29
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kehadiran komunikasi sebagai suatu bidang studi mendorong aspek lain yang mendukung keberadaannya menjadi perkara penting baik bagi perkembangan studi tersebut maupun eksistensinya dalam dinamika sosial. Komunikasi sebagai studi yang memiliki fokus utama pada media menjadikan khalayak sebagai main concern. Oleh karena itu, adanya penelitian khalayak sebagai penunjang studi komunikasi penting untuk dilaksanakan demi mencapai tujuan tertentu. Dalam buku Audience Research (Endang S. Sari, 1993), disebutkan peran khalayak adalah untuk memperkuat eksistensi komunikasi dalam jajaran ilmu-ilmu sosial maupun dalam meningkatkan kualitas media yang digunakan. Penelitian mengenai khalayak harus ditingkatkan sehingga eksistensi ilmu komunikasi akan semakin kuat dan berkembang, dan media selalu berperan efektif dan efisien dalam proses pembangungan. Status audiens pada media-media massa atau konvensional seperti cetak, televisi dan radio, dapat dikatakan pasif atau bisa disebut juga dengan pembaca aktif, sehingga tidak ada interaktivitas yang terjadi antara media dengan audiens. Namun seiring perkembangan zaman, khalayak tidak bisa menghindari perubahan konstruksi media. Kehadiran media baru di masyarakat kemudian membuat status khalayak yang semulanya merupakan penerima pesan dari media konvensional, menjadi khalayak yang memiliki kekuasaan untuk memilih pesan yang ingin ia akses sebagai konsumsi pribadi. Media baru kemudian menciptakan konsep dimana mulanya merupakan media ‘massa’ menjadi media ‘saya’ (bermakna kepemilikan). Sonia Livingstone (1999), menyatakan dalam artikelnya berjudul ‘New Media? New Audiences?‘ bahwa dalam media baru hal yang terjadi adalah multiplication of personally owned media (penggandaan media yang dimiliki 1

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94572/potongan/S1-2016... · Kehadiran komunikasi sebagai suatu bidang studi mendorong aspek lain

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kehadiran komunikasi sebagai suatu bidang studi mendorong aspek lain

yang mendukung keberadaannya menjadi perkara penting baik bagi

perkembangan studi tersebut maupun eksistensinya dalam dinamika sosial.

Komunikasi sebagai studi yang memiliki fokus utama pada media menjadikan

khalayak sebagai main concern. Oleh karena itu, adanya penelitian khalayak

sebagai penunjang studi komunikasi penting untuk dilaksanakan demi mencapai

tujuan tertentu. Dalam buku Audience Research (Endang S. Sari, 1993),

disebutkan peran khalayak adalah untuk memperkuat eksistensi komunikasi dalam

jajaran ilmu-ilmu sosial maupun dalam meningkatkan kualitas media yang

digunakan. Penelitian mengenai khalayak harus ditingkatkan sehingga eksistensi

ilmu komunikasi akan semakin kuat dan berkembang, dan media selalu berperan

efektif dan efisien dalam proses pembangungan.

Status audiens pada media-media massa atau konvensional seperti cetak,

televisi dan radio, dapat dikatakan pasif atau bisa disebut juga dengan pembaca

aktif, sehingga tidak ada interaktivitas yang terjadi antara media dengan audiens.

Namun seiring perkembangan zaman, khalayak tidak bisa menghindari perubahan

konstruksi media. Kehadiran media baru di masyarakat kemudian membuat status

khalayak yang semulanya merupakan penerima pesan dari media konvensional,

menjadi khalayak yang memiliki kekuasaan untuk memilih pesan yang ingin ia

akses sebagai konsumsi pribadi. Media baru kemudian menciptakan konsep

dimana mulanya merupakan media ‘massa’ menjadi media ‘saya’ (bermakna

kepemilikan). Sonia Livingstone (1999), menyatakan dalam artikelnya berjudul

‘New Media? New Audiences?‘ bahwa dalam media baru hal yang terjadi adalah

multiplication of personally owned media (penggandaan media yang dimiliki

1

secara pribadi), dimana dalam konsep tersebut maka subjek yang dibahas

merupakan khalayak yang berubah menjadi pengguna media baru. Apa yang

disebur ‘baru’ dalam media baru justru adalah perluasan dari pemahaman

mengenai khalayak yang ditujunya akibat dari perubahan konstruksi media bukan

perubahan fundamental dari konteks khalayak itu sendiri.

! Bergesernya peran audiens dalam media baru ini kemudian menimbulkan

pertanyaan pada aspek penelitian audiens. Walaupun begitu, penelitian audiens

media baru tetap penting untuk dilaksanakan karena sifat audiens yang semakin

terfragmentasi, semakin sulit ditebak dan bagaimana media baru tersebut memiliki

konsep tersendiri yang dihadapi oleh audiens atau penggunanya (Livingstone,

1999). Konsep analisis resepsi audiens adalah dengan munculnya teori Stuart

Hall, terutama pada konsep mendasarnya yaitu model encoding-decoding dimana

pesan di buat oleh produsen dengan tujuan tertentu dan dimaknai oleh konsumen

dengan makna yang berbeda sesuai latar belakang masing-masing (Hall, 1993).

Penelitian mengenai aktivitas resepsi atau pemaknaan pada pengguna

media baru ini menarik diterapkan ketika melihat iklan Unilever berjudul “Why

Bring A Child into This World?” dimana iklan tersebut merupakan introduksi dari

kampanye mereka, Project Sunlight. Menariknya, iklan ini menggunakan media

baru, spesifiknya YouTube sebagai media untuk mempublikasikannya. Berdasar

Google Think Insights, 2014, telah dianalisa bahwa iklan “Why Bring A Child into

This World?” ini mencapai 77,000,000 views (istilah dalam ranah situs YouTube

untuk jumlah orang yang menonton), terhitung banyak bagi sebuah video iklan,

dari situs YouTube meliputi lima negara (Think with Google, 2014)1. Data tersebut

kemudian mencapai konklusi bahwa iklan berdurasi 4 menit 25 detik ini bersifat

viral, dimana banyak pengguna media baru yang telah menonton iklan tersebut

membagikan link iklan ke situs atau media sosial lain yang mereka miliki dan

mengindikasikan bahwa banyak pengguna media baru memandang iklan ini

1 Sebuah case study yang menganalisa fenomena suksesnya viral campaign ad “Why Bring A Child to This World?” milik Unilever sebagai iklan yang memanfaatkan TrueView YouTube Campaign.

2

menarik dan mengandung urgensi untuk ditonton oleh khalayak lebih luas karena

pesan lingkungan yang ada didalamnya.

Sebagaimana iklan berfungsi sebagai salah satu medium yang membantu

penyampaian prinsip, tidak terkecuali dalam hal isu lingkungan yang memiliki

kepentingan sama dengan isu lainnya untuk disampaikan melalui iklan. Dalam

menegaskan perihal tersebut, maka terdapat beberapa argumen yang

membuktikan bahwa kepentingan isu lingkungan sebagai informasi dapat

mencapai suatu signifikansi. Informasi lingkungan selalu di bagian atas daftar

prioritas bagi masyarakat dan individu sejak zaman kuno, karena dianggap

penting untuk kelangsungan hidup dan syarat mencapai kemakmuran (Scharl,

2004). Mulanya pesan lingkungan disampaikan melalui iklan rupanya permintaan

khalayak sebagai konsumen sendiri, dimana mencapai kesimpulan bahwa ternyata

tidak sedikit orang memiliki perhatian terhadap lingkungan. Saat ini, produksi

data lingkungan meningkat secara drastis, sementara tambahan saluran

komunikasi yang tersedia untuk penyampaian informasi tersebut telah meningkat

dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi yang menawarkan potensi

dalam menyediakan informasi yang dapat diandalkan warga mengenai lingkungan

secara komprehensif dan sesuai jaman, terutama pada kasus-kasus tertentu di

mana urgensi terkait masalah lingkungan tampak nyata (Scharl, 2004:3).

