Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam menghadapi tantangan global saat ini, suatu negara memerlukan
sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu berkompetisi dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Penguasaan iptek sangat
ditentukan oleh penguasaan ilmu-ilmu dasar seperti matematika dan IPA, yang
belakangan lebih dikenal dengan istilah sains. Sedangkan penguasaan matematika
dan sains dapat diupayakan melalui peningkatan kualitas pendidikan, khususnya
pendidikan sains dan matematika. Hal senada juga diungkapkan oleh Hikam saat
memberikan kata pengantar dalam acara sebuah seminar sebagai berikut:
Kualitas SDM suatu negara akan ditentukan sistem pendidikan yangmenghasilkan SDM di negara tersebut. Semakin rendah kualitasSDMnya, maka berarti semakin rendah kualitas pendidikannya.Demikian juga, semakin rendah daya saing SDM dari suatu negara,berarti daya saing lembaga pendidikan negara tersebut sangat rendah.Indikator untuk menentukan tinggi atau rendahnya kualitas dan dayasaing SDM ditentukan oleh sampai sejauh mana SDM tersebutmenguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)…. Penguasaan iptektidak dapat dilakukan apabila tidak melalui penguasaan ilmu dasarseperti matematika, fisika, kimia, dan biologi.1
Penguasaan matematika dan sains pada tingkat sekolah dasar merupakan
sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar, mengingat masa tersebut merupakan
periode "keemasan" bagi siswa dalam menangkap dan mempelajari sesuatu. Selain
itu, sekolah dasar juga merupakan gerbang masuk bagi siswa dalam menempuh
jalur pendidikan formal. Membekali mereka dengan penguasaan dasar keilmuan
matematika dan sains yang kuat pada periode ini, akan sangat berpengaruh
terhadap proses/tahap pengembangan di tingkat pendidikan selanjutnya.
1 M. A. S. Hikam, Telaah Problematika Pengajaran MIPA dalam Dunia Pendidikan NasionalIndonesia, Makalah Seminar Sehari Jurusan Tadris IPA IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, t.d.,(Jakarta: Perpustakaan Jurusan Tadris IPA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001), hlm. 3-4.
2
Pada dasarnya, penguasaan matematika dan sains siswa Indonesia untuk
tingkat sekolah dasar, tidak kalah dibanding dengan pelajar mancanegara pada
umumnya. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa siswa terbaik bangsa yang
dipersiapkan secara khusus, mampu menjuarai berbagai ajang kompetisi
matematika dan sains bergengsi kelas dunia. Contohnya Toby Moektijono yang
mampu meraih gelar Best Theory sekaligus memperoleh medali emas pada
Olimpiade Matematika dan IPA SD tingkat Internasional atau International
Mathematics and Science Olympiad (IMSO) for Primary School tahun 2005
dalam bidang matematika. Sedangkan untuk sains, terdapat beberapa nama seperti
Andhika Teguh. P (Best Theory), Harun Reza. S dan Restiana. R (medali emas).
Ajang tersebut juga diikuti oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, dan Thailand.2
Namun ironisnya, pencapaian gemilang Toby, Andhika, dan kawan-kawan
di IMSO, sangat bertolak belakang dengan gambaran siswa tingkat sekolah dasar
di Indonesia pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari makin terpuruknya posisi
Indonesia dalam berbagai tes berstandar internasional yang pernah diikuti.
