22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekarang ini hampir semua orang di belahan dunia mengenal Korean Wave atau juga populer dengan sebutan Hallyu wave. “The Korean wave refers to the significantly increased popularity of South Korean culture around the world; its also referred to as Hallyu, in The Korean language”(Lee, 2011:86) Jadi Korean wave dapat dimengerti sebagai fenomena demam tentang budaya Korea, dimana hampir seluruh masyarakat dunia mendapat efek menyebarnya budaya Korea. Dalam bahasa Korea, demam korea ( Korean wave) dinamakan Hallyu. The Korean wave -”Hallyu” in Korean-efers to a surge in the international visibility of Koreanculture, begining in East Asia in the 1990s and continuing more recently in the United States, Latin America, The Middle East, and pars of Europe. (Lee, 2011:85) Korean wave atau Hallyu bermula di awal tahun 90-an di Asia timur. Dengan didukung majunya perkembangan teknologi media massa baik itu televisi dan internet, maka perkembangan budaya ( Korean wave) ini dapat menyebar dengan pesat hingga di belahan benua Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Budaya tersebut tersebar menyentuh aspek film dan drama, musik, fashion, makanan, bahkan gaya rambut. Hal ini menjadikan segala sesuatu yang berbau Korea 1

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68832/potongan/S1-2014... · pesat hingga di belahan benua Amerika, Eropa dan Timur Tengah ... didalamnya

  • Upload
    leliem

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekarang ini hampir semua orang di belahan dunia mengenal Korean Wave

atau juga populer dengan sebutan Hallyu wave.

“The Korean wave refers to the significantly increased popularity

of South Korean culture around the world; its also referred to as

Hallyu, in The Korean language”(Lee, 2011:86)

Jadi Korean wave dapat dimengerti sebagai fenomena demam tentang budaya

Korea, dimana hampir seluruh masyarakat dunia mendapat efek menyebarnya

budaya Korea. Dalam bahasa Korea, demam korea (Korean wave) dinamakan

Hallyu.

The Korean wave -”Hallyu” in Korean-efers to a surge in the

international visibility of Koreanculture, begining in East Asia in

the 1990s and continuing more recently in the United States, Latin

America, The Middle East, and pars of Europe. (Lee, 2011:85)

Korean wave atau Hallyu bermula di awal tahun 90-an di Asia timur. Dengan

didukung majunya perkembangan teknologi media massa baik itu televisi dan

internet, maka perkembangan budaya (Korean wave) ini dapat menyebar dengan

pesat hingga di belahan benua Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Budaya

tersebut tersebar menyentuh aspek film dan drama, musik, fashion, makanan,

bahkan gaya rambut. Hal ini menjadikan segala sesuatu yang berbau Korea

1

menjadi begitu populer di kalangan masyarakat. Fenomena ini kemudian

menjadikan Korea sebagai salah satu negara, selain Inggris, Amerika, dan Jepang,

yang budayanya telah sukses menjangkiti masyarakat luas di dunia, termasuk

Indonesia.

Seiring dengan perkembangan fenomena Korean Wave tersebut, maka

bermunculan komunitas-komunitas yang berisi sejumlah orang yang mempunyai

ketertarikan yang sama tentang budaya Korea, baik itu musik, film, drama, reality

show, dan masih banyak lainnya. Para anggota forum komunitas ini sering

berkumpul dan meyatukan aspirasi mereka untuk mengadakan acara berdiskusi,

bertemu atau gathering dan mengadakan sebuah kegiatan bersama dalam rangka

menyebarkan kebudayaan Korea lebih luas di kalangan masyarakat. Komunitas

tersebut membentuk sebuah organisasi berstruktur yang memiliki anggota dan

berkembang diberbagai daerah di Indonesia. Hal ini menarik untuk dikaji karena

pada dasarnya, komunitas tersebut muncul akibat adanya penyebaran produk

hiburan Korea melalui media massa yang dikemas secara menarik hingga

menimbulkan fandom atau fansclub yang membentuk komunitas yang loyal

terhadap apapun yang berkaitan dengan Korea.

