Upload
phamdan
View
234
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan sastra di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari Sastra
Melayu Tionghoa (selanjutnya disingkat SMT) yang sudah berkembang terlebih
dahulu dari sastra Indonesia itu sendiri. Tentu dalam perkembangannya SMT
tidak bisa dilepaskan dari peran produsennya yakni masyarakat peranakan
Tionghoa/Cina yang tinggal di Indonesia. Sebagai karya sastra, SMT dinilai
mewarisi kerusakan bahasa karena berkaitan dengan percampuran bahasa
produsennya. Soemardjo memaparkan bahasa yang digunakan SMT bersifat
praktis, adaptabel, dan fleksibel. Bahasa tersebut sering dinamai bahasa ―Melayu
rusak‖ karena memang tidak memiliki gramatika baku. Berbagai gramatika
(Barat, Tionghoa, dan Indonesia) berbaur menjadi satu. Hal inilah yang
menyebabkan bahasa tesebut kurang disukai pemerintah kolonial. Pemerintah
kolonial cenderung menyukai Melayu tinggi atau Melayu Riau yang jelas
pembakuannya. Kecenderungan pemerintah kolonial tersebut diwujudkan dengan
diadakannya badan penerbitan Volkslectuur pada tahun 1908 yang kemudian
berubah menjadi Balai Pustakan pada tahun 1917 (2004:21).
Meskipun SMT dinilai mewaris kerusakan bahasa, SMT dianggap karya
sastra yang ―kaya‖ akan informasi di dalamnya, baik informasi kehidupan sosial
pada zamannya maupun informasi mengenai pandangan hidup masyarakat
peranakan Tionghoa pada masa itu. Myra Sidharta dalam pengantar Kesastraan
Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia menyatakan bahwa SMT dipakai
2
untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa penting, dan kemudian dipakai untuk
menyampaikan peristiwa itu secara lisan kepada rakyat (Marcus & Pax
Benedanto, 2002:iv). Hal senada juga diungkapkan oleh Soemardjo. Ia
menyatakan bahwa SMT bentuk pantun dan syair memang sudah populer
digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan perasaan dan pikirannya sejak
tahun 1870-an, baik di lingkungan Belanda maupun Tionghoa (2004:30).
Claudine Salmon mencatat bahwa perkembangan SMT sudah dimulai
sejak tahun 1870 dan surut, bahkan bisa dikatakan benar-benar hilang sejak tahun
1966 (melalui Soemardjo, 2004:50). Hal tersebut berkaitan dengan tindakan
pemerintah yang menutup semua sekolah yang menggunakan pengantar bahasa
Tionghoa karena dianggap media ―totokisasi‖ juga kecurigaan pada Beijing yang
terlibat dalam pemberontakan PKI pada bulan Oktober 1966. Sejak saat itu secara
otomatis golongan Tionghoa yang bermukim di Indonesia mulai kehilangan
bahasa bahkan budaya leluhurnya dari Cina daratan, karena kebutuhan bacaan
tentang Cina tidak terpenuhi. Kemudian golongan ini beradaptasi dengan
masyarakat setempat.
Setelah Orde Baru runtuh, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut segala
bentuk diskriminasi terhadap golongan Tionghoa. Orang-orang Tionghoa pun
berlomba mencari kembali unsur-unsur Tionghoanya. Salah satunya dapat dilihat
dari maraknya buku-buku yang mengulas tentang Tionghoa. Agus Setiadi dalam
Geliat Sang Naga dalam Pustaka mengungkapkan bahwa maraknya buku yang
berkembang adalah untuk menanggapi kebutuhan kelompok etnis Tionghoa yang
ingin ―mencari akar‖ ketionghoannya (2010:140). Perkembangan itu faktanya
3
juga terjadi pada dunia fiksi, salah satunya adalah dengan adanya novel Putri
Cina karya Sindhunata yang terbit pada tahun 2007. Novel ini muncul bebarengan
dengan maraknya perkembangan buku-buku yang mengangkat tentang Tionghoa.
Bagi penulis, walaupun Putri Cina sebagai objek penelitian sama-sama
mengangkat tentang orang-orang Tionghoa namun novel tersebut tetap bukan
SMT. Putri Cina tidak megulang SMT yang telah hilang 50 tahun lebih itu,
namun sebagai kelanjutan babak baru sastra Indonesia yang mengangkat
kehidupan orang-orang Tionghoa. Hal ini dikarenakan dari segi bahasa Putri Cina
sudah berbeda dengan SMT.
Lebih jauh lagi, Putri Cina sebagai objek penelitian merupakan bahan
kajian yang sangat menarik. Isinya berkisah tentang Putri Cina sebagai tokoh
utama yang mewakili kaumnya yakni orang-orang Cina dikatakan ―tidak
berwajah‖ di tanah yang mereka tempati (Tanah Jawa). Selain itu, tokoh Jaka
Prabangkara anak Prabu Brawijaya tiba-tiba mampu berbicara dengan bahasa
Cina seketika ia tiba di Cina daratan. Padahal ia sama sekali tidak pernah pergi ke
Cina. Cerita ini kemudian memunculkan sebuah makna tersirat tentang asal-usul
orang Cina di Tanah Jawa sendiri.
Tidak kalah pentingnya Putri Cina juga menceritakan pandangan hidup
orang-orang Cina sering kali dianggap materialis (ngadonyan dalam bahasa Jawa)
mengakibatkan Putri Cina dan kaumnya mengalami prasangka bahkan konflik
rasial sehingga mengakibatkan korban berjatuhan. Konflik itu seperti yang terjadi
di Batavia pada tahun 1740 yang menewaskan 10.000 jiwa. Lalu konflik yang
terjadi di Kudus pada tahun 1916. Kemudian ada juga peristiwa yang terjadi di
4
Tanggerang pada tahun 1946. Konflik tidak hanya berhenti di situ, konflik terus
berulang hingga puncaknya pada masa Kerajaan Medang Kamulan sebagaimana
diceritakan di dalam Putri Cina. Selanjutnya menjadi sebuah pertanyaan besar,
apakah benar pandangan atas orang-orang Cina sedemikian rupa?
Putri Cina sebagai sebuah karya yang dianggap kembali mengangkat
kehidupan orang-orang Tionghoa kemudian menjadi sebuah karya yang penting.
Menurut hemat penulis, novel ini penting karena Putri Cina merupakan ekspresi
dan pandangan Sindhunata sebagai anggota masyarakat Tionghoa. Hal tersebut
terbukti, sebagaimana ditunjukan di dalam pengantar Putri Cina di bawah ini:
Buku ini saya persembahkan sebagai kenang-kenangan untuk almarhum
ayah dan almarhumah ibu saya, Liem Swie Bie dan Koo Soen Ling, juga
kakak dan adik perempuan saya, Liem Sioe Lan dan Liem Hwie Lian,
yang telah meninggal (Sindhunata, 2007:8).
Tidak hanya itu, sebagai sebuah karya, Putri Cina kemudian juga
menuntun pembacanya pada pencariaan dan pemaknaan hidup. Jatman dalam
Sastra, Psikologi, dan Masyarakat mengatakan sebagai berikut:
Pada hemat saya, kesusastraan yang bertanggung jawab adalah
kesusastraan yang historis; ia mencairkan mitos menjadi sejarah; namun
dalam perjalanan waktunya, ia baru bisa dikatakan berperan apabila ia
sendiri telah menjadi mitos; atau paling tidak, berfungsi sebagai mitos.
Dan karena ia menyejarah, maka mestilah fungsional dalam
masyarakatnya. Ia bisa membantu masyarakatnya menginterprestasikan
makna hidup mereka. Itu yang terutama. Sering juga posisi ini disebut
sebagai mitos profan, yang merupakan bagian dari upaya manusia untuk
memberikan makna bagi hidupnya—sesuatu yang juga dibutuhkan oleh
manusia-manusia religius yang mempercayakan diri akan pertemuannya
dengan sang kudus, sang misteri dalam pengalaman-pengalaman
langsung, afektif dan intuitif (1985:212).
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Identitas dan pandangan hidup orang-orang Tionghoa terrepresentasikan
dalam Putri Cina.
2. Jalan penyatuan yang diajukan Putri Cina untuk mengatasi persoalan pribumi
dan orang-orang Tionghoa.
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, penelitian ini memiliki tujuan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengungkapkan identitas dan pandangan hidup orang-orang Tionghoa
ditinjau dari Putri Cina.
2. Mengungkapkan solusi yang diajukan Putri Cina dalam mengatasi persoalan
pribumi dan orang-orang Tionghoa.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan dua manfaat yakni manfaat praktis dan teoretis.
Manfaat praktis yang dapat diambil adalah dengan adanya penelitian ini
memperkaya khasanah penelitian sosiologi sastra. Pada penelitian ini juga dapat
diambil manfaat teoretisnya, yakni memperluas pandangan pembaca mengenai
sosiologi sastra melalui Putri Cina yang dianalisis dalam penelitian ini.
6
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini merupakan penelitian lingkup kepustakaan. Ruang
lingkup kepustakaan memusatkan penelitian pada data. Sumber data dalam
penelitian ini adalah Putri Cina karya Sindhunata. Putri Cina merupakan objek
material penelitian. Pada objek formalnya, penelitian ini memfokuskan pada
identitas, pandangan hidup, dan jalan penyatuan untuk orang-orang Tionghoa
ditinjau dari Putri Cina
F. Metode Penelitian
Mengingat tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan masalah-masalah sosial
dalam teks sastra, yakni masalah identitas, pandangan hidup, dan pembauran
masyarakat Tionghoa dalam Putri Cina, maka metode yang penulis gunakan
adalah metode sosiologi sastra. Damono dalam Pedoman Penelitian Sastra
menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap sastra
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Istilah sosiologi sastra tidak
berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau
pendekatan sosiokultural terhadap sastra (2002:2).
Hartoko dan Rahmanto dalam Pemandu di Dunia Sastra memaparkan
bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari
hubungannya dengan kenyataan sosial. Kenyataan sosial dalam sosiologi sastra
meliputi pengarang, pembaca, dan teks sastra. Konteks pengarang dan pembaca
dalam sosiologi sastra disebut dengan sosiologi komunikasi sastra. Di dalam
7
sosiologi komunikasi sastra, penelitian memusatkan pada konteks sosial
pengarang meliputi status, pekerjaan, keterikatannya akan suatu kelas, ideologi
dan sebagainya lalu meneliti sejauh mana pengaruh pengarang terhadap karyanya.
Sosiologi komunikasi sastra juga menempatkan pembaca sebagai bagian dari
fokus kajian. Fokus kajian pembaca meliputi kebiasaan membaca dalam kalangan
tertentu seperti remaja, buruh, dan lan-lain. Konteks yang memusatkan pada teks
sastra dalam sosiologi sastra disebut penafsiran teks sastra secara sosiologis.
Penafsiran teks secara sosiologis merupakan analisis gambaran tentang dunia dan
masyarakat dalam sebuah karya kemudian melihat sejauh mana gambaran itu
menyimpang atau serasi dengan kenyataan. Hubungan antara teks sastra dan
kenyataan digunakan untuk meneliti fungsi manakah yang dominan di dalam
sebuah teks. Fungsi itu sendiri meliputi hiburan, informasi, sosialisasi dan lain-
lain guna melihat peranan sastra dalam masyarakat (1986:129).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan dari penelitian
ini adalah mengungkapkan aspek-aspek sosial dalam teks sastra. Maka, metode
yang representatif dalam penelitian ini adalah metode sosiologi sastra berdasarkan
penafsiran teks secara sosiologis.
G. Landasan Teori
Dalam sosiologi sastra, terutama kajian sosiologi terhadap penafsiran teks sastra
terdapat ilmu bantu yang dapat dimanfaatkan sebagai teori. Ilmu bantu tersebut
antara lain linguistik, filsafat, sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Ilmu filsafat
sebagai ilmu bantu menyangkut teori-teori antara lain romantisme, positivisme,
8
feminisme, marxisme, dan lain-lain. Teori marxisme sendiri melahirkan teori-teori
sastra yang dikenal sebagai lima model teori sastra marxis yang terdiri dari teori
refleksi, penciptaan, strukturalisme genetik, pengatahuan bahasa, dan landasan
bahasa (Noor, 2007:125-133).
Penulis dalam penelitian ini menggunakan teori strukturalisme genetik.
Strukturalisme genetik merupakan teori sastra yang melakukan pendekatan pada
teks sastra atau seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya disebut
penafsiran teks sastra secara sosiologis.
Teori strukturalisme genetik tidak muncul begitu saja. Teori ini muncul
atas tanggapan dari teori sebelumnya yang dikenal dengan teori strukturalisme
tradisional. Strukturalisme tradisional merupakan teori yang melakukan
pendekatan teori secara objektif. Pendekatan ini dalam penelitian sastra
memusatkan perhatiannya pada otonomi karya sastra dalam karya fiksi (Iswanto,
2012:78). Namun, pendekatan objektif terhadap karya sastra seperti yang
diungkapkan Juhl dinilai akan sangat berbahaya karena penafsiran tersebut akan
mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita dan juga norma yang dipegang
teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu (melalui Iswanto,
2012:79).
Strukturalisme genetik dimunculkan oleh Lucien Goldmann seorang
kritikus dari Rumania. Goldmann menganggap bahwa karya sastra adalah struktur
yang bermakna mewakili pandangan dunia (vision du monde) pengarang, tidak
sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian,
strukturalisme genetik merupakan penelitian yang menghubungkan struktur sastra
9
dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang
diekspresikan (melalui Endraswara 2011:57).
Seperti yang telah dikemukakan di atas, strukturalisme genetik lahir atas
tanggapan strukturalisme tradisional. Namun, strukturalisme genetik menganggap
bahwa adanya hubungan antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat
melalui pandangan dunia. Hal ini menunjukan, meskipun strukturalisme genetik
menolak gagasan strukturalisme tradisional—melakukan pendekatan secara
objektif— pada penerapannya strukturalisme genetik tetap memperhitungkan
strukturalisme tradisional dalam penerapannya.
H. Sistematika Penulisan
Penyajian penelitian ini disusun secara sistematis yang terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I berupa pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian,
landasan teori, dan sistematika penulisan.
Bab II adalah tinjauan pustaka dan landasan teori. Di dalam bab ini berisi
perihal tentang penelitian sebelumnya dan penjelasan teori yang akan digunakan.
Bab III adalah diberi judul unsur pembangun Putri Cina. Dalam bab ini
berisi uraian unsur pembangun novel Putri Cina yakni unsur instrinsik novel itu
sendiri.
Bab IV diberi judul terapan strukturalisme genetik padaPutri Cina. Berisi
paparan teoretis mengenai jati diri, pandangan hidup dan solusi yang diberikan
10
terhadap orang Tionghoa melalui Putri Cina yang dikaji melalui strukturalisme
genetik.
Bab V adalah penutup. Bab ini berisi simpulan dari keseluruhan analisis.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Bab ini terdiri atas dua subbab judul yakni penelitian-penelitian sebelumnya dan
landasan teori. Di penelitian-penelitian sebelumnya, penulis menjelaskan tentang
penelitian yang terkait dengan skripsi ini. Keterkaitan ini menyangkut hubungan
penggunaan teori dan objek penelitian. Di landasan teori berisi paparan teoretis
mengenai teori strukturalisme genetik.
A. Penelitian-penelitian Sebelumnya
Menurut hemat penulis, penggunaan teori strukturalisme genetik untuk mengkaji
karya sastra tidak sepopuler dengan teori-teori lainnya. Berbeda halnya dengan
teori-teori seperti strukturalisme tradisional, psikoanalisis, semiotika, feminisme,
dan lain-lain. Penulis sendiri mengalami kesulitan untuk mencari penelitian
dengan teori serupa di kalangan akademisi. Hanya beberapa, salah satunya adalah
Natiqotul Muniroh dari Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul ―Analisis
Strukturalisme Genetik dalam Novel Moi Nojoud, 10 Ans, Divorcee Karya
Nojoud Ali dan Delphine Minoui: Sebuah Sosiologi Sastra‖. Dari penelitiannya,
Muniroh menemukan bahwa struktur novel Moi Nojoud, 10 Ans, Divorcee saling
terkait. Keterkaitan tersebut meliputi hubungan latar belakang sosial, budaya,
ekonomi, dan politik berwujud kemiskinan, keterbelakangan, pendidikan rendah,
terikat budaya pernikahan anak, dan budaya patriarki.Pandangan dunia dalam
novel tersebut adalah mencegah perkawinan anak di pedesaan Yaman dengan
perceraian dan meningkatkan batas usia legal untuk menikah.
12
Di lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) sendiri, penelitian dengan
menggunakan teori strukturalime genetik belum penulis temui, baik di tingkat
Strata 1 (S1) maupun Strata 2 (S2). Pencarian ini didasarkan pada judul yang
diarsipkan oleh perpustakaan Undip Fakultas Ilmu Budaya dan Program Studi
Magister Ilmu Susastra. Akan tetapi, untuk objek material penelitian, Putri Cina
karya Sindhunata sudah pernah dikaji oleh mahasiswa S2 bernama Edy Sutanto.
Sutanto sendiri memberikan judul tesisnya ―Simbol Daging dan Darah dalam
Novel Putri Cina Karya Sindhunata: Kajian Struktural dan Semiotika‖.
Penggunaan strkturalisme genetik dalam penelitian ini tidak hanya untuk
membedakan teori dengan penelitian sebelumnya pada Putri Cina, namun juga
digunakan untuk mendapatkan hasil temuan yang diharapkan.
B. Landasan Teori
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, strukturalisme genetik
sebagai sebuah teori nyatanya tidak seketika muncul begitu saja. Kehadirannya
sebagai teori muncul atas rasa ketidakpuasan terhadap teori sebelumnya yang
biasa dikenal dengan nama teori strukturalisme tradisional. Strukturalisme
tradisional yang cenderung melakukan pendekatan secara objektif dan
memperlakukan teks sastra secara otonom dinilai menghilangkan esensi dari
karya sastra itu sendiri. Banyak lontaran kritik untuk strukturalisme tradisional ini,
Endraswara dalam Metodologi Peneltian Sastra mencatat dari pernyataan Taine
menganggap bahwa sastra tidak sekadar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan
13
dapat merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran
tertentu karya itu dilahirkan (2011:55).
Pernyataan Taine tersebut kemudian dianggap sebagai tonggak dasar dari
strukturalisme genetik. Selanjutnya, strukturalisme genetik baru benar-benar
dikembangkan oleh seorang kritikus Rumania bernama Lucien Goldmann.
Goldmann sebagaimana dikutip oleh Salden (1993:37) menilai bahwa teks-teks
bukanlah ciptaan teks jenius individual pengarang, menurutnya teks-teks itu
berdasarkan pada struktur-struktur mental transindividual milik kelompok-
kelompok (kelas-kelas) khusus. Ia menambahkan pandangan dunia ini secara
terus-menerus dibangun dan dihancurkan oleh kelompok masyarakat karena
menyesuaikan citraan mereka terhadap realitias yang berubah di hadapan mereka.
Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan Noor, strukturalisme genetik melihat
karya bukan sebagai ungkapan pribadi pengarang, tetapi sebagai ungkapan
aspirasi kelas sosial yang dianut pengarang (2007:129).
Struktur yang dibangun dan dihancurkan secara terus-menerus bukanlah
sesuatu yang statis. Perubahan yang terjadi secara terus-menerus dianggap sebagai
proses dari produk sejarah. Faruk memberikan pendapat terhadap strukturalisme
genetik sebagai berikut:
Sebagai sebuah teori, strukturalisme genetik merupakan pernyataan yang
sahih mengenai kenyataan. Pernyataan ini dikatakan sahih jika di
dalamnya terkandung gambaran mengenai tata kehidupan yang bersistem
dan terpadu, didasarkan pada landasan ontologis yang berupa kodrat
keberadaan kenyataan itu, dan landasan epistimologis yang berupa
seperangkat gagasan yang sistematik mengenai cara memahami atau
mengetahui kenyataan yang bersangkutan (2010:56).
14
Lebih lanjut Faruk memformulasikan teori strukturalisme genetik
Goldmann ini menjadi enam konsep dasar yaitu fakta kemanusiaan, subjek
kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman, dan penjelasan.
Pertama adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan merupakan
landasan ontologis dari strukturalisme genetik. Fakta ini memuat pengertian
segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik. Fakta
kemanusiaan sendiri terbagi menjadi dua, fakta indiviual dan fakta sosial. Dalam
strukturalisme genetik hanya fakta sosial yang dianggap berperan, sedangkan
fakta individual dianggap sebagai perilaku libidinal seperti mimpi, tingkah laku
orang gila, dan sebagainya tidak berperan. Fakta kemanusiaan ini dianggap
sebagai sebuah struktur yang memiliki arti dan saling mengikat sebagai sebuah
produk sejarah (Goldmann melalui Faruk, 2010:57).
Bagi strukturalisme genetik karya sastra hidup dalam dan menjadi bagian
dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus menerus tersebut. Karya
sastra pada dasarnya aktivitas strukturasi yang dimotovasi oleh adanya
keinginan dari subjek karya sastra untuk membangun keseimbangan dalam
hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya (Faruk,
2010:61).