Dengan banyaknya permintaan dari masyarakat untuk menyertai isu

lingkungan dalam media termasuk iklan, maka banyak pelajar yang membuat

manfaat media dalam menyampaikan pesan lingkungan tersebut sebagai sebuah

bidang studi. Para sarjana yang menggeluti bidang komunikasi massa mulai

melaksanakan studi sistematis mengenai pengaruh penggambaran lingkungan dari

media terhadap sikap publik (Anderson, 1997;. Shanahan & McComas, 1999, hal

26-27). Pada tingkat yang lebih konseptual, studi komunikasi lingkungan

berkontribusi terhadap teori-teori tentang komunikasi manusia itu sendiri.

Misalnya, fokus pada peran verbal, seni, simbol, dan sebagainya dalam

mendefinisikan atau merepresentasikan hubungan manusia dengan lingkungan,

3

hal tersebut mungkin adalah contoh paling jelas dari pernyataan bahwa

komunikasi manusia dimediasi dengan pemahaman dari dunia luar yang

melampaui bayangan kita (Cox, 2013:5). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa

representasi lingkungan dalam iklan tetap menjadi persoalan untuk khalayak

cermati yang melalui proses interpretasi. Isu lingkungan memang sedari dulu

merupakan ihwal yang penting untuk didiskusikan oleh masyarakat maka banyak

yang menganggap penting isu lingkungan sering disampaikan melalui media

iklan. Oleh karena itu, adanya aktivitas resepsi pada pesan lingkungan dalam

iklan Unilever “Why Bring A Child into This World?” merupakan ihwal penting

untuk didalami lebih lanjut.

Untuk mendeskripsikan iklan ini, iklan yang disamping merupakan

kategori iklan Public Service Announcement/Advertisement (PSA) atau Iklan

Layanan Masyarakat, iklan ini juga merupakan iklan eksperimen, dimana mereka

mewawancarai beberapa pasangan orang tua muda yang sedang dalam penantian

anak pertama. Satu per satu pasangan muda tersebut diperlihatkan sebuah film

mengenai kondisi dunia saat ini, dan dalam film tersebut terdapat narator yang

menjelaskan mengapa saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk melahirkan

anak, secara ironis dikaitkan dengan masa depan dan kondisi dunia kini.

Kemudian di picu dengan pertanyaan “Why Bring A Child into This World?”.

Para pasangan muda lalu masing-masing menjawab pertanyaan tersebut dari sudut

pandang mereka. Penggambaran iklan ini menuai banyak ulasan mengenai

deskripsi iklan tersebut maupun dari sisi pembuat iklan yaitu Unilever. Salah

satunya berasal dari AdWeek2 yang mendeskripsikan iklan “Why Bring A Child

into This World” ini: “..........as real expectant parents share their hopes and fears about the world their

kids will inherit. They also react as they watch a movie that mixes footage of violence and despair with hopeful messages about the

future.” (Gianatasio, 2013)

2 Adweek adalah majalah dan situs yang mencakup berita media, termasuk dalam bentuk cetak, maupun dari sisi perkembangan teknologi, meliputi iklan, informasi mengenai branding dan juga televisi.

4

Dalam situs Thinkwithgoogle.com (2014) yang berisi analisa atau studi

kasus mengenai prospeksi dari iklan ini sebagai introduksi Project Sunlight

sebuah kampanye yang dibentuk oleh Unilever, menyatakan tujuan dari iklan

tersebut yang meliputi dua poin utama. Yaitu, “Encourage consumers to live more

sustainably” serta “Engage users in Unilever's long-term initiative, "Project

Sunlight" (Thinkwithgoogle, 2014). Dari analisa situs ini, maka kedua hal tersebut

merupakan tujuan utama dari penyampaian iklan “Why Bring A Child into this

World?” yang dikaitkan dengan tujuan kampanye Project Sunlight. Iklan

WBACTTW sebagai introduksi dari Project Sunlight tersebut memiliki makna

pesan iklan yang tidak lepas dari tujuan kampanye itu sendiri, walaupun begitu ia

menggunakan konsep yang lebih subtil, pesan yang dimana dalam

keimplisitannya tersebut memiliki maksud. Dapat terlihat dari judulnya bahwa ia

mempertanyakan hal yang krusial juga menggunakan sosok anak.

Konten dari iklan ini adalah mencoba menyampaikan pesan serta

menumbuhkan persepsi bahwa ada kesinambungan yang sangat nyata antara

memiliki anak dan kehidupan berkelanjutan. Konsep kehidupan atau

pembangunan berkelanjutan (dimana negara maju menyebutnya sustainable

development/life) sebagai pesan utama yang disampaikan secara implisit dalam

iklan ini, sangat berkaitan erat dengan lingkungan. Karena faktor paling penting

yang mendukung agar sustainable life ini tercapai, adalah lingkungan. Perdebatan

atau perbincangan mengenai sustainable life/development cenderung selalu

mengarah kepada ilustrasi masa depan, mencakup diskusi seputar generasi,

regenerasi, populasi dan akses demi mencapai kehidupan yang layak. Mulai dari

sanitasi serta pangan untuk menafkahi generasi masa depan (WCED, 1987).

Maka dari konsep tersebut kemudian bisa disimpulkan bahwa pesan lingkungan

tersirat dalam iklan ‘Why Bring A Child into This World?’.

! Sesuai pendeskripsian Adweek tersebut, iklan ini menggambarkan

hubungan mengenai memiliki anak dengan dunia yang akan diwariskan

kepadanya. Iklan ini juga mengajak masyarakat (terutama orang tua) agar berfikir

5

ulang mengenai hubungan tersebut dipicu dengan judul utama “Why Bring A

Child into This World?”. Hal fundamental lain dari ajakan tersebut adalah tetap

optimis bahwa masa depan generasi anaknya kelak lebih baik jika para orang tua

tersebut tetap melahirkan anak ke dunia ini dan sesuai analisa Thinkwithgoogle,

iklan ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar memulai gaya hidup yang

lebih baik dengan bergabung Project Sunlight.

Iklan ini merupakan iklan yang dapat dikategorikan sebagai iklan soft-sell

karena yang ia jual dan tonjolkan adalah ide daripada produk. Mengutip definisi

dari situs AdAge3, “Soft-sell advertising, is more subtle and indirect. The

assumption about consumer decision-making underlying the soft-sell strategy is

that such decisions are based on feelings.” (AdAge, 2003). Faktor tersebut yang

kemudian akan membuat pemaknaan khalayak semakin bervariasi, karena

disamping iklan ini membahas suatu fenomena atau isu yang bisa dikatakan

krusial dan sedang marak didiskusikan serta dipermasalahkan di dunia, namun

karena common sense mayoritas orang jika menonton iklan kemungkinan besar

yang terjadi adalah orientasinya pada sifat komersil iklan. Khalayak sebagai

bagian dari masyarakat dengan konstruksi sosial yang dinamis memiliki ruang

publik untuk mempertanyakan segala gejala yang ia dapat atau konsumsi dari

media tertentu. Dalam penelitian ini aspek yang dapat mereka ambil dan

pertanyakan dari iklan “Why Bring A Child into This World?” adalah pesan

lingkungannya.

Dua aspek kuat sebagai faktor pentingnya pesan lingkungan dalam iklan

“Why Bring A Child into This World?” ini memiliki urgensi untuk diresepsi adalah

pertama, bagaimana penerapan green marketing dalam iklan ini dengan memuat

isu lingkungan secara subtil merupakan faktor penting untuk diteliti lebih lanjut.

