Upload
buithu
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum Islam tidak hanya
mencakup aturan mengenai manusia sebagai hamba Allah, melainkan lebih
banyak mengatur aturan mengenai hubungan manusia dengan manusia lain,
meskipun aturan dalam Al-Qur’an masih bersifat umum, yang selanjutnya
diperjelas dalam Hadist maupun ijma’.
Setiap manusia hidup bermasyarakat, saling tolong-menolong dalam
menghadapi berbagai macam persoalan untuk menutupi kebutuhan antara
yang satu dengan yang lain. Ketergantungan seseorang kepada yang lain
dirasakan ketika manusia itu lahir. Setiap manusia mempunyai kebutuhan
sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak. Untuk menjaga
keperluan masing-masing, pelu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan
manusia agar manusia itu tidak melanggar dan merampas hak-hak orang lain,
salah satunya adalah fiqh muamalah.
Fiqh muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah SWT., yang ditujukan
untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan duniawi dan sosial
kemasyarakatan. Dengan kata lain, muamalah dalam hal ini mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan pemutaran
harta. (Rachmat Syafei: 2000)
Adapun yang dimaksud hubungan manusia dengan manusia itu
mencakup hubungan bertransaksi, jual-beli, muamalah, sewa-menyewa. Dan
di dalamnya terdapat aturan mengenai konsep harta, hak milik, dan aturan-
aturan lain yang menjadi dasar dari kegiatan muamalah.
Corak ekonomi Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, yaitu suatu corak
yang mengakui adanya hak pribadi dan hak umum. Pembahasan mengenai
hak milik penting untuk dilakukan mengingat seringnya penyimpangan hak
milik seseorang oleh orang lain dalam kehidupan sosial dan ekonomi
2
masyarakat yang tentunya merugikan salah satu pihak. Dengan demikian,
konsep hak milik akan dijelaskan lebih rinci dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hak milik?
2. Bagaimana pembagian hak milik?
3. Apa sebab-sebab kepemilikan?
4. Bagaimana prinsip kepemilikan dalam Ekonomi Islam?
5. Bagaimana konsep dan ketentuan barang temuan (Uqathah)?
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan Pengertian Hak Milik.
2. Mendeskrisikan Pembagian Hak
3. Mendeskripsikan Sebab-sebab Kepemilikan.
4. Mendeskripsikan Prinsip Kepemilikan.
5. Mendeskripsikan Konsep dan Ketentuan Barang Temuan (Uqathah)
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Milik
Menurut pengertian umum hak adalah suatu ketentuan yang digunakan oleh
syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu benda hukum. Pengertian
hak sama dengan arti hukum dalam istilah ahli Ushul, yaitu ‚Sekumpulan kaidah
dan nash yang mengatur atas dasar harus ditaati untuk mengatur hubungan
manusia dengan manusia, baik mengenai orang maupun mengenai harta.‛ Hak
juga didefinisikan sebagai ‚kekuasaan mengenai sesuatu yang wajib dari
seseorang kepada yang lainnya.‛
Milik dalam buku Pokok-pokok Fiqh Mualamalah dan hukum Kebendaan dalam
Islam, didefinisikan sebagai ‛Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut
syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama
tidak ada penghalang syar’i.‛ Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang
sah menurut syara’, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik
akan dijual maupun digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang
lain. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ‚tidak semua yang punya hak
penggunaan dapat memiliki‛.
Hak yang dijelaskan di muka, adakalanya merupakan sultah, adakalanya
merupakan taklif.
a. Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala al-Nafsi dan sulthah ‘ala syai’in
mu’ayanin.
Sulthah ‘ala al-Nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak
hadlanah (pemeliharaan anak).
Sulthah ‘ala syari’in mu’ayanin ialah hak manusia untuk memiliki
sesuatu, seperti seorang berhak memiliki sebuah mobil.
4
b. Taklif adalah orang orang bertanggungjawab, taklif adakalanya tanggungan
pribadi (‘ahdah syakhshiyah) seperti seorang buruh menjalankan tugasnya,
adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah) seperti membayar hutang.