Ke dua adalah subjek kolektif. Sudah disinggung di atas bahwa dalam
strukturalisme genetik hanya fakta sosial yang dikatakan berperan. Berbeda
halnya dengan fakta individual yang sifatnya libidinal. Fakta sosial berperan
karena bernilai historis. Faruk (2010:62) menekankan jika mengembalikan fakta
kepada subjek individual sama artinya ―pemerkosaan‖ terhadap kodrat fakta itu
sendiri. Peristiwa besar seperti revolusi sosial, politik, dan ekonomi tidak
mungkin diciptakan oleh individu oleh dorongan libidonya. Strukturalisme
15
genetik menganggap jika peristiwa besar hanya mampu diciptakan oleh subjek
trans-individual (Goldmann melalui Faruk, 2010:63).
Subjek kolektif atau subjek trans-individual dalam strukturalisme genetik
adalah kelas sosial. Kelas sosial adalah kelompok yang berpengaruh dalam
sejarah karena mengandung gagasan lengkap dan menyeluruh mengenai
kehidupan umat manusia (Goldmann melalui Faruk, 2010:63). Kelas sosial yang
digunakan Goldmann ialah kelas sosial yang dikemukakan Marx yakni membagi
masyarakat berdasarkan kepemilikan alat produksi. Kelas sosial terbagi menjadi
dua yakni kelompok sosial pemilik alat produksi dan kelompok sosial tidak
memiliki alat produksi. Pada dasarnya kelas sosial bersifat antagonistis karena
mengikuti kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Hubungan itu tercipta karena
satu sisi kelas pemilik alat produksi berusaha untuk mempertahankan kelas. Sisi
lain, kelas yang tidak memiliki alat produksi berusaha merebut kedudukan
tersebut (melalui Faruk, 2010:26-27).
Sentimen kelas sosial merupakan hubungan yang sangat memungkinkan
terjadinya perubahan. Perubahan sosial pun dibedakan menjadi dua yakni
perubahan infrastruktur dan superstruktur. Infrastruktur merupakan hubungan
lingkungan produksi. Sedangkan superstruktur mencakup hubungan yang lebih
luas dan lebih umum (Goldmann melalui Faruk, 2010:64).
Ke tiga adalah pandangan dunia. Goldmann mempercayai adanya
persamaan (homologi) antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat,
sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas struktur yang sama (melalui
Faruk, 2010:64). Konsep homologi sendiri berbeda dengan konsep refleksi. Hal
16
ini dipahami bahwa karya sastra bukanlah sebuah karya realistis melainkan
imajinatif bahkan fantastis. Bangunan dunia dalam karya sastra berbeda dengan
bangunan dunia dalam kenyataan. Dengan memakai konsep homologi, hubungan
antara bangunan dunia imajiner dan dunia nyata dapat dipahami, yakni dengan
memahami kesamaan tersebut bukan pada subtansinya melainkan pada
strukturnya.
Pandangan dunia dalam konsep homologi ialah struktur yang berarti
mewakili gagasan, pikiran, dan perasaan kelompok tertentu. Pandangan dunia ini
mempertentangkan dengan pandangan dunia kelompok lain karena masih
berhubungan dengan sentimen antar kelas. Menurut strukturalisme genetik
pandangan dunia diperoleh melalui proses yang panjang dan tidak setiap orang
mampu memahaminya. Pandangan dunia pun terbagi menjadi dua yakni
‗kesadaran yang mungkin‘ dan ‗kesadaran yang nyata‘. Kesadaran yang mungkin
merupakan kesadaran yang menyatakan kecenderungan kelompok ke arah suatu
mengikat dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya.
Pandangan ini jarang disadari dan hanya muncul dalam momen krisis. Sedangkan
kesadaran nyata adalah kesadaran yang dimiliki setiap individu dalam anggota
masyarakat (Goldmann melalui Faruk 2010:68-69).
Ke empat adalah strukturasi. Goldmann (melalui Faruk, 2010:71-72)
dalam esainya The Epistimology of Sociology mengemukakan pendapat tentang
karya sastra yang sebenarnya merupakan sebuah hal yang biasa. Pendapat
pertama adalah bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara
imajiner. Pendapat kedua menyatakan bahwa pengarang mengekspresikan
17
pandangan dunia tersebut dengan menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,
dan relasi-relasi imajiner. Mengacu hal tersebut, Goldmann kemudian
membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi. Menurutnya filsafat
mengekspresikan dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi mengacu pada
dunia empiris. Selanjutnya Goldmann menciptakan konsep struktur yang bersifat
tematik. Pusat penelitian struktur tematik ini memusatkan perhatiannya pada relasi
antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek. Sifat tematik dari konsep
strukur Goldmann dapat dilihat dari kutipan berikut:
Dengan mendasarkan diri pada Lukacs dan Girard, Goldmann
mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi
akan nilai-nilai otentik dalam dunia dunia yang terdegradasi. Pencarian itu
dilakukan oleh seorang hero yang problematik (melalui Faruk, 2010:73).
Terakhir yakni pemahaman dan penjelasan. Telah dijelaskan sebelumnya
pada fakta kemanusiaan yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan struktur
yang memiliki arti. Karya sastra yang memiliki arti tersebut berkaitan dengan
usaha manusia memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sosial yang
ada di dunia nyata (Faruk, 2010:76). Untuk mendapatkan pengetahuan karya
sastra dengan kodrat keberadaan (ontologi), Goldmann kemudian
mengembangkan sebuah metode yang disebut sebagai metode dialektik (melalui
Faruk, 2010:76).
Goldmann menganggap metode dialektik sama dengan metode positivistik
karena keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. Perbedaannya
metode ini adalah jika positivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi
struktur, metode dialektik memperhitungkannya (melalui Faruk, 2010:77).
Permasalahan yang mendasar dari metode dialektik merupakan reaksi atas fakta-
18
fakta kemanusiaan yang akan tetap absrak jika tidak dibuat konkret dengan
mengintegrasikan ke dalam kesuluruhan. Berhubungan dengan ini Goldmann
mengembangkan dua pasangan konsep ‗keseluruhan-bagian‘ dan ‗pemahaman-
penjelasan‘.
Menurut Goldmann, sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak
pernah adanya titik awal secara mutlak sahih, tidak adanya persoalan yang
pasti terpecahkan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran
tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan
individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan secara keseluruhan.
Sebaliknya, keseluruhan hanya bisa dapat dipahami dengan pengetahuan
yang betambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh
yang membangun keseluruhan itu (Faruk, 2010:77).
Seterusnya dapat dilihat bahwa konsep keseluruhan-bagian berkaitan erat
dengan konsep pemahaman-penjelasan. Goldmann menjelaskan bahwa
pemahaman adalah usaha mendeskripsikan struktur objek yang dipelajari,
sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkan ke dalam struktur yang lebih
besar (melalui Faruk, 2010:79). Adapun teknik pelaksanaan metode dialektik
dijabarkan sebagai berikut:
1. Peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat
probabilitas tertentu atas dasar bagian.
2. Peneliti melakukan pengecekan ulang terhadap model itu dengan
membandingkan dengan keseluruhan dengan beberapa cara. Pertama melihat
sejauh mana setiap unit tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh. Ke
dua, daftar elemen-elemen dan hubungan baru yang tidak diperlengkapi
dalam model semula. Ke tiga, frekuensi elemen-elemen dan hubungan-
hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek itu (melalui
Faruk, 2010:79).
19
Walaupun demikian, strukturalisme genetik yang dianggap sebagai reaksi
atas strukturalisme tradisional nyatanya tidak bisa dilepaskan dari strukturalisme
tradisional itu sendiri. Pendekatan unsur intrinsik sebagai ciri khas dari penelitian
strukturalisme tradisional sangat erat terjalin dalam penelitian strukturalisme
genetik.
Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik
(kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian
akan menggabungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya.
Karya dipandang sebagai refleksi zaman, yang dapat mengungkap aspek
sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa
penting pada zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur
intrinsik karya sastra (Endraswara 2011:56).
Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi mendeskripsikan unsur
intrinsik sebagai unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri (2012:23).
Adapun unsur-unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan,
tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Akan tetapi dalam aplikasinya, tidak semua unsur dimasukkan dalam penelitian
ini. Pertimbangan tersebut diambil karena menyesuaikan dengan kebutuhan
penelitian dan relevansi terhadap teori pokok yang dipakai, yakni strukturalisme
genetik. Unsur yang dipakai dalam penelitian ini antara lain:
1. Cerita
Cerita dalam karya fiksi dianggap suatu hal yang paling penting. Unsur ini
memiliki peranan sentral dari awal hingga akhir. Cerita dianggap erat berkaitan
dengan berbagai unsur pembangun fiksi yang lain. Foster (melalui Nurgiyantoro,
2012:90) mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang segaja
disusun berdasarkan urutan waktu.
20
2. Tokoh
Tokoh oleh Abrams memiliki pengertian orang(-orang) yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti diucapkan dan apa yang dilakukan
dalam tindakan (melalui Nurgiyantoro, 2012:165).
Tokoh ini sendiri pun dibedakan menurut jenisnya. Telah disampaikan
sebelumnya, bahwa dalam penelitian ini pemakaian unsur disesuaikan dengan
kebutuhan, begitu pula dengan jenis tokoh yang akan dianalisis dalam penelitian
ini. Dalam penelitian ini jenis tokoh dibedakan berdasarkan segi peranan dan
tingkat kepentingannya. Pembagian tingkat berdasarkan peranan dan kepentingan
melahirkan dua tokoh yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian (2012:176). Sebaliknya, tokoh tambahan
merupakan tokoh yang tidak terlalu mendominasi cerita, baik berkaitan secara
langsung ataupun tidak langsung.
3. Latar
Latar dalam pengertian Abrams (melalui Nurgiyantoro, 2012:216) mengacu pada
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
pertiwa diceritakan. Tempat mengacu pada wilayah. Waktu berisi ‗kapan‘
peristiwa dalam karya sastra terjadi. Lingkungan sosial merupakan keadaan atau
situasi yang digambarkan pada karya sastra.
21
Laurenson dan Swingewod menawarkan sebuah langkah penelitian
strukturalisme genetik yang juga disetujui oleh Goldmann. Pertama, mula-mula
sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan-jaringan bagiannya
sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistis. Ke dua, penghubungan
dengan sosial budaya. Unsur-unsur sastra dihubungan dengan sosio budaya dan
sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang berhubungan
dengan pandangan dunia pengarang. Sebagai penutup, untuk mencapai solusi atau
kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan
dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya
mencari premis general (melalui Iswanto, 2012:82).
22
BAB III
UNSUR INTRINSIK PUTRI CINA
Bab ini berisi tentang analisis unsur intrinsik Putri Cina. Unsur intrinsik
sebagaimana dijelaskan pada bab II adalah unsur yang membangun karya sastra.
Penulis dalam bab ini memilah unsur intrinsik menjadi tiga bagian meliputi cerita,
tokoh, dan latar Putri Cina.
A. Cerita dalam Putri Cina
Putri Cina karya Sindhunata pertama diterbitkan pada September tahun 2007
dengan tebal 304 halaman. Novel ini bercerita tentang tokoh yang bernama Putri
Cina. Putri Cina sebagai pembawa jalan cerita mengarungi ruang dan waktu.
Akan tetapi secara garis besar, penulis melihat bahwa novel ini terdiri dari dua
garis besar cerita yaitu ketika Putri Cina sebagai istri Prabu Brawijaya Kelima raja
dari Kerajaan Majapahit dan Putri Cina yang kedua menjelma sebagai Giok Tien
istri Setyoko (Senopati Gurdo Paksi).
Putri Cina sebagai istri dari Prabu Brawijaya Kelima adalah cerita bagian
pertama. Cerita ini diawali oleh kesedihan yang dirasakan oleh Putri Cina yang
mempertanyakan jatidirinya. Putri Cina sendiri adalah tokoh yang juga digunakan
untuk menyebutkan kaumnya.
Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada
suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia
tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah
leluhurnya itu. Dan ke sana sekali pun ia tidak pernah.
Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan
kemana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka
berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan
23
kebanyakan kaumnya pun tidak bisa sama sekali bicara dalam bahasa
leluhur (Sindhunata 2007:10).
Putri Cina merasa sedih. Banyak orang mengatakan bahwa ia cantik.
Meskipun demikian, ia sendiri merasa tidak memiliki wajah. Sesungguhnya Putri
Cina itu kaya raya, tetapi semakin bertambah kaya, ia merasa bahwa kekayaannya
itu tidak mampu menyangga wajahnya yang ternyata sudah ―hilang‖. Kesedihan
pun bertambah saat ia melihat kaumnya selalu tergoda mencari harta dan
kekayaan. Padahal leluhurnya dari Cina melarang ia dan kaumnya agar tidak
terikat pada harta dan benda.
Putri Cina sendiri tidak tahu kenapa ia diberi nama Putri Cina. Menurut
dongeng Jawa, ia adalah salah satu istri yang diceraikan oleh Prabu Brawijaya
Kelima. Hal itu dikarenakan istri Prabu Brawijaya Kelima yang lain yakni Putri
Campa cemburu dan merasa bahwa raja tidak mencintainya lagi. Karena tidak
tega, Prabu Brawijaya menceraikannya dan menitipkan Putri Cina pada salah satu
anaknya yakni Arya Damar, raja di Palembang.
Saat diceraikan oleh Prabu Brawijaya Kelima, Putri Cina sedang hamil.
Prabu Brawijaya berpesan agar Arya Damar tidak menggaulinya sebelum anak
tersebut lahir. Tak lama kemudian anak itu lahir dan diberi nama Raden Patah,
menyusul kemudian dari pernikahannya dengan Arya Damar melahirkan Raden
Kusen.
Raden Patah dan Raden Kusen lama-kelamaan tumbuh menjadi dewasa.
Melihat hal itu, muncullah keinginan Arya Damar untuk menjadikan Raden Patah
sebagai raja dan Raden Kusen sebagai patihnya. Tetapi Raden Patah menolaknya,
pada suatu malam ia pergi secara diam-diam meninggalkan istana. Seluruh istana
24
gempar, Raden Kusen sedih mendengar kabar tersebut. Setelah mendengar kabar
tersebut, Raden Kusen pun juga menyusul kakaknya secara diam-diam dan
kemudian mereka bertemu.
Mulanya Raden Patah dan Raden Kusen ingin mengabdikan diri kepada
Prabu Brawijaya. Namun setibanya mereka di Jawa, tepatnya Ngampeldenta,
Raden Patah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya. Di
Ngampeldenta, Raden Patah berguru pada Sunan Ngampeldenta dan memeluk
agama baru (Islam). Sedangkan Raden Kusen melanjutkan perjalanannya ke
Majapahit. Di Majapahit, Raden Kusen diterima oleh Prabu Brawijaya bahkan
diangkat menjadi adipati di Terung.
Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta.
Sunan Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia
mengawinkan Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak
Nyai Ageng Manyura putri sulungnya.
Suatu hari Raden Patah minta petuah dari gurunya, di mana ia boleh
mendirikan pedepokan tempat ia hening bersemadi. Sunan Ngampeldenta
memerintahkan, agar ia berjalan lurus ke barat. Bila di sana ia mencium
gelagah yang harum di sanalah ia harus mendirikan pedepokannya. Bila
ketemu, tempat itu akan menjadi cikal bakal bagi sebuah kerajaan baru,
yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertara harja.
Raden patah berjalan, sesuai dengan pesan gurunya. Di sebuah hutan, ia
mencium bau yang amat harum, bau yang berasal dari gelagah. Inilah
tempat yang dicarinya. Maka di sinilah ia mendirikan padepokannya. Dan
dinamakan tempat itu Bintara. Dalam waktu dekat datanglah orang-orang
ke sana untuk berguru pada Raden Patah dan menjadi pengikutnya
(2007:28-29).
Kabar tentang Raden Patah dan Bintara akhirnya sampai ke telinga Prabu
Brawijaya. Setelah itu Prabu Brawijaya memerintahkan Raden Kusen untuk
menjemput Raden Patah. Betapa gembiranya Prabu Brawijaya bahwa yang di
hadapannya adalah anak yang tampan seperti dengan dirinya. Bahkan, Prabu
25
Brawijaya mengakui Bintara dan yakin akan menjadi kerajaan besar. Bintara
kemudian berubah nama menjadi Demak.
Namun, lama-kelamaan muncul tekad dari Raden Patah untuk
menyebarkan agama baru tersebut dengan cara menaklukan Majapahit. Niatan itu
diutarakan kepada gurunya pada Sunan Ngampeldenta. Akan tetapi, Sunan
Ngampeldenta menenangkan Raden Patah dan menunggu agar waktunya tepat.
Akhirnya waktu yang ditunggu pun tiba, Raden Patah dan pasukannya
menyerang Majapahit. Dengan mudah Majapahit ditaklukan oleh Raden Patah dan
tentaranya. Pindahnya kekuasaan dari Prabu Brawijaya ke Raden Patah menandai
perubahan babakan baru di Tanah Jawa, dari agama lama menuju agama baru.
Kabar tentang hancurnya Majapahit menggembirakan Putri Cina. Maklum
saja Putri Cina pernah merasa sakit hati karena diceraikan oleh Prabu Brawijaya.
Ia bangga karena dari rahimnya lahirlah Raden Patah yang membawa perubahan
di Jawa.
Tidak hanya dalam hal pemerintahan, tapi juga dalam hal agama. Ia yakin,
anaknya bisa membuat manusia di tanah Jawa bahagia karena taat pada
ajaran dan jalan agama baru itu. Keyakinannya makin kuat karena bukan
hanya Raden Patah, anaknya, tapi banyak dari kaumnya, orang-orang Cina
sendiri, adalah pemeluk agama baru itu. Orang-orang Cina itu datang
bersama saudaragar-saudagar dari Gujarat ke Tanah Jawa. Sambil
berniaga, mereka menyebarkan agama baru itu. Dengan demikian, berkat
kaumnya pula, maka Tanah Jawa menjadi terbuka terhadap kegiatan dan
kebudayaan baru yang dibawa agama baru tersebut ke Tanah Jawa
(2007:32-33).
Namun demikian, dalam hati Putri Cina mulai ragu dan bertanya apakah
anaknya Raden Patah sungguh mencintai dirinya. Raden Patah, anak yang
dicintainya itu, malah pergi meninggalkan dirinya di Palembang. Ditambah
kemudian muncul perasaan bersalah bahwa anaknya telah melupakan ajaran
26
leluhurnya karena memerangi ayahnya Prabu Brawijaya. Maka Putri Cina
memutuskan untuk mencari jawaban pertanyaan itu dengan pergi ke Majapahit.
Singkatnya, di Jawa, Putri Cina bertemu dengan Sabdopalon-
Nayanggenggong. Sabdopalon-Nayanggenggong adalah abdi setia Putri Cina saat
berada di Majapahit. Lalu kepada mereka lah Putri Cina mengutarakan maksud
kedatangannya di Tanah Jawa. Dari mulut Sabdopalon-Nayanggenggong
diceritakanlah kepada Putri Cina semua sejarah pertikaian yang dianggapnya
selalu berulang. Dari pertikaian yang dimulai dari Janameya dan Srutasena yang
ingin membersihkan medan Kurusena, namun malah berbuntut salah paham
karena Sutrasena malah memukul Sarameya yang tidak bersalah. Sarameya adalah
anak dari Sarama, istri Begawan Pulaha. Sarameya mengadukan perbuatan
Srutasena pada ibunya. Sarama mengutuk anak cucu Janameya dan Srutasena
tidak akan bersih dari pertikaian yang disebabkan oleh dendam.
Diceritakan pula pertikaian di negeri dewa antara Sang Hyang Antaga,
Sang Hyang Ismaya, dan Sang Hyang Manikamaya yang berebut kuasa tahta
ayahnya Sang Hyang Tunggal. Perebutan kuasa ini dimulai melalui sayembara
dengan menelan Gunung Gabawarsa antara Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang
Antaga. Sang Hyang Ismaya gagal mulutnya robek karena gunung terlalu besar.
Sang Hyang Antaga berhasil, tetapi naas gunung itu tidak dapat keluar dari
mulutnya. Sang Hyang Tunggal yang mengetahui masalah ini marah, karena
perbuatan anaknya tidak lebih daripada manusia yang haus kuasa. Maka
dibuanglah kedua anaknya ini ke bumi. Sang Hyang Ismaya berubah nama
menjadi Semar dan Sang Hyang Antaga menjadi Togog. Semar ditugasi
27
menemani manusia yang hatinya bersih dan Togog ditugasi menemani manusia
yang hatinya jahat. Nyatanya sayembara ini hanyalah tipu muslihat Sang Hyang
Manikmaya yang ternyata juga ingin merebut tahta ayahnya, Sang Hyang
Tunggal. Sang Hayang Manikmaya kemudian berubah nama menjadi Batara
Guru.
Putri Cina lantas dibuat kaget dengan pengakuan Sabdopalon-
Nayanggenggong yang menyatakan bahwa mereka adalah Semar itu sendiri.
Lanjutnya lagi, Sabdopalon-Nayanggenggong menceritakan tentang ramalan Putri
Cina dan kaumnya yang kelak tidak lepas dari pertikaian yang terus berlangsung
itu.
