pengukuran fenol oksidasi

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah penelitian selesai dilakukan sesuai dengan metode penelitian pada Bab 3, maka hasil yang diperoleh akan dibahas sebagai berikut.

4.1 Determinasi Tanaman Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman nangka yang diambil di daerah Cimahi. Untuk mengetahui spesifikasi dari tanaman yang akan diteliti, maka dilakukan determinasi di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB Bandung. Berikut hasil determinasi dari tanaman nangka tersebut: Nama suku/familia Nama jenis/spesies Sinonim : Moraceae : Artocarpus heterophyllus Lam. : Artocarpus philippensis Lam., Artocarpus brasiliensis Gomez., Artocarpus maxima Blanco Nama umum : Jackfruit (Inggris), nangka (Indonesia)

Hasil determinasi terlampir pada Lampiran 1.

4.2 Hasil Ekstraksi Kulit Batang Artocarpus heterophyllus Serbuk kulit batang Artocarpus heterophyllus yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 1 kg, kemudian dimaserasi menggunakan pelarut metanol. Pelarut ini memiliki kemampuan untuk mengekstrak hampir semua komponen 42

43

yang ada dalam serbuk kulit batang Artocarpus heterophyllus, baik yang bersifat polar, semi polar maupun non polar (Harborne, 1987). Sehingga kemungkinan senyawa-senyawa organik terutama flavonoid yang berperan sebagai inhibitor polifenoloksidase akan terekstrak lebih banyak. Pada proses ekstraksi, pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi larutan zat aktif di dalam dan di luar sel (Sudjadi, 1986). Hal ini diduga terjadi pada proses ekstraksi terhadap serbuk kulit batang Artocarpus heterophyllus oleh metanol. Proses ekstraksi (maserasi) tersebut ditunjukkan pada di bawah ini.

Gambar 4.1. Proses Maserasi Serbuk Kulit Batang Artocarpus heterophyllus

Ekstrak hasil maserasi dipisahkan dari pengotornya dengan menggunakan corong Buchner. Kemudian filtrat yang diperoleh diuapkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental. Dari hasil penguapan tersebut diperoleh ekstrak kental sebanyak 25,53 gram, atau sebesar 2,553 % dari 1 kg serbuk kulit batang Artocarpus heterophyllus.

44

Ekstrak kental metanol kemudian difraksinasi menggunakan aseton sehingga diperoleh ekstrak aseton cair. Metanol bersifat polar yang disebabkan oleh atom oksigen yang sangat elektronegatif sehingga distribusi elektron cenderung lebih banyak ke arah oksigen. Selain itu, metanol memiliki tetapan dielektrik sebesar 33. Sedangkan aseton memiliki polaritas menengah dan tetapan dielektrik sebesar 21. Perbedaan tetapan dielektrik ini menyebabkan sifat kepolaran kedua pelarut berbeda sehingga dijadikan dasar dalam proses fraksinasi. Komponen-komponen yang memiliki sifat kepolaran yang sama dengan aseton, akan larut dalam pelarut aseton. Sedangkan komponen lain yang tidak larut dalam aseton akan tetap dalam pelarut metanol. Sehingga pada saat fraksinasi komponen yang tidak larut tersebut tetap berbentuk gumpalan coklat pekat. Ekstrak aseton cair lalu diuapkan menggunakan evaporator untuk dihilangkan pelarut aseton. Dari hasil penguapan tersebut diperoleh ekstrak kental aseton sebanyak 18,27 gram, atau sebesar 1,827 % dari 1 kg serbuk kulit batang Artocarpus heterophyllus. Ekstrak kental inilah yang dijadikan sebagai inhibitor polifenoloksidase pada kentang.

