21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan ekstrak oleh industri obat tradisional telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku yang lebih modern. Konsentrasi senyawa yang akan diperoleh dalam ekstrak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran partikel bahan, suhu, tekanan, rasio pelarut-simplisia, jenis pelarut dan waktu ekstraksi (Luthria dkk., 2008). Faktor-faktor tersebut memberikan efek yang berbeda-beda untuk setiap simplisia yang diekstraksi. Sambiloto merupakan salah satu tanaman yang telah digunakan secara empiris oleh masyarakat. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam sambiloto antara lain terpenoid, flavonoid, noriridoid, xanthon, polifenol serta mikro dan makro elemen berupa mineral (Okhuarobo dkk., 2014). Salah satu senyawa diterpenoid dalam sambiloto yang paling dikenal adalah andrografolid, yaitu komponen bioaktif utama yang tersebar di seluruh bagian tanaman dan merupakan suatu senyawa penanda yang memiliki aktivitas farmakologi (Jarukamjorn dan Nemoto, 2008). Banyak penelitian-penelitian mengenai optimasi senyawa andrografolid yang telah dilakukan, seperti optimasi ekstraksi menggunakan supercritical carbon dioxide (Kumoro dkk., 2007) dan optimasi menggunakan fractional factorial design (Rafi dkk., 2014). Di samping andrografolid, senyawa aktif lain yang terdapat dalam herba sambiloto adalah senyawa flavonoid dan senyawa fenolik (Chao dan Lin, 2010).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan ekstrak oleh industri obat tradisional telah banyak dimanfaatkan

sebagai bahan baku yang lebih modern. Konsentrasi senyawa yang akan diperoleh

dalam ekstrak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ukuran

partikel bahan, suhu, tekanan, rasio pelarut-simplisia, jenis pelarut dan waktu

ekstraksi (Luthria dkk., 2008). Faktor-faktor tersebut memberikan efek yang

berbeda-beda untuk setiap simplisia yang diekstraksi.

Sambiloto merupakan salah satu tanaman yang telah digunakan secara

empiris oleh masyarakat. Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam

sambiloto antara lain terpenoid, flavonoid, noriridoid, xanthon, polifenol serta

mikro dan makro elemen berupa mineral (Okhuarobo dkk., 2014). Salah satu

senyawa diterpenoid dalam sambiloto yang paling dikenal adalah andrografolid,

yaitu komponen bioaktif utama yang tersebar di seluruh bagian tanaman dan

merupakan suatu senyawa penanda yang memiliki aktivitas farmakologi

(Jarukamjorn dan Nemoto, 2008). Banyak penelitian-penelitian mengenai

optimasi senyawa andrografolid yang telah dilakukan, seperti optimasi ekstraksi

menggunakan supercritical carbon dioxide (Kumoro dkk., 2007) dan optimasi

menggunakan fractional factorial design (Rafi dkk., 2014).

Di samping andrografolid, senyawa aktif lain yang terdapat dalam herba

sambiloto adalah senyawa flavonoid dan senyawa fenolik (Chao dan Lin, 2010).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

2

Pada penelitian Chao dkk (2010), flavonoid dalam herba sambiloto memiliki

aktivitas sebagai anti inflamasi, sedangkan senyawa fenolik merupakan salah satu

komponen yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Penelitian mengenai

optimasi senyawa flavonoid dan senyawa fenolik dalam sambiloto telah mulai

dilakukan, salah satunya yaitu penelitian mengenai pengaruh berbagai faktor

ekstraksi terhadap kandungan antioksidan fenolik sambiloto oleh Thoo dkk.

(2013) dengan menggunakan metode penelitian single-factor experiment.

Metode optimasi dengan single-factor experiment memiliki kekurangan

hanya dapat memantau satu variabel saja pada satu waktu sedangkan faktor lain

dibuat konstan. Selain itu, metode ini tidak dapat melihat interaksi antar faktor

terhadap variabel respon (Sin dkk., 2006). Salah satu metode yang dapat

digunakan untuk mengatasi keterbatasan tersebut adalah dengan menggunakan

teknik desain faktorial yang dapat menunjukkan efek dari setiap faktor maupun

interaksi antar faktor. Dalam penelitian ini, akan dilakukan suatu percobaan untuk

melihat pengaruh faktor ekstraksi berupa rasio pelarut-simplisia, konsentrasi

pelarut dan waktu perendaman serta interaksinya pada ekstraksi herba sambiloto

dengan metode eksperimen desain faktorial. Data hasil percobaan selanjutnya

dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan optimasi ekstraksi yang

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses ekstraksi,

sehingga diperoleh kandungan flavonoid dan fenolik yang tinggi.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

3

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu

perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa flavonoid

pada herba sambiloto?