Para fuqaha berpendapat bahwa hak merupakan imbangan dari benda
(a’yan), sedang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak adalah bukan harta (ina
alhaqqa laisa hi al-mal).
2.2 Pembagian Hak
Dalam pengertian umum, hak di bagi menjadi dua bagian, yaitu mal dan
ghair mal.
Hak mal ialah sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan
benda-benda atau utang-utang.
Hak ghair mal terbagi dari dua bagian, yakni hak syakhsyi dan hak ‘aini.
a. Hak syakhsyi ialah suatu tuntutan yang ditetapkan syara’dari
seseorang terhadap orang lain.
b. Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa
dibutuhkan orang kedua. Macam-macam hak ‘aini ialah sebagai
berikut :
1. Haq al-malikiayah ialah hak yang memberikan pemiliknya hak
wilayah. Boleh dia memiliki, menggunakan, mengambil manfaat,
menghabiskannya, merusakkannya, dan membinasakannya,
dengan syarat tidak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.
2. Haq al-intifa’ ialah hak yang hanya boleh dipergunakan dan
diusahakan hasilnya.
3. Haq al-irtifaq ialah hak memiliki manfaat yang ditetapkan untuk
suatu kebun atas kebun yang lain, yang dimiliki bukan oleh
pemilik kebun pertama . misalnya air.
4. Haq al-istihan ialah hak yang diperoleh dari harta yang
digadaikan.
5. Haq al-ihtibas ialah hak menahan sesuatu benda.
5
6. Haq gharar (menetap) atas tanah wakaf, yang termasuk hak
menetap atas tanah wakaf ialah :
a) Haq al-haqr, ialah hak menetap diatas tanah wakaf yang
disewa, untuk yang lama dengan seizin hakim.
b) Haq al-ijaratain, ialah hak yang diperoleh karena ada akad
ijarah dalam waktu yang lama, dengan seizin hakim, atas
tanah wakaf yang tidak sanggup dikembalikan ke dalam
keadaan semula. Misalnya karena kebakaran dengan harga
yang menyamai harga tanah, sedangkan sewanya dibayar
tiap tahun.
c) Haq al-qadar, ialah hak menambah bangunan yang dibangun
oleh penyewa.
d) Haq al-marshad ialah hak mengawasi atau mengontrol
7. haq al-murur ialah hak manusia untuk menempatkan
bangunannya diatas bangunan orang lain.
8. Haq ta’alli ialah hak manusia untuk menempatkan bangunannya
diatas bangunan orang lain.
9. Haq al-jiwar, ialah hak-hak yang timbul disebabkan oleh
berdempetnya batas-batas tempat tinggal, yaitu hak-hak untuk
mencegah pemilik asli dari menimbulkan kesulitan terhadap
tetangganya.
10. Haq syafah atau haq syurb ialah kebutuhan manusia terhadap air
untuk diminum dan untuk diminum binatangnya serta untuk
kebutuhan rumah tangganya.
6
2.3 Sebab-sebab Kepemilikan
Faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain :
a. Ikraj al Mubahat, untuk harta yang mubah (belum dimiliki oleh sesesorang).
Untuk memiliki benda-benda mubahat diperlukan dua syarat, yaitu :
Benda mubahat belum diikhrazkan oleh orang lain. Seseorang
mengumpulkan air dalam satu wadah, kemudian air tersebut
dibiarkan, maka orang lain tidak berhak mengambil air tersebut,
sebab telah di-ikhraz-kan orang lain.
Adanya niat (maksud) memiliki. (Hendi,Suhendi. Fiqh Muamalah, hlm
38, th.2011)
b. Khalafiyah, dimaksud dengan khalafiyah ialah bertempatnya seseorang atau
sesuatu yang baru bertempat di tempat yang lama, yang telah hilang
berbagai macam haknya. Khalafiyah ada dua macam, yaitu :
Khalafiyah syakhsy ‘an syakhhsy, yaitu si waris menempati tempat si
muwaris dalam memiliki harta yang ditinggalkan oleh muwaris,
harta yang ditinggalkan oleh muwaris disebut tirkah.