Kajian dari Trends in International Mathematics and Science Study
(TIMSS), yang menilai penguasaan pelajar kelas IV dan kelas VIII dalam bidang
matematika dan sains, tahun 1999 memposisikan Indonesia pada peringkat 34
untuk matematika dan peringkat 36 untuk sains dari 38 negara. Tahun 2003,
Indonesia menempati peringkat 34 dari 45 negara dengan skor rata-rata hanya 411
untuk matematika dari kisaran (range) skor 400 dan tertinggi 625, jauh di bawah
Malaysia (508) dan Singapura (605). Sedangkan untuk sains skor rata-rata pelajar
Indonesia hanya 395, tertinggal dari Thailand (429), Singapura (473), dan
Malaysia (510).3
Hasil yang kurang lebih sama juga dapat dilihat dalam survey tiga tahunan
Programme for International Student Assessment (PISA) yang menilai
kemampuan pelajar di bawah usia 15 tahun dalam bidang matematika dan sains
2 Elvira, International Mathematics and Science Olympiad (IMSO) 2005, dalam Fasilitator, Edisi 1,Tahun 2006, hlm. 8-10.
3 Sri Hartati Samhadi, Mengukur Kualitas Output Sistem Pendidikan, dalam Kompas, Jakarta, 10Desember 2007, hlm. 53.
3
selain membaca. Pada tahun 2003, dari 40 negara Indonesia menduduki posisi ke-
38 dalam bidang matematika dan sains –dua peringkat di bawah Thailand– dengan
skor rata-rata 411 untuk matematika dan 395 untuk sains. Sedangkan pada tahun
2006 dari 57 negara, Indonesia berada pada urutan ke-50 untuk matematika
dengan skor rata-rata 391, tertinggal enam peringkat di bawah Thailand. Untuk
sains juga pada posisi yang sama (ke-50), dengan skor rata-rata 393 berada empat
tingkat di bawah Thailand.4
Penelitian yang dilakukan PISA tidak hanya mengukur kemampuan siswa
dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan, tetapi juga dimaksudkan untuk
melihat sejauh mana siswa mampu menghadapai tantangan masa depan. Untuk itu
dinilai pula kemampuan siswa dalam memecahkan suatu masalah (problem
solving) meliputi kemampuan mengenali dan menganalisis masalah,
memformulasikan reasoning-nya, dan kemampuan mengomunikasikan gagasan
yang dimiliki. Dari penilaian tersebut akan terlihat sejauh mana siswa mampu
memetik pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan di sekolah sebagai
bekalnya dalam menghadapi kehidupan di masyarakat. Namun ironisnya,
kemampuan memecahkan masalah siswa Indonesia sangat terpuruk dan hanya
mampu menempati peringkat ke-39 dari 40 negara.5
Pemaparan kontradiktif di atas kiranya dapat menjadi sekilas gambaran
dari mencoloknya tingkat kesenjangan prestasi siswa sekolah dasar Indonesia
dalam bidang matematika dan sains, dan rendahnya daya saing dan kualitas
pelajar Indonesia pada tingkat sekolah dasar secara umum dalam penguasaan
matematika dan sains. Hal tersebut mengindikasikan bahwa daya saing dan
kualitas pendidikan matematika dan sains pada tingkat sekolah dasar di Indonesia
secara umum masih rendah.
Menurut Wiranata, sekurangnya ada delapan faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas pendidikan secara umum yaitu; faktor pendidik, besarnya
kelas-sekolah (rasio jumlah murid-guru), dana pendidikan, buku pelajaran, situasi
belajar-mengajar (baca: proses pembelajaran), kurikulum, keluarga, dan
4 Ibid.5 Ibid.
4
manajemen pendidikan. 6 Dari sekian banyak faktor, khusus untuk pendidikan
sains Nugraha mencatatkan setidaknya ada tiga permasalahan yang sangat
menonjol, dua di antaranya: Pertama, proses pembelajaran sains dalam praktiknya
masih terpengaruh oleh paradigma lama, yaitu pandangan yang memposisikan
guru sebagai teko yang penuh terisi dengan "air penegetahuan" dan siswa sebagai
"gelas kosong" yang harus siap diisi; Kedua, masih berlangsungnya praktik
pematematikaan sains, yaitu pembelajaran yang berfokus pada pemberian produk
akhir dari sebuah konsep dalam bentuk persamaan matematika bukannya pada
pemahaman konsep itu sendiri.7
Padahal Wiyanto menegaskan bahwa, banyak ahli merekomendasikan
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) dalam proses
pembelajaran sains. 8 Dijelaskan pula oleh Levit –seperti yang dikutip oleh
Bukhori– bahwa pada dasarnya, seseorang kurang tertarik pada sains karena sains
begitu sarat dengan bahasa matematik. 9 Dan tidak sedikit penelitian yang
membuktikan bahwa keikutsertaan siswa secara aktif (siswa menjadi subjek)
dalam proses pembelajaran, dan ketertarikan siswa terhadap pelajaran tertentu
berpengaruh positif terhadap pencapaian prestasi belajar siswa.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab
rendahnya kualitas pendidikan sains adalah kurang tepatnya proses pelaksanaan
pembelajaran sains, yaitu proses pembelajaran yang tidak berpihak pada siswa
(unstudent centered) dan didominasi oleh bahasa matematik.