―Bukan karena Paduka dan kaum Paduka yang bersalah. Tapi hendaknya
Paduka tahu, bila mereka-mereka bertikai, dan pertikaian mereka tak bisa
selesai, haruslah dicari korban yang asalnya bukan dari mereka. Sebab
korban itu harus lain dari mereka, supaya terasa bahwa mereka tak
bersalah, karena mereka memang mau menyembunyikan kesalahan
mereka. Tapi korban tidak boleh terlalu lain dari mereka, supaya bisa
mewakili mereka, karena di lubuk hati mereka yang terdalam mereka toh
merasa bersalah, karena itu mereka harus membersihkan diri mereka.
Kalau korban itu terlalu lain dari mereka, bagaimana dia bisa mewakili
mereka untuk membersihkan diri mereka?‖ jelas Sabdopalon-
Nayanggenggong (2007:71).
Ramalan itu memilukan hati Putri Cina. Ramalan itu adalah jawaban dari
pertanyaan Putri Cina kenapa di Jawa pertikaian selalu saja terjadi. Ramalan itu
juga menjadi penutup pada bagian pertama cerita Putri Cina.
Di bagian ke dua diceritakan bahwa di Kerajaan Medang Kamulan, raja
sudah berubah tidak seperti awalnya ketika ia naik tahta. Dulunya raja bernama
Murhardo. Ia dikenal rakyat sebagai pemimpin yang bijaksana dan peduli pada
rakyat. Kemudian namanya berubah menjadi Amurco Sabdo karena rakyat
28
membencinya. Prabu Amurco Sabdo memerintah dengan kekerasan. Ia hanya
peduli pada tahta dan kekuasaan. Setelah itu Kerajaan Medang Kamulan berubah
namanya menjadi Pedang Kamulan.
Memang sejak Prabu Amurco Sabdo menggulingkan penguasa
sebelumnya seperti Ajisaka menggulingkan Dewata Cengkar, orang-orang
Cina dilarang menjalankan kebudayaan, adat istiadat, dan tata cara
agamanya. Di Pedang Kamulan ini, tak bisa lagi orang-orang Cina hidup
menurut kebudayaannya. Nama mereka pun harus diganti dengan nama
pribumi asli. Dihapuslah nama-nama Cina di Tanah Jawa ini. Padahal
tidakkah nama itu adalah warisan mereka yang diterima secara turun
menurun? Dan nama itu menyimpan siapa diri mereka sesungguhnya? Apa
arti kaya jika mereka tidak lagi bernama?
Di Pedang Kamula, orang-orang Cina juga tak boleh mempertunjukan lagi
keseniannya. Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta
wayang potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang dan bahkan
disukai oleh orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah
menjalankan ibadat mereka di klenteng-klenteng. Bahkan mereka tidak
diperbolehkan merayakan Tahun Baru Cina. Orang Cina yang nekat
terpaksa merayakan tahun barunya sembunyi-sembunyi.
Begitulah, di Pedang Kamulan, penguasa menyandarkan diri pada
kekayaan orang-orang Cina. Tetapi orang-orang Cina itu justru dipersulit
dalam mengurus hal-hal yang mereka perlukan untuk hidup nyaman di
Tanah Jawa. Mereka tetap dianggap orang Cina, yang harus dibedakan
dengan orang-orang bumi putera. Karena itu untuk memperjuangkan
kesamaan hak sulitnya bukan mati (Sindhunata 2007:110).
Lama-kelamaan rakyat tidak menyukai Raja Amurco Sabdo. Rakyat yang
merasa tertekan kemudian marah dan menghancurkan apa saja yang ada di
hadapan mereka. Rakyat menginginkan raja untuk segera lengser.
Prabu Amurco Sabdo memiliki beberapa bawahan di antaranya Senapati
Gurdo Paksi, Tumenggung Jaya Sumengah, dan Patih Wrehonegoro. Senapati
Gurdo Paksi adalah prajurit paling tinggi di kerajaan. Ia dikenal baik dan
berpegang teguh pada peraturan. Karena ia memiliki kekuasaan tertinggi oleh raja
dianugerahi pusaka bernama Kyai Pesat Nyawa sebagai simbol atas
29
kekuasaannya. Berbeda dengan Tumenggung Jaya Sumengah, ia dikenal pemarah,
sombong, dan tidak kenal ampun. Sama halnya dengan Jaya Sumengah,
Wrehonegoro juga dikenal sangat licik dan menghalalkan segala cara.
Rakyat semakin marah kepada Prabu Amurco Sabdo karena ia menolak
untuk turun tahta. Melihat hal tersebut, Prabu Amurco Sabdo memerintah Gurdo
Paksi untuk menumpas gerakan rakyat tersebut. Namun Gurdo Paksi menolak
keinginan raja. Gurdo Paksi merasa bahwa dari tangannya telah menghilangkan
banyak nyawa. Raja marah terhadap Gurdo Paksi. Melihat kemarahan Raja,
Wrehonegoro mengusulkan saran agar kemarahan rakyat dialihkan kepada orang-
orang Cina.
―Mudah sinuwun. Sekali lagi hamba katakan itu sungguh mudah! Alihkan
saja segala kekerasaan yang mau pecah itu kepada orang-orang Cina.
Setelah itu, Sinuwun akan mengendalikan keadaan dengan mudah,‖kata
Patih Wrehonegoro. Ia tersenyum, tanpa perasaan (2007:134).
Mendengar usulan tersebut raja merasa puas. Ia menganggap
kekuasaannya akan aman jika tuntutan rakyat dialihkan ke orang-orang Cina.
Namun Gurdo Paksi marah, ia menolak untuk melakukan pekerjaan itu. Raja
semakin marah dan menganggap bahwa Gurdo Paksi hanya mau enaknya saja
tanpa mau melakukan perintah raja. Gurdo Paksi bersikukuh menolak perintah
raja, ia meninggalkan Raja dan menyerahkan pusaka Kyai Pesat Nyawa kembali
pada raja.
Dengan cepat Wrehonegoro mengarahkan kebencian rakyat pada orang-
orang Cina. Banyak rumah-rumah orang Cina dibakar. Banyak wanita Cina
diperkosa. Semua amarah ditujukan kepada orang-orang Cina. Di sisi lain, Giok
Tien istri Gurdo Paksi merasa ketakutan. Di rumah, ia ditemani oleh kedua
30
kakaknya Giok Hong dan Giok Hwa. Mereka merasa ketakutan melihat keadaan
yang melanda orang-orang Cina. Mereka mempertanyakan Gurdo Paksi yang
seharusnya menjalankan tugas memberikan perlindungan terhadap kaumnya
orang-orang Cina. Sembari itu, mereka bersiap-siap meninggalkan Jawa untuk
pergi ke Negeri Singa menghindar dari kekacauan.
Di dalam ketakutan dan kekacauan yang terjadi pada orang-orang Cina,
Giok Tien teringat dengan kisahnya yang telah lalu. Dulu Giok Tien adalah
pemain ketoprak Sekar Kastubo. Ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu waktu
ia masih remaja. Sehari-hari ia hidup bersama ibunya Siok Nio. Sekar Kastubo
melakukan pentas secara berpindah-pindah. Giok Tien adalah gadis yang cantik,
maka tidak heran jika banyak orang tergila-gila dan berniat untuk
mempersuntingnya, tidak terkecuali Radi Prawiro.
Radi Prawiro adalah punggawa kerajaan. Badannya tegap dan gagah.
Kendati demikian, ia dikenal sangat galak dan suka bertindak sesuka hatinya. Ia
juga tidak segan-segan memukul orang jika sesuai dengannya. Untuk memperoleh
apa yang diinginkan, Radi Prawiro menghalalkan segala cara, termasuk
menggunakan teluh untuk mendapatkan Giok Tien. Untungnya Giok Tien selalu
ditemani oleh Korsinah yang juga bermain ketoprak di Sekar Kastubo. Teluh yang
digunakan Radi Prawiro selalu gagal karena bisa ditangani oleh Korsinah.
Namun, jodoh memang tidak kemana. Akhirnya Giok Tien berjumpa
dengan pria yang juga punggawa kerajaan. Nama pria itu adalah Setyoko.
Setyoko memang sudah lama suka dengan Giok Tien. Karena tidak dapat
menahan perasaanya, Setyoko mendatangi Giok Tien dan mengutarakan perasaan
31
cintanya. Giok Tien tidak dapat menolak perasaan Setyoko, kemudian mereka
memutuskan untuk menikah.
Akan tetapi, perasaan bahagia tidak selalu bersama dengan Giok Tien.
Sejalan dengan itu, Siok Nio yang sudah lama dilanda sakit akhirnya meninggal
dunia. Sebelum meninggal, Siok Nio berpesan kepada Setyoko agar ia selalu
menjaga anaknya yang Cina itu. Setelah menikah, Giok Tien memutuskan untuk
berhenti dari Sekar Kastubo dan ikut dengan suaminya ke kota. Giok Hong dan
Giok Hwa juga ikut bersama Giok Tien. Di kota, Setyoko diangkat menjadi
senapati dan namanya berubah menjadi Senapi Gurdo Paksi. Tapi tanpa disangka,
Radi Prawiro juga diangkat menjadi Tumenggung dan berubah namanya menjadi
Tumenggung Jaya Sumengah.
Giok Tien kembali tersadar, lalu ia meneruskan mengemas barangnya
untuk pergi ke Negeri Singa. Namun, tiba-tiba pintu rumah mereka digedor oleh
orang-orang bertopeng. Giok Hong dan Giok Hwa dibekap mulutnya dan
diperkosa di depan mata Giok Tien. Giok Tien pun meronta-ronta, ia ingin
berteriak namun mulutnya juga dibekap. Tiba-tiba seorang datang untuk
menyelamatkan Giok Tien. Gik Tien mengira bahwa itu adalah suaminya Gurdo
Paksi. Namun salah, ternyata yang menyelamatkannya adalah Jaya Sumengah.
Setelah itu, Jaya Sumengah segera membawa Giok Tien ke katumenggungan dan
meninggalkan kedua kakaknya yang sudah tak bernyawa itu.
Di katumenggungan, Jaya Sumengah mengutarakan cintanya kepada Giok
Tien yang sedari dulu masih ada padanya. Jaya Sumengah terus memperdaya
Giok Tien dan menjelek-jelekan Gurdo Paksi yang tidak mampu melindunginya
32
dan keluarganya. Dengan keadaan sedimikian rupa, Jaya Sumengah tidak dapat
menahan nafsunya dan mencoba memperkosa Giek Tien. Giok Tien meronta-
ronta dan mencoba memberontak. Jaya Sumengah semakin tidak terkendali,
dalam posisi itu tiba-tiba Prabu Amurco Sabdo masuk dan mencoba melarang
tindakan Jaya Sumengah. Kemudian Prabu Amurco Sabdo membawa Giok Tien
ke istana. Prabu Amurco Sabdo tidak sungguh-sungguh menyelamatkan Giok
Tien. Nyatanya ia juga menginginkan tubuh Giok Tien. Prabu Amurco Sabdo pun
memaksa Giok Tien untuk menyerahkan tubuhnya. Tanpa disadari perbuatan itu
ternyata juga dilihat Jaya Sumengah. Jaya Sumengah tidak menghadang tindakan
itu, malah ia senang bahwa sakit hatinya terbalas.
Di lain pihak, Gurdo Paksi kaget melihat rumahnya sudah berantakan.
Ditambah lagi kedua kakak iparnya sudah meninggal dan di sana menancap Kyai
Pesat Nyawa pusakanya dulu. Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal
mengira Gurdo Paksi lah yang telah membunuh kedua kakak iparnya. Masyarakat
marah melihat Gurdo Paksi yang harusnya menjaga keamanan malah membunuh
kedua kakak iparnya yang Cina.
― Mana mungkin pusaka itu bukan milikmu! Hanya Senapati Pedang
Kamulan yang berhak memiliki keris pusaka Kyai Pesat Nyawa itu. Dan
kau adalah Senapati Pedang Kamulan ini,‖ teriak mereka menyudutkan
Gurdo Paksi (2007:238).
Gurdo Paksi tidak menemukan istrinya. Ia mencari dan bertanya pada
warga setempat. Sayang warga tidak percaya lagi padanya. Hingga akhirnya
Gurdo Paksi meminta pertanggungjawaban ke Prabu Amurco Sabdo.
Setelah Prabu Amurco Sabdo menggagahi Giok Tien, Jaya Sumengah pun
menginginkan hal yang sama. Dalam keadaan yang sudah tak berdaya dan dengan
33
baju yang sudah sebagian terbuka, Giok Tien mencoba menghindar dari perbuatan
Jaya Sumengah. Belum sempat Jaya Sumengah melakukan perbuatannya, Gurdo
Paksi sudah sampai di sana.
Gurdo Paksi mengutuk perbuatan kedua orang tua itu. Prabu Amurco
Sabdo dan Jaya Sumengah mengelak dan menuding Gurdo Paksi adalah dalang
dari kekacauan Pedang Kamulan karena ia adalah senapatinya. Di sisi lain,
muncul keraguan dalam Giok Tien tentang kesetiaan suaminya yang dulu berjanji
akan melindunginya sampai mati. Terlepas dari itu, Giok Tien tetap mengutuk
perbuatan Prabu Amurco Sabdo padanya. Ia menuntut agar Prabu Amurco Sabdo
turun dari kekuasaannya, tidak peduli siapa penggantinya. Jika tidak Giok Tien
akan melaporkan perbuatannya pada rakyat. Prabo Amurco Sabdo menghendaki
tuntutan itu dan kemudian posisinya digantikan oleh Aryo Sabrang yang masih
kerabatnya.
Kekuasaan Prabu Amurco Sabdo berakhir, zaman pun berganti. Aryo
Sabrang yang menggantikannya tidak meneruskan tradisi Prabu Amurco Sabdo
yang menundukan rakyat dengan senjata. Akan tetapi, Jaya Sumengah tidak
kemudian menghilang. Ia kemudian diangkat menjadi senapati dan memegang
Kyai Pesat Nyawa.
Empat puluh hari setelah kematian Giok Hong dan Giok Hwa, Giok Tien
datang ke pemakaman kedua saudaranya itu. Ia merenung dan sedih mengingat
kematian kedua saudaranya. Setelah itu, Gurdo Paksi menyusulnya dengan
membawa pakaian prajuritnya yang sudah terlepas. Gurdo Paksi memilih hidup
biasa dan melepaskan semua keprajuritannya. Ia juga meminta maaf dan menyesal
34
karena tidak mampu melindungi istri dan saudaranya. Lalu Gurdo Paksi
memeluknya erat-erat. Saat suasana menjadi demikian haru, tiba-tiba anak panah
datang menuju ke arah mereka. Giok Tien yang melihat lebih dahulu mencoba
melindungi Gurdo Paksi. Giok Tien pun tertusuk anak panah itu. Kemudian
ribuan anak panah lainnya menyusul menghampiri mereka. Giok Tien dan Gurdo
Paksi seketika tewas di tempat itu. Dari kejauhan, terdengar suara orang tertawa
terbahak-bahak. Ternyata suara itu datang dari Jaya Sumengah. Mulanya Jaya
Sumengah merasa sangat senang atas kematian mereka berdua. Namun kemudian
ia menyesali karena ternyata ia sangat mencintai Giok Tien. Jaya Sumengah
melihat kedua mayat di depannya berpelukan erat lalu ia mencoba
memisahkannya. Tetapi belum sempat menyentuh kedua mayat itu, keduanya
malah berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Jaya Sumengah pun semakin
sedih dan tidak dapat menahan kesedihannya ketika kupu-kupu itu semakin
menjauh. Dari balik awan seakan ia melihat wajah Giok Tien yang dikenalnya
dulu. Rasa sakit itu kemudian menuntunnya untuk menusukan Kyai Pesat Nyawa
ke dadanya. Tubuh Jaya Sumengah pun seketika terjatuh di tempat Giok Tien dan
Gurdo Paksi tadi.
B. Tokoh dalam Putri Cina
Tokoh utama yang terdapat dalam Putri Cina adalah Putri Cina itu sendiri. Putri
Cina adalah tokoh yang membawa ke mana arah cerita. Kemunculannya selalu
ada di setiap cerita. Ia juga yang dikenai peristiwa-peristiwa yang menyangkut
jalannya cerita. Putri Cina itu sendiri sebenarnya terbagi menjadi dua. Putri Cina
35
yang pertama ada di masa Majapahit istri Prabu Brawijaya Kelima. Putri Cina
yang ke dua menjelma sebagai Giok Tien yang hidup di masa Pedang Kamulan
sebagai istri Gurdo Paksi.
Baik Putri Cina sebagai istri dari Prabu Brawijaya dan Putri Cina sebagai
Giok Tien adalah dua bagian yang terpisah. Hal ini dikarenakan mereka
menempati ruang dan waktu yang terpisah pula. Penghubung antara Putri Cina
sebagai istri dari Prabu Brawijaya dan Putri Cina sebagai Giok Tien adalah sifat
mereka. Keduanya memiliki sifat yang positif.
Putri Cina yang ada di masa Majapahit adalah orang yang tabah. Ia tetap
sabar walaupun diceraikan oleh Prabu Brawijaya hanya karena alasan
kecemburuan dari istrinya yang lain seperti di bawah ini:
Cerita Kim Liyong tentang diceraikannya Putri Cina oleh Raja Majapahit
tidak terlau menyusahkan hatinya. Ia berpikir, sudah takdirnyalah bagi
Putri Cina, bahwa ia harus diserahkan kepada Arya Damar di Palembang.
Dan Memang beginilah Babad Tanah Jawa bercerita tentang masa itu
(2007:26).
Sifat positif juga diperlihatkan oleh Giok Tien, salah satunya seperti ini:
―Kata papa, kalau ke Taw Low She, mintalah untuk menjadi bijaksana,
Sedang Mama kalau sembahyang di Eyang Djoego juga tidak minta apa-
apa, kecuali minta selamat lahir batin. Aku juga minta selamat,‖ jawab
Gioek Tien (2007:167).
Kesamaan lain pada dua Putri Cina ini adalah konflik yang menimpanya.
Meski begitu, konflik antara Putri Cina di masa Majapahit dan konflik yang
terjadi pada masa Pedang Kamulan berbeda tingkatan. Konflik Putri Cina yang
ada di masa Majapahit lebih bersifat batiniah. Konflik ini lebih membicarakan
identitas Putri Cina itu sendiri dan perasaan bersalah terhadap anaknya Raden
36
Patah yang memerangi ayahnya. Putri Cina (Giok Tien) pada masa Pedang
Kamulan lebih bersifat konflik fisik. Konflik fisik ini berupa huru-hara yang
menimpa orang Cina dan pada Giok Tien sendiri.
Sedangkan untuk tokoh tambahan dalam Putri Cina, tokoh jenis ini pun
terbagi menjadi dua karena terbagi menjadi dua sub cerita. Pada masa Majapahit
tokoh tambahannya adalah Prabu Brawijaya Kelima, Jaka Prabangkara, Kim
Liyong, Kim Muwah, Raden Patah, Raden Kusein, Sabdo Palon
Nayanggenggong, Jayameya, Srutasena, Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang
Antaga, Sang Hyang Manikmaya, dan lain-lain. Pada masa Pedang Kamulan
tokoh tambahan meliputi Gurdo Paksi (Setyoko), Jaya Sumengah (Radi Prawiro) ,
Wrehonegoro, Prabu Amurco Sabdo, Siok Nio, Giok Hong, Giok Hwa, Korsinah,
dan lain-lain.
C. Latar dalam Putri Cina
Pembagian latar di dalam Putri Cina terbagi menjadi tiga meliputi latar waktu,
tempat, dan suasana sosial. Latar waktu di dalam Putri Cina pada dasarnya sudah
terpilah-pilah sendirinya berdasarkan pembagian subcerita, yakni pada masa
kerajaan Majapahit dan pada masa kerajaan Pedang Kamulan.
Latar tempat dalam Putri Cina sebagian besar adalah Tanah Jawa.
Meskipun begitu sebenarnya ada lagi yakni Cina (ketika Jaka Prabangkara
diasingkan) namun tidak terlalu diperhitungkan karena tokoh utama tidak berada
di sana. Latar tempat Cina hanya sebagai selingan. Sama halnya dengan latar-latar
sampingan lain seperti Palembang, Padang Kurusetra, alam dewata, dan lain-lain.
37
Pada latar suasana Putri Cina tidak menunjukan keadaan yang tetap. Tentu
hal ini dimengerti, pada masa Putri Cina istri Prabu Brawijaya awalnya orang
Cina membaur dengan masyarakat setempat terbukti dengan menghilangnya
bahasa leluhur mereka sesuai dengan tempat yang di tinggalinya. Kemudian
keadaan itu berubah saat Raden Patah menyerang Majapahit. Suasana menjadi
buruk diakibatkan oleh perang. Begitu juga dengan masa Prabu Amurco Sabdo,
mulanya orang Cina terutama Giok Tien membaur dengan masyarakat setempat.
Hal ini dapat dilihat dengan membaur Giok Tien pada kelompok ketoprak Sekar
Kastubo yang kebanyakan adalah orang Jawa. Kemudian keadaan menjadi
mengerikan, mengingat Prabu Amurco Sabdo berlaku sewenang-wenang pada
rakyat dan melimpahkan kesalahan itu pada orang-orang Cina. Banyak orang-
orang Cina dibantai, wanita Cina diperkosa dan rumah-rumah mereka banyak
yang dibakar.
