26
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketika kita membicarakan praktik-praktik kehumasan, kita akan banyak menemukan berbagai macam kajian ataupun penelitian mengenai investor relations, costumer relations, ataupun internal relations. Namun, masih sedikit kajian yang ada mengenai keterlibatan praktik public relations dalam kaitannya denganalur pasokan, hubungan buyer-supplier, ataupun di dalam proses rantai pasokan pada perusahaan.Di dalam dunia industri, keberadaan supply chain atau rantai pasokan sangat vital bagi kelangsungan suatu industri ataupun bagi perusahaan itu sendiri.Rantai pasokan adalah suatu alur besar yang melibatkan aliran barang, informasi, uang dari satu tempat ke tempat lainnya. Menurut Christoper (dalam Metzer, 2001:7), Supply Chain merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang terlibat, terhubung melalui arus ke atas maupun ke bawah, dalam proses dan aktivitas yang berbeda dalam memproduksi nilai yang berbentuk produk maupun jasa hingga ke tangan konsumen terakhir. Pada dasarnya hal ini merupakan proses dan perjalanan panjang yang harus ditempuh suatu produk hingga mencapai pos penjualan terakhir. Rantai ini telah di mulai sejak pemerolehan bahan mentah hingga akhirnya produk sampai ke tangan konsemen akhir.Hakikatnya, rantai pasokan berawal dari kebutuhan konsumenitu sendiri dan merupakan suatu bentuk upaya untuk memenuhi kebutuhan itu sendiri. Proses ini bukanlah proses sederhana yang hanya melibatkan antara perusahaan dengan pemasok saja. Supply Chain terdiri dari semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam pemenuhan kebutuhan konsumen (Chopra dan Meindl, 2001:4).Berbagai arus barang serta informasi, kesibukan pengiriman berbagai macam barang dari satu tempat ke tempat lainnya, penyimpanan, proses distribusi, dan berbagai proses lainnya menjadi bagian dari sebuah sistem besar yang terangkum dalam rantai pasokan. Sistem tersebut dapat kita analogikan dengan sistem tubuh.Untuk menunjang kelangsungan tubuh manusia, terdapat sinergi yang sangat kompleks di dalamnya yang melibatkan antara berbagai macam sistem dan organ tubuh. Kegagalan

BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67457/potongan/S1-2013... · jaringan dari berbagai organisasi yang terlibat, terhubung melalui arus

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika kita membicarakan praktik-praktik kehumasan, kita akan banyak

menemukan berbagai macam kajian ataupun penelitian mengenai investor relations,

costumer relations, ataupun internal relations. Namun, masih sedikit kajian yang ada

mengenai keterlibatan praktik public relations dalam kaitannya denganalur pasokan,

hubungan buyer-supplier, ataupun di dalam proses rantai pasokan pada perusahaan.Di

dalam dunia industri, keberadaan supply chain atau rantai pasokan sangat vital bagi

kelangsungan suatu industri ataupun bagi perusahaan itu sendiri.Rantai pasokan adalah

suatu alur besar yang melibatkan aliran barang, informasi, uang dari satu tempat ke

tempat lainnya. Menurut Christoper (dalam Metzer, 2001:7), Supply Chain merupakan

jaringan dari berbagai organisasi yang terlibat, terhubung melalui arus ke atas maupun ke

bawah, dalam proses dan aktivitas yang berbeda dalam memproduksi nilai yang

berbentuk produk maupun jasa hingga ke tangan konsumen terakhir. Pada dasarnya hal

ini merupakan proses dan perjalanan panjang yang harus ditempuh suatu produk hingga

mencapai pos penjualan terakhir. Rantai ini telah di mulai sejak pemerolehan bahan

mentah hingga akhirnya produk sampai ke tangan konsemen akhir.Hakikatnya, rantai

pasokan berawal dari kebutuhan konsumenitu sendiri dan merupakan suatu bentuk upaya

untuk memenuhi kebutuhan itu sendiri.

Proses ini bukanlah proses sederhana yang hanya melibatkan antara perusahaan

dengan pemasok saja. Supply Chain terdiri dari semua pihak yang terlibat secara

langsung ataupun tidak langsung dalam pemenuhan kebutuhan konsumen (Chopra dan

Meindl, 2001:4).Berbagai arus barang serta informasi, kesibukan pengiriman berbagai

macam barang dari satu tempat ke tempat lainnya, penyimpanan, proses distribusi, dan

berbagai proses lainnya menjadi bagian dari sebuah sistem besar yang terangkum dalam

rantai pasokan. Sistem tersebut dapat kita analogikan dengan sistem tubuh.Untuk

menunjang kelangsungan tubuh manusia, terdapat sinergi yang sangat kompleks di

dalamnya yang melibatkan antara berbagai macam sistem dan organ tubuh. Kegagalan

2

pada salah satu bagian dapat mempengaruhi kinerja sistem dan pada akhirnya juga akan

mempengaruhi fungsi serta kondisi tubuh secara keseluruhan. Resiko terburuk dari

situasi ini adalah kematian, dimana hal tersebut menjadi tidak terhindarkan ketika salah

satu sistem tubuh berhenti bekerja. Analogi di atas merefleksikan kompleksitas yang ada

di dalam rantai pasokan, dimana hal tersebut melibatkan proses panjang dan berbagai

pemain kunci yang berperan di dalamnya. Kerja sama dan koordinasi antara perusahaan

dengan pemain kunci dalam alur pasokan menjadi salah satu prasyarat bagi berjalannya

alur ini, dimana di dalamnya termasuk pemasok. Pemasok merupakan salah satu

stakeholders yang penting bagi perusahaan sehingga, mereka harus menjaga hubungan

baik dengan stakeholders. Bagaimanapun, stakeholders merupakan pihak yang memiliki

pengaruh langsung bagi organisasi dan kelangsungan dari organisasi bergantung

kepadanya. Karena posisinya dalam perusahaan dan pentingnya untuk menjaga hubungan

dengan mereka, stakeholders sering menjadi sasaran dari kegiatan kehumasan

perusahaan.

Supplier Relationship Management merupakan bagian dari proses makro di dalam

Manajemen Rantai Pasokan atau yang sering disebut denganSupply Chain Management

(SCM). Supplier Relationship Management ini memberikan struktur mengenai bagaimana

hubungan dengan pemasok dibangun dan dipertahankan.Berbeda dengan Costumer

Relationshipyang lebih dahulu populer dantelah lama menjadi fokus dari banyak

perusahaan, Supplier Relationship Management (SRM) merupakan konsep yang masih

baru berkembang.Costumer Relationship Manajement (CRM) lebih berfokus pada

pelanggan dan berpengaruh langsung pada penjualan sehingga hal ini banyak menjadi

perhatian perusahaan. Namun, seperti yang telah dijelaskan di atas, setiap bagian dari

sistem, baik pelangan dan pemasok memiliki posisi yang sama penting dalam rantai

pasokan dan berpengaruh bagi kelangsungan perusahaan. Baik CRM maupun SRM

merupakan bagian vital dari Supply Chain, dimana Costumer Relationshipmerupakan

mekanisme pengaturan hubungan down stream ke arah pelanggan dan Supplier

Relationship lebih pada hubungan up stream, yaitu dengan pemasok.

Pemasok sangat berkaitan dengan berjalannya proses produksi serta operasi

perusahaan, sehingga, pengelolaan, koordinasi dan kerja sama yang baik diperlukan di

sini.Ketika kita mengambil contoh perusahaan otomotif, untuk bagian pasokan saja,

terdapat ratusan pemasok yang bertugas untuk memproduksi setiap bagian komponen

3

yang berbeda. Boeing, misalnya, untuk memproduksi satu pesawat tipe 747 saja,

membutuhkan 6 juta komponen yang berbeda (Boeing n.d.). Setiap komponen memiliki

peranan tersendiri dalam pengoperasian pesawat dan harus dikirim dengan waktuyang

tepat, sesuai dengan jadwal perakitannya untuk menekan penyimpanan. Kesalahan pada

salah satu komponen, seperti baut atau perangkat elektronik dapat berakibat fatal bagi

penerbangang pesawat tersebut dan dapat membahayakan keselamatan penumpang

maupun awak pesawat. Dari keseluruhan komponen yang diperlukan, 70%-nya di

dapatkan dari berbagai sumber yang tersebar di beberapa negara seperti Cina, Australia,

Jepang, Korea Selatan, Kanada, Inggris, dan Indonesia (Antara Jatim, 2012). Setiap

pemasok juga dapat terhubung dengan perusahan lain yang menghasilkan bagian-bagian

yang diperlukan dalam pembuatan komponen dan hal ini masih dapat terus bercabang.