Selain matematika, terdapat beberapa aktivitas lain yang juga ikut
mendominasi proses pembelajaran sains, yaitu menulis, mendengarkan, dan
membaca. Aktivitas menulis, mendengarkan, membaca, dan matematik (4M) yang
dominan dilakukan siswa pada saat pembelajaran sains merupakan konsekuensi
logis dari perilaku pendidik dalam membelajarkan sains yang hanya berkutat pada
6 Suhenda Wiranata, Menuju Pendidikan Bermutu, dalam Didaktika Islamika, No. 1, Vol. IV, Juni2003, hlm. 29.
7 Rukman Nugraha, Pendidikan Sains Kita, dari www.sampoernafoundation.org, 10 juli 2006.8 Wiyanto, et.al., Potret Pembelajaran Sains di SMP dan SMA, dalam Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran UNDIKSHA, No. 2, Tahun XXX, April 2007, hlm. 387.9 Muchtar Buchori, Pendidikan Nilai: Mungkinkah Diajarkan?, dalam Fasilitator, Edisi 1, Tahun
2006, hlm. 12.
5
aktivitas berceramah atau mendiktekan materi. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wiyanto yang menyatakan bahwa dalam
pembelajaran fisika, aktivitas yang dominan dilakukan oleh guru adalah
berceramah atau menjelaskan, sedangkan bagi siswa adalah mendengarkan dan
mencatat.10
Hal serupa juga terjadi dalam pembelajaran biologi. Ini dapat dilihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar yang menunjukan bahwa guru
dominan menggunakan metode ceramah dan cendrung pada perilaku mengajar
biologi dengan cara menginformasikan (ekspositori) dalam penyampaian konsep-
konsep biologi.11 Sofyan menambahkan, bahwa prilaku yang dominan dilakukan
siswa pada saat guru menjelaskan pelajaran adalah hanya mendengarkan saja.12
Besar kecendrungan dominasi aktivitas para pendidik berceramah, yang
berekses kepada aktivitas 4M oleh siswa, dalam pembelajaran sains disebabkan
oleh persepsi para pendidik bahwa hanya dengan cara seperti itulah setiap peserta
didik dapat memperoleh pelajaran dengan baik dan mereka menjadi pengajar yang
baik pula, seperti yang mereka alami ketika mereka masih berstatus sebagai
pelajar. Untuk para pendidik yang masih berpegang teguh pada pendirian tersebut,
masukan dari Semiawan di bawah ini kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan.
Pengetahuan yang harus dimiliki oleh semua pendidik adalah bahwasemua ilmu yang harus dikuasai oleh anak-anak kita, tidak harusdiperolehnya dengan cara yang sama bagi setiap anak…. Tawaranuntuk memperoleh berbagai opsi (jawaban) bagi anak-anak kita dalammeraih sukses di sekolah sebenarnya sudah ada di depan mata kita,yaitu kecerdasan si anak itu bersifat jamak (lebih dari satu) danmerupakan satu keseluruhan yang bermakna.13
Apresiasi positif dan pelayanan prima pada kecerdasan siswa yang bersifat
jamak (multiple) dalam pembelajaran sains pada tataran praktis berimplikasi pada
keragaman cara dan pendekatan bagi setiap siswa dan guru dalam mempelajari
10 Wiyanto, et.al., op.cit., h. 389.11 Mahmud M. Siregar, Prilaku Mengajar Guru Biologi MA, dalam Didaktika Islamika, No. 1, Vol.
IV, Juni 2003, hlm. 60.12 Ahmad Sofyan, Prilaku Belajar Biologi Siswa MAN, dalam Didaktika Islamika, No. 1, Vol. IV,
Juni 2003, hlm. 70.13 Conny R. Semiawan, Multiple Intelligences as a Human Treasure (Dalam Rangka Nurturing
Global Students with Character), dalam Fasilitator, Edisi 4, Tahun 2006, hlm. 27.
6
dan membelajarkan sains. Hal tersebut merupakan salah satu ekses positif yang
dapat diperoleh dari penerapan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences
theory) pada dunia pendidikan.