Penggemar Korea di Indonesia didominasi oleh para remaja. Masa remaja

merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa

dewasa, yang juga disebut sebagai masa mencari jati diri. Maka remaja merasa

tertantang dan tertarik untuk membuktikan kemampuan intelektualnya. Para

remaja ini umumnya mengidentifikasikan diri pada seorang tokoh yang dianggap

sebagai idola. Sehingga mereka berupaya bagaimana dirinya mampu menyerupai

2

tokoh idolanya tersebut, dengan meniru tingkah laku, kebiasaan dan apa saja yang

dikenakan tokoh idolanya. Umumnya para remaja mengidolakan seseorang yang

pandai, berparas tampan atau cantik, dan berperilaku unik. Dengan inilah identitas

remaja terbentuk dan secara disadari atau pun tidak melalui kecintaan mereka

terhadap sesuatu.

Untuk memperkuat identitas diri biasanya seseorang akan mencari orang-

orang yang memiliki pemaknaan yang sama terhadap suatu hal. Mereka akan lebih

nyaman apabila bersama dengan orang-orang yang mempunyai banyak kesamaan

dalam beberapa hal. Ini terlihat dengan munculnya komunitas penggemar budaya

Korea. Komunitas penggemar ini muncul karena kesamaan selera. Tampilan

berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya bisa merupakan penanda

identitas. Seseorang yang ingin masuk ke sebuah kelompok pecinta korea

biasanya akan meniru cara berpakaian, berperilaku bahkan meniru mode rambut

idolanya. Jika sebuah ciri khas lain muncul, maka atribut ini dikenakan sebagai

ciri kebersamaan. Ketika seorang atau kelompok penggemar menganggap selebriti

yang mereka kagumi, mereka meniru apa yang dikenakan dan dilakukan oleh

idolanya. Cara penggemar meniru selebriti yang mereka kagumi kemudian

berkembang menjadi salah satu ekspresi dari para penggemar menunjukkan

eksistensi diri mereka sebagai penggemar pada idolanya.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sebuah kasus pada komunitas

penggemar acara reality show terkenal dari Korea, Running Man. Program reality

show ini pertama kali disiarkan pada 11 Juli 2010 melalui stasiun tv SBS. Hingga

saat inipun, acara Running Man masih terus berlanjut. Hal yang menarik dari

3

variety show ini adalah setiap episodenya selalu mengusung konsep acara yang

baru, segar dan selalu berinovasi sehingga audience menjadi tidak bosan. Selain

itu tempat pengambilan gambar Running Man selalu berada di daerah pariwisata

khas Korea, atau tempat yang akan digelar moment Internasional, seperti di Pyong

Chang, sebagai tuan rumah pertandingan Olympic Winter 2018.

Konsep dari acara Running Man adalah mission race, dimana dalam satu

episode menampilkan serangkaian misi estafet yang harus dilalui para pemainnya.

Misi yang ditampilkan di acara Running Man ini biasanya seputar permainan

tradisional khas Korea, yang mengusung tema kebudayaan Korea, seperti

permainan tradisional Korea, pakaian dan makanan tradisional Korea. Para

pemain tetap Running Man adalah mereka yang sudah lama berkiprah di dunia

hiburan Korea, seperti MC dan Komedian (Yoo Jae suk, Ji Suk Jin, dan Ha Dong

Hoon), Penyanyi (Kim Jong Kook dan Kang Gary) dan Aktor film dan drama

(Song Ji Hyo dan Lee Kwang Soo). Selain itu, banyak penyanyi K-Pop atau aktor

Korea yang sedang naik daun ikut berpartisipasi sebagai bintang tamu (guest star)

di Running Man.

Kini acara Running Man telah meraih banyak penghargaan pada beberapa

kategori di acara SBS Entertainment Award selama 4 tahun berturut-turut dari

2010-2013. Hak siar acara Runningman juga telah dijual pada enam negara Asia,

bahkan di Indonesia pun sudah membuat acara serupa dengan judul Mission X,

yang disiarkan di stasiun swasta Trans Tv. Dari banyaknya negara yang telah

membeli hak siar acara Running Man, tentu semakin banyak pula penggemar

acara tersebut yang membentuk komunitas Fandom atau Fansclub yang disebut

4

sebagai Runners, mengambil dari singkatan dari Running Man Lovers.

