Upload
hoangminh
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik multisistem
dengan ciri hiperglikemik akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya (American Diabetes Association, 2012). Secara garis besar, kondisi
DM dibagi menjadi dua yaitu DM tipe 1 (tergantung insulin) dan DM tipe 2 (tidak
tergantung insulin). Tipe diabetes yang banyak dialami adalah non-insulin
dependent diabetes melitus (NIDDM /tipe 2). Adanya kegagalan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas sehingga menyebabkan defisiensi insulin di tingkat perifer,
resistensi insulin dan peningkatan produksi glukosa di hepar menjadi penyebab
terjadinya diabetes melitus tipe 2 ini. Peningkatan glukosa darah postprandial
merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
penyakit diabetes, dimana dikatakan diabetes jika hasil pemeriksaan kadar
glukosa darahnya 200 mg/dl (11,1 mmol/L) (American Diabetes Association,
2008).
Kondisi resistensi ataupun defisiensi insulin akan memberikan dampak
besar terhadap regulasi glukosa dalam kaitannya dengan translokasi GLUT-4.
Protein GLUT-4 merupakan transporter yang berperan dalam mengangkut
glukosa ke dalam sel otot rangka. Protein GLUT-4 akan ditranslokasikan ke
permukaan membran sel otot rangka setelah adanya rangsangan sinyal dari insulin
yang menempel pada reseptor insulin di otot (Lauritze dan Schetzer, 2010).
Sehingga apabila terjadi resistensi ataupun defisiensi insulin maka translokasi
GLUT-4 ke membran sel untuk mengangkut glukosa ke dalam sel baik di otot
lurik, jaringan adiposa maupun di organ hati akan berkurang sehingga terjadi
peningkatan kadar glukosa darah.
Penatalaksanaan diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non
farmakologis, berupa perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani,
dan penurunan berat badan bila terdapat berat badan lebih atau obesitas. Bila
dengan langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes belum tercapai, maka
dilanjutkan dengan penggunaan obat atau terapi farmakologis dengan pemberian
obat hipoglikemik oral (OHO). Pada kasus tertentu, dokter akan memberikan
injeksi insulin yang harganya cukup mahal. Penggunaan terapi farmakologis baik
dengan OHO maupun injeksi insulin tidak boleh sembarangan. Hal ini
dikhawatirkan apabila penggunaannya tidak terkontrol, penderita dapat
mengalami hipoglikemik sehingga perlu dicari obat alternatif lain yang
diharapkan memiliki efek sama seperti obat antidiabetik, dengan efek samping
yang minimal (Suyono, 2005). Indonesia memiliki banyak tanaman yang
berkhasiat sebagai bahan obat dan telah digunakan secara turun temurun karena
selain efek sampingnya relatif kecil, harganya juga relatif lebih murah. Salah satu
tanaman obat yang memiliki banyak aktivitas adalah Litsea glutinosa (L.
glutinosa).
Kulit batang L. glutinosa memiliki banyak kandungan fitokimia yang
meliputi alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, fenol, tanin, dan saponin.
Ditemukan juga kandungan asam oleat yang dilaporkan memiliki banyak aktivitas
biologi seperti efek hipotensi (Parikh & Rangrez, 2012). Serta fitoestrogen
sebagai agen osteoprotektif (Parikh, 2009). Ekstrak kulit batang L. glutinosa juga
menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri dan antifungi (Hosamath, 2011). L.
glutinosa juga menunjukkan aktivitas antiinflamasi pada tikus yang dibuat udem
dengan kecepatan respon inhibisi sebesar 46%, 35%, dan 43% (Devi dan Meera,
2010).
Sedangkan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik dari L. glutinosa
belum pernah dilakukan tetapi untuk spesies yang lain dari genus Litsea sudah
pernah dilakukan yaitu pada Litsea coreana. Litsea coreana dapat menurunkan
kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan aloksan dan adrenalin
dengan dosis optimal adalah 100 dan 300 mg/kgBB (Lu et al., 2005). Total
flavonoid dari Litsea coreana mampu menurunkan kadar glukosa darah secara
signifikan dengan mekanisme aksi peningkatan sensitivitas insulin melalui
penurunan ekspresi protein tyrosine phosphatase 1B (PTP1B) pada jalur signaling
insulin (Sun, 2010). Hal tersebut didukung dengan penelitian lain dimana
digunakan tikus yang resisten terhadap insulin dan diberikan flavonoid total dari
Litsea coreana, maka terjadi peningkatan sensitivitas insulin pada tikus tersebut
(Lu et al., 2009).