2. Bagaimana pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu

perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa fenolik

pada herba sambiloto?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu

perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa flavonoid

pada herba sambiloto.

2. Pengaruh variasi rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol, waktu

perendaman serta interaksi antar faktor terhadap ekstraksi senyawa fenolik

pada herba sambiloto.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi terutama terhadap kadar

flavonoid dan fenolik total pada herba sambiloto. Tidak hanya pengaruh faktor

secara tunggal, namun juga interaksi antar faktor dalam proses ekstraksi yang

dapat mempengaruhi kadar flavonoid dan fenolik total. Dari hasil percobaan yang

diperoleh, data dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan optimasi

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

4

ekstraksi yang dapat menyari senyawa flavonoid dan fenolik dalam herba

sambiloto secara efektif. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh

industri untuk menentukan kondisi ekstraksi berupa rasio pelarut-simplisia,

konsentrasi etanol, serta lamanya waktu perendaman pada ekstraksi senyawa

flavonoid dan fenolik pada herba sambiloto.

E. Tinjauan Pustaka

1. Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees.)

Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees. tumbuh secara luas di negara-

negara Asia dan digunakan sebagai obat herbal tradisional seperti Cina, Hong-

Kong, Filipina, Malaysia, Indonesia dan Thailand (Akbar, 2011). Herba sambiloto

merupakan herba yang memiliki rasa pahit pada seluruh bagian tanaman sehingga

disebut juga sebagai “king of bitters” (Kumar dkk., 2012). Herba sambiloto dapat

dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Herba sambiloto

(Badan POM RI, 2008)

a. Klasifikasi

Klasifikasi tanaman (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees.) sebagai

berikut:

Divisi : Angiospermae

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

5

Kelas : Dicotyledoneae

Subkelas : Gamopetalae

Ordo : Personales

Famili : Acanthaceae

Subfamili : Acanthoidae

Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees.

(Prapanza dan Merianto, 2003)

b. Nama lain

Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees. dikenal di Indonesia dengan

nama sambiloto dan juga berbagai nama daerah. Masyarakat Jawa Tengah

dan Jawa Timur menyebutnya dengan bidara, sambiroto, sandiloto, sandilata,

takilo, paitan, dan sambiloto. Di Jawa Barat disebut dengan ki oray, takila,

atau ki peurat, sedangkan masyarakat Sumatra dan sebagian besar masyarakat

Melayu menyebutnya dengan samiroto (Prapanza dan Merianto, 2003).

c. Morfologi

Sambiloto tergolong terna (herba) semusim, tumbuh tegak, tinggi sekitar

50 cm dan rasanya sangat pahit. Batang sambiloto berkayu, berpangkal bulat,

berbentuk segi empat saat muda dan bulat saat tua, percabangan monopodial,

dan berwarna hijau. Daun sambiloto tunggal, tersusun berhadapan, berbentuk

lanset, bertepi rata (integer), ujung dan pangkal daun tajam atau runcing,

permukaan daun halus, berwarna hijau, tidak ada stipula (daun penumpu),

berukuran 312 cm x 1-3 cm (Mahendra, 2005).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

6

d. Ekologi

Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah. Habitat aslinya adalah

tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi

sungai, pekarangan, semak, atau rumpun bambu (Prapanza dan Merianto,

2003). Daerah penyebarannya dari dataran rendah sampai ketinggian 700

mdpl (Muchlisah, 2001).

e. Kegunaan

Sambiloto merupakan salah satu tanaman yang secara turun-temurun

digunakan untuk berbagai tujuan pengobatan seperti demam, infeksi saluran

pernafasan atas, herpes, gangguan tenggorokan, hepatitis dan berbagai

penyakit kronik dan infeksi (Niranjan dkk., 2010). Penelitian farmakologi

modern menunjukkan bahwa sambiloto memiliki efek sebagai antiinflamasi,

antibakteri, antioksidan, antiparasit, antikejang, antidiabetik,

antikarsinogenik, antipiretik, antidiare, hepatoprotektif, nematosidal, dan anti-