Fandom tersebut tidak hanya berada di Korea Selatan, tetapi juga telah

menyebar di berbagai mancanegara termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri

terdapat fandom Running Man di berbagai daerah, seperti Jakarta, Tangerang,

Bandung, Palembang, Makassar, Surabaya, Malang, Yogyakarta dan masih banyak

lagi. Fandom ini merupakan wadah bagi penggemar Running Man. Mereka

biasanya sering mengadakan permainan race dan pertemuan atau gathering yang

didalamnya menggunakan permainan dari Running Man.

Dalam penelitian ini, peneliti mengulas mengenai komunitas Jogja

Runners sebagai salah satu fandom pecinta Running Man yang berada di

Yogyakarta. Jogja Runners atau lebih sering disebut dengan JR merupakan

komunitas pertama yang meng-cover sebuah program acara reality show (dalam

hal ini Running Man). Jogja Runners dikatakan komunitas pertama, karena

sebelumnya di Indonesia belum pernah ada komunitas yang meng-cover acara

reality show secara keseluruhan dengan apik. Bahkan hingga meng-upload-nya ke

dalam sosial media seperti Youtube dan iSubs.

Sebelum komunitas Jogja Runners terbentuk, komunitas-komunitas

pecinta budaya Korea yang bermunculan hanya sekedar komunitas cover lagu dan

cover dance. Hal inilah yang membuat Jogja Runners lebih menonjol jika

dibandingkan dengan komunitas cover budaya Korea lainnya. Ada beberapa fakta

yang menarik tentang Jogja Runners, antara lain: Pertama, para anggota dari Jogja

Runners (JR) semula hanya terdiri dari orang-orang yang telah lama mengerti

5

budaya Korea dan berkecimpung dalam komunitas pecinta budaya Korea di

Yogyakarta. Meskipun setelah perkembangannya, anggota Jogja Runners kini

tidak hanya untuk orang yang sudah mengerti tentang budaya Korea saja, tetapi

juga telah terbuka untuk umum dari beberapa kalangan masyarakat. Kedua, Jogja

Runners sebagai komunitas pecinta reality show Running Man, berusaha mencoba

mengadopsi dan mereproduksi kembali acara tersebut, sehingga bisa dikatakan

mereka ini adalah mini dari Running Man. Bentuk adopsi dan reproduksi ini

berupa melakukan kembali semua permainan dan kegiatan yang pernah dilakukan

di acara Running Man. Serta konsep pembuatan acara juga disamakan persis

dengan konsep dari Running Man dengan membentuk struktur keanggotan seperti

CEO, PD, VJ, FD dan Player.

Terbentuknya komunitas Jogja Runners merupakan wujud dari apresiasi

mereka terhadap kecintaannya pada program variety show Running Man. Oleh

karena itu mereka mencoba meng-cover1 acara ini dengan membuat ide konsep

yang sama dengan Running Man. Bahkan struktur produksinya dibuat semirip

mungkin dengan Running Man. Jogja Runners tidak hanya sekedar mengadopsi

struktur produksi dan konsep permainan dalam Running Man, tetapi juga gaya

bahasa, mimik dan karakter-karakter tokoh pemain dari Running Man. Dalam

acara Running Man, seseorang yang berusia lebih muda selalu memanggil Hyung

(Mas) kepada yang lebih dituakan atau Sunbaenim (pernyataan yang lebih hormat

kepada yang lebih tua), Noona (Mbak) dan penyataan pernyataan kalimat seruan

1 Bagi penggemar budaya Korea, istilah cover berbeda dengan plagiarism. Cover lebih pada perwujudan rasa apresiasi tanpa mengambil keuntungan dan tidak mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri. Sedangkan plagiarism lebih mengarah pada meniru untuk kepentingan dan keuntungan sendiri.

6

seperti; Aigoo, Omo, Seumdwa, Ssakda Ssakda, fighting, dan lain sebagainya. Dan

kata-kata ini juga tak jarang digunakan oleh para anggota Jogja Runners.