Globalisasi mempermudah perusahaan untuk memperoleh supplier ataupun kontraktor di

negara-negara yang lebih murah dan terpisah jauh dari perusahaan induk. Dengan

banyaknya pihak yang terkait dan kompleksitas di dalamnya, hal ini berpotensi

memunculkan krisis maupun berbagai resiko lainnya bagi perusahaan. Sehingga

koordinasi diperlukan untuk meminimalkan resiko dan memastikan alur pasokan berjalan

semestinya.

Salah satu kasus yang pernah muncul berkaitan dengan hal ini adalah penarikan

mainan produksi Mattel selama periode Agustus hingga september 2007 akibat

penggunaan cat yang berbahaya maupun desain yang tidak sempurna sehingga

membahayakan keselamatan anak-anak yang memainkannya. Pada awal kemunculan

kasus ini saja, Mattel telah memperoleh ratusan laporan dan keluhan mengenai mudah

copotnya magnet pada mainan-mainandan harus melakukan penarikan terhadap berbagai

jenis mainan yang diproduksinya sejak November 2006 (BBC, 2007). Magnet yang lepas

tersebut dapat tertelan dan jika lebih dari satu magnet yang tertelan, hal tersebut akan

saling menarik satu sama lain dan mengakibatkan perforasi usus dan penyumbatan yang

dapat berakibat fatal. Masalah lainnya yang juga muncul adalah kandungan timbal

maupun bahan berbahaya pada cat yang digunakan.

Penarikan pertama terjadi pada 1 Agustus 2007 dan melibatkan1,5 juta mainan

buatan Cina, seperti mainanSesame Street, Dora theExplorer, BigBird, Elmo,

Diegodanproduklainnya,karena adanya kadar timbal yang berlebihan di dalamnya. Dua

minggu kemudian, Mattel melakukan penarikan lagi secara besar-besaran, termasuk lebih

4

dari 18 jenis mainan magnetik dan 436,000 mainan yang menggunakan cat timah

termasuk 32.800mobil Sarge die-castyang berisicattimbal (Mattel Toy Recall, 2007).

Dalam periode tersebut di perkirakan, lebih dari 20 juta mainan di tarik dari

pasaran oleh Mattel, yang membuat hal ini menjadi kasus penarikan terbesar dalam

sejarah Mattel. Mainan-mainan tersebut diproduksi oleh kontraktor maupun supplier

Cina.Perbedaan peraturan dan standar antara Cina dan Amerika menjadi salah satu

penyebab terjadinya hal tersebut. Kasus ini memberikan kerugian yang sangat besar bagi

Mattel. Tidak hanya kerugian materiil saja yang harus dialami perusahaan ini.

Kepercayaan pelanggan dan reputasi Mattel yang selama ini dikenal sebagai produsen

mainan terpercaya pun ikut terpengaruh. Tidak hanya itu, hal ini juga menjadi pukulan

bagi industri Cina yang pada saat itu sedang berkembang pesat. Insiden ini ikut andil

dalam memperburuk citra industri Cina dan meningkatkan ketidakpercayaan publik

terhadap kualitas produk buatan Cina. Pada awalnya, Mattel menyalahkan hal ini pada

pemasok mereka di Cina. Perusahaan tersebut menyalahkan perusahaan sub kontrak

Cina, Hong Li Da karena menggunakan pasokan cat yang tidak disetujui. Namun pada

akhirnya, Mattel meminta maaf kepada konsumennya maupun pekerja di industri mainan

Cina dan mengakui kesalahan mereka. Sama seperti banyak perusahaan asing lainnya,

ongkos produksi dan tenaga kerja kerja murah menjadi salah satu daya tarik yang

membuat Mattel memilih Cina sebagai salah satu basis produksinya. Namun, hal ini tidak

disertai dengan kontrol, koordinasi, dan pengawasan yang ketat sehingga masalah ini

terjadi. Hal ini memberikan pelajaran mengenai bagaimana masalah yang sederhana dapat

mengakibatkan bencana yang fatal bagi perusahaan.

Kasus di atas memperlihatkan bahwa koordinasi dan hubungan kemitraan yang

baik sangat diperlukan dalam memanajemen pemain kunci seperti supplier di dalam

rantai pasokan. Dengan memiliki hubungan yang baik dengan pemasok, perusahaan akan

lebih diuntungkan dalam kompetisi dengan perusahaan lain, pengembangan produk baru,

ataupunketika terjadi perubahan permintaan. Dengan meningkatnya kompetisi dalam

dunia bisnis, proses pembelian mulai dipandang sebagai bagian dari fungsi strategis.

Paradigma hubungan pemasok dengan perusahaan yang awalnya sekedar hubungan jual-

beli mulai bergeser kearah hubungan yang lebih relasional. Hubungan kerja sama dan

koordinasi yang baik antara perusahaan dan pemasok juga akan memastikan bahwa

5

pemasok selalu sejalan dengan perusahaan dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap

kebutuhan perusahaan.

Sebenarnya, Supplier Relationship management ini sendiri pada prinsipnya

merupakan refleksi dari CRM. Konsepnya adalah, selain harus menjalin hubungan baik

dengan kostumer, perusahaan juga harus menjalin hubungan yang sama baiknya dengan

pemasoknya. Meski demikian, masih banyak perusahaan yang tidak menerapkan konsep

tersebut. Dengan posisi perusahaan sebagai buyer yang lebih dominan dari pada supplier,

hubungan di antara keduanya justru seringkali diwarnai tekanan.Hubungan pemasok juga

penting untuk dikaji lebih lanjut di Indonesia, karena, di dalam konteks Asia, hubungan

relasional masih memiliki pengaruh yang kuat dalam keputusan bisnis. Di sisi lain,

menurut Marvondo dan Rodrigo dalam Hsiou, Purchase, dan Rahman (2002) literatur

hubungan pemasok yang berasal dari barat masih memiliki kelemahan dalam menjelaskan

faktor-faktor yang bersifat lintas budaya.

Yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini sendiri adalah hubungan pemasok

antara pabrik gula, yaitu Madukismo, dengan pemasoknya, yaitu petani tebu, paska

swasembada gula. Pada Tahun 2008, Indonesia telah berhasil memenuhi kebutuhan gula

yang dipergunakan untuk keperluan konsumsi dengan tingkat produksi yang mencapai

2,7 juta ton. Seterusnya, pemerintah mengharapkan agar tidak hanya keperluan gula

konsumsi saja yang terpenuhi, namun juga kebutuhan gula untuk industri. Pemerintah

menargetkan, untuk tahun 2014, Indonesia diharapkan akan telah mencapai swasembada

gula dan memenuhi target produksi yang mencapai 3,1 juta ton. Untuk itu, pemerintah

melaksanakan program swasembada gula, dimana salah satu program utamanya

adalahmerevitalisasi industri gula. Revitalisasi ini melibatkan seluruh pabrik gula di

Indonesia, baik itu BUMN maupun BUMS dan dilaksanakan pada tahun 2010 hingga

2014 nanti. Revitalisasi akan dilakukan pada sektor on-farm, yaitu perluasan areal dan

peningkatan produktivitas gula dan revitalisasi sektor off-farm, yaitu, rehabilitasi,

peningkatan kapasitas giling amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan

kualitas gula. Disamping itu juga akan dibangun PG baru, pemberdayaan penelitian dan

pengembangan gula dan peningkatan kualitas SDM di bidang industri gula (Direktorat

Jenderal Perkebunan, 2012). Komisi VI DPR RI juga telah menyetujui anggaran Rp250

miliar untuk biaya revitalisasi pabrik gula seluruh Indonesia pada tahun 2012 ini. Dana

6

tersebut akan digunakan untuk perbaikan maupun pembaharuan mesin produksi di pabrik-

pabrik gula di Indonesia.

PG Madukismo adalah pabrik gula milik PT Madubaru, yang berlokasi di desa

Padokan, Kelurahan Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Komposisi kepemilikan saham di PG Madukismo adalah

65% milik Sri Sultan Hamengku Buwono X dan sisanya, yaitu 35% Milik Pemerintah

yang dikuasakan kepada PT.Rajawali Nusantara Indonesia (PT.RNI), sebuah perusahaan

BUMN (Madubaru n.d.). Sebagai satu-satunya pabrik gula yang ada di wilayah

Yogyakarta, PG madukismo memiliki peran yang sentral dalam pemenuhan kebutuhan

gula di wilayah Yogyakarta maupun keberlangsungan program Swasembada gula

nasional yang dicanangkan oleh pemerintah.

