Upload
ngotram
View
228
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia, terletak di daerah katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan
tropis, sehingga menghasilkan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia
Kekayaan jenis tumbuhan yang terdapat di Indonesia hingga saat ini mencapai
30.000 jenis tumbuhan berbunga yang sebagian besar masih tumbuh liar di hutan-
hutan, namun baru sekitar 4.000 jenis yang diketahui telah dimanfaatkan langsung
oleh penduduk (Sastrapradja & Rifai, 1972). Lebih dari 329 jenis buah-buahan
(terdiri dari 61 suku dan 148 marga) baik yang merupakan jenis asli Indonesia
maupun pendatang (introduksi) terdapat di Indonesia (Rifai, 1986).
Durian (Durio spp.), rambutan (Nephelium spp.), manggis (Garcinia spp.),
dan mangga (Mangifera spp.) termasuk dalam buah-buahan unggulan nasional
dan memiliki nilai ekonomis serta potensi tinggi untuk dikembangkan (Winarno,
2000). Telah dilaporkan terdapat 40 jenis Mangifera di seluruh dunia (Gruezo,
1991), sedangkan di pulau Kalimantan sendiri terdapat 31 jenis Mangifera, 3
diantaranya endemik, yaitu Mangifera casturi, Mangifera pajang dan Mangifera
havilandii. (Kostermans & Bompard, 1993). Mangifera casturi telah dijadikan
sebagai maskot flora identitas Provinsi Kalimantan Selatan (Anonim, 1995).
Penelitian yang dilakukan oleh Kim (2010) pada Mangifera indica, genus
Mangifera, melaporkan bahwa ekstrak etanolik buah dan kulit mangga
mengandung senyawa fenolik dan flavonoid serta memiliki aktivitas
1
2
antiproliferasi. Sejalan dengan itu, Ali dkk. (2012), melakukan penelitian
mengenai aktivitas antioksidan dan proliferasi sel HeLa dari ekstrak buah dan
kulit mangga.
Kandungan polifenol dalam mangga (Mangifera indica) yang memiliki
aktivitas antioksidan adalah mengiferin, katekin, quersetin, kaempherol,
rhamnetin, antosianin, asam galat, asam ellagat, propil dan metil galat, asam
benzoat, dan asam protokatekuat. Kandungan xanton (mangiferin) pada mangga
merupakan glukosida C-mangiferin, dan telah dilaporkan terdapat pada bagian
daun, buah, kulit batang, dan akar tanaman mangga (Wauthoz dkk., 2007).
Adanya senyawa fenolik dan flavonoid pada suatu tumbuhan dapat
memberikan manfaat dan khasiat yang beragam pada berbagai macam organisme.
Efek yang sangat beragam ini dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang
mengandung flavonoid sering digunakan dalam pengobatan tradisional (Robinson,
1995)
Flavonoid dan senyawa fenolik yang bersumber dari bahan alam memiliki
bioaktivitas sebagai antioksidan melalui donor hidrogen atau elektron,
kemampuan mengkhelasi ion logam-logam transisi, penangkapan radikal lipid
peroksida, dan penangkapan spesies nitrogen efektif yang mungkin dapat
menyebabkan reaksi nitrasi, hidroksilasi, atau oksidasi dari molekul antioksidan.
Peran flavonoid sebagai donor hidrogen yakni dengan jalan menyumbangkan
gugus pereduksi dari gugus hidroksil yang melekat pada cincin aromatis miliknya,
sehingga dapat mendelokalisasi senyawa-senyawa radikal (Evans dkk., 1999).
Adanya efek antioksidan dari flavonoid juga dapat menjadikan antioksidan
3
sebagai agen antiinflamasi melalui inhibisi non kompetitif bekerja dengan
menangkap radikal bebas oksigen dan menghambat segala tipe oksigenasi
(siklooksigenase dan lipoksigenase) (Selloum dkk., 2002).
Inflamasi merupakan kompleks reaksi sistem imun nonspesifik di jaringan
pembuluh darah yang melibatkan akumulasi dan aktifasi leukosit serta protein
plasma di tempat infeksi. Inflamasi dapat disebabkan oleh pejanan toksin maupun
kerusakan sel pada jaringan. Meskipun inflamasi bertujuan protektif dalam
mengontrol infeksi dan memacu pertumbuhan jaringan, jika berlebihan dan tidak
terkontrol dapat menimbulkan kerusakan dan penyakit.
Reactive oxygen species (ROS), seperti anion superoksid (O2-), radikal
hidroksil (OH), hidrogen peroksida (H2O2) memiliki peran penting dalam
oxidative stress yang memicu banyak penyakit seperti kanker, anemia, inflamasi,
kardiovaskuler, diabetes, penyakit degenerative, maupun iskemik. ROS dapat
menginisiasi reaksi oksidatif yang berbahaya seperti, peroksidasi lipid,
menghambat respirasi dari mitokondria, inaktivasi glyceraldehyde-3-phosphate
dehydrogenase, menghambat potassium ATP-ase, dan inaktivasi kanal sodium pada
membran. (Cuzzocrea, 2013). Menurut penelitian yang dilakukan Ravipati (2012),
senyawa fenolik, flavonoid dan logam (Zn, Mg dan Se) memiliki fungsi sebagai
antioksidan di dalam tubuh. (Ravipati, 2012). Sejalan dengan penelitian tersebut,
tingginya oxidative stress karena kurangnya antioksidan dalam tubuh
memperparah kondisi inflamasi paru-paru termasuk asma. (Morcillo, 2013).