Pada dasarnya, teori kecerdasan majemuk merupakan teori psikologi yang
menawarkan perspektif baru dalam pendefinisian dan perkembangan kecerdasan
seseorang. Berdasarkan teori ini, kecerdasan didefinisikan sebagai “kemampuan
untuk menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai dalam suatu
budaya”. 14 Ini menunjukan bahwa beberapa kemampuan yang dimiliki setiap
orang, berpotensi untuk dapat disebut sebagai kecerdasan. Dengan kata lain, teori
ini berpandangan bahwa setiap individu memiliki kecerdasan yang jamak (lebih
dari satu). Setidaknya ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap
individu, yaitu: linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani, musikal,
interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.15
Dalam perspektif teori kecerdasan majemuk, aktivitas 4M yang dominan
dilakukan siswa dalam pembelajaran sains merupakan bentuk dari proses
pembelajaran yang hanya berorientasi pada kecerdasan linguistik dan matematis-
logis yang dimiliki siswa. Apresiasi negatif terhadap potensi enam kecerdasan
lainnya yang dimiliki siswa, bukanlah hal yang tabu dalam proses pembelajaran
sains. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Wiyanto, Siregar, dan Sofyan yang
telah dikemukakan sebelumnya. Selain itu Rahman menambahkan bahwa, pada
praktiknya proses pembelajaran sains lebih menitikberatkan pada upaya
membangun kemampuan berfikir siswa secara matematis, logis dan verbal.16 Hal
senada juga diungkapkan oleh Suparno, yang menyatakan bahwa pendekatan yang
14 Thomas R. Hoer, Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City School di St. Louis,Missouri, AS, dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak, Terj. dari Becoming A MultipleIntelligences School oleh Ary Nilandari, (Bandung: Kaifa, 2007), Cet. I, hlm. 11.
15 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di DuniaPendidikan, Terj. dari Multiple Intelligences in the Classroom-2nd edition oleh Yudhi Murtanto,(Bandung: Kaifa, 2003), Cet. II, hlm. 10-11.
16 Nurdin A. Rahman, Efektivitas Penggunaan Metode Inteligensi Ganda dalam ProsesPembelajaran Fisika di SMU, dalam Eduk@si Jurnal Pendidikan, No. 2, Vol. I, Januari 2005,hlm. 1.
7
sering digunakan dalam pembelajaran sains khususnya fisika adalah lebih bersifat
matematis-logis.17
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dominasi ritual 4M siswa
dalam proses pembelajaran sains "setali tiga uang" dengan ketidakberpihakan
proses pembelajaran sains pada siswa, yang berekses langsung pada pengabaian
terhadap potensi kecerdasan majemuk siswa yang sejatinya merupakan satu
keseluruhan yang bermakna, dan memiliki hak dan potensi yang sama untuk
diapresiasi secara positif, dilayani, dan dikembangkan secara maksimal.
Sedangkan pengabaian terhadap potensi kecerdasan majemuk siswa dalam
proses pembelajaran sains, pada tataran praktisnya berimplikasi pada
kecenderungan penerapan model atau pendekatan konvensional dalam
pembelajaran sains, yaitu pola interaksi/arus informasi satu arah dari guru ke
murid, dengan kendali penuh berada di tangan guru. Sang guru berceloteh di
depan kelas sedangkan si murid wajib duduk manis dengan mendengarkan,
mencatat, dan menirukan yang disampaikan guru atau sesekali
bertanya/berpendapat –tetapi lebih dominan silent action dari pada bersuara,
karena prinsip "diam itu emas" sedangkan bersuara berarti "perlawanan" masih
dipegang teguh dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Padahal menurut Nurdin, dari berbagai hasil penelitian dinyatakan bahwa
“model atau pendekatan pembelajaran konvensional belum mampu menjadikan
semua siswa di kelas bisa menguasai tujuan-tujuan umum pembelajaran,….”18
Dengan kata lain, pengabaian terhadap potensi kecerdasan majemuk siswa dalam
proses pembelajaran sains berakibat pada rendahnya kualitas pembelajaran sains.
