Upload
phamthu
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan bisa lepas dari interaksi
sosial. Salah satu cara untuk berinteraksi sosial adalah dengan berkomunikasi.
Dengan begitu, manusia membutuhkan sebuah bahasa untuk berkomunikasi agar
maksud, ide, dan gagasan yang ada dalam dirinya bisa disampaikan kepada orang
lain, sehingga orang lain bisa memahami maksud, ide, dan gagasannya. Menurut
Chaer (2010: 14) dalam kajian linguistik umum, bahasa didefinisikan sebuah
sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, yang digunakan manusia sebagai alat
komunikasi atau alat interaksi dalam suatu tuturan.
Untuk berinteraksi sosial dengan berkomunikasi, manusia membutuhkan
sebuah tuturan. Tuturan sangat penting untuk berinteraksi sosial, karena tuturan
menghubungkan penutur dan mitra tutur agar maksud dan tujuan antara keduanya
bisa tersampaikan. Oleh karena itu, dalam mengutarakan sebuah tuturan
dibutuhkan kesopanan untuk menjaga agar hubungan antara penutur dengan mitra
tutur bisa berjalan dengan baik. Kesopanan pada umumnya berkaitan dengan
hubungan antara dua peserta tutur, yaitu diri sendiri dan orang lain, diri sendiri
adalah penutur dan orang lain adalah mitra tutur (Wijana, 1996: 55). Untuk
berkomunikasi dengan sopan, tuturan seseorang harus memenuhi kaidah atau
yang selanjutnya disebut dengan maksim-maksim sopan santun. Maksim-maksim
sopan santun tersebut menganjurkan agar sebuah kalimat diungkapkan dengan
2
sopan, dengan kata lain apabila sebuah kalimat melanggar maksim tersebut, maka
kalimat tersebut dikatakan tidak sopan (Leech, 1993: 207)
Tidak hanya tuturan lisan, tuturan dalam sebuah karya sastra pun juga
mengandung prinsip kesopanan. Misalnya dalam sebuah karya sastra naskah
drama, di dalamnya terdapat tuturan-tuturan antar tokoh yang mengandung prinsip
kesopanan. Hal tersebut dikarenakan sebuah karya sastra merupakan tiruan
terhadap kenyataan hidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang terhadap
kenyataan kehidupan (Winarni, 2014: 2). Sastra dalam bahasa Arab disebut adab
yang juga bisa diartikan etika atau sopan santun. Artinya, adab mencakup seluruh
aspek ilmu tata cara kita bersopan santun, dangan begitu sastra merupakan ilmu
yang sangat luas (Kamil, 2009: 3). Begitu juga dengan naskah drama Al-Fallāḥu
Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr yang di dalamnya terdapat tuturan yang
mengandung prinsip kesopanan.
Naskah drama tersebut bercerita tentang seorang petani yang pandai
berbicara bernama Khanūm. Di awal cerita, Khanūm difitnah oleh Ranzā yang
merupakan seorang menteri di sebuah kerajaan. Ketika disidang oleh raja dari
kerajaan tersebut, Khanūm bisa menjawab dan membela diri dengan bahasa yang
bagus dan puitis. Raja yang mengagumi sebuah seni, akhirnya meminta Khanūm
untuk tinggal di kerajaan tersebut. Singkat cerita, Khanūm berperan penting dalam
mengungkap rencana jahat Ranzā bersama istrinya yang bernama Ilma untuk
menguasai kerajaan. Dia bekerjasama dengan Ratu mengungkap dan membuat
Raja percaya tentang pemberontakan tersebut. Di akhir cerita, Khanūm mampu
mengatasi masa pemberontak yang berdemo di depan kerajaan.
3
Jika sebuah prinsip kesopanan dilanggar, maka akan menimbulkan
konflik. Berikut ini merupakan contoh tuturan yang melanggar prinsip kesopanan
yang terdapat dalam naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad
Bākaṡīr.
.دون . دون ( للمسجل : ) امللك
.دون . دون ( يقلده : ) خنوم
كيف جترؤ أن تقول هذا ىف موالنا امللك ؟. أيها الفالح الوقح : رنزى
(Bākaṡīr: 1966: 18)
/Al-Maliku : (Lilmusajjili) Dawwin. Dawwin./
/Khanūm : (Yuqalliduhu) Dawwin. Dawwin./
/Ranzā : Ayyuhā al-fallaḥu al-waqiḥu. Kaifa tajra‘u an taqūla hāżā
fī maulāna al-maliku?/
Al-Maliku : (Kepada pencatat) “Catat. Catat.”