Meski demikian, hingga saat ini salah satu kendala utama yang harus dihadapi

oleh PG Madukismo adalah pada masalah pasokan tebu. Salah satu penyebab kurangnya

pasokan tebu tersebut adalah adanya alih fungsi lahan tebu. Setiap tahun, ada 10 hingga

15 hektar tanah yang beralih fungsi. Selain masalah umum seperti penyusutan lahan yang

terus terjadi akibat konsekuensi alami dari pertumbuhan pembangunan yang terus terjadi

di Yogyakarta dan sekitarnya, alih fungsi lahan tebu menjadi komoditas lain juga

merupakan salah satu bentuk ancaman pada pemenuhan produksi gula selama ini.

Saat ini banyak petani maupun pemilik lahan yang memilih menanam padi

ataupun menyewakan tanahnya untuk ditanami padi karena relatif menjajikan. Dahulu,

dalam mengatasi masalah pasokan tebu, pemerintah Orde Baru memiliki program Tebu

Rakyat Intensifikasi (TRI). TRI merupakan program nasional yang dilaksanakan

berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tanggal 22 April 1975 yang tujuan

utamanya adalah meningkatkan produksi gula nasional, yang mengalihkan sistem sewa

tanah menjadi tebu rakyat. Dimana, di dalamnya terdapat dua unsur, yaitu petani yang

tergabung dalam kelompok tani dan pabrik gula sebagai pimpinan kerja dari para petani.

Namun dalam praktiknya, TRI ini akhirnya justru menjadi mekanisme yang menekan

petani tebu. Meski demikian, saat ini, tampaknya petani menjadi jauh lebih otonom.

Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1992 yang menjamin kebebasan

berbudidaya menjadikan petani lebih bebas dalam memilih tanaman yang ingin

dibudidayakannya. Pengalaman buruk dengan TRI justru membuat petani menjadi enggan

7

menanam tebu. Dengan adanya permasalahan seputar alih fungsi tersebut, peningkatan

produksi tebu di Bantul masih mengalami kesulitan hingga saat ini. Pasca dijalankannya

program swasembada gula oleh pemerintah dan termasuk berbagai bantuan dalam

budidaya tebu di wilayah DIY, PG Madukismo (PT Madubaru), sebagai satu-satunya

pabrik di wilayah tersebut ikut memperoleh tanggung jawab baru. Karena itu, meskipun

pemerintah juga akan mengupayakan pembukaan lahan baru dengan melalui Kementrian

Kehutanan, namun, masalah kurangnya pasokan tebu, alih fungsi lahan untuk tanaman

lain, masalah sewa tanah dengan pemilik lahan maupun rendahnya animo masyarakat

dalam menanam tebu masih merupakan salah satu masalah pelik yang harus diselesaikan

oleh PG Madukismo jika ingin meningkatkan produksi gula yang dihasilkan dan

menyukseskan program akselerasi dari pemerintah.

B. Rumusan Masalah

Jika melihat permasalahan pasokan tebu PG Madukismo yang telah

diuraikan di dalam latar belakang di atas, Supplier Relationsmasih merupakan

salah satu tugas besar dari PG Madukismo sendiri. Supplier Relationsmerupakan

tanggung jawab dari bagian Humas maupun seksi hubungan pemasok. Salah satu

tujuannya adalah mempertahankan hubungan yang baik dengan perwakilan

pemasok melalui perlakuan yang adil dan terbuka. Selain itu, juga untuk

menjadikan perusahaan sebagai mitra yang baik, yang bekerja sama dengan

sungguh-sungguh dalam menyelesaikan masalah produksi dan persediaan (Moore,

2005:408). Untuk itu, peneliti ingin mengetahui bagaimanakah Supplier

Relationsdan upaya yang dilaksanakan PG Madukismo dalam membangun

hubungan serta dukungan dari para pemasok. PG Madukismo sendiri merupakan

sebuah pabrik gula dan bahan baku produksi untuk menghasilkan gula adalah

tebu. PG Madukismo tidak memiliki lahan HGU (Hak Guna Usaha) sehingga tebu

ini harus bergantung dari petani. Sehingga, yang dimaksudkan dengan pemasok di

sini adalah petani tebu. Karena itu, PG Madukismo harus mendapat dukungan dari

petani tebu, baik itu agar petani tetap mau menanam tebu, mempertahankan agar

pemilik lahan mau menyewakan lahan yang dimilikinya, meningkatkan jumlah

pasokan, mengadaptasikan kebijakan perusahaan maupun berbagai persoalan

8

lainnya yang berkaitan dengan pasokan bahan baku dan Supplier Relations,

terutama pasca dijalankannya program revitalisasi industri gula 2010-2014 dalam

rangka pemenuhan target program swasembada gula pada 2014. Untuk itu,

rumusan dari penelitian ini adalah:

“Bagaimanakah pelaksanaan hubungan masyarakat di dalam pengelolaan

Supplier Relations PG Madukismo dalam membangun dukungan pemasok pasca

program swasembada gula?”

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimanakah supplier relationsdijalankan oleh PG

Madukismo dalam rangka memenuhi kebutuhan pasokan tebu pasca adanya

program Swasembada gula yang ditargetkan terpenuhi 2014

2. Untuk mengetahui strategi kehumasan apa saja yang digunakan oleh PG

Madukismo dalam upaya untuk membangun dukungan para pemasok.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini akan memberikan tambahan wawasan dan pemahaman

mengenai praktik-praktik kehumasan yang berkaitan dengan supplier relationsdi

dalam perusahaan.

2. Bagi perusahaan, penelitian ini dapat memberikan konstribusi mengenai gambaran

hubungan perusahaan dengan pemasok yang selama ini telah dijalankan, sehingga

dapat menjadi bahan evaluasi lebih lanjut.

3. Bagi universitas, penelitian ini dapat menyumbangkan konstribusi dalam kajian-

kajian mengenai peran hubungan masyarakat didalam supplier relations serta

praktiknya di dalam suatu perusahaan.

4. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai

pelaksanaan program swasembada gula nasional yang telah dicanangkan dan

masalah di wilayah up stream rantai pasokan di lapangan, sehingga dapat

9

digunakan sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan dan evaluasi

program.

E. Kerangka Pemikiran

1. Public Relations

Di dalam masyarakat modern, masyarakat menjadi semakin terhubung dan

tergantung satu sama lain. Hal ini meningkatkan kebutuhan akan interaksi sosial, politik,

dan ekonomi yang rumit, dimana pemeliharaan akan interaksi tersebut menjadi semakin

dibutuhkan. Hal yang sama juga berlaku pada organisasi. Sebuah organisasi tidak dapat

berdiri sendiri dan bergantung pada lingkungan dan masyarakatnya. Masyarakat atau

publik dari organisasi ini adalah orang-orang yang dalam beberapa hal memiliki

keterkaitan dengan organisasi. Di sinilah peran dari hubungan masyarakat diperlukan.

Peran ini telah tergambarkan dalam nama hubungan masyarakat itu sendiri, dimana istilah

hubungan masyarakat ini mengacu pada manajemen hubungan organisasi-masyarakat

(Cutlip, Center dan Broom, 2005: 2). Sehingga, hubungan masyarakat dapat kita maknai

sebagai sebuah fungsi manajemen yang mengelola hubungan yang saling menguntungkan

antara organisasi dengan masyarakatnya.

Saat ini, berbagai institusi telah mulai memahami dengan lebih jelas mengenai

pentingnya untuk terus berubah sesuai dengan keadaan lingkungan dan terus melakukan

adaptasi terhadap berbagai tekanan ataupun aspirasi baru yang terus muncul. Berbagai

organisasi juga telah memahami pentingnya untuk mendengarkan publiknya dan menjaga

hubungan komunikasi diantara keduanya. Sehingga, hubungan masyarakat menjadi

semakin penting di dalam suatu organisasi. Menurut du Plessis (2000:13), Perkembangan

hubungan masyarakat hingga saat ini sendiri tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor,

yaitu ;

• Tumbuhnya organisasi dan institusi besar.

Organisasi dan institusi besar ini menciptakan kebutuhan akan hubungan

masyarakat untuk menginterpretasikan kebutuhan organisasi ke publiknya dan

sebaliknya.

10

• Adanya peningkatan akan perubahan, konflik dan konfrontasi di dalam

masyarakat modern.Perubahan merupakan hal yang pasti terjadi di dalam

masyarakat dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari masyarakat modern. Demikian

juga dengan konflik dan konfrontasi.karena itu, dibutuhkan hubungan masyarakat

untuk menerjemahkan opini publik ke organisasi dan sebaliknya, sehingga

organisasi dapat memenuhi tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat.