Sehingga dari hasil penelitian-penelitian tersebut mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik dari L. glutinosa karena
antara L. glutinosa dan L. coreana masih dalam satu genus yang sama sehingga
kemungkinan besar memiliki aktivitas yang sama. Pada penelitian ini akan dilihat
pengaruh serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa terhadap kadar glukosa darah
dan translokasi protein GLUT-4 sebagai transporter glukosa.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pemberian serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa dapat
menurunkan kadar glukosa darah postprandial pada tikus diabetes terinduksi
streptozotosin dan nikotinamid ?
2. Apakah pemberian serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa dapat
meningkatkan translokasi protein GLUT-4 pada tikus diabetes terinduksi
streptozotosin dan nikotinamid ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian serbuk kulit batang L. glutinosa
terhadap kadar glukosa darah postprandial pada tikus diabetes terinduksi
streptozotosin dan nikotinamid.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian serbuk kulit batang L. glutinosa
terhadap translokasi protein GLUT-4 pada tikus diabetes terinduksi
streptozotosin dan nikotinamid
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah : memberikan informasi mengenai aktivitas antidiabetik dari
serbuk simplisia kulit batang L. glutinosa dalam menurunkan kadar glukosa
darah postprandial dan peningkatan translokasi protein GLUT-4 pada tikus
terinduksi streptozotosin dan nikotinamid.
2. Manfaat Sosial : sebagai informasi bagi industri farmasi untuk
mengembangkan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik pada L. glutinosa
sehingga bisa menjadi salah satu alternatif pilihan untuk pengobatan diabetes
melitus dari bahan alam.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Litsea glutinosa
Secara taksonomi tanaman L. glutinosa dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Laurales
Family : Lauraceae
Genus : Litsea
Species : Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Rob
Nama lain : Litsea chinensis Lamk, Litsea littoralis (L.) Vill., Tetranthera
laurifolia Jacq., Sebifera glutinosa Lour (Ngernsaengsaruay, 2011).
Nama Indonesia : huru batu, huru beusai, huru tangkulak, adem ati, kapu ketek,
nyampu wingka, nyampoh, wuru beling (Jawa), huru tangkalak, madang kapas
(Sunda).
Litsea merupakan salah satu genus terbesar dari famili Lauraceae dan
merupakan spesies penting dalam komponen hutan tropis. Genus ini memiliki
anggota lebih dari 300 spesies yang sebagian besar berada di Asia. Salah satu
spesies dari genus Litsea adalah L. glutinosa. L. glutinosa merupakan tanaman
berkayu dengan ukuran kecil hingga sedang, memiliki tinggi 4-15 m, dan
diameter mencapai 20-30 cm. Kulit batang halus dan berwarna abu-abu atau
coklat keabu-abuan. Daun tersusun spiral dengan bentuk dan ukuran bervariasi,
tetapi secara umum berbentuk oval atau elips, dengan ukuran panjang 10-20 cm
dan lebar 2,5-5 cm. Daun berwarna hijau atau hijau tua dan berubah menjadi
kuning sebelum gugur. Bunga majemuk berbentuk malai, berwarna putih, tangkai
bunga berukuran hingga 1 cm, ramping, berambut halus lebat pada cabang pendek
yang ramping sepanjang hingga 14 mm. Tangkai putik halus, berbentuk corong,
benang sari berjumlah 10-18, ramping dan berbulu. Buah berbentuk bulat dengan
diameter 0,8-1 cm, berwarna hijau tua dengan bintik berwarna putih, dan akan
berubah menjadi ungu tua hingga hitam saat masak. Permukaan buah L. glutinosa
mengkilat, halus dan saat dibuka biasanya akan berbau aromatik. Akar tunggang
dengan warna coklat muda, batangnya bulat dan lurus (Ngernsaengsaruay, 2011).