Dari keseluruhan uraian di atas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa
rendahnya kualitas pendidikan sains di Indonesia disebabkan oleh rendahnya
kualitas pembelajarannya. Sedangkan rendahnya kualitas pembelajaran sains
disebabkan oleh terabaikannya potensi kecerdasan majemuk siswa dalam proses
17 Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda dalam Pembelajaran Fisika di Sekolah Menengah, dalamA. Atmadi (eds.), Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, (Yoyakarta: PenerbitanUniversitas Sanata Dharma, 2000), hlm. 171.
18 Syafruddin Nurdin, Model Pembelajaran yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalamKurikulum Berbasis Kompetensi, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), Cet. I, hlm. 4.
8
pembelajaran. Hidayanto dalam Nurdin menjelaskan bahwa fenomena rendahnya
kualitas pembelajaran disebabkan oleh sikap spekulatif dan intuitif guru, salah
satunya dalam memilih strategi pembelajaran.19
Dengan kata lain, rendahnya kualitas pembelajaran sains yang disebabkan
oleh terabaikannya potensi kecerdasan majemuk siswa dalam proses pembelajaran
sains, merupakan ekses dari pemilihan strategi pembelajaran sains yang tidak
berbasis pada dasar pengetahuan/keilmuan yang kuat. Jadi, dari pemaparan
tersebut, dan dengan mengacu pada pendapat Semiawan pada uraian sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran sains yang pemilihannya
didasarkan atau berbasis pada teori kecerdasan majemuk, merupakan solusi tepat
untuk mengatasi masalah rendahnya kualitas pembelajaran sains yang disebabkan
oleh terabaikannya potensi kecerdasan majemuk siswa dalam proses pembelajaran
sains.
Armstrong dalam Winataputra, secara umum mendefinisikan strategi
pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk sebagai suatu upaya untuk
mengoptimalkan berbagai kecerdasan yang dimiliki setiap siswa untuk mencapai
kompetensi tertentu yang dituntut dalam kurikulum.20 Pada tataran praktis, ada
dua cara dalam menerapkan strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk,
yang jika diterapkan dalam ranah strategi pembelajaran sains adalah sebagai
berikut: 1. Mengoptimalkan pencapaian suatu konsep sains, berdasarkan semua
kecerdasan siswa yang dapat diterapkan pada pembelajaran konsep tersebut; dan
2. Mengoptimalkan pencapai suatu konsep sains berdasarkan kecerdasan yang
menonjol pada setiap siswa.21
Dari kedua cara di atas, Armstrong dan Campbell lebih merekomendasikan
penggunaan cara yang pertama, yang dalam penyusunan rancangannya harus
memperhatikan pemilihan/perumusan terhadap: 1) Konsep sains yang diajarkan,
dan tujuan dari pembelajaran konsep tersebut; 2) Jenis-jenis kecerdasan siswa
yang diterapkan dalam pembelajaran; 3) Metode pembelajaran yang digunakan; 4)
19 Ibid., h. 8.20 Udin S. Winataputra, et.al., Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka,
2007), Cet. I, h. 5. 26-5. 27.21 Ibid., h. 5. 27.
9
Kegiatan belajar siswa dalam pembelajaran; 5) Media pembelajaran yang
diperlukan; 6) Jenis dan prosedur kegiatan penilaian yang digunakan; dan 7)
Urutan pelaksanaan pembelajaran.22
Melihat pentingnya penguasaan dasar-dasar sains pada tingkat sekolah
dasar, sebagai langkah awal dalam mencetak SDM Indonesia yang berkualitas dan
kompeten dalam penguasaan iptek guna menghadapi tantangan global. Menyadari
masih rendahnya kualitas pendidikan sains pada tingkat sekolah dasar di
Indonesia, yang disebabkan oleh rendahnya kualitas pembelajaran sains karena
cenderung terabaikannya potensi kecerdasan majemuk siswa dalam proses
pembelajaran sains. Mempertimbangkan solusi yang ditawarkan oleh penerapan
teori kecerdasan majemuk dalam dunia pendidikan, khususnya dalam penyusunan
rancangan strategi pembelajaran sains. Beberapa sekolah dasar di Indonesia ada
yang mulai mengadopsi teori ini sebagai salah satu dasar atau basis penegetahuan
dari kegiatan pendidikannya dan, khususnya, dalam penyusunan rancangan
strategi pembelajaran sains. Salah satunya adalah Sekolah Dasar School of
Universe (SoU) Parung Bogor.