4.3 Identifikasi Flavonoid secara Kualitatif Telah diketahui bahwa tanaman Artocarpus heterophyllus banyak mengandung senyawa flavonoid yang berperan sebagai inhibitor

polifenoloksidase (antibrowning) pada apel (Zheng et al, 2008). Oleh karena itu dilakukan identifikasi senyawa flavonoid untuk memastikan ada tidaknya senyawa tersebut dalam ekstrak aseton yang diperoleh. Identifikasi-identifikasi

45

terhadap senyawa metabolit sekunder lainnya tidak dilakukan, karena penelitian lainnya seperti yang telah dilakukan oleh Arung et al (2006) dan Zheng et al (2008) menunjukkan bahwa tanaman Artocarpus heterophyllus diketahui mengandung senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan inhibisi

polifenoloksidase. Dengan alasan inilah peneliti hanya melakukan identifikasi flavonoid. Uji flavonoid dilakukan dengan cara menambahkan serbuk magnesium dan asam klorida pekat tetes demi tetes ke dalam ekstrak. Hasilnya menunjukkan perubahan warna, yaitu dari warna coklat menjadi kuning yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Perubahan warna tersebut menandakan bahwa dalam larutan ekstrak aseton terdapat senyawa flavonoid.

(a)

(b)

Gambar 4.2. Hasil Identifikasi Flavonoid: (a) Sebelum Reaksi, (b) Sesudah Reaksi

Apabila dalam identifikasi flavonoid dihasilkan warna merah sampai jingga, maka senyawa yang memberikan warna tersebut adalah flavon. Apabila warna yang dihasilkan warna merah tua, maka senyawa tersebut termasuk golongan senyawa flavonol atau flavonon, sedangkan warna hijau sampai biru merupakan senyawa aglikon atau glikosida (Marliana et al, 2005). Maka dapat

46

disimpulkan bahwa kemungkinan senyawa yang memberikan warna kuning ketika identifikasi flavonoid adalah senyawa flavon. Karena, warna yang dihasilkan termasuk dalam rentang warna merah sampai jingga. Persamaan reaksi dari identifikasi flavonoid tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.3 berikut.

Mg + 2H+

Mg2+ + H2

HO

OH

HO

OH

H3CO

O

H3CO

O

+ Mg2+

HCl+

Cl- +

H+

OH

O

O Mg

O

Gambar 4.3. Reaksi Identifikasi Flavonoid

Suatu flavonoid akan menghasilkan garam benzopirilium yang berwarna bila direaksikan dengan asam mineral dalam alkohol. Sebagai contoh flavon atau flavonol direaksikan dengan asam mineral akan menghasilkan garam flavilium atau antosianidin yang berwarna (Achmad, 1986). Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada gambar berikut.

47

OH OH

OH OH

HO

O

HCl CH3OHOH

HO

+

O

Cl-

OH OH OH

OH

O

Kuersetin

Garam Flavilium

Gambar 4.4. Reaksi Pembentukan Garam Flavilium (Achmad, 1986)

OH OH

OH OH

HO

O

HCl

HO

+

O

Cl-

OH OCH3 O OCH3

OH

5-metil kuersetin

Sianidin 5-metileter Suatu Antosianidin

Gambar 4.5. Reaksi Pembentukan Antosianidin (Achmad, 1986)

4.4 Hasil Penentuan Aktivitas Inhibisi Polifenoloksidase Setelah diperoleh ekstrak aseton dan dilakukan identifikasi flavonoid, pada tahap ini dilakukan penentuan aktivitas inhibisi polifenoloksidase dalam kentang. Proses pengujian aktivitas inhibisi dilakukan menggunakan

spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 475 nm. Teknik tersebut

48

digunakan karena pengujian dengan metode ini didasarkan pada penyerapan sinar tampak (visibel) oleh suatu larutan berwarna. Senyawa kuinon merupakan senyawa yang berwarna coklat. Warna coklat tersebut dihasilkan oleh reaksi antara senyawa fenolik dengan polifenoloksidase dengan bantuan oksigen. Munculnya warna coklat tersebut maka pengujian pun dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer visibel. Intensitas warna coklat yang dihasilkan menentukan kuantitas senyawa kuinon yang terbentuk. Semakin tinggi intensitas warna coklat, maka semakin banyak pula senyawa kuinon yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya. Penambahan inhibitor akan mempengaruhi intensitas warna coklat tersebut. Semakin tinggi daya inhibisi dari suatu inhibitor, intensitas warna coklat yang dihasilkan pun akan rendah. Dengan kata lain senyawa kuinon yang terbentuk semakin sedikit. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah daya inhibisi suatu inhibitor akan mengakibatkan tingginya intensitas warna coklat yang dihasilkan dan senyawa kuinon yang terbentuk semakin banyak. Sebelum pengujian aktivitas inhibisinya dilakukan, terlebih dahulu kentang dan ekstrak aseton dicampur lalu dibuat bubur kentang dan dibiarkan mengendap untuk diperoleh supernatan. Supernatan tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 jam, supaya reaksi berlangsung optimum karena suhu tersebut adalah suhu optimum dari polifenoloksidase. Proses pengujian dilakukan pada berbagai konsentrasi ekstrak aseton, yaitu pada konsentrasi 0,03%; 0,04%; 0,05%; 0,06%; dan 0,07% (b/v). Hal ini dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi maksimum dari ekstrak aseton yang

