Upload
doannhan
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tenaga kerja memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan
nasional. Hal ini karena tenaga kerja adalah sebagai pelaku dan subyek
pembangunan sekaligus juga sebagai tujuan atau obyek pembangunan nasional
yang akan menentukan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Oleh karna itu
diharapkan tenaga kerja dapat melaksanakan fungsinya dengan baik melalui
pemberian kesempatan kerja yang merata, perlindungan terhadap hak-haknya
dalam menjalankan pekerjaan, pemberian jaminan kesejahteraan, kesehatan,
keselamatan dan semua aspek ketenagakerjaan.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi bangsa indonesia menyebutkan dalam Pasal 27 ayat
(2) bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”. Hal ini menunjukkan bahwa setiap warga negara
Indonesia tanpa memandang suku, ras, jenis kelamin, dan lain-lain, mempunyai
hak yang sama untuk mendapat pekerjaan atau melaksanakan pekerjaan.
Sampai saat ini Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan bersumber pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Ketenagakerjaan). Dalam
undang-undang ini hubungan kerja dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu hubungan
kerja tetap, hubungan kerja kontrak dan hubungan kerja melalui pihak ketiga.
Hubungan kerja tetap didasari oleh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(selanjutnya disebut PKWTT) dan mensyaratkan adanya masa percobaan selama 3
2
(tiga) bulan (Pasal 56 dan Pasal 60 Undang-Undang Ketenagakerjaan). Sedangkan
hubungan kerja kontrak didasari oleh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(selanjutnya disebut PKWT) dan tidak boleh mensyaratkan adanya masa
percobaan selama 3 (tiga) bulan (Pasal 56 dan Pasal 58 Undang-Undang
Ketenagakerjaan). Sementara itu hubungan kerja melalui pihak ketiga didasarkan
pada ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan
bahwa “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja kontrak
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu tenaga kerja yang diperoleh melalui
pihak ketiga yang biasa disebut sebagai tenaga outsourcing dan tenaga kontrak
yang langsung diupayakan oleh perusahaan atau instansi sendiri.
Mempekerjakan karyawan dalam ikatan kerja outsoucing nampaknya
sedang menjadi trend atau model bagi pemilik atau pemimpin perusahaan baik itu
perusahaan milik negara maupun perusahaan milik swasta. Banyak perusahaan
outsourcing yakni perusahaan yang bergerak di bidang penyedia tenaga kerja aktif
menawarkan ke perusahaan-perusahaan pemberi kerja, sehingga perusahaan yang
memerlukan tenaga tidak perlu susah-susah mencari, menyeleksi dan melatih
tenaga kerja yang dibutuhkan1.
Fenomena memilih kebijakan untuk menggunakan tenaga kerja
outsourcing semakin bertambah saat terjadinya krisis ekonomi global yang
melanda dunia termasuk Indonesia. Banyak perusahaan yang mengalami
1 S. Gunarto, 2006, Perlindungan Hukum Bagi Para Pekerja Kontrak Outsourcing,
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, h. 27.
3
penurunan tingkat penjualan, sedangkan dilain pihak kebutuhan biaya hidup
karyawan meningkat karena kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, maka
terjadilah konflik antara karyawan yang menuntut kenaikan upah tetapi
manajemen kesulitan memenuhi karena kondisi perusahaan menurun2.
Penggunaan tenaga kerja outsourcing di negara-negara maju merupakan
kebijakan perusahaan yang wajar dan memang harus dilakukan, karena besarnya
perusahaan dan banyaknya jenis pekerjaan yang tentunya membutuhkan banyak
jenis keahlian sehingga tidak memungkinkan perusahaan menyediakan tenaga
kerja secara keseluruhan.
Sementara itu perhatian perusahaan atas core competence yang dimilikinya
telah membuka jalan untuk outsourcing terhadap tugas-tugas yang bersifat bukan
tugas utama (non core activities), yang menantang para pimpinan perusahaan
untuk mengevaluasi kembali niat tradisional untuk melakukan integrasi vertical
dan memenuhi segala keperluan perusahaan dari satu atap (perusahaan sendiri).