Mangifera casturi yang juga berasal dari genus Mangifera, dimungkinkan
memiliki efek antioksidan yang dimiliki Mangifera indica karena berasal dari satu
4
genus. Uji pendahuluan dan fitokimia yang dilakukan Mustikasari dan Ariyani
(2007) menyatakan bahwa batang pohon mangga kasturi mengandung senyawa
terpenoid, steroid, dan saponin. Menurut Suhartono (2012), ekstrak air buah
mangga kasturi mengandung total flavonoid lebih banyak dari pada daun kelakai,
batang gerunggang, maupun akar pasak bumi. Sutomo (2013) melaporkan bahwa
ektrak metanolik buah mangga kasturi, mengandung senyawa golongan
terpenoid/streroid dan fenolik.
Pada inflamasi yang disebabkan oleh cedera jaringan, membran sel yang
cedera memicu pembentukan asam arakidonat yang selanjutnya diubah menjadi
mediator inflamasi. Mediator inflamasi akan memicu terjadinya vasodilatasi
pembuluh, sehingga volume darah meningkat di pembuluh tersebut dan rentan
mengakibatkan perdarahan. Permeabilitas pembuluh yang meningkat,
menyebabkan plasma darah mudah melewati dinding kapiler dan terjadilah
edema. Beberapa jam kemudian, leukosit pada aliran darah menempel pada sel
endotel dan bermigrasi menembus dinding pembuluh dan masuk ke rongga
jaringan. Pada kondisi keadaan tubuh normal, hanya sebagian kecil molekul dapat
melewati dinding pembuluh darah. Namun bila terjadi inflamasi, sel endotel
mengkerut sehingga molekul besar pun dapat melewatinya.
Obat anti inflamasi bertujuan agar inflamasi tidak berkembang menjadi
inflamasi kronis, maupun agar proses inflamasi krosis tidak semakin parah yang
mengakibatkan hilangnya fungsi jaringan. Inflamasi yang dibutuhkan oleh tubuh
adalah yang cepat menghilangkan faktor pemicu, mencegah infeksi, cepat
5
mengembalikan fungsi jaringan seperti semula, dan tidak berlebihan/dapat
berhenti setelah rangsangan itu hilang (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).
Pada proses inflamasi, makrofag melepaskan radikal bebas yang berfungsi
merusak benda asing pemicu inflamasi agar bisa segera dibuang tetapi radikal
bebas ini dapat juga berbahaya bagi jaringan tubuh, dan dapat menjadi faktor yang
memperlama terjadinya inflamasi. Apabila radikal bebas yang terjadi pada proses
inflamasi dapat dikurangi, maka bisa menjadi alternatif pengobatan antiinflamasi.
Penemuan obat anti inflamasi bertujuan mencari obat yang dapat selektif terhadap
inflamasi yang terjadi di luar keadaan homeostasis tubuh, juga untuk mencegah
inflamasi kronis berlangsung semakin lama. Mangga kasturi yang telah diketahui
memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, dimungkinkan dapat menjadi obat
antiinflamasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan beberapa
rumusan permasalahan antara lain:
1. Apakah ekstrak metanolik buah mangga kasturi mempunyai aktivitas
antiinflamasi melalui penghambatan migrasi leukosit?
2. Senyawa apa yang ada di dalam ekstrak metanolik buah kasturi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ektrak metanolik buah
mangga kasturi memiliki aktivitas antiinflamasi dan senyawa apa yang terkandung
di dalamnya.
6
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini yaitu diketahuinya aktivitas Mangifera casturi
sebagai antiinflamasi, serta senyawa-senyawa yang terkandung dan
bertanggungjawab terhadap aktivitasnya tersebut. Hal ini dapat dijadikan landasan
penelitian selanjutnya serta pengembangan potensi sumber daya alam Indonesia
khususnya di bidang kesehatan dan farmasi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Mangifera casturi
Gambar 1. Daun dan buah mangga
kasturi (Puccio, 2013) Gambar 2. Penampang membujur buah mangga
kasturi (Saleh dkk., 2013)
Klasifikasi tumbuhan Mangifera casturi adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Thracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi : Angiospermae/Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
7
Kelas : Dicotyledoneae/Magnoliopsida (berkeping dua)
Subkelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Family : Anacardiaceae
Genus : Mangifera
Spesies : Mangifera casturi
(Andriyani, 2013 )
Tumbuhan mangga kasturi (Mangifera casturi) merupakan tumbuhan khas
Kalimantan Selatan yang tersebar di daerah-daerah seperti Banjarbaru, Martapura,
Kandangan, dan Tanjung. Selain itu tersebar juga di daerah Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Timur seperti Kutai dan Tenggarong Sebrang. Dilihat dari
ekologinya, tumbuhan ini hidup di daerah rawa. Buahnya menyerupai mangga
kecil dan agak padat, baunya tajam dan rasanya khas, kulitnya tipis, licin, hijau
mengkilat dengan noda gelap (Kostermans & Bompard, 1993).