HIV, serta pengobatan beberapa penyakit infeksi mulai dari malaria hingga

disentri (Kumar dkk., 2012).

f. Kandungan kimia

A. paniculata memiliki komponen kimia yang bervariasi di bagian aerial

(daun dan batang) serta akar. Berbagai metabolit yang telah ditemukan dalam

sambiloto antara lain diterpenoid (entlabdane diterpen lakton), flavonoid

dalam bentuk flavon, noriridoid, xanthon, polifenol, asam kuinat, serta mikro

dan makro molekul (Hossain dkk., 2014; Okhuarobo dkk., 2014). Senyawa

lain yang terdapat pada daun sambiloto yaitu α-sitosterol, stigmasterol

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

7

(Niranjan dkk., 2010), asam sinamat, asam kafeat, asam klorogenat, dan asam

ferulat (Rao dkk., 2004). Komponen fitokimia dalam sambiloto sangat

bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti bagian tanaman yang

digunakan, geografi, musim dan waktu panen (Hossain dkk., 2014).

Diterpenoid, flavonoid, dan polifenol merupakan konstituen utama dalam

sambiloto dan komponen tersebut dipercaya merupakan komponen yang

bertanggung jawab pada aktivitas biologis (Chao dan Lin, 2010).

Diterpenoid lakton merupakan komponen terpenoid yang banyak

terdapat dalam sambiloto. Diterpenoid lakton utama yang ditemukan dalam

sambiloto antara lain andrografolid, deoksiandrografolid, neoandrografolid,

14-deoksi-11,12-didehidroandrografolid, dan isoandrografolid (Chao dan Lin,

2010). Andrografolid berada di seluruh bagian tanaman dengan jumlah

terbanyak di bagian daun yaitu >2% (Jarukamjorn dan Nemoto, 2008).

Struktur kimia dari beberapa senyawa diterpenoid dalam sambiloto dapat

dilihat pada Gambar 2.

Andrografolid Neoandrografolid 14-Deoksi-11,12-

didehidroandrografolid

Gambar 2. Struktur kimia turunan andrografolid

(Niranjan dkk., 2010)

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

8

Penelitian mengenai senyawa fitokimia dalam sambiloto menyebutkan

terdapat lebih dari 30 jenis flavonoid dalam sambiloto (Hossain dkk., 2014).

Beberapa senyawa flavonoid yang terkandung dalam sambiloto antara lain 7-

O-metildihidrowogonin (1), (2S)-5,7,2’,3’-tetrametoksiflavanon (2),

dihidroskullcapflavon (3), 7-O-metilwogonin (4), 5-hidroksi-7,8,2’,5’-

tetrametoksi-flavon (5), 5-hidroksi-7,8-2’,3’-tetrametoksiflavon (6), 5-

hidroksi-7,2’,6’-trimetoksiflavon (7), 5-hidroksi-7,2’,3’-trimetoksiflavon (8)

skullcapflavon-12’-metileter (9), 7-O-metilwogonin 5-glukosida (10),

skullcapflavon I 2’-glukosida (11) (Rao dkk., 2004). Struktur dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur senyawa flavonoid dalam sambiloto

(Rao dkk., 2004)

Senyawa flavonoid lain dalam sambiloto termasuk 5-hidroksi-7,8-

dimetoksiflavon, 5-hidroksi-7,8,2’-trimetoksiflavon (Chao dan Lin, 2010),

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

9

apigenin-7,4’-di-O-metil eter, monohidroksi trimetil flavon (C19H18O7),

dihidroksi dimetoksiflavon (Niranjan dkk., 2010) dan dua jenis flavonoid

glikosida baru (Li dkk., 2007).

Pada penelitian Chao dkk (2010), flavonoid dalam herba sambiloto

memiliki aktivitas sebagai anti inflamasi. Pada penelitian lebih lanjut,

flavonoid tersebut berpotensi sebagai anti-aterosklerotik dengan mekanisme

inhibisi kolagen, asam arakidonat, trombin, dan faktor aktivasi platelet (Chao

dan Lin, 2010).