• Adanya perkembangan teknologi di masyarakat. Hal ini menyebabkan publik

menjadi tersegmentasi, terspesialisasi dan menjadi lebih pintar. Karenanya,

organisasi harus mengadaptasikan cara komunikasi mereka kepada publik

mereka yang relevan agar organisasi dapat mempersuasi, menginformasikan,

mempengaruhi dan meraih publik tersebut.

• Tumbuhnya demokrasi di dunia. Pertumbuhan demokrasi ini ikut meningkatkan

kesadaran akan pentingnya opini publik. Organisasi dituntut untuk lebih peka

terhadap opini publik yang memiliki signifikansi bagi organisasi. Hal tersebut

meningkatkan kebutuhan akan para profesional yang dapat bertindak dan

mencetak opini publik. Sehingga, hubungan masyarakat yang profesional ini

menjadi semakin esensial.

Praktik dan pendekatan hubungan masyarakatterus berubah dan berkembang

dalam beberapa dekade terakhir ini. Perubahan lanskap media dan masyarakat ikut

mempengaruhi praktik-praktik kehumasan yang ada. Makna dan pengertian dari

hubungan masyarakat ini sendiri juga ikut berubah dan berkembang seiring dengan

waktu, dari hanya sekadar publisitas dan pencitraan hingga sebagai penjembatan. Pada

masa awal perkembangannya, komunikasi persuasif satu arah merupakan praktik yang

lebih dominan. Munculnya Perang Dunia II merupakan salah satu faktor yang memicu

perkembangan praktik ini. Pada masa tersebut, Amerika menggunakan kekuatan

kampanye dan informasi yang terorganisir melalui komite informasi publik. Karena untuk

tujuan perang, komunikasi yang dilakukan cenderung bersifat propaganda dengan tujuan

mempengaruhi dan memperoleh dukungan dari pihak lain. Sehingga pada masa-masa

awal perkembangannya, praktikhubungan masyarakat lekat dengan upaya pembujukan.

Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, pemahaman ini bergeser dan menjadi lebih

matang, dengan melibatkan hubungan dua arah, saling pengertian, dan adanya timbal

balik di dalamnya.Humas tidak lagi hanya komunikasi satu arah dan upaya pembujukan

11

publik saja. Hal ini senada dengan pandangan Harword L. Childs (dalam Cutlip, Center

dan Broom, 2005:3), yang menyatakan bahwa hubungan masyarakat bukanlah sebuah

praktik yang bertujuan untuk menyajikan sudut pandang ataupun seni untuk

memperlembut sikap dan mental, maupun hubungan yang sopan dan menguntungkan.

Hubungan masyarakat pada dasarnya adalah upaya untuk berdamai atau melakukan

penyesuaian dengan masyarakat ketika aspek-aspek perilaku pribadi dan perusahaan

memiliki kepentingan sosial. Penyesuaian ini menegaskan adanya upaya korektif dan

peran pengambilan kebijakan serta mengindikasikan adanya tingkatan manajemen di

dalam prosesnya.

Meski demikian, pemahaman masyarakat dan organisasi akan hubungan

masyarakat masih sangat beragam. Terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda

mengenai hubungan masyarakat dan seringkali, hubungan masyarakat ini kemudian

disalahartikan. Banyak yang melihat hubungan masyarakat hanya sebagai publisitas

yang tujuan utamanya adalah mendapatkan peliputan media. Sedangkan, sebagian lagi

melihat hubungan masyarakat ini sebagai upaya defensif untuk melindungi organisasi,

menyembunyikan fakta, dan memutar balikan berita negatif menjadi positif. Hal ini

bukanlah pengertian yang tepat dari hubungan masyarakat. Etika, kebenaran, dan

kredibilitas merupakan nilai dari hubungan masyarakat yang baik. Sedangkan tindakan

menutupi, mendistorsi, dan membuat alasan merupakan antitesis dari hubungan

masyarakat yang baik (Seitel, 1992:14). Karena itu, beberapa akademisi seperti Cutlip,

Center, dan Broom menggunakan ‘niat baik’ sebagai salah satu syarat bagi keberhasilan

hubungan. Kredibilitas akan muncul dengan adanya kinerja dan praktik organisasi yang

baik. Perilaku dan tindakan yang baik pada akhirnya akan berbicara dengan sendirinya.

Ada juga kerancuan antara hubungan masyarakat dengan pemasaran. Sehingga beberapa

orang melihat hubungan masyarakat ini tidak berbeda dengan pemasaran yang tujuan

utamanya adalah penjualan. Philip Kotler (dalam Dozier, Grunig dan Grunig, 1995:71)

juga condong pada hal ini pada pemikiran awalnya dan melihat hubungan masyarakat

sebagai salah satu dari beberapa sebaran pemasaran. Hal ini berbeda dengan pandangan

yang saat ini dipahami secara umum oleh praktisi humas yang secara tegas memisahkan

hubungan masyarakat dari pemasaran. Perbedaan antara keduanya yaitu,

12

“Secara ringkas, pemasaran berfokus pada hubungan pertukaran dengan pelanggan. Hasil upaya pemasaran adalah quid pro quo yang memenuhi permintaan konsumen dan mencapai sasaran ekonomi organisasi. Sebaliknya, hubungan masyarakat mencakup banyak sekali hubungan dan tujuan dengan sejumlah publik, yaitu karyawan, investor, tetangga, kelompok dengan minat khusus, pemerintah, dan banyak lagi” (Cutlip, Center, dan Broom, 2005:7).

Untuk menghindari adanya kerancuan dengan bidang kajian dan fungsi

managemen yang lain, definisi merupakan hal yang substansial ketika kita ingin

memahami dengan jelas mengenai hubungan masyarakat. Dalam era yang lebih awal,

Bernays memberikan definisi yang menekankan pada unsur persuasif di dalamnya yang

menyatakan hubungan masyarakat merupakan upaya yang bertujuan untuk membangun

dukungan publik. Definisi ini mengambil pendekatan yang cenderung satu arah.

Pendekatan semacam inilah yang umum diambil oleh para praktisi hubungan masyarakat

dan terkadang masih bisa kita ditemukan dalam praktik yang dilakukan organisasi.

Pendekatan tersebut dipandang hanya berorientasi pada tindakan saja, dan konstribusinya

terhadap teori kehumasan dikritisi karena terlalu manipulatif dan anti demokrasi.

Pendekatan yang berbeda diambil oleh akademisi Amerika, Botan dan Hazleton (dalam

Watson dan Noble, 2005:6), yang menyatakan bahwa hubungan masyarakat merupakan

proses untuk melakukan kontrol simbolis atas disposisi evaluatif (sifat, gambaran) dan

perilaku dari publik atau klien yang relevan. Pandangan ini merupakan salah satu dari

sedikit pemikiran yang mengambil pendekatan konseptual, di antara mayoritas definisi

yang umumnya lebih menekankan objektif dari hubungan masyarakat. Di sini, karena

menggunakan kontrol sebagai salah satu penekanan dalam pendekatannya, pendekatan

ini cenderung menggunakan model asimetris, dimana yang digunakan adalah komunikasi

persuasif dan tujuannya agar publik sesuai dengan objektif perusahaan.

Dari berbagai pendekatan yang ada, terdapat pemisah antara pandangan awal yang

melihat hubungan masyarakat sebagai satu arah dengan pandangan dua arah. Untuk saat

ini sendiri, yang umumnya diterima oleh akademisi adalah pendekatan yang lebih

menekankan dua arah, dengan indikasi banyaknya penekanan pada keuntungan bersama

yang memperlihatkan perlunya proses komunikasi dua arah sehingga organisasi dapat

bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri sekaligus pihak lain yang berinteraksi

dengannya. Selain itu, salah satu pandangan yang juga sangat umum ditemui di dalam

definisi hubungan masyarakat adalah, adanya manajemen fungsi di dalam kegiatan

13

kehumasan organisasi. Pendekatan ini salah satunya diambil oleh Cutlip, Center dan

Broom (2005:5), yang menyatakan, “Public Relations merupakan fungsi manajemen yang

membentuk dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan

masyarakat, yang dijadikan sebagai sandaran tolak ukur keberhasilan atau kegagalannya.”