Khalafiyah syai’an syai’in, yaitu apabila seseorang merugikan milik
orang lain atau menyerobot barang orang lain, kemudian rusak di
tangannya atau hilang, maka wajiblah dibayar dan diganti kerugian-
kerugian pemilik harta. Maka khalafiyah syai’in ini disebut tadlmin
atau ta’widl (menjamin kerugian).
c. Tawallud min mumluk, yaitu segala yang terjadi dari benda yang telah
dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki benda tersebut. Misalnya bulu
domba menjadi milik pemilik domba.
Sebab pemilikan tawallud min mamluk dibagi kepada dua pandangan
(I’tibar), yaitu:
Mengingat ada dan tidak adanya ikhtiar terhadap hasil-hasil yang
dimiliki (I’tibar wujud al ikhtiyar wa’adamihi fiha)
7
Pandangan terhadap bekasnya (I’tibar atsariha). (Hendi,Suhendi. Fiqh
Muamalah, hlm 39 thn.2011)
2.4 Prinsip Kepemilikan
Dalam Islam hak milik individu dan hak milik orang banyak sama-sama
dapat pengakuan yang seimbang. Hak milik dalam Islam, baik hak milik
indivudu maupun hak milik umum, tidaklah mutlak, tetapi terikat oleh ikatannya
untuk merealisasikan kepentingan ikatan ini pada dasarnya kembali pada
pendangan Islam tentang hak milik (Al-Assal dan Fathi Ahmaad Abdul Karim,
1999:40).
Dalam Al-Qur’an akan menemukan dasar-dasar tentang harta dengan
segala bentuk dan macamnya adalah milik Allah SWT.
Artinya : ‚Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi,
semua yang ada di antara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah‛. (Q.S Thaha:
[20]: 6)
Ditinjau dari ayat di atas bahwa semua harta adalah milik Allah maka
manusia adalah tangan suruhan untuk jadi khalifah dalam mempergunakan dan
mengatur harta itu. Menurut Al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim (1999:42)
menyatakan bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dalam harta pada
hakikatnya menunjukkan bahwa manusia merupakan wakil dan petugas yang
bekerja kepada Allah demi kebaikan seluruh umat manusia. Oleh karena itu,
menjadi kewajiban manusia sebagai khalifah-khalifah untuk merasa terikat
dengan perintah-perintah ajaran Allah tentang harta ini serta mau menepatinya.
Inilah landasan syariah dari ikatan-ikatan wajib atas hak milik.
Apabila manusia yang dipercaya untuk menjadi khalifah tidak lagi
menepati perintah dan larangan Allah dalam soal harta yang pada kekuasaanya
dan tidak melaksanakan tugas kemasyarakatan ini dengan baik maka akan
digantikan dengan oranng lain yang lebih cocok. Seperti dalam firman Allah SWT
:
8
Artinya : ‚Ingatlah, kamu ini orag-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada
jalan Allah. Maka diantara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia
hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri, dan Allahlah yang Maha Kaya sedangkan
kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya
Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini‛.
(Q.S Muhammad [47]: 38)
Pemilikan dalam berbagai jenis dan corak sebagaimana yang telah
disampaikan di muka memiliki beberapa prinsip yang bersifat khusus.Prinsip
tersebut berlaku dan mengandung implikasi hukum pada sebagian jenis
pemilikan yang berbeda pada sebagian pemilikan lainnya. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagaimana disampaikan di bawah ini:
Prinsip pertama .
ا انهك انعي يستهزو يبد ئيا يهك انفعت والعكس
‚Pada prinsipnya milk al-‘ain (pemilikan atas benda) sejak awal disertai milk
almanfaat (pemilikan atas manfaat), dan bukan sebaliknya‛.