2. Ekstraksi

Ekstraksi atau penyarian adalah suatu kegiatan penarikan suatu senyawa

yang dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu sehingga terpisah dengan

senyawa lain yang tidak dapat larut. Senyawa aktif yang terkandung dalam

simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid,

flavonoid, dan lain-lain. Bila sudah diketahui senyawa aktif yang dikandung

oleh simplisia tersebut, akan mempermudah dalam pemilihan pelarut dan cara

ekstraksi yang tepat (Departemen Kesehatan, 2000).

Prinsip ekstraksi adalah pelarutan/pengikatan zat aktif berdasarkan sifat

kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like). Jenis dan mutu pelarut

yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut

yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai

titik didih yang rendah, murah, dan tidak toksik (Departemen Kesehatan, 2000).

Ekstraksi menggunakan pelarut dibagi menjadi beberapa metode yaitu

menggunakan cara dingin dan cara panas. Metode yang termasuk dalam cara

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

10

dingin antara lain maserasi dan perkolasi. Maserasi adalah proses pengekstrakan

simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada

temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Perkolasi merupakan ekstraksi

dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna. Proses terdiri dari tahapan

pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya

(penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang

jumlahnya 1-5 kali bahan. Metode yang merupakan cara panas yaitu refluks,

soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Departemen Kesehatan, 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi antara lain:

a. Rasio pelarut-simplisia

Rasio pelarut-simplisia adalah rasio perbandingan jumlah pelarut yang

digunakan dengan bahan. Penentuan rasio pelarut-simplisia merupakan

salah satu tahap yang penting dalam proses ekstraksi karena senyawa dalam

bahan tidak dapat terekstraksi secara sempurna apabila rasionya terlalu kecil

(Wu, 2015). Daya dorong transfer massa dipengaruhi oleh gradien

konsentrasi antara simplisa dan pelarut. Semakin tinggi rasio pelarut-

simplisia, gradien konsentrasi yang terbentuk semakin tinggi dan kecepatan

difusi juga akan meningkat, sehingga jumlah ekstraksi simplisia oleh pelarut

juga semakin banyak (Tan dkk., 2011). Di sisi lain, efisiensi ekstraksi

menunjukkan adanya penurunan dengan meningkatnya rasio pelarut-

simplisia. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu optimasi dan

pertimbangan untuk menentukan rasio pelarut-simplisia yang digunakan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

11

untuk mendapatkan rasio yang efisien agar tidak terjadi pemborosan solven

(Luthria, 2008).

b. Konsentrasi pelarut

Pemilihan jenis pelarut yang tepat merupakan salah satu faktor

penting dalam proses ekstraksi. Pelarut yang akan digunakan harus memiliki

selektifitas yang tinggi terhadap senyawa yang akan diekstraksi, memiliki

kapasitas ekstraksi tinggi yang berhubungan dengan titik jenuh dari produk

dalam media, dan dapat melarutkan senyawa yang akan diekstraksi

(Wijesekera, 1991). Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah

selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan pelarut tersebut,

ekonomis, ramah lingkungan, dan aman (Departemen Kesehatan, 2000).

Berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku, pelarut yang

diperbolehkan dalam proses ekstraksi adalah air dan etanol serta campuran

keduanya. Jenis pelarut lain seperti metanol, heksana, toluen, kloroform,

aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap separasi dan tahap

pemurnian (Departemen Kesehatan, 2000).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Spigno, dkk. (2007) campuran

alkohol dan air memiliki kemampuan ekstraksi komponen fenolik lebih baik

dibandingkan dengan pelarut tunggal. Etanol merupakan pelarut polar yang

secara efektif dapat menarik flavonoid serta kandungan glikosida, katekol,

dan tanin dari suatu bahan. Untuk mendapatkan kelarutan senyawa yang

diinginkan, diperlukan suatu perbandingan campuran pelarut yang tepat.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

12

c. Waktu ekstraksi

Waktu ekstraksi merupakan faktor penting yang perlu ditentukan

untuk mendapatkan waktu yang efektif. Semakin lama waktu ekstraksi,

maka semakin lama waktu kontak antara pelarut dan bahan sehingga

senyawa aktif akan semakin banyak yang berdifusi ke dalam pelarut. Perlu

diperhatikan juga apabila waktu yang dibutuhkan terlalu lama maka secara

ekonomis proses ekstraksi berlangsung tidak efisien dan menyebabkan ikut

terlarutnya senyawa yang tidak diinginkan (Spigno dkk., 2007), sehingga

diperlukan suatu penentuan waktu yang tepat dalam proses ekstraksi.