Hal ini memperlihatkan bahwa hubungan masyarakat dikelola dan direncanakan,

memiliki objektif yang harus dicapai, dan hasil yang terukur. Manajemen humas juga

dapat diartikan sebagai penerapan fungsi-fungsi manajemen (perencanaan,

pengorganisasian, pengelolaan staf, pengarahan/pengkoordinasian, dan

penilaian/evaluasi) dalam kegiatan kehumasan (Putra, 2008:1.11). Sebagai sebuah fungsi

manajemen, kegiatan humas mencakup mengelola reputasi perusahaan, mengevaluasi

sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan prosedur yang dilakukan organisasi

berdasarkan kepentingan publik dan menjalankan program yang bertujuan untuk

mendapatkan pengertian dan penerimaan publik.

Untuk kepentingan penelitian, definisi dari Cutlip, Centre dan Broom inilah yang

akan kita gunakan sebagai landasan apa itu hubungan masyarakat. Di sisi lain, pendekatan

hubungan masyarakat yang digunakan di sini tidak semata hubungan masyarakat sebagai

state of being saja, namun juga sebagai sebuah metode komunikasi. Hal ini mengacu pada

pemikiran Efendi (1993:94), yang menyatakan bahwa pengertian hubungan masyarakat

dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai state of being dan yang kedua sebagai

method of communication (metode komunikasi). Humas sebagai state of being adalah

bentuk perwujudan dari hubungan masyarakat dalam bentuk lembaga. Hubungan

masyarakat di sini dilihat sebagai bagian dari struktur di dalam organisasi yang fungsi

utamanya adalah menjalankan komunikasi perusahaan, dan menghubungkan perusahaan

dengan publiknya. Sedangkan, dalam humas sebagai methode of communication,

hubungan masyarakat dilihat sebagai suatu metode komunikasi. Dalam artian, hubungan

masyarakat dilihat sebagai suatu rangkaian atau sistem kegiatan yang menjalankan

kegiatan komunikasi secara khas. Sebagai sebuah metode komunikasi, sebuah organisasi

dapat dikatakan telah melakukan kegiatan kehumasan tanpa harus melalui atau bahkan

memiliki lembaga kehumasan di dalamnya, ketika organisasi tersebut telah melaksanakan

kegiatan komunikasi secara khas. Pendekatan inilah yang nantinya akan lebih ditekankan

di dalam penelitian ini.

14

Sebagai metode komunikasi, suatu kegiatan dapat dinyatakan sebagai upaya

kehumasan ketika kegiatan tersebut memiliki aspek hubungan masyarakat di dalamnya,

seperti pemeliharaan hubungan yang saling menguntungkan dan adanya fungsi

manajemen seperti yang telah dikemukakan oleh Cutlip, Centre dan Broom di atas. Selain

itu, untuk lebih jelasnya, Efendi(1993:95) menyatakan, sebuah organisasi telah

melaksanakan kegiatan kehumasan, ketika organisasi tersebut telah menjalankan kegiatan

komunikasi yang khas, dengan ciri-ciri sebagai berikut;

• Komunikasi yang dijalankan bersifat 2 arah atau timbal balik

• Kegiatan yang dilaksanakan mencakup penyebaran informasi, persuasi,

dan pengkajian opini publik

• Tujuan yang ingin dicapai adalah tujuan perusahaan itu sendiri

• Sasaran yang dituju adalah publik internal dan publik eksternal organisasi

• Efek yang diharapkan adalah terciptanya harmonisasi antara organisasi dan

publiknya

2. Dukungan Pemasok di Dalam Perusahaan

Setiap perusahaan, baik itu retailer ataupun perusahaan manufaktur, harus

memperoleh material, jasa, ataupun pasokan dari sumber luar. Pembelian material, jasa

dan pasokan ini dapat diperoleh melalui pihak pemasok atau supplier. Posisi pemasok ini

sangat penting bagi operasional perusahaan sehingga sulit membayangkan bagaimana

sebuah perusahaan dapat berdiri dan beroperasi tanpa dukungan pihak lain untuk

memasok kebutuhan yang diperlukannya dalam proses produksinya. Sebuah perusahaan

juga tidak mungkin memenuhi sendiri segala kompetensi yang diperlukan. Untuk itu,

diperlukan kerja sama dan dukungan dengan pihak lain, termasuk dengan pemasok.

Lepasnya dukungan dan kepercayaan dari pemasok dapat menimbulkan hambatan dalam

proses produksi perusahaan dan hal ini akan mengganggu operasional perusahaan. Jika

tidak ditangani dengan baik, hal ini akan menimbulkan krisis bagi perusahaan dan dapat

mengancam keberlangsungan perusahaan.

Keberadaan dukungan maupun sokongan dari pemasok menjamin ketersediaan

15

pasokan bahan baku ataupun layanan yang diperlukan ketika perusahaan sedang

membutuhkannya. Dukungan dari pemasok juga mengindikasikan bahwa pemasok

bersedia untuk menjalin kerjasama dan mau terlibat dalam rencana strategis perusahaan.

Bentuk-bentuk dukungan ini dapat berupa pasokan bahan baku, peralatan, layanan,

bahkan dukungan keuangan. Pemasok juga dapat membantu dengan harga yang wajar,

kualitas yang terus diperbaiki, penyerahan barang tepat waktu dan mengurangi biaya

persediaan sehingga dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang

(Suyanto, 2007:71). Pemasok yang berpengalaman juga seringkali dapat memberikan

masukan yang berharga dalam masalah pembelian hingga pengembangan produk baru.

Menurut Bossert (2004: 3), pemasok yang potensial dapat kita lihat dan evaluasi dari

kemampuannya dalam menyediakan beberapa hal, seperti;

• Kualitas yang diinginkan, yaitu kesesuaian produk dan jasa dengan keperluan

penggunaan yang dimaksudkan.

• Jumlah total dari produk yang dibutuhkan, termasuk juga kesesuaian dengan

jadwal dimana produk dibutuhkan.

• Pelayanan secara Tangible dan intangible. Yaitu, berupa manfaat maupun

pelayanan, baik yang dapat diukur maupun yang tidak, yang dapat memberikan

manfaat lebih disamping masalah kualitas dan harga.

• Harga, sebagai salah satu nilai yang dapat diukur.

Pemasok juga merupakan salah satu mata rantai yang kritis bagi keuntungan

perusahaan, bagian pasar dan kelangsungan hidup sebagian besar perusahaan. Kualitas

dan pelayanan yang diberikan oleh pemasok berpengaruh langsung pada tingkat kualitas

dan pelayanan yang diberikan perusahaan pada pelanggan. Karena itu, pemasok menjadi

bagian dari rangkaian faktor yang mempengaruhi seluruh pencapaian dalam pasar, laba,

dan kelangsungan hidup perusahaan (Fernandez, 1995:7). Meski demikian, banyak

perusahaan menempatkan pemasok di luar lingkaran dan melihatnya sebagai pihak luar.

Hal ini membuat pemasok menjadi kurang terintegrasi dengan organisasi. Pemasok

hanyalah pihak yang memberikan perlayanan yang dibutuhkan oleh organisasi dimana

mereka harus memenuhi syarat-syarat yang diberikan organisasi kepada mereka. Dengan

kata lain, hubungan pembeli dan pemasok menjadi hubungan yang dingin yang terbatas

pada hubungan jual-beli saja. Mengasingkan pemasok semacam ini hanya akan menyia-

16

nyiakan potesi dan kemampuan pemasok dalam mendukung strategi kompetitif

perusahaan. Pemasok biasanya telah memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih

dibidangnya, sehingga seringkali, mereka memiliki pandangan dan saran yang berharga

dalam masalah pembelian, maupun bagi pengembangan produk dan strategi organisasi.

Sehingga, melibatkan pemasok dari tahap awal dan mengintegrasi pemasok dengan arah

strategis organisasi secara keseluruhan dan mengaitkan kebutuhan organisasi beserta

pelanggannya dengan pemasok perlu dilakukan. Hal ini mengakibatkan peningkatan

kesadaran akan perlunya mutu terpadu dan integrasi antara pemasok dengan pembeli,

dengan lebih menekankan hubungan jangka panjang dengan pihak pemasok.

Tingginya kualitas bahan pasokan dapat meningkatkan produktivitas operasional

di dalam perusahan. Hal ini pada akhirnya akan mengurangi biaya internal yang

dibutuhkan. Karena itu, kontrol kualitas sangat diperlukan untuk menjamin bahwa

pasokan tetap terjaga dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini sangat

membutuhkan hubungan komunikasi yang kuat. Hubungan komunikasi ini adalah salah

satu landasan yang penting bagi semua hubungan kemitraan. Hubungan semacam ini

terjalin untuk memastikan bahwa kedua pihak memperoleh keuntungan dari kerja sama

yang dilakukan dan tidak ada pihak yang dirugikan.