Maksudnya, setiap pemilikan benda pasti diikuti dengan pemilikan atas
manfaat. Dengan pada prinsip setiap pemilikan atas benda adalah milk al-tam
(pemilikan semourna). Sebaliknya,setiap pemilikan atas manfaat tidak mesti
diikuti dengan pemilikan atas bendanya,sebagaimana yang terjadi pada ijarah
(persewaan) atau I’arah (pinjaman).
Dengan demikian pemilikan atas suatu benda tidak dimaksudkan sebagai
pemilikan atas zatnya atau materinya, melainkan maksud dari pemilikan yang
sebenarnya adalah pemanfaatan suatu barang. Tidak ada artinya pemilikan atas
suatu harta (al-mal) jika harta tersebut tidak mempunyai manfaat. Inilah prinsip
yang dipegang teguh oleh fuqaha’ Hanafiyah ketika mendefiniskan al-mal (harta)
sebagai benda materi bukan manfaatnya.Menurut fuquha’ hanafiyah manfaat
merupakan unsur utama milkiyah (pemilikan).
9
Prinsip kedua
ا اول يهكيت تثبت عه انشيئ انذي نى يك يهى كا قبهها اا تكى دائا يهكيت تايت
‚Pada prinsipnya pemilikan awal pada suatu benda yang belum pernah
dimiliki sebelumnya senantiasa sebagai milk al-tam (pemilikan sempurna)‛.
Yang dimaksud dengan pemilikan pertama adalah pemilikan diperoleh
berdasarkan prinsip ihraz al-mubahat dan dari prinsip tawallud minal-mamluk.
Pemilikan sempurna seperti ini akan terus berlangsung sampai ada peralihan
pemilikan. Pemilik awal dapat mengalihkan pemilikan atas banda dan sekaligus
manfaatnya melalui jual-beli,hibbahdan cara lain yang menimbulkan peralihan
milk al-tam kepada pihak lain,mengalihkan manfaat saja atau bendanya saja
kepada orang lain ini merupakan pemilikan naqish.
Berdasarkan uraian di muka dapat disimpulkan bahwa pemilikan
sempurna adakalanya diperoleh melalui pemilikan awal (ihraz al-mubahat dan al-
tawallud), sedang pemilikan naqish hanya dapat diperoleh melalui sebab peralihan
dari pemilik awal, yakni melalui akad.
Prinsip ketiga
ا يهكيت انعي التقبم انتىقبت ايا يهكيت انفعت فاالصم فيها انتىقيت
‚Pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu, sedang
pemilikan naqish dibatasi waktu‛.
Milk al-‘ain berlaku sepanjang saat (mu’abbadah) sampai terdapat akad yang
mengalihkan pemilikan kepada orang lain.Jika tidak muncul suatu akad baru dan
tidak terjadi khalafiyah, pemilikan terus berlanjut. Adapun milk al-manfaat yang
tidak disertai pemilikan bendanya berlaku dalam waktu yang
terbatas,sebagaimna yang berlaku pada persewaan, peminjaman, wasiat manfaat
selama batas waktu yang telah ditentukan maka berakhirlah milk-al manfaat.
Batas waktu dalam milk al manfaat ini jika bersumber dari akad
mu’awwadhah seperti ijarah (persewaan) maka sebelum berakhir batas waktunya
pemilik benda tidak berhak menuntut pengembalian,karena sesungguhnya ijarah
merupakan bai’ al-manfaat (jual beli atas manfaat) dalam batasan waktu tertentu.
10
Apabila milk al-manfaat tersebut bersumber dari akad tabbaru’ seperti pada I’arah
(peminjaman), biasanya tidak diikuti batas waktu yang pasti. Namun pada
umumnya pihak yang meminjamkan menghendaki pengembalian dalam waktu
dekat, sehingga setiap saat ia dapat meminta pengembalian benda yang
dipinjamkannya.
