43
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Poligami merupakan isu yang sangat kontroversial, tidak hanya di kalangan umat Islam, tetapi juga di antara non-Muslim. Poligami telah dilarang secara hukum di negara-negara barat, termasuk Amerika Serikat. Ini tidak berarti, bahwa mereka tidak melakukan poligami di negara tersebut. Beberapa pria secara hukum hanya memiliki satu istri, tetapi mereka mungkin memiliki hubungan di luar nikah atau menyimpan satu atau lebih selir di tempat yang berbeda (fakta poligami) (Nurmila, 2009: 21). Di Indonesia sendiri, poligami merupakan praktik pernikahan yang dilegalkan. Meskipun ada batasan-batasan mengenai poligami, namun secara tertulis poligami telah diperbolehkan di negara Indonesia. Hal ini terlihat dari peraturan tentang poligami yang tercantum dalam undang- undang pernikahan. Ada beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami, antara lain tercantum dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 3 tentang perkawinan, berbunyi: Pasal 3 ayat (1), pada azaznya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat (2), pengadilan, dapat memberi izin kepada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.ums.ac.id/40054/2/BAB I.pdf · dilakukannya dinamakan Poligami Islami. Hal ini untuk membedakan ... ketiga film Indonesia yang mengangkat

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Poligami merupakan isu yang sangat kontroversial, tidak hanya di

kalangan umat Islam, tetapi juga di antara non-Muslim. Poligami telah

dilarang secara hukum di negara-negara barat, termasuk Amerika Serikat.

Ini tidak berarti, bahwa mereka tidak melakukan poligami di negara

tersebut. Beberapa pria secara hukum hanya memiliki satu istri, tetapi

mereka mungkin memiliki hubungan di luar nikah atau menyimpan satu

atau lebih selir di tempat yang berbeda (fakta poligami) (Nurmila, 2009:

21).

Di Indonesia sendiri, poligami merupakan praktik pernikahan yang

dilegalkan. Meskipun ada batasan-batasan mengenai poligami, namun

secara tertulis poligami telah diperbolehkan di negara Indonesia. Hal ini

terlihat dari peraturan tentang poligami yang tercantum dalam undang-

undang pernikahan. Ada beberapa aturan atau undang-undang yang

merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami, antara lain

tercantum dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 3 tentang

perkawinan, berbunyi:

Pasal 3 ayat (1), pada azaznya seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai

seorang suami. Ayat (2), pengadilan, dapat memberi izin kepada

2

seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Undang-undang

Republik Indonesia tentang perkawinan, 1979: 30)

Kendati begitu poligami tetap menjadi hal yang sulit diterima di

masyarakat. Poligami merupakan isu di masyarakat yang sudah terjadi

sejak lama namun masih menjadi polemik. Baik dari sudut pandang

agama, sosial dan perundang-undangan. Dalam pengertian umum di

masyarakat, poligami diartikan sebagai seorang laki-laki kawin dengan

banyak wanita. (Suprapto, 1990: 71).

Dalam kitab suci juga telah dijelaskan secara gamblang mengenai

hukum poligami ini. Dari prespektif itulah maka poligami telah terjadi

beberapa tahun lalu. Dalam kitab suci agama Islam, Al-Qur‟an

menerangkan mengenai hukum poligami. Seperti yang sudah dijelaskan

dalam Al-Qur‟an surat An-Nissa ayat 3. Berbunyi:

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu

mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang

kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

3

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

aniaya.

Dari potongan ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam

tidak melarang adanya poligami, tetapi juga tidak mewajibkan. Jika

seorang laki-laki tidak mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka

lebih baik menikahi satu perempuan saja agar tidak menyakiti. Dari

penjelasan ini, tampak bahwa Islam juga memikirkan posisi perempuan

yang di poligami, meskipun dalam agama Islam sendiri tidak melarang

seorang laki-laki untuk berpoligami.

Penjelasan mengenai potongan ayat ini dijalaskan Asy-Syafi‟y dalam

Tafsir Ibnu Qayyim, agar keluarga yang menjadi tanggungan kalian tidak

banyak. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga yang sedikit lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya. (Qayyim, 2000: 254)

Tidak hanya dalam agama Islam, hukum mengenai poligami ini juga

dijelaskan secara gamblang dalam ajaran agama Kristen. Dalam hukum

mengenai poligami ini di jelaskan dalam Injil Matius pasal 19, ayat 4

sampai 6 yang berbunyi :

“Apakah kalian belum membaca, bahwa Tuhan yang

menciptakan makhluk pada permulaannya, telah menciptakan

mereka dua orang, satu laki-laki dan satu wanita. Oleh sebab

itu, laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya, dan melekatkan

dirinya dengan isterinya dan mereka berdua menjadi satu

tubuh. Kalau begitu, mereka kemudian bukan lagi dua tubuh,

tetapi satu tubuh; karena tubuh yang dihimpunkan oleh Allah,

tidak akan dipisahkan oleh manusia”.

4

Pendeta-pendeta Kristen menjadikan ayat-ayat ini sebagai bukti

bahwa poligami itu diharamkan. Dengan landasan bahwa perkawinan itu

menjadikan kedua suami istri menjadi satu tubuh, laki-laki merupakan

kepala dan wanita merupakan badan. Sehingga tidak mungkin ada seorang

laki-laki sebagai kepala dan ada beberapa orang wanita sebagai tubuhnya,

karena biasanya satu kepala mempunyai satu badan dan juga satu badan

mempunyai satu kepala (Atthar, 1976: 86).

Perdebatan mengenai poligami juga dilansir dalam portal berita

BBC.com (2006), dengan judul Kontroversi Poligami di Indonesia. Isi

berita tersebut menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia akan merevisi

peraturan larangan beristri lebih dari satu yang sekarang hanya berlaku

bagi pegawai negeri sipil. Namun rencana pemerintah ini ternyata

menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Berbagai alasan muncul dari

masyarakat. Ada yang menolak dengan menganggap rencana pemerintah

tersebut melanggar kebebasan individu dan ada yang memberi tanggapan

netral bahkan ada yang menerima dengan alasan perempuan mana yang

mau dimadu dan menjadi istri kedua. Pandangan masyarakat mengenai

rencana pemerintah tersebut bisa menjadi gambaran perdebatan mengenai

poligami di Indonesia.

Poligami di Indonesia mulai mencuat ke media pada tahun 2002

setelah pengakuan dari seorang pengusaha Ayam Bakar Wong Solo, yaitu

Puspo Wardoyo. Puspo Wardoyo memaparkan bahwa memiliki istri empat

merupakan hal untuk menghindari perselingkuhan dan Zina. Untuk

5

mengkampanyekan Poligami, Ia juga telah menyelenggarakan Poligami

Award pada tahun 2003 di Jakarta. Menurut Puspo, praktik poligami yang

dilakukannya dinamakan Poligami Islami. Hal ini untuk membedakan

berpoligami yang melulu berdasarkan nafsu dengan yang berlandaskan

agama Islam. (Fathurohman, 2007:54).

Selain praktik Poligami Puspo Wardoyo beberapa praktik poligami

kembali santer di media pada tahun 2006, yaitu dilakukan oleh KH

Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal dengan nama Aa Gym. DAI

kondang ini melakukan praktik poligami dengan memiliki dua orang isteri

yang kemudian menjadi perdebatan hangat di masyarakat pada tahun itu.