Tanaman L. glutinosa tersebar di China, India, Nepal, Bhutan, Sri Lanka,
Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Filipina, Papua Nugini, Maluku, Jawa,
Kalimantan, dan Australia. Habitat dari L. glutinosa sangat luas tetapi paling
banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Tanaman L. glutinosa biasanya berbunga
pada bulan Februari-Juli, sedangan masa berbuahnya pada bulan Juni-November
(Ngernsaengsaruay, 2011). Gambar 1 adalah gambar pohon, bunga dan buah dari
L. glutinosa.
Gambar 1. Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Robinson : A. Pohon; B. Bunga; C. Buah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Parikh & Rangrez (2012) kulit
batang L. glutinosa memiliki banyak kandungan fitokimia yang meliputi alkaloid,
flavonoid, steroid, triterpenoid, fenol, tanin, dan saponin. Senyawa yang
ditemukan dalam fraksi alkaloid L. glutinosa adalah eicosan, pieprizin, piridin,
tetrahidroisokuinolin, krinamin. Sedangkan di dalam subfraksi dari alkaloidnya
mengandung dikloro asetil fenil piperazin, cinnamolaurin, androsta 1, 4 diena
trion, tetrahidroisokuinolin, asam fluorosinamat, krinamin, dihidroandrosteron,
trimetil dodekana, penta dekana, trikosan, hepta dekana.
A
C
B
Kulit batang L. glutinosa memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan
antifungi, dimana L. glutinosa mampu menghambat bakteri gram positif seperti
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermis dan bakteri gram negatif
seperti Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi, dan Escheria coli. Sedangkan
untuk aktivitas antifunginya L. glutinosa mampu menghambat pertumbuhan
Candida albicans dan Aspergillus fumigatus (Haque et al., 2014; Hosamath,
2011).
L. glutinosa juga menunjukkan aktivitas antiinflamasi pada tikus yang
dibuat udem dengan kecepatan respon inhibisi sebesar 46%, 35%, dan 43% (Devi
dan Meera, 2010). Selain itu L. glutinosa juga dilaporkan memiliki aktivitas
sebagai aprodisiaka pada tikus jantan dengan peningkatan ejakulasi (Sukh, 2006).
L. glutinosa (Lour.) C.B. Rob merupakan tanaman yang penting baik dari segi
ekonomi, kesehatan, maupun keperluan konservasi. Tanaman ini termasuk etno-
medical dimana dapat digunakan untuk diare, disentri, rematik, dan antispasmodik
(Haque et al., 2014). Selain itu ekstrak kulit batang L. glutinosa berkhasiat
sebagai analgetik (Lohitha, 2010).
Sedangkan penelitian mengenai aktivitas antidiabetik dari L. glutinosa
belum pernah dilakukan tetapi untuk spesies lain dari genus Litsea sudah pernah
dilakukan yaitu pada Litsea coreana. Litsea coreana dapat menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan aloksan dan adrenalin dengan
dosis optimal adalah 100 dan 300 mg/kgBB (Lu et al., 2005). Total flavonoid dari
Litsea coreana mampu menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan dengan
mekanisme aksi peningkatan sensitivitas insulin melalui penurunan translokasi
protein tyrosine phosphatase 1B (PTP1B) pada jalur signaling insulin (Sun,
2010). Hal tersebut didukung dengan penelitian lain dimana digunakan tikus yang
resisten terhadap insulin dan diberikan flavonoid total dari Litsea coreana, maka
terjadi peningkatan sensitivitas insulin pada tikus tersebut (Lu et al., 2009).
2. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolik multisistem dengan
ciri hiperglikemik akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-
duanya. Kelainan pada sekresi atau kerja insulin tersebut menyebabkan
abnormalitas dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, serta
menyebabkan komplikasi kronik meliputi mikrovaskuler, makrovaskuler, dan
neuropati. Diabetes melitus juga menjadi penyebab terbesar terjadinya kebutaan
pada orang dewasa dengan usia antara 20-74 tahun, dan berkontribusi terhadap
perkembangan penyakit renal pada tahap akhir, serta tindakan amputasi
(American Diabetes Association, 2012).
Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit tidak menular
yang banyak terjadi di dunia. Prevalensi diabetes melitus (DM) di dunia pada
dewasa (usia 20-79 tahun) sebanyak 6,4% atau 285 juta orang pada tahun 2010
dan diprediksi akan meningkat menjadi 7,7% atau 439 juta orang pada tahun 2030
(Shaw et al., 2010). World Health Organization (WHO) telah memprediksi
adanya peningkatan jumlah penderita diabetes yang cukup besar untuk tahun-
tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia
yang mempunyai jumlah penduduk melebihi 200 juta jiwa, sejak awal abad ini
telah menjadi negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak ke-4 di
dunia, setelah Amerika Serikat, India dan China (Suyono, 2005).