38
BAB IV
TERAPAN STRUKTURALISME GENETIK PADA PUTRI CINA
Penerapan teori strukturalisme genetik digunakan untuk mengungkapkan aspek
sosial dalam Putri Cina meliputi identitas, pandangan hidup, dan pembauran
masyarakat Tionghoa. Strukturalisme genetik bukan sekadar penelusuran asal-
usul, namun berkaitan aktivitas kultural manusia dalam menghasilkan karya
sastra. Putri Cina adalah karya yang lahir dari aktivitas kultural Sindhunata
sebagai subjek trans-individual itu. Subjek trans-individual mewakili gagasan dan
perasaan kelompok masyarakat, maka karya sastra mengarah pada pandangan
kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Untuk mengungkap aspek sosial yang ada di dalam Putri Cina perlunya
memahami arti dari karya tersebut sebagai strukturasi aktivitas kemanusiaan. Arti
tersebut dapat dipahami dengan strukturalisme genetik yang menekankan pada
enam konsep yakni fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia,
stukturasi, pemahaman, dan penjelasan.
A. Fakta Kemanusiaan
Telah disampaikan pada bab sebelumnya, fakta kemanusiaan merupakan segala
aktivitas atau perilaku manusia baik verbal maupun fisik. Fakta kemanusiaanpun
terbagi menjadi dua yakni fakta individual dan fakta sosial. Dalam fakta
kemanusiaan hanya fakta sosial yang dikatakan berperan, karena fakta itu
mempunyai dampak sosial, ekonomi, maupun politis.
39
Putri Cina sendiri merupakan karya sastra yang hidup dan menjadi bagian
dari proses asimilasi dan akomodasi yang terus-menerus. Novel tersebut memiki
struktur dan tentu saja bukan sekadar struktur. Struktur itu memiliki arti dan
tujuan tertentu. Struktur dalam Putri Cina merupakan unsur instrinsik antara lain
cerita, tokoh, dan latar yang terdapat pada bab III.
Fakta kemanusiaan di dalam Putri Cina merupakan aktivitas manusia di
dalam novel tersebut. Aktivitas itu dikatakan berperan jika bersifat kolektif karena
memiliki dampak pada hubungan sosial manusia. Aktivitas manusia yang bersifat
individual tidak diperhitungkan dalam fakta kemanusiaan karena tidak memiliki
dampak pada hubungan sosial. Aktivitas yang bersifat individual itu seperti
peristiwa diceraikannya Putri Cina oleh Prabu Brawijaya. Dalam aktivitas ini,
Putri Cina tidak mewakili orang-orang Cina. Peristiwa ini murni aktivitas tokoh
individual. Begitu juga peristiwa Raden Patah melarikan diri dari istana, peristiwa
itu merupakan aktivitas individual karena tidak mewakili kelompok sosial
tertentu.
Fakta kemanusiaan di dalam Putri Cina diwujudkan melalui aktivitas-
aktivitas yang dilakukan oleh Putri Cina dan kaumnya. Aktivitas Putri Cina dan
kaumnya tidak terbatas hanya pada ruang lingkup fisik, namun juga berupa
dialog-dialog yang dilakukan oleh Putri Cina.
Di cerita bagian pertama, fakta kemanusiaan Putri Cina berupa persoalan
identitas tokoh Putri Cina dan kaumnya itu sendiri. Persoalan identitas berupa
40
aktivitas Putri Cina sebagai wakil kelompoknya mengidentifikasi diri dalam
kelompok masyarakat yang lebih besar yaitu Jawa.
Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada
suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia
tidak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah
leluhurnya itu. Dan ke sana; sekalipun tidak pernah.
Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan
kemana-mana? Kaumnya tidak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka
berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan
kebanyakan kaumnya pun tidak bisa sama sekali bicara dengan bahasa
leluhur.
Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka
tidak mempunyai bahasa yang menjalin mereka untuk saling bicara? Ia
berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak terikat dengan daging dan darah,
tidak akan pernah mereka saling bersaudara. Betapa daging dan darah
sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh-
penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk manusia di
tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun
bertanya:
Kita datang ke dunia ini sebagai saudara;
Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? (Sindhunata,
2007:9-10)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Putri Cina dan kaumnya merupakan
bagian dari kelompok sosial yang terpisah dari tanah leluhurnya yaitu Tanah Cina.
Kelompok sosial ini menyebar ke berbagai wilayah sehingga mereka tidak mampu
berkomunikasi satu sama lain karena menempati wilayah-wilayah yang baru.
Mereka beradaptasi dengan wilayah yang baru dan tidak bisa berbicara dengan
bahasa Cina. Maka, sudah sepantasnya jika Putri Cina lantas mempertanyakan
apakah jika ia dan kaumnya tidak terikat oleh daging dan darah masih tetap
dianggap sebagai saudara. Padahal, daging dan darah yang menunjuk sebagai
41
keturunan Cina berdasarkan fisik pada dasarnya hanya membatasi diri mereka
untuk menjadi bagian di tanah baru yang mereka tempati.
Proses identifikasi sosial sebagai fakta kemanusiaan Putri Cina dan
kaumnya tidak berhenti di situ. Identifikasi sosial Putri Cina dan kaumnya sebagai
sebuah kelompok masyarakat meliputi kebiasaan hidup mereka. Kebiasaan hidup
seperti yang dikisahkan dalam Putri Cina merupakan kelompok sosial yang
meterialis. Mereka tergoda mencari harta dan kekayaan.
Ia sendiri terheran-heran, mengapa ia dan kaumnya selalu tergoda untuk
mencari harta dan kekayaan yang berlebih-lebihan. Padahal leluhurnya
mengajarkan berulang-ulang untuk menemukan tao, jalan kebahagiaan itu,
manusia tidak boleh terikat akan benda atau harta apapun jua. Di hadapan
tao, segala usaha manusia tidak akan berarti apa-apa. Apa pun usahamu,
kau harus menerima, bahwa akhirnya gunung-gunung akan tetap hijau dan
sungai-sungai akan terus mengalir, seperti adanya. Dan tidakkah Chuang
Tzu berkata, ―Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan
beberapa lembar daun pisang saja.‖ Untuk apakah semuanya, bila akhirnya
manusia cukup dibaringkan di atas daun ketika ia selamanya tidur?
(2007:14).
Kelompok ini tidak hanya tergoda untuk mencari harta. Bahkan, kelompok
tersebut benar-benar mempraktikan usaha mengejar kekayaan tersebut. Praktik
tersebut diwujudkan dengan berbagai cara, khususnya berdagang yang
diwujudkan pada kutipan berikut:
Mereka memang bekerja keras. Berdagang dan mengolah ladang.
Semuanya dikerjakan dengan memeras keringat. Mereka seakan-akan tak
kenal lelah, seolah-olah mempunyai tenaga yang berlipat ganda.
Kesungguhan, ketekunan dan kerja keras, tak pantang menyerah, itu semua
datang dengan sendirinya pada mereka seolah memperoleh anugerah. Tak
mengherakan, di Tanah Jawa ini, banyaklah mereka yang menjadi kaya
dengan harta melimpah (2007:75).
42
Di cerita bagian ke dua, fakta kemanusiaan masih berhubungan dengan
cerita bagian pertama. Keterkaitan ini ditunjukan dengan menampilkan konflik-
konflik yang terjadi sebagai akibat cerita bagian pertama. Fakta kemanusiaan di
cerita bagian ke dua dikisahkan bahwa Putri Cina dan kaumnya tidak belajar dari
sejarah kaumnya sendiri. Konflik itu sendiri dilatarbelakangi oleh identitas dan
kebiasaan hidup mereka yang gemar mencari harta.
Putri Cina merasa dirinya sungguh berubah, meski kelihatannya tak pernah
berubah. Ia sungguh tenang. Dan ia ingin, agar kaumnya juga menemukan
kebenaran tao ini. Hanya dengan demikian, mereka bisa sekurang-
kurangnya menahan, agar sejarah kekejaman tidak berulang lagi menimpa
mereka. Sebab ia tahu, betapa sejarah di Tanah Jawa sering mengulangi
kekejaman itu. Tak bisalah ia menyebutkan satu-persatu kekejaman yang
pernah terjadi itu. Tetapi kekejaman itu membayang di hadapan matanya.
Ketika di tahun 1740, kurang lebih 10.000 orang Cina di Batavia dibantai
Kompeni. Ketika di Kudus, tahun 1916 orang-orang Cina mati dalam
kekerasan yang dilancarkan terhadap mereka. Ketika tahun 1946, di
sebelah barat Sungai Tangerang, terjadi pembunuhan besar-besaran, di
mana ratusan orang Cina yang dituduh dengan kejam, mayatnya ditumpuk
dan hartanya dijarah, rumahnya dibakar. Ketika di tahun itu pula, di
Bandung Selatan Tangerang, Mauk dan sekitarnya, ribuan orang Cina
dikorbankan. Ketika di Malang, tahun 1947 tentara Belanda melancarkan
politioneel actie, di mana dilakukan penjarahan, perampokan, perkosaan,
dan pembunuhan terhadap orang Cina. Ketika di tahun yang sama, di
Lawang, rumah orang-orang Cina dijarah dan dibakar. Ketika di tahun
yang sama pula, di Singasari dilakukan pembakaran terhadap rumah-
rumah orang Cina, ketika hari masih pagi. Ketika 1949, tahanan Kalisosok
di Surabaya dilepaskan untuk mendukung gerakan bumi hangus, banyak
orang Cina dibunuh tanpa alasan. Ketika di tahun yang sama, di kota-kota
Kertosono, Nganjuk, Caruban, Madiun, Blitar, Tulungagung, Kediri,
Wlingi, orang-orang Cina terus dijarah, dirampok, dan dibunuh (2007:84-
85).
Orang-orang Cina terlambat menyadari bahwa sejarah di Tanah Jawa
teruslah berulang. Hingga akhirnya mereka sadar saat konflik itu benar-benar
terjadi bahwa identitas dan sikap mereka yang hanya peduli harta adalah bagian
utama dari penyebab konflik tersebut. Mulanya, Kerajaan Medang Kamulan
43
dijalankan dengan sangat represif, rakyat sangat ditekan, termasuk orang-orang
Cina. Tidak ada keadilan di Medang Kamulan, hanya raja dan orang terdekatnya
yang dibenarkan. Di Medang Kamulan, raja dan kerabatnya sibuk memperkaya
diri tanpa mementingkan kehidupan rakyat.
Orang-orang Cina di Medang Kamulan sangat tertekan. Mereka dilarang
menjalankan kebudayaan, adat istiadat, dan tata acara agamanya. Nama asli
mereka pun dihapus dan diganti dengan nama pribumi asli. Di Medang Kamulan,
raja dan kerabatnya memperkaya diri dengan memeras orang-orang Cina karena
mereka terkenal kaya.
Hingga akhirnya konflik pun pecah. Rakyat tidak percaya lagi dengan raja
dan meminta untuk segera turun dari tahtanya. Namun, raja menolak dan dengan
dengan segala tipu dayanya gerakan rakyat mudah dibelokan kepada orang-orang
Cina karena mereka kaya dan dianggap pusat kesengsaraan rakyat itu sendiri.
Rakyat pun mengamuk, mereka melampiaskan kekesalan pada orang-orang Cina.
Harta orang-orang Cina dijarah, rumah-rumah mereka dibakar, tempat mereka
berdagang pun dihanguskan. Wanita-wanita Cina tidak luput dari kekejam itu,
banyak dari mereka yang diperkosa. Orang-orang Cina dianggap sebagai bagian
yang terpisah dari orang-orang di Tanah Jawa karena mereka dianggap simbol
kekayaan. Meskipun sebenarnya, orang-orang Cina itu sendiri seperti yang telah
dijelaskan di cerita bagian pertama, sama sekali tidak tahu tentang tanah
leluhurnya itu sendiri. Bahkan menggunakan bahasa leluhurnya sendiri tak
mampu. Mereka telah menyatu dengan wilayah-wilayah yang mereka tempati.
44
Sesungguhnya itulah yang diinginkan oleh Prabu Amurco Sabdo. Biar
rakyatnya berbeda entah dalam perasaaan salah entah dalam perasaan
benar, pokoknya mereka menjadi satu dan seragam. Maka selama
berkuasa, Prabu Amurco Sabdo selalu mengusahakan kesatuan dan
keseragaman itu. Ia lalai, bahwa dengan demikian ia seperti menyimpan
api dalam sekam. Sebab apa pun halnya, keseragam dan kesatuan itu
sesungguhnya gudang yang menyimpan pertikaian, permusuhan dan
kekerasan di antara rakyat sendiri. Dan suatu saat nanti, api dalam sekam
itu pasti menyala.
Sekaranglah saatnya api itu menyala: rakyat pun bersatu melawan dia.
Satu-satunya lawan adalah dia! Ya, rakyat tak peduli lagi, sesungguhnya
mereka juga bertikai sendiri. Tapi karena semua merasa benar, sehingga
tak ada yang salah, maka kesalahan harus ditimpakan ke satu orang saja.
Dan dia itulah Prabu Amurco Sabdo, yang memang banyak bersalah dalam
membuat mereka sengsara. Tapi bukanlah Prabu Amurco Sabdo, jika ia
tidak dapat keluar dari jepitan dan dakwaan ini. Adakah jalan keluar itu
adalah jalan kematian bagi diri dan kaumnya, orang-orang Cina?
(2007:123).
B. Subjek Kolektif
Strukturalisme genetik menganggap bahwa subjek kolektif atau subjek sosial
membawa perubahan karena memiliki dampak-dampak sosial. Sebjek kolektif itu
sendiri berupa kelas sosial. Putri Cina dan kaumnya adalah representasi dari kelas
sosial. Mereka mewakili kelas sosial yang menguasai alat produksi. Dikatakan
demikian karena Putri Cina sebagai sebuah subkultur di Tanah Jawa mengusai
perekonomian tersebut. Sebaliknya, orang-orang Jawa mewakili kelas-kelas
bawah atau dengan kata lain kelas tidak menguasai alat produksi karena tidak
menguasai perekonomian di Tanah Jawa.
Kelas-kelas sosial bersifat antagonistis. Satu sisi kelas pemilik alat
produksi mempertahankan kedudukannya. Di sisi lain kelas yang tidak memiliki
alat produksi berusaha untuk merebut kedudukan tersebut. Kelas-kelas sosial
45
merupakan kelompok yang memungkinkan terjadinya perubahan. Perubahan itu
sendiri dibedakan menjadi dua, seperti yang diungkapkan Faruk melalui kutipan
berikut:
Perubahan yang dilakukan kelas sosial adalah perubahan yang sangat
mendasar, yang sampai kepada perubahan pada tingkat infrastruktur atau
struktur ekonomi masyarakat, tidak sekadar perubahan pada tingkat
superstruktur. Perubahan yang pertama itulah yang perubahan
revolusioner, struktural, sedangkan perubahan kedua hanyalah perubahan
yang reformatif, kultural sebagaimana yang antara lain terlihat pada
perubahan dari tata kehidupan era Orde Baru ke era Reformasi di
Indonesia (2010:64).
Perubahan infrastruktur dalam Putri Cina tergambar melalui peristiwa
pembakaran rumah-rumah dan tempat usaha orang-orang Cina. Pembakaran
rumah-rumah dan tempat usaha orang-orang Cina menunjukan usaha yang
dilakukan oleh orang-orang Jawa untuk merebut pengaruh orang-orang Cina
dalam perekonomian. Selain itu, perubahan superstrukur juga nampak dalam Putri
Cina. Konflik yang berasal dari usaha merebut pengaruh perekonomian tersebut
kemudian membuat perubahan kultural terhadap orang-orang Cina. Posisi orang-
orang Cina lantas termarjinalkan karena kemudian sebagian besar kekuasaan
direbut oleh orang-orang Jawa.
C. Pandangan Dunia dan Strukturasi
Pandangan dunia dalam strukturalisme genetik dianggap sebagai sebuah
pandangan aspirasi-aspirasi, gagasan-gagasan, dan perasaan-perasaan kelompok
atau kelas sosial. Kelompok atau kelas sosial di sini mengacu pada Putri Cina dan
kaumnya yang merupakan subkultur di Tanah Jawa. Mereka mewakili kelas
46
pemilik produksi. Pandangan dunia dipahami melalui konsep homologi atau
kesamaan. Konsep homologi menekankan hubungan kesamaan pandangan dunia
dalam karya sastra dan dunia kenyataan realitas sosial. Pandangan dunia itu
sendiri bertujuan, yakni sebagai akomodasi kelompok untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.
Putri Cina dan kaumnya adalah bagian subkultur di Tanah Jawa.
Sebenarnya mereka adalah keturunan dari orang-orang di Tanah Cina, karena
mereka menganggap tanah leluhur mereka berada di sana. Namun, sebagai
keturunan Cina yang menyebar ke berbagai wilayah, mereka tidak lagi mampu
menggunakan bahasa Cina. Mereka telah kehilangan sebagian kebudayaan dari
tanah leluhurrnya. Bahkan, mereka sendiri tidak tahu bagaimana keadaan tanah
leluhurnya itu. Pandangan ini, sebagaimana digambarkan dalam Putri Cina
memiliki kesamaan dengan kenyataan sosial. Di dalam dunia nyata, pandangan
dunia Putri Cina memiliki kesamaan dengan masyarakat Tionghoa peranakan.
Masyarakat Tionghoa peranakan seperti dalam deskripsi Skinner (melalui Tan,
1979:x) adalah orang-orang yang mengalami proses akulturasi mendalam dengan
kebudayaan di mana mereka dibesarkan dan dilahirkan.
Putri Cina dan kaumnya sebagaimana diceritakan dalam Putri Cina
merupakan subjek kolektif yang memegang materialisme sebagai bagian dari
kehidupannya. Kelompok tersebut digambarkan sebagai kelompok yang gemar
mengumpulkan kekayaan. Mereka mengumpulkan harta dengan berdagang. Itulah
yang menyebabkan mereka menjadi kelas penguasa di atas kelas orang-orang
Jawa itu sendiri.
47
Prabu Amurco Sabdo berusaha menciptakan keadaan teratur dengan
menekan pergerakan orang-orang Cina dan melarang aktivitas kebudayaan Cina.
Putri Cina dan kaumnya tidak boleh menggelar kebudayaan yang berasal dari
leluhurnya Tanah Cina. Mereka dileburkan dengan kebudayaan setempat yakni
Jawa dengan mengganti nama asli mereka dengan nama orang-orang Jawa.
Kebijakan yang diberikan oleh Prabu Amurco Sabdo terhadap orang-orang Cina
sebenarnya memiliki kesamaan dengan kenyataan sosial. Kenyataan sosial itu
adalah kebijakan yang muncul pada masa Orde Baru yang dikenal sebagai anti
kebudayaan Cina. Produk Orde Baru tentang anti kebudayaan itu adalah sebagai
berikut:
1. Keputusan presidium kabinet no. 127/U/Kep/12/1966 mengenai ganti nama
bagi Warga Negara Indonesia yang memakai nama Cina.
2. Instruksi presiden no. 14 th.1967 tentang agama, kepercayaan dan adat
istiadat Cina tanggal 6 Desember 1967. Isi intruksi ini adalah
a. Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan, memeluk agama dan menunaikan
ibadatnya, tata cara ibadat Cina yang memiliki afinitas kulturil yang
berpusat pada negeri leluhurnya pelaksanaan harus dilakukan secara intern
dalam hubungan keluarga atau perorangan.
b. Perayaan-perayaan pesta agama dan adat-istiadat dilakukan secara tidak
menyolok di depan umum melainkan dilakukan dalam lingkungan
keluarga.
3. Keppres 240/1967 tgl.10 april 1967 tentang kebijaksanaan pokok yang
menyangkut WNI keturunan asing. Isi dari kebijakan ini meliputi persamaan
48
kedudukan warga negara RI termasuk yang keturunan asing. Yang terakhir
akan dibina melalui proses asimilasi dan pencegahan ekslusive rasial.
4. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1978 tentang
kebijaksanaan pembauran etnik Cina. Juga GBHN tahun 1988 yang
menyatakan, usaha-usaha pembauran bangsa perlu dilanjutkan di segala
bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi maupun sosial dan budaya, dalam
rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta
memantapkan ketahanan nasional (Greif, 1991:xvii-xx).
Meskipun begitu, nyatanya peraturan yang menekan orang-orang Cina
nyatanya tak mampu membendung sikap antagonisme kelas itu sendiri. Hal itu
dipahami karena saat rakyat marah dan meminta Prabu Amurco Sabdo turun tahta,
dengan mudah kemarahan tersebut disasarkan kepada orang-orang Cina.
Putri Cina adalah bagian dari kelompok orang-orang Cina. Ia memiliki
‗kesadaran nyata‘ sebagai anggota kelompok, kelompok yang kehilangan
sebagian besar kebudayaan leluhurnya dan bagian kelas penguasa ekonomi yang
materialis. Akan tetapi, Putri Cina sebagai tokoh utama juga memiliki ‗kesadaran
yang mungkin‘, yakni kesadaran yang tidak dimiliki secara kolektif kelompok itu
sendiri. Ia adalah tokoh problematis, tokoh yang berusaha mencari jalan
keseimbangan untuk keluar dari situasi krisis.
Putri Cina membangun keseimbangan dengan mempertanyakan sekaligus
mengkritik identitas dan pandangan orang-orang Cina. Keseimbangan tidak hanya
dibangun melalui fokus orang-orang Cina, melainkan juga mempertimbangkan
kedudukan orang-orang Jawa sebagai kelas lain.