Khanūm : (Menirukannya) “Catat. Catat.”
Ranzā : “Wahai petani yang tidak sopan. Bagaimana engkau
berani mengatakannya kepada Yang Mulia Raja?”
Kutipan percakapan tersebut terjadi ketika raja menyuruh pencatat untuk
mencatat perkataan Khanūm dalam peristiwa perdebatan antara Khanūm dengan
Ranzā. Dalam percakapan tersebut Khanūm telah berlaku tidak sopan, ketika dia
tampak mengejek raja dengan menirukan perkataan raja. Khanūm telah melanggar
maksim pujian yang memiliki prinsip meminimalkan kecaman terhadap orang lain
dan memaksimalkan pujian terhadap orang lain (Leech, 1993: 207). Perlakuan
tidak sopan Khanūm mendapat tanggapan dari Ranzā, yang mengatakan bahwa
Khanūm adalah petani yang tidak sopan, karena berani mengatakan hal tersebut
4
kepada raja. Untuk menghindari konflik tersebut, seharusnya Khanūm tidak
melanggar maksim pujian.
Sekarang masih belum banyak penelitian mengenai kesopanan bahasa,
apalagi kesopanan tuturan dalam Bahasa Arab. Untuk itu perlu dibahas tentang
bentuk-bentuk kesopanan tuturan pada naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya
‘Ali Aḥmad Bākaṡīr.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk kesopanan tuturan pada
naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dikemukakan oleh penulis adalah untuk
mengidentifikasi dan membahas bentuk-bentuk kesopanan tuturan pada naskah
drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr.
1.3 Tinjauan Pustaka
Salam (2007) meneliti kesantunan kalimat perintah bahasa Arab dalam
skripsinya yang berjudul “Kesantunan Kalimat Perintah (Imperatif) dalam Novel
“An-Nidā’u Al-Khālidu” karya Najīb al-Kailānī (Analisis Sosiolinguistik)”.
Skripsi tersebut membahas tentang kesantunan kalimat perintah dengan analisis
sosiolinguistik. Hal-hal yang dibahas dalam skripsi tersebut adalah bentuk
kesantunan, tingkat kesantunan, serta fungsi kesantunan kalimat perintah dalam
Novel “An-Nidā’u Al-Khālidu” karya Najīb al-Kailānī.
5
Alfitra (2012) meneliti prinsip kesopanan dalam skripsinya yang berjudul
“Prinsip Kesopanan pada Cerita Pendek “Al-Garīb” dan “Al-Jabābirah” dalam
Antologi Al-Kābūs karya Najib Al-Kailāni: Analisis Pragmatik”. Di dalam skripsi
ini, dibahas tentang jenis-jenis prinsip kesopanan serta jenis-jenis pelanggaran
prinsip kesopanan pada tuturan-tuturan dalam cerita pendek “Al-Garīb” dan “Al-
Jabābirah” dalam antologi Al-Kābūs karya Najib Al-Kailāni. Hasil yang didapat
dari penelitian tersebut adalah di dalam cerita pendek tersebut banyak ditemukan
tuturan yang sesuai dengan prinsip kesopanan.
Ramadhani (2013) meneliti prinsip kesopanan dalam naskah drama karya
‘Ali Aḥmad Bākaṡīr dalam skripsinya yang berjudul “Prinsip Kesopanan dalam
Naskah Drama Imbirāṭūriyyatun Fi Al-Mazād Karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr:
Tinjauan Pragmatik”. Dalam skripsi tersebut diteliti prinsip-prinsip kesopanan
yang ada di dalam naskah drama. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut
adalah terdapat enam macam maksim kesopanan.
Rianto (2016) meneliti prinsip kesopanan dalam naskah drama karya
Nawāl As-Sa‘dāwī dalam skripsinya yang berjudul “Prinsip Kesopanan dalam
Naskah Drama Al-Hākim Bi `Amri Allāh Karya Nawāl As-Sa‘dāwī: Analisis
Pragmatik”. Dalam skripsi tersebut diteliti prinsip-prinsip kesopanan yang ada di
dalam naskah drama. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut adalah terdapat
enam macam maksim kesopanan.