Alasan peneliti membuat penelitian tentang sebuah komunitas fansclub

atau fandom adalah karena penelitian mengenai fans atau penggemar dianggap

masih jarang dilihat oleh banyak peneliti atau kritikus. Padahal dari penggemar

bisa dilihat atau diapresiasi kedalaman perasaan, kepuasan (gratifikasi) dan

pentingnya meniru kebiasaan sehari-hari sosok yang dikaguminya.

(Lewis,1992:1).

B. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

“Identitas apa yang dimunculkan para anggota Jogja Runners berdasar

pengalaman anggotanya?.

C. Tujuan Penelitian

Belakangan ini telah banyak kajian yang mengangkat tentang Hallyu atau

demam Korea yang sedang ramai digemari masyarakat Indonesia, namun kajian

tentang bagaimana budaya Korea yang membentuk identitas baru di dalam sebuah

komunitas di masyarakat Indonesia khususnya pada ranah hiburan variety show

belum banyak mengemuka. Terutama dalam meng-cover sebuah acara variety

show. Peneliti mengangkat tema mengenai komunitas Jogja Runners dengan

tujuan sebagai berikut :

7

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menentukan

pembentukan identitas anggota Jogja Runers.

2. Untuk mengetahui bagaimana pembentukan identitas yang terjadi

dalam Jogja Runners secara pribadi dan kelompok.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan petimbangan

atau acuan untuk penelitian sejenis secara lebih mendalam.

2. Manfaat Praktis

Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan gambaran

dalam menganalisa interaksi yang terjadi dan identitas yang

dihasilkan dalam komunitas Jogja Runners.

E. Kerangka Teori

Teori utama yang digunakan penulis dalam pembahasan penelitian ini

adalah teori identitas yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Teori tersebut diyakini

dapat menjawab pembahasan mengenai pemakaian atribut Running Man sebagai

simbol identitas kolektif dari komunitas Jogja Runners.

1. Identitas

Menurut Stuart Hall (dalam Baker,2009:174) dalam memahami konsep

identitas terdapat asumsi-asumsi esensialisme dan antiesensialisme. Esensialisme

8

berasumsi bahwa deskripsi tentang diri kita mencerminkan suatu identitas

esensial. Berdasarkan logika ini maka akan ada esensi feminitas, maskulinitas,

Asia, remaja dan segala kategori sosial lainnya. Asumsi kaum essensialisme

meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah

selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri. Dalam pandangan mereka, tingkah laku

sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan kebudayaan yang

dianut.

Pada pandangan aliran esensialisme norma-norma dan nilai yang berlaku

dalam masyarakat sesuai kebudayaan masyarakat tersebut merupakan hal yang

mutlak dan sudah baku sehingga jika ada individu yang tingkah lakunya tidak

sesuai dari nilai-nilai dan norma tersebut dianggap perilaku menyimpang.

Sebaliknya, kita telah menyatakan bahwa identitas bersifat kultural daam 'segala

aspeknya', bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Menurut

pandangan aliran antiesensialisme identitas dapat berubah terkait dengan berbagai

konteks sosial dan kultural. Identitas adalah kontruksi diskursif yang berubah

maknanya menurut ruang, waktu dan pemakaiannya (Baker, 2009:174-175).

(Dalam Baker,2009:177) Terdapat tiga cara berbeda dalam memahami

identitas menurut Stuart Hall, yaitu:

a) Subjek Pencerahan

Pandangan tentang pribadi (person) sebagai agen yang terpadu dan

unik telah menyatu dengan pencerahan, suatu gerakan filosofis yang

diakitkan dengan gagasan bahwa ratio dan rasionalitas adalah basis bagi

kemajuan manusia. Didasarkan pada suatu pemahaman tentang pribadi

9

manusia sebagai individu yang spenuhnya terpusat dan terpadu, yang

didukung oleh kapasitas rasio, kesadaran dan tindakan, yang 'pusatnya'

terdiri dari inti-dalam. Pusat esensial dari diri adalah identitas pribadi.

