Upload
phungbao
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove
merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Mangrove termasuk kelompok hutan tropika berdasarkan variasi
iklim, jenis tanah, dan bentang lahan (Arifin, 2003). Menurut Snedaker (1978,
dalam Arifin, 2003) hutan mangrove merupakan suatu kelompok jenis tumbuhan
berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika yang
terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah aerosob,
sedangkan menurut Baehaqie dan Indrawan (1993, dalam Arifin, 2003) hutan
mangrove adalah hutan dengan vegetasi yang hidup di muara sungai, daerah
pasang surut, dan tepi laut. Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya
mempunyai arti yang sama, yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit
subtropika, terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta
mendapat pengaruh pasang surut air laut (Arifin, 2003).
Indonesia merupakan negara yang mempunyai hutan mangrove paling luas
di dunia. Berdasarkan data Kementrian Negara Lingkungan Hidup tahun 2006,
luas hutan mangrove Indonesia mencapai 4,3 juta hektar. Sedangkan menurut
FAO (2007, dalam Nanik, 2007), Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas
3.062.300 juta hektar pada tahun 2005, yang merupakan 19% dari total luas hutan
mangrove di seluruh dunia. Salah satu wilayah di Indonesia yang terdapat
kawasan hutan mangrove adalah wilayah Segara Anakan.
Segara Anakan merupakan sebuah kawasan di bagian selatan Kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Di bagian selatannya membentang sepanjang kurang lebih
30 kilometer arah timur-barat adalah Pulau Nusakambangan yang melindungi
2
teluk tersebut dari gelombang Samudera Hindia. Kondisi pasang surut dan kadar
garamnya merupakan masih mencirikan sifat-sifat laut, tetapi gelombang dan
arusnya sudah teredam sehingga menjadi perairan yang tenang dengan demikian
banyak orang yang menyebut Segara Anakan sebagai lagoon atau laguna
(Seminar Nasional Penginderaan Jauh, 2014)
Meskipun Indonesia memiliki kawasan mangrove terluas di dunia, akan
tetapi laju deforestasi kawasan mangrove yang tinggi masih merupakan alasan
utama kerusakan mangrove di Indonesia. Menurut data akibat deforestasi hutan
mangrove, Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2006, dalam Nanik, 2013)
kerusakan dalam kategori rusak berat mencapai luas 42%, kondisi rusak mencapai
luas 29%, kondisi baik mencapai luas < 23% , kondisi sangat baik hanya seluas
6%. Saat ini keberadaan hutan mangrove semakin terdesak oleh kebutuhan
manusia, sehingga hutan mangrove sering dibabat habis bahkan sampai punah
(Wiyono M., 2009, dalam Nanik, 2013).
Kawasan mangrove dapat diidentifikasi persebarannya, luasannya, maupun
tingkat kerapatannya dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Letak
geografi hutan mangrove yang berada pada daerah peralihan darat dan laut
memberikan efek perekaman yang khas jika dibandingkan obyek vegetasi darat
lainnya (Faizal et al., 2005, dalam Seminar Nasional Penginderaan Jauh, 2014).
Dengan teknologi ini, nilai spektral pada citra satelit dapat diekstrasi menjadi
informasi objek jenis mangrove pada kisaran spektrum tampak dan inframerah
dekat (Suwargana, 2008, dalam Seminar Nasional Penginderaan Jauh, 2014).
Mangrove di sepanjang kawasan pantai dan pertambakan dapat terlihat jelas dari
citra FCC (False Color Composit). Kombinasi tersebut masing-masing adalah
band 4,5, dan 7 untuk Landsat-MSS atau band 2,3,dan 4 untuk Landsat TM ;
masing-masing dengan filter Blue, Green, dan Red. Hutan mangrove terlihat
dengan warna merah kegelapan pada citra FCC. Warna merah merupakan
reflektansi vegetasi yang terlihat jelas pada citra band inframerah, sedangkan
kegelapan merupakan reflektansi tanah berair yang terlihat jelas pada citra band
merah (Anang Dwi Purwanto dkk. , dalam Buku Prosiding Seminar Nasional
Penginderaan Jauh, 2014).
3
Menurut Susanto (1986) ada beberapa keuntungan dalam penggunaan
teknologi penginderaan jauh, yaitu :
1. Citra akan menggambarkan obyek daerah dan gejala di permukaan
bumi yang mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi,
meliputi daerah yang luas, permanen, dan relatif lengkap.
2. Karakteristik obyek yang tidak tampak dapat diwujudkan dalam bentuk
citra sehingga memungkinkan pengenalan obyeknya.
3. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit
dikenali.