Sementara itu penelitian mengenai kesopanan tuturan pada naskah drama
Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr dengan menggunakan analisis
6
pragmatik belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itulah, peneliti akan
melakukan penelitian tersebut.
1.4 Landasan Teori
A. Pragmatik
Semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang
menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna
secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Makna
yang ditelaah oleh semantik adalah makna bebas konteks, sedangkan makna yang
dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks (Wijana, 1996 : 2).
Leech (1993) mengatakan bahwa secara praktis, pragmatik dapat
didefinisikan sebagai study mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu.
Pragmatik bersifat komplementer, yang berarti studi tentang penggunaan bahasa
dilakukan baik sebagai bagian terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai
bagian yang melengkapinya. Tata bahasa (dalam arti seluas-luasnya) harus
dipisahkan dari bidang pragmatik.
Yule (1996:4) mengatakan bahwa pragmatik memiliki beberapa topik
pembahasan, yaitu: teori tindak tutur, prinsip kerjasama, implikatur percakapan,
teori relevansi, dan prinsip kesopanan. Di dalam penelitian ini akan dibahas
mengenai prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan merupakan bagian dari tindak
tutur. Untuk itu, dalam penelitian ini akan sedikit dibahas tentang tindak tutur.
7
B. Tindak Tutur
Tindak tutur adalah suatu kegiatan di mana para peserta (penutur dan
lawan tutur) berinteraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk
mencapai suatu hasil (Yule, 1996:99).
Wijana (1996, 17) menyebutkan bahwa menurut Searle secara pragmatis,
ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak
lokusi (locutinary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur
ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Kalimat atau tuturan dalam hal
ini dipandang sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari satu satuan yang terdiri dari
subyek dan predikat. Tindak tutur ini adalah tindak tutur yang paling mudah untuk
diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya dapat dilakukan tanpa
menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Wijana, 1996: 17-
18).
Untuk lebih jelasnya, Wijana memberikan contoh berikut:
(1) Ikan paus adalah binatang menyusui.
(2) Jari tangan jumlahnya lima.
Dari kedua contoh di atas dapat dilihat penutur mengutarakan tuturannya
semata-mata hanya untuk memberikan informasi kepada mitra tuturnya. Tuturan
tersebut diutarakan tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk
mempengaruhi lawan tuturnya.
8
Tindak ilokusi merupakan tindak tutur untuk melakukan sesuatu. Tindak
tutur ini disebut juga The Act of Doing Something (Wijana, 1996:18).
Untuk lebih jelasnya, Wijana memberikan contoh berikut:
(3) Ujian sudah dekat
(4) Rambutmu sudah panjang
Kalimat (3) bila diutarakan oleh seorang guru kepada muridnya, berfungsi
untuk memberikan peringatan kepada lawan tuturnya (murid) untuk
mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian. Kalimat (4) bila diutarakan oleh
seorang ibu kepada anaknya, berfungsi untuk menyuruh / memerintah lawan
tuturnya (anaknya) untuk segera memotong rambutnya. Dari kedua contoh
tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak lokusi sangat sukar diidentifikasi karena
terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan
dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian, tindak
ilokusi merupakan bagian terpenting untuk memahami tindak tutur (Wijana, 1996:
19)
Tindak Perlokusi merupakan tindak tutur untuk mempengaruhi lawan
tutur. Tindak Tutur ini disebut juga sebagai The Act of Affecting Someone. Tindak
tutur ini mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) bagi lawan tutur
(pendengarnya). Pengaruh tersebut dapat secara sengaja atau tidak sengaja
dikreasikan oleh penuturnya (Wijana, 1996:19).
Untuk lebih jelasnya, Wijana memberikan contoh berikut:
(5) Rumahnya jauh.
9
(6) Kemarin saya sangat sibuk
Kalimat (5) bila diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan,
perlokusi yang diharapkan adalah lawan tuturnya (ketua perkumpulan) tidak
memberikan tugas yang terlalu banyak karena rumahnya yang jauh. Kalimat (6)
bila diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan kepada
orang yang sudah mengundangnya, perlokusi yang diharapkan adalah lawan
tuturnya (orang yang mengundang) bisa memaklumi ketidakhadirannya.