Bahwa pada dasarnya manusia memiliki segala 'kemampuan' untuk

membebaskan diri dan menentukan bagaimana sesungguhnya eksistensi

diri' sebagai diri yang mendapat pencerahan.

b) Subjek Sosiologis

Identitas dalam subjek sosiologis adalah dimana identitas itu tidak

dibangun melalui dirinya sendiri, tetapi terbangun melalui proses

akulturasi. Inti dari subjek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri,

melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan 'orang lain yang

berpengaruh' (significant others), yang jadi perantara subjek dengan nilai,

makna, dan simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup. Asumsi dari

pandangan subjek sosiologis bahwa aspek sosial melalui interaksi antar

individu akan mempengaruhi pembentukan identitasnya dan identitas itu

semata-mata tidak membangun atau berdiri sendiri namun ada proses

akulturasi.

c) Subjek Pascamodern

Menurut pandangan subjek pascamodern bahwa individu tidak

hanya satu melainkan terfragmentasi dalam bebrapa identitas yang kadang

identitas-identitas tersebut kontradiktif. Subjek memiliki identitas yang

berlainan pada kurun waktu yang berbeda, identitas-identitas yang tidak

terpusat di seitar 'diri' yang koheren. Yang ada didalam diri kita adalah

10

identitas-identitas yang kontradiktif, mengarah pada titik yng berbeda

sehingga identifikasi kita terus-menerus berubah. Jika kita merasa bahwa

kita memiliki suatu identitas terpadu sejak lahir sampai mati, itu semua

hanya karena kita mengkosntruksikan suatu cerita yang melegakan atau

'narasi diri' tentang diri kita sendiri.

Selain pendapat diatas, Giddens (dalam Baker,2009:175) menyatakan

bahwa identitas merupakan proyek. Identitas adalah diri sebagaimana yang

dipahmi secara refekstif oleh orang dalam konteks biografinya. Oleh karena itu,

sesuatu yang kita pikirkan berubah dari situasi ke situasi lain sesuai ruang dan

waktu sehingga identitas dimaknai sebagai proyek. Dimana identitas tersebut

merupakan kemampuan individu dalam menarasaikan dirinya bukanlah kumpulan

sifat-sifat individu maupun sesuatu yang entitas.

Identitas diri tersebut menurut Giddens (dalam Baker,2009:175) terbentuk

oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tetang diri, sehingga membentuk

perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas

berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: Apa yang harus dilakukan?

Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?” Individu berusaha mengkonstruksi

suatu narasi identitas koheren dimana 'diri membentuk suatu lintasan

perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapa diperkirakan.

Identitas merupakan sesuatu yang diciptakan dan berubah dari satu situasi ke

siatuasi lainnya yang dipengaruhi oleh sosialisasi dan akulturasi. Tanpa adanya

akulturasi seseorang tidak akan menjadi individu sebagaimana yang dipahami

11

dalam kehidupan sehari-hari.

2. Kelompok Sosial

Menurut Soerjono Soekanto (1990:66) kelompok sosial adalah himpunan

atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan

antara mereka secara timbal balik dan saling mempengaruhi. Kelompok Sosial

oleh Soerjono Soekanto dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu:

a) Berdasarkan besar kecilnya anggota kelompok

Menurut George Simmel besar kecilnya jumlah anggota kelompok

akan mempengaruhi kelompok dan pola interaksi sosial dalam

kelompok tersebut. Simmel memulai dari satu orang sebagai perhatian

hubungan sosial yang dinamakan monad. Kemudian monad

dikembangkan menjadi dua orang atau diad, dan tiga orang atau triad,

dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Hasilnya semakin banyak

jumlah anggota kelompoknya, sehingga pola interaksinya juga

berbeda.

b) Berdasarkan derajat interaksi dalam kelompok

Derajat interaksi ini juga dapat dilihat pada beberapa kelompok sosial

yang berbeda. Kelompok sosial seperti keluarga, rukun tetangga,

masyarakat desa, akan mempunyai kelompok anggotanya saling

mengenal dengan baik (face-to-face groupings). Hal ini berbeda

dengan kelompok sosial seperti masyarakat kota, perusahaan, atau

negara, dimana anggota-anggotanya tidak mempunyai hubungan erat.

