneliti

dengan respondententu akan berimplikasi pada intepretasi saat menganalisis

data.Di samping itu, studi kasus sebagai sebuah metode kerap bersifat permisif

terhadap bukti yang samar-samar atau pandangan bias. Padahal hal ini praktis

akan sangat berkaitan dengan arah temuan-temuan dan konklusi. Studi kasus pun

tidak menyarankan peneliti untuk membatasi waktu dalam berinteraksi dalam

pencarian data. Padahal hal tersebut akan sangat terkait dengan fokus penggalian

data.

29

E.2. Unit Analisis Data

Penelitian ini memilih locus tempat di kota Yogyakarta. Secara lebih

spesifik di wilayah perkotaan, yaitu wilayah yang notabene cukup mewakili

fenomena maraknya reklame—baik iklan komersial maupun iklan politik—

memenuhi ruang publik. Ruang publik perkotaan ini mengacu pada taman kota,

trotoar, jalan protokoler, persimpangan ataupun perempatan jalan raya, jalan

tempat lokasi pertokoan dst.

Menjelang tahun 2012, muncul kampanye anti sampah visual melalui

jejaring media sosial yang diunggah oleh Sumbo Tinarbuko, seorang dosen

pengampu mata kuliah Desain Komunikasi Visual di Institut Seni Indonesia (ISI)

Yogyakarta yang juga merupakan seorang pengamat ruang publik. Diawali

dengan kampanye ‘anti sampah visual’ melalui media jejaring sosial, Sumbo

mulai memperkenalkan Komunitas Reresik Sampah Visual lewat dunia maya.

Akhirnya, pada pertengahan tahun 2012 cikal aksi komunitas ini diluncurkan dan

perjuangan komunitas ini hingga kinipun terus berkembang. Kampanye ‘anti

sampah visual’ dan aksi-aksi mencabuti sampah visual yang dilakukan oleh

komunitas ini kini dikenal dengan nama gerakan reresiksampah visual.

E.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian tentangGerakan Reresik Sampah Visual ini, penulis

menggunakan dua sumber data penelitian yaitusumber data primer dan sekunder.

Penggunaan data primer yang diperoleh dari interaksi langsung dengan aktor

pelakuGerakan Reresik Sampah Visual mencakup hasil interview atauwawancara,

dan obeservasi non partisipan. Data primer kemudian digunakan sebagai bahan

30

acuan analisis untuk mengetahui bagaimana strategi Gerakan Reresik Sampah

Visual dalam upayanya merebut kembali ruang publik di Yogyakarta dan

dinamika yang menyertainya, serta bagaimana peran Gerakan Reresik Sampah

Visual dalam merespon komersialisasi ruang publik yang terjadi akibat fenomena

sampah visual.

Wawancara (interview) dilakukan guna mendapat data yang mendalam

terkait individu maupun kelompok sebagai aktor gerakan itu sendiri dan juga

aktor-aktor lain yang mempengaruhi gerakan. Wawancara untuk memperoleh data

mendalam dalam penelitian ini dilakukan kepada penggerak Komunitas Reresik

Sampah Visual sebagai aktor gerakan, dan beberapa aktor lain di luar gerakan,

baik yang ikut mempengaruhi gerakan maupun terpengaruh dari gerakan tersebut,

di antaranya adalah Sekretaris Jendral Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia

Cabang Yogyakarta dan koordinator aksi Komunitas Warga Peduli Pohon

Perindang. Dalam melakukan wawancara, peneliti membekali diri dengan

interview guide yang berfungsi sebagai panduan dalam kapasitasnya untuk

membuka kunci potensi informasi-informasi yang diperlukan. Kemampuan untuk

mengelaborasi lebih dalam dari pertanyaan awal yang sudah dirumuskan guna

mengeksplorasi temuan informasi yang lebih komperhensif.

Metode selanjutnya yaitu observasi non partisipan, mengharuskan peneliti

untuk masuk dan mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh kelompok atau

komunitas. Dalam hal ini peneliti hanya menjadi penonton tanpa memiliki hak

suara dalam kegiatan komunitas. Dari metode ini diharapkan peneliti dapat

melihat secara langsung strategi gerakan yang dituangkan dalam agenda aksi

31

Gerakan Reresik Sampah Visual beserta dinamika di dalamnya yang tidak bisa

dilihat ketika wawancara individu.

Data sekunder diperoleh dari studi literatur mencakup buku, artikel, film

dokumenter maupun dokumentasi data dari komunitas yang terkait dengan tema

penelitian. Penggunakan data sekunder berperan sebagai referensi tambahan yang

memperkuat data dari lapangan. Selain sebagai referensi tambahan, data sekunder

juga berfungsi untuk mendukung intepretasi data dari hasil interaksi langsung dan

observasi non partisipan.

E.4. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis data model

alir. Artinya, awalnya penulis akan membaca hasil catatan lapangan pada saat

observasi, yaitu pada saat mengamati sebaran reklame di kota Yogyakarta dan

pengamatan terhadap wacana yang disebarkan melalui media, seperti surat kabar,

portal berita online, dan media jejaring sosial. Kemudian penulis mendengarkan

kembali rekaman wawancara dan membaca transkrip wawancara untuk

mendapatkan pemahaman mendalam tentang kasus yang dikaji. Pada tahapan ini,

penulis umumnya mendapat penambahan beberapa catatan yang bisa digunakan

dalam mengkaji kasus. Pada tahapan selanjutnya, penulis menyusun kata-kata

kunci yang muncul dan mengelaborasinya sehingga kasus yang dikaji dapat

“menuturkan kisahnya”.

32

F. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini akan dituangkan ke dalam empat bab. Bab

pertama merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah,

tujuan dari penulisan dan landasan teori yang digunakan dalam penulisan, serta

metode penelitian yang mengiringi penulisan ini. Bab keduamenjelaskan

kehadiran sampah visual sebagai fenomena minimalisme ruang publik di kota

Yogyakarta, mulai banalitas ruang publik yang terbentuk dari praktik beriklan dan

penataan iklan luar ruang (reklame) di ruang kota; kemunculan sampah visual

yang mengdekonstruksi kota secara visual; dan terakhir komersialisasi ruang

publik yang menyebabkan hilangnya ruang publik di kota Yogyakarta.

Bab ketiga menceritakan tentang gerakan reresik sampah visualyang

melakukan upaya penyelamatan ruang publik dari invasi sampah visual di kota

Yogyakarta, dimulai dari profil gerakan yang mencakup sejarah kemunculan dan

perkembangan gerakan; strategi gerakan dan dinamika yang mengiringinya. Bab

keempat berisi tentang refleksi atas keberadaan gerakan reresik sampah

visualsebagai gerakan sosial baru. Bab kelima berisi kesimpulan penelitian yang

merupakan inti dari jawaban dari rumusan masalah dalam penelitian ini.