Secara garis besar, kondisi DM dibagi menjadi dua yaitu DM tipe 1
(tergantung insulin) dan DM tipe 2 (tidak tergantung insulin). Tipe diabetes yang
banyak dialami adalah DM tipe 2 yaitu sekitar 90% dari seluruh populasi pasien
diabetes sedangkan untuk DM tipe 1 sekitar 5-10%. Selain diabetes tipe 1 dan 2
tersebut terdapat istilah diabetes melitus gestasional yaitu keadaan diabetes atau
intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan dan biasanya berlangsung
hanya sementara atau temporer. Intoleransi glukosa biasanya tidak terjadi hanya
karena satu penyebab yang konsisten saja tetapi karena beberapa penyebab yang
meliputi gangguan genetik terhadap fungsi sel beta, gangguan genetik terhadap
kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena induksi obat atau
zat kimia, infeksi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (American
Diabetes Association, 2012).
Diabetes melitus tipe 1 terjadi karena adanya gangguan autoimun yang
menyebabkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sama sekali. Penderita
diabetes tipe 1 harus mendapatkan suntikan insulin atau dikenal dengan istilah
Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM). Penyebab diabetes melitus tipe 1
adalah infeksi virus atau reaksi autoimun (kelainan pada sistem kekebalan tubuh).
Gangguan autoimun akan menyerang sel β pankreas secara menyeluruh. Dimana
sel β pankreas berfungsi untuk memproduksi insulin, oleh karenanya bila sel β
pankreas rusak, maka tidak tersedia lagi insulin bagi tubuh untuk mengatur kadar
glukosa dalam darah (Hartini, 2009).
Diabetes tipe 2 adalah kondisi dimana hormon insulin dalam tubuh tidak
dapat berfungsi dengan semestinya, dikenal dengan istilah Non-Insulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM). Ditandai dengan adanya resistensi insulin dan
defisiensi sekresi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan penurunan
penggunaan glukosa pada jaringan, adanya peningkatan produksi glukosa di
hepar, dan peningkatan akumulasi glukosa di sirkulasi (darah). Adanya kondisi
hiperglikemik dalam tubuh akan menstimulasi pankreas memproduksi insulin
lebih banyak untuk mencoba mengatasi resistensi insulin. Sehingga terdapat
peningkatan kadar glukosa dan insulin pada kondisi resistensi insulin (American
Diabetes Association, 2012). Diabetes melitus tipe 2 biasanya disebabkan karena
keturunan, gaya hidup yang tidak sehat, kegemukan, kurang olahraga, terlalu
banyak makan makanan dengan gizi yang tidak seimbang (Hartini, 2009).
Pada diabetes melitus tipe 2, insulin masih diproduksi namun insulin tidak
dapat bekerja secara adekuat (resistensi insulin). Sehingga diabetes tipe 2 tidak
mutlak memerlukan suntikan insulin seperti penderita diabetes tipe 1. Obat yang
diberikan pada penderita diabetes melitus tipe 2 adalah obat untuk memperbaiki
kerja insulin dan obat untuk memperbaiki fungsi sel β pankreas dalam
memproduksi insulin. Usaha penurunan berat badan dapat meningkatkan
kepekaan sel terhadap insulin sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk
proses metabolisme (Hartini, 2009). Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami
kerusakan sel-sel β pankreas secara progresif sehingga terjadi defisiensi insulin.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin
(Depkes, 2005).
Diabetes melitus seringkali muncul tanpa gejala. Namun gejala klasik yang
sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil),
polidipsi (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu
sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali
sangat mengganggu (pruritis), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas
(Depkes, 2005). Pada DM tipe 1 gejala klasik di atas sering dikeluhkan pasien
disertai cepat merasa lelah (fatigue) dan juga merasa iritabilitas. Sedangkan pada
DM tipe 2, keluhan umumnya hampir tidak ada dan biasanya penanganan baru
dimulai beberapa tahun setelah penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah
terjadi. Penderita DM tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh
dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes,
2005).