Sekalipun demikian para fuquha’ juga memperhatikan batas waktu
pengembalian ‘ariyah yang menimbulkan kerugian pada pihak peminjam.Seperti
jika seorang pemilik meminjamkan tanah untuk kepentingan bercocok tanam,
berkebun atau untuk mendirikan bangunan.Kemuadian pemilik menghendaki
pengembalian tanah tersebut sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan. Mengenai
hal ini fuquha’ menetapkan kebijakan dengan perincian perkasus,sebagaimana
berikut ini:
Dalam kasus pinjaman untuk pertanian, pemilik tanah tidak berhak
menuntut pengembalian sebelum masa panen, sebab pertanian
berlangsung dalam satu musim tanam. Berbeda dengan kasus persewaan
tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi kasus
persewaan tanah untuk pertanian. Dalam hal ini penggunaan melebihi
batas waktu sampai masa panen diganti dengan penambahan ongkos
sewa. Dengan cara demikian terpeliharalah hak pemilik sedang pihak
penyewa tidak dirugikan.
Dalam kasus pinjaman untuk tujuan perkebunan dan untuk mendirikan
bangunan,pemilik tanah berhak menarik kembali tanahnya setiap saat ia
suka. Ketika itu peminjam wajib mencabut kebun atau merobohkan
bangunan dan menyerahkan tanah kepada pemiliknya dalam keadaan
kosong. Karena perkebunan pendirian bangunan berlangsung tidak
terbatas masa tertentu, tidak seperti pertanian yang berakhir dengan masa
panen. Namun jika sejak semula pinjaman tersebut dibatasi dengan waktu,
sedang pemilik menarik kembali tanahnya sebelum usaha yang dilakukan
pihak pinjaman selesai dilakukan, maka pemilik benar-benar telah berbuat
11
curang (gharar) yang sangat merugikan. Dalam kasus sepeti ini pihak
peminjam berhak menuntut kerugian yang terhitung sejak pengosongan
tanah sampai batas akhir waktu, dengan mempertimbangakan harga jual
bangunan atau perkebunan.
Prinsip keempat
ا يهكيت االعيا التقبم االسقاط واا يقبم انقم
‚Pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat digugurkan,namun dapat
dialihkan atau dipindah‛.
Sekalipun seseorang bermaksud menggugurkan hak miliknya atas suatu
barang, tidak terjadi pengguguran, dan pemilikan tetap berlaku baginya.
Berdasarkan prinsip ini islam melarang sa’ibah (litt.melepaskan),yaitu perbuatan
semata menggugurkan atau melepaskan suatu milik tanpa pengalihan kepada
pemilik baru. Secara umum perbuatan ini termasuk dalam kategori tabdzir
(menyia-nyiakan) karunia tuhan.
Prinsip kelima
ا انهكيت انشائعت ف االعيا اناديت هي ف االصم كانهكيت انتيزة انعيت ف قابهيت انتصرف االناع
‚Pada prinsipnya mal al-masya’ (pemilikan campuran) atas benda materi, dalam
hal tasharruf, sama posisinya dengan milk al-mutayyaz, kecuali ada halangan (al-
mani)‛.
Berdasarkan prinsip ini diperbolehkan menjual bagian dari milik
campuran,mewakafkan atau berwasiat atasnya. Karena tasharruf atas sebagian
harta campuran sama dengan bertasharruf atas pemilikan benda secara
keseluruhan. Kecuali bertasharruf dengan tiga jenis akad: rahn(jaminan utang),
hibah dan ijarah (persewaan). Halangan bertasharruf pada rahn dikarenakan tujuan
rahnadalah sebagai agunan pelunasan hutang, sehingga marhun (benda
agunan)harus diserahkan kepada murtahin (pemegang gadai/agunan). Yang
demikian tidak sah dilakukan atas sebagian dari milik campuran.