Potensi keuntungan dari outsourcing adalah memperoleh kesempatan mengatur
organisasi yang lebih fleksibel untuk melakukan core activitiesnya. Pada era
globalisasi ini, menjadi makin mudah untuk memperoleh jasa dari luar atau pihak
ketiga. Apa yang membedakan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan
yang lain, adalah terutama mengenai modal intelektual, pengetahuan dan
pengalaman dan bukan lagi dari besar dan ruang lingkup sumber daya yang
mereka punyai dan kuasai. Sebagai hasilnya, banyak perusahaan dari hampir
semua jenis memilih untuk mengkontrakkan berbagai jenis pekerjaannya, dengan
2 Syibli, Mohammad, Sudarso, Indung, 2012, Analisis ”Pengaruh Faktor-Faktor
Rekrutmen Terhadap Kinerja Sdm Outsourcing Pt Telkom Dengan Pendekatan Sem (Structural Equation Modelling),” Jurnal Manajemen Teknologi, h. 2.
4
tujuan untuk memfokuskan diri para aktivitas utamanya dan memanfaatkan
kemampuan dan kemahiran mitra usahanya dalam menangani aktivitas
sampingannya. Tidak ada suatu perusahaanpun yang terlalu kecil atau terlalu
besar untuk memikirkan melakukan outsourcing ini3.
Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak pernah ditemukan kata
outsourcing secara langsung, namun Undang-undang ini merupakan tonggak baru
yang mengatur dan mendelegasi permasalahan outsourcing. Istilah yang dipakai
dalam undang-undang ini adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia
jasa pekerja atau buruh. Istilah tersebut diadopsi dari istilah yang dipakai dalam
KUHPerdata seperti sebagaimana telah dijelaskan diatas. Lebih spesifik ketentuan
yang mengatur outsourcing dapat ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal
66 Undang-Undang Ketenagakerjaan4.
Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh.5 Selanjutnya
dalam Pasal 65 yang intinya menyatakan bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pengaturan lebih lanjut mengenai peraturan
ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Kep. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
3 Indrajit dan Djokopranoto. 2006. Proses Bisnis: Outsourcing. PT. Grasindo, Jakarta, h.
3-4. 4 N.L.M. Mahendrawati, 2009, ”Perjanjian Outsourcing Dalam Kegiatan Bisnis”, Kertha
Wicaksana, Vol.15. No 2, h. 151. 5 Lalu Husni, 2005, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Edisi Revisi. Cetakan Kelima,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 189.
5
Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain6. Pasal 66 mengatakan bahwa pekerjaan yang
dapat dijadikan dalam perjanjian outsourcing adalah pekerjaan-pekerjaan yang
tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pokok atau proses produksi dari
suatu perusahaan, kecuali untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi7. Pada Pasal 66 ayat (1) dijelaskan bahwa pekerjaan yang
berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan
langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan
mempekerjakan pekerja/buruh dengan PKWT dan/atau PKWTT.
Demikian halnya dengan istilah tenaga kerja kontrak yang diupayakan oleh
perusahaan atau instansi sendiri juga tidak ditemukan istilah pekerja kontrak
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan istilah tenaga kerja kontrak, pekerja kontrak, kontrak kerja
maupun sistem kerja kontrak. Pada Pasal 56, 57, 58 dan 59 Undang-Undang
Ketenagakerjaan disebut dengan nama PKWT.
Pengaturan lebih lanjut PKWT dijabarkan di dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (selanjutnya disingkat
Kepmenakertrans): KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
tenaga kontrak adalah tenaga kontrak jenis PKWT ini yaitu tenaga kontrak yang
direkrut oleh perusahaan atau instansi secara langsung.
6 Much. Nurachmad, 2009, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak
(Outsourcing), Visimedia, Jakarta, h. 15. 7 Bungasan Hutapea, 2010, “Perlindungan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Outsourcing”, Jurnal Penelitian Hukum APHI, DE JURE, 1410-5632 Vol.10. No. 3, h. 297.