Pada perkembangannya, kembali mencuat nama dari beberapa tokoh

masyarakat yang melakukan hal serupa. Seperti poligami yang dilakukan

oleh syekh Puji yang menikahi lima isteri.

Dari beberapa realitas yang terjadi mengenai praktik poligami, pro

dan kontra mengiringi dan menjadi perdebatan hangat di berbagai

kalangan masyarakat. Poligami seakan memiliki daya tarik tersendiri

untuk terus di perdebatkan, karena di belakang itu semua latar belakang

agama, hukum, dan HAM tumpang tindih di dalamnya. Berawal dari

sinilah, beberapa sineas Indonesia memandang fenomena poligami

menarik untuk diangkat ke dalam sebuah karya film.

Sehingga berdasarkan fenomena poligami yang dilakukan oleh

Puspo Wardoyo dan beberapa publik figur lainnya, oleh beberapa sineas

6

dipandang sebagai fenomena yang menarik untuk diangkat dalam sebuah

karya film. Fenomena yang menjadi perdebatan mulai tahun 2003 tersebut

mulai diangkat dalam film Berbagi Suami (2006) dan mampu meraih

sukses.

Perdebatan mengenai poligami ini tidak hanya dituangkan dalam

film Berbagi Suami (2006) saja. Akan tetapi masih ada beberapa film yang

juga melirik isu ini sebagai sebuah fenomena yang menarik untuk

dituangkan sebagai ide cerita di dalam film. Diantaranya film Ayat-Ayat

Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009).

Meskipun kedua film ini tidak secara gamblang menceritakan kisah

kehidupan berpoligami seperti halnya alur cerita dalam film Berbagi

Suami (2006), akan tetapi di dalam film ini juga menyisipkan pesan dan

gambaran akan kehidupan berpoligami seperti yang terjadi dalam

kehidupan masyarakat. Kedua film yang juga mengangkat isu poligami ini

pun mampu meraih sukses seperti halnya film Berbagi Suami (2006). Dari

ketiga film Indonesia yang mengangkat isu poligami tersebut, sedikit

banyak mampu merefleksikan kehidupan berpoligami yang terjadi di

masyarakat.

Film merupakan salah satu media massa yang merepresentasikan

realitas kehidupan. Ide yang dituangkan dalam film terkadang merujuk

pada kehidupan di masyarakat. Film baik fiksi maupun non-fiksi di latar

belakangi kenyataan, mampu mempengaruhi pola pikir khalayaknya.

7

Pesan yang disampaikan dalam film pun bervariasi dan memiliki maksud

atau makna tertentu.

Kelebihan lain dari film adalah memiliki audio-visual yang menjadi

kekuatan film sebagai bagian dari media komunikasi. Kekuatan dan

kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para

ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.

(Sobur, 2004: 127)

Perkembangan film yang pesat membuat film menjadi salah satu

media komunikasi yang disukai dan diterima di masyarakat. Oleh karena

itu, penyampaian pesan melalui media film dinilai efektif. Tidak hanya

sebagai media hiburan belaka, film juga sarat akan pesan moral, ekonomi,

politik, sosial, budaya dan agama yang mampu mengedukasi masyarakat.

Melalui film masyarakat juga bisa mendapatkan informasi.

Cerita yang di angkat dalam film sendiri bervariasi. Tema yang pada

umumnya kerap diangkat antara lain romantisme, budaya, gender, potret

kehidupan serta agama. Dari beberapa tema cerita tersebut, potret

kehidupan menjadi salah satu topik yang menarik. Potret kehidupan yang

di kemas secara apik di dalam film mampu menarik perhatian khalayak.

Dengan mengangkat suatu fenomena di masyarakat, para sineas bisa

membangun kedekatan dengan khalayaknya.

Irawanto (Sobur, 2004: 127) menjelaskan bahwa film selalu

mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan

8

(message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang

muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah

potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam

realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian

memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2004: 127).

Adanya respon dari masyarakat terkait berita yang dilansir oleh

BBC.com (2006) menjelaskan bahwa ada sebagian yang menerima

poligami, namun tidak sedikit juga yang menolak. Sebagaimana yang

digambarkan dalam film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008)

dan Perempuan Berkalung Sorban (2009), poligami yang terjadi di

masyarakat di latar belakangi oleh berbagai alasan. Baik itu karena faktor

ekonomi, ketaatan terhadap agama hingga rasa empati. Perbedaan faktor

pendorong terjadinya poligami yang ditampilkan dalam film ini

diharapkan bisa dinilai dan dimaknai oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan

masyarakat sebagai penonton bukanlah khalayak pasif yang menerima

pesan dari media secara mentah.

Sehingga penelitian ini bertujuan ingin melihat bagaimana

pemaknaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film Indonesia.

Apakah poligami bisa di maklumi dan dianggap wajar jika di latar

belakangi oleh berbagai alasan yang di gambarkan dalam film tersebut.

Mengingat tidak hanya masyarakat awam yang melakukannya, tetapi juga

politikus, publik figur bahkan pemuka agama.

9

Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

bagaimana pemaknaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film

Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi polemik. Selain itu

ketertarikan peneliti terhadap film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta

(2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009) dikarenakan ketiga film

ini berhasil meraih penghargaan.

Film Berbagi Suami (2006) garapan sutradara Nia Dinata berhasil

meraih kategori film terbaik dalam Penghargaan Festival Film Jakarta.

(filmindonesia.or.id, 2006) Meskipun diwarnai kontroversi, film

Perempuan Berkalung Sorban (2009) karya sutradara Hanung Bramantyo

berhasil meraih kategori film terbaik dalam Penghargaan Piala Citra.

(filmindonesia.or.id, 2009) Berbeda dengan Perempuan Berkalung Sorban

yang penuh kontroversi, film Ayat-Ayat Cinta (2008) yang juga merupakan

karya Hanung Bramantyo berhasil merebut perhatian penonton dan

menyabet 5 piala terpuji dalam Festival Film Bandung. (detik.com, 2008)

Sesuai penelitian yang dilakukan, peneliti menggunakan metode

analisis resepsi. Metode analisis resepsi merupakan metode yang biasa

digunakan untuk melihat pemaknaan khalayak terhadap suatu teks media.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan khalayak mengenai

alasan poligami dalam film Indonesia. Informan akan dipilih berdasarkan

latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini diharapkan agar mendapatkan

data yang beragam dari pemaknaan khalayak mengenai alasan poligami

dalam film Indonesia tersebut.

10

Metode analisis resepsi yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis resepsi Stuart Hall. Analisis resepsi atau studi penerimaan

Stuart Hall berfokus pada isi teks media. Beberapa teks dapat ditafsirkan

dalam cara-cara yang berbeda yang disebut sebagai polisemi. Hall

berpendapat bahwa walaupun sebagian besar teks bersifat polisemi,

komunikator secara umum menginginkan beberapa posisi pemaknaan

yaitu pemaknaan yang dominan, makna negosiasi dan penafsiran yang

berlawanan (Baran dan Davis, 2010: 304).

Sampel dalam penelitian ini adalah penonton dengan menggunakan

teknik pengambilan sampel purposive sampling. Purposive sampling

merupakan teknik pengambilan sampel dengan cara peneliti memilih

informan sesuai dengan kebijakan peneliti. Adapun pendekatan yang

dilakukan peneliti dalam menentukan informan yaitu dengan

menggunakan teori feminisme post-modern.