Berbeda dengan buah mangga yang kita kenal, mangga kasturi atau biasa
disebut mangga Kalimantan ini berbentuk lonjong dan berukuran kecil. Lingkar
buah sekitar 4,7 cm dan panjang buah sekitar 5,82 cm, dengan ketebalan daging
buah 14 mm, buah mangga kasturi memiliki bobot sekitar 58,2 gram tiap
buahnya. Warna kulit buah berubah seiring matangnya buah, dari awalnya
berwarna hijau, menjadi merah dan kemudian ungu. Kelemahan buah mangga
kasturi dibandingkan manga yang lain yaitu daging buah yang tipis dan berserat,
serta ukurannya yang kecil. Walaupun demikian, buah mangga kasturi disukai
8
masyarakat karena baunya yang wangi, rasanya yang manis, serta pohonnya lebih
tahan penyakit dan berbuah lebat. (anonim, 2013).
Buah mangga kasturi memiliki kandungan antioksidan yang tinggi. Total
flavonoid dan penangkapan radikal bebas oleh ekstrak mangga kasturi diketahui
lebih baik dibandingkan dengan daun kelakai, batang gerunggang, maupun akar
pasak bumi. (Suhartono, 2012). Ekstrak metanolik buah mangga kasturi
mengandung senyawa terpenoid/steroid dan fenolik (Sutomo, 2013). Uji
pendahuluan dan fitokimia yang dilakukan Mustikasari dan Ariyani (2007)
menyatakan bahwa batang pohon mangga kasturi mengandung senyawa
terpenoid, steroid, dan saponin.
2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. (Departemen
Kesehatan RI, 1986). Ekstraksi mengikuti prinsip “like dissolves like” yang
berarti senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut polar, dan sebaliknya
(Sudjadi, 1988).
Pelarut cair yang diperbolehkan dalam pembuatan ekstrak adalah air,
etanol, dan campuran etanol air. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair
yang dibuat dengan cara menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang
cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Untuk membuat ekstrak kental
dan kering, hasil penyarian yang diperoleh selanjutnya diuapkan hingga semua
atau hampir semua pelarutnya menguap, massa atau serbuk yang tersisa
9
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan. Ekstrak kering
harus mudah digerus menjadi serbuk (Departemen Kesehatan RI 1972;
Departemen Kesehatan RI, 1995).
Penyarian perlu memperhatikan sifat fisik dan kimia simplisia dan zat
aktifnya, selain juga memperhatikan zat-zat yang sering terdapat pada simplisia
seperti klorofil pada daun, lemak-lemak pada biji, dan karbohidrat pada rimpang.
Struktur zat aktif yang berbeda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas
senyawa-senyawa yang disari. Mengetahui jenis dan sifat zat yang terdapat dalam
bahan yang disari akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara
penyarian yang tepat. Ditinjau dari sifat fisiknya, simplisia sebagai bahan untuk
ekstraksi ada yang lunak seperti rimpang, daun, atau akar kelembak, dan ada yang
keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar. Simplisia yang lunak, dapat dengan
mudah ditembus oleh cairan penyari, sehingga dalam penyarian tidak perlu
diserbuk hingga halus. Sebaliknya pada simplisia yang keras, perlu dihaluskan
dahulu sebelum penyarian (Departemen Kesehatan RI, 1986).
Maserasi merupakan penyarian yang paling baik untuk bahan yang berupa
serbuk halus. Proses tersebut untuk mencapai keseimbangan konsentrasi
kandungan ekstrak di dalam dan luar sebuk. Hasil ekstraksi yang diperoleh
disaring dan selanjutnya diuapkan sehingga diperoleh ekstrak kental atau kering
(Departemen Kesehatan RI, 1986).
3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
yang memisahkan, terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada
10
penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang
akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah
pelat atau lapisan ditaruh di bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan). Selanjutnya, bercak yang tidak berwana harus ditampakkan
(dideteksi) (Stahl, 1969).
Deteksi paling sederhana yaitu dengan dilihat di bawah sinar UV 254 nm
menunjukkan peredaman, atau jika pada UV 366 nm terjadi fluoresensi. Jika
dengan penyinaran UV bercak tidak dapat dideteksi, harus dilakukan reaksi kimia,
pertama tanpa dipanaskan, kemudian bila perlu dangan dipanaskan. Deteksi
biologi pada beberapa kasus dapat dilakukan.
a. Deteksi kimia (pereaksi semprot) anisaldehid-asam sulfat
Pereaksi semprot anisaldehid-asam sulfat merupakan pereaksi semprot
yang dapat digunakan untuk identifikasi fenol, terpen, steroid, propilpropan,
saponin, dan senyawa pahit. Pereaksi semprot ini dapat dibuat dengan cara
menambahkan 5 mL asam sulfat pekat dan 0,5 mL anisaldehid dalam kondisi
dingin ke dalam campuran 85 mL metanol dan 10 mL asam asetat glasial. Deteksi
dilanjutkan dengan pemanasan setelah disemprot, pada 100°C-105°C sampai
intensitas warna bercak maksimal. Warna yang muncul akan bermacam-macam
sesuai komponen senyawa, mulai dari ungu, biru, merah, coklat, maupun hijau
(Stahl, 1969).
b. Deteksi kimia (pereaksi semprot) FeCl3
11
Pereaksi semprot besi (III) klorida dapat digunakan untuk identifikasi
fenol, flavonoid, tannin, alkaloid ergot. Pereaksi semprot ini dibuat dengan
melarutkan 1 gram FeCl3 dalam 5 mL air, dan ditambahkan dengan 100 mL
etanol. Senyawa fenolik akan menghasilkan warna biru atau hijau (Stahl, 1969).
c. Deteksi kimia (pereaksi semprot) CeSO4
Pereaksi semprot Serium (IV) sulfat dapat digunakan untuk identifikasi
terpenoid/steroid. Pereaksi semprot ini dibuat dengan melarutkan 1 gram
ammonium serium (IV) sulfat dalam 100 mL asam fosfat (H3PO4). Setelah
disemprot, plat dipanaskan 120°C selama 15 menit (Stahl, 1969).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya
dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Nilai Rf berkisar 0,00 sampai 1,00.