6
Adanya tenaga kontrak PKWT ini bisa ditemukan pada Dinas Pemadam
Kebakaran Kabupaten Badung. Saat ini Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten
Badung mempekerjakan 147 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 100 orang
tenaga PKWT yang disebut sebagai tenaga kontrak. Dinas Pemadam Kebakaran
merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang penanggulangan
kebakaran. Dinas Pemadam Kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati melalui Sekretaris Daerah.
Dinas Pemadam Kebakaran dalam melaksanakan fungsinya di koordinasikan oleh
Asisten Tata Praja dan Aparatur.
Salah satu masalah tenaga kontrak ini adalah ketika diterbitkannya PP No.
48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan : “Sejak ditetapkan Peraturan
Pemerintah ini semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di
Lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis
kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pengangkatan tenaga honorer
maupun kontrak di lingkungan pemerintahan yang diangkat oleh kepala instansi
dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kepala instansi terkait masih saja terjadi.
Hal ini menimbulkan pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah
dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala instansi terkait, salah
satunya yang terjadi pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung yang
mengangkat tenaga honorer berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pemadam
Kebakaran Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga
Kontrak Staf Operasional Pemadam Kebakaran Badung Tahun Anggaran 2015.
Hal ini sebenarnya tidak boleh terjadi karena seharusnya lex superior derogat legi
7
inferiori8, yang artinya undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan
undang-undang yang lebih rendah. Dengan perkataan lain seharusnya SK Kepala
Dinas tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah. Kondisi tersebut
menyebabkan kedudukan tenaga kontrak sangat lemah.
Terjadinya perekrutan tenaga kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran
Kabupaten Badung disebabkan karena kebutuhan yang sangat urgent. Untuk
kepetingan masyarakat umum yang di karenakan wilayah kabupaten badung yang
cukup luas, maka perlu penambahan post bantu di setiap wilayah untuk
mempercepat respon jika terjadi kebakaran. Maka dari itu di rekrutlah tenaga
kontrak untuk mengisi kekosongan pada post-post yang baru di buat.
Di dalam surat peryataan yang di tanda tangani oleh tenaga kontrak pada
Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung, yang merupakan isi dari
perjanjian lisan ,Ternyata Belum Mendapatkan Perlindungan Hukum. Contoh
perlindungan hukum yang belum diterima oleh tenaga kontrak yaitu belum adanya
jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam Pasal 3 huruf b Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menyatakan, bahwa
untuk dapat diberikan keselamatan kerja harus memenuhi persyaratan dalam hal
untuk mencegah, mengurangi memadamkan kebakaran. Tugas tenaga kontrak
pada dinas Pemadam kebakaran kabupaten badung adalah pencegahan dan
penanggulangan kebakaran. Tugas ini merupakan tanggung jawab tenaga kontrak
yang sangat beresiko9.
Jika dibandingkan dengan ketentuan pada Pasal 86 ayat (1) Undang-
Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan, bahwa “setiap pekerja/buruh
8 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, h. 6. 9 Cerita Miris Tim Damkar Badung Yang Belum Dapat Tunjangan Kesehatan, Bali Post,
tanggal 6 Mei 2015.
8
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
kerja”. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja (Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan). Selanjutnya
diatur juga mengenai sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang mewajibkan
setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan (Pasal 87
Undang-Undang Ketenagakerjaan)10.
Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mewajibkan
perusahaan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang
diuraikan di atas merupakan bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja.
Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan buruh dan
keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha11.
Selanjutnya sebelum diterima bekerja di dinas pemadam kebakaran
kabupaten badung terlebih dahulu tim perekrut tenaga kontrak mengumpulkan
para calon tenaga kontrak untuk duduk bersama bernegosiasi membuat perjanjian
kerja dan menyepakati perjanjian secara lisan. Untuk selanjutnya setelah diterima
bekerja tenaga kontrak harus menandatangani surat peryantaan yang merupakan
hasil dari kesepakatan tersebut dan melaksanakan perjanjian yang telah ada dalam
surat peryataan tersebut.