Feminisme post-modern merupakan bahasa semu laki-laki yang

berpengaruh pada hubungan jenis kelamin, cara dominasi laki-laki telah

membatasi komunikasi wanita, dan cara wanita melengkapi dan menolak

pola tutur dan bahasa laki-laki. (Littlejohn, 2009: 479).

Dari penjelasan mengenai feminisme post-modern tersebut, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki bahasa

sendiri dalam melihat dunia. Hal ini dipengaruhi oleh nilai, norma yang

ada di sekitar mereka dan pengalaman yang mereka dapat. Teori ini

11

digunakan untuk menjelaskan posisi informan dalam menyikapi alasan

poligami di film Indonesia tahun 2006-2009. Sehingga berdasarkan teori

ini, peneliti bisa menentukan informan yang cocok untuk menjadi subjek

penelitian.

Adapun penelitian terdahulu milik Novy Khusnul Khotimah

(Universitas Diponegoro, 2009) yang berjudul Representasi Poligami

dalam Film “Berbagi Suami”. Penelitian ini menggunakan metode

semiotika yang bertujuan untuk meneliti tanda-tanda dalam film baik

audio maupun visual atau tanda-tanda lain yang digambarkan berdasarkan

pada penanda dan petanda yang kemudian diidentifikasi dalam bentuk

makna denotatif maupun konotatif yang berdasarkan pada teori. Hasil dari

penelitian ini mengindikasikan bahwa dalam pernikahan poligami penuh

dengan konflik dan ternyata memberikan dampak negatif yang lebih besar

daripada nilai positif bagi individu pada khususnya, maupun masyarakat

yang bersangkutan pada umumnya.

Selanjutnya penelitian milik Dona Devianti (Universitas

Diponegoro, 2011) dalam penelitiannya yang berjudul Penafsiran

Khalayak Terhadap Poligami Dalam Sinetron Religi. Penelitian ini

dilatarbelakangi oleh maraknya tayangan sinetron religi saat memasuki

bulan ramadhan yang salah satunya mengangkat isu poligami. Penelitian

ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis penerimaan

khalayak yang berfokus pada teks media dan pembacaan khalayak.

Penelitian ini mejelaskan bahwa ada tiga posisi pembaca yaitu dominant-

12

hegeminic, negotiated reading dan oppositional reading. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa interpretasi khalayak terhadap poligami

tidak berubah setelah menyaksikan Ketika Cinta Bertasbih.

Berikutnya penelitian milik Ahmad Fauzan (UMS, 2013) dalam

penelitiannya yang berjudul Analisis Penerimaan Mahasiswa UMS

Terhadap Nilai-Nilai Toleransi Antar Umat Beragama dan Pluralisme

Dalam Film “?” (Tanda Tanya). Dalam penelitian ini, bertujuan untuk

mengetahui penerimaan khalayak tentang sikap toleransi antar umat

beragama dan nilai unsur pluralisme di dalam film. Metode penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Reception Analisys Encoding-

Decoding Stuart Hall dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Hasil

penelitiannya adalah dari setiap informan memiliki penerimaan yang

berbeda yaitu oppositional („counter hegemonic‟) reading, dominant

(„hegemonic‟) reading dan Negotiated reading. Sehingga melalui hasil

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerimaan mahasiswa UMS

terdapat nila-nilai toleransi antara umat beragama dan pluralisme dalam

film “?” (Tanda Tanya) menunjukkan Pro dan Kontra terhadap pesan yang

disampaikan.

Dibandingkan dengan ketiga penelitian terdahulu diatas, penelitian

yang dilakukan peneliti memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya

terletak pada metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini

menggunakan metode analisis resepsi seperti penelitian milik Fauzan

Ahmad dan Dona Devianti. Penelitian ini juga melihat poligami dalam

13

film seperti penelitian milik Novy Khusnul Khotimah dan Dona Devianti.

Penelitian ini juga memiliki kesamaan objek dengan penelitian milik Novy

Khusnul Khotimah. Akan tetapi penelitian ini menggunakan metode yang

berbeda dengan penelitian milik Novy Khusnul Khotimah. Penelitian ini

lebih berfokus pada penerimaan khalayak terhadap alasan poligami dalam

film Indonesia yaitu dalam film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta

(2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009), Sedangkan

perbedaannya dengan penelitian milik Fauzan Ahmad yaitu terletak pada

objek penelitiannya.

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimana resepsi audience terhadap alasan poligami dalam film

Indonesia tahun 2006-2009?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui encoding alasan poligami dalam film Indonesia

tahun 2006-2009.

2. Untuk mengetahui decoding alasan poligami dalam film Indonesia

tahun 2006-2009.

3. Untuk mengetahui resepsi audience terhadap alasan poligami dalam

film Indonesia Tahun 2006-2009.

D. MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian yang dipaparkan diatas, maka

diharapkan ada manfaat teoritis maupun praktis yang diperoleh dari

penelitian ini. Manfaat tersebut meliputi :

14

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan pemahaman khususnya dalam bidang ilmu komunikasi

terhadap penerimaan masyarakat dalam kajian teks media.

b. Memberikan kontribusi pengetahuan bagi peneliti dan masyarakat

umum mengenai penerimaan masyarakat terhadap teks media.

2. Manfaat Praktis

Membantu mahasiswa dalam memahami bagaimana masyarakat

memaknai dan menerima suatu pesan media, khususnya film.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Komunikasi Massa

Dalam kesehariannya manusia tidak terlepas dari proses komunikasi.

Komunikasi sudah menjadi bagian yang penting dari manusia itu sendiri.

Dalam kehidupan bermasyarakat, proses komunikasi merupakan bagian

yang digunakan untuk berinteraksi. Sehingga komunikasi dan manusia

memiliki kaitan yang erat.

Komunikasi adalah salah satu dari kegiatan sehari-hari yang benar-

benar terhubung dengan semua kehidupan kemanusiaan, sehingga kadang-

kadang kita mengabaikan penyebaran, kepentingan dan kerumitannya.

Setiap aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan

orang lain, seperti pesan-pesan dari orang-orang yang tidak kita kenal,

orang-orang dari jauh dan dekat, hidup dan mati (Littlejohn, 2009: 3).

15

Dalam prosesnya, komunikasi memiliki lima unsur penting.

Sehingga pada akhirnya bisa disimpulkan sebagai proses komunikasi.

Seperti yang dijelaskan Harold Lasswell dalam Mulyana (2010: 69), ia

menggambarkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut

: “who, says what, to whom, in with channel, with what effect” (siapa,

mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dengan pengaruh

bagaimana). (Mulyana, 2010: 69).

“Berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima unsur

komunikasi yang saling bergantung satu sama lain yaitu,

sumber (source, sender,communicator), pesan, penerima

(receiver,communicatee,audience), dan efek. Jadi menurut

paradigma Lasswell, komunikasi merupakan proses

penyampaian pesan dari komuikator kepada komunikan

melalui media dan menimbulkan efek tertentu. (Mulyana,

2010: 69-71).”