49
Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka
tidak mempunyai bahasa yang menjalin mereka untuk saling bicara? Ia
berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak terikat dengan daging dan darah,
tidak akan pernah mereka saling bersaudara. Betapa daging dan darah
sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh-
penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk manusia di
tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun
bertanya:
Kita datang ke dunia ini sebagai saudara;
Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? (Sindhunata,
2007:9-10).
Kutipan ini menunjukan bahwa orang-orang Cina sendiri pada dasarnya memiliki
identitas yang kabur. Identitas ini kabur karena hanya mematok pada hubungan
daging dan darah yang sebenarnya mengacu pada hubungan fisik orang-orang
Cina. Namun, kutipan diatas nyatanya juga sebagai kritik, bahwa identitas itu
sendiri tidak hanya berhenti pada hubungan daging darah, tetapi juga pemahaman
tentang Cina itu sendiri. Bagaimanapun orang-orang Cina seperti yang
digambarkan pada kutipan di atas tidak mampu memahami Cina, sampai akhirnya
Putri Cina menyerukan kepada kaumnya agar menentukan sikap yakni agar
menjadikan Tanah Jawa sebagai tanah leluhurnya.
Memang, pikir Putri Cina, Tanah Jawa seharusnya tak boleh hanya
menjadi sekadar tempat untuk lewat, di mana orang hanya bisa mampir
minum belaka. Tanah Jawa seharusnya menjadi tanah yang mengikat
badan dan jiwa manusianya, agar mereka tidak hanya menjadi seperti roh
halus yang sekadar menengok kejadian hidup di dunia. Memang semua
orang harus meninggalkan dunia ini, tapi itu tidak boleh berhenti, seakan
hanya surgalah tempat hidup mereka satu-satunya. Dunia, ya Tanah Jawa
ini, juga seharusnya menjadi tempat orang merasakan kebahagiannya.
Dengan demikian, Tanah Jawa ini menjadi pancaran bagi kebahagiaan
abadi yang akan diperoleh manusiannya nanti (2007:113).
Sikap materialis adalah sikap orang-orang Cina sebagaimana tergambar
dalam Putri Cina. Putri Cina pun menyadari hal itu karena ia bagian dari
50
kelompok. Padahal leluhurnya mengajarkan untuk tidak terikat terlalu pada harta
dan benda. Di sini ada perbedaan antara keterikatan dengan tanah leluhur dan
ajaran leluhur. Putri Cina mengajak kaumnya untuk lepas dari tanah leluhur yakni
Tanah Cina, namun mereka tetap memegang ajaran leluhur itu sendiri. Ajaran
leluhurlah yang membimbing orang-orang Cina agar mereka tidak diperbudak
dengan harta.
Sungguh itu adalah hal yang berlawanan dengan ajaran K‘ung Tzu. Sebab
tidaklah K‘ung Tzu berkata, jauhilah harta, jika hidupmu dperbudak
olehnya, hingga kamu menjadi seperti binatang tak bernyawa. Berkali-kali
K‘ung Tzu mengajarkan jangan anak-cucunya jatuh kepada tetek bengek
dunia yang membuat mereka lupa apa yang pokok bagi hidup mereka. Dan
siapa hanya mengejar harta, tak mungkin ingat, bahwa ia harus mengejar
lebih dari harta, dan itu adalah kemanusiaannya sendiri. Kata K‘ung Tzu,
kemanusiaan itu melebihi api dan air. Manusia bisa mati karena harta. Tapi
kemanusiaan belum tentu ada, kendati manusianya ada karena berharta.
Bila manusia demikian mati, ia akan hilang untuk selamanya, karena
kemanusiaan tak ada padanya. Seharusnya, ia mati, tapi kemanusiaannya
tetap tinggal abadi. Itu artinya, selama hidup ia juga harus mencari
kemanusiaannya itu, melebihi perburuan akan harta yang akan binasa,
ketika ia mati nanti (2007:111).
Akan tetapi konflik terlanjur terjadi karena sikap materialis orang-orang
Cina. Dari sikap itu, kemudian mereka dipinggirkan dari kebudayaan Tanah Jawa.
Melalui peraturan anti kebudayaan Cina, orang-orang Cina seolah menjadi bagian
terpisah dengan orang-orang Jawa. Padahal, mereka seperti yang telah dijelaskan
di atas, telah kehilangan sebagian besar kebudayaannya, bahkan menjadi orang-
orang Jawa. Putri Cina pun bertanya ―Apa salahnya orang Cina menumpuk harta?
Menumpuk harta memang tidak salah. Orang Jawa pun banyak yang menumpuk
harta. Begitu jawab Putri Cina sendiri.‖ (2007:79). Kutipan ini menunjukan
bahwa adanya ketidakadilan dalam memperlakukan orang Cina dan Jawa. Dengan
diberlakukannya anti kebudayaan Cina memperjelas ketidakadilan tersebut.
51
Orang-orang Cina tidak dibebaskan mengekspresikan kebudayaannya. Berbeda
dengan orang-orang Jawa, mereka dibebaskan mengekspresikan kebudayaan
karena tidak ada peraturan yang mengengkang mereka. Anti kebudayaan Cina
seterusnya mengukuhkan posisi orang-orang Jawa sebagai masyarakat asli
(pribumi) di Jawa yang mengadung makna anti kemanusiaan karena memisahkan
berdasarkan ras. Oleh karena itu, Putri Cina pun menganggap bahwa jalan keluar
ini adalah menghilangkan hak ekslusif kepemilikan tanah yang terlihat seperti
syair Tao Yuan Ming di bawah ini:
Tak berakarlah hidup manusia ini,
seperti debu jalanan, kita berterbangan,
dibawa angin, dan ditebarkan kemana-mana,
terlalu lemah tubuh kita untuk melawan.
Karena kelahiran kita di duna, kita dipersaudarakan,
mengapa masih juga bertanya,
siapakah yang termasuk keluarga kita? (2007:301-302).
D. Pemahaman dan Penjelasan
Putri Cina tidak lain merupakan ‗bagian‘ dari ‗keseluruhan‘ dalam strukturalisme
genetik. Pandangan dunia Putri Cina di atas bersifat abstrak jika tidak
ditempatkan pada keseluruhan. Maka dari itu, untuk menjelaskan hubungan
bagian-keseluruhan digunakan metode dialektik, yakni menekankan pada
‗pemahaman‘ dan ‗penjelasan‘. Pemahaman sendiri merupakan pembacaan Putri
Cina dengan memperhitungkan strukturnya sebagai bagian dari keseluruhan.
52
Penjelasan digunakan untuk menghubungkan Putri Cina pada struktur yang lebih
besar yaitu meliputi keadaan sosial pada kenyataan.
Keadaan sosial pada kenyataan tidak terlepaskan oleh Sindhunata sebagai
pengarang. Sindhunata adalah subjek trans-individual yang melahirkan tokoh
trans-individual Putri Cina. Sindunata lahir 12 Mei 1952 di Kota Baru, Jawa
Timur. Ia sendiri adalah keturunan Tionghoa. Pandangan dunia yang terdapat
dalam Putri Cina dianggap mewakili kelompok Sindhunata dalam kenyataan
sosial melalui rentang waktu ia dilahirkan dan karya itu ada. Ini menunjukan
bahwa Putri Cina lahir dari proses strukturasi dari masa Orde Lama, Orde Baru
sampai masa Reformasi.
Selain itu, atribut yang sulit dilepaskan dari Sindhunata adalah karirnya
sebagai seorang jurnalis. Sindhunata pernah menjadi jurnalis Majalah Taruna
terbitan PN Balai Pustaka Jakarta. Ia juga pernah menjadi jurnalis di Harian
Kompas. Tidak hanya itu, ia juga pernah bekerja di Majalah Basis. Strukturasi
dalam Putri Cina dianggap bagian kerjanya sebagai seorang jurnalis yakni melalui
investigative reporting. Hal ini sebagaimana dikatakan Goenawan Mohamad
―Wartawan yang baik akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen
bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan di belakangnya‖
(melalui Harsono, 2010:234). Strukturasi tidak hanya dibangun melalui
pengalaman yang bersifat langsung. Strukturasi Putri Cina juga dibangun melalui
reproduksi peristiwa jauh sebelum Sindhunata lahir dengan menelusuri asal-usul
kelompoknya. Di tambah lagi, tempat Sindhunata melakukan kerja sebagai
53
jurnalis mempengaruhi sikap kemana ia condong. Inilah yang membuat kisah
dalam Putri Cina begitu mendalam.
Menjadi wartawan Kompas sejak 1978, Sindhunata berjuang sekeras-
kerasnya mengejawantahkan prinsip humanisme-trensendal. Itulah
ideologi yang ditanamkan almarhum P.K Ojong dan Jacob Oetama kepada
keluarga besar Kompas. Itulah Amanat Hati Nurani Rakyat:
memanusiakan manusia dengan basis ilahiah. Atau, dalam bahasa St.
Sularso, ―kemanusiaan yang imani‖ (Hasyim, 2010).
1. Identitas Orang Tionghoa dalam Putri Cina
Identitas Putri Cina dan kaumnya seperti dikemukan di atas adalah identitas yang
kabur, rumit dan kompleks. Satu sisi, seperti yang digambarkan dalam Putri Cina,
Putri Cina dan kaumnya ialah keturunan dari Tanah Cina. Mereka dihubungkan
pada daging dan darah yang merujuk pada hubungan yang bersifat fisik. Di sisi
lain, Putri Cina dan kaumnya dihadapkan pada situasi bahwa mereka telah
kehilangan sebagian besar kebudayaannya, khususnya bahasa. Ditambah lagi,
Putri Cina dan kaumnya sama sekali tidak tahu bagaimana keadaan tanah
leluhurnya itu. Di cerita bagian pertama, kerumitan identitas Putri Cina ditegaskan
dengan pernyataan ―Dimanakah ia ketika tiada lagi wajahnya? Ia pun bertanya,
siapa ia sesungguhya, dan mengapa ia bernama Putri Cina?‖ (Sindhunata,
2007:14).
Pandangan dunia yang ada di dalam Putri Cina bersifat abstrak dan hanya
nyata di dalam konteks Putri Cina. Pandangan dunia ini nyata jika kemudian di
letakan dalam wilayah keseluruhan yakni dalam wilayah kenyataan sosial.
54
Di kenyataan sosial, identitas orang Cina atau Tionghoa tidaklah
sederhana, bahkan cenderung rumit. Gondomono melalui Upaya Mencari Jatidiri
mengungkapkan bahwa Cina diungkapan oleh bangsa Barat melalui beberapa
bahasa seperti a Chinese, een Chinesen dalam bahasa Belanda, atau un Chinois
dalam bahasa Perancis dan lain-lain. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa orang
Cina sendiri tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai orang Cina—atau dalam
bahasa Cina disebut C’ in ren, suatu nama yang mengacu pada dinasti pertama
yang bisa mempersatukan wilayah yang sangat luas di Asia bagian timur dalam
sejarah Cina yaitu dinasti C’in (221-206SM). Lebih lanjut, sekarang penduduk
RRC lebih suka menggunakan sebutan orang Han (hen ren) yang mengacu pada
dinasti setelah masa dinasti C’in (206 sm-221 ad) (1998:63).
Orang Cina untuk menyebutkan identitasnya biasanya mengacu wilayah
yang sangat beragam. Hal ini tentunya dimaknai sebelum adanya nasionalisme
Cina. Gondomo memberikan keterangan lebih, bahwasanya penyebutan dari mana
asal mereka mesti dibedakan dari tingkat intelektualitas mereka, secara kasar
diungkapkan antara rakyat jelata dan kaum terdidik. Dalam hal ini, rakyat jelata
lebih suka menyebut asal mereka berdasarkan wilayah desa, sedangkan kaum
terdidik mengacu pada negara atau kemudian juga dinasti ketika ia dilahirkan dan
dibesarkan (1998:63).
Gondomono memberikan sebuah pandangan yang benar dan masuk akal
mengingat wilayah Asia Timur yang terus berubah sehingga penyebutan asal-usul
pun berubah mengikuti zamannya. Sebagai contoh pada awalnya filsuf besar dari
Cina, Konghucu yang seringkali dianggap sebagai ‗nabi‘ mulanya dikenal sebagai
55
orang Lu (nama tempat di mana ia dilahirkan) 551 SM. Namun, kemudian orang-
orang yang lahir di tempat yang sama tidak menyebut Konghuchu sebagai orang
Lu melainkan dengan sebutan orang Shantung karena ia dilahirkan di dalam
wilayah yang sekarang termasuk provinsi Shantung. Orang Cina menggunakan
nama desa sebagai acuan, mungkin juga tidak berubah-ubah sekalipun wilayah
tersebut dikuasai oleh negara yang berbeda (1998:63).
Asal-usul penyebutan Cina juga diungkapkan oleh Sutami, menurutnya
kata Cina (China dalam bahasa Inggris, Chinees dalam bahasa Belanda,
Chinesische dalam bahasa Jerman dan Chinois dalam bahasa Prancis) adalah
berasal dari bahasa Sansekerta yakni China yang memiliki arti daerah yang sangat
jauh. Kata tersebut sudah berada dalam, buku Mahabarata sekitar 1400 tahun
sebelum masehi. Kemudian kata China menyebar dari Asia ke Eropa dengan
mengalami penyesuaian fonologis. Penjelajah dari Eropa itu antara lain adalah
Marcopolo yang menyebut dengan nama Chin, lalu oleh Barbosa (1516) dan
Gracia de Orta (1563) dengan sebutan China. Istilah tersebut (yang memiliki
pengucapan mirip) kemudian oleh bangsa barat dibawa ke nusantara sejak awal
abad ke 16 (melalui Lembong, 2011:3-4).
Penyebutan nama Cina oleh Gondomono dan Sutami memiliki dua
perspektif yang berbeda. Satu sisi Gondomo menyebutkan Cina merujuk pada
nama dinasti yang pernah berkuasa di Cina daratan. Di sisi lain, Sutami melalui
Lembong memberikan perspektif yang berbeda berdasarkan buku Mahabarata
yang berasal dari 1400 SM. Akan tetapi, dari dua sudut pandang ini memiliki
pengertian yang sama, pada dasarnya orang Cina sendiri tidak menyebut Cina
56
untuk mengidentifikasi dirinya, melainkan dari orang lain. Hal tersebut kemudian
ditekankan oleh Wang Gungwu yang dikutip oleh Lembong, bahwa orang-orang
Tionghoa sendiri tidak mengenal apalagi menggunakan istilah Cina atau China
(2011:4).
Selain Cina, istilah Tionghoa juga digunakan untuk menyebutkan
kelompok masyarakat yang berasal dari Cina daratan itu. Menurut Darmosumarto,
istilah Tionghoa berasal dari kata Zhong Guo dari dialek Hokkian. Tionghoa
memiliki arti Negara Tengah (Darmosumarto, 2012).
Dalam sejarah perjalanan Indonesia, istilah Cina dan Tionghoa digunakan
secara bergantian berkaitan dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi.
Lembong memaparkan, mula-mula masyarakat di Nusantara menggunakan istilah
Cina tanpa konotasi buruk. Kemudian karena besarnya pengaruh politik ―devide et
impera‖ oleh Belanda, istilah Cina digunakan dengan aksen penuh kebencian.
Setelah itu, istilah Tionghoa muncul untuk menggantikan Cina –yang memiliki
konotasi buruk— ditandai dengan kemunculan Tiong Hoa Hwe Koan
(Perhimpunan Kaum Tionghoa). Istilah Tionghoa juga dikukuhkan seperti
ditunjukan di harian Sin Po yang berkembang pada dekade 1920-an dengan
mengganti istilah Cina menjadi Tionghoa dalam penulisannya. Di lain pihak,
istilah Tionghoa pada tahun 1928 mendapat pengakuan pemerintah kolonial
Belanda. Pada masa perang dingin, khususnya setelah Gerakan 30 September
1965 (G30S), Seminar II AD di Bandung tanggal 25 sampai dengan 31 Agustus
1966 mengusulkan untuk mengganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok menjadi
warga negara Tjina (Cina) dengan alasan mengembalikan istilah yang telah lazim
57
dan menghilangkan rasa inferior pada bangsa sendiri dan menghilangkan rasa
superior pada bangsa yang bersangkutan (2011:5-9).
Namun, karena tingginya sentimen anti Republik Rakyat Tiongkok setelah
G30S, penggunaan istilah Cina kemudian kembali digunakan oleh banyak orang.
Menurut Coppel dan Suryadinata (melalui Lembong, 2011:10), minggu pertama
September 1966 hampir semua surat kabar beralih dari istilah Tionghoa ke Cina.
Akan tetapi, istilah Tionghoa dan Tiongkok muncul lagi yang dipelopori oleh
Presiden Abdurahman Wahid dengan mencantumkan Republik Rakyat Tiongkok
di dalam laporan kerja pada Agustus 2000 (Darmosumarto, 2012).
Pembahasan istilah di atas pada dasarnya tidak menyelesaikan siapa
sebenarnya orang Cina atau Tionghoa di Indonesia. Selanjutnya istilah ‗Cina‘ dan
‗Tionghoa‘ akan digunakan secara bergantian. Hal ini semata-mata hanya untuk
membedakan konteks wilayah. Istilah Cina digunakan untuk menyebut Putri Cina
dan kaumnya dalam konteks Putri Cina. Istilah Cina juga digunakan untuk
menyebutkan wilayah dalam kenyataan yakni mengacu pada masyarakat dan
wilayah Cina daratan (Republik Rakyat Cina). Istilah Tionghoa dipakai untuk
menyebutkan masyarakat dalam konteks sosial kenyataan di Indonesia dengan
tanpa memberikan muatan politis dan semata-mata karena istilah ini lazim di
masa kini.
Secara awam, untuk mengidentifikasi Tionghoa sangatlah mudah.
Lazimnya apa yang diungkapkan oleh Supatra dapatlah dilihat secara fisiknya
yakni berkulit kuning, berambut lurus, bermata sipit, dan sebagainya (2009:11).
58
Atau seperti yang diungkapkan oleh Skinner (1979:1) bahwa untuk
mengidentifikasi orang Tionghoa adalah melalui namanya yang terdiri dari tiga
suku kata itu. Nyatanya, Skinner sendiri kemudian menyangkal, sebab
berdasarkan situasi kultural dan politik –yang akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya— mengindikasikan bahwa ras dan nama bukanlah patokan yang kuat
untuk menilai ketionghoaan mereka.
Tidaklah berbeda jauh antara orang Cina dan orang Indonesia. Pengertian
ini mengacu bahwa pada dasarnya di Cina daratan terdiri dari masyarakat yang
beragam etnis. Orang Cina tidak homogen sama sekali. Mereka ini seperti apa
yang diungkapkan oleh Skinner berasal dari propinsi Fukien dan Kwantung
(1979:6). Imigran dari Cina daratan ini pada mulanya adalah laki-laki. Mereka
datang dari wilayah asalnya menggunakan perahu-perahu jung dan ahirnya sampai
di nusantara. Pada umumnya migrasi yang dilakukan oleh orang-orang Cina
dimotori oleh motif ekonomi dan ketidakstabilan pemerintah Cina waktu itu yang
membuat mereka merasa tidak nyaman.
Telah diungkapkan sebelumnya, orang Cinatidaklah homogen. Orang Cina
terdiri dari bermacam-macam etnis. Di daerah asalnya mereka ini sebagian besar
dari orang-orang etnis Hokkian, Hakka dan Kanton.
Orang-orang Hokkian adalah orang Tionghoa pertama kali bermukim di
Indonesia dalam jumlah besar. Mereka merupakan imigran terbesar di antara
imigran-imigran lainnya sampai abad ke-19. Orang-orang Hokkian yang
kemudian menempati wilayah Indonesia di Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai
barat Sumatra.
59
Selain orang-orang Hokkian, ada juga etnis Teociu. Orang-orang Teociu
berasal dari pedalaman Siatow. Siatow terletak di sebelah selatan dari orang-orang
Hokkian berasal. Mereka kemudian tinggal di sepanjang pantai timur Sumatra,
Kepulauan Riau, Kalimantan Barat serta di distrik-distrik sekitarnya.
Orang-orang Hakka termasuk golongan yang melakukan migrasi secara
besar-besaran ke Indonesia. Pusat kampung halamannya adalah di pedalaman
Kwantung yang memiliki keadaan alam yang tidak begitu subur. Mulanya mereka
tertarik untuk mengusahakan sumber-sumber mineral. Orang-orang Hakka
merupakan etnis yang paling banyak di antara orang Tionghoa yang berada di
distrik tambang emas Kalimantan Barat. Sejak akhir abad ke-19 banyak orang
Hakka yang berdatangan ke Jawa Barat. Mereka tertarik dengan cepatnya
pertumbuhan Jakarta dan dibukanya Priangan sebagai pusat perdagangan orang-
orang Tionghoa.
Masih ada lagi orang-orang Kanton. Mereka tinggal di delta raya Sungai
Mutiara dan Sungai Barat. Mulanya orang Kanton kebanyakan berada di wilayah
Bangka. Namun berbeda dengan etnis Tionghoa yang lain, orang Kanton
kemudian menyebar secara merata seperti di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bangka, Sumatra Tengah. Sekarang
melebar ke Riau, Jambi dan Sumatra Barat.