10 I Made Udiana, 2015, Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial,
Udayana University Press, Denpasar, h. 8. 11 Ibid.
9
Sedangkan dalam pembayaran jasa tenaga kontrak Pemadam Kebakaran
Kabupaten Badung dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah
Kabupaten Badung berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran
Kabupaten Badung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga Kontrak
Staf Operasional Pemadam Kebakaran Tahun Anggaran 2015.
Sampai sekarang belum pernah ada tenaga kerja kontrak yang menggugat
sewenang-wenangan ini, sehingga perjanjian yang banyak melanggar aturan
Undang-Undang Ketenagakerjaan ini terus berlanjut hingga sekarang. Hal ini
disebabkan apabila tenaga kontrak melakukan gugatan, maka yang bersangkutan
justru takut akan kehilangan pekerjaan. Demikian juga dengan sifat hubungan
kerja juga tidak jelas apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ataukah
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT), mengingat hubungan kerja
antara tenaga kontrak dengan Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung,
mengingat perjanjian tersebut tidak sesuai dengan pengaturan Pasal 56 hingga
Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan (pengaturan untuk PKWT) dan juga
tidak sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang Ketenagakerjaan (pengaturan untuk
PKWTT).
Mengingat pentingnya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja kontrak
pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung, maka perlu dikaji
“Eksistensi Tenaga Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan”.
10
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah keberadaan tenaga kontrak sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003?
2. Apakah perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada Dinas
Pemadam Kebakaran di kabupaten Badung sudah sesuai dengan
Undang-Undang?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk mendapatkan pembahasan yang sistematis dan tidak jauh
menyimpang dari permasalahan, maka dalam pembahasan akan di batasi sesuai
dengan permasalahan yang ada. Dimana terhadap permasalahan yang pertama
yang akan di bahas adalah persoalan yang berkaitan dengan keberadaan tenaga
kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran kabupaten di Kabupaten Badung sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Selanjutnya terhadap pembahasan yang kedua yang akan di bahas hanya
perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada dinas pemadam kebakaran di
kabupaten Badung sudah sesuai dengan Undang-Undang.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil
penelitian, hingga saat ini belum ada hasil penelitian dalam bentuk skripsi ataupun
11
penelitian yang berkaitan dengan eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak
pada Dinas Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung. Adapun dari penelusuran
kepustakaan yang cukup dekat dengan topik penelitian ini yaitu :
No Judul Penelitian Penulis Rumusan Masalah 1 Pelaksanaan
Perlindungan Kerja bagi Pekerja Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram
Aditya Aprinky Heriansyah, Fakultas Hukum Universitas Mataram Tahun 2014
1. Bagaimanakah bentuk perlindungan kerja dalam hal keselamatan kerja dan waktu kerja yang diberikan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram terhadap pekerja kontrak?
2. Apakah perlindungan keselamatan kerja dan waktu kerja yang diberikan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Mataram kepada pekerja kontrak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ditinjau dari faktor efektifitas hukum?
2 Perlindungan Hukum terhadap Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil pada Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) (Studi Kasus di Rsud Pasar Rebo Jakarta)
Alam Syah, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 2012
1. Bagaimana kedudukan pegawai non PNS pada BLU berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999?
2. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pegawai non PNS di BLUD Provinsi DKI Jakarta
12
khususnya pada RSUD Pasar Rebo, Jakarta?
3 Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer dalam Sistem Kepegawaian
Ayu Prilia Diantri, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013
1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005?
2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil?
Dapat disimpulkan bahwa originalitas penelitian ini murni, belum
dikerjakan oleh peneliti lain sehingga penulis dapat melanjutkan usulan proposal
penelitian dengan judul eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak pada Dinas
Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung.
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan umum
1. Untuk melatih menyatakan pikiran secara tertulis serta mengembangkan
ilmu pengetahuan hukum.