Cangara dalam pengantar ilmu komunikasi (2002) membagi level

komunikasi kedalam 5 macam, diantaranya komunikasi Antar Pribadi

(Interpersonal Communication), Komunikasi Kelompok Kecil (Small

Group Communication), Komunikasi Organisasi (Organizational

Communication), Komunikasi Massa (Mass Communication) dan

Komunikasi Publik (Public Commmunication). (Cangara, 2002: 29)

Dalam studi ilmu komunikasi, objek yang akan diteliti termasuk

dalam level komunikasi massa. Di ikuti kata massa dibelakangnya, level

komunikasi ini jelas memiliki khalayak yang luas. Sehingga membutuhkan

media sebagai alat penyampaian pesan. Baran (2012) berpendapat,

komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama antara media

16

massa dan khalayaknya. Menurut model Osgood-Schramm memiliki

banyak kesamaan-interpreter, encode, decode, dan pesan. Tetapi

perbedaannya memberikan kita pemahaman tentang perbedaan komunikasi

massa dengan bentuk komunikasi lainnya. (Baran, 2012: 7-8)

Tidak hanya Baran, Joseph A. Devito dalam buku Communicology:

An Introduction to the Study of communication, juga memaparkan definisi

yang lebih tegas mengenai komunikasi massa, ia mengatakan bahwa:

“Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang

ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa

banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh

penduduk atau semua orang yang membaca atau menonton

televisi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada

umumnya agak sukar untuk disefinisikan. Kedua, komunikasi

massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-

pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa

barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila di definisikan

menurut bentuknya: televisi,radio, surat kabar majalah, film,

buku, dan pita”. (Effendy, 1992: 21)

Dennis McQuail (1972) membagi fungsi komunikasi massa bagi

masyarakat dalam 4 fungsi yang terdiri dari informasi, identitas pribadi,

integrasi dan interaksi sosial serta hiburan (Rosmawaty, 2010: 120-121).

Selain itu komunikasi massa juga memiliki elemen-elemen yang

terdapat dalam komunikasi secara umum. Nurudin menyebutkan beberapa

elemen dalam komunikasi massa antara lain komunikator, isi, audience,

umpan balik, gangguan (saluran dan semantik), gatekeeper, pengatur,

filter, dan efek (Nurudin, 2013: 95).

17

Dalam komunikasi massa, media massa berperan sebagai

komunikator. Media massa digunakan untuk menyampaikan informasi

kepada khalayak luas yang beragam. Dalam komunikasi massa, media

massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film merupakan alat

yang utama dalam menyampaikan pesan. Sehingga dalam proses

komunikasi massa, media menjadi sumber dominan bagi khalayaknya.

2. Film Sebagai Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan komunikasi yang dilakukan terhadap

khalayak luas yang heterogen. Komunikasi massa dalam prosesnya

menggunakan media massa (cetak maupu elektronik) sebagai alat untuk

penyampaian pesan atau informasi.

Dalam kajian ilmu komunikasi, film merupakan bagian dari

komunikasi massa. Bisa dikatakan sebagai komunikasi massa sebab film

merupakan salah satu bentuk komunikasi kepada orang banyak dengan

melalui perantara media. Dalam film, pembuat film menyampaikan pesan

kepada khalayak luas melalui media. Film tentu tidak mengalami

perkembangan yang cepat dalam penemuannya. Sehingga membutuhkan

waktu yang lama untuk membuat film dikenal dan diterima di masyarakat.

Tamburaka (2013) menyebutkan bahwa sejarah penemuan film

berlangsung cukup panjang, ini disebabkan melibatkan masalah-masalah

teknik yang cukup rumit seperti masalah optik, lensa, kimia, proyektor,

camera, roll film bahkan masalah psikologi (Tamburaka, 2013: 60).

18

Sejalan dengan penjelasan Tamburaka (2013) mengenai film,

McQuail mengatakan bahwa saat ini film telah berubah menjadi alat

presentasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih tua, menawarkan

cerita, panggung, musik, drama, humor, dan trik teknis bagi konsumsi

populer. Film juga hampir menjadi media massa yang sesungguhnya

dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar

dengan cepat, bahkan di wilayah pedesaan (McQuail, 2011: 35).

Film merupakan suatu industri yang mampu menghadirkan

perubahan dalam masyarakat. Realitas sosial yang dihadirkan dalam

sebuah cerita film bisa merubah perspektif masyarakat dalam melihat

suatu fenomena. Tidak hanya itu, melalui audio visualnya film bisa

memberikan keuntungan yang cukup besar bagi para pelaku media. Oleh

karena itu, saat ini industri perfilman semakin berkembang pesat, termasuk

di Indonesia.

Dominick (2000) memberikan penjelasan mengenai industri film. Ia

menjelaskan bahwa industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah

menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya

seni, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang

yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna.

Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film

adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi

mesin uang yang sering kali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu

sendiri (Ardianto dan Erdinaya, 2005: 134).

19

Di era ini film digemari hampir di setiap lapisan masyarakat. Film

sebagai budaya popular memiliki kekuatan audio-visual yang menjadi

daya tarik bagi khalayak. Hal ini membuat film menjadi tontonan yang

menarik. Selain itu khalayak lebih mudah menerima pesan dari film

dibandingkan berita maupun informasi lainnya. Hal ini disebabkan karena

film dikemas dengan cerita-cerita yang menarik.

Ardianto dan Erdinaya menyebutkan bahwa seperti halnya siaran

televisi, tujuan utama khalayak menonton film adalah ingin memperoleh

hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif

maupun edukatif, bahkan persuasif. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila

film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film

dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara

berimbang (Ardianto dan Erdinaya, 2005: 136).

Film yang mengangkat fenomena di masyarakat relatif lebih menarik

perhatian khalayak. Hal itu terjadi karena khalayak merasa mereka

memiliki kedekatan dengan peristiwa yang ditampilkan dalam film

tersebut. Seperti yang dijelaskan Irwanto (1999: 3) dalam Sobur (2004),

film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu

merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan

kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2004: 127).

Sebagai media massa, film diposisikan sebagai komunikator dan

khalayak sebagai komunikan. Sehingga film sebagai media massa

20

bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak luas. Pesan yang

disampaikan melalui film sebagaian besar merefleksikan realitas sosial

yang di produksi kembali melalui media massa film.

3. Poligami

Dalam hakikatnya poligami memiliki kaitan dengan sebuah

pernikahan. Sehingga sebelum mengkaji mengenai poligami, ada baiknya

memahami pernikahan terlebih dahulu. Perkawinan dengan pernikahan

sebenarnya mempunyai maksud sama yaitu seuatu perjanjian atau akad

antara kemanten laki-laki dengan wali dari kemanten wanita yang berisi

keabsahan ikatan lahir batin antara kedua kemanten itu berdasarkan syarat

rukun yang ditetapkan oleh hukum (Suprapto, 1990:35).

Dalam pernikahan sendiri, dikenal dengan adanya praktik poligami.

Dalam pengertian bahasa poligami diartikan sebagai kawin banyak. Baik

laki-laki kawin dengan banyak perempuan, atau seorang perempuan kawin

dengan banyak laki-laki. Sedangkan dalam pengertian umum yang berlaku

di masyarakat, poligami diartikan seorang laki-laki yang kawin dengan

banyak wanita (Suprapto, 1990: 71).

Akan tetapi pemahaman yang berkembang di masyarakat,

mengalami kekeliruan dalam memaknai istilah poligami. Poligami di

masyarakat diartikan sebagai poligini yang berarti pria menikah dengan

lebih dari satu wanita. Sedangkan pada hakikatnya poligami sendiri

mempunyai dua macam jenis perkawinan, yaitu poliyandri dan poligini.