12

c) Berdasarkan kepentingan dan wilayah

Sebuah masyarakat setempat (community) merupakan kelompok sosial

atas dasar wilayah yang tidak mempunyai kepentingan-kepentingan

tertentu. Sedangkan asosiasi (assosiacion) merupakan sebuah

kelompok sosial yang dibentuk untuk memenuhi kepentingan tertentu.

d) Berdasarkan kelangsungan kepentingan

Adanya kepentingan bersama merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan terbentuknya sebuah kelompok sosial. Suatu kerumunan

misalnya, merupakan kelompok yang keberadaannya hanya sebentar

karena kepentingannya juga tidak berlangsung lama. Namun, sebuah

asosiasi mempunyai kepentingan yang tetap.

e) Berdasarkan derajat organisasi

Kelompok sosial terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang

terorganisasi dengan rapi seperti negara, TNI, perusahaan dan

sebagainya. Namun, ada kelompok sosial yang hampir tidak

terorganisasi dengan baik, seperti kerumunan. Secara umum tipe-tipe

kelompok sosial adalah sebagai berikut :

1) Kategori statistik, yaitu pengelompokan atas dasar ciri

tertentu yang sama.

2) Kategori sosial, yaitu kelompok individu yang sadar

akan ciri-ciri yang dimiliki bersama.

3) Kelompok sosial, misalnya keluarga batih (nuclear

family)

13

4) Kelompok tidak teratur, yaitu perkumpulan orang-

orang disuatu tempat pada waktu yang sama karena

adanya pusat perhatian yang sama.

5) Organisasi formal, yaitu kelompok yang sengaja

dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu yang telah

ditentukan terlebih dahulu.

3. Interaksi Sosial

Pengertian interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan

mempelajari tentang masyarakat. Interaksi sosial adalah kunci dari semua

kehidupan sosial, oleh karenanya tanpa interaksi sosial, tidak mungkin ada

kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak

akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan

hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang perorangan atau kelompok-

kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai

tujuan bersama. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses sosial,

pengertian mana menunjukkan pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis

(dalam Soerjono Soekanto,1990:67).

Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas

sosial. Menurut Soerjono Soekanto interaksi sosial merupakan hubungan-

hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang

perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang

perorangan dengan kelompok. Aktivitas-aktivitas sosial bisa terwujud apabila dua

14

orang bertemu, interaksi sosial mulai terjadi. Mereka saling menegur, berjabat

tangan dan saling berbicara. Walaupun orang yang bertemu tidak saling berbicara

atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi karena masing-

masing telah sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-

perubahan dalam perasaan ataupun syaraf orang-orang yang bersangkutan.

Semuanya itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang yang kemudian

menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekanto,1990:67).

Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a) Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang.

b) Ada komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol.

c) Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa

mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung.

d) Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan

tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat.

Didalam melakukan interaksi kita tidak hanya memperhatikan apa yang

dikatakan orang lain saja tetapi juga apa yang dilakukannya. Berlangsungnya

suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain:

a) Imitasi adalah tindakan sosial meniru sikap, tindakan seseorang secara

berlebihan.

b) Sugesti adalah pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak

kepada pihak lain

c) Identifikasi adalah kencerungan diri seseorang untuk menjadi sama

dengan orang lain dan proses identifikasi ini berlangsung secara

15

kurang disadari oleh seseorang.

d) Simpati adalah proses seseorang merasa tertarik dengan orang lain,

agar dapat berlangsung diperlukan adanya pengertian antara kedua

belah pihak.

Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-senriri secara terspisah

maupun dalam keadaan tergabung. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang

memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian

diterima oleh pihak lain. Proses ini hampir sama dengan imitasi akan tetapi titik

tolaknya berbeda. Identitas adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri

seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Sedangkan proses simpati

merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik dengan pihak lain. Didalam

proses ini perasaan memegang peranan yang sama penting (Soerjono

Soekanto,1990:67).

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini

disampaikan berbentuk narasi diskripif dengan analisis pendekatan induktif.

Tujuannya adalah memberikan gambaran menyeluruh terhadap kajian yang diteliti

sehingga dapat memberikan penjelasan yang sesuai dan tepat. Proses pemaknaan

(perspektif subjek) menjadi hal yang ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai

dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk

memberikan gambaran umum mengenai latar belakang penelitian dan sebagai

16

bahan pembahasan hasil penelitian.

Perolehan data dilakukan melalui penelitian yang digali secara alamiah.