Kedua, bagaimana makna dari pesan lingkungan tersebut memiliki beberapa motif

tertentu, terutama dengan fakta Unilever sebagai pembuat iklannya. Pertama,

3 AdAge adalah sumber berita terkemuka dan global, sumber inteligensi serta percakapan bagi komunitas media dan marketing.

6

dengan dukungan banyak pihak bahwa representasi lingkungan dalam iklan

sebenarnya juga menyokong proses komunikasi manusia dari simbol dan makna

yang ada didalamnya, maka iklan “Why Bring A Child into This World?” ini

merupakan salah satu dari bentuk iklan tersebut. Representasi isu lingkungan

dapat dilihat dari segi budaya terkini yaitu budaya populer dan konsep green

marketing merupakan istilah pemasaran yang diduga baik untuk lingkungan

maupun orang lain. Apa yang dapat dianggap baru dari iklan lingkungan di era

budaya populer adalah bagaimana ilustrasi alam membentuk budaya populer

tersebut dan pengaruhnya pada sikap masyarakat umum terhadap lingkungan.

Dalam iklan ini, penyajian ilustrasinya jelas mengindikasikan hubungan manusia

dengan lingkungan seperti halnya yang diterapkan oleh green marketing tersebut.

Banyak figur anak kecil yang semakin membuat pesan tersebut kuat sehingga

menimbulkan makna korelasi antara anak dengan lingkungan. Dimana Cox (2013)

sudah menyebutkan bahwa adanya peran ilmu komunikasi dalam memediasi

pesan lingkungan dengan menyertakan simbol dan pengetahuan perlu diadaptasi

oleh manusia sebagai khalayak. Dalam iklan “Why Bring A Child into This

World?” ini, figur anak tersebut menyiratkan simbol kuat.

Kedua, menariknya jika memperhatikan lebih dari sisi pembuat iklan yaitu

Unilever, banyak juga ulasan mengenai fakta dibalik perbuatannya sejak rilisnya

iklan “Why Bring A Child into This World?”. Terutama berkaitan dengan

kontroversi perbuatannya terhadap lingkungan. Hal ini kemudian kembali pada

penerapannya dengan green marketing tersebut. Sebagai produsen pesan ia

memiliki tujuan pemasaran sendiri dengan menyertakan kampanye Project

Sunlight dan pesan lingkungan dalam iklannya. Dalam sebuah ulasan mengenai

keseluruhan intensi Unilever tersebut dari sisi kampanye maupun iklan dari situs

Adweek, secara garis besar mencoba mengambil sudut pandang dari Unilever

sebagai pembuat iklan,

7

“Whether the “Why Bring A Child Into This World?” video and “Project Sunlight” are real moves toward corporate responsibility and sustainability, or

just a greenwashing image makeover for Unilever is hard to say.” (Oster, 2013)

Pernyataan tersebut tidak mengkritik walaupun bersifat sinis. Secara jelas ia

menyadari bahwa Unilever dalam menerapkan green marketing dimana disebut

dalam kalimatnya ‘greenwashing image makeover’ ini memiliki tujuan tertentu

walaupun ia mengakui tidak mudah untuk menghakiminya. Sebagai salah satu

faktor penting, tujuan sebenarnya adanya iklan ini yang semakin membuat

penerapan resepsinya memiliki kepentingan untuk diteliti.

Khalayak sebagai masyarakat kritis dan menjadi bagian dari

perkembangan atau kemunduran lingkungan berhak berkontribusi dalam

lingkungan maupun memandang isunya sesuai pemahaman pribadi. Disisi lain,

persepsi mereka mengenai isu lingkungan dari media patut didalami lebih lanjut.

Terutama jika mereka terbagi ke dalam berbagai lapisan kegiatan sesuai

partisipasi mereka terhadap lingkungan yang akan membuat aktivitas resepsi

terhadap iklan “Why Bring A Child Into This World?” milik Unilever semakin

berpengaruh kepada perkembangan baik bagi penyampaian isu lingkungan

melalui media iklan tersebut maupun Unilever sebagai instansi. Sehingga iklan

“Why Bring A Child into This World?” yang memiliki tujuan untuk

menyampaikan ke khalayak luas dengan berhasil membuatnya viral di media

baru, juga dengan makna dan simbol hubungan manusia dengan lingkungan yang

tersirat, dan dengan beragamnya interpretasi khalayak pada isu lingkungan dalam

media termasuk iklan, maka menarik adanya pendalaman lebih lanjut mengenai

interpretasi mereka terhadap pesan lingkungan dalam iklan WBACTTW ini yang

pada akhirtnya dapat membentuk proses komunikasi antar manusia itu sendiri.

8

1.2 ! RUMUSAN MASALAH

! Berdasar latar belakang tersebut maka dapat disimpulkan rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah, Bagaimana resepsi khalayak terhadap pesan

lingkungan dalam iklan Unilever berjudul ‘Why Bring A Child Into This World?’

yang dipublikasikan melalui media baru?

1.3! TUJUAN PENELITIAN

! Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui resepsi khalayak, dalam

konteks ini pengguna media baru, terhadap pesan lingkungan terkait dengan

kehidupan berkelanjutan sebagai isu dunia yang didasari oleh banyaknya

permintaan agar disampaikan melalui iklan. Maka, khusus dalam penelitian ini

yaitu dari iklan Unilever berjudul “Why Bring A Child Into This World?”.

1.4! MANFAAT PENELITIAN

! a. Membantu memberikan sumbangsih kepada ilmu komunikasi terutama

pada ranah iklan, serta membantu penelitian lainnya yang menggunakan metode

analisis resepsi yang diterapkan pada media baru.

b. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan inspirasi bagi agensi atau

institusi pengiklan lainnya untuk memuat nilai spesifik berkaitan dengan isu

krusial seperti halnya lingkungan, dalam pembuatan iklan yang kemudian dapat

menjadi ruang diskusi khalayak.

9

1.5! KERANGKA PEMIKIRAN

! 1.5.1! Khalayak sebagai Audiens Media Baru

! Ilmu komunikasi sebagai studi yang memiliki fokus utama pada media,

menaruh perhatian yang besar pada khalayak. Selain karena peran mereka sebagai

audiens namun juga relasi yang timbul dari khalayak dengan media merupakan

faktor penting yang dapat membentuk dinamika sosial. Secara definitif khalayak

dalam konteks umum dapat diartikan sebagai kelompok besar orang yang dituju

dalam proses komunikasi. Atau secara singkat dapat dikatakan sebagai pengguna

jasa media. Khalayak secara umum memiliki empat karakter, yang dapat menjadi

deskripsi representasif mereka (Endang S. Sari, 1993), pertama, mereka bersifat

heterogen, karena berasal dari berbagai lapisan sosial, pendidikan, aneka budaya,

dan agama. Kedua, khalayak bersifat anonim. Khalayak tidak mengenali dari

siapa pesan tersebut mereka terima, bahkan diantara khalayak sendiri mereka

tidak mengenal satu sama lain. Ketiga, unbound to each other, khalayak tidak

terikat satu sama lain sehingga terkadang sulit untuk digerakkan pada suatu tujuan

tertentu. Keempat, isolated from one another, khalayak cenderung tertutup satu

sama lain seperti atom-atom yang terpisah. Empat karakter tersebut

mencerminkan khalayak secara umum, namun belum sepenuhnya menjelaskan

apa posibilitas yang dapat terjadi oleh tindakannya.