21

Dua macam perkawinan tersebut dipaparkan oleh Suprapto (1993:

71). Ia menjabarkan poligami dalam 2 macam, diantaranya:

a. Polyandri merupakan perkawinan antara seorang perempuan dengan

beberapa orang laki-laki.

b. Poligini merupakan perkawinan antara seorang laki-laki dengan

beberapa perempuan.

Muthahari menyebutkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari,

problem mengenai poligini lebih banyak ditemui daripada poliyandri. Ini

dikarenakan poligini lebih lumrah dan relatif lebih dapat diterima

dibandingkan dengan poliyandri (Muthahari, 2007: 17). Hal ini juga

disebabkan adanya aturan dan toleransi terhadap poligami, baik itu dari

perspektif agama maupun secara yuridis.

Poligami selalu bertentangan dengan feminisme. Secara umum

poligami biasanya menjadikan perempuan sebagai objek yang tertindas.

Meskipun poligami tidak terlihat sebagai kekerasan fisik yang kasat mata,

namun dalam kondisi ini perempuan merasa tersakiti secara mental. Akan

tetapi setelah melihat alasan poligami yang ditampilkan dalam film,

ternyata poligami terjadi tidak semata-mata menjadikan perempuan

sebagai objek tertindas. Namun beberapa alasan yang melatarbelakangi

poligami dalam film tersebut menunjukkan adanya peran perempuan

maupun laki-laki terhadap pengambilan keputusan dalam poligami.

22

Littlejohn berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki

bahasa masing-masing dalam melihat dunia. Hal ini dipengaruhi oleh nilai,

norma yang ada di sekitar mereka dan pengalaman yang mereka dapat

(Littlejohn, 2009: 479). Teori ini disebut sebagai feminisme post-modern.

Berdasarkan penjelasan Littlejohn, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada

beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya poligami sesuai dengan

cara berfikir laki-laki dan perempuan.

Poligami bisa dialami oleh siapa saja dan dari kalangan mana saja,

baik itu kalangan menengah keatas maupun kelas sosial yang lebih rendah.

Hal ini ditampilkan dalam adegan alasan poligami di film Indonesia 2006-

2009. Praktik poligami dalam penelitian ini melihat pada alasan poligami

di film Indonesia tahun 2006-2009 dengan judul Berbagi Suami (2006),

Ayat-ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009). Dalam

film tersebut ditampilkan bahwa poligami bisa dilakukan oleh berbagai

kalangan dengan alasan yang beragam. Dari adegan ketiga film Indonesia

tersebut, alasan orang berpoligami meliputi aspek agama, sosial, ekonomi,

dan seksual.

Istibsyaroh (2004) dalam (Yuliantini, dkk. 2008) mengatakan bahwa

terdapat beberapa faktor yang memungkinkan bagi perempuan bersedia

untuk dipoligami, diantaranya adalah kekayaan laki-laki, pertimbangan

keturunan atau status sosial, pertimbangan ketampanan dan keagamaan. Ia

juga menambahkan bahwa kesediaan perempuan untuk dipoligami

bergantung pada latar belakang dari kondisi pribadinya masing-masing.

23

Salah satunya adalah karena alasan agama, hal ini meliputi pemahaman

mereka mengenai poligami sebagai bagian dari syari‟at Allah dan Rasul-

Nya, sehingga mereka bersedia hidup dalam pernikahan poligami

(Yuliantini, dkk. 2008: 6).

Sejalan dengan penjabaran Istibsyaroh, Setiati (2007) dalam

(Pramita,dkk. 2008) menambahkan bahwa salah satu alasan perempuan

bertahan dalam kehidupan poligami adalah selama perkawinan sudah

ketergantungan secara ekonomi kepada suami (Pramita,dkk. 2008: 8).

Sehingga jika terjadi perpisahan, ada ketakutan kekurangan dalam hal

materi.

Sedangkan dari sudut pandang agama, laki-laki boleh melakukan

poligami dengan alasan-alasan tertentu. Seperti yang dijelaskan Suprapto

(1990: 98), yaitu:

1. Adanya menstruasi (haid) dan nifas bagi wanita. Dengan adanya

menstruasi atau nifas tersebut otomatis senggama harus berhenti

dahulu, bagi laki-laki yang hipo seks mungkin tidak menjadi masalah.

Lain hal dengan laki-laki yang hiper seks. Sehingga bagi laki-laki yang

hiper seks merupakan salah satu alasan mengapa poligami di

perbolehkan. Ini bertujuan agar laki-laki hiper seks bisa menyalurkan

kebutuhan seksnya tanpa melanggar syari‟at Islam. Hal ini juga

bertujuan untuk menghindari perbuatan zina.

24

2. Istri mandul. Apabila seorang istri mandul, maka suami yang berusaha

mendapatkan keturunan tidak akan kesampaian, sedangkan

mengadopsi anak dikhawatirkan menimbulkan permasalahan. Dalam

hal ini poligami merupakan jalan keluar bagi laki-laki yang istrinya

mandul.

3. Jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Dalam keadaan darurat

terutama keadaan perang yang mengakibatkan banyak pejuang yang

gugur di medan perang. Poligami di perbolehkan untuk

menyelamatkan janda-janda dan anak-anak.

Pandangan masyarakat terhadap poligami memang bermacam-

macam, ada yang pro dan ada pula yang kontra, ada yang pro tetapi tidak

mau melaksanakan atau tidak berani melaksanakan karena pertimbangan

tertentu, ada pula yang kontra memang benar-benar tidak setuju. Namun

ada juga yang di muka umum tampak menentang, tetapi diam-diam

melaksanakannya. Bahkan ada yang tidak setuju, akan tetapi masih bisa

bersikap toleran (Suprapto, 1990: 98).

4. Khalayak

Sebutan khalayak biasanya akrab dengan media massa. Khalayak

merupakan sekelompok orang yang menjadi sasaran komunikasi dari

sebuah pesan media. Cangara menyebutkan khalayak biasa disebut dengan

istilah penerima, sasaran, pembaca, pendengar, pemirsa, audience, decoder

atau komunikan. Khalayak adalah salah satu aktor dari proses komunikasi.

25

Karena itu unsur khalayak tidak boleh diabaikan, sebab berhasil tidaknya

suatu proses komunikasi sangat ditentukan oleh khalayak. (Cangara, 2002:

151)

Khalayak pada hakikatnya memiliki jumlah yang banyak dan

beragam, serta tersebar. Sehingga sedikit kemungkinan khalayak media

untuk saling mengenal antara satu dan lainnya. Sehingga perspektif

masing-masing khalayak terhadap pesan media pun berbeda-beda. Seperti

yang dikatakan oleh McQuail, khalayak massa adalah besar, heterogen,

dan sangat tersebar, dan anggotanya tidak saling mengenal dan tidak dapat

mengenal satu sama lain. (McQuail, 2011: 147).

Penjelasan dari McQuail tersebut dilengkapi oleh Nurudin. Ia

menjelaskan bahwa Audience atau khalayak yang dimaksud dalam

komunikasi massa (cetak maupun elektronik) sangat beragam. Masing-

masing audience berbeda satu sama lain diantaranya dalam hal berpakaian,

berpikir, menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman dan orientasi

hidupnya. Akan tetapi, masing-masing individu bisa saling mereaksi pesan

yang diterimanya (Nurudin, 2013: 104-105).