2. Untuk memberikan kontribusi ilmiah terkait dengan permasalahn hukum
dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu dalam
bidang hukum perdata khususnya hukum ketenagakerjaan.
3. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum di Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
13
1.5.2 Tujuan khusus
1. Untuk memahami keberadaan tenaga kontrak sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003.
2. Untuk memahami perlindungan hukum terhadap tenaga kontrak pada dinas
pemadam kebakaran di kabupaten badung sudah sesuai dengan Undang-
Undang.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini dapat di jadikan sebagai bahan penelitian awal bagi para
peneliti di lingkungan lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai
bahan refrensi pada perpustakaan.
1.6.2 Manfaat praktis
1. Untuk dapat di jadikan pedoman dalam pembuatan karya-karya tulis baik
itu pembuatan makalah maupun penelitian hukum lainya, dan memberikan
pengalaman belajar dan melakukan penelitian bagi mahasiswa sehingga
mahasiswa mengtahui jalanya praktek hukum di masyarakat secara
langsung.
2. Untuk dapat di jadikan pedoman dalam menyelesaikan permasalahan yang
sejenis baik oleh pemerintah, praktis dan bagi yang berkepentingan.
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Teori Perlindungan Hukum
Dalam perspektif filsafat hukum, teori perlindungan hukum, awalnya
muncul dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh
Plato, Aristoteles, dan Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa
14
hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara
hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang
bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal
dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.
Hukum alam menurut Thomas Aquinas sebagaimana dikutip Romli
Atmasasmita12 adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan
untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk
disebarluaskan. Eksistensi dan konsep hukum alam selama ini, masih banyak
dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof, tetapi dalam
kanyataannya justru tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan
faham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang
mendasari penolakkan sejumlah filosof terhadap hukum alam, karena mereka
masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari hukum alam,
hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum alam,
tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa pencarian
pada yang “absolut” merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan.
Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku mutlak”,
ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan
semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia.13
12 Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif : Rekonstruksi terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 20-21. 13 Ibid.
15
Hukum alam menurut Thomas Aquinas14 adalah cerminan dari undang-
undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran sejarah hukum,
ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi
juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-undangan.
Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang
esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif.
Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran dan
keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai
anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa.
Substansi hukum, pada abad ke-17, telah menempatkan suatu asas yang berisfat
universal yang bisa disebut hak asasi manusia.
Konsep perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra
berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan
antisipatif15. Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan
14 Ibid. 15 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Bandung, h. 118.
16
untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik
untuk memperoleh keadilan sosial16.
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan
oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum
yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun
pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun
haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.17
Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan
yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat
maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan
serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum
yaitu pendukung hak dan kewajiban. Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief
Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum
itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian
manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat
manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar
sesuai dengan martabatnya.18
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah
satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga
Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar
16 Sunaryati, Hartono, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit
Alumni, Bandung, h. 29.
17 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53. 18 Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, h. 64.
17
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk
yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap
aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal
tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan
kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam
konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu
bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk
memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari
ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan
pada proses litigasi dan/atau non litigasi.
Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan
hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:19
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan Hukum Represif
19 Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, h. 30.
18
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila
sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Selanjutnya pekerja merupakan “tulang punggung perusahaan”. Pekerja
dikatakan sebagai tulang punggung, karena memang dia mempunyai peranan yang
penting. Tanpa adanya pekerja tidak akan mungkin perusahaan itu dapat berjalan,
dan berpartisipasi dalam pembangunan. Pentingnya pekerja bagi perusahaan,
pmerintah dan masyrakat, maka perlu dilakukan pemikiran agar pekerja dapat
menjaga keselamatannya dalam menjalankan pekerjaannya. Dengan demikian
maka perlindungan kerja akan mencakup;
a. Norma keselamatan kerja.
b. Norma kesehatan kerja dan Heigiene kesehatan perusahaan.
c. Norma kerja.
d. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita
penyakit kuman akibat pekerjaan20.