49

dapat menginhibisi polifenoloksidase dalam kentang. Adapun hasil pengujian aktivitas inhibisi polifenoloksidase ditunjukkan pada Gambar 4.6 di bawah ini.

0,03% 0,04% 0,05% 0,06% 0,07%

Kontrol 0,03%

0,04%

0,05%

0,06%

0,07%

(a)

(b)

Gambar 4.6. Hasil Uji Aktivitas Inhibisi Polifenoloksidase pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Aseton: (a) Ekstrak Aseton; (b) Filtrat Setelah Ditambah Ekstrak Aseton

Dari gambar (b) di atas, dapat dijelaskan bahwa seiring dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak aseton, maka intensitas warna coklat bertambah. Hal ini diduga dipengaruhi oleh ekstrak aseton itu sendiri yang berwarna coklat sehingga filtrat yang telah ditambah ekstrak aseton (inhibitor) tetap tampak berwarna coklat. Data hasil pengujian aktivitas inhibisi polifenoloksidase tersebut ditunjukkan pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1. Hasil Uji Aktivitas Inhibisi Polifenoloksidase Setiap Konsentrasi Ekstrak Aseton untuk 100 gram Kentang No 1 2 3 Konsentrasi Ekstrak Aseton (%, b/v) 0 (kontrol) 0,03 0,04 % Inhibisi 0 53,08 70,37

50

4 5 6

0,05 0,06 0,07

94,87 98,94 99,87

Dari tabel di atas, seiring bertambahnya konsentrasi inhibitor (ekstrak aseton), maka kinerja polifenoloksidase semakin terhambat sehingga semakin sedikit senyawa kuinon yang terbentuk. Pada kentang tanpa penambahan ekstrak aseton (kontrol) mengakibatkan polifenoloksidase bereaksi sempurna dengan substrat tanpa adanya hambatan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai persen inhibisinya 0 %. Reaksi antara polifenoloksidase dan substrat ditunjukkan pada Gambar 4.7 di bawah ini.OH OH O O

+ 1/2 O2

Enzim

+ H2 O

Kuinol (Tak berwarna)

Kuinon (Warna Coklat)

Gambar 4.7. Reaksi Pencoklatan Enzimatis Sumber : John M deMan, 1997

Pada penambahan ekstrak aseton 0,03 % telah terjadi inhibisi sebesar 53,08 %. Hal ini menandakan bahwa reaksi pencoklatan enzimatis antara polifenoloksidase dan substrat mengalami hambatan yang disebabkan oleh penambahan inhibitor (ekstrak aseton). Sedangkan pada penambahan ekstrak aseton 0,07 %, polifenoloksidase mengalami hambatan mendekati sempurna. Dengan kata lain, enzim tersebut hanya sedikit yang dapat bereaksi dengan

51

substrat sehingga sedikit sekali senyawa kuinon yang dihasilkan. Hal ini ditandai dengan persen inhibisinya sebesar 99,87 %. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk menginhibisi polifenoloksidase dalam kentang diperlukan ekstrak aseton dengan konsentrasi 0,07% (b/v).