Dalam studi komunikasi khalayak bisa berupa individu, kelompok

dan masyarakat. Sudah menjadi tugas seorang komunikator untuk

mengetahui siapa yang akan menjadi khalayaknya sebelum proses

komunikasi berlangsung (Cangara, 2002: 151).

26

McQuail (2011) menjelaskan bahwa khalayak massa memiliki

beberapa ciri utama yaitu jumlah penonton atau pembaca yang besar,

tersebar, non-interaktif dan hubungan anonim bagi satu sama lain.

Khalayak massa tersusun secara heterogen, tidak teratur, dan objek

pengaturan atau manipulasi media. (McQuail,2011: 64)

Khalayak menjadi salah satu unsur penting dalam proses komunikasi

yang dijalankan oleh media massa. Seiring dengan berkembangnya studi

mengenai media, khalayak yang semula pasif berubah menjadi khalayak

aktif. Pandangan tentang khalayak tersebut dijelaskan oleh Hadi (2008: 2).

Ia membagi khalayak komunikasi massa dalam dua pandangan arus besar

(mainstream), di antaranya:

a. Khalayak Pasif

Sebagai audience yang pasif, khalayak hanya bereaksi pada apa yang

mereka lihat dan dengar dalam media. Khalayak tidak ambil bagian dalam

diskusi-diskusi publik. Dalam artian khalayak tidak akan mengolah dan

mendiskusikan kembali pesan media yang mereka terima untuk

mendapatkan makna lainnya. Khalayak merupakan sasaran media massa.

Dalam tradisi penelitian komunikasi, khalayak pasif hanya menerima

pesan media yang mereka lihat dan dengar secara mentah tanpa berusaha

mengolahnya kembali. Sehingga dalam khalayak pasif, media memiliki

power penuh dalam menyimpulkan pesan.

27

b. Khalayak Aktif

Dalam pandangan ini, khalayak dianggap sebagai partisipan yang

aktif. Khalayak merupakan sekelompok orang yang terbentuk atas isu

tertentu dan aktif mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu yang

mengemuka. Dalam hal ini, khalayak memiliki andil dalam menyimpulkan

makna. Sehingga pesan media tidak diterima secara mentah, namun

khalayak akan berusaha mengolah pesan dan menghasilkan makna

lainnya. Dalam pandangan khalayak aktif, pengaruh media terhadap

khalayak menjadi terbatas.

Penelitian ini berfokus pada khalayak aktif. Dalam proses

komunikasi melalui media massa, khalayak dianggap aktif dalam

memproduksi makna. Khalayak memiliki cara yang beragam dalam hal

memproduksi makna dari teks media. Sehingga khalayak menjadi penting

dan tidak boleh diabaikan.

Adapun cara untuk mengukur khalayak yaitu dengan melakukan

audience research atau riset audience. audience research adalah upaya

untuk mencari data tentang khalayak (sebagai pengguna media massa).

Khalayak massa dicirikan berdasarkan latar belakang yang berbeda-beda

seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pendapatan,

kedudukan/jabatan serta kepemilikan media. (Sari, 1993: 28-29).

28

5. Encoding-Decoding

Film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan

Berkalung Sorban (2009) memberikan pemaknaan yang berbeda-beda

terhadap khalayaknya. Latar belakang yang berbeda-beda mempengaruhi

informan dalam memaknai isi pesan media. Faktor ini membuat informan

memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap apa yang mereka lihat dan

mereka dengar melalui media massa. Hal ini disebabkan oleh adanya

encoding dari profesional media yang tidak selalu sama dengan decoding

dari khalayak.

Encoding adalah suatu kegiatan internal seseorang untuk memilih

dan merancang perilaku verbal dan non verbalnya yang sesuai dengan

aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis guna menciptakan suatu pesan.

Hasil dari perilaku penyandi (encoding) adalah suatu pesan (message).

Decoding adalah proses internal penerima dan pemberian makna kepada

perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pikiran sumber (Mulyana

dan Rakhmat, 2009: 14-15).

Model encoding-decoding ini digambarkan oleh Stuart Hall sebagai

berikut:

29

Gambar 1.1

Dalam Storey (2010) model encoding-decoding Stuart Hall

dijelaskan sebagai sirkulasi makna televisual yang melewati tiga momen

berbeda dan masing-masing memiliki kondisi eksistensi dan modalitas

yang spesifik.

“Pertama, profesional media memaknai wacana televisual

dengan pemahaman mereka tentang sebuah peristiwa sosial

yang „mentah‟. Dimana didalamnya terdapat serangkaian cara

melihat dunia (ideologi-ideologi) yang berada dalam

kekuasaan. Dengan demikian, profesional media yang terlibat

didalamnya menentukan bagaimana peristiwa sosial „mentah‟

di-encoding dalam wacana (Storey, 2010: 11-12).”

Kedua, setelah makna dan pesan di-encoding kedalam sebuah

wacana televisual, bahasa dan wacana tersebut „bebas dikendalikan‟.

Sehingga suatu pesan kini menjadi terbuka dan memiliki makna lebih dari

satu (polisemi) (Storey, 2010: 13).

30

Ketiga, khalayak bisa dengan bebas melakukan decoding dalam

melihat dunia („ideologi‟). Khalayak tidak dihadapkan dengan peristiwa

sosial yang „mentah‟ melainkan dengan terjemahan diskursif dari suatu

peristiwa. Jika suatu peristiwa „bermakna‟ bagi khalayak, maka akan

menyertakan interpretasi dan pemahaman terhadap peristiwa dari wacana

tersebut (Storey, 2010: 13).

Film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan

Berkalung Sorban (2009) merupakan realitas sosial yang di-encoding

kedalam sebuah wacana. Dari maraknya poligami di masyarakat,

profesional media men-encoding pesan mentah kedalam sebuah media

massa film. Di momen pertama ini, profesional media memiliki power

dalam menerjemahkan pesan yang akan disampaikan kepada khalayak.

Pada momen kedua, khalayak bebas menerjemahkan pesan yang

telah di-encoding dalam film. Dengan cara yang berbeda dan

menghasilkan makna yang polisemi. Dan di momen ketiga, khalayak

secara bebas melakukan decoding terhadap teks media. Pada momen ini

khalayak tidak lagi dihadapkan dengan peristiwa yang „mentah‟ melainkan

peristiwa tersebut sudah diolah dalam sebuah cerita film yang menarik.

Storey (2010) menjelaskan bahwa suatu decoding bisa terjadi jika

suatu teks media bermakna bagi khalayak. Jika tidak ada makna, maka

bisa jadi tidak muncul interpretasi terhadap teks media tersebut. Sehingga

tidak ada efek yang ditimbulkan. Khalayak menerjemahkan makna melalui

31

sirkulasi wacana „produksi‟ menjadi „reproduksi‟ untuk menjadi

„produksi‟ lagi (Storey, 2010: 13).

Dalam penelitian ini encoding dilakukan oleh sutradara yang

mengangkat fenomena poligami kedalam sebuah film. Sutradara membuat

makna terhadap alasan poligami dalam film Berbagi Suami (2006), Ayat-

Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009). Sutradara

men-encoding makna alasan poligami dalam sebuah wacana yang

bermakna. Kemudian khalayak melakukan decoding terhadap pesan media

tersebut. Ini berarti pesan media tersebut di produksi oleh sutradara,

kemudian direproduksi kembali oleh khalayak dengan cara mengolah

pesan itu kembali.