Sedangkan hRf adalah nilai Rf dikalikan 100.
Keuntungan penggunaan KLT adalah waktu pengerjaan yang singkat (15-
60 menit) jumlah cuplikan yang dibutuhkan sedikit (kira-kira 0,1 gram), hasil
palsu oleh komponen sekunder tidak mungkin terjadi, membutuhkan peralatan
sederhana, ruangan yang tidak perlu besar serta penanganan yang sederhana
(Stahl, 1985).
4. Inflamasi
Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap rangsangan seperti infeksi
dan cedera jaringan. Rangsangan tadi akan menyebabkan kerusakan/luka pada
jaringan sehingga sel-sel inflamasi melepaskan mediator yang terkandung di
12
dalamnya. Pada inflamasi, dilibatkan lebih banyak mediator dibanding respon
imun adaptif/spesifik. (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).
Inflamasi berasal dari kata “inflammare“ yang berarti membakar. Pada
2000 tahun yang lalu, orang Romawi merumuskan beberapa gejala khas pertanda
respon inflamasi lokal pertama. Empat gejala khas tersebut yaitu rubor
(kemerahan), tumor (bengkak), calor (panas) dan dolor (nyeri) seperti
digambarkan oleh Celsus dalam bukunya De Re Medizina. (Spector &
Willoughby, 1986). Pada abad ke-2 Galen menambahkan pertanda inflamasi
kelima, yaitu functio laesa yang artinya hilangnya fungsi alat yang terkena
inflamasi (Hurley, 1972).
Ketika jaringan mendapat rangsangan (luka, cedera, sinar UV, panas
maupun dingin yang berlebihan) seketika itu terlepas banyak mediator inflamasi
seperti prostaglandin, leukotrien, dan tromboksan. Prostaglandin menyebabkan
terjadinya vasodilatasi pembuluh dan edema, leukotrien menyebabkan
permeabilitas pembuluh meningkat, dan tromboksan menyebabkan agregasi
platelet. Efek dari mediator tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Skema berbagai
macam mediator inflamasi dari asam arakidonat dapat dilihat pada gambar 3.
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Ketika reaksi peradangan mulai timbul,
pembuluh yang mensuplai darah melebar, sehinga menyebabkan lebih banyak
darah yang mengalir ke daerah radang.
13
Tabel 1. Beberapa mediator inflamasi dan efeknya (Katzung, 2002)
Mediator Vasodilatasi Permeabilitas
vaskuler
Kemotaksis Nyeri
Histamin ++ ↑↑↑ - -
Serotonin +/- ↑ - -
Bradikinin +++ ↑ - +++
Prostaglandin +++ ↑ +++ +
Leukotrien - ↑↑↑ +++ -
Keterangan: +++ intensitas kuat, ++ sedang, + lemah, - tidak menimbulkan efek, ↑
menaikkan dengan lemah, ↑↑↑ menaikkan dengan kuat
Calor atau panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan. Pada keadaan
normal, suhu permukaan tubuh lebih rendah dari 37°C yang merupakan suhu di
dalam tubuh. Ketika terjadi aliran darah yang banyak, suhu permukaan akan
menjadi 37°C dan menjadi lebih panas dibandingkan bagian permukan tubuh lain
yang tidak mengalami peradangan.
Dolor atau nyeri dapat diakibatkan oleh perubahan pH lokal, atau
konsentrasi lokal ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung-ujung syaraf.
Pengeluran zat kimia seperti histamin dan prostaglandin dapat merangsang rasa
nyeri. Selain itu, pembengkakan pada area radang pengakibatkan peningkatan
tekanan lokal dan menimbulkan rasa sakit. Tumor atau pembembengkakan
ditimbulkan oleh kumpulan sel dan cairan darah yang dikirimkan sebagai respon
inflamasi (Price & Wilson, 1995).
Pada proses inflamasi, yang terjadi adalah vasodilatasi pembuluh,
peningkatan permeabilitas vaskuler dan infiltrasi seluler. Respon peradangan
14
Gambar 3. Skema mediator inflamasi (Katzung, 2002)
terjadi dalam tiga fase yang berbeda; 1.) fase singkat akut, ditandai dengan
vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. 2.) fase sub akut lambat,
tanda yang paling menonjol berupa infiltrasi leukosit dan sel fagosit. 3.) fase
proliferasi kronik, pada fase ini terjadi kerusakan jaringan dan fibrosis (Vogel,
2008).
Fungsi inflamasi dalam pertahanan tubuh dilakukan melalui cara-cara
berikut ini:
15
1. Fagositosis. Leukosit, makrofag dan limfosit dipengaruhi kemotaktik
memasuki area inflamasi. Beberapa dari sel mengandung enzim lisosom
untuk mencerna/menghancurkan benda-benda yang dianggap asing.
2. Terbentuknya antibodi. Limfosit dan makrofag mengalami transformasi
menjadi lapisan pembatas sel yang mampu mensistesis antibodi.
3. Menetralisir dan mengencerkan/mencairkan iritan (edema). Fase primer pada
inflamasi adalah perubahan struktural pada dinding vaskuler.
4. Membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin, fibrosis dan
terbentuknya dinding granulasi.
5. Proses perbaikan jaringan atau penyembuhan. (Verboom, 1979).
5. Leukosit
Darah disusun oleh 2 komponen utama, unsur berbentuk (sel darah merah
(eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan trombosit) serta plasma darah. Darah
merupakan suatu media pengangkutan oksigen, karbon dioksida, metabolit dan
hormon (Junqueira & Carneiro, 2007).
Leukosit, memiliki perbedaan dengan eritosit, diantaranya, memiliki inti,
memiliki mitokondria dan juga dapat berubah bentuk (amoeboid). Sifat amoeboid
ini memungkinkan leukosit untuk menembus pori sel endotelial dari pembuluh
darah ketika terjadi inflamasi. Leukosit dibagi menjadi 2 berdasarkan keberadaan
granul dalam plasmanya, yaitu leukosit granular (leukosit polimorfonuklear), dan
leukosit agranular (leukosit mononuklear). Berbagai leukosit dapat dilihat pada
gambar 4. (Wheatley, 1995).
16
Granulosit (leukosit granular) terdiri atas neutrofil, eusinofil dan basofil.
Semua granulosit adalah sel terminal yang tidak membelah/berdiferensiasi lagi,
dengan jangka hidup beberapa hari, dan mati melalui apoptosis di dalam jaringan.
Debris sel ini yang yang ada di jaringan dibuang oleh makrofag dan tidak memicu
reaksi peradangan. Agranulosit (leukosit agranular) terdiri atas limfosit dan
monosit.
Neutrofil berjumlah 60-70% dari total leukosit, limfosit sebanyak 28%,
monosit 5%, eusinofil 2-4% dan basofil paling sedikit, yakni 0,5%. Neutrofil
(leukosit polimorfonuklear) adalah sel berumur pendek, dengan waktu paruh 6-7
jam dalam darah dan memiliki jangka hidup 1-4 hari dalam jaringan ikat. Sel ini
adalah sel fagosit yang aktif terhadap bakteri dan partikel kecil lainnya. Neutrofil
yang tidak aktif akan berbentuk bulat saat beredar, namun menjadi ameboid aktif
saat melekat pada substrat padat seperti kolagen dalam matriks ekstrasel.
Granul-granul yang ada di dalam neutrofil mengandung banyak enzim
yang membantu menghancurkan partikel/mikroba yang difagosit. Selama
fagositosis lonjakan konsumsi O2 mengakibatkan terbentuknya anion superoksida
(O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2), yang merupakan radikal bebas yang sangat
reaktif.
Limfosit berperan dalam sistem imun, pertahanan terhadap
mikroorganisme, makromolekul asing, dan sel-sel kanker. Limfosit tidak memiliki
fungsi fagositik dan dapat kembali menuju sirkulasi darah dari jaringan. Limfosit
dibagi lagi menjadi sel T dan sel B. Sebanyak 80% limfosit merupakan sel T.
Derivat sel limfosit T berfungsi sebagai sel utama dalam respon imun selular yang
17
menghasilkan sitokin. Sel limfosit B berdiferensiasi menjadi plasma yang
mensekresikan antibodi sebagai komponen sistem imun yang penting (Paulsen,
2000). Selain limfosit T dan limfosit B, terdapat pula limfosit NK yang banyak
berperan dalam sistem imun humoral.
Gambar 4. Berbagai macam leukosit (Junqueira & Carneiro, 2007)
neutrofil eusinofil
basofil limfosit
monosit monosit
18
Monosit bukan termasuk sel terminal, yang artinya dapat berubah menjadi
sel yang lain. Monosit berada dalam peredaran darah kurang dari satu minggu,
kemudian menuju ke jaringan untuk selanjutnya berubah menjadi makrofag.
Makrofag ini kemudian dapat bertahan sampai bertahun-tahun dalam jaringan
(Junqueira & Carneiro, 2007).
6. Migrasi Leukosit
Sel endotel merupakan sel pembatas antara darah dan rongga
ekstravaskuler. Pada keadaan normal, permukaan sel endotel tidak lengket
sehingga dapat mencegah koagulasi, adhesi sel, dan kebocoran cairan rongga
intravaskuler. Sel endotel ini juga memiliki komporen regulator vasodilator dan
vasokonstriktor agar tercipta keadaan homeostasis tubuh (Baratawidjaja &
Rengganis, 2010). Proses mingrasi leukosit dari sirkulasi ke jaringan tempat
terjadi inflamasi/ proses infiltrasi seluler berlangsung dalam empat tahap, yakni
menggulir, aktivasi oleh rangsangan kemoatraktan, menempel/adhesi dan migrasi
transendotel (melintasi sel endotel). Proses tersebut dapat dilihat pada gambar 5.
Ketika terjadi cedera atau infeksi, sebagai respon inflamasi, adhesi antara
leukosit dan sel endotel ditingkatkan. Kemokin atau kemoatraktan lain mengikat
reseptor spesifik pada neutrofil dan mengaktifkan jalur sinyal transduksi yang
menghasilkan perubahan konformasional molekul integrin sehinga
memungkinkan untuk menempel dengan kuat pada permukaan endotel (ICAM).