Khalayak sebagai bagian penting dalam komunikasi bahkan termasuk

proses komunikasi itu sendiri, memang tidak berkuasa pada pesan yang mereka

terima atau akses dari media, namun sebagai bagian dari masyarakat mereka

memiliki hak untuk membuat feedback terhadap pesan. Dari sisi tersebut, maka

media tidak memiliki kekuasaan apapun. Selama ini khalayak merupakan istilah

yang seringkali digunakan dalam konteks media massa. Namun timbulnya

globalisasi yang mengakibatkan perkembangan teknologi dan informasi sebagai

fondasi dari eksistensi media, maka media tidak lagi stagnan pada media massa

atau konvensional. Media baru kemudian muncul dan bahkan terus berkembang

10

yang menciptakan konsep khalayak baru dimana peran dan status mereka bukan

lagi hanya sebagai ‘penerima’ seperti halnya pada media massa. Khalayak dalam

media baru berperan aktif dalam memilih secara sadar informasi yang ingin

mereka akses sebagai konsumsi pribadi. Media baru menciptakan konsep dimana

semula istilahnya adalah media ‘massa’ yang kemudian menjadi media ‘saya’.

Akibatnya hubungan khalayak dengan media, ditafsirkan dengan tidak hanya

dalam hal membaca, melihat atau mendengarkan khalayak dapat beraktivitas

dengan media, tetapi juga dalam hal menggunakan, mengkonsumsi, dan memiliki

(Livingstone, 2002:8). Tidak ada istilah atau eksplanasi yang tepat untuk

mendeskripsikan relasi khalayak dengan media. Karena istilah ‘audiens’ kurang

tepat untuk merepresentasikan peran khalayak dalam media baru, maka banyak

penelitian mengenai khalayak saat ini menggunakan istilah ‘users’.

Beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam kehadiran media baru,

kemudahan khalayak dalam mengaksesnya terutama ketika koneksi internet dapat

diterima dimana saja bahkan portable gadgets, yang kemudian hal tersebut

menimbulkan konsep relasi baru antara khalayak dengan media. Livingstone

dalam New Media? New Audiences? (1999), membuat pernyataan bahwa media

baru mengadopsi konsep yang agak inklusif, yang memungkinkan wujudnya

pandangan lebih luas dari semua yang disediakan oleh media baru. Apa yang

‘baru’ dari kehadiran media baru bukan lagi berfokus pada teknologi yang

ditawarkan, walaupun itu perubahan fisik yang signifikan, namun pada konsep

khalayak yang ia ciptakan dan posibilitas yang dapat terjadi setelahnya. Pertama,

adanya konsep multiplication of personally owned media (penggandaan media

yang dimiliki secara pribadi). Media baru menyediakan beragam konten dimana

khalayak dapat melakukan beberapa aktivitas secara serempak yang tidak dapat ia

terapkan ketika ia menjadi khalayak media massa. Konsep ini kemudian memicu

reformulasi dari relasi khalayak dengan media yang semulanya adalah konsumsi

publik menjadi konsumsi pribadi. Kedua, konsep yang diciptakan media baru

adalah diversifying forms and contents (diversifikasi wujud dan isi dari media).

11

Konsep ini menekankan bahwa sejauh mana diversifikasi tersebut dapat

memfasilitasi budaya barat yang lebih luas menuju individualisasi. Ketiga,

merupakan konsep dan perubahan yang sangat radikal, dan lebih prospektif dari

perubahan yang lain adalah pergeseran dari satu arah komunikasi massa, menuju

komunikasi yang lebih interaktif antara media dan pengguna. Dengan kata lain,

media engagement yang terjadi pada interaksi antara pengguna dengan media baru

lebih variatif dan bila terjadi perubahan dengan konstruksi khalayak media baru

dari khalayak media lainnya, adalah karena sifat media baru tersebut yang

menciptakan konstruksi khalayak baru tersebut.

Dapat disimpulkan benang merah dari penjelasan mengenai khalayak

sebagai media baru dan secara umum merupakan bagian penting agar proses

komunikasi dapat berjalan dan terus berkembang. Pentingnya peran khalayak

menentukan masa depan komunikasi, maupun sebagai proses sosial dan sebagai

ilmu. Kehadiran khalayak memperkuat eksistensi komunikasi dalam jajaran ilmu-

ilmu sosial maupun dalam meningkatkan kualitas media yang digunakan. Satu

prosedur yang dapat mendukung dan membuktikan bahwa khalayak adalah faktor

penting dalam konstruksi sosial adalah dengan adanya penelitian mengenai

khalayak. Penelitian khalayak harus ditingkatkan sehingga eksistensi ilmu

komunikasi akan semakin kuat dan berkembang, dan media selalu berperan

efektif serta efisien dalam proses pembangunan.

!

! 1.5.2! Teori Resepsi serta Penerapannya Pada Media Baru dan

! ! Iklan!

! Resepsi merupakan aktivitas yang terjadi ketika seorang individu melihat

atau membaca suatu konten dari media tertentu dan kemudian memicu pemaknaan

yang ia simpulkan berdasar latar belakang budaya maupun sosial yang ia miliki.

Teori resepsi dikembangkan oleh Stuart Hall, dimana teori tersebut menjadi

panutan dan seakan-akan kiblat dari penelitian audiens dimanapun yang

menggunakan metode analisis resepsi. Analisis ini memandang bahwasanya

12

khalayak mampu selektif memaknai dan memilih makna dari sebuah teks berdasar

posisi sosial dan budaya yang mereka miliki (Bertrand&Hughes, 2005:39). Stuart

Hall menganggap bahwa resepsi atau pemaknaan khalayak pada pesan atau teks

media merupakan adaptasi dari model encoding-decoding, dimana model

komunikasi tersebut ditemukan oleh Hall pada tahun 1973. Model komunikasi

"Encoding-Decoding"yang dicetuskan oleh Stuart Hall pada dasarnya menyatakan

bahwa makna dikodekan (encoded) oleh pengirim dan diterjemahkan (decoded)

oleh penerima dan bahwa makna yang encoded dapat diterjemahkan menjadi hal

yang berbeda oleh penerima. Itu berarti, pengirim mengkodekan makna dalam

pesan sesuai dengan persepsi dan tujuan mereka. Sedangkan persepsi dan pesan

yang diterjemahkan oleh penerima sesuai dengan pemahaman dan persepsi

mereka sendiri (Hall 1993, 91). Berikut pendeskripsian model encoding-decoding

sesuai Stuart Hall dalam ilustrasi bagan pada gambar 1.1 sesuai yang sudah

dicakup dalam Hall (2006).

Gambar 1.1 Model Encoding/Decoding Stuart Hall

13

Gambar bagan 1.1 tersebut menggambarkan bagaimana proses encoding-decoding

tersebut berjalan secara struktural. Terlihat bahwa untuk melakukan tahap

encoding yang merupakan proses dari produsen pesan, maka melewati beberapa

prosedur yang membentuk encoding tersebut, yaitu technical structure, relations

of production, dan framework of knowledge. Ketiga hal tersebut yang menjadi

faktor-faktor utama bagaimana produsen mengkonstruksi pesan tertentu.

Kemudian dari proses encoding tersebut membentuk titik tengah yaitu wacana

berisikan makna yang dalam bagan tersebut dinamai ‘meaningful’ discourse.

Kemudian wacana tersebut melanjutkan proses pada decoding oleh konsumen

pesan atau khalayak dimana makna yang mereka dapat dari wacana tersebut

membentuk tiga faktor utama yang juga berada pada proses membentuk tahapan

encoding. Model encoding-decoding ini tidak lepas dari pengaruh lapisan sosial

serta latar belakang budaya dan kerangka referensi masing-masing.

Untuk menyimpulkan kategori khalayak dalam penerimaan pesan sangat

tergantung pada dinamika sosial yang dominan disekitar mereka. Pengalaman dan

latar belakang budaya juga menjadi faktor signifikan untuk menentukan mana

kategori yang tepat untuk di terapkan pada khalayak. Begitu juga halnya dengan

penerapan resepsi pada media baru, dimana khalayak cenderung independen

dalam memilih informasi secara sadar sehingga resepsi merupakan satu posibilitas

yang dapat terjadi. Menerap konsep encoding-decoding oleh Stuart Hall (1993),

maka aktivitas resepsi ini sesuai konteks dan latar belakang sosial mereka pada

pesan media, serta sebagai segmentasi general mengenai resepsi khalayak pada

suatu pesan dominan dari iklan maka khalayak sesuai konsep encoding-decoding

ini dapat terbagi menjadi tiga kategori: Dominant hegemonic position, negotiated

position, dan oppositional position (Hall, 1993:101).