Perlindungan hukum menurut Imam Soepomo membagi perlindungan
pekerja ini menjadi 3 (tiga) macam yaitu:
a. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk untuk memberikan kepada pekerja suatu
penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya
beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu
20 Kartasapoetra, G, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perburuhan, Cet I, Armico Bandung, h.
43-44.
19
bekerja sesuatu diluar kehedaknya. Perlindungan ini disebut jaminan
sosial.
b. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan
usaha kemasyarakatan, yang tujuannnya memungkinkan pekerja itu
mengenyam dan memperkembangkan prikehidupannya sebagai
manusia pada umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota
keluarga; atau yang biasa disebut dengan kesehatan kerja.
c. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan
yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya
atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan; atau yang
biasa disebut dengan keselamatan kerja.21
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu
sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap
masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.
Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam
masyarakat.
1.7.2 Konsep Tenaga Kerja Kontrak
Tenaga kerja kontrak adalah konsep perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam jangka waktu
21Zainal Asikin, 2002, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Pt Raja Grafindo Persada,
Jakarta. h. 76. Dikutip dari Imam Soepomo, 1983, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, Djambatan.
20
berlakunya ditentukan. Bila jangka waktu telah berakhir maka dengan sendirinya
terjadi pemutusan hubungan kerja dan para pekerja tidak berhak atas konpensasi.
Selanjutnya konsep perjanjian kerja menurut Wiwiho Soedjono adalah
hubungan hukum antar seseorang yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan
seorang yang bertindak sebagai majikan, atau perjanjian perorangan pada suatu
pihak dengan lain pihak sebagai majikan, untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dengan mendapat upah22.
Adapun syarat-syarat untuk melakukan kerja kontrak adalah sebagai
berikut:
1. Perjanjian Kerja Kontrak harus ditulis dan harus menggunakan bahasa
Indonesia sesuai dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja
untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
Bahasa Indonesia dan huruf latin.”
2. Perjanjian Kerja Kontrak yang tidak dibuat tertulis dianggap sebagai
Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan
demikian pekerja menjadi pekerja tetap di perusahaan tersebut sesuai
dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai berikut: perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk
waktu tidak tertentu.
22 Wiwiho Soedjono, 1983, Hukum Perjanjian Kerja, Cet. I, Bima Aksara. h. 5.
21
3. Perjanjian Kerja Kontrak tidak mempersyaratkan adanya masa
percobaan sesuai dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja
untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja.”
4. Apabila dalam Perjanjian Kerja Kontrak ditetapkan masa percobaan
maka akan batal demi hukum sesuai dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai
berikut: ”dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja
yang disyaratkan batal demi hukum.”
5. Perjanjian Kerja Kontrak tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus, sesuai dalam Pasal 56
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagai berikut: ”perjanjian kerja dibuat untuk waktu
tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: jangka
waktu; atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.”
Adapun ciri-ciri pekerjaan yang dapat dibuat Perjanjian Kerja untuk
Kontrak adalah sebagai berikut:
1. Jangka waktu pekerjaan tersebut tertentu atau terbatas
2. Jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja/buruh adalah tertentu
bersifat, jenisnya dan kegiatanya selesai dalam jangka waktu tertentu
22
3. Pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan pokok dari suatu
perusahaan atau hanya merupakan pekerjaan penunjang atau tambahan
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru atau kegiatan baru
atau tambahan yang dalam percobaan atau penjajakan.
Adapun masa berakhirnya Perjanjian Kerja untuk Kontrak adalah sebagai
berikut:
1. Untuk Perjanjian Kerja untuk Kontrak adalah yang sekali selesai dan
predictable maka perjanjian kerja untuk waktu tertentu diadakan untuk
paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk
jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaruan perjanjian kerja
untuk waktu tertentu hanya dapat diadakan satu kali dan paling lama
dua tahun.