Storey (2010) mengatakan pada dasarnya profesional media

mengharapkan adanya pemaknaan yang sama dari decoding. Namun

dalam prosesnya, encoding dan decoding tidak selalu sejalan. Hal ini bisa

disebabkan oleh kondisi eksistensi khalayak yang berbeda. Oleh karena itu

ada kemungkinan kesalahpahaman dalam memaknai pesan dari encoding

kepada decoding (Storey, 2010: 14).

Dalam men-decoding sebuah pesan media, khalayak memilih

wacana media yang mereka sukai. Jika ada ketertarikan terhadap wacana

yang ditampilkan, maka akan muncul interpretasi atau pemaknaan dari

khalayak yang dikategorikan dalam tiga kategori pemaknaan. Pemaknaan

tersebut adalah dominan, negotiated dan oppositional.

32

Hall dalam Baran dan Davis (2010: 304-305) menjelaskan tiga posisi

mengenai pemaknaan tersebut, yaitu:

1. Pemahaman yang disukai (Dominan). Makna yang dimaksudkan dari

pembuat pesan dari konten tersebut; diasumsikan untuk mendukung

status quo.

2. Makna Negosiasi (Negotiated). Pemaknaan ini terjadi ketika khalayak

membentuk sebuah penafsiran sendiri terhadap sebuah konten, namun

sebagian inti pentingnya berbeda dengan makna dominan.

3. Penafsiran Berlawanan (Oppositional). Pemaknaan ini terjadi ketika

khalayak membangun penafsiran yang berbeda dari pemaknaan

dominan.

Sejalan dengan yang dijelaskan oleh Hall, Morley dalam Storey

(2010) juga memberikan pemahamannya terhadap encoding-decoding

Stuart Hall, sebagai berikut:

1. Produksi pesan penuh makna dalam wacana televisi menunjukkan

bahwa peristiwa yang sama bisa di-encoding melalui lebih dari satu

cara. Kajian disini berkenaan dengan bagaimana dan mengapa struktur

dan praktik produksi tertentu cenderung menghasilkan pesan tertentu

dan mewujudkan maknanya dalam bentuk-bentuk tertentu secara

berulang.

2. Pesan senantiasa memuat lebih dari satu „pembacaan‟ potensial. Pesan

menawarkan dan menganjurkan pembacaan tertentu atas pembacaan

33

lainnya, namun pesan tidak pernah bisa menjadi sama sekali tertutup di

sekitar satu pembacaan, karena pesan bersifat polisemik.

3. Aktivitas „memetik makna‟ dari pesan meupakan sebuah praktik yang

problematis. Pesan meng-encoding satu cara bisa senantiasa dibaca

dengan cara yang berbeda. (Storey, 2010: 17)

Paradigma penerimaan yang dikemukakan oleh Hall menjelaskan

bahwa sebuah pesan tidak lagi dipahami sebagai semacam paket atau bola

yang dilempar pengirim ke penerima. Tetapi sebaliknya pesan yang

dikodekan oleh produser dan kemudian diterima oleh khalayak tidak selalu

identik. Khalayak yang berbeda bisa mengkodekan pesan yang berbeda

pula (Alasuutari, 1999: 2).

6. Analisis Resepsi

Dalam tradisi studi mengenai khalayak, ada beberapa varian yang

berkembang diantaranya effect research, uses and gratification research,

literacy criticism, culture studies, dan reception analysis. reception

analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan

sosial dari teori komunikasi (Adi, 2012: 26).

Perrti Alasuutari dalam Baran dan Davis (2010) menjelaskan bahwa

penelitian penerimaan telah memasuki tahapan ketiga. Tahap pertama

berkutat pada pengodean penafsiran milik Stuart Hall. Tahap kedua

didominasi oleh studi etnografi yang dipelopori oleh Morley. Alasuutari

menjelaskan bahwa:

34

“Generasi ketiga memunculkan sebuah kerangka yang luas

dimana orang membentuk media dan penggunanya. Fokus

utamanya tidak terbatas hanya mencari tahu mengenai

penerimaan atau “pemaknaan” dari sebuah program oleh

khalayak tertentu. Melainkan untuk memahami “budaya

media” kontemporer, terutama yang terlihat dalam peranan

media sehari-hari, baik sebagai topik dan aktivitas yang

dibentuk dan membentuk wacana.” (Baran dan Davis, 2010:

305-306)

Analisis resepsi merupakan suatu metode penelitian yang mengkaji

tentang khalayak. Metode ini memposisikan khalayak sebagai subjek yang

aktif dalam menghasilkan makna. Analisis resepsi berfokus pada isi pesan

media dan khalayak. Bagaimana khalayak memaknai media berdasarkan

latar belakang budayanya.

Hadi (2008) berpendapat teori reception mempunyai argumen bahwa

faktor kontekstual mempengaruhi cara khalayak membaca media,

misalnya film atau program televisi. Faktor kontekstual merupakan elemen

identitas khalayak, resepsi penonton atas film atau genre program produksi

televisi, bahkan termasuk latar belakang sosial, sejarah dan isu politik.

Singkatnya, teori reception menempatkan penonton atau pembaca dalam

konteks berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi bagaimana

menonton atau membaca serta menciptakan makna dari teks (Hadi, 2008:

2).

Menurut Baran dan Davis, Reception analysis juga sering disebut

penerimaan khalayak atau studi penerimaan. Baran dan Davis dalam buku

Teori Komunikasi Massa menjelaskan studi penerimaan sebagai teori

35

berbasis khalayak yang berfokus pada bagaimana beragam jenis anggota

khalayak memaknai bentuk konten tertentu. (Baran dan Davis, 2010: 302).

Reception analysis memfokuskan perhatian pada konten atau isi teks

media. Dalam memaknai pesan media, khalayak bisa saja menafsirkan isi

media dengan cara yang berbeda-beda atau biasa disebut sebagai polisemi.

Khalayak sebagai penonton yang aktif tidak hanya menafsirkan kata-kata,

tetapi juga menafsirkannya dalam sebuah struktur keseluruhan sehingga

dapat memaknainya dengan utuh (Baran dan Davis, 2010: 304).

Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam

kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak

tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agen)

yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari

berbagai wacana yang ditawarkan media (Adi, 2012: 26).

Reception analysis memposisikan khalayak sebagai pihak yang

paling produktif dalam menginterpretasikan makna dari pesan media.

Sebaliknya, media dianggap tidak memiliki pengaruh secara penuh untuk

mempengaruhi khalayak melalui pesan yang disampaikannya. Sehingga

dalam kajian Reception analysis khalayak dipandang sebagai pihak yang

aktif.

Dalam penelitian ini analisis resepsi dilakukan untuk melihat

pemaknaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film Indonesia tahun

2006-2009. Bagaimana khalayak memaknai encoding yang dibuat oleh

36

sutradara film tersebut. Apakah setelah melihat alasan poligami dalam film

tersebut akan merubah perspektif khalayak terhadap poligami atau

sebaliknya. Hal ini mengingat bahwa khalayak bersifat heterogen dan

memiliki budaya berbeda yang mempengaruhi mereka dalam melihat suatu

objek.

Seperti yang dikatakan oleh Jensen dalam Adi (2012), ia

menjelaskan bahwa analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan

tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-

proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai

wacana dan praktik kultural audiensnya (Adi, 2012: 26).