Selanjutnya peneliti melakukan pengembangan data berdasarkan kebutuhan

penelitian dan sesuai dengan kondisi kenyataannya. Fokus dari penelitian terletak

pada studi deskriptif yang menggambarkan fenomena dan fakta yang terjadi dalam

pembentukan identitas kolektif Jogja Runners serta perkembangan dan proses

interaksi yang terjadi di dalamnya.

1. Unit Analisis

Unit analisis penelitian ini terdiri dari anggota Jogja Runners yang

berpenampilan menyerupai karakter tokoh dan menggunakan atribut Running

Man untuk menunjukkan identitasnya. Pemilihan unit analisis ini dilakukan

berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian yaitu merupakan kelompok

pecinta budaya Korea yang merepresentasikan identitas kelompoknya sesuai

dengan acara Running Man dan memiliki pemaknaan atas pengunaan atribut

pakaian, pin, sticker dan Yel- Yel sebagai simbol kecintaan terhadap Running Man

sekaligus identitas kolektifnya. Melihat kecenderungan tersebut, mendorong rasa

keingintahuan dari penulis untuk melakukan penelitian secara mendalam

mengenai kelompok ini. Jumlah dari aggota Jogja Runners yang akan diteliti

berjumlah 10-15 orang, tergantung pada kebutuhan data dan kualitas dari subjek

penelitian yang terdiri dari beberapa kalangan pelajar, mahasiswa dan pekerja,

dengan tingkat usia yang berbeda.

17

2. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti membutuhkan beberapa metode untuk melengkapi data dalam

penelitian ini, antara lain dengan:

a). Observasi

Kegiatan observasi dilakukan peneliti ditempat komunitas Jogja

Runners melakukan kegiatan. Selain itu peneliti juga melakukan

observasi di lokasi yang berbeda sesuai dengan keberadaan informan

yang merupakan anggota komunitas Jogja Runners. Observasi ini

dilakukan untuk memaparkan gambaran realita atau kejadian yang

terdapat di lokasi penelitian. Dalam melakukan observasi, peneliti

mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Jogja

Runners. Selain itu, peneliti juga mengamati penampilan para anggota

komunitas yang menunjukkan identitas komunitas Jogja Runners

sebagai penggemar acara Running Man.

b.) Wawancara

Wawancara dalam penelitian ini merupakan salah satu media

pembuktian atas informasi atau keterangan yang sebelumnya telah

diperolah melalui melalui kegiatan observasi. Adapun teknik

wawancaranya adalah In-Depth Interview atau teknik wawancara

mendalam dipilih peneliti dalam penelitian ini. Wawancara mendalam

merupakan suatu proses mendapat keterangan, yaitu melakukan

kegiatan tanya – jawab secara langsung dengan 10-15 informan

(anggota komunitas Jogja Runners) dengan menggunakan panduan

18

wawancara berupa garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam

proses wawancara. Pokok pernyataan wawancara ditekankan pada

identitas yang dimunculkan dan proses interaksi antar anggota yang

mempengaruhi identitas Jogja Runners yang menjadi bagian dari topik

wawancara.

c.) Dokumentasi

Dokumentasi dalam penelitian ini mengambil segala macam bentuk

data pendukung penelitian, berupa gambar, artikel, data statistik, hasil

rekaman kaset dan video, dan lainnya. Hal ini dilakukan untuk

menjadi data pendukung laporan penelitian selain hasil studi

wawancara dengan anggota komunitas. Peneliti banyak mengambil

gambar dari lapangan berupa kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh

komunitas Jogja Runners serta contoh gaya penempilan para anggota

komunitas. Hal tersebut dapat membantu peneliti dalam melakukan

proses pengolahan data.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data dibedakan dalam dua kategori, yaitu data primer dan

data sekunder.

a.) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari informan secara langsung

melalui proses wawancara ataupun dari proses pengamatan. Menurut

Moleong (2000) informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk

19

memberikan informasi tentang situasi atau kondisi latar belakang

penelitian serta mempunyai pengalaman atau pengetahuan tentang latar

belakang penelitian. Untuk itu yang menjadi informan dalam penelitian

ini adalah para anggota komunitas penggemar acara Running Man,

diantaranya adalah:

1. CEO Jogja Runners.

2. PD (Production Director) Jogja Runners.

3. VJ (Video Journalist atau Cameraman) Jogja Runners.

4. FD (Floor Director) Jogja Runners.

5. Player di Jogja Runners dan orang-orang yang menyukai progam

acara Running Man dan pernah mengikuti acara di komunitas Jogja

Runners.