2. Apabila perjanjian kerja untuk kontrak diakhiri oleh salah satu pihak
sebelum berakhirnya perjanjian kerja untuk kontrak, maka pihak yang
mengakhiri harus mengganti rugi sebesar upah pekerja sampai
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan sebaliknya jika
kewajiban ganti rugi itu tidak terjadi apabila pekerjaan yang
diprediksikan untuk jangka waktu tertentu lebih cepat diselesaikan.
Bila demikian maka perjanjian kerja untuk kontrak dibuat akan
berakhir dengan sendirinya sesuai dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai
berikut: ”apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja
23
waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.”
Jika sampai perjanjian kerja untuk kontrak itu pekerjaan belum selesai juga
selesai maka dapat dilakukan pembaharuan perjanjian kerja untuk kontrak¸
pembaharuan perjanjian kerja untuk kontrak tersebut dapat dilakukan setelah
melebihi masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
Konsekuensinya selama 30 hari masa tenggang waktu tidak ada hubungan kerja
antara pekerja dengan pengusaha.
Keberadaan pegawai non pegawai negeri sipil yang bekerja di instansi
pemerintah telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Walaupun mereka bekerja
pada tempat dan pekerjaan yang sama dengan pegawai negeri sipil, namun yang
membedakan mereka terletak pada status hukumnya. Jadi seorang dikatakan
sebagai pegawai negeri atau bukan pegawai negeri tidak terletak pada jenis
pekerjaannya namun pada status hukum yang melekat pada masing-masing
pegawai.
Pengertian pegawai non Pegawai Negeri Sipil tidak ditemukan dalam
literatur hukum kepegawaian. Namun dapat ditarik suatu pengertian mengenai hal
tersebut dengan menafsirkan secara terbalik dari pengertian pegawai negeri. Bila
Logemann mengatakan bahwa pegawai negeri adalah seseorang yang
mengikatkan dirinya kepada perintah negara atau pemerintah dalam suatu
hubungan dinas publik, maka dengan demikian pegawai non pegawai negeri sipil
24
adalah seseorang yang bekerja kepada negara bukan berdasarkan hubungan dinas
publik.
Sedangkan bila kita merujuk kepada pengertian pegawai negeri yang dibuat
oleh undang-undang, maka kita juga dapat memberikan pengertian kepada
pegawai non pegawai negeri sipil sebagai seseorang yang bekerja kepada negara
atau pemerintah dalam hubungan hukum atau pengertian yang berbeda dengan
pegawai negeri sipil. Dengan kata lain, mereka yang bekerja di pemerintah dengan
dasar yang berbeda dengan pegawai negeri sipil adalah pegawai non pegawai
negeri sipil.
Dengan pengertian tersebut di atas maka pegawai non pegawai negeri sipil
bentuknya bisa bermacam-macam, tergantung dengan kebutuhan instansi tersebut.
Sastra Djatmika dan Marsono menyebutkan golongan-golongan pekerja yang
tidak termasuk pegawai negeri tersebut, yakni (a) pejabat negara, (b) pekerja, (c)
pegawai dengan ikatan dinas (lebih tepat perjanjian kerja) berdasar ketentuan-
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, (d) pegawai dengan ikatan
dinas untuk waktu terbatas, (e) pegawai bulanan menurut Pasal 20 ayat (2) PGPS
1968, (f) pegawai desa, dan (g) pegawai perusahaan umum23. Pegawai-pegawai
non PNS sebagaimana diatas diperkerjakan tidak secara tetap atau dalam jangka
waktu tertentu baik secara harian, bulanan atau beberapa tahun.
23 Sastra Djatmika, 1990, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Penerbit Djambatan, Cetakan Kedelapan, Jakarta, h. 15
25
1.8 Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini diperlukan ketersediaan data yang obyektif
dan ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dan untuk
memperoleh data tersebut dipergunakan metode sebagai berikut:
1.8.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah
penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris istilah lain yang digunakan
adalah:
Penelitian hukum sosioligis dan dapat disebut pula dengan penelitian lapangan, karena bertitik tolak dari data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan. Penelitian lapangan di lakukan melalui pengamatan (observasi), wawamcara ataupun penyebaran kuesioner24.