Lambat laun para imigran yang kebanyakan laki-laki ini mau tidak mau
menjalin hubungan dengan wanita pribumi setempat. Seterusnya melahirkan
keturunan dan generasi yang bernama Tionghoa peranakan. Atau seperti deskripsi
Skinner di atas, mereka adalah orang-orang yang mengalami proses akulturasi
60
mendalam dengan kebudayaan di mana mereka dibesarkan dan dilahirkan
(melalui Tan, 1979:x). Jika digolongankan dalam ras, sebenarnya Tionghoa
peranakan bukanlah orang-orang golongan Tionghoa murni lagi.
Akan tetapi, perlu dipahami juga bahwa tidak semua orang Tionghoa yang
ada di Indonesia adalah orang Tionghoa peranakan. Selain Tionghoa peranakan
terdapat pula Tionghoa totok. Tionghoa totok adalah orang Tionghoa yang lahir di
Cina daratan. Istilah Tionghoa totok juga digunakan untuk menunjuk orang
Tionghoa yang berorientasi pada kultur leluhurnya. Hal itu seperti yang tulis
Supatra ―Lagi pula umumnya disepakati bahwa ukuran ketotokan Tionghoa
Indonesia ini bukanlah kemurnian darah mereka melainkan budaya dan bahasa
utama dalam hidup sehari-hari mereka‖ (2009:13).
Budaya dan bahasa memang bisa dijadikan sebagai tolak ukur untuk
mengidentifikasi ketionghoaan orang Tionghoa Indonesia. Dalam sebuah kutipan
Oetama melalui Kemultibahasaan dan Identitas Orang Cina Indonesia
menjelaskan seperti berikut:
Pemakaian bahasa oleh suatu komunitas Cina dengan sendirinya sudah
menyatakan suatu identitas Cina yang terpisah, dalam arti bahwa suatu
komunitas Cina dapat diidentifikasikan sebagai terpisah melalui bahasa
yang digunakan dalam komunitas itu (1991:131).
Kutipan di atas sebenarnya adalah sebuah penanda yang menunjukan
bahwa bahasa membentuk streotip orang-orang Tionghoa adalah majemuk dan
sebagai orang asing atau bisa diistilahkan nonpribumi. Penanda yang menunjukan
orang Tionghoa majemuk adalah bahasa komunitas yang mereka gunakan pastilah
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan seperti yang sudah dijelaskan pada bagian
61
sebelumnya, mereka adalah etnis yang heterogen, memiliki bahasa identitas
sendiri-sendiri sesuai darimana asal mereka. Kemudian penanda yang
menunjukan bahwa mereka diistilahkan sebagai nonpribumi adalah bahasa
identitas ini jelas berbeda dengan bahasa masyarakat setempat.
Dalam kehidupan keseharian mereka, orang Tionghoa mengenal bahasa
keakraban. Bahasa keakraban adalah varietas bahasa yang digunakan di
lingkungan rumah tangga dan keluarga dekat juga kerabat dekat (Oetama,
1991:133). Bahasa ini dianggap sebagai ciri yang khusus mengenai identitas
Tionghoa karena bahasa ini adalah bahasa yang khas mereka bawa dari daerah
asalnya. Paling tidak masih bahasa ini terbawa dari generasi ke generasi. Namun
ada sebuah pengeculian, yakni untuk orang-orang Tionghoa di wilayah
Kalimantan Barat yang berbahasa Hakka atau Teociu, komunitas Kepulauan Riau
yang berbahasa Hokkian dan bahasa yang digunakan di wilayah Bangka Belitung.
Di wilayah ini bahasa keakraban mereka gunakan sebagai bahasa komunitas,
berbeda dengan wilayah lain yang menggunakan bahasa keakraban dalam wilayah
yang terbatas. Hal ini menunjukan bahwa pada gelombang kedatangan mereka
selanjutnya, mereka datang dalam jumlah (baik pria maupun wanita) yang relatif
banyak di daerah yang dulunya sepi penghuni. Bisa jadi, di wilayah tersebut
mereka bukan lagi sebagai orang totok yang nonprubumi. Bahkan mereka
dianggap sebagai suku asli. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Ong Hok
Ham bahwa sistem totok dan peranakan hanya ada di wilayah Jawa (2008:2).
Pandangan Sindhunata sebagai subjek trans-individual atas masyarakat
Tionghoa yang dituangkan dalam Putri Cina menyatakan bahwa bahasa yang
62
digunakan Putri Cina dan kaumnya beragam tergantung dimana mereka tinggal
relatif benar. Meskipun begitu, faktanya bahasa sebagai bentuk identitas
ketionghoaan nyatanya belum bisa menjelaskan secara detil siapa sebenarnya
identitas Tionghoa di kehidupan nyata juga di dalam Putri Cina.
Sejalan dengan klasifikasi secara kultural, khususnya bahasa, rasanya
belum cukup untuk menjawab pertanyaan siapakah sebenarnya jatidiri orang
Tionghoa di Indonesia. Klasifikasi masyarakat Tionghoa di Indonesia nyatanya
terpilah-pilah lagi secara politis. Secara khusus Jawa, seperti latar utama yang
disajikan Sindhunata. Tetap saja mereka seperti yang ditulis Sindhunata sebagai
berikut:
Sia-sialah segala kerinduan untuk pulang ke tanah air, yang entah tidak ia
ketahui dimana. Di sinilah, di tanah Jawa ini, ia hanya melengkapi
takdirnya, dengan hidup sebagai Putri Cina, entah ia keturunan Cina asli
dari negeri Cina, entah ia keturunan Jawa yang diperanakan oleh anak-
cucu Jaka Prabangkara di Negeri Cina (2007:25).
Pandangan dunia ini menunjukan bahwa orang Cina dalam Putri Cina memiliki
identitas yang kabur, entah mereka Cina atau Jawa. Jika ditarik dalam konsep
keseluruhan, pandangan ini menunjuk pada identitas masyarakat Tionghoa itu
sendiri. Mereka terlalu Tionghoa untuk disebut Jawa atau terlalu Jawa untuk
disebut Tionghoa. Namun juga bukan berarti berada di tengah-tengah. Seperti apa
yang dinyatakan oleh Supatara, identitas orang Tionghoa terus-menerus bergeser
sejalan dengan peristiwa-peristiwa penting sejarah (2009:13).
Identitas orang Tionghoa selalu berubah mengikuti kebijakan politik yang
menyertainya. Perkembangan secara politis ini dimulai sejak Belanda menginjak
63
kakinya di nusantara. Benar memang jika perkembangan orang Tionghoa tidak
terlepas dari semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial yang berkuasa di nusantara membagi sistem
kemasyarakatan menjadi tiga. Pertama orang Barat yang terdiri dari orang-orang
Belanda. Kedua orang Timur Asing seperti Arab, India, dan Cina. Ketiga adalah
orang pribumi sebagai strata paling bawah (Ong Hok Ham, 2008:3; Sadeli
1998:96).
Pengelompokan itu dimaksudkan untuk membagi masyarakat di nusantara
menjadi kategori kelas berdasarkan ras. Sistem inilah yang kemudian dipahami,
meskipun orang Tionghoa telah mengalami akulturasi—kehilangan bahasa dan
budayanya hingga melahirkan pembagian golongan (peranakan dan totok)—tetap
saja mereka dianggap sebagai minoritas asing (nonpribumi). Pemahaman
berdasarkan itulah yang juga dipahami sampai sekarang.
Sepanjang perkembangan orang Tionghoa Indonesia, nyatanya juga tidak
terlepas dari perkembangan orang Cina di Cina daratan. Diketahui, gerakan
nasionalisme Cina lebih dulu berkembang daripada gerakan nasionalisme di
Indonesia. Sejalan dengan itu, orang Tionghoa di Indonesia pada dasarnya sudah
terbelah menjadi dua kubu yakni Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok.
Mereka adalah kaum yang memiliki akar yang sama namun terpisah jauh secara
kultural. Totok dalam hal ini menganggap bahwa orang peranakan tidaklah
memiliki seratus persen darah Tionghoa. Pandangan ini disikapi oleh totok
perlunya untuk mentionghoakan kembali kaum peranakan. Di sisi lain, dengan
sukarela mereka yang berdarah campuran ini untuk ikut andil dalam proyek ini.
64
Maka muncullah gerakan Pan Tionghoa dengan tujuan khusus mentionghoakan
kembali kaum peranakan.
Pan Tionghoa memiliki program khusus untuk mewujudkan cita-cita itu
yakni dengan program pendidikan dan membuka perkumpulan-perkumpulan
khusus yang sejalan dengan tujuan itu. Di sektor pendidikan mereka
menggunakan bahasa Tionghoa dengan harapan menyatukan kembali bahasa
mereka yang sebelumnya terpecah-belah karena akulturasi yang mendalam seperti
sudah disebutkan di atas. Di dalam perkumpulan, mereka menjujung tinggi
ketionghoaan mereka dan memperjuangkan status kedudukan mereka supaya
sejajar dengan orang-orang Belanda.
Pada jalannya program Pan Tionghoa tidaklah seutuhnya menyuarakan
apa yang diinginkan oleh orang-orang peranakan. Seperti apa yang diungkapkan
Skinner, gerakan ini pada akhirnya hanya berorientasi pada mereka golongan
totok. Terbukti pada tahun 1915 Tionghoa totok mengambil alih pimpinan
gerakan tersebut dan pada tahun 1920 bahwa syarat-syarat penyatuan mengikuti
kebijakan Tionghoa totok (1979:14).
Belanda tidak serta merta membiarkan gerakan ini tumbuh dalam
masyarakat Tionghoa di Indonesia. Maka untuk mengimbangi dan menghalangi
menjamurnya gerakan ini, dibukalah sekolah-sekolah dengan bahasa Belanda
sebagai pengantar. Orang-orang peranakan sebenarnya sudah merasa bahwa
Tionghoa totok tidak menyuarakan aspirasi suara mereka. Dengan pandangan
tersebut para pemimpin-pemimpin Tionghoa peranakan menyerukan agar
masyarakatnya untuk ikut ke dalam sekolah ini. Hal ini dikarenakan sekolah
65
tersebut dianggap lebih mewakili keinginan mereka untuk setara dengan orang-
orang Belanda. Atau dengan kata lain, sekolah dengan bahasa Belanda dianggap
lebih modern.
Tetapi perlu dipahami juga bahwa sekolah Belanda tidak hanya
mempengaruhi mereka (peranakan) hanya untuk berorientasi pada Belanda.
Sekolah ini pada seterusnya juga mempengaruhi jalan hidup orang Tionghoa
untuk berorientasi kepada Indonesia mengingat apa yang mereka terima adalah
sikap-sikap modern dari sekolah Belanda. Terbukti, dari gerakan yang dimulai
dari Pan Tinghoa ini kemudian melahirkan beberapa organisasi yang menentukan
kemana arah politik mereka condong.
Ada dua organisasi yang berpengaruh pada masa itu yaitu Partai Tionghoa
Indonesia (PTI) dan Chung Hwa Hui (CHH). PTI adalah partai yang dibentuk
oleh mahasiswa radikal yang menentang baik golongan nasionalis yang berkiblat
ke Cina juga golongan Belanda. Bisa dikatakan bahwa partai tersebut adalah
partai yang mendukung kemerdekaan Indonesia (pro Indonesia). Program partai
tersebut sebagaimana tercatat oleh Greif bertujuan memperjuangkan status
dominan untuk Indonesia dan satu kewarganegaraan untuk semua orang tak
perduli rasnya. Akan tetapi PTI tidak bertahan lama, partai ini mendapatkan
serangan yang berarti dari kubu Tionghoa lainnya. Selain itu, besarnya pengaruh
politik Belanda adu domba yang memisahkan mereka dengan golongan lain
membuat partai ini hancur oleh golongan nasional Indonesia sendiri (1991:8).
Untuk CHH seperti yang sudah dijelaskan, partai ini berkiblat ke Belanda.
66
Jepang mendarat di Indonesia pada bulan maret 1942. Kedatangan mereka
menandai atas akan berakhirnya masa Belanda di Indonesia. Di lain pihak
perseteruan antara peranakan dan totok mereda dan menjadi tidak penting karena
bagi Jepang mereka adalah masyarakat kelas dua. Di sini, antara peranakan dan
totok dipersatukan kembali dalam perasaan senasib dan sepenanggungan.
Bom atom yang diluncurkan oleh sekutu menghancurkan dua kota penting
di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki). Seketika itu juga Jepang menyerah tanpa
syarat dan mencabut kedudukannya atas Indonesia. Dua hari setelah itu,
dimanfaatkan untuk para patriot Indonesia untuk memproklamasikan Indonesia.
Pada tahun 1946 pemerintah Indonesia menawarkan kepada semua orang
Tionghoa yang lahir dan telah lima tahun berturut-turut di Indonesia untuk
memilih kewarganegaraannya. Usia kemerdekaan yang terlalu dini dan dinilai
membuat pemerintahan tidak terlalu stabil, akibatnya pemecahan masalah
mengenai identitas kewarganegaraan cenderung tidak terlalu berhasil.
Usaha untuk mestabilkan keadaan negara terus diupayakan. Baru pada
tahun 1949 —mengacu pada perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB)—orang
Tionghoa kelahiran Indonesia diperbolehkan memilih kewarganegaraanya.
Sedangkan untuk orang Tionghoa kelahiran Cina tidak ada pilihan, mereka harus
menjadi warga negara Cina. Proses ini nyatanya tidak terlepas dari gerakan
nasionalisme Cina yakni apa yang disebut perseteruan dua kelompok besar antara
Partai Komunisme Cina (PKC) yang berhaluan komunis dan Partai Kuomintang
(KMT) yang berhaluan liberal. PKC mendesak golongan totok untuk merangkul
para Tionghoa peranakan kembali ke tanah leluhurnya Cina. Sebaliknya KMT
67
mendesak golongan peranakan Tionghoa untuk memilih kewarganegaraan
Indonesia. Hingga akhirnya, kemenangan PKC mengakhiri perseteruan dua
kelompok besar ini. Bagaimanapun kemenangan PKC atas KMT tidaklah
berpengaruh besar, sebagian besar dari masyarakat peranakan lebih memilih
kewarganegaraan Indonesia. Hal tesebut dibuktikan mengingat ketika perjanjian
KMB tidak mendapatkan jalan keluar –karena orang Tionghoa tidak menolak
kewarganegaraan Indonesia juga memilih kewarganegaraan Cina sekaligus—
orang Tionghoa peranakan lebih memilih kewarganegaraan Indonesia mengacu
Perjanjijan Dwikewarganegaraan pada tahun 1955 yang mewajibkan orang-orang
Tionghoa memilih satu kewarganegaraan.
Dari penjelasan di atas dapatlah ditarik sebuah simpulan sederhana, jika
kebudayaan khususnya bahasa dapat dijadikan patokan untuk mengidentifikasi
asal, karakteristik, dan bagaimana kedatangan orang Tionghoa di Indonesia.
Relatif benar jika Putri Cina dan kaumnya tidak dapat menggunakan bahasa
leluhur mereka di Cina daratan. Bahasa mereka berbeda-beda mengikuti di
wilayah mana mereka tinggal. Hal tersebut dimaknai dengan konsep penjelasan
dengan menariknya dalam wilayah keseluruhan (kenyataan) bahwa orang-orang
Tionghoa berasal dari wilayah Cina yang heterogen. Saat mereka memasuki
Indonesia yang heterogen, bahasa mereka pun lalu terbagi-bagi lagi. Selain itu,
jika dilihat dari penggunannya menunjukan bahwa gelombang kedatangannya pun
berbeda-awalnya mereka datang dalam kelompok kecil, kemudian datang dalam
kelompok yang lebih besar. Dari situ pula, dapat dilihat pula bagaimana keadaan
wilayah sebelum orang Tionghoa menempatinya. Seperti halnya di Kalimantan
68
Barat, bahkan mereka dianggap orang asli (pribumi) karena wilayah tersebut sepi
sebelum mereka datangi. Berbeda dengan Jawa, sebelum kedatangan mereka
wilayah ini sudah ramai, maka di Jawa lah konsep pribumi dan nonpribumi
berlaku.
Hal yang tidak kalah penting dari segi kultural adalah segi politik yang
menetukan identitas orang Tionghoa di Indonesia. Orang Tionghoa (baik
peranakan dan totok) sejak masa kolonial telah dianggap sebagai bagian yang
terpisah dari orang yang dianggap pribumi. Ini didukung oleh golongan yang
melakukan politisasi untuk mengembalikan para perantauan berorientasi kepada
Cina daratan. Selain itu, gejolak politik Indonesia juga menentukan sikap orang
Tionghoa. Dari sejarah perjalan politik ini, maka dapat diketahui bahwa orang
Tionghoa di Indonesia pada dasarnya memiliki tiga kiblat yaitu ke Belanda, ke
Cina dan ke Indonesia. Dari situ menunjukan bahwa ada orang Tionghoa yang
berkiblat ke wilayah tempat mereka hidup. Atau dalam kehidupan nyata bisa
dilihat jika ada beberapa pemuka Tionghoa peranakan ketika nasionalisme
mencapai puncaknya antara lain Tam Kin San, Kwe Hing Ciat, Tjou Bou San,
Hauw Tek Kong dan Oey Soen You saat hijrah ke Cina dan tinggal di sana—
kecuali Tjou San— menganggap bahwa Cina adalah negara yang asing untuk
peranakan (Supatra, 2009:14). Mereka inilah orang Tionghoa yang berkiblat ke
Indonesia. Akan tetapi, perlu dipahami juga sejak diberlakukannya perjanjian
Dwikewarganegaraan pada tahun 1955 –yang menuntut orang Tionghoa untuk
memilih kewarganegaraan—menunjukan bahwa orang Tionghoa yang tinggal
setelah tahun itu, hanya orang Tionghoa yang berorientasi ke Indonesia. Sehingga
69
tidak heran di dalam Putri Cina muncul sebuah tulisan ―Ampun saya memang
Cina tapi sudah lama menjadi orang Jawa‖ jerit orang Cina menyayat
(Sindhunata, 2007:150).
2. Pandangan Hidup Orang Tionghoa dalam Putri Cina
Perjalanan orang Tionghoa di Indonesia telah mengalami sejarah yang panjang.
Namun, tetap saja mereka diragukan berkaitan dengan loyalitas mereka. Melihat
hal tersebut, pemerintah mengupayakan banyak cara untuk mengatasi
permasalahan orang-orang Tionghoa ini. Puncaknya dengan diberlakukannya
program asimilasi yang gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru secara gigih dan konsisten mengupayakan
terjadinya suatu masyarakat yang tertib. Hal itu membuat pemerintah
melaksanakan asimilasi secara ketat. Asimilasi sendiri memiliki pengertian seperti
yang diungkapkan oleh Jahja (melalui Greif, 1991:xiii), tidak menganggap etnik
Cina yang sudah warga negara Republik Indonesia (RI) sebagai minoritas maupun
sebuah suku baru yang sederajat dengan Jawa, suku Aceh, suku Madura, dan
sebagainya. Lanjutnya, asimilasi berarti menghilangkan ekslusivisme-seketurunan
yang sudah ada sejak zaman dahulu. Atau dengan kata lain meleburkan budaya
asli.
Program asimilasi Orde Baru sejatinya adalah program anti kebudayaan
Cina seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Program ini meliputi
penggantian nama, dari nama Cina ke nama Indonesia. Kemudian pelarangan
terhadap aktivitas kebudayaan Cina. Dalam konteks kenyataan sosial, asimilasi
70
berdampak hebat pada aktivitas masyarakat Tionghoa. Asimilasi merupakan
penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa meliputi pers berbahasa Tionghoa,
sekolah menengah Tionghoa dan organisasi etnik Tionghoa. Kebijakan tersebut
tidak pernah dilakukan oleh Orde Lama, karena pada dasarnya asimilasi tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kebijakan Orde Baru dinilai sangat
kabur. Penilaian itu mendasar karena asimilasi yang dianggap menyatukan, pada
jalannya asimilasi lebih bersifat anti asimilasi. Hal tersebut seperti yang
diungkapkan oleh Suryadinata di bawah ini:
Namun, dalam praktiknya seringkali asimilasi berjalan dengan kabur dan
bertentangan dan bahkan dalam beberapa kebijakan Soeharto cenderung
anti asimilasi karena pertimbangan keadaan politis. Sebagai contoh,
toleransi terhadap agama-agama minoritas dan pembedaan terhadap
pribumi dan nonpribumi cenderung malah memilah, bukan
mempersatukan etnik Tionghoa dan orang Indonesia asli. Dengan
perkataan lain, etnik Tionghoa tetap terpisah dengan komunitas tuan
rumah (2003:2).
Jika demikian, maka bisa dikatakan asimilasi (anti kebudayaan Cina)
merupakan sebuah program yang serampangan. Tentu saja, mengingat baik di
dalam Putri Cina maupun di dalam kenyataan sosial, mereka (baik Putri Cina dan
kelompoknya atau masyarakat Tionghoa dalam kenyataan sosial) merupakan
kelompok yang telah kehilangan sebagian besar kebudayaannya. Program
asimilasi justru kembali memposisikan mereka sebagai orang asing. Tanpa
adanya program asimilasi, mereka dengan sendirinya sudah melakukan asimilasi
secara alamiah karena melebur dengan kebudayaan setempat. Di dalam kenyataan,
orang Tionghoa yang telah kehilangan sebagian besar kebudayaannya dapat
dilihat dari wawancara yang dilakukan Greif terhadap wanita berusia 52 tahun di
71
Yogyakarta. Responden tersebut memiliki suami berasal dari keluarga campuran.