Halangan bertasharruf dengan hibbah dikarenakan kesempurnaan hibbah harus
disertai penyerahan (aq-qabdhu), sedang penyerahan hanya dapat dilakukan pada
12
milk al-mutayyaz.(harta dapat dipisahkan dari yang lainya). Adapun halangan
tasharruf dengan ijarah,menurut pandangan fuquha’ hanafiyah adalah jika akad
ijarah tersebut dilakukan terhadap sebagian dari harta campuran.namun jika ijarah
dilakukan oleh masing-masing sekutu atas keseluruhan harta campuran, yang
demikian ini tidak ada halangan.
Prinsip keenam
تا انهكيت انسائعت ف انديى انشتركت و هي يتعهقت بانذيى التقبم انقس
‚Pada prinsipnya milik campuran atas hutang bersama yang berupa suatu
beban pertanggungan tidak dapat dipisah-pisahkan‛.
Apabila pemilikan atas hutang berserikat telah dilunasi (diserahkan) maka
telah berubah menjadi milk al-‘ain bukan lagi sebagai milk al-dain.Kemudian dapat
dilakukan pembagian bagi masing-masing pemiliknya, sebagaimana yang dapat
dilakukan terhadap setiap harta campuran yang dapat menerima pembagian.
Berdasarkan prinsip ini, apabila salah seorang dari sejumlah orang yang
memiliki piutang bersama menerima pelunasan hutang yang sepadan dengan
bagian yang dimilikinya, maka pelunasan tersebut harus dibagi di antara
sekutunya.Sebab kalau seorang di antara mereka dapat melepaskan diri dari
sekutunya dalam hal pelunasan hutang harus dinyatakan sebelumnya bahwa
telah terjadi pembagian atas piutang bersama dalam bentuk pertanggungan
sehingga tidak lagi sebagai piutang bersama, melainkan telah berubah menjadi
piutang mumayyazah.Demikianlah maksud dari ‛piutang bersama tidak dapat
pisah-pisahkan‛.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan. Atau
kepemilikan ditinjau dari segi subjektif, yaitu :
1. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardhiah)
Kepemilikan individu adalah izin syariat pada individu untuk
memanfaatkan suatu barang melalui lima sebab kepemilikan individu yaitu:
13
1) Bekerja (al-’amal), seperti menghidupkan tanah mati, mencari barang
tambang, berburu, mengairi lahan pertanian, mudharabah, musyaqah dan
lain-lain.
2) Warisan, merupakan ketentuan dan ketetapan Allah Swt. dalam
Alquran terhadap harta seorang yang telah meninggal.
3) Harta yang diperoleh tanpa adanya konpensasi apapun, seperti hadiah
dan hibah.
4) Pemberian negara (i’thau al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan
rakyat berupa tanah pertanian, barang dan uang modal.
5) Harta yang diperoleh individu karena adanya hubungan dengan orang
lain seperti hibah, hadiah, wasiat, diat, mahar, barang temuan, santunan
oleh khalifah atau pemegang kekuasaan pemerintah.
2. Kepemilikan Umum (Milkiyah ‘Ammah)
Kepemilikan umum adalah izin syariat kepada masyarakat secara bersama-
sama memanfaatkan suatu kekayaan yang berupa barang-barang yang
mutlak diperlukan manusia dalam kehidupa sehari-hari seperti air, udara,
cahaya, api, rumput, sumber energi (listrik, gas, batu bara, nuklir, dan lain-
lain), hasil hutan, barang yang tidak mungkin dimiliki individu seperti
sungai, pelabuhan, danau, lautan, jalan raya, jembatan, bandara, masjid dan
sebagainya, dan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti
emas, perak, minyak.
3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Daulah)
Kepemilikan negara adalah izin syariat atas setiap harta yang hak
pemanfaatan dan pengelolaannya berada di tangan khalifah sebagai kepala
negara. Dimana negara bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai
kebijakannya. Beberapa harta yang termasuk dalam kategori ini adalah
sebagai berikut:
a. harta ghanimah, anfal (harta rampasan perang dengan orang kafir),
fai (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khums.