Untuk diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara yaitu:
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma postprandial ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L).
Glukosa plasma postprandial merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa diartikan pasien
tidak mendapat kalori sedikitnya selama 8 jam.
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200
mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO berdasarkan standar dari WHO menggunakan
beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus untuk dewasa dan
1,75 g/kgBB untuk anak-anak yang dilarutkan ke dalam air (Triplitt et al., 2008).
Penatalaksanaan diabetes dapat dibagi menjadi 2, yaitu (Soegondo, 2005) :
1. Pendekatan non farmakologi, yaitu dengan pemberian edukasi, perencanaan
makan atau terapi nutrisi medik, aktivitas fisik atau kegiatan olah raga dan
penurunan berat badan bila didapatkan berat badan lebih atau obesitas.
2. Penatalaksanaan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi. Dilakukan
apabila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum
mampu mencapai sasaran terapi, yaitu glukosa darah darah yang terkontrol
dengan baik, maka dilanjutkan dengan penatalaksanaan terapi medikamentosa
atau intervensi farmakologi, disamping tetap menerapkan pengaturan makan dan
aktivitas fisik yang sesuai.
Terapi farmakologi yang dapat digunakan sebagai terapi DM, yaitu :
1. Obat antidiabetik oral
a. Golongan Sulfonilurea
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin dari pankreas. Sifat perangsangan
ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa karena ternyata pada saat
hiperglikemi gagal merangsang sekresi insulin dalam jumlah yang cukup, obat-
obat tersebut masih mampu merangsang sekresi insulin pada dosis tinggi (Tony
dan Suharto, 2005). Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk menurunkan kadar
glukagon dalam darah, meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan
reseptor, dan menghambat penghancuran insulin oleh hati. Contoh dari obat ini
adalah glibenklamid, glikazid, klorpropamid (Mycek et al., 2001).
b. Glinid
Glinid merupakan obat dengan mekanisme kerja yang sama dengan
sulfonilurea, tetapi utamanya melalui peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid (derivat asam benzoat)
dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Dapat memberikan
aksi yang cepat dengan durasi pendek. Diminum sebelum makan dan dapat
diberikan 3-4x setiap hari. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemik postprandial
(Mycek et al., 2001).
c. Biguanid (Metformin)
Obat pada golongan ini menurunkan kadar glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin di tingkat perifer sehingga mampu
meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan dan menghambat glukoneogenesis.
Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak
mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan (Babar and Skugor,
2009). Contoh obat golongan ini adalah fenformin, buformin, dan metformin.
d. Tiazolidindion
Senyawa ini memperbaiki sensitivitas insulin di antara lain pada jaringan
lemak, otot, dan hepar. Efek protektif terhadap sel β ini kemungkinan dapat
menghindarkan komplikasi mikrovaskuler diabetes jangka panjang (retinopati,
nefropati, dan neuropati). Zat ini merupakan agonis PPAR-gamma sehingga
meningkatkan sensitivitas adiposit bagi insulin (Tjay dan Rahardja, 2002). Contoh
obat golongan ini adalah pioglitazon, rosiglitazon.
e. Golongan Penghambat α – Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase
di dalam saluran cerna sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemik postprandial. Akarbose, senyawa tetra-maltosa dan
miglitol (derivat piperidintriol) merupakan contoh obat golongan ini (Tjay dan
Rahardja, 2002).
2. Obat antidiabetik injeksi
a. Insulin
Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, dan paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin
dapat menurunkan kadar HbA1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak
seperti obat hipoglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maksimal. Terapi
insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al.,
2008). Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan
langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan
didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang
sudah sangat dikenal adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.
Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat
masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya
sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi
energi sebagaimana seharusnya (Depkes, 2005).
Penggunaan insulin pada pasien DM diperlukan pada semua penderita DM
tipe 1, penderita DM tipe 2 apabila terapi lain tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah, keadaan stress berat (infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard, atau stroke), DM gestasional dan penderita DM yang hamil
membutuhkan terapi insulin apabila diet saja tidak mengendalikan kadar glukosa
darah, ketoasidosis diabetik, hiperglikemik berat yang disertai ketosis,
ketoasidosis diabetik, hiperglikemik hiperosmolar non ketotik, hiperglikemik
dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, gangguan
fungsi ginjal atau hati yang berat, dan kontraindikasi dan/atau alergi terhadap
OHO (Depkes, 2005).