Khalayak yang aktif tidak hanya menelan mentah-mentah pesan

media yang ditampilkan. Melainkan mereka akan mengolahnya kembali

untuk menghasilkan makna baru. Lingkungan dan pengetahuan yang

dimiliki khalayak sangat berpengaruh dalam proses menginterpretasikan

makna.

37

F. KERANGKA PEMIKIRAN

Fenomena Poligami

di Indonesia

Alasan Poligami dalam Film

Indonesia 2006-2009

Metode Analisis Resepsi Audience

Analisis Resepsi Audience Terhadap

Alasan Poligami dalam Film Indonesia

Tahun 2006-2009

Dominant Hegemonic Negotiated Oppositional

38

G. METODOLOGI

1. Jenis Penelitian

Penelitian tentang khalayak dengan menggunakan metode analisis

resepsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah riset yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-

dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak

mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau

samplingnya sangat terbatas (Kriyantono, 2010: 56).

Penelitian kualitatif bersifat subjektif. Pendekatan subjektif

mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif

dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretatif (Mulyana, 2008:33).

Subjektivitas dalam penelitian kualitatif mengacu pada persepsi dan

perasaan yang ada dalam diri manusia. Dalam kualitatif, peneliti menjadi

instrumen utama. Peneliti akan paham apabila langsung terjun pada subjek

yang akan diteliti.

Metode kualitatif tidak tergantung pada analisis statistik untuk

mendukung sebuah interpretasi tetapi lebih mengarahkan peneliti untuk

membuat sebuah pernyataan retoris atau ergumen yang masuk akal

mengenai temuannya (West dan Turner, 2008: 77).

Resepsi Audiens merupakan teori berbasis khalayak yang berfokus

pada bagaimana beragam jenis anggota khalayak memaknai bentuk konten

39

tertentu (kadang-kadang disebut analisis penerimaan) (Baran dan Davis,

2010: 302).

Penelitian dengan metode analisis resepsi, digunakan untuk

mengetahui bagaimana resepsi audience terhadap alasan poligami dalam

film Indonesia tahun 2006-2009 di dasari latar belakang yang berbeda-

beda.

2. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah penonton film Berbagi Suami

(2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009).

Masing-masing informan dipilih dengan kriteria yang dianggap sesuai

dengan alasan poligami di dalam film Indonesia tahun 2006-2009. Adapun

teknik pengambilan informan, peneliti menggunakan purposive sampling.

Purposive sampling merupakan teknik yang mencakup orang-orang yang

diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset

berdasarkan tujuan riset (Kriyantono, 2010: 158). Peneliti akan memilih

informan yang dianggap mampu memaknai alasan poligami dalam film.

Jumlah informan yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah 6

orang. Terdiri dari 2 orang perempuan dan 1 orang laki-laki beragama

Islam. 1 perempuan dan 1 laki-laki beragama Islam tersebut bekerja, sudah

menikah dan memiliki status pendidikan sarjana. Kemudian 1 orang

perempuan beragama Islam merupakan ibu rumah tangga, menikah dan

memiliki status pendidikan maksimal SMA.

40

Informan selanjutnya adalah 2 orang perempuan dan 1 orang laki-

laki beragama Katolik. 1 orang perempuan beragama Katolik yang

bekerja, menikah dan berstatus pendidikan sarjana. 1 orang perempuan

beragama Katolik ibu rumah tangga, menikah dan memiliki status

pendidikan maksimal SMA. Sedangkan 1 orang laki-laki beragama

Katolik yang bekerja, sudah menikah dan berstatus pendidikan sarjana.

Pemilihan informan dengan kriteria seperti ini, dianggap peneliti mampu

mewakili sebagai subjek penelitian. Hal ini dilihat dari alasan poligami

dalam film Indonesia yang akan diteliti.

3. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah film Indonesia tahun 2006-2009

yang mengangkat fenomena poligami. Peneliti menggunakan objek

penelitian film Berbagi Suami (2006), Ayat-ayat Cinta (2008) dan

Perempuan Berkalung Sorban (2009). Penelitian ini mengacu pada resepsi

audience terhadap alasan poligami dalam film Indonesia 2006-2009.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 sumber data, yaitu:

a. Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan

informan yang sudah menonton ketiga film tersebut.

41

b. Data Sekunder

Selain data primer, dalam penelitian ini juga menggunakan data

sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini film Indonesia 2006-2009,

yang terdiri dari film Berbagi Suami (2006), Ayat-ayat Cinta (2008) dan

Perempuan Berkalung Sorban (2009). Selain itu peneliti juga

menggunakan dokumen yang mendukung penelitian seperti jurnal,

rekaman, dan informasi lainnya.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang bisa

digunakan periset untuk mengumpulkan data. (Kriyantono, 2010: 95).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan metode wawancara.

Interview atau wawancara merupakan alat pengumpulan data yang

sangat penting dalam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan

manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau

gejala yang dipilih untuk diteliti (Pawito, 2008: 132).

Sebelum melakukan wawancara, peneliti memberikan film Berbagi

Suami (2006), Atat-ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban

(2009) sebagai objek penelitian. Hal ini bertujuan untuk memberikan

gambaran permasalahan kepada khalayak sebelum memberikan

42

penerimaan mereka terhadap alasan poligami dalam film Indonesia tahun

2006-2009.

6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Analisis

Data Kualitatif digunakan bila data-data yang terkumpul dalam riset

adalah data kualitatif. Data kualitatif dapat berupa kata-kata, kalimat-

kalimat atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam

maupun observasi (Kriyantono, 2010: 196).

Teknik analisis data yang dilakukan peneliti yaitu melihat

penerimaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film Indonesia 2006-

2009 dengan menggunakan metode analisis resepsi audience. Kemudian

peneliti melakukan wawancara terhadap infoman untuk melihat bagaimana

resepsi khalayak terhadap alasan poligami dalam film tersebut.

Teknik analisis data yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu:

1. Analisis Isi Kualitatif

Tahap ini merupakan salah satu moment encoding, dimana peneliti

melakukan analisis isi terlebih dahulu untuk menggali lebih dalam lagi

pesan apa yang muncul dalam teks media.

2. Mengumpulkan data

Dalam tahap ini peneliti akan mengumpulkan data dari informan

melalui wawancara.

43

3. Reduksi Data

Dalam tahap ini peneliti memformat hasil wawancara menjadi

bentuk transkip wawancara. Herdiansyah (2012) menjelaskan bahwa inti

dari reduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala

bentuk data yang diperoleh menjadi bentuk satu tulisan (Script) yang akan

dianalisis. Hasil dari wawancara, hasil observasi, hasil studi dokumentasi,

dan /atau hasil dari FGD diubah menjadi bentuk tulisan (Script) sesuai

dengan formatnya masing-masing (Herdiansyah, 2012 : 165).

Selanjutnya hasil dari reduksi data di transkipkan dalam bentuk

tema-tema. Tema di sini berupa alasan poligami yang sesuai dengan

korpus dalam objek penelitian.

4. Menganalisis Data

Kemudian dalam tahap ini peneliti akan menganalisis adegan dalam

film Berbagi Suami (2006), Ayat-ayat Cinta (2008) dan Perempuan

Berkalung Sorban (2009). Serta menganalisis data yang telah didapat dari

wawancara dengan informan. Sehingga akan didapatkan analisis bahwa

informan termasuk kedalam kategori penafsiran yang mana. Apakah posisi

dominan (hegemonic), negotiated atau oppositional reading.