3. Senyawa Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom

karbon yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang

dihubungkan oleh 3 atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin

ketiga. Sistem penomoran untuk turunan flavonoid dapat dilihat pada Gambar 4.

Di antara flavonoid khas yang mempunyai kerangka seperti di atas, berbagai

jenis dibedakan berdasarkan tahanan oksidasi dan keragaman lain pada rantai C3

yaitu: flavon, flavonol, flavanon, flavononol, isoflavon, antosianidin,

Gambar 4. Sistem penomoran

struktur flavonoid

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

13

leukoantosianidin, dan katekin (Robinson, 1995). Beberapa kerangka turunan

flavonoid tampak pada Gambar 5.

Flavanon Flavon Flavonol

Flavonoid memiliki aktivitas klinik yang berbeda-beda seperti anti-

aterosklerotik, anti-inflamasi, anti-tumor, anti-trombogenik, anti-osteoporotik,

anti-virus (Nijveldt dkk., 2001). Sifat utama yang dimiliki hampir setiap

kelompok flavonoid adalah kemampuannya sebagai antioksidan (Nijveldt dkk.,

2001). Flavonoid dapat melindungi sistem biologi dengan kemampuannya untuk

mentransfer elektron, menangkap radikal bebas, mengkelat logam, mengaktifkan

enzim-enzim antioksidan, mereduksi radikal α-tokoferol dan menghambat enzim-

enzim oksidase (Akowuah dkk., 2004).

Kelarutan flavonoid tergantung pada struktur dan sifat pelarut yang

digunakan (Chebil dkk., 2007). Aglikon flavonoid memiliki sifat kurang polar

sehingga cenderung larut dalam pelarut kurang polar seperti eter, etil asetat,

kloroform, sedikit dalam alkohol dan tidak larut dalam air. Glikosida flavonoid

bersifat polar karena adanya gugus gula yang terikat, sehingga cukup larut dalam

pelarut yang cenderung polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton,

dimetilsulfoksida, dimetilformamid, dan air (Markham, 1988).

Kandungan flavonoid total dapat ditentukan secara spektrofotometri dengan

menggunakan metode yang telah dilaporkan oleh Chang dkk. (2002) dengan

Gambar 5. Pengelompokkan flavonoid berdasarkan rantai C3

(Robinson, 1995)

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

14

menggunakan pereaksi alumunium klorida (AlCl3). Metode ini dapat mendeteksi

flavonoid golongan flavon dan flavonol yang memiliki gugus ortodihidroksi dan

gugus hidroksi karbonil. Prinsip dari metode ini adalah terbentuknya kompleks

asam yang stabil antara alumunium klorida dengan gugus hidroksil dan keton

yang bertetanggaan (hidroksi karbonil) yaitu pada gugus keto C-4 dengan gugus

hidroksil C-3 atau C-5 dari flavon dan flavonol, serta membentuk kompleks tak

tahan asam dengan gugus ortodihidroksi pada cincin A atau B struktur flavonoid.

Reaksi terbentuknya kompleks antara senyawa flavonoid dengan pereaksi

alumunium klorida dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pembentukan senyawa kompleks flavonoid dengan AlCl3

Struktur senyawa flavonoid memiliki karakteristik yang khas pada UV 366

sehingga memungkinkan dapat diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis.