14

1. Dominant Hegemonic Position

Dalam segmen atau posisi ini, khalayak cenderung setuju pada sudut

pandang dominan yang disediakan dalam wacana media yang ia baca atau tonton.

Dalam konteks ini maka jarang terjadi kesalahfahaman antara pemberi dan

penerima pesan, karena mereka memiliki bias kultur sama dimana menimbulkan

bias asumsi yang sama pada suatu konteks.

2. Negotiated position

Dalam negotiated position, khalayak atau penerima dapat menerjemahkan

(decode) pesan dari pengirim dalam konteks pandangan budaya dan sosial yang

dominan. Sebagian besar dari pesannya dipahami namun dengan arti yang

berbeda dari posisi dominant-hegemonic. Penerima dalam posisi ini tidak selalu

bekerja dalam sudut pandang hegemonik, tetapi cukup akrab dengan masyarakat

dominan untuk dapat memecahkan kode teks memadai dalam arti yang abstrak.

3. Oppositional position

Khalayak cenderung menjadi oposisi pesan yang dominan dalam segmen

ini. Penonton mampu menerjemahkan pesan dalam cara yang dimaksudkan untuk

diterjemahkan dari awal, namun berdasarkan keyakinan masyarakat mereka

sendiri, dan faktor kebiasaan bahwa mereka sering memperhatikan yang lain, serta

melihat makna yang tidak diinginkan dalam pesan.

Teori resepsi sesuai model encoding-decoding Stuart Hall ini, memang

sebagian besar dituju bagi khalayak ketika berhadapan dengan media massa.

Namun, karena era globalisasi sangat mempengaruhi perubahan konstruksi media

maka media massa bukan lagi menjadi media primer. Fenomena ini kemudian

memicu pertanyaan mengenai penerapan resepsi pada media baru, dimana resepsi

merupakan suatu aktivitas yang sangat mungkin terjadi karena mayoritas

masyarakat berpindah haluan untuk memilih media baru sebagai media primernya

sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai opini atau argumentasi yang dapat

mendukung adanya resepsi pada pengguna media baru, Ross & Nightingale

(2003: 37-38) menunjukkan sejumlah keuntungan dari model encoding-decoding

15

Stuart Hall, sebagai model teoritis yang meliputi beberapa poin: pertama,

memungkinkan timbulnya fakta bahwa media dapat dipelajari sebagai pemancar

dari ideologi yang dominan di masyarakat.

Kedua, pendekatan encoding-decoding mengungkapkan bagaimana pesan

media yang dikonstruksi ulang oleh kelompok-kelompok sosial tertentu dan

berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, pendekatan ini mempelajari penonton

dalam aspek pembacaan mereka terhadap teks atau pesan media daripada

kebutuhan psikologis mereka. Selain itu, dengan pendekatan encoding-decoding

berfokus pada 'wacana' sehingga dapat meminimalisir pentingnya teks atau media

tunggal. (Ross dan Nightingale, 2003, hlm. 37-38). Argumen tersebut yang

kemudian menjadi pendukung ketika berhadapan mengenai penelitian audiens

dalam media baru. Pendekatan encoding-decoding oleh Hall ini merupakan teori

yang menunjukkan bahwa khalayak sangat aktif jika mereka menerima pesan dari

media apapun. Begitu juga dalam media baru, dimana konsep utama media baru

adalah pengguna memilih secara sadar, konten yang ingin ia tonton atau baca.

Sehingga kegiatan resepsi adalah satu posibilitas yang dapat terjadi. Dalam buku

‘A Handbook of Media and Communication Research’ karya Jensen (2002:162),

menyatakan bahwa analisis resepsi dapat diartikan sebagai analisis perbandingan

tekstual dari sudut pandang media dengan sudut pandang khalayak yang

menghasilkan suatu pengertian tegas pada suatu konteks.

Sebagai individu dan bagian dari dinamika masyarakat, maka kita

menerapkan resepsi di dalam aktivitas kita sehari-hari terhadap apapun yang kita

hadap tanpa kita sadari. Iklan, sebagai media informasi yang menjadi bagian dari

masyarakat dan sulit untuk kita hindari merupakan satu sasaran yang dapat kita

maknai secara otomatis. Penerapan resepsi pada iklan juga patut dipertanyakan,

karena common sense mayoritas orang cenderung menghindari iklan ketimbang

memilih untuk menontonnya. Walaupun begitu, keberadaan iklan yang memang

faktanya terkadang ‘mengganggu’ bukan berarti iklan sebagai hal yang kita temui

sehari-hari terlepas dari pemaknaan. Seperti halnya dengan penerapan resepsi

16

pada media baru, maka resepsi pada iklan yang membutuhkan argumentasi

pendukung dapat dimulai dari bahwa teori resepsi mengusulkan “individu secara

aktif membentuk makna iklan", dan penonton tidak pasif menerima makna dari

media (Plunkey, 2010: 54). Maka dengan konteks ini, Wharton (2005)

menambahkan argumen dengan menyatakan bahwa penerapan decoding

(penerjemahan) oleh khalayak dari pesan iklan merupakan maksud dan intensi

dari produsen makna itu sendiri, serta kompleksitas faktor penyebab dari iklan,

dibawa atau justru ditemukan dalam proses decoding tersebut.

Dari argumen-argumen tersebut dicapai suatu konklusi bahwa iklan tanpa

kita sadari menjadi satu wujud yang kita maknai secara otomatis, dan bahwasanya

iklan diciptakan memang untuk dimaknai. Mengutip pernyataan dari Sandikci

(1999:237), bahwa makna dari sebuah iklan bukan terletak dalam iklan maupun

dalam khalayak yang melihatnya, tetapi muncul dari interaksi keduanya. Iklan

tidak menentukan arti, tetapi melalui kerja berbagai fitur struktural, mereka

membentuk pengalaman resepsi. Sumber latar belakang budaya, pengalaman yang

telah dilalui penonton, dan pengetahuan yang pemirsa bawa ke penerapan resepsi

kemudian menimbulkan interaksi pada struktur iklan, dan membantu untuk

membangun makna dari iklan tersebut. Terutama jika dikaitkan dengan penelitian

ini, iklan di media baru menimbulkan kemungkinan aktivitas resepsi yang lebih

besar. Karena selain iklan dan media baru rupanya terbukti dapat dimaknai, juga

konsep utama media baru dimana pengguna selalu sadar ketika memilih menerima

informasi yang ia dapat.

1.5.3 Pesan Lingkungan pada Iklan Unilever “Why Bring A Child to

This World?”

Iklan menjadi salah satu media komunikasi yang dapat berperan sebagai

penyalur ideologi. Sebagai media komunikasi, maka ia bermanfaat bagi banyak

pihak yang membutuhkan media informasi agar tujuan dari pihak tersebut dapat

tercapai. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dengan objek penelitian iklan

17

Unilever, Project Sunlight yang berjudul “Why bring a child to this world?”

dengan pesan implisit mengenai kehidupan berkelanjutan, maka peneliti melihat

bahwa pesan lingkungan sebagai sebuah ideologi, disisipkan dalam iklan ini.

Pesan lingkungan yang memanfaatkan media komunikasi seperti iklan maka ia

secara otomatis telah menerapkan komunikasi linkungan. Komunikasi lingkungan

sudah menjadi studi resmi di dunia sehingga variasi jenis media menjadi penyalur

studi tersebut, termasuk iklan. Perbedaannya adalah ketika media berita seperti

media cetak dan berita televisi mengkomunikasikan masalah lingkungan

terkadang cenderung provokatif, iklan dapat mengkomunikasikan permasalahan

lingkungan dengan cara halus dan implisit serta persuasif.