14
b. Kharaj(hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir)
c. Jizyah (hak yang diberikan Allah kepada orang muslim dari orang
kafir sebagai tunduknya mereka kepada islam)
d. Harta yang berasal dari dharibah (pajak)
e. Harta yang berasal dari unsr (pajak penjualan yang diambil
pemerintah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan
pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya).
f. Amwal al-fadlail (harta yang tidak ada ahli warisnya).
g. harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
h. 1/5 harta rikaz (harta temuan).
i. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai
negara, dan harta yang didapat tidak secara syari.
j. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut
dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.
2.5 Konsep dan Ketentuan Barang Temuan (Uqathah)
Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya
dan ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari
pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus
dilakukan.
a. Al-Hanafiyah mengatakan disunnahkan untuk menyimpannya barang
itu bila barang itu diyakini akan aman bila ditangan penemu untuk
nantinya diserahkan kepada pemiliknya. Tapi bila tidak akan aman, maka
sebaiknya tidak diambil. Sedangkan bila mengambilnya dengan niat untuk
dimiliki sendiri, maka hukumnya haram.
b. Al-Malikiyah mengatakan bila seseorang tahu bahwa dirinya suka
berkhianat atas harta oang yang ada padanya, maka haram baginya untuk
menyimpannya.
15
c. Asy-Syafi`iyyah berkata bahwa bila dirinya adalah orang yang amanah,
maka disunnahkan untuk menyimpannya untuk dikembalikan kepada
pemiliknya. Karena dengan menyimpannya berarti ikut menjaganya dari
kehilangan.
d. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ra. mengatakan bahwa yang utama
adalah meninggalkan harta itu dan tidak menyimpannya.
Islam mewajibkan bagi orang yang menemukan barang hilang untuk
mengumumkannya kepada khalayak ramai. Dan masa penngumuman itu berlaku
selama satu tahun. Hal itu berdasarkan perintah Rasulullah SAW, ‛Umumkanlah
selama masa waktu setahun.‛ Pengumuman itu di masa Rasulullah SAW
dilakukan di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang
seperti pasar, tempat resepsi dan sebagainya.
Bila telah lewat masa waktu setahun tapi tidak ada yang datang
mengakuinya, maka para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bolehlah bagi penemu untuk memiliki harta itu bila memang telah berusaha
mengumumkan barang temuan itu selama setahun lamanya dan tidak ada
seorangpun yang mengakuinya. Hal ini berlaku umum, baik penemu itu miskin
ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik ra. Imam Asy-Syafi`i ra.
dan Imam Ahmad bin Hanbal ra. Sedangkan Imam Abu Hanifah ra. mengatakan
hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan sangat membutuhkan
saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah cocok bukti-bukti
kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya.
Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib menggantinya.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut pengertian umum hak adalah suatu ketentuan yang digunakan oleh
syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu benda hukum.
Dalam pengertian umum, hak di bagi menjadi dua bagian, yaitu mal dan ghair
mal. Ghair mal sendiri dibedakan manjadi dua yakni hak syakhsyi dan hak ‘ain.
Selanjutnya, hak ‘ain dibagi menjadi sepuluh macam.
Faktor-faktor yang menyebabkan harta dapat dimiliki antara lain :
a. Ikraj al Mubahat
b. Khalafiyah
c. Tawallud min mumluk
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ada tiga macam kepemilikan. Atau
kepemilikan ditinjau dari segi subjektif, yaitu :
a. Kepemilikan Individu
b. Kepemilikan Umum
c. Kepemilikan Negara
Luqathah atau barang temuan adalah harta yang hilang dari pemiliknya dan
ditemukan oleh orang lain. Bila seseorang menemukan harta yang hilang dari
pemiliknya, para ulama berbeda pendapat tentang tindakan/sikap yang harus
dilakukan.
3.2 Saran
a) Sebagai umat Islam hendaknya kita mendirikan aturan syari’ah termasuk
dalam hak kepemilikan.
b) Perlu diingat bahwa segala macam harta pada hakekatnya adalah milik
Allah SWT dan manusia hanya diberikan amanah untuk memilikinya
sementara untuk mencapai maslahah.