3. Streptozotosin (STZ)
Streptozotosin memiliki rumus kimia (2-deoxy-2(3-(methyl-3-
nitrosoureido)-D-glucopyranose)) disintesis oleh Streptomycetes acrhomogenes
dan digunakan dalam penelitian untuk induksi baik diabetes melitus tergantung
insulin (tipe 1) maupun diabetes melitus tidak tergantung insulin (tipe 2). Untuk
menginduksi diabetes melitus tipe 1 dapat dilakukan dengan pemberian berulang
STZ dosis rendah, sehingga terjadi kondisi diabetes tipe 1 karena aktivasi
mekanisme imun tubuh. Sedangkan untuk induksi diabetes tipe 2 dapat dilakukan
dengan pemberian STZ dosis tinggi (≥40 mg/kgBB) secara tunggal (Szkudelski,
2001).
STZ pertama kali ditemukan oleh Vavra dkk pada tahun 1960. STZ
merupakan suatu antibiotik antineuplastik dari kelompok nitrosurea, yang artinya
kelompok senyawa larut lemak yang memiliki fungsi sebagai agen pengalkilasi.
Pada awalnya STZ digunakan sebagai antibakteri serta tumor, tetapi kemudian
diketahui bahwa STZ memiliki efek diabetik yang efektif. STZ terdiri dari 1-
metil-1-nitrosurea yang terikat pada C2 dari D-glukosa dan memiliki berat
molekul 26,5, tidak berwarna, mengalami dekomposisi pada suhu 115 ºC
membentuk gas, larut dalam air, dan berbentuk padat. Tidak stabil pada suhu
kamar, oleh karena itu harus disimpan pada suhu dibawah 20 ºC, bersifat stabil
dalam larutan pH 4 dan temperatur yang rendah (Nurdiana dkk, 1998).
Di dalam sel, STZ serupa dengan glukosa yang diangkut oleh protein
pengangkut glukosa yaitu glucose transporter (GLUT-2) dan menyebabkan
alkilasi DNA. Pengalkilasian tersebut menyebabkan rantai DNA ribosa putus dan
terjadi kerusakan DNA. Kerusakan DNA akan memicu produksi enzim poli
(ADP-ribosa) sintase, yaitu enzim yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan
DNA. Enzim ini memerlukan NAD (Nicotinamida Adenine Dinucleotida) sebagai
substratnya, sehingga kandungan NAD dalam sel menurun. Berkurangnya NAD
seluler akan menyebabkan penurunan jumlah ATP karena di dalam pembentukan
ATP diperlukan NAD, sehingga sintesis dan sekresi insulin dapat terhambat yang
menyebabkan hiperglikemik. STZ berperan pula sebagai donor NO yang mampu
meningkatkan spesies oksigen reaktif (ROS) diantaranya radikal superoksida (O2-
), radikal hidroksil (OH), dan hidrogen peroksida (H2O2). Aksi sinergis NO dan
ROS berperan dalam terjadinya fragmentasi DNA. NO dan ROS dapat
membentuk peroksinitrit yang dapat menyebabkan kerusakan DNA pada sel beta
pankreas. Kondisi ini selanjutnya memicu tejadinya hiperglikemik (Szkudelski,
2001).
4. Nikotinamid
Nikotinamid merupakan turunan amida dari asam nikotinat, yang selama
empat puluh tahun terakhir telah diberikan pada dosis tinggi untuk berbagai
aplikasi terapi. Dan saat ini dalam tahap uji coba untuk digunakan sebagai sarana
potensial mencegah terjadinya diabetes melitus tipe 1 (insulin- dependent) pada
individu dengan resiko tinggi (Knip et al., 2000). Nikotinamid atau vitamin B3
mampu mencegah atau menghambat terjadinya penyakit diabetes defisiensi
insulin dengan melindungi sel islet dari sitotoksik yang akan menyerang. Pada
awal terjadinya diabetes melitus tipe 1 pemberian nikotinamid mampu
meningkatkan fungsi dari sel beta pankreas (Kolb, 1999).