Berikut tabel penafsiran warna bercak flavonoid dilihat pada sinar UV 366

menurut Markham (1998).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

15

Tabel I. Penafsiran bercak flavonoid pada UV 366

Warna bercak dibawah sinar UV 366 Kemungkinan Jenis Flavonoid

Tanpa uap amonia Dengan uap amonia

Lembayung gelap Kuning, hijau kuning,

atau hijau

a. Biasanya 5-OH flavon atau flavonol

(tersubstitusi pada 3-O dan mempunyai

4’OH

b. Kadang 5-OH flavonon dan 4’OH

khalkon tanpa OH pada cincin B

Tanpa atau sedikit

perubahan

a. Flavon atau flavonol tersubstitusi pada 3-

O mempunyai 5-OH tetapi tanpa 4’-OH

bebas

b. Beberapa 6- atau 8-OH flavon dan

flavonol tersubstitusi pada 3-O serta

mengandung 5-OH

c. Isoflavon, dihidroflavonol, biflavonil dan

beberapa flavanon yang mengandung 5-

OH

d. Khalkon dengan 2’- atau 6’- OH tapi

tanpa 2- atau 4-OH bebas

Biru muda beberapa flavonon dengan 5-OH

Merah atau jingga Khalkon dengan 2- atau 4-OH bebas

Fluoresensi biru

muda

Fluoresen kuning-hijau

atau biru-hijau

a. Flavon dan flavonon tanpa 5-OH bebas

b. Flavonol tanpa 5-OH bebas tapi dengan 3-

OH tersubstitusi

Tanpa atau sedikit

perubahan

Isoflavon tanpa 5-OH bebas

Fluoresens cerah biru

terang

Isoflavon tanpa 5-OH bebas

Tidak tampak Fluoresens biru muda Isoflavon tanpa 5-OH bebas

Kuning redup dan

kuning atau

fluoresen jingga

Tanpa atau sedikit

perubahan

Flavonol dengan 3-OH bebas dan dengan atau

tanpa 5-OH bebas

Fluoresensi kuning Jingga atau merah Auron dengan 4’-OH dan beberapa 2- atau 4-

OH khalkon

Fluoresen kuning,

hijau-kuning, biru-

hijau, atau hijau

Tanpa atau sedikit

perubahan

a. Auron dengan 4’-OH bebas dan flavonon

tanpa 5-OH bebas

b. Flavonol dengan 3-OH bebas dan dengan

atau tanpa 5-OH bebas

Merah jingga redup Biru Antosianidin 3-glikosida

Merah jambu atau

fluoresensi kuning

Biru Sebagian besar antosianidin 3,5-diglikosida

4. Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik merupakan metabolit sekunder yang berasal dari jalur

metabolisme pentosa fosfat, sikimat dan fenilpropanoid dalam tanaman (Randhir

dkk., 2004). Senyawa fenolik memiliki struktur berupa cincin aromatik dengan

satu atau lebih subtituen hidroksil dan bervariasi mulai dari molekul fenolik

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

16

sederhana hingga senyawa polimer kompleks. Kumpulan dari senyawa fenolik ini

sering disebut dengan polifenol (Balasundram dkk., 2006).

Aktivitas fisiologi senyawa fenolik dalam tubuh antara lain sebagi anti-alergi,

anti-arterogenik, anti-inflamasi, anti-mikroba, antioksidan, anti-trombotik,

kardioprotektif dan efek vasodilator. Keberadaan fenolik pada tumbuhan sendiri

memiliki peran penting dalam pertumbuhan dan reproduksi, perlindungan

terhadap patogen dan predator, kontribusi dalam pembentukan warna dan

karakteristik sensorik pada buah dan tanaman (Balasundram dkk., 2006).

Senyawa fenolik dalam tanaman termasuk diantaranya adalah asam fenolik,

flavonoid, tanin, stilben, kurkuminoid, kumarin, lignan, kuinon, dan lain

sebagainya (Huang dkk., 2010). Dari beberapa senyawa tersebut, asam fenolat,

flavonoid dan tanin merupakan jenis senyawa fenolik yang paling umum

ditemukan. Senyawa flavonoid merupakan kelompok terbesar, dari 8000 senyawa

fenolik, hampir setengah dari jumlah tersebut adalah flavonoid (Balasundram

dkk., 2006).

Folin-Ciocalteu merupakan metode spektrofotometri yang umum digunakan

untuk menghitung kandungan senyawa fenolik. Prinsip metode Folin-Ciocalteu

adalah oksidasi gugus fenolik hidroksil yang terkandung di dalam sampel. Reagen

yang digunakan merupakan campuran dari natrium molibdat, natrium tungstat,

dan reagen yang lain. Ketika reagen bereaksi dengan senyawa fenol, maka akan

terbentuk warna biru yang berasal dari kompleks molibdenum-tungstat (Everette

dkk., 2010). Rekasi berlangsung lambat pada pH asam, sehingga digunakan

natrium karbonat untuk membuat suasana basa (Prior dkk., 2005).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

17

Metode Folin-Ciocalteu merupakan metode sederhana, sensitif dan teliti.