4. Merupakan satu-satunya cara pemetaan daerah bencana.
5. Periode pembuatan citra relatif pendek.
Manfaat citra penginderaan jauh dalam penelitian ini adalah untuk
mengenali persebaran,luas kawasan, dan tingkat kerapatan pada kawasan
mangrove dengan menggunakan metode transformasi indeks vegetasi yang
bertujuan untuk menghasilkan informasi yang baru. Secara praktis, indeks
vegetasi ini merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa
saluran sekaligus, dan menghasilkan citra yang lebih representatif dalam
menyajikan fenomena vegetasi. Menurut Projo (2012), berbeda halnya dengan
algoritma penajaman, transformasi khusus ini lebih banyak beroperasi pada
domain spektral. Selanjutnya menurut Ray (1995, dalam Projo, 2012),
transformasi indeks vegetasi dikelompokan menjadi empat golongan besar, yaitu
(a) indeks vegetasi dasar, (b) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh latar
belakang tanah, (c) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh atmosfer, dan
(d) indeks vegetasi lainnya.
1.2 Perumusan masalah
Kawasan mangrove merupakan salah satu tipe ekosistem pesisir. Sampai
saat ini kawasan mangrove banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari
kegiatan – kegiatan pengalihan fungsi lahan, tambak, dan pengrusakan lahan
sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan, padahal ekosistem itu
4
merupakan tempat peredam abrasi pantai, tsunami, dan sebagai tempat tinggal
spesies hewan laut. Dengan melihat sulitnya medan pada kawasan mangrove,
maka tidak dimungkinkan untuk melakukan inventarisasi secara terestial di
seluruh areal, sehingga dibutuhkan suatu alternatif dan solusi dalam mengkaji
inventarisasi kawasan ini.
Penelitian mengenai deteksi sebaran mangrove beserta kerapatannya di
wilayah Segara Anakan telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Kondisi
kawasan ini terus mengalami penurunan luas dan perubahan tingkat kerapatan.
Pada saat ini, wilayah Segara Anakan mengalami tekanan yang besar yaitu
tingginya laju sedimentasi dari daratan dan penebangan liar yang mengakibatkan
penurunan kawasan mangrove baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Untuk
melihat kondisi terkini mengenai sebaran dan kerapatan objek vegetasi mangrove
di Segara Anakan perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan data terbaru.
Salah satu satelit terbaru yang bisa dimanfaatkan untuk mendeteksi kawasan
mangrove adalah Landsat 8. Satelit ini merupakan salah satu data penginderaan
jauh yang melanjutkan misi satelit Landsat 7 ETM+ sebelumnya. Hal ini terlihat
dari karakteristiknya yang mirip dengan Landsat 7, baik resolusinya (spasial,
temporal, dan spektral), metode koreksi, ketinggian terbang maupun karakteristik
sensor dibawa. Akan tetapi ada beberapa tambahan yang menjadi titik
penyempurnaan dari Landsat 7 seperti jumlah band, rentang spektrum gelombang
elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit dari tiap
piksel data.
Tekonologi penginderaan jauh merupakan salah satu cara mudah untuk
mengatasi masalah pemetaan sebaran mangrove dan analisis kerapatannya karena
informasi yang diperoleh sangat detil, realtime, dan up to date. Selain itu data
penginderaan jauh juga memberikan keuntungan yang lebih jika dibandingkan
dengan survei lapangan yang membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang lebih
lama, dan lebih mahal.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang
melatar belakangi penelitian ini :
5
1. Apakah dengan memanfaatkan metode transformasi indeks vegetasi dan citra
Landsat 8 dapat menyajikan informasi fenomena vegetasi mangrove, baik
dari sebaran,luasan, dan kerapatannya?
2. Jenis transformasi indeks vegetasi apa yang memiliki nilai korelasi dan
ketelitian paling tinggi, sehingga menjadi yang paling sesuai untuk diterapkan
di kawasan Segara Anakan?
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas. Maka dilakukan
penelitian yang berjudul: Pemanfaatan Citra Landsat 8 dan Transformasi
Indeks Vegetasi untuk Klasifikasi Kerapatan Kanopi Mangrove di Segara
Anakan, Cilacap, Jawa Tengah.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kemampuan citra Landsat 8 untuk mengenali sebaran ,
luasan, dan kerapatan kanopi mangrove menggunakan pendekatan
transformasi indeks vegetasi.
2. Menguji ketelitian hasil pemetaan kerapatan kanopi hutan mangrove
menggunakan pendekatan statistik dan transformasi indeks vegetasi untuk
menentukan transformasi indeks vegetasi yang paling sesuai untuk
diterapkan di wilayah penelitian.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai masukan bagi peneliti, lembaga swadaya, dan pemerintah
dalam melakukan penelitian inventarisasi kawasan mangrove
dengan menggunakan data digital Landsat serta metode
transformasi indeks vegetasi dengan memberikan informasi
mengenai sebaran, luasan , dan kerapatan kanopi mangrove.
2. Sebagai masukan bagi pemerintah maupun lembaga swadaya
masyarakat untuk pengembalian keputusan terhadap pembangunan
yang mengarah kepada kelestarian lingkungan hidup dan
perlindungan terhadap ekosistem mangrove.