Pada penelitian terkait diabetes, nikotinamid berfungsi sebagai antioksidan
dengan mengkonsumsi radikal bebas sehingga dapat membatasi kerusakan DNA
pada sel beta pankreas. Kemungkinan besar mekanisme aksi nikotinamid secara in
vivo adalah dengan target utama poly(ADP-ribose)polymerase (PARP) dan
(mono) ADP-ribosyl transferases (ADPRTs). Supresi dari PARP oleh nikotinamid
dapat mengurangi konsumsi dari NAD+ (substrat dari PARP) (Kolb, 1999).
Seperti yang telah diketahui, aktivitas dari PARP adalah mengatur tahap awal
apoptosis. Dosis tinggi nikotinamid utamanya mempengaruhi reaksi ADP-
ribosilasi di sel beta sepeti pada sel imun dan endotelium. Sebagai hasilnya, jalur
kematian sel dan translokasi gen berubah, sehingga dapat meningkatkan
ketahanan sel beta dan mengembalikan keseimbangan imunoreglukosasi (Kolb,
1999).
5. Transporter GLUT-4
Membran sel yang berstruktur lipid bilayer akan menyebabkan sifat
impermeable pada molekul karbohidrat. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem
transport untuk mengangkut glukosa. Glukosa dapat masuk ke dalam sel melalui
difusi terfasilitasi yang membutuhkan ATP, yakni melalui Glukosa Transporter
(GLUT). GLUT-4 merupakan salah satu dari 14 tipe GLUT, dimana pada masing-
masing tipe memiliki spesifisitas terhadap substrat, profil kinetk, dan distribusi
pada jaringan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, sel otak memiliki GLUT-1
sehingga sel tersebut mampu memasukkan glukosa ke dalam sel dalam
konsentrasi yang rendah dari darah tanpa membutuhkan insulin. Sementara itu
GLUT-4 terdapat pada sel adiposa dan sel otot membutuhkan insulin dan
konsentrasi glukosa yang tinggi. PI 3-kinase merupakan protein yang penting
dalam translokasi GLUT-4 ke membran sel pada sel otot dan adiposa (Leto &
Saltiel, 2012; Wilcox, 2005).
Protein GLUT-4 merupakan protein transporter yang berperan dalam
mengangkut glukosa ke dalam sel otot rangka. Protein GLUT-4 akan
ditranslokasikan ke permukaan membran sel otot rangka setelah adanya
rangsangan sinyal dari insulin yang menempel pada reseptor insulin di otot. Otot
rangka merupakan otot lurik yang paling besar masanya dibandingkan jenis otot
lain (40-60% dari masa tubuh manusia). Otot rangka merupakan tempat
penyimpanan sekaligus tempat pengubahan glukosa yang paling dominan setelah
organ hati. Pada otot rangka terdapat dua protein transporter glukosa, yaitu
GLUT-1 dan GLUT-4. Protein GLUT-4 merupakan transporter glukosa yang
terlibat dengan rangsangan insulin dalam menurunkan kadar glukosa darah. Pada
saat rangsangan insulin terjadi translokasi GLUT-4 sebanyak 400 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan GLUT-1. Kondisi resisten insulin memberikan dampak besar
terhadap reglukosasi glukosa dalam kaitannya dengan translokasi GLUT-4
(Lauritze dan Schetzer, 2010).
GLUT-4 adalah transporter glukosa utama dan terletak terutama pada sel
otot dan sel lemak. Konsentrasi glukosa fisiologis adalah 36-179 mg per desiliter
(2 sampai 10 mmol per liter). Pentingnya GLUT-4 dalam homeostasis glukosa
ditunjukkan melalui penelitian pada tikus di mana satu alel dari GLUT-4 gen
diganggu. Tikus-tikus ini mengalami pengurangan 50 persen konsentrasi GLUT-4
pada otot rangka, jantung, dan sel lemak, dan mereka mengalami resistensi insulin
berat, diabetes berkembang pada setidaknya setengah tikus jantan (Sheperd et al.,
1999). Pada sel otot dan sel lemak normal, GLUT-4 didaur ulang antara membran
plasma dan vesikel penyimpanan intraseluler. GLUT-4 berbeda dari transporter
glukosa lain, yaitu sekitar 90 persen terletak di intrasel saat kondisi tidak ada
rangsangan insulin atau rangsangan lain seperti olahraga (Sheperd et al., 1999).