C. Prinsip Kesopanan
Di dalam pragmatik, ujaran-ujaran prinsip kesopanan diekspresikan
dengan tindak ilokusi yang memiliki beberapa bentuk ujaran, yaitu: ujaran
impositif, komisif, ekspresif, dan asertif (Wijana, 1996:55; Nadar, 2009:30)
(a) Impositif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk menimbulkan efek
melalui tindakan penyimak. Contohnya: memesan, memerintahkan,
memohon, meminta, menyarankan, menyuruh, menganjurkan, dan
menasehatkan.
(b) Komisif adalah tindak tutur yang melibatkan pembicara pada beberapa
tindakan yang akan datang, misalnya menjanjikan, bersumpah,
menawarkan dan memanjatkan doa.
(c) Ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengekspresikan,
mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis sang
pembicara. Contohnya: mengucapkan selamat, mengucapkan terima
kasih, memuji, mengungkapkan bela sungkawa, dan lain sebagainya.
10
(d) Asertif adalah tindak tutur yang berfungi untuk menyatakan
kebenaran proposisi yang diungkapkan. Contohnya: menyatakan,
mengeluh, menyarankan, melaporkan, dan lain sebagainya.
Di dalam bukunya yang berjudul “Prinsip-Prinsip Pragmatik”, (Leech,
1993: 206) menjelaskan prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan memiliki 6
maksim, yaitu:
a. Maksim Kearifan (Tact Maxim)
Gagasan dasar maksim kearifan dalam prinsip kesantunan adalah penutur
harus meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan mitra tutur.
Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan
dapat dikatakan sebagai orang santun. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan
impositif atau tuturan komisif. Leech (1993: 209) mencontohkan tuturan (1) dan
(2) berikut memiliki tingkat kesopanan yang bebeda.
(1) Kamu harus datang dan makan malam di rumah kami.
(2) Kami harus datang dan makan malam di tempatmu.
Tuturan (2) tersebut tidak sopan karena penutur tampak berusaha
memaksimalkan kerugian mitra tutur dan meminimalkan keuntungan mitra
tuturnya. Sementara tuturan (1) lebih sopan karena dalam tuturan tersebut penutur
berusaha untuk memaksimalkan keuntungan mitra tutur dan meminimalkan
kerugian mitra tutur.
11
b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Gagasan dasar maksim kedermawanan dalam prinsip kesantunan adalah
penutur harus meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan
kerugian diri sendiri. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan
tuturan komisif. Wijana (1996: 57) mencontohkan tuturan (3) dan (4) berikut
memiliki tingkat kesopanan yang berbeda.
(3) Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang.
(4) Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
Dalam contoh di atas, bisa dilihat bahwa tuturan (3) tidak sopan karena
penutur berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan
kerugian diri sendiri, sementara tuturan (4) lebih sopan karena penutur berusaha
meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri.
c. Maksim Pujian (Approbation Maxim)
Gagasan dasar maksim pujian dalam prinsip kesantunan adalah penutur
harus meminimalkan kecaman dan memaksimalkan pujian terhadap mitra tutur.
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan ekspresif atau tuturan asertif. Wijana
(1996: 58) mencontohkan tuturan (5) dan (6) berikut memiliki tingkat kesopanan
yang bebeda.
(5) Masakanmu sungguh enak.
(6) Masakanmu tidak enak.
12
Dari contoh di atas, bisa dilihat bahwa tuturan (5) sopan karena penutur
berusaha memaksimalkan pujian terhadap mitra tutur, sementara tuturan (6) tidak
sopan karena penutur memaksimalkan kecaman terhadap mitra tuturnya.
Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta tutur bisa saling memuji satu
dengan yang lainnya. Bukan saling mengecam satu dengan yang lainnya.
d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Gagasan dasar maksim kerendahan hati dalam prinsip kesantunan adalah
penutur harus meminimalkan pujian dan memaksimalkan kecaman terhadap diri
sendiri. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan ekspresif atau tuturan asertif.
Wijana (1996: 59) mencontohkan tuturan (7) dan (8) berikut memiliki tingkat
kesopanan yang bebeda.