Ada beberpa keuntungan dan strategi yang dapat diterapkan ketika perusahaan

memiliki hubungan yang kuat dengan pemasok. Salah satunya adalah Just in Time (JIT),

yaitu pengiriman material tepat ketika hal tersebut dibutuhkan dalam proses produksi.

Ketepatan pengiriman semacam ini diperlukan dalam industri gula tebu, karena tebu

harus segera diolah setelah proses penebangan. Tujuan utama dari JIT ini adalah untuk

mengurangi penyimpanan yang dilakukan perusahaan. Secara umum, penyimpanan

biasanya dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi kondisi ketika perusahaan

dihadapkan pada insiden yang tidak terduga dan untuk memastikan perusahaan akan terus

memperoleh pasokan yang konstan. Namun hal ini dapat diatasi dengan hubungan yang

kuat dengan pemasok.Pengurangan resiko dapat dilakukan dengan hubungan komunikasi

yang rutin dan intensif dengan supplier. Selain itu, masalah ketersediaan pasokan juga

dapat dilakukan dengan forecasting atau memprediksi kebutuhan pasokan jangka panjang

dan melakukanupdate terhadap performa pemasok. JIT ini sendiri terkadang melibatkan

pembelian, pengiriman,dan produksi. Tujuan dari JIT adalah kegiatan yang sesuai dengan

tahapan waktu sehingga komponen material yang dibeli tiba ke perusahaan atau titik

17

perakitan tepat ketika mereka dibutuhkan pada proses transformasi( Bowersox, Closs dan

Cooper, 2002: 156). Sehingga proses JIT ini sangat dipengaruhi oleh jadwal produksi

final. Biasanya JIT ini dilakukan pada pemasok yang terpercaya, dan di dalamnya

dibutuhkan hubungan yang sangat dekat, kolaborasi, dan komunikasi.

Selain masalah penyimpanan, perusahaan umumnya juga berusaha

memperpendek siklus pengembangan produk untuk memperkenalkan produk ke pasar

lebih cepat. Hal ini bisa dilakukan ketika pemasok kritikal dilibatkan kedalam proses

pengembangan produk dan melibatkan asistensi mereka. Pemasok kritikal ini merupakan

pemasok yang produknya memiliki posisi yang kritis bagi pengembangan produk baru.

Supplier biasanya paham teknologi dan memiliki pengetahuan di bidangnya, serta paham

akan kapabilitas dan limit produksinya. Dengan memahami ekspektasi yang diharapkan

oleh perusahaan pembeli, pemasok dapat merekomendasikan perubahan, sehingga mereka

dapat menghasilkan performa yang lebih baik. Kebutuhan untuk melibatkan pemasok

secara lebih awal dan melibatkan mereka dalam pengembangan desain pun menjadi

semakin perlu dilakukan. Salah satu yang memicu hal ini adalah semakin pendeknya

siklus hidup produk dan permintaan konsumen sehingga dibutuhkan pengembangan

produk yang lebih cepat. Sama dengan JIT, hal ini membutuhkan dukungan dan

kepercayaan serta kolaborasi yang kuat dengan pihak pemasok.

3. Hubungan Pemasok / Supplier Relationship Management

Saat ini, lingkungan bisnis menjadi semakin kompetitif dan terus menerus

berkembang. Dalam kondisi yang demikian, kebutuhan akan proses pembelian dan

manufaktur yang lebih efisien menjadi meningkat. Sehingga, proses pembelian yang

dilakukan oleh perusahaan tidak hanya sekedar sebuah kegiatan jual beli saja. Pembelian

telah menjadi sebuah fungsi stategis yang ikut menentukan kompetensi perusahaan di

dalam persaingan bisnis dan posisi kompetitif perusahaan. Kemampuan dalam pembelian

menjadi sangat krusial dengan konsekuensi berupa keberhasilan perusahaan dalam meraih

posisi di dalam pasar. Pembelian komponen dan servis sangat menentukan sebagian besar

dari biaya manufaktur akhir. 70 hingga 80% dari biaya manufaktur akhir ditentukan dari

proses pembelian ini (Burnes dan Dale, 1998:1). Karena itu, kompetensi perusahaan di

18

bidang ini sangat diperlukan untuk menekan biaya manufaktur dan proses penambahan

nilai. Sebuah perusahaan tidak mungkin memiliki semua kompetensi sendiri, sehingga,

hubungan kemitraan yang stategis diperlukan di sini. Pembangunan hubungan kerja sama

antara buyerdan supplier telah lama menjadi perhatian dalam dunia bisnis, meskipun hal

ini terbatas dalam lingkup kompetitif.

Pandangan awal yang melihat hubungan pemasok hanya sebatas proses jual-beli

sedikit demi sedikit telah tergeser dan kebutuhan akan hubungan kemitraan dalam jangka

panjang pun mulai diperhitungkan. Paradigma akan hubungan supplier yang awalnya

hanya bersifat transaksional mulai bergeser ke arah relasional. Menurut Seth dan Sharma

(1997:92), ada beberapa beberapa alasan yang mendasari pergeseran hubungan tersebut,

yaitu, yang pertama adalah semakin berkembangnya pemasaran dan upaya-upaya

identifikasi atas keinginan dan kebutuhan dari konsumen yang spesifik. Dalam upaya

memenuhi kebutuhan tersebut, diperlukan kerja sama dengan pemasok sehingga

pelayanan dan proses pembelian menjadi lebih efisien. Yang kedua adalah, adanya

hubungan dengan pemasok membuat perusahaan menjadi lebih efektif, terutama dalam

pengimplementasian strategi, yaitu seperti ketika menerapkan quality platform. Yang

ketiga adalah, ada teknologi yang memungkinkan perusahaan untuk menyeleksi kostumer

maupun pemasok yang paling tepat dan mengkalkulasi profitabilitas. Dan terakhir,

adanya pertumbuhan kompetisi dan aliansi mendorong perusahaan untuk meningkatkan

hubungan dengan pemasok.

Seiring dengan waktu, kepentingan akan kolaborasi pun juga semakin meningkat.

Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kooperasi dan kepercayaan dari kedua pihak.

Sehingga keberadaan Supplier Relationship dalam mengatur hubungan buyer-supplier

pun diperlukan. SRM sendiri merupakan bagian dari proses makro supply chain

management dan merupakan cerminan dari CRM. Namun, jika fokus utama dari

Costumer Relationship Management adalah pelanggan maka fokus utama dari Supplier

Relationship Management adalah pemasok. CRM berdampak langsung pada keuntungan

konsumen, sedangkan SRM lebih pada perusahaan. SRM dan CRM ini merupakan

penghubung yang vital di sepanjang rantai pasokan. Posisi pemasok sendiri sama

pentingnya dengan posisi kostumer di dalam perusahaan. Pemasok sangat vital bagi

kelangsungan proses produksi perusahaan. Proses pembelian dan ketersediaan pasokan

akan banyak berpengaruh pada jadwal produksi, biaya, waktu, hingga kualitas dan

19

pemenuhan permintaan konsumen. Gangguan yang terjadi pada bagian ini berpotensi

meningkatkan jumlah biaya, menghambat proses produksi hingga operasonal perusahaan

secara keseluruhan. Karena itu, salah satu landasan dari SRM sendiri adalah, selain harus

menjalin hubungan baik dengan pelanggannya, perusahaan juga harus menjalin hubungan

yang sama baiknya dengan pemasoknya. Hubungan antara pembeli dengan pemasok tidak

boleh hanya berhenti dalam lingkup formal seperti dalam kontrak. Telah banyak kajian

yang menekankan perlunya perusahaan untuk mengeser hubungan dari paradigma formal

ke arah yang lebih behavioral dan relasional. Hal ini akan membuat hubungan keduanya

menjadi lebih fleksibel dan terbentuk kemitraan yang lebih responsif.

Sebuah hubungan kolaborasi yang baik dan aliansi yang baik antara perusahaan

dengan pemasok akan mempermudah dalam berbagi informasi strategis, lead time yang

lebih baik, pengurangan biaya dalam jangka panjang, dan peningkatan kualitas serta

fleksibilitas operasional. Hal ini akan menambah nilai produk. Salah satu keuntungan

utama dari program SRM yang paling umum diungkapkan adalah penghematan waktu.