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh sari sumber kedua selain

data dari lapangan. Peneliti menggunakan data dari literatur, jurnal,

buku serta data yang diakses dengan internet (facebook, twitter, dan site

blog) atau hasil penelitian sebelumnya. Dengan demikian data sekunder

berfungsi untuk melengkapi dan mendukung data primer.

5. Analisa Data

Dalam penelitian ini, pendekatan untuk menganalisa data lapangan

mengacu pada teori identitas Stuart Hall. Melalui teori tersebut dapat dilihat

bagaimana proses interaksi yang menjadi sarana akulturasi yang terjadi dalam

20

komunitas Jogja Runners dapat mempengaruhi identitas pribadi melalui cara

berperilaku, bertutur kata, dan berpakaian dengan atribut Running Man. Selain itu

juga untuk menunjukkan identitas yang dimunculkan anggota Jogja Runners

sebagai identitas kelompok atau kolektif. Identitas kolektif dalam hal ini identitas

kelompok menegaskan bagaimana orang-orang cenderung serupa satu dengan

lainnya, serta memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Nilai-nilai tersebut

nantinya memberikan pengaruh terhadap pembentukan identitas pribadi seseorang

seperti bagaimana cara dia bersikap dan berpenampilan di masyarakat.

Media massa merupakan salah satu media sosialisasi yang kuat dalam

pembentukan keyakinan-keyakinan baru atau mempertahankan keyakinan yang

ada. Kemajuan teknologi media massa dan keterbukaan informasi memudahkan

akses masuknya budaya Korea kedalam negeri. Masuknya budaya luar tersebut,

kemudian tidak diterima begitu saja. Tetapi mengalami proses yang bertahap

dengan membutuhkan waktu yang lama sehingga terjadi akulturasi.

Selain media masa, juga terdapat kelompok sosial sebagai media

sosialisasi, dimana dalam kelompok sosial terdapat proses interaksi antar anggota

sehingga memudahkan untuk membentuk akulturasi budaya melalui cara

mereproduksi kembali produk budaya tersebut dengan percampuran budaya baru

dan budaya lokal. Interaksi kemudian menjadi salah satu sarana akulturasi itu

terjadi. Dan akulturasi tersebut mempengaruhi dalam membentuk identitas pribadi

maupun kelompok.

Tahap analisis data merupakan sebuah proses pencarian dan penyusunan

data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, catatan lapangan, dan studi

21

dokumentasi dengan mengorganisasikan data ke sintesis, menyusun ke dalam

pola, memilih data yang penting dan data yang dipelajari serta membuat

kesimpulan agar mudah dipahami. Terdapat tiga teknik analisa data kualitatif,

yaitu :

a) Reduksi data adalah proses pemilihan dan penyederhanaan dari

data kasar dalam catatan penliti yang berasal dari lapangan. Proses

reduksi data dilakukan dengan mengkategorikan hasil wawancara

berdasarkan aspek-aspek yang diteliti. Setelah pengumpulan data

dilakukan, peneliti mampu merekam data lapangan dalam bentuk

catatan lapangan (field note), selanjutya data harus diseleksi

sehinggga muncul data relevan dengan fokus masalah.

b) Display atau penyajian data dilakukan dengan membentuk

sejumlah daftar ketegori setiap data yang didapat, penyajian ini

digunakan dalam bentuk teks naratif. Untuk meminimalisir

banyaknya data yang diambil, peneliti sebaiknya mampu menyusun

data yang diperoleh secara sistematis agar sesuai dengan rumusan

masalah.

c) Langkah terakhir dari proses analisis data ini adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan sementara masih

dapat diuji kembali dengan data lapangan. Hal ini dilakukan agar

peneliti dapat mencapai kebenaran ilmiah. Setelah hasil penelitian

diuji kebenarannya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan dalam

bentuk deskriptif sebagai laporan penelitian.

22