Ikatan leukosit dan sel endotel diawali oleh ekspresi L-selektin pada permukaan
leukosit, dan P-selektin serta E-selektin pada permukaan sel endotel dengan
19
reseptornya berupa karbohidrat. E-selektin dan ICAM tidak ditemukan pada sel
endotel keadaan normal, ekspresinya diaktifkan oleh TNF-α dan IL-1 (mediator
proinflamasi), maupun endotoksin. Ekspresi ICAM 1 pada permukaan endotel
diketahui meningkat pada saluran pernafasan penderita alergi setelah diberi
paparan alergen (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).
Gambar 5. Tahapan migrasi leukosit dari sirkulasi ke jaringan tempat terjadi
inflamasi (Baratawidjaja & Rengganis, 2010)
20
Neutrofil bertugas menghilangkan faktor penyebab inflamasi dengan
melepaskan ROS, cationic peptide, dan protease. ROS dapat berfungsi untuk
menghancurkan malekul penyebab inflamasi, namun juga dapat mengaktifkan
faktor transkripsi sitokin pro-inflamasi, kemokin, dan enzim protealitik. Adanya
radikal bebas ini dapat memperparah inflamasi kronis yang terjadi (Eming dkk.,
2007).
Monosit akan mulai menuju tempat terjadinya inflamasi setelah 2 hari, dan
segera berubah menjadi makrofag. Makrofag akan memfagosit neutrofil yang
telah mati. Perekrutan makrofag diregulasi oleh integrin dan VCAM-1 (Eming
dkk., 2007). Makrofag akan melepas sitokin IL-1, IL-6 dan TNF-α (pro-
inflamasi), sehingga proses inflamasi akan terus berlanjut (Baratawidjaja &
Rengganis, 2010). CD200L merupakan ligan endogen yang berfungsi untuk
menghentikan/menekan produksi sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan oleh
makrofag (Karin dkk., 2006).
Proses inflamasi diatur oleh sitokin pro-inflamasi, maupun mediator anti-
inflamasi. Sitokin pro-inflamasi menyebabkan inflamasi terus berlangsung,
diantaranya IL-1β, TNF-α, dan IFN-γ (Eming dkk., 2007), IL-6, IL-12, IL-18,
TNF-β (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). Sitokin ini menyebabkan
meningkatnya ekspresi selektin E dan P pada permukaan sel endotel, yang
nantinya akan berikatan dengan integrin pada permukaan neutrofil. Kemoatraktan
juga mempengaruhi perekrutan leukosit ke jaringan inflamasi, seperti IL-8,
growth related oncogen-α, dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1).
(Eming dkk., 2007). NF-kB mengontrol ekspresi gen yang mengkode sitokin pro-
21
inflamasi, kemokin (IL-8, MIP-1α, MCP-1, eotaxin), molekul adhesi (ICAM,
VCAM, selektin E), menginduksi enzim (COX-2 dan iNOS), serta faktor
pertumbuhan (Calixto dkk., 2003).
Sitokin merupakan protein sistem imun yang mengatur interaksi antarsel
dan memacu reaktivitas imun. Sejumlah protein lainnya mencegah aktivitas
biologis sitokin seperti antagonis IL-IR, yang berikatan dengan IL-IR tetapi tidak
memiliki aktivitas. Beberapa macam sitokin dan efek biologisnya dapat dilihat
pada Tabel 2. (Baratawidjaja & Rengganis, 2010).
Tabel 2. Sitokin: sumber, sasaran utama dan efek biologisnya
Sitokin Sumber utama Sasaran utama dan efek biologisnya
IL-1 Makrofag, endotel, beberapa
sel epitel
Endotel:aktivasi (inflamasi, koagulasi)
Hipotalamus:panas
Hati:sintesis APP
IL-6 Makrofag, sel endotel, sel T Hati:sintesis APP
Sel B:proliferasi sel plasma
IL-10 Makrofag, sel T terutama Th2 Makrofag, sel dendritik:mencegah produksiIL-21
dan ekspresi konstimulator dan MHC-II
IL-12 Makrofag, sel dendritik Sel T:differensiasi Th1
Sel NK dan sel T:sintesis IFN-γ
Meningkatkan aktivitas sitolitik
IL-15 Makrofag, sel lain Sel NK:proliferasi
Sel T:proliferasi (sel memori CD8+)
IL-18 Makrofag Sel NK dan sel T:sintesis IFN-γ
IFN-α,
IFN-β
Makrofag
Fibroblas
Semua sel:antivirus, peningkatan aktivitas MHC-I
Sel NK:aktivasi
IFN-γ Th1 Aktivasi sel NK dan makrofag, induksi MHC-II
Kemokin Makrofag, sel endotel, sel T,
fibroblas, trombosit
Leukosit:kemotaksis, aktivasi, migrasi ke jaringan
TNF Makrofag, sel T Sel endotel:aktivasi (inflamasi, koagulasi)
Neutrofil:aktivasi
Hipotalamus:panas
Hati:sintesis APP
Otot, lemak:katabolisme (kaheksia)
Banyak jenis sel:apoptosis
22
Jaringan yang hipoksia, komponen dari bakteri, molekul asing, maupun
pecahan dari nekrosis jaringan, merupakan stimuli lokal yang kuat dan bisa
memperpanjang migrasi neutrofil dan monosit ke dalam jaringan. Pada kasus
inflamasi yang tidak tersembuhkan/inflamasi kronis, terjadi ketidakseimbangan
respon dan proses inflamasi pada jaringan tersebut. Beberapa penyakit yang
diketahui memiliki kaitan dengan proses inflamasi kronis yaitu diabetes,
kardiovaskuler, kanker, arthritis dan osteoporosis (Libby, 2007), dapat juga
mencakup penyakit autoimun seperti rheumathoid arthritis, maupuan systemic
lupus erythematosus (Karin dkk., 2006).