Jika dilakukan secara baik dan berkelanjutan, hal ini akan menuntun pada penghematan

dari tahun ke tahun. Menurut data dari Nelson, Moody, dan Stegner (dalam Echenoweth,

2012:7-8) , dalam pengukuran Producer Price Index (PPI) selama periode 1992-1998

yang menunjukan persentase pertumbuhan biaya secara kumulatif, rata-rata perusahaan-

perusahaan otomotif Amerika yang ada dalam kategori Good Company memiliki

pertumbuhan biaya yang cukup tinggi dan mencapai 7,1% pada akhir 1997. Perusahaan-

perusahaan ini diketahui hanya melaksanakan Purchasing and Supply Chain Management

(PSCM) saja namun tidak berfokus pada kerja sama dengan supplier. Sedangkan rata-rata

perusahaan-perusahaan Jepang seperti Honda, Nissan, dan Toyota masuk dalam kategori

best in Class dan memiliki pertumbuhan biaya yang terus menyusut dengan nilai PPI

sebesar -16,0% pada akhir 1997. Hal ini berarti perusahaan perusahaan tersebut berhasil

menghemat hingga $600 juta jika di banding perusahaan Amerika dalam kategori Good

Company. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan otomotif Jepang tersebut

memberikan perhatian lebih pada upaya pengembangan hubungan yang lebih dekat

dengan pemasoknya.

Salah satu andil atas kesadaran akan hubungan antara perusahaan dengan

perusahaan pemasok di Jepang adalah adanya sistem Kerietsu. Kerietsu adalah sistem

konglomerat Jepang yang saling berdagang satu sama lain, sejak Restorasi Meiji pada

20

tahun 1868 (Fernandez, 1995:32). Para pengusaha tersebut membentuk suatu kelompok

yang terdiri dari beberapa perusahaan yang saling melakukan bisnis di antara mereka

sendiri, berbagi kepemilikan saham, dan saling bertemu untuk membahas keadaan.

Perbedaan perlakuan antara perusahaan Jepang dan Amerika terhadap pemasoknya juga

dikemukakan Liker dan Choi (2004), dimana hal ini terlihat dalam pernyataan seorang

Direktur pemasok sistem interior Ford, GM, and Chrysler pada Oktober 1999, yang

menyatakan bahwa 3 perusahaan otomotif terbesar di Amerika tersebut akan melakukan

cara apapun untuk mengurangi biaya dan hal tersebut menimbulkan banyak tekanan dan

ketidakpercayaan di pihak pemasok. Salah seorang Senior Executive dari salah satu

pemasok Ford juga menyatakan bahwa sikap perusahaan tersebut cenderung

konfrontasional terhadappemasoknya. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh

pemasok-pemasok perusahaan otomotif Jepang seperti Honda dan Toyota, yang

menyatakan bahwa Honda memberi banyak tuntutan tapi sangat loyal dan bagaimana

Toyota memberikan pengharggan dan membantu pemasok untuk terus mengembangkan

sistem produksi mereka. Hal ini banyak memberikan gambaran mengenai bagaimana

perbedaan pendekatan dalam berhubungan dengan supplier antara perusahaan otomotif

Jepang yang beroperasi di Amerika dan perusahaan otomotif dari Amerika. Perusahaan

otomotif Amerika lebih fokus pada penekanan biaya dan target sehingga terkadang

cenderung konfrontasional dan memposisikan supplier sebagai lawan. Sedangkan

perusahaan otomotif Jepang lebih melihat supplier sebagai mitra dan memberikan

penekanan pada hubungan jangka panjang. Dalam penelitian mengenai PPI di atas,

terlihat bagaimana perbedaan pendekatan tersebut mengantarkan perusahaan otomotif

Jepang justru menjadi yang terbaik dikelasnya dalam masalah penekanan biaya.

Menurut survei yang dilakukan pada 31 perusahaan Amerika maupun perusahaan

Asing lainnya yang dikemukakan oleh Kruss dan Handfiel (1999), mengenai performa

dan kapabilitas Supplier, terdapat beberapa perbaikan yang terjadi, yangterkait dengan

usaha pengembangan Supplier, yaitu, waktu siklus order 19 %, kualitas (yang

diindikasikan dengan lebih sedikit kekurangan dan pengembalian) sebesar 24%,

pengiriman yang tepat waktu 39%, perubahan harga pada pemasok 3%, pengurangan

shared price 7%, waktu untuk pengembangan produk baru 19%, dan akses pada teknologi

baru (Echenoweth, 2012:31).

21

Ada beberapa pemikiran, mengenai bagaimana hubungan dengan pemasok

mempengaruhi performa perusahaan. menurut Seth dan Sharma (1997), banyaknya

jumlah pemasok yang ada dapat meningkatkan level ketidakpastian. Tingginya

ketidakpastian melahirkan upaya-upaya untuk melakukan kontrol terhadap jalannya

proses pembelian. Upaya-upaya pengontrolan ini mengakibatkan adanya kenaikan dalam

masalah biaya. Efisiensi dari proses pembelianpun menjadi menurun. Hubungan dengan

pemasok di sini berfungsi untuk menurunkan ketidakpastian dalam proses pembelian.

Sehingga, proses pembelian pun bisa menjadi lebih efisien.

Di sisi lain, hubungan dengan pemasok juga dapat meningkatkan keefektifan

organisasi. Hal ini contohnya adalah ketika perusahaan ingin pemasok menginvestasikan

teknologi tertentu sehingga perusahaan pembeli dapat mengimplementasikan quality

platform, pelayanan dengan level yang lebih tinggi, ketersediaan onderdil, dan pertukaran

informasi antara perusahaan dengan pemasok. Umumnya, pemasok akan lebih bersedia

untuk terlibat dalam hal-hal tersebut ketika telah ada hubungan yang baik antara pemasok

dengan pembeli.

Menurut Prahinski dan Benton (2004), program pengembangan pemasok hanya

akan meningkatkan performa pemasok hanya jika pemasok memiliki komitmen. Hal ini

juga tergantung pada persepsi pemasok mengenai komitmen, loyalitas, dan keberlanjutan

dari hubungannya dengan pembeli. Di sini, buyerdapat mempengaruhi komitmen dan

intensitas komunikasi, dimana hal ini akan berujung pada peningkatan hubungan antara

pemasok dengan pembeli. Pengembangan hubungan ini juga melibatkan peningkatan

kerja sama, loyalitas, dan orintasi hubungan jangka panjang.

Hal lain yang harus ada di dalam hubungan perusahaan dan pemasok adalah

komitmen. Menurut Hunt dan Morgan (1994) komitmen dan kepercayaan merupakan isu

sentral yang menentukan sukses tidaknya hubungan dengan pemasok. Ada beberapa isu

yang menjadi kajian dalam masalah kelangsungan hubungan dengan pemasok. Beberapa

diantaranya adalah, masalah keuntungan, kerja sama jangka panjang, serta masalah resiko

yang dihadapi ketika perusahaan memutuskan percaya kepada pemasok dan bahwa

mereka tidak akan berlaku oportunis.Karena itu, dibutuhkanlah komitmen dan

kepercayaan, sehingga efisiensi, produktivitas, dan efektivitas bisa meningkat.

Singkatnya, komitmen dan kepercayaan merupakan kunci yang mendorong perilaku

22

kooperatif di dalam hubungan antara pemasok dan pembeli. Anderson dan Weitz (1991)

juga menyatakan bahwa hubungan di dalam supply chain bergantung pada persepsi akan

komitmen antar anggotanya. Sehingga perilaku yang ditunjukan oleh perusahaan akan

mempengaruhi persepsi pemasok akan komitmen perusahaan, dan hal ini akan

mempengaruhi komitmen dari pemasok itu sendiri. Dengan kata lain, komitmen dari

perusahaan akan membuahkan komitmen pada pemasok.

Seperti yang telah disebutkan di atas, aspek lain yang juga tidak kalah penting

dalam keberlangsungan hubungan dengan pemasok adalah kepercayaan. Aspek ini

diidentifikasikan ketika partner memiliki integritas dan dapat dipercaya hingga level

tertentu (Morgan dan Hunt, 1994). Integritas sendiri seringkali dikaitkan dengan beberapa

hal, yaitu kualitas yang handal, kemampuan, kejujuran, keadilan, tanggung jawab,

kehadiran dan nilai kebajikan(Dwyer &Lagrace, 1986;Rotter, 1971danMorgan&Hunt,

1994). Kepercayaan dan integritas ini tidak muncul begitu saja. Kepercayaan akan

muncul setelah teruji seiring dengan dengan berjalannya waktu. Dengan munculnya

kepercayaan antara pembeli dan pemasok, hubungan antara keduanya baru dapat terjalin

dengan efektif.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini akan melihat bagaimanakah Supplier Relationsdijalankan di PG

Madukismo pasca adanys program swasembada gula 2014. Di dalam penelitian ini, yang

lebih ditekankan adalah ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’ fenomena tersebut terjadi, dimana di

dalamnya, kontrol terhadap peristiwa tidak dapat dilakukan dan fenomena terjadi secara

aktual. Untuk itu, metode yang sesuai untuk digunakan di dalam penelitian ini adalah

studi kasus.

Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang umum untuk digunakan, jika

pokok permasalahan yang diajukan adalah “how” dan “why” dan peneliti hanya memiliki

sedikit peluang untuk melakukan kontrol atas peristiwa yang berlangsung (Yin, 1996:1).

Yin (1984) memberikan pengertian yang lebih rinci, yaitu, penelitian studi kasus adalah

sebuah metoda penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang

23

terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara

fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data.Studi

kasus merupakan metode penelitian kualitatif yang melibatkan pengujian intensif, dengan

menggunakan berbagai sumber data yang dapat bersifat kuantitatif, kualitatif, atau bisa

juga menggunakan keduanya. Studi kasus bukan merupakan metode yang digunakan

untuk menguji sebuah teori, namun untuk mempelajari mengenai aspek yang melekat

pada suatu teori. Pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” ini juga lebih eksplanatoris dan

lebih mengarah ke penggunaan strategi kasus, dimana pertanyaan semacam ini berkenaan

dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri, dan bukan

sekedar frekuensi atau kemunculan (Yin, 1996:7).

1. Objek Penelitian

Fenomena yang diteliti menggunakan studi kasus merupakan fenomena

kontemporer atau masa kini di dalam kehidupan nyata. Program swasembada gula

merupakan program yang dicangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi gula

di indonesia, dengan target untuk memenuhi swasembada gula pada tahun 2014. Program

ini telah dijalankan hingga saat ini dan salah satunya adalah dengan melalui program

revitalisasi industri gula 2010-2014.Masalah kurangnya pasokan tebu untuk produksi gula

yang di alami oleh PG Madukismo juga merupakan masalah aktual yang masih terus

terjadi hingga saat ini, yang mengancam pencapaian program ini. Sehingga, yang menjadi

objek penelitian dalam penelitian ini adalah aktivitaspublic relation di dalampengelolaan

Supplier Relations PG Madukismo, dalam upaya pemenuhan program swasembada gula

nasional 2014 yang dicanangkan pemerintah Republik Indonesia.

Melalui penelitian ini, peneliti tidak hanya mencari apa itu hubungan pemasok

namun lebih pada bagaimana sebuah hubungan pemasok terjadi di sebuah pabrik gula

dalam upaya pencapaian swasembada gula nasional 2014, dan variabel apa saja yang

terlibat di dalamnya. Dengan melalui penelitian studi kasus ini, data yang didapatkan bisa

lebih detail serta mendalam dan memungkinkan peneliti untuk menemukan data-data

yang terlihat tidak penting namun ternyata memiliki peranan yang penting setelah melalui

24

penelitian. Sehingga,tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh data baru yang

melengkapi ataupun mengganti data sebelumnya.

2. Teknik pengumpulan Data

Data merupakan unsur yang penting di dalam sebuah penelitian. Dibutuhkan suatu

data yang tepat dan akurat agar peneliti dapat memperoleh jawaban dari pertanyaan dan

tujuan penelitian yang dilakukan. Kualitas data ini sangat erat kaitannya dengan kualitas

penelitian. Sehingga, diperlukan teknik pengumpulan data yang tepat agar data yang

dihasilkan akurat dan sesuai dengan tujuan dari penelitian. Menurut Keller (1994)

sendiri, pengumpulan data dapat didefinisikan sebagai satu proses mendapatkan data

responden melalui responden dengan menggunakan metode tertentu. Di dalam penelitian

ini, metode pengumpulan data yang akan dilakukan adalah;

• Observasi

Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana

peneliti atau kolaboratornya mencatat informasi sebagaimana yang mereka

saksikan selama penelitian (Gulo, 2002:116). Pengamatan ini dapat

dilakukan dengan cara kasual maupun formal. Secara formal, akan

dilakukan pengukuran atas tipe perilaku tertentu selama periode waktu

yang ditentukan dengan melalui pengamatan atas kerja yang dilakukan

dipabrik, pelaksanaan di lapangan, dan kegiatan lain yang berkaitan

dengan hubungan perusahaan, yaitu PG Madukismo dengan pemasoknya.

Sedangkan observasi kasual merupakan pengamatan yang tidak harus

dilaksanakan secara formal ataupun terikat pada periode tertentu dan dapat

dilakukan selama pengumpulan bukti-bukti yang dibutuhkan ketika

melakukan wawancara ataupun dokumentasi.

• Wawancara

Wawancara merupakan suatu tipe teknik observasi dimana data linguistik

merupakan fokus investigasi utama (Crano dan Brewer, 1986:229). Jenis

25

pengumpulan data ini dapat dilakukan secara tatap muka dengan bertemu

langsung dengan narasumber. Cara lainnya adalah melalui telepon,

meskipun ada batasan dalam pengumpulan melalui tipe ini. Sedangkan

untuk jenis wawancara yang akan dilakukan, penelitian ini akan

menggunakan wawancara jenis open-ended. Yaitu peneliti menanyakan

pertanyaan-pertanyaan mengenai berbagai fakta di samping opini dari

responden sendiri. Dengan demikian, responden akan cenderung lebih

bebas dalam menjawab. Ada dua cara yang dilakukan dalam wawancara,

yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan

dengan cara peneliti menanyakan pertanyaan yang telah disusun

sebelumnya. Sedangkan, wawancara tidak terstruktur lebih tidak terikat

pada susunan pertanyaan dan wawancara yang dilakukan mengalir dengan

bebas.

Pemilihan sampel sendiri dilakukan secara sengaja maupun

berlanjut (purposive atau snowball). Purposive sampling sering juga

dianggap jugdement sampling. Peneliti memilih sampel secara sengaja

dengan melalui penilaian akan siapa yang berada dalam posisi terbaik

untuk memberikan informasi yang dibutuhkan. Sedangkan untuk

pemilihan sampel bola salju, peneliti memilih narasumber yang dapat

memberikan informasi yang dibutuhkan dan mampu menuntun peneliti

kepada narasumber lain yang dapat memberikan data yang diperlukan dan

juga dapat menuntun kepada sumber lain, demikian seterusnya, saling

berantai sesuai dengan kebutuhan dari penelitian. Narasumber setidaknya

akan meliputi Humas, Pegawai PT. Madubaru (PG Madukismo),

kelompok tani, Sinder, Dinas pertanian, pemilik lahan, pengangkut tebu

dan narasumber lain yang terkait dengan masalah pasokan tebu PG.

Madukismo.

• Studi pustaka

Studi pustaka merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menghimpun

informasi yang relevan dengan topik penelitian. Teknik ini digunakan

untuk mengumpulkan data dengan memanfaatkan buku-buku, makalah,

26

jurnal, kartu katalog, referensi umum dan khusus, buku pedoman, laporan-

laporan penelitian yang telah dilakukan, tesis, disertasi, jurnal, ensiklopedi,

surat kabar, dan penelusuran internet. Hal ini termasuk dokumen, arsip,

dan bahan tertulis lain dari PG Madukismo yang berkaitan dengan masalah

pasokan dan hubungan dengan pemasok PG.

3. Teknik Analisis Data

Menurut Yin (1996:133) ada 3 teknik analisis data dominan yang digunakan

dalam studi kasus, yaitu, penjodohan pola, pembuatan penjelasan, dan analisis

deret waktu. Teknik ini dapat diaplikasikan ke dalam studi kasus tunggal maupun

multi kasus. Teknik lainnya juga dimungkinkan untuk digunakan tetapi jika ada

situasi-situasi khusus, yaitu ketika ada unit-unit analisis terpancang atau ketika

banyak jumlah studi kasus yang harus dianalisis. Jika menggunakan teknik lain

pun, teknik dominan ini tetap harus digunakan dan tidak secara terpisah. Teknik

analisis pembuatan penjelasan merupakan jenis khusus dari penjodohan pola dan

akan lebih cocok ketika penelitian yang digunakan adalah eksplonatori.

Sedangkan deret waktu lebih mengarah pada pendeteksian perubahan tren. Untuk

penelitian ini sendiri, yang akan digunakan adalah penjodohan pola.

Penjodohan pola ini dilakukan dengan cara memperbandingkan pola yang ada di

dalam empiris dengan pola yang telah diprediksikan. Ketika ada kesamaan pada

kedua pola tersebut, maka hal ini akan menguatkan validitas internal studi kasus

yang dilakukan (Yin, 1996:140). Untuk penelitian eksplanatori, pola yang

digunakan berkaitan dengan variabel dependen dan independen.