Namun banyak senyawa lain yang dapat berekasi dengan Folin Ciocalteu seperti

misalnya adenin, adenosin, anilin, sitosin, EDTA, fruktosa, guanosin, asam oleat,

dan lainnya (Balasundram dkk., 2006).

5. Desain Faktorial

Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi berupa suatu teknik

untuk memberikan model hubungan antara variabel respon dengan suatu atau

lebih variabel bebas. Model yang diperoleh dari persamaan tersebut diolah dalam

persamaan matematika. Desain faktorial menghasilkan suatu desain percobaan

yang dapat menentukan faktor paling dominan yang mempengaruhi suatu respon

secara signifikan (Bolton dan Bon, 2004) .

Faktor adalah setiap variabel bebas yang menjadi penyebab terjadinya

perubahan pada variabel terikat. Untuk menentukan desain faktorial, perlu di

tentukan jumlah level atau variasi untuk setiap faktor (variabel) kemudian

dilakukan eksperimen dengan semua kemungkinan kombinasi (Bolton dan Bon,

2004)

Prinsip dasar pada desain faktorial adalah harus ada 2 atau lebih faktor yang

diteliti dan mengandung paling sedikit 2 level dari masing-masing faktor tersebut

yaitu level maksimum (dinotasikan dengan +) dan level minimum (dinotasikan

dengan -). Jumlah percobaan yang dilakukan desain faktorial sebanyak 2n, dengan

2 adalah jumlah level dan n adalah jumlah faktor. Desain faktorial 23 berarti

eksperimen yang terdiri dari tiga faktor yang masing-masing terdapat dua level

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

18

atau tingkatan. Hal ini berarti eksperimen dilakukan dengan delapan percobaan

seperti digambarkan dalam Tabel II sesuai dalam buku Bolton dan Bon (2004).

Tabel II. Kondisi percobaan desain faktorial 23

Percobaan Faktor

A B C

(1) - - -

a + - -

b - + -

ab + + -

c - - +

ac + - +

bc - + +

abc + + +

Keterangan:

- = level rendah

+ = level tinggi

Formula (1) = level rendah faktor A, level rendah faktor B, level rendah faktor C

Formula a = level tinggi faktor A, level rendah faktor B, level rendah faktor C

Formula b = level rendah faktor A, level tinggi faktor B, level rendah faktor C

Formula ab = level tinggi faktor A, level tinggi faktor B, level rendah faktor C

Formula c = level rendah faktor A, level rendah faktor B, level tinggi faktor C

Formula ac = level tinggi faktor A, level rendah faktor B, level tinggi faktor C

Formula bc = level rendah faktor A, level tinggi faktor B, level tinggi faktor C

Formula abc = level tinggi faktor A, level tinggi faktor B, level tinggi faktor C

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan berdasarkan Tabel II, dapat

dihitung efek faktor A, efek faktor B, dan efek faktor C. Kemudian dapat dihitung

pula interaksi dari ketiga faktor tersebut terhadap respon yang diamati. Hubungan

antara respon dan level faktor dapat digambarkan seperti persamaan (1) berikut:

Y = B0 + Ba Xa + Bb Xb + Bc Xc + Bab Xa Xb + Bac Xa Xc + Bbc Xb Xc + Babc Xa Xb Xc

........ (1)

Dengan Y merupakan respon hasil (variabel dependen); Xa, Xb, Xc

merupakan ketiga faktor yang diamati, dan B0, Ba, Bb, Bc, Bab, Bac, Bbc, Babc

merupakan koefisien yang dapat dihitung dari hasil penelitian (Armstrong, 2006).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

19

Keuntungan utama dari metode ini adalah dapat mengidentifikasi efek

masing-masing faktor, maupun efek interaksi antar faktor. Selain itu metode ini

lebih ekonomis dan dapat mengurangi jumlah penelitian jika dibandingkan

dengan meneliti dua efek faktor secara terpisah. Metode desain faktorial dapat

dijadikan suatu rancangan awal untuk melakukan optimasi, karena dengan analisis

ini berbagai faktor dan interaksi yang dominan dapat dibuktikan secara objektif.

Program analisis varian yang dapat digunakan adalah uji linier univariat pada taraf

kepercayaan 95% (Bolton dan Bon, 2004).