4.5 Hasil Penentuan Tingkat Pencoklatan Tepung Kentang Tahap akhir dari penelitian ini ialah menentukan tingkat pencoklatan dari tepung kentang dengan menggunakan kromameter. Setelah diketahui bahwa konsentrasi maksimum ekstrak aseton untuk menginhibisi polifenoloksidase pada 100 gram kentang adalah 0,07% (b/v) dengan volume 100 mL, maka diharapkan tingkat pencoklatan dari tepung kentang pun rendah. Penentuan tingkat pencoklatan ini penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan inhibitor dalam menginhibisi aktivitas enzim sehingga produk kentang yang dihasilkan lebih baik (putih). Seperti yang tercantum pada Bab 2 tentang kromameter, data yang diperoleh dari hasil analisis menggunakan kromameter yaitu berupa nilai L*, a* dan b*. Untuk memperoleh nilai-nilai tersebut maka dilakukan pembuatan tepung kentang dengan variasi konsentrasi ekstrak aseton yang sesuai dengan konsentrasi pada pengujian aktivitas inhibisi polifenoloksidase, yaitu 0,03%; 0,04%; 0,05%; 0,06% dan 0,07% (b/v). Kentang yang digunakan untuk tiap konsentrasi sebanyak 1 kg sehingga volume larutan ekstrak aseton yang dibutuhkan 1 L. Adapun hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 4.8.

52

a

b

c

d

e

f

Gambar 4.8. Tepung Kentang Hasil Inhibisi dengan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Aseton (a = Kontrol; b = 0,03%; c = 0,04%; d = 0,05%; e = 0,06%; f = 0,07%)

Dari gambar di atas, tampak bahwa dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak aseton, maka tepung semakin putih. Dengan kata lain, reaksi pencoklatan enzimatis mengalami hambatan karena ditambahkannya inhibitor (ekstrak aseton). Adapun hasil uji tingkat pencoklatan ditunjukkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Nilai Kromatisitas Tepung Kentang pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Aseton No 1 2 3 4 5 6 Konsentrasi Ekstrak Aseton (%) 0 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 Nilai Kromatisitas L* a* b* 63.64 1.44 3.08 64.49 1.31 2.45 64.51 1.29 2.33 64.65 1.27 2.3 64.73 1.26 2.29 64.82 1.24 2.05

Dari tabel di atas, penambahan ekstrak aseton (inhibitor) mempengaruhi nilai-nilai kromatisitas. Pada Bab 2 tentang kromameter telah disebutkan bahwa tepung kentang yang paling putih memiliki nilai L* yang tinggi serta nilai a* dan b* yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran intensitas warna tepung kentang seperti yang tertera pada tabel di atas.

53

Pada tepung kentang tanpa penambahan ekstrak aseton, nilai L* sebesar 63,64 serta nilai a* dan b* masing-masing 1,44 dan 3,08. Nilai L* ini relatif lebih rendah dibandingkan tepung lainnya, sedangkan nilai a* dan b* lebih tinggi dibandingkan tepung lainnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tepung tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tepung yang ditambah ekstrak aseton. Hal ini disebabkan pada tepung tanpa penambahan ekstrak aseton terjadi reaksi enzimatis antara polifenoloksidase dengan senyawa fenolik yang ada pada kentang sehingga menimbulkan pencoklatan. Berbeda dengan tepung yang ditambah ekstrak aseton. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak aseton semakin tinggi nilai L* serta semakin rendah nilai a* dan b*. Ini menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tepung semakin tinggi. Dengan kata lain, reaksi pencoklatan enzimatis antara polifenoloksidase dengan substrat mengalami hambatan sehingga tepung menjadi lebih putih. Berdasarkan tabel di atas, untuk menghasilkan tepung kentang yang paling putih, maka konsentrasi ekstrak aseton yang diperlukan adalah 0,07 % (b/v). Tepung kentang yang diproduksi berwarna putih, maka yang menjadi acuan utama untuk menentukan kualitas warna tepung adalah nilai L*. Karena nilal L* menunjukkan tingkat kecerahan dari suatu objek, dengan rentang 0 (hitam) sampai 100 (putih). Dilihat dari Tabel 4.2, maka tepung kentang yang paling putih adalah tepung dengan penambahan ekstrak aseton 0,07% (b/v) yang memiliki L* sebesar 64,82. Apabila dihubungkan dengan persen inhibisi pada penentuan aktivitas inhibisi polifenoloksidase, maka konsentrasi ekstrak aseton 0,07% (b/v) adalah

54

konsentrasi terbaik untuk menginhibisi polifenoloksidase dengan persen inhibisi 99,87 % sehingga menghasilkan tepung kentang yang paling putih.