Mereka mengaku tidak tahu menahu tentang nenek moyang mereka.
T: Apa-apa sajakah yang menjadi identitas Anda?
J: Kami adalah kelompok lama yang tidak terpisahkan dari budaya Jawa.
Kami bangga dengan latar belakang budaya campuran kami. Kami
menganggap jawa Tengah, dan bukan Cina, sebagai kampung halaman
kami (1991:49-50).
Meskipun asimiliasi dijalankan secara ketat, nyatanya program ini tidak
mampu menghilangkan sentimen yang bersifat rasial pada orang-orang Tionghoa.
Sentimen ini tidak muncul begitu saja, namun telah memiliki sejarah yang
panjang.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, keberadaan orang Tionghoa di
Indonesia tidak bisa dipisahkan oleh keberadaan pemerintah Belanda. Awalnya
kedua kelompok ini memiliki tujuan yang sama yakni untuk berdagang.
Selanjutnya mereka menjalin kerja sama dan menjadikan orang Tionghoa
berkedudukan sebagai perantara. Akan tetapi pada jalannya, hubungan ini tidak
berjalan mulus seperti apa yang ditulis Ong Hok Ham, hubungan ini melahirkan
pembantai besar-besaran di Batavia pada tahun 1740 yang menewaskan kurang
lebih 10.000 jiwa (2008:20) .
Setelah peristiwa itu, pemerintah Belanda memberikan kebijakan resmi
untuk membagi masyarakat menjadi tiga golongan yaitu golongan Barat,
Golongan Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain), dan golongan pribumi. Pada
praktiknya kebijakan ini juga membagi mereka berdasarkan tempat tinggalnya.
Untuk orang Tionghoa wilayah tempat tinggal mereka disebut pecinan. Kebijakan
72
ini juga ditambah dengan memberlakukan pajak jalan untuk orang Tionghoa
sehingga menghalangi pergerakan fisik mereka.
Dengan pembatasan ini orang Tionghoa hanya mampu mengembangkan
kehidupan di bidang ekonomi. Namun tidak semua orang Tionghoa harus
mengalami kesusahan apa yang dialami oleh orang Tionghoa lainnya. Hal ini
dikarenakan orang-orang yang secara mapan di bidang ekonomi kemudian
ditunjuk untuk menjadi opsir-opsir Belanda menarik pajak.
Munculnya gerakan Pan Tionghoa berpengaruh langsung pada kehidupan
mereka. Gerakan ini pada jalannya menuntut mereka untuk setara dengan pihak
Belanda dengan menghapuskan sistem tempat tinggal yang terpusat itu. Gerakan
ini memang terbukti berhasil. Efek dari gerakan ini adalah keluarnya dari modal
orang Tionghoa yang sebelumnya terpusat pada wilayah-wilayah tempat tinggal
mereka sebelumnya. Hasilnya adalah berkembangnya usaha mereka disertai
dengan rasa tidak senang oleh golongan pribumi terutama golongan menengah
atas seperti yang Ong Hok Ham ungkap sebagai berikut:
Ketika pemerintah mencabut larangan pembatasan mobilitas orang Cina
pada 1905, para pengusaha Cina berpindah keluar dari perkampungan
minoritas dan datang berbondong-bondong untuk bersaing dengan kelas
pengusaha jawa.
Sarekat Dagang Islamiyah yang kemudian menjadi Sarekat Islam (1912)
terbentuk sebagai respon dari perkembangan ini dan terus berlanjut
menjadi gerakan massal sosial dan politik di Hindia,
Huru-hara anti Cina yang pertama terjadi pada 1908 di Kota Kudus yang
memiliki borjuasi orang Jawa dan muslim yang kuat. Awal mulanya
karena prosesi klenteng Cina yang melukai orang muslim. Akan tetapi,
insiden ini terjadi karena latar belakang persaingan kelas menengah
(2008:22).
73
Nampaknya kekerasan yang berbau rasial memang berasal dari pemerintah
Belanda yang memilah-milah kelompok masyarakat berdasarkan ras itu. Konflik
lainnya terjadi pada tahun 1959 sejak diberlakukannya Perjanjian
Dwikewarganegaraan. Orang-orang Tionghoa dilarang berdagang di pedesaan.
Selain itu, konflik juga terjadi pada tahun 1963 di Bandung, Cirebon, Semarang,
dan sekitarnya.
Orde Baru dengan asimilasi secara ketat dinilai tidak mampu
menyelamatkan mereka dari konflik-konflik bersifat rasial yang sebagian besar
dipengaruhi oleh motif ekonomi. Puncaknya, konflik itu sendiri berulang ketika
Orde Baru berakhir.
Kerusuhan anti Cina yang sekarang terjadi di Jakarta merupakan akibat
kecemburuan dan sentimen berbau rasis. Komunitas Cina telah
menunjukan kreativitas dan memperoleh sukses meskipun kedudukan
mereka tidak dikenal dalam masyarakat (Ong Hok Ham, 2008:24).
Keberhasilan orang Tionghoa memang sulit dipisahkan dari keunggulan
mereka di bidang ekonomi. Mereka dianggap elemen penting di antara kelas
menengah dan kelas atas kapitalis Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah
usahawan, pedagang, profesional dan orang terlatih.
Walaupun terdapat orang-orang cina miskin, namun tidak boleh dilupakan
bahwa tujuh atau delapan dari sepuluh besar kapitalis di indonesia aslinya
orang Cina. Dalam daftar 200 orang terkaya di seluruh negara Indonesia,
lebih dari 50% adalah orang Cina (Ong Hok Ham, 2008:19).
Gordon Reading (melalui Ong Hok Ham, 2008:29) menyatakan
bagaimanapun orang Cina tidak akan menghilangkan identitasnya, artinya selalu
merasa sebagai bagian dari peradaban yang palng kuno. Pandangan itu kemudian
ditolak Ong Hok Ham. Hal ini dikarenakan, untuk menilai ketionghoaan mesti
74
dilihat dari beberapa sisi. Identitas ekonomi orang Tionghoa relatif terjaga
daripada segi politis dan kultural mereka. Hal ini beralasan karena posisi politis
dan kultural mereka berubah-ubah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah.
Perkembangan politis dan kultural sulit digunakan untuk menjangkau
keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Oleh karena itu, untuk menjangkau
keberhasilan tersebut perlunya melihat kehidupan religius mereka.
Orang Tionghoa memiliki karakteristik yang khas dalam kehidupan
religius mereka. Begitulah laporan penelitian Wilmott (1960) di Semarang
(melalui Supatra, 2009:17). Sikap keagamaan mereka baik di Cina daratan
maupun di Semarang memiliki kesamaan dan belum dipengaruhi oleh idiologi
Barat ataupun agama Kristen dalam menyikap agama-agama yang ada.
Ciri pertama adalah toleran. Sikap toleran itu diduga masih berhubungan
dengan Konfusius. Bagi orang Tionghoa, Yang Maha Kuasa itu baik, maka untuk
menyatakan sikap religius ini diwujudkan dengan membahagiakan sesama
manusia. Berangkat dari sini, seperti apa yang diketengahkan Willmott kepada
respondennya terhadap pemilihan jodoh, 50 % menjawab latar belakang agama
menjadi pertimbangan penting, 50 % menjawab tidak. Ini menunjukan sikap
religius mereka bisa dikatakan tetap walaupun berpindah-pindah dari agama satu
ke agama lain. Tentu juga hal tersebut dipengaruhi sikap agama yang dipeluk, jika
agama yang dipeluk konservatif maka sikap toleran tidak dipertahankan, begitu
juga sebaliknya.
Ke dua adalah ekletik. Orang Tionghoa di Indonesia mengenal Tri Dharma
sebagai bagian dari kehidupan religius mereka. Tri Dharma sendiri terdiri Budha,
75
Konfusius dan Tao, kadang juga ditambah shenism. Mereka tidak segan-segan
menggabungkan beberapa unsur kepercayaan karena bagi mereka semua agama
adalah baik.
Ciri berikutnya adalah pragmatis. Orang Tionghoa tidak segan memungut
ajaran apapun jika itu dirasa membawa kebaikan bagi mereka. Sudah tentu dapat
dilihat dari sikap mereka dalam pemujaan terhadap dewa dan leluhurnya. Mereka
membawa ―apa-apa‖ saja untuk persembahan seperti makanan, minuman, uang-
uang, rumah-rumahan, dan lain-lain. Keyakinan mereka terhadap akhirat
diwujudkan dengan keyakinan terhadap dunia dengan membahagiakan sanak-
saudara mereka. Sikap inilah yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
ekonomi orang Tionghoa. Bagi orang Tionghoa menjadi kaya dibenarkan oleh
Tuhannya, karena dengan menjadi kaya kebajikan dapat dilakukan terhadap
saudara mereka, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Pandangan dunia dalam Putri Cina yang menunjukan bahwa mereka
adalah orang-orang yang kaya relatif benar. Spirit berdagang untuk mencari
kekayaan (materialis) ditunjang oleh aktivitas religius mereka, seperti aktivitas
yang ditunjukan Giok Tien pada kutipan berikut:
Giok Tien juga selalu menyiapkan makanan dan kue-kue kesenangan
kedua kakaknya di meja sembahyangan itu. Dihidangkannya di sana nasi
bakmoi dan mihun goreng, serta sup merah. Ditaruhnya kue mangkok, kue
ku, kue perut ayam, roti kukus, roti goreng, dan cakwe. Juga buah pir dan
kelengkeng. Tak lupa, sepoci teh dengan tiga buah cangkir, dan sesloki
ciu.
Sambil memandang asap hio yang membumbung dari hiolo, tempat dupa,
Giok Tien teringat, betapa dulu mereka bertiga amat menyukai makanan
dan kue-kue itu. Sekarang Giok Hong dan Giok Hwa tak mungkin lagi
menemaninya, menikmati teh Cina, dan menghangatkan diri dengan
76
minuman ciu, bertiga satu sloki, sebagai tanda eratnya persaudaraan
mereka (Sindhunata, 2007:280).
3. Jalan Keluar dari Konflik
Permasalahan mendasar dalam Putri Cina terhadap orang-orang Cina dan
kenyataan sosial pada masyarakat Tionghoa ialah identitas dan sikap materialis.
Permasalahan identitas kenyataan sosial merupakan bentuk kecurigaan terhadap
loyalitas yang dipengaruhi oleh motif ekonomi. Maka, untuk mengendalikan
masyarakat Tionghoa diberlakukanlah program asimilasi oleh pemerintah Orde
Baru, yakni meleburkan kebudayaan yang sebenarnya telah hilang. Asimilasi
dianggap kembali memposisikan orang-orang Tionghoa sebagai orang asing
(nonpribumi).
Kebijakan asimilasi dinilai mengorbankan banyak hal daripada
memberikan manfaat. Kebijakan untuk menyatukan orang Tionghoa dalam
kebangsaan Indonesia cenderung anti kemanusiaan karena terpengaruh dengan
kebijakan kolonial yang memisahkan mereka berdasarkan ras. Tokoh Putri Cina
sebagai tokoh trans-indivual selalu menekankan untuk memegang nilai-nilai
leluhur tetapi tidak berorientasi pada tanah leluhurnya itu. Pandangan dunia ini
dekat dengan konsep integrasi yang ada pada Orde Lama. Integrasi berarti
menjadikan orang Tionghoa sebagai suku bangsa baru keturunan Cina. Konsep ini
muncul di bawah organisasi Badan Permusyawaratan Kewaganegaraan Indonesia
(Baperki) yang didirikan tahun 1954 dan bubar pada tahun 1965. Baperki lebih
menekankan pada persolan kewarganegaraan. Sebagaimana dinyatakan
Suryadinata (2003:8), konsep kewarganegaraan lebih bersifat hukum atau politik.
77
Lebih jauh, Sindhunata melalui Putri Cina menolak asimilasi (anti
kebudayaan Cina) yang cenderung pada persolan pribumi dan nonpribumi dengan
menekankan pada ‗kemanusiaan‘ itu sendiri kepada khalayak luas. Kemanusiaan
itu sendiri diwujudkan dengan menolak sikap ekslusif kepemilikan wilayah
(konsep pribumi dan nonpribumi) melalui syair dari penyair Tao Yuan Ming
seperti yang disebutkan di atas. Syair tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya
manusia adalah makhluk yang tidak punya akar dan bertebaran kemana-mana.
Syair Tao Yuan Ming tersebut sejalan dengan Abdurahman Wahid yang dikutip
oleh Suryadinata sebagai berikut:
Banyak orang Indonesia, termasuk NU yang dipimpinnya, seringkali
menganggap etnis Tionghoa orang Indonesia, dan mencatat bahwa ini
salah. Kesalahan tersebut berasal dari konsep pribumi, yang menganggap
bahwa orang Tionghoa sebagai ras non pribumi. Ia mengatakan lebih
lanjut bahwa Indonesia terdiri bukan hanya dari dua ras, melainkan tiga,
yaitu: ras melayu, austro melanesia dan cina. Ketiga ras tersebut yang
membentuk kebangsaan kita. Ia sendiri menyatakan dirinya berdarah
sebagian Cina dan sebagian Arab, dan mengatakan bahwa tidak ada
keturunan asli (2003:7).
Eddy Sadeli melalui Pribumi dan Non-Pribumi Benarkah Ada?
menyatakan bahwa dua ribu tahun yang lalu, Indonesia adalah wilayah yang
kosong, lalu wilayah ini didatangi oleh orang-orang dari beberapa dari golongan
ras yaitu Ras Negroid, Wedoid, Melayu Tua, Melayu Muda, Indo Asia dan Indo
Eropa (1998:92).
Ras Negroid memiliki ciri-ciri kulit hitam, tinggi dan rambut kriting.
Mereka berasal dari Afrika dan sekarang menempati Irian. Ras Wedoid memiliki
ciri-ciri kulit hitam, tubuh sedang dan rambut keriting. Ras ini datang dari India
bagian selatan dan sekarang mendiami Kepulauan Maluku, Timor-timor dan
78
Kupang. Ras Melayu Tua memiliki ciri-ciri kulit sawo matang, tubuh tidak terlalu
tinggi dan rambut lurus. Ras ini berasal dari Tiongkok bagian selatan, mereka
menempati wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Sumatra
Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melayu Muda memiliki ciri-ciri kulit sawo
matang agak kuning, tubuh tidak terlalu tinggi, dan rambut lurus. Ras ini
menempati Riau, Minangkabau, Palembang, Lampung, Toraja, dan Manado.
Terakhir adalah Indo Asia dan Indo Eropa, mereka ini terdiri dari etnis Arab, etnis
India, etnis Jepang, etnis Pakistan, etnis Tionghoa dan lain-lain.
Dalam Putri Cina ajaran leluhur sangat berperan pada kehidupan tokoh
Putri Cina. Pada kenyataan sosial, orang Tionghoa sebelum memeluk agama yang
bersifat monoteistik seperti agama Islam, Kristen, Katolik, dan Yahudi cenderung
mengalami kesulitan untuk menafsirkan agama mereka sendiri. Agama
monoteistik mengenal tuhan, kitab suci dan nabi sebagai bagian dari kehidupan
religius. Namun, berbeda dengan orang Tionghoa, mereka tidak mengenal tuhan,
kitab suci, dan nabi sebagai bagian dari kehidupan religius mereka. Orang-orang
Tionghoa pada kehidupan religius mereka lebih mengenal dewa-dewa yang
jumlahnya ratusan daripada tuhan, nabi ataupun kitab suci. Seperti apa yang
ditulis Ong Hok Ham, untuk memahami kehidupan orang Tionghoa, perlunya
menggunakan kerangka kepercayaan orang Romawi kuno. Dari sini dapatlah
diketahui bahwa kerangka kepercayaan orang Tionghoa mengacu pada
kepercayaan yang sifatnya tradisional. Penjabaran dari kepercayaan tradisional ini
79
dapat ditemui saat mereka menjadikan Laksamana Cengho sebagai dewa yang
disembah (2008:118).
Orang Tionghoa mengenal kelenteng sebagai tempat peribadahan mereka.
Kelenteng berbeda dengan masjid atau gereja. Di kelenteng orang Tionghoa
meminta pertolongan pada kekuatan supranatural seperti meminta rezeki,
kesehatan, karir, jodoh, dan lain-lain. Sudah menjadi jelas bahwa permohonan
pada kekuatan supranatural merupakan penjabaran dari kepercayaan terhadap
kekuatan magis dewa-dewa seperti yang telah disebutkan di atas. Hal ini
menunjukan bahwa mereka masih memegang tradisi kepercayaan lokal tradisional
yang jauh untuk dikatakan sebagai sebuah agama (Ong Hok Ham, 2008:118).
Di dalam Putri Cina struktur ini ditemui di beberapa bagian. Salah satunya
dapat dilihat di kutipan berikut:
Ia melanjutkan sembahyangnya. Bersujudlah ia di kimsin atau patung
Kongco Hok Tek Ceng Sin. Kongco Hok Tek Ceng Sin adalah pelindung
orang miskin. Ia tidak menuntut persembahan apa-apa. Ia juga mau
ditempatkan di mana saja. Jamban pecah pun bisa dijadikan sebagai
tempat pemujaannya. Katanya akan mudah terkabullah bila orang
memohon rezeki lewat perantara Kongco Hok Tek Ceng Sin. Panen akan
berhasil, dan ternak akan berkembang biak, kalau orang rajin memuja
Kongco Hok Tek Ceng Sin.
Karena kemurahan hatinya, ia diangkat menjadi petugas Pintu Langit
Selatan untuk menjaga kebun buah dewa. Karena itu orang-orang memuja
dia sebagai dewa bumi. Kongco Hok Tek Ceng Sin digambarkan sebagai
orang tua, ptuih jenggot dan rambutnya, dan selalu tersenyum ramah. Ia
ditemani seekor harimau, yang namanya Hu Jiang Jun. Harimau itulah
yang membantu Kongco Hok Tek Ceng Sin mengusir roh jahat dan
menolong rakyat dari malapetaka (Sindhunata, 2007:39).
Orang Tionghoa juga mengenal Konfusius sebagai bagian dari kehidupan
religius mereka. Inti ajaran Konfusius adalah dunia yang harmonis. Hubungan
harmonis ini diwujudkan melalui pengabdian seorang anak kepada orang tua, baik
80
yang sudah hidup maupun yang sudah meninggal. Dalam hierarki yang lebih
besar, kepercayaan ini diwujudkan melalui penghormatan terhadap dinasti. Ini
masih jauh dari kategori agama karena Konfisius hanya mempertimbangkan
dunia, bukan akhirat(Ong Hok Ham, 2008:120).
Orang Tionghoa yang melakukan migrasi pada umumnya adalah ekonomi
kelas bawah. Konsep tentang Konfusius tidak terlalu berpengaruh. Pada masa
dinasti Quing orang-orang Tionghoa yang keluar dari Cina dianggap pengkhianat.
Hal ini disebabkan mereka (para perantau) telah meninggalkan tanah leluhur
dianggap telah mengkhianati ajaran Konfusius. Meski begitu, orang-orang
perantauan beranggapan lain, bagi mereka penghormatan terhadap orang tua
dimulai dari tempat mereka berada. Orang inilah yang disebut sebagai generasi
pertama.
Secara umum penghormatan terhadap dewa dan orang (leluhur) yang
sudah meninggal disebut senism. Menurut Gondomo, pemeluk senism percaya
bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya tergantung pada kerajinan, kepandaian,
kepiawaian atau kerja keras, namun juga tergantung pada arwah-arwah, para dewa
dan tokoh yang didewakan, serta terutama sekali dari leluhur mereka sendiri
(1998:66).
Dalam praktik senism (baik penghormatan kepada dewa-dewa dan
konfosius) orang Tionghoa mengibaratkan kehidupan di akhirat seperti kehidupan
di dunia nyata. Mereka membawa buah-buahan, makanan, minuman sebagai
prosesi ritual mereka. Atau juga membakar uang (dari kertas), rumah-rumahan
81
dari kayu, mobil-mobilan dari kardus dengan harapan orang yang sudah
meninggal dapat menikmatinya di kehidupan sana.
Dengan melihat penjabaran sikap religius orang Tionghoa di atas. Sudah
barang tentu sulit untuk menilai agama mereka. Sikap religius mereka bisa
dipandang negatif karena mereka akan dinilai sebagai orang-orang yang hanya
mementingkan urusan dunia. Maka dari itu, wajar jika mereka lebih sering
mengalami konflik yang sifatnya ekonomi. Akan tetapi juga bisa positif jika
mereka tetap berpijak pada nilai-nilai konfusius. Orang-orang Tionghoa
perantauan harus menganggap bahwa tanah yang baru adalah tanah leluhur
mereka. Maka mereka haruslah berbakti pada tanah yang baru ini sesuai dengan
prinsip-prinsip Konfusius. Jadi, masuk akal bila Sindhunata selalu menekankan
kepada orang-orang Tionghoa melalui Putri Cina untuk berpegang teguh pada
nilai-nilai luhurnya agar mereka tidak dianggap sebagai binatang ekonomi.