(7) a. Kau sangat pandai.
b. Ya, saya memang pandai
(8) a. Kau sangat pandai
b. Ah tidak, biasa-biasa saja. Itu hanya kebetulan.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa tuturan (7) b. tidak sopan karena
dalam menanggapi pujian dalam tuturan (7) a. penutur tampak memaksimalkan
pujian terhadap dirinya sendiri dan meminimalkan kecaman terhadap dirinya
sendiri. Sementara tuturan (8) b. Lebih sopan karena dalam menanggapi pujian
dalam tuturan (8) a. penutur tampak meminimalkan pujian terhadap dirinya
sendiri.
13
e. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)
Gagasan dasar maksim kesepakatan dalam prinsip kesantunan adalah para
peserta tutur harus meminimalkan ketidaksepakatan dan memaksimalkan
kesepakatan di antara para peserta tutur. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan
asertif. Wijana (1996: 60) mencontohkan tuturan (9) dan (10) berikut memiliki
tingkat kesopanan yang bebeda.
(9) a. Bahasa Inggris sukar, ya?
b. Ya
(10) a. Bahasa Inggris sukar, ya?
b. (Siapa bilang), mudah (sekali).
Tuturan (9) b. dikatakan sopan karena tampak memaksimalkan
kesepakatannya dengan tuturan (9) a. Sementara tuturan (10) b. dikatakan tidak
sopan karena tampak memaksimalkan ketidaksepakatannya dengan tuturan (10)a.
f. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
Gagasan dasar maksim simpati dalam prinsip kesantunan adalah penutur
harus meminimalkan rasa dan memaksimalkan rasa simpati antara diri sendiri
dengan mitra tutur. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif. Wijana
(1996: 61) mencontohkan tuturan (11) dan (12) berikut memiliki tingkat
kesopanan yang bebeda.
(11) a. Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.
b. Oh, aku turut berduka cita.
14
(12) a. Aku gagal di UMPTN.
b. Wah, pintar kamu. Selamat, ya!
Tuturan (11) b. dikatakan sopan karena tampak memaksimalkan rasa
simpati dalam menanggapi tuturan (11) a. Sementara tuturan (12) b. dikatakan
tidak sopan karena tampak memaksimalkan rasa antipati dalam menanggapi
tuturan (12) a.
1.5 Metode Penelitian
Menurut Mahsun (2012: 223), untuk pelaksanaan kajian bahasa yang
berhubungan dengan masalah pemakaian bahasa tahapan yang dilalui sama
dengan tahapan yang dilalui dalam kajian bahasa secara sinkronis dan diakronis,
yaitu melalui tahapan penyediaan data, analisis data, sampai pada tahapan
penyajian hasil analisis data.
a. Penyediaan Data
Untuk menyediakan data dalam penelitian ini, digunakan teknik catat.
Mahsun (2012) mengatakan apabila peneliti berhadapan dengan penggunaan
bahasa secara tertulis, peneliti hanya dapat menggunakan teknik catat untuk
menyediakan data, yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi
penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis tersebut. Di dalam penelitian
ini, dilakukan dengan cara membaca naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya
‘Ali Aḥmad Bākaṡīr secara berulang-ulang kemudian mencatat data tuturan
naskah drama yang memenuhi kaidah kesopanan.
15
b. Analisis Data
Dalam analisis ini, peneliti menggunakan metode padan ekstralingual, di
mana metode ini digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual,
seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa
(Mahsun, 2012:120). Hal-hal yang berada di luar bahasa tersebut adalah penutur
dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tindak ujar,
tuturan, serta waktu dan tempat ketika tuturan tersebut dihasilkan (Leech, 2011:
21)
Analisis data dengan menggunakan metode padan ekstralingual ini
bertujuan untuk mendeskripsikan kesopanan tuturan pada naskah drama Al-
Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr. Yaitu dengan cara menghubungkan
tuturan dengan kaidah kesopanan dan hal-hal yang berada di luar bahasa yang
mempengaruhi tuturan tersebut (Mahsun, 2010: 120).
c. Penyajian Data
Hasil analisis data penelitian kesopanan tuturan pada naskah drama Al-
Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr ini disajikan secara informal. Yaitu
merumuskan hasil temuan penelitian yang berupa wujud kesopanan dengan kata-
kata biasa (Mahsun, 2012: 123).