1.8.2 Jenis pendekatan
Penelitian Hukum Empiris umumnya mengenal 7 jenis pendekatan, yaitu:
Pendekatan Kasus, Pendekatan Perundang-Undangan, Pendekatan Fakta,
Pendekatan Analisis Konsep Hukum, Pendekatan Frasa, Pendekatan Sejarah, dan
Pendekatan Perbandingan25.
Dari 7 Jenis-jenis pendekatan dalam penelitian hukum empiris seperti yang
di uraikan di atas, penulis menggunakan jenis Pendekatan Fakta dan Pendekatan
Perundang-undangan. Pendekatan fakta adalah pendekatan yang dilakukan dengan
melihat langsung kondisi Tenaga Kontrak pada Dinas Pemadam Kebakaran di
Kabupaten Badung.
24 Bambang Wahyo, 2008, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16. 25 Fakultas Hukum Uiversitas Udayana, 2013, Buku Pedoman Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 80.
26
Selain itu, dipergunakan juga pendekatan perundang-undangan adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang telah ditangani. Berkaitan dengan
penelitian ini yang dijadikan acuan adalah peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan eksistensi perlindungan hukum tenaga kontrak pada Dinas
Pemadam Kebakaran di Kabupaten Badung.
1.8.3 Sifat penelitian
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan
gejala lain dalam masyarakat26. Dalam penelitian ini memperkuat teori yang sudah
ada dan dapat menggunakan data kualitatif.
1.8.4 Data dan sumber data
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 sumber
data, yaitu:
1. Data primer (data lapangan) adalah data yang diperoleh peneliti langsung
dari sumber asalnya dan belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.27 Data
primer ini merupakan data yang diperoleh dari lapangan, yang dalam hal
ini data dari hasil penelitian yang dilakukan di Dinas Pemadam Kebakaran
Kabupaten Badung.
26 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta h. 25. 27 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada, Jakarta, h. 168.
27
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh metode library
research/penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berjudul
laporan dan seterusnya berhubungan dengan masalah yang dibahas28.
Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah:
a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang dapat
membantu dalam menganalisa dan memahami permasalahan dalam
penelitian ini, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4279).
4) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil.
5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.
220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi No. Kep.
100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu.
28 Bambang Wahyo, op.cit. h. 16
28
7) Keputusan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penunjukan Tenaga Kontrak Staf
Operasional Pemadam Kebakaran Tahun Anggran 2015
b. Bahan hukum sekunder yaitu sebagai bahan hukum yang tidak
mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang
merupakan hasil olahan pendapat atau pikirian para ahli. Bahan hukum
sekunder ini berupa jurnal-jurnal hukum, buku-buku hukum, dan hasil
karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan
pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum
tersier dalam penelitian ini bersumber dari Kamus besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.
1.8.5 Teknik pengumpulan data
Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan lazim digunakan
dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah wawancara dilakukan
bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan pertanyaan-pertayaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban-jawabn relevan dengan masalah penelitian
kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki
nilai validitas dan reabilitas, dalam berwanwancara peneliti menggunakan alat
berupa pedoman wawancara atau interview guide29. Wawancara dilakukan pada
Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Badung.
1.8.6 Teknik pengolahan dan analisis data
29 Fakultas Hukum Uiversitas Udayana, op.cit, h. 82.
29
Untuk mendapatkan hasil atau jawaban atas permasalahan yang diteliti,
maka keseluruhan data yang terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisa dari
aspek praktek dan teorinya. Analisa data yang telah dilakukan adalah analisa
kualitatif, dalam arti keseluruhan data yang terkumpul diklasifikasikan sedemikian
rupa kemudian diambil yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan
dibahas. Setelah data tersebut semua diolah, selanjutnya pembahasan disajikan
secara analisis deskriptif yaitu memaparkan secara lengkap dan mendetail aspek-
aspek tertentu yang berkaitan dengan masalah, diberikan uraian-uraian dan
memperoleh suatu kesimpulan yang ilmiah.