Mengapa orang Cina hanya sibuk mencari harta? Begitu pikir Putri Cina.
Ia bilang, nafsu akan harta bukanlah kodrat orang Cina. Tidakkah K‘ung
Tzu berkata ―Kau tak usah resah jika kau tak punya jabatan. Tapi kau
harus resah jika jabatanmu tak ada nilainya. Kau tidak usah resah, jika kau
tidak mempunyai kehormatan, tapi kau harus resah, jika kehormatanmu
tiada nilainya. Kau tidak usah resah jika kau tidak punya harta, tapi kau
harus resah, jika hartamu tidak ada nilainya.‖
Jadi menurut K‘ung Tzu, orang tak dilarang mencari harta, asalkan harta
itu ada nilainya. Pikir Putri Cina, adakah nilai dalam kekayaan yang kini
diburu mati-matian oleh orang Cina, jika harta itu tidak dibagikan kepada
sesamanya? (Sindhunata 2007:78).
E. Pandangan Dunia Masyarakat Tionghoa dalam Putri Cina
Putri Cina merupakan struktur yang berarti. Keberartian ini karena Putri Cina
merupakan strukturasi dari kenyataan sosial yang dihasilkan oleh Sindhunata
sebagai subjek trans-individual. Dengan menggunakan strukturalisme genetik,
82
ditemukan beberapa temuan, antara lain masyarakat Tionghoa di Indonesia
sebagai subkultur kebudayaan dianggap asing karena dinilai berdasarkan ras.
Ditambah mereka juga dianggap sebagai simbol kekayaan. Hal tersebut
memancing terjadinya konflik.
Pemerintah Orde Baru selalu mengupayakan terjadinya masyarakat yang
tertib. Oleh karena itu, pemerintah menjalankan program yang disebut asimilasi.
Asimilasi bertujuan untuk meleburkan kebudayaan masyarakat Tionghoa ke
dalam kebudayaan masyarakat setempat. Namun, asimilasi pada praktiknya
cenderung anti asimilasi karena memposisikan masyarakat Tionghoa sebagai
orang asing lagi. Pemerintah membedakan kelompok tuan rumah (pribumi) dan
bukan tuan rumah (nonpribumi). Padahal, mereka telah kehilangan sebagian
kebudayaan dari tanah leluhur mereka di Cina. Kebijakan ini dinilai anti
kemanusiaan karena membedakan manusia berdasarkan ras. Melalui Putri Cina,
Sindhunata menyerukan agar manusia sebaiknya menganggap dirinya sebagai
makhluk yang tidak memiliki akar. Dengan begitu, konflik berdasarkan
kepemilikan tuan tanah (pribumi dan nonpribumi) tidak terjadi.
Materialis dan kaya sulit terpisah dari masyarakat Tionghoa. Pandangan
ini sulit terbantahkan karena memang didukung oleh falsafah leluhur (konfusius)
mereka. Konfusius menekankan hubungan dunia yang harmonis. Hubungan
harmonis itu diwujudkan melalui hubungan anak dan orangtua. Dalam lingkup
yang lebih besar hubungan antara masyarakat dan dinasti atau negara. Dengan
menjadi kaya, pengabdian dan kebajikan dapat dilakukan menjadi kaya.
Sindhunata melalui Putri Cina menggambarkan bahwa masyarakat Tionghoa
83
telah melupakan konfusius karena hanya mencari harta tanpa berbuat kebaikan
terhadap keluarga dan negara. Oleh karena itu, ia selalu menekankan agar
masyarakat Tionghoa mengingat konfusius. Kekayaan mereka harus berguna
untuk keluarga dan negara agar mereka terlepas dari konflik yang sering kali
menyertai.
84
BAB V
SIMPULAN
A. Unsur Intrinsik Putri Cina
1. Cerita Putri Cina
Putri Cina terdiri dari dua struktur cerita. Cerita pertama berisi persoalan identitas
Putri Cina dan kaumnya sebagai masyarakat yang tidak bisa menggunakan bahasa
leluhur dan tidak bisa berbicara dengan kaumnya yang lain karena menyesuaikan
bahasa tempat di mana mereka tinggal. Di bagian cerita ini juga diceritakan
bagaimana sifat Putri Cina dan kaumnya yakni orang-orang Cina yang bekerja
keras dan menumpuk harta dengan berdagang.
Cerita bagian ke dua berisi permasalahan konflik yang disebabkan oleh
identitas dan sikap orang-orang Cina yang gemar menumpuk harta. Akibatnya,
orang-orang Cina disisihkan dari orang-orang Jawa. Orang-orang Cina dilarang
menggunakan nama asli mereka dan menggantinya dengan nama-nama Jawa.
Mereka juga tidak boleh menggelar acara keagamaan dan kebudayaan.
2. Tokoh Putri Cina
Pembagian struktur cerita menjadi dua, juga membagi tokoh utama Putri Cina.
Tokoh Putri Cina terbagi menjadi dua yaitu Putri Cina sebagai istri Prabu
Brawijaya dan Putri Cina sebagai Giok Tien istri dari Setyoko. Pembagian cerita
juga membagi tokoh tambahan dalam Putri Cina. Tokoh tambahan di bagian
pertama antara lain, Prabu Brawijaya Kelima, Jaka Prabangkara, Kim Liyong,
Kim Muwah, Raden Patah, Raden Kusein, Sabdopalon-Nayanggenggong,
85
Jayameya, Srutasena, Sang Hyang Ismaya, Sang Hyang Antaga, Sang Hyang
Manikmaya, dan lain-lain. Di cerita bagian kedua, tokoh tambahan antara lain
Gurdo Paksi (Setyoko), Jaya Sumengah (Radi Prawiro) , Wrehonegoro, Prabu
Amurco Sabdo, Siok Nio, Giok Hong, Giok Hwa, Korsinah, dan lain-lain.
3. Latar Putri Cina
Latar waktu dalam Putri Cina dengan sendirinya terbagi dua mengikuti
pembagian struktur cerita. Latar waktu yang pertama adalah masa Kerajaan
Majapahit dan latar waktu yang ke dua masa Kerajaan Medang Kamulan.
Latar tempat utama dalam Putri Cina adalah Tanah Jawa karena hampir
seluruh peristiwa terjadi di sana. Palembang, Tanah Cina, Padang Kurusetra, dan
alam dewata merupakan latar tambahan. Latar tambahan tidak terlalu
diperhitungkan karena sedikit disebutkan dan tokoh utama tidak menempati
wilayah tersebut.
Latar suasana tidak hanya menunjukan keadaan tempat. Latar suasana juga
menggambarkan keadaan Putri Cina dan kaumnya dalam Putri Cina. Latar
suasana tidak bersifat tetap tergantung peristiwa yang terjadi di dalamnya. Di
bagian pertama, suasana awalnya tenang terbukti dengan membaurnya orang-
orang Cina hingga mereka sendiri kemudian kehilangan bahasa leluhurnya. Saat
Raden Patah menyerang Majapahit, suasananya menjadi buruk karena perang.
Begitu juga di bagian ke dua, keadaan membaur juga diperlihatkan ketika Giok
Tien yang Cina bermain ketoprak di Sekar Kastubo yang mayoritas Jawa. Saat
86
Prabu Amurco Sabdo menjadi raja, keadaan berubah menjadi buruk karena rakyat
diberlakukan dengan tidak adil dan ditekan, termasuk orang-orang Cina.
B. Strukturalisme Genetik terhadap Putri Cina
Strukturalisme genetik menganggap bahwa karya sastra merupakan hasil ciptaan
pengarang sebagai subjek trans-individual. Ia mewakili aspirasi, gagasan, dan
pikiran kelompok masyarakat tertentu. Karya sastra lahir dari proses strukturasi
terus-menerus dari kenyataan sosial. Begitu pula dengan Putri Cina. Putri Cina
merupakan karya sastra yang diciptakan Sindhunata sebagai subjek trans-
individual yang mewakili gagasan dan perasaan kelompoknya, masyarakat
Tionghoa. Putri Cina lahir dari strukturasi terus-menerus melalui kenyataan sosial
masyarakat tersebut.
Dengan menggunakan strukturalisme genetik, dapat disimpulkan bahwa
relatif benar Putri Cina mewakili gagasan-gagasan masyarakat Tionghoa di
Indonesia. Orang-orang Tionghoa tetap dianggap asing meskipun mereka telah
kehilangan sebagian besar kebudayaannya. Pembagian masyarakat berdasarkan
ras sangat mengakar di masyarakat Indonesia. Pandangan yang menyatakan orang
Tionghoa dianggap materialis juga relatif benar, pandangan tersebut tidak terlepas
dari sikap religius mereka. Inilah yang membuat posisi ekonomi menjadi kuat.
Kuatnya posisi ekonomi masyarakat Tionghoa menimbulkan kecemburuan
terhadap orang-orang Indonesia sendiri. Hal tersebut juga menimbulkan persoalan
terhadap loyalitas mereka. Puncaknya pada masa Orde Baru dengan program
asimilasi. Masyarakat Tionghoa yang sebenarnya telah kehilangan sebagian besar
87
kebudayaannya, ditekan dan dianggap sebagai orang asing lagi (nonpribumi)
dengan kebijakan itu.
Putri Cina adalah struktur yang berarti karena dibangun oleh subjek trans-
individual yang menyampaikan gagasan suatu kelompok. Dalam hal ini, Putri
Cina digunakan Sindhunata untuk menyampaikan gagasan sebagai bagian dari
masyarakat Tionghoa dalam menghadapi permasalahannya. Dengan
strukturalisme genetik ditemukan pandangan dunia bahwa stigma pribumi dan
nonpribumi bersifat anti kemanusiaan karena membedakan manusia berdasarkan
ras. Sindhunata dalam Putri Cina menyerukan agar menghilangkan sikap
eksklusif kepemilikan wilayah (pribumi dan nonpribumi) dengan menganggap
bahwa manusia adalah makhluk yang tidak punya akar.
Sikap materialis masyarakat Tionghoa tidak disalahkan dalam sudut
pandang Sindhunata. Namun, sikap materialis harus diarahkan agar harta mereka
berguna bagi keluarga, dalam konteks yang lebih luas yakni negara sesuai ajaran
leluhur (konfusius). Konfusius menekankan pada hubungan yang harmonis.
Manusia harus saling membantu, baik yang masih hidup ataupun yang sudah
meninggal.
88
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai-Post
Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gondomono. ―Upaya Mencari Jatidiri‖. dalam Bina Darma, Reformasi:
Memandang Islam dan Etnis Tionghoa. 1998. Salatiga: UKSW.
Greif, Stuart W. 1991 .“WNI” Problematik Orang Indonesia Asal Cina. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Harsono, Andreas. 2010. Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Iswanto. ―Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik‖. dalam
Jabrohim, Ed. Teori Penelitian Sastra. 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jatman, Darmanto. 1985. Sastra, Psikologi, dan Masyarakat. Bandung: Penerbit
Alumni.
Lembong, Eddie. 2011. Istilah “Cina”, “China”, dan “Tionghoa”:Tinjauan
Historis dan Masalah Penggunaannya Dewasa Ini. Jakarta: Yayasan
Nabil.
Marcus, A.S & Pax Benedanto. 2002. Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia Jilid 1. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer.
Noor, Redyanto. 2007. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang. Fasindo.
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Oetama, Dede. ―Kemultibahasaan dan Identitas Orang Cina Indonesia‖. dalam
Cushman, Jennifer&Wang Gungwu, Peny. Perubahan Identitas Tionghoa
di Asia Tenggara. 1991. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti.
89
Ong Hok Ham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina, Sejarah
Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sadeli, Eddy. ―Pribumi dan Nonpribumi Benarkah Ada?‖. dalam Bina Darma,
Reformasi: Memandang Islam dan Etnis Tionghoa. 1998. Salatiga:
UKSW.
Salden, Raman. 1993. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Setiadi, Agus. ―Geliat Sang Naga dalam Pustaka‖. dalamWibowo& Thung Ju
Lan, Setelah Air Mata Kering Mayarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei
1998. 2010. Jakarta: Penerbit Kompas.
Soemardjo, Jakob. 2004. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta:
Galang Press.
Sindhunata. 2007. Putri Cina. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Skinner, William G. ―Golongan Minoritas Tionghoa‖. dalam Tan, Mely G, Ed.
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatu Masalah Pembinaan
Kesatuan Bangsa.1979. Jakarta: LEKNAS – LIPI dan Yayasan Obor
Indonesia.
Supatra, Hendarto. ―Identitas Ketionghoaan dalam Geraja Tionghoa Indonesia‖.
dalam Sabda, Jurnal Kebudayaan. 2009. Semarang: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro.
Suryadinata, Leo. ― Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: dari
Asimilasi ke Multikulturalisme?‖. dalam Antropologi Indonesia. 2003.
Jakarta: Departemen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
Suwondo, Tirto. ― Analisis Struktural: Salah Saru Model Pendekatan dalam
Penelitian Sastra‖. dalam Jabrohim, Ed. Teori Penelitian Sastra. 2012.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tan, Mely G (Ed.). 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Suatu
MasalahPembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: LEKNAS – LIPI dan
Yayasan Obor Indonesia.
Sumber Internet
Darmosumarto, Santo. 2012. ―Istilah Tiongkok, Cina, dan China‖. (online)
http://politik.kompasiana.com/2012/02/24/istilah-tiongkok-cina-dan-china-
442136.html.Diakses 26 Agustus 2013.
90
Hasyim, Herman. 2010. ―Wisnu Nugroho, Sindhunata, dan Humanisme
Transendentral‖. (online) http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/13/wisnu-
nugroho-sindhunata-dan-humanisme-transendental-224839.html.Diakses 20
Agustus 2013.
91
Lampiran A
PROFIL SINGKAT SINDHUNATA
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ atau biasa
dikenal dengan Rama Sindhu dilahirkan pada
tanggal 12 Mei 1952 di Kota Batu, Malang, Jawa
Timur. Tahun 1980 ia menyelesaikan studi di
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Lalu
melanjutkan studinya di Institute Filsafat Teologi
Kentungan Yogyakarta dan menyelesaikan studinya
pada tahun 1983. Setelah itu dia melanjutkan studi doktoralnya di Hochshule fur
Philosophie, Philoshopische Fakultat SJ Munchen Jerman dari 1986 dan selesai
pada tahun 1992.
Karir kepenulisan Sindhunata dimulai dengan menjadi wartawan Majalah
Taruna terbitan PN Balai Pustaka Jakarta pada tahun 1974 sampai 1977. Setelah
itu ia melanjutkan menjadi wartawan Kompas dan aktif menjalankan karir
wartawannya dengan menulis feature tentang kemanusiaan. Ia juga mengisi kolom
tentang sepak bola. Sekarang ia menjadi redaktur majalah Basis Yogyakarta.
Banyak sudah karya yang sudah dihasilkan oleh Sindhunata. Salah satunya
adalah novel Putri Cina yang diangkat oleh penulis menjadi objek penelitian.
Putri Cina merupakan sebuah novel dengan kisah yang sangat menyentuh, enak
dibaca dan sarat akan makna. Selain itu ada juga novel Anak Bajang Menggiring
92
Angin yang banyak diperbincangkan orang karena dianggap sebagai novel yang
klasik. Anak Bajang Menggiring Angin adalah novel yang menceritakan tentang
epos Ramayana. Masih banyak karya-karya lainnya, antara lain, Dilema Usaha
Manusia Rasional, Hoffen auf den Ratu Adil-Das eschatologische Motiv des
“Gerechten Konigs” im Baur auf Java wahrend des 19 und zu Beginn des 20
Jahrhunderts (Menanti Ratu Adil-Motif Eskatologis dari Ratu Adil dalam Protes
Petani di Jawa Abad ke-19 dan Awal ke-20), Sakitnya Melahirkan Demokrasi,
Teori Kambing Hitam Rene Girard, Cikar Bobrok dan Bayang-bayang Ratu Adil,
Air Penghidupan, Semar Mencari Raga, Mata Air Bulan, Tak Enteni Keplokmu
Tanpa Bunga dan Telegram Duka, dan masih banyak lagi. Sindhunata juga aktif
menulis dalam bahasa Jawa seperti Aburing Kupu-kupu Kuning, Nderek Sang
Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi, Sumur Kitiran Kencana, dan Nggayuh
Gesang Tentrem.
93
Lampiran B
KARYA-KARYA SINDHUNATA
94
Lampiran C
SINOPSIS PUTRI CINA
Putri Cina karya Sindhunata pertama kali terbit September 2007. Di dalamnya
berkisah tentang kehidupan yang dilalui oleh Putri Cina. Putri Cina sendiri
dikisahkan sebagai ―manusia yang tidak mempunyai wajah‖. Tidak mempunyai
wajah karena walaupun ia hidup di Jawa, namun ia merasa tidak seperti orang-
orang Jawa lainnya. Ia lebih mirip sebagai orang Cina asli dari negeri Cina. Putri
Cina adalah wakil dari kaumnya yang tidak mempunyai wajah.
Putri Cina mengarungi ruang dan waktu, dari zaman Majapahit sampai
zaman Medang Kamulan Baru (Pedang Kamulan Baru). Di zaman Majapahit ia
adalah istri yang diceraikan oleh raja Majapahit yakni Prabu Brawijaya Kelima.
Saat diceraikan, Prabu Brawijaya menitipkan Putri Cina yang sedang hamil
kepada anaknya dari pernikahan yang lain bernama Arya Damar di Palembang.
Kelak dengan Arya Damar, Putri Cina memiliki dua anak. Anak pertama bernama
Raden Patah dari pernikahannya dengan Prabu Brawijaya dan anak kedua
bernama Raden Kusen dari pernikahan dengan Arya Damar.
Saat dewasa, Raden Patah melarikan diri ke Jawa diikuti oleh adiknya
Raden Kusen. Di Jawa, Raden Patah bertemu dengan Sunan Ngampeldenta dan
kemudian ia memeluk ajaran baru. Setelah memeluk ajaran baru ia mendirikan
sebuah padepokan hingga kemudian berubah menjadi kerajaan bernama Demak.
Dengan didirikannya Demak dan dibawanya sebuah ajaran baru oleh Raden
95
Patah, berarti berakhir pula kejayaan kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh
ayahnya Prabu Brawijaya.
Di zaman Pedang Kamulan Baru, Putri Cina menjelma menjadi Giok Tien.
Giok Tien adalah seorang pemain ketoprak Sekar Kastubo. Sekar Kastubo
menggelar acaranya secara berpidah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dari pertunjukannya yang berpindah-pindah akhirnya Giok Tien bertemu dengan
Setyoko dan Radi Prawiro. Kedua-duanya merupakan prajurit kerajaan yang jatuh
cinta pada Giok Tien. Seiring berjalannya waktu, Giok Tien menjatuhkan
pilihannya pada Setyoko sebagai suaminya. Hal itu dikarenakan Radi Prawiro
menggunakan cara-cara yang licik untuk merebut hati Giok Tien seperti teluh.
Tidak seperti Setyoko yang bersikap jujur.
Kebencian Radi Prawiro karena gagal mendapatkan Giok Tien semakin
besar ketika lama terpisah, kemudian dipertemukan kembali saat menjadi petinggi
kerajaan. Di negeri Pedang Kamulan Baru yang dipimpin Prabu Amurco Sabdo,
Setyoko dianugerahi gelar senapati dan namanya berubah Senapati Gurdo Paksi.
Radi Prawiro mendapat jabatan lebih rendah yakni tumenggung dan namanya
berubah menjadi Tumenggung Joyo Sumengah.
Rasa iri dan benci Tumenggung Joyo Sumengah yang semakin menjadi-
jadi seolah mendapatkan jalan ketika negeri Pedang Kamulan Baru didera
ketidakpercayaan kepada raja. Di tengah rakyat yang semakin miskin, raja malah
sibuk memperkaya diri dan keluarganya. Tidak jarang untuk meredam emosi
rakyat, raja menggunakan kekerasan. Peristiwa ini pun dijadikan Tumenggung
Joyo Sumengah untuk melampiaskan kebenciannya. Ia memanfaatkan tindakan
96
raja yang melampiaskan kebencian rakyat pada orang-orang Cina untuk merebut
hati Giok Tien.
97
Lampiran D
BIODATA PENULIS
Achmad Dwi Afriyadi, lahir di Semarang pada 17
April 1991 dari pasangan Achmad Khaerudin dan
Surti. Ia anak ke dua dari dua bersaudara. Menempuh
pendidikan di SDN Petompon 03 Semarang, SMPN
13 Semarang, dan SMAN 1 Semarang. Setelah lulus
SMA, ia melanjutkan di Universitas Diponegoro
jurusan Sastra Indonesia pada tahun 2009.
Selama menjadi mahasiswa, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Hayamwuruk. Ia pernah menjabat sebagai staff perusahaan dan pemimpin umum.
Dari organisasi tersebut, kecintaannya terhadap baca dan tulis muncul. Tulisannya
berjudul ―Wheatpaste, Tanda dari Seni Jalanan‖, ―Di Balik Kebesaran Cina‖ dan
―Maryani dan Pondok Pesantren Warianya‖ pernah dimuat di majalah
Hayamwuruk. Selain itu, berkat ketekunannya ia menjadi 10 pereview terbaik dari
lomba review berita tempo.co yang diadakan oleh Tempo Institute.