Dengan adanya insulin atau stimulus lain, keseimbangan dari proses daur ulang
ini diubah untuk mendukung translokasi GLUT-4 dari vesikel penyimpanan
intraseluler ke arah membran plasma, dan juga ke tubulus transversa pada sel otot.
Efek bersihnya adalah peningkatan kecepatan maksimal transpor glukosa ke
dalam sel (Sheperd et al., 1999 ; Shulman, 2000).
Insulin memiliki peran dalam berbagai metabolisme pada jaringan target
misalnya regulasi transportasi glukosa dan metabolisme glukosa dimulai dengan
terjadi ikatan terlebih dahulu antara insulin dengan bagian ekstraseluler dari IRS
(Insulin Receptor Substrate) reseptor insulin transmembran spesifik. Ikatan
tersebut dapat mengaktivasi fosforilasi tirosin kinase pada bagian intraseluler dari
reseptor. Selanjutnya akan mengaktivasi IP3 Kinase (Inositol-3-Phospat Kinase)
dan berakhir dengan pembentukan dan aktivasi glucose transporter (GLUT-4).
Kemudian GLUT-4 di sitoplasma ditranslokasi ke membran sel sehingga
menstimulasi translokasi atau transport glukosa plasma masuk dari ekstrasel ke
intrasel melalui transporter glukosa (GLUT-4). Konversi glukosa menjadi
glucose-6-phosphate (G-6-P) terjadi karena bantuan enzim heksokinase IV (lebih
dikenal dengan glukokinase). Dalam sel, G-6-P digunakan untuk metabolisme
atau disimpan sebagai glikogen atau trigliserida (Kasuga, 2006; Shulman, 2000).
F. Landasan Teori
L. glutinosa (Lour.) C.B. Robinson merupakan tanaman yang penting baik
dari segi ekonomi, maupun kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Parikh & Rangrez (2012) kulit batang L. glutinosa memiliki banyak
kandungan fitokimia yang meliputi alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid, tanin,
dan saponin. Aktivitas antidiabetik pada tanaman biasanya terkait dengan
kandungan senyawa fenoliknya, salah satunya adalah flavonoid. Flavonoid
merupakan senyawa alam yang dapat berperan sebagai antioksidan atau peredam
radikal bebas. Antioksidan bekerja dengan menghentikan pembentukan radikal
bebas pada penderita diabetes melitus dan memperbaiki kerusakan-kerusakan
yang telah terjadi dalam tubuh terutama kerusakan pada sel beta pankreas.
Sehingga produksi insulin oleh sel beta pankreas dapat meningkat dan terjadilah
penurunan kadar glukosa darah.
Penelitian mengenai aktivitas antidiabetik pada L. glutinosa belum pernah
dilakukan tetapi untuk spesies lain dari genus Litsea sudah pernah dilakukan yaitu
pada Litsea coreana. Litsea coreana dapat menurunkan kadar glukosa darah pada
tikus yang diinduksi dengan aloksan dan adrenalin dengan dosis optimal adalah
100 dan 300 mg/kgBB (Lu et al., 2005). Total flavonoid dari Litsea coreana
mampu menurunkan kadar glukosa darah secara signifikan dengan mekanisme
aksi peningkatan sensitivitas insulin yang melalui penurunan translokasi protein
tyrosine phosphatase 1B (PTP1B) pada jalur signaling insulin (Sun, 2010). Hal
tersebut didukung dengan penelitian lain dimana digunakan tikus yang resisten
terhadap insulin dan diberikan total flavonoid dari L. coreana, maka terjadi
peningkatan sensitivitas insulin pada tikus tersebut (Lu et al., 2009).
L. coreana dan L. glutinosa merupakan tanaman yang berada dalam genus
yang sama yaitu Litsea, dan keduanya sama-sama memiliki kandungan flavonoid.
Sehingga sangat dimungkinkan bahwa L. glutinosa juga memiliki aktivitas
antidiabetik (mampu menurunkan kadar glukosa darah) seperti halnya pada L.
coreana.
G. Hipotesis
1. Serbuk kulit batang L. glutinosa mampu menurunkan kadar glukosa darah
postprandial pada tikus diabetes terinduksi streptozotosin dan nikotinamid.
2. Serbuk kulit batang L. glutinosa mampu meningkatkan translokasi protein
GLUT-4 pada jaringan otot tikus diabetes terinduksi streptozotosin dan
nikotinamid.