! Ketika orang berbicara soal komunikasi lingkungan maka secara otomatis

yang muncul di benak adalah strategi untuk menyelamatkan lingkungan dan masa

depan. Jika studi ini kita definisikan, maka komunikasi lingkungan berarti

kendaraan pragmatis dan konstitutif bagi pemahaman kita tentang lingkungan

serta hubungan kita dengan alam (Cox, 2013). Robert Cox (2013), juga

menyatakan dua karakter komunikasi lingkungan: Pertama, Environmental

communication is pragmatic. Dalam arti pragmatis, studi ini berfungsi untuk

mendidik, memberi siaga, mempersuasikan, menggerakkan dan membantu kita

mencari solusi untuk menyelamatkan lingkungan. Kedua, Environmental

communication is constitutive. Komunikasi lingkungan juga membantu untuk

membentuk representasi alam dan masalah lingkungan sebagai subyek untuk kami

fahami. Dengan membentuk persepsi kita tentang alam, komunikasi lingkungan

dapat mengundang kita untuk melihat hutan dan sungai sebagai ancaman atau

sebagai berlimpah, menganggap sumber daya alam sebagai eksploitasi atau sistem

pendukung kehidupan yang penting, serta alam sebagai sesuatu untuk ditaklukkan

atau untuk dihargai. Sehingga fungsi komunikasi lingkungan sebagai konstitusi

atau bersifat konstitutif sangat membekas di benak.

! Dalam iklan Unilever, Project Sunlight, “Why Bring A Child to This

World?”, sebagai iklan yang mencoba menyampaikan idealisme soal pentingnya

18

regenerasi dan keberadaan anak di dunia ini untuk masa depan, maka dari pesan

iklannya tersirat soal masalah lingkungan. Visualisasi dalam iklan ini tidak

menunjukkan mentah-mentah bagaimana seharusnya kita memperhatikan dan

melestarikan lingkungan, sebagaimana pesan iklan yang menggurui. Namun,

justru secara halus dan dari persepektif yang sedikit berbeda ia memanfaatkan

peran anak untuk menyampaikan pesan ini serta optimisme orang tua dalam

penantian anak pertamanya. Sebagaimana fungsi komunikasi lingkungan, ia

pragmatis dimana dalam iklan ini ia persuasif dan menggerakkan emosi penonton

atau masyarakat untuk mengetahui pentingnya anak di masa depan dan bagaimana

keberadaan anak dapat menjadi inspirasi kita supaya dapat menyelamatkan

lingkungan. Selain itu, komunikasi lingkungan dalam iklan kampanye memiliki

fokus pada decision makers. Maka seperti dalam iklan Unilever, Project Sunlight

ini, dengan tagline serta judul utama “Why Bring a Child to This World?” mereka

mencoba mempersuasikan khalayak yang menonton iklan tersebut untuk membuat

keputusan demi menyelamatkan kehidupan di masa depan, dengan optimis untuk

memiliki anak.

Berbagai ulasan telah membuat pesan dominan mengenai lingkungan

dalam iklan ini semakin terlihat. Seperti halnya pada situs Mashable.com4 yang

kurang lebih merangkum apa yang ingin disampaikan oleh Unilever mengenai

anak dan lingkungan,

“....the clip highlights the emotions related to raising a child in today's environment and the responsibility that comes with making it sustainable for the future. It follows several real-life pregnant couples as they share their anxieties

about becoming new parents, before showing a video about how upcoming generations will actually be in better hands than they are now, thanks to

advancements in technology. Future children will have cleaner water and healthier hearts than any present living person. And by the time your children have kids, they

will have a better chance of meeting their great grandchildren than we ever did.” (Kelly, 2013)

4 Mashable adalah sumber terdepan untuk berita, informasi & sumber daya untuk generasi yang saling terkoneksi.

19

Begitu juga dengan ulasan lainnya yang menegaskan mengenai kutipan yang

mereka ambil dari salah satu pasangan yang diwawancarai dalam iklan tersebut,

yang membahas bagaimana anak bisa membawa perubahan ketika orang tetap

ingin memiliki dan mendidiknya.

“Yes, there is evil in the world. But there is also good. And when you have a child, you can raise that child to be one of the good guys, one of the people who can help

end some of the suffering.” (Rose, 2015)

Kedua ulasan tersebut terlihat bahwa mereka berpihak pada Unilever. Namun

secara keseluruhan mereka mewakili makna yang sebenarnya Unilever inginkan

masyarakat untuk mengetahuinya. Dengan begitu maka kedua ulasan tersebut

sudah merepresentasikan bagaimana pesan lingkungan yang dominan dalam iklan

“Why Bring A Child into This World?”.

! Walaupun iklan ini tidak didominasi oleh ilustrasi flora atau fauna yang

punah, namun iklan ini mencoba menyampaikan bahwa masa depan yang cerah

sangat dipengaruhi faktor lingkungan dimana menurut iklan ini salah satu cara

untuk mencapai kehidupan berkelanjutan di masa depan tersebut adalah tidak ragu

untuk melahirkan anak.

1.6! KERANGKA KONSEP

! Iklan yang menyisipkan pesan lingkungan didalamnya merupakan sebuah

anomali dimana menimbulkan rasa skeptis karena pada akhirnya iklan sebagai

media komersil selalu memiliki tujuan sendiri. Namun karena didasari oleh

banyaknya permintaan dari mayoritas masyaraka bahwa isu lingkungan juga patut

disampaikan melalui iklan, maka saat ini iklan dengan identitas environmental

semakin marak. Sehingga environmental communication menjadi bidang studi

resmi yang secara konseptual juga berkontribusi kepada interaksi manusia. Iklan

dengan pesan lingkungan mengandung makna, simbol, serta peran verbalnya yang

20

memiliki konstruski sendiri. Konstruksi makna yang ingin ia sampaikan tidak

akan berguna jika tidak dimaknai oleh khalayak luas. Begitu juga halnya dengan

iklan “Why Bring A Child into This World?” yang mengandung pesan lingkungan

secara subtil, dan dibuat oleh instansi sebesar Unilever melalui media baru.

! Untuk masalah utama yang menjadi pembahasan penelitian ini adalah

bagaimana para informan mengamati iklan di media baru. Hal tersebut dirasa

penting karena fakta bahwa iklan ini memanfaatkan media YouTube untuk

mempublikasikannya. Kebiasaan mereka menggunakan media baru juga dibahas

dalam analisis profil. Dalam menganalisa profil informan, latar belakang kegiatan,

pendidikan, dan keluarga juga dibahas berkaitan dengan faktor pemicu mereka

dalam memaknai pesan lingkungan dalam iklan ini.