Atherosklerosis dimulai ketika LDL yang teroksidasi (oxidized LDL)
terakumulasi di arteri dan memicu reksi-reaksi inflamasi lokal pada endotelium.
LDL yang telah teroksidasi kemudian dimakan oleh makrofag. Cholesteryl ester
yang mengumpul dalam plasma makrofag, berubah menjadi foam cell dan
berkembang menjadi plak pada pembuluh darah (Libby, 2007). Selanjutnya, plak
aterosklerosis dapat mengakibatkan tersumbatnya aliran darah di arteri. Plak juga
dapat pecah dan pecahannya bisa menyumbat aliran darah di jantung (berakibat
penyakit jantung) maupun di otak (berakibat stroke). (Webb, 2008). Pada penyakit
diabetes tipe II, penderita mengalami penurunan sensitivitas sehingga produksi
insulin tidak mencukupi kebutuhan. Diketahui bahwa TNF-α mengakibatkan
resistensi insulin pada jalur aktivasinya.
Akumulasi lipid menyebabkan nekrosis sel dan akan
memperparah/memperlama proses inflamasi. Nekrosis sel melepaskan banyak
mediator yang menyebabkan makrofag berdatangan. Infeksi kronis hepatitis B dan
23
C, memperbesar resiko perkembangan kanker sel hati. Sedangkan infeksi kronis
H. pylori memperbesar resiko kanker lambung. Pada dua kasus tersebut,
dimungkinkan agen infeksi mengaktivasi NF-KB pada sel myeloid, sehingga
menyebabkan pertubuhan tumor (Karin dkk., 2006).
Proses penyembuhan inflamasi dapat dilakukan dengan menurunkan
pelepasan molekul pro-inflamasi, meningkatkan pelepasan molekul anti-inflamasi,
penghentian kemoatraktan, apoptosis, dan drainase lymphatic. Respon inflamasi
yang tidak berhenti, dapat disebabkan oleh tidak seimbangnya aktivitas
protealitik. Pelepasan inhibitor protease leukosit memiliki aktivitas anti-inflamasi.
Pada inflamasi kronis, fungsi protease leukosit tidak terkontrol, sehingga
inflamasi tidak dapat berhenti (Eming dkk., 2007).
7. Obat/senyawa antiinflamasi
Obat antiinflamasi digunakan pada umumnya untuk mengurangi gejala
inflamasi yang dirasakan berlebih, seperti rasa gatal, nyeri, maupun bengkak.
Pada inflamasi akut, penggunaan obat untuk mencegah inflamasi semakin parah
sehingga meminimalkan kerusakan jaringan. Obat anti inflamasi non setroid
(AINS) menekan proses inflamasi karena memiliki kemampuan menghambat
biosintesis mediator inflamasi, melalui penghambatan enzim siklooksigenase
(COX).
Obat AINS dapat digolongkan menjadi inhibitor COX nonselektif, dan
inhibitor COX-2 Selektif. Inhibitor COX nonselektif, artinya obat tersebut
menghambat pada COX-1 maupun COX-2. COX-1 menghasilkan mediator
24
inflamasi yang dalam keadaan tubuh normal dibutuhkan. Contohnya
prostaglandin yang dibutuhkan untuk pertahanan dinding lambung terhadap pH
yang rendah. Sedangkan COX-2 menghasilkan prostaglandin dan tromboksan
yang disintesis ketika terjadi inflamasi. Obat AINS inhibitor COX Nonselektif
memiliki beberapa kekurangan, diantaranya menginisiasi tukak lambung karena
COX-1 (jalur penghasil prostaglandin untuk menjaga homeostasis tubuh)
dihambat. (Baratawidjaja & Rengganis, 2010)
Obat AINS yang bekerja dengan menghambat COX nonselektif
diantaranya:
1. Turunan asam salisilat. Aspirin, natrium salisilat, kolin magnesium
trisalisilat, salsalat, diflunisal, sulfasalazin, olsalazin
2. Turunan para-aminofenol. Asetaminofen
3. Asetat indol dan inden. Indometasin, sulindak
4. Asam asetat heteroaril. Tolmetin, diklofenak, ketorolak
5. Asam arilpropionat. Ibuprofen, naproksen, flubiprofen, ketoprofen,
fenoprofen, oksasprozin
6. Asam antranilat (fenamat). Asam mefenamat, asam meklofenamat
7. Asam enolat. Oksikam (piroksikam, meloksikam)
8. Alkanon. Nabumeton
Obat AINS yang bekerja dengan menghambat COX-2 Selektif diantaranya:
1. Furanon tersubstitusi diaril. Rofekoksib
2. Pirazol tersubstitusi diaril. Selekoksib
3. Sulfonanilid. Nimesulid (Rang dkk., 2003)
25
Indometasin merupakan AINS turunan indol termetilasi. Obat ini
diperkenalkan pada tahun 1963 untuk penanganan artritis reumatoid dan gangguan
yang terkait, strukturnya dapat dilihat pada gambar 6. Indometasin memiliki sifat
antiinflamasi yang menonjol dan analgesik-antipiretik yang mirip dengan turunan
asam salisilat. Obat ini merupakan suatu inhibitor COX, menghambat migrasi
leukosit polimorfonuklear, juga mencegah berpasangannya fosforilasi oksidatif
pada konsentrasi di atas terapetik dan menekan biosintesis mukopolisakarida.