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bab. Bab I
terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika
16
penulisan, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II berisi analisis pragmatik
jenis-jenis kesopanan tuturan pada naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali
Aḥmad Bākaṡīr dan bab III berisi kesimpulan.
1.7 Pedoman Transliterasi
Penulisan transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pedoman transliterasi yang berdasarkan atas keputusan bersama Menteri
Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan
no. 0543 b/u/1987.
a. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan
dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain
dengan huruf dan tanda sekaligus.
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alīf tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا
Bā B Be ب
Tā T Te ت
Śā S| es (dengan titik di atas) ث
Jīm J Je ج
}Hā H حha (dengan titik di
bawah)
Khā Kh ka dan ha خ
Dāl D De د
Żāl Z| zet (dengan titik di atas) ذ
17
Rā R Er ر
Zai Z Zet ز
Sīn S Es س
Syīn Sy es dan ye ش
}Sād S صes (dengan titik di
bawah)
}Dād D ضde (dengan titik di
bawah)
}Tā T طte (dengan titik di
bawah)
}Zā Z ظzet (dengan titik di
bawah)
ain ‘_ koma terbalik (di atas)‘ ع
Gain G Ge غ
Fā F Ef ف
Qāf Q Ki ق
Kāf K Ka ك
Lām L El ل
Mīm M Em م
Nūn N En ن
Wāwu W We و
Hā H Ha ه
Hamzah `_ Apostrof ء
Yā Y Ye ي
18
b. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
I. Vokal tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut.
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dammah U U
Contoh:
kataba ك ت ب
zukira ذ ك ر
II. Vokal rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan harakat
dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan huruf Nama Gabungan
huruf Keterangan
…ي fathah dan ya’ Ai a dan i
…و fathah dan wāwu Au a dan u
Contoh:
baitun ب يت
launun ل ون
19
III. Vokal panjang
Vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya
berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harakat dan Huruf Nama Huruf dan
Tanda Keterangan
…ى …ا fathah dan alīf Ā a dan garis di
atas
…ي Kasrah h dan yā’ Ī i dan garis di
atas
dammah dan wāwu Ū …و u dan garis di
atas
Contoh:
qāla ق ال
yaqūlu ي ق ول
ب ي ر kabīrun ك
c. Ta’ marbūtah
Transliterasi untuk ta’ marbūtah ada dua, yaitu:
a. Transliterasi ta’ marbūtah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah,
dan dammah, transliterasinya adalah /t/.
b. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta’ marbūtah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah,
maka ta’ marbūtah itu ditransliterasikan dengan /h/.
Contoh:
raudah al-atfāl / raudatul-atfāl ر وض ة األ طف ال
ن ور ة د ي ن ة امل
al-Madīnah al-Munawwarah امل
20
d. Syaddah (tasydīd)
Syaddah atau tasydid dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda, tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf
yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.
Contoh:
rabbana ر ب ن ا
nazzala ن زل
e. Kata sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
"ال" . Akan tetapi, dalam transliterasi ini kata sandang dibedakan atas kata sandang
yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf
qamariyyah.
a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsyiyyah ditransliterasikan
sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama
dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut.
Contoh:
ar-rajulu الرج ل
as-samā’u السم اء
b. Kata sandang diikuti huruf qamariyyah
Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai
dengan huruf aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan
bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyah, kata
21
sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan
dengan tanda sempang.
Contoh:
al-qalamu الق ل م
al-katibu الك ات ب
f. Hamzah
Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah atau di
akhir kata. Apabila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam
tulisan Arab berupa alif.
Contoh:
ya’khuzu يا خ ذ
qara’a ق ر أ
g. Penulisan kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi’l, ism, maupun harf, ditulis terpisah.
Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim
dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan
maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata
lain yang mengikutinya.
Contoh:
ي ر الراز ق ي Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīna و إ ن اهلل ل و خ
h. Huruf kapital
Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam
transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang
22
Disempurnakan (EYD). Di antaranya adalah huruf kapital digunakan untuk
menuliskan huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu
didahului oleh kata sandang, maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Contoh:
Wamā Muhammadun illā rasūl و م ا م مد إ ال ر س ول
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan
Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan
kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak
dipergunakan.
Contoh:
تح ق ريب ن صر م ن اهلل و ف Nasrun minallāhi wa fathun qarīb