! Pratik resepsi didasari oleh latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-

beda dari khalayak sehingga akan menghasilkan beragamnya konstruksi makna.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa komponen yang menjadi konten untuk

diresepsi oleh khalayak; (1) secara verbal yang juga meliputi beberapa komponen

seperti isu yang ada didalamnya, juga (2) secara visual karena memang iklan

“Why Bring A Child into this World?” ini secara objektif memiliki visual yang

kuat. Namun karena iklan ini berdurasi empat menit, maka pesan lingkungan

dalam iklan tersebut dibagi dalam dua isu inti sebagai komponen utama yang

dimaknai oleh khalayak. Dua isu dari pesan lingkungan yang ada meliputi:

a. Pesan lingkungan dengan anak

Terlihat dengan jelas bahwa sosok anak bermain peran penting dalam iklan ini

dilihat dari judul utama “Why Bring A Child into This World?”. Maka peneliti

melihat bahwa lingkungan dan anak menjadi pesan inti dengan konstruksi makna

yang dapat diresepsi oleh khalayak. Pesan ini mencakup bagaimana para orang tua

yang diwawancarai dalam iklan tersebut melihat kondisi lingkungan ini ketika

para ibu sedang mengandung anak. Pesan ini didukung secara kuat oleh

komponen visual dan verbal.

b. Pesan anak dengan optimisme pada masa depan

Bahwasanya iklan ini juga membahas mengenai sustainability dan konsep

sustainable future sangat berkaitan erat dengan masa depan anak sehingga peneliti

21

menganggap isu ini merupakan konstruksi makna yang perlu diresepsi dari iklan

yang mempromosikan lingkungan sesuai tujuannya. Pesan ini menggambarkan

bagaimana para orang tua tersebut memandang masa depan dengan kondisi

lingkungan, dan bahwa dunia tersebut merupakan dunia dimana anak mereka akan

tinggal. Sehingga ada konsep retrospeksi yang ditonjolkan dalam iklan itu, yang

dapat memicu pemaknaan khalayak mengenai wacana anak dan optimisme pada

masa depan.

! Dalam membahas hasil penelitian berupa penerapan resepsi mereka, maka

dalam penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap analisis.

a. Latar setiap individu, yang mencakup kerangka referensi, pengalaman,

pengamatan, dan latar belakang sosial, dimana faktor-faktor tersebut

merupakan pemicu utama mereka dalam membaca pesan lingkungan

dalam iklan “Why Bring A Child to This World?”. Latar belakang

pengalaman merupakan pemicu utama dalam meresepsi, oleh karena itu

informan dikategorikan menjadi dua kubu sesuai partisipasinya terhadap

lingkungan: yaitu informan aktif, dan informan pasif. Dalam tahap ini

mereka ada perbandingan dari latar setiap informan.

b. Memetakan ke dalam segmen sesuai teori Stuart Hall. Dalam tahap ini,

hasil resepsi mereka terhadap pesan lingkungan dianalisa sesuai teks

yang diproduksi oleh iklan, kemudian dimasukkan ke dalam segmen

khalayak Stuart Hall, yaitu Dominated-Hegemonic, Negotiated, dan

Oppositional position. Selain itu, perbandingan posisi Stuart Hall antar

individu juga dianalisa lebih lanjut seperti halnya variasi motif

pemaknaan mereka walaupun berada dalam posisi yang sama.

c. Perbandingan antar individu, pada tahap ini maka latar belakang para

informan tetap berpengaruh. Disini dianalisa apa saja faktor yang dapat

membuat pemaknaan masing-masing informan tersebut berubah.

Dengan membandingkan latar belakang mereka, termasuk kategori

aktif-pasif mereka yang mengacu pada partisipasi mereka terhadap

mereka.

22

Dalam memposisikan mereka ke dalam teori Stuart Hall yaitu: Dominant-

hegemonic, Negotiated, Oppositional position maka ada beberapa ketentuan

tertentu yang menjadi parameter posisi pemaknaan para informan. Hal tersebut

dapat dicermati dalam dimensi penelitian yang dipaparkan dalam tabel berikut:

Tabel 1.1 Dimensi Penelitian

Pesan Mengenai Kehadiran Anak dengan

Lingkungan

Pesan Mengenai Anak dengan Optimisme pada

Masa Depan

Dominant-Hegemonic Position

Khalayak menyetujui pesan tersebut secara absolut, dengan menyatakan bahwa anak dan

lingkungan memiliki kesinambungan kuat, dan

perubahan perilaku orang tua yang mempengaruhinya. Serta Unilever mengajak masyarakat

untuk bergabung dengan Project Sunlight.

Khalayak menyetujui hubungan anak dengan masa depan untuk membuat dunia lebih baik yang disampaikan dalam iklan, serta optimisme pada masa depan.

Negotiated Position

Khalayak menyetujui pesan tersebut, dan menyadari bahwa

memang kehadiran anak berpengaruh terhadap perilaku

orang tua ke lingkungan, namun menegosiasi karena menyadari Unilever memiliki intensi lain.

Dalam menerjemahkan pesan, ia sebenarnya memiliki parameter

sendiri.

Khalayak memahami adanya pesan mengenai anak dengan optimisme pada masa depan

tersebut, namun memiliki pemahaman sendiri terhadapnya. Atau

mengkronstuksikan definisi optimisme dan anak sesuai

pemahaman sendiri.

Oppositional Position

Khalayak walaupun setuju dengan pesan namun terpaksa tidak dan menjadi oposisi dari

pembuat iklan karena mengetahui apa makna intensi

Unilever dari awal. Disamping itu khalayak

mengambil kesan negatif dari iklannya.

Khalayak menjadi oposisi dari konsep optimisme pada

masa depan yang disampaikan oleh iklan

tersebut karena beberapa faktor.

Sumber: Dioleh peneliti dari berbagai sumber.

! Beberapa faktor yang membantu menganalisa dimensi penelitian ini

sebagai pemicu praktik resepsi yaitu latar belakang sosial para informan:

Kerangka referensi, kerangka pengalaman, kebiasaan mengamati, tingkat

pendidikan dan bidang studi.

23

1.7! METODOLOGI PENELITIAN! 1.6.1! Pendekatan Penelitian

! Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Kehadiran pendekatan

kualitatif berkaitan erat dengan sifat unik dari realitas sosial dan dunia tingkah

laku manusia itu sendiri (Faisal, 1990:2). Pada penelitian yang menerapkan

pendekatan kualitatif, pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan penelitian

tidak hanya: apa, siapa, dimana, bagaimana namun yang terpenting harus

mencakup pertanyaan, mengapa. Menurut Prof. Parsudi Suparlan (Patilima,

2007:3), pertanyaan mengapa menuntut jawaban mengenai hakekat yang ada

dalam hubungan di antara gejala-gejala atau konsep. Pendekatan kualitatif

diterapkan dalam penelitian ini untuk mengetahui gejala sosial pada khalayak

berkaitan dengan teks yang mereka terima secara sadar dari media, dan

pemaknaan yang terjadi setelahnya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan

metode analisis resepsi untuk memahami penerimaan khalayak serta bagaimana

mereka memaknai pesan, khusus dalam penelitian ini adalah resepsi pada iklan di

media baru.

Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna

pada saat peristiwa penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi

makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai

posisi-posisi sosial dan budaya mereka (Tuchman 1994; Van Zoonen 1994;

Kellner 1995; MacBeth 1996 dalam CCMS:2002). Menurut McRobbie (1991 di

dalam CCMS:2002) analisis resepsi merupakan sebuah “pendekatan kulturalis”

dimana makna media dinegosiasikan oleh individual berdasarkan pengalaman

hidup mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif

dikonstruksikan khalayak secara individual.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka penelitian ini mencoba

memahami praktek resepsi oleh khalayak pengguna media baru terhadap iklan

Unilever, “Why Bring A Child into This World?”, yang notabene iklan tersebut

dipublikasikan melalui YouTube. Penelitian ini mencoba mengetahui pemaknaan

24

khalayak pada pesan lingkungan yang tersirat di dalam iklan tersebut, yang

membahas tentang sustainable development/life atau masa depan dan

hubungannya dengan memiliki anak. Iklan merupakan media yang tayang

sesekali sehingga fenomena pemaknaan dari khalayak dalam interpretasi pesan

iklan tersebut adalah satu posibilitas yang dapat terjadi terutama melalui YouTube

sebagai video tersendiri maupun sebagai iklan yaitu dengan istilah YouTube Pre-

roll Ads. Maka dari itu, analisis resepsi sebagai sebuah metode untuk meneliti

mengenai pemaknaan khalayak dari media, kemudian menjadi metode yang

dianggap mampu mengkaji kemampuan khalayak memaknai pesan lingkungan

dari iklan Unilever “Why Bring A Child into This World?” tersebut.