6. Spektrofotometri

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara

radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang

sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet,

cahaya tampak, inframerah, dan serapan atom (Departemen Kesehatan, 2008).

Pengukuran kuantitatif secara spektrofotometri ditetapkan dengan persamaan

Lambert Beer sebagai berikut :

𝐴 = 𝑎𝑏𝑐........................................................(2)

Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada

konsentrasi (c), tebal kuvet (b), dan intensitas radiasi yang mengenai larutan

sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan

panjang gelombang radiasi. Satuan a ditentukan oleh satuan-satuan b dan c. Jika

satuan c dalam molar (M) maka absorptivitas disebut dengan absorptivitas molar

dan disimbolkan dengan dengan satuan M-1

cm-1

atau liter.mol1cm

-1. Jika c

dinyatakan dengan persen berat/volume (g/100 ml) maka absorptivitas dapat

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

20

ditulis dengan 𝐸1𝑐𝑚1% dan juga seringkali ditulis dengan 𝐴1𝑐𝑚

1% . Nilai 𝐸1𝑐𝑚1%

merupakan absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v

(1 g/100 ml) dan dengan kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang

gelombang dan pelarut tertentu (Gandjar dan Rohman, 2007).

Cara lain untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan

perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku, atau dengan

menggunakan persamaan regresi linear yang menyatakan hubungan antara

konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya

digunakan untuk menghitung kadar sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

F. Landasan Teoritik

Kondisi ekstraksi merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan untuk

mendapatkan kandungan flavonoid dan fenolik secara maksimal. Faktor yang

mempengaruhi ekstraksi antara lain rasio simpisia-pelarut, konsentrasi etanol dan

waktu perendaman. Efek dari semakin besar rasio pelarut dan simplisia adalah

meningkatkan senyawa yang tersari. Semakin besar rasio pelarut-simplisia maka

akan semakin besar kemampuan pelarut untuk memperluas kontak dengan

simplisia, sehingga proses difusi zat aktif ke dalam pelarut semakin banyak

(Luthria, 2008).

Kelarutan senyawa aktif berdasarkan prinsip like dissolve like, yaitu senyawa

aktif akan larut pada pelarut yang sama polaritasnya. Flavonoid dalam bentuk

glikosida akan lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti air, sedangkan

aglikon flavonoid akan cenderung larut pada pelarut non polar. Kandungan

flavonoid dalam herba sambiloto lebih banyak dalam bentuk aglikon dengan

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/114607/potongan/S1-2017...Data hasil percobaan selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rancangan percobaan

21

struktur berupa metoksi flavon (Rao dkk., 2004), sehingga kemungkinan kenaikan

konsentrasi etanol dapat meningkatkan jumlah senyawa flavonoid dalam ekstrak.

Sebagian besar senyawa fenolik dalam herba sambiloto merupakan senyawa

flavonoid, sehingga peningkatan konsentrasi pelarut kemungkinan juga akan

meningkatkan kadar fenolik.

Waktu kontak antara bahan dan pelarut memberikan peranan penting dalam

proses ekstraksi karena berpengaruh terhadap jumlah senyawa bioaktif yang akan

terekstrak. Waktu yang terlalu pendek dapat menyebabkan proses ekstraksi

berjalan kurang sempurna. Semakin lama waktu ekstraksi, maka semakin lama

pula waktu kontak antara bahan dan pelarut sehingga senyawa aktif akan semakin

banyak yang berdifusi ke dalam pelarut (Spigno dkk., 2007).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ekstraksi dapat ditentukan melalui

desain faktorial. Metode eksperimen desain faktorial terbukti dapat digunakan

untuk melihat efek dari setiap faktor yang diamati maupun interaksi antar faktor

yang terjadi (Pinelo dkk., 2005; Spigno dkk., 2007; Cujic dkk., 2016).

G. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu

1. Rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol dan waktu perendaman yang lebih

tinggi akan memberikan kadar flavonoid yang lebih besar, serta interaksi

antar faktor akan mempengaruhi kadar flavonoid total.

2. Rasio pelarut-simplisia, konsentrasi etanol dan waktu perendaman yang lebih

tinggi akan memberikan kadar fenolik yang lebih besar, serta interaksi antar

faktor akan mempengaruhi kadar fenolik total.