Gambar 6. Struktur beberapa obat antiinflamasi
Radikal oksigen reaktif sebagai produk dari neutrofil dan makrofag yang
terlibat pada rusaknya jaringan (inflamasi), dapat dinetralkan oleh obat AINS
26
yang memiliki kemampuan menangkap radikal oksigen kuat, sehingga dapat
mengurangi kerusakan jaringan seperti halnya aktivitas penghambatan COX.
Konsentrasi indometasin dalam plasma yang diperlukan sebagai
antiinflamasi kemungkinan kurang dari 1 µg/ml. Indometasin sebanyak 90%
terikat pada protein plasma dan juga banyak yang terikat pada jaringan.
Konsentrasi obat ini dalam CSS (consetration steady state) rendah, tetapi
konsentrasinya dalam cairan sinovial sama dengan konsentrasi dalam plasma
darah setelah 5 jam pemberian.
Uji klinis indometasin sebagai antiradang telah ditinjau oleh Rhymer dan
Gengos, yang menunjukkan bahwa indometasin meredakan nyeri, mengurangi
bengkak dan kepekaan abnormal sendi-sendi terhadap tekanan atau sentuhan,
meningkatkan kekuatan genggaman, serta mengurangi durasi kekakuan di pagi
hari. Dosis lazimnya dimulai dari 25 mg dua atau tiga kali sehari. (Rang dkk.,
2003)
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mencari obat anti-inflamasi yang
berasal dari tumbuhan. Senyawa yang telah diketahui memiliki aktivitas inflamasi
diantaranya yaitu kurkumin, resveratrol, berbagai macam flavonoid (quersetin,
rutin, cirsiol), terpen (saponin, pentasiklik triterpen lupeol, asam ursolat, asam
oleanat, sesquiterpen, asam miristat, asam palmitat), antioksidan fenolik, dan
alkaloid.
Kurkumin, dilaporkan, memiliki aktivitas anti-inflamasi pada penyakit
atherosklerosis, Alzheimer, arthritis dan pankreatitis. Kurkumin diketahui
menghambat aktivasi makrofag, menghambat lipoksigenase dan COX-2. Asam
27
ursolat dan asam oleanat pada tanaman Plantago mayor diketahui menghambat
COX-2, sedangkan beberapa asam lemaknya, seperti asam linoleat, asam miristat,
asam stearat, dan asam palmitat, bekerja dengan menghambat COX-1 maupun
COX-2. Caffeic acid phenethyl ester (CAPE), antioksidan fenolik, menghambat
COX-1 maupun COX-2. Flavonoid rutin, quersetin, apigenin, morin dan
naringenin diketahui menghambat COX-2 dan menghambat aktivitas makrofag
(Calixto, 2006).
Macnee dalam penelitiannya mengatakan bahwa penggunaan antioksidan
dengan bioavailability atau molekul dengan aktivitas antioksidan dapat menjadi
terapi yang tidak hanya melindungi tubuh dari senyawa oksidan/radikal bebas,
namun bisa sebagai alternatif terapi inflamasi, seperti pada penyakit chronic
obstructive pulmonary disease (COPD). (MacNee, 1999).
Terdapat berbagai macam metode untuk menguji aktivitas antiinflamasi, in
vitro maupun in vivo. Uji penghambatan migrasi leukosit pada rongga peritonial
(peritonitis) adalah salah satu metode in vivo yang bisa digunakan. Inflamasi
dapat dirangsang dengan pemberian thioglikolat secara i.p. Studi kinetik
menunjukkan bahwa injeksi thioglikolat menginduksi peningkatan jumlah sel
leukosit pada rongga peritonial (Dy dkk. 1978). Thioglikolat diketahui
meningkatkan jumlah sel leukosit dengan mempengaruhi keberadaan leukotrien
sebagai mediator inflamasi yang memiliki efek kemotaktik, dan juga
meningkatkan interaksi/perlekatan antara leukosit dan sel endotelial vaskuler.
Jumlah sel leukosit diketahui berada paling banyak pada 4,5 jam setelah injeksi
thioglikolat (Segal dkk., 2002).
28
F. Landasan teori
Inflamasi merupakan respon normal untuk mempertahankan tubuh yang
hasil akhirnya adalah netralisasi dan penghilangan penyebab inflamasi. Proses
inflamasi dimulai dengan adanya rangsangan, melebarnya pembuluh darah dan
susunan endotelnya, merembesnya plasma darah, serta infiltrasi leukosit ke
jaringan yang radang. Peningkatan migrasi leukosit dapat menjadi penanda
terjadinya inflamasi.
Mangifera casturi mengandung flavonoid yang tinggi dan memiliki
aktivitas sebagai antioksidan yang lebih baik daripada daun kelakai, batang
gerunggang, maupun akar pasak bumi (Suhartono, 2012). Selama proses
inflamasi, banyak radikal bebas dilepaskan untuk membantu memecah zat asing
penyebab inflamasi. Keberadaan radikal bebas selain dapat menghancurkan zat
asing, dapat pula merusak jaringan inang jika berlebihan, serta memperparah
kondisi inflamasi. Penggunaan antioksidan dapat digunakan sebagai antiinflamasi,
karena keterlibatan radikal bebas dalam prosesnya ( Conforti dkk., 2008).
G. Hipotesis
Ekstrak metanolik buah Mangifera casturi memiliki aktivitas
antiinflamasi.