! 1.6.2! Lokasi Penelitian

! Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta, karena kota Yogyakarta

memiliki karakteristik yang belum tentu dimiliki oleh kota lain. Yogyakarta

sebagai kota berlabel cagar budaya, masih memiliki latar belakang sosial dan

budaya yang kuat dan cukup dipertahankan. Sebagai pendukung penelitian

analisis resepsi, maka kota Yogyakarta diharapkan representatif demi menunjang

keberhasilan dalam mencari informan dan data untuk penelitian ini.

! 1.6.3! Informan Penelitian

! Dalam memilih dan mengambil informan, penelitian ini akan

menggunakan teknik snowball sampling yang dilakukan secara berantai dengan

meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi

sebelumnya, demikian seterusnya (Poerwandari, 1998). Snowball sampling adalah

salah satu metode yang paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif

(Minichiello, 1995). Melalui teknik snowball subjek atau sampel dipilih

berdasarkan rekomendasi orang ke orang yang sesuai dengan penelitian dan

memadai untuk diwawancarai (Patton, 2002). Teknik ini dirasa efektif karena

sebagai penelitian yang menggunakan metode resepsi, teknik ini paling aman

25

untuk memastikan bahwa informan pernah melihat atau menonton objek

penelitian tertentu, dalam konteks penelitian ini adalah iklan Unilever “Why Bring

A Child into This World?”.

! Penelitian ini mendapat enam informan untuk dengan kriteria yang secara

demografis merupakan pengguna aktif media baru, khususnya YouTube, dimana

mayoritas pengguna YouTube saat ini merupakan young adults kisaran umur 18-34

tahun dengan jenjang pendidikan terakhir sebagai mahasiswa atau sedang dalam

studi perguruan tinggi. 5 Serta karena iklan ini mengungkit isu lingkungan pada

pesan tersiratnya maka kriteria informan selanjutnya adalah mengetahui atau

aware dengan isu-isu lingkungan. Informan dalam penelitian ini dikategorikan

menurut partisipasi mereka terhadap lingkungan yaitu informan aktif dan pasif.

Masing-masing kategori terdapat tiga informan dan pengkategorian tersebut

didasari oleh beberapa faktor yakni: (1) seberapa intens mereka mengakses

informasi mengenai lingkungan, (2) organisasi, komunitas dan kegiatan yang

pernah diikuti, serta (3) kontribusi terhadap lingkungan. Dari sisi bidang studi

atau pendidikan, keenam informan berasal dari latar pendidikan yang berbeda-

beda meliputi Ilmu Komunikasi, Teknik Arsitektur, serta Kimia Fakultas MIPA.

! 1.6.4! Teknik Pengumpulan Data

! Dengan metode analisis resepsi terdapat tiga teknik umum yang dapat

digunakan untuk memperoleh data. Ketiga teknik tersebut meliputi wawancara

(interview) secara individual, observasi, dan kritik terhadap teks (Jensen,

1993:139).

5 Diambil dari laporan demografis pengguna social media, yang menyatakan bahwa “YouTube reaches more adults aged 18 to 34 than any single cable TV network. Nearly half of people in this age group visited YouTube between December 2013 and February 2014, according to Nielsen. It was rated by millennials as the top place to watch content, ahead of digital and TV properties like Facebook and ESPN.” dalam situs Business Insider Indonesia (2014)

26

! Demi menunjang keberhasilan penelitian ini, maka peneliti menggunakan

teknik wawancara mendalam (in-depth interview). In-depth interview merupakan

teknik pengumpulan data yang dilakukan antara dua pihak yaitu peneliti dan

informan, melalui wawancara. Berger (dalam Narendra, 2008:198)

mendefinisikan wawancara sebagai percakapan antara peneliti (seseorang yang

ingin memperoleh informasi tentang subjek penelitian) dan seorang informan

(seseorang yang diasumsikan memiliki informasi atau ketekaitan dengan subjek

atau suatu hal tertentu dalam penelitian). Teknik wawancara mendalam (in-depth

interview) dipilih karena kecenderungannya untuk mendapatkan data dengan

valid, ditinjau dari informan yang telah diseleksi. Maka diharapkan peneliti

mendapat respon dari informan yang tinggi sehingga memungkinkan untuk

memperoleh data riset yang mendalam.

! Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai informan menggunakan

instrumen panduan wawancara (interview guide) yang berupa pertanyaan

mengenai pemaknaan mereka terhadap pesan lingkungan dengan lokus

pembangunan atau kehidupan berkelanjutan dan kaitannya dengan memiliki anak

dalam iklan Unilever “Why Bring A Child into This World?” yang dipublikasikan

melalui media baru. Interview guide dibuat berdasarkan kebutuhan data yang

diperlukaan dalam penelitian ini. Pertanyaan dalam panduan diturunkan dari

kerangka teori dan pemikiran yang menjadi dasar penelitian untuk mewakili

konsep yang digunakan. Data dari penelitian ini merupakan transkrip wawancara

berupa hasil pembacaan dan opini informan dari pesan lingkungan dalam iklan.

! 1.6.5! Analisis Data

! Dalam menganalisa data kualitatif, kita membangun kata-kata dari hasil

wawancara atau pengamatan terhadap data yang dibutuhkan untuk dideskripsikan

dan dirangkum. (Patilima, 2007:88) Proses pengumpulan data pada analisis data

kualitatif dibagi menjadi 4 tahapan, menurut Lacey & Luff (2001: 16-18), yaitu:

1. transkripsi; 2. Pengorganisasian data; 3. Pengenalan; dan 4. Koding.

27

a. Transkripsi

Penelitian kualitatif secara umum memang bergantung pada hasil

wawancara. Wawancara yang telah dilaksanakan melalui tape, video dan catatan

lapangan kemudian ditransfer ke medium lainnya untuk dianalisa. Kegiatan

transfer ini yang dapat disebut dengan transkripsi. Walaupun ketika melakukan

kegiatan transkrip ini peneliti cenderung bias, karena hanya beberapa bagian saja

akan diseleksi tergantung relevansinya dengan penelitian. Namun, peneliti juga

dapat mengamati non-verbal saat wawancara berlangsung yang meliputi tingkah

laku dan emosi informan sehingga data hasil wawancara dapat dianalisa dari dua

aspek.

b. Pengorganisasian data

Setelah melakukan transkrip, maka selanjutnya yang dibutuhkan dalam

tahapan analisis data kualitatif adalah pengorganisasian data. Dalam tahap ini,

telah dicatat tanggal pengumpulan data dan menandai data setiap informan dengan

menggunakan angka atau kode. Kode tersebut yang kemudian dapat dijadikan

acuan untuk setiap kegiatan wawancara.

c. Pengenalan

Tahap selanjutnya adalah pengenalan, yaitu peneliti mendengarkan tape

dan menonton video hasil wawancara, serta membaca kembali data, membuat

memo dan rangkuman sebelum analisis formal dimulai.

d. Koding

Dalam tahap terakhir untuk menganalisa data kualitatif maka dibutuhkan

koding. Setelah mengenal transkrip wawancara, maka dilanjutkan kegiatan

pengkodingan ketika peneliti tertarik dengan gagasan dari informan tentang

konsep, perlawanan hati, dan dampak dalam hidupnya maka gagasan tersebut

telah diambil, ditandai dan diberikan kode. Setelah empat tahap dalam

menganalisa data kualitatif tersebut tuntas maka perlu diperhatikan juga tahap

penting dalam menyelesaikan penelitian adalah penyajian data. Menurut Matthew

& Michael (Patilima, 2007:97) penyajian data yang dimaksud adalah sekumpulan

28

informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif, dimana

tadinya terpisah dan terpencar menurut sumber informasi, dan saat diperoleh

informasi, kemudian disusun menurut fenomena dan kebutuhan analisis.

29