Kekhasan sekolah ini adalah menjadikan alam sebagai sumber belajar
utama dalam setiap kegiatan pembelajarannya, khususnya pembelajaran sains. Hal
ini mengindikasikan penggunaan jenis kecerdasan lain dalam kegiatan
pembelajaran sains di sekolah ini, yaitu kecerdasan naturalis. Selain itu,
pendidikan kepemimpinan dan pembentukan karakter (leadership and carracter
building), dan pendidikan seni dan musik, yang terintegrasi ke dalam setiap
kegiatan pembelajaran, juga mengindikasikan bahwa penggunaan kecerdasan
interpersonal, intrapersonal, visual-spasial, gerak-kinestetik, dan musik, ikut pula
mewarnai setiap kegiatan pembelajaran termasuk pembelajaran sains di sekolah
ini.
Dengan kata lain, SD SoU mencoba memupus dominasi penggunaan
kecerdasan linguistik dan matematis-logis dalam setiap kegiatan pembelajaran, tak
terkecuali pembelajaran sains, dan beralih pada paradigma bahwa semua ilmu
22 Linda Campbell et.al., Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, Terj. dariTeaching & Learning Through Multiple Intelligences oleh Tim Intuisi, (Depok: Intuisi Press,2006), Cet. II, hlm. 241-242., dan Armstrong, op.cit., h. 88-90.
10
yang harus dikuasai oleh para siswa, tidak harus diperolehnya dengan cara yang
sama bagi setiap siswa. Karena setiap siswa memiliki kecerdasan yang majemuk
(tidak hanya kecerdasan linguistik dan matematis-logis), dan merupakan satu
keseluruhan yang bermakna, yang perlu diapresiasi secara positif, dilayani secara
prima, dikembangkan secara maksimal, dan dioptimalkan penggunaannya dalam
setiap kegiatan pembelajaran, termasuk pembelajaran sains.
Berdasarkan keseluruhan uraian latar belakang masalah di atas, penulis
merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang langkah-langkah penyusunan
rancangan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU
Parung Bogor, dengan judul Strategi Pembelajaran Sains Berbasis Kecerdasan
Majemuk (Studi Deskriptif-Kualitatif di SD School of Universe Parung
Bogor).
B. Identifikasi Masalah
Jika mengacu pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan
majemuk?
2. Bagaimana gambaran dari penerapan strategi pembelajaran sains berbasis
kecerdasan majemuk pada sekolah-sekolah dasar di Indonesia?
3. Apakah penerapan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sains pada sekolah-sekolah dasar
di Indonesia?
4. Bagaimana gambaran dari langkah-langkah penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk, dan penerapannya pada
sekolah-sekolah dasar di Indonesia yang menerapkan teori kecerdasan
majemuk?
5. Apakah penerapan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sains pada sekolah-sekolah dasar
di Indonesia yang menerapkan teori kecerdasan majemuk?
11
6. Bagaimana gambaran dari langkah-langkah penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk, dan penerapannya di SD
SoU Parung Bogor?
7. Apakah penerapan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sains di SD SoU Parung Bogor?
C. Pembatasan Masalah
Melihat luasnya cakupan masalah, maka pada penelitian ini hanya akan
membahas mengenai permasalahan tentang gambaran dari langkah-langkah
penyusunan rancangan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk
di SD SoU Parung Bogor, dengan pembatasan masalahnya sebagai berikut:
1. Langkah-langkah penyusunan rancangan strategi pembelajaran sains berbasis
kecerdasan majemuk pada penelitian ini meliputi pemilihan/perumusan: 1)
Konsep sains yang akan diajarkan, dan tujuan dari pembelajaran konsep
tersebut; 2) Jenis-jenis kecerdasan siswa yang diterapkan; 3) Metode
pembelajaran yang digunakan; 4) Kegiatan belajar siswa dalam pembelajaran;
5) Media pembelajaran yang diperlukan; 6) Jenis dan prosedur kegiatan
penilaian yang digunakan; dan 7) Urutan pelaksanaan pembelajaran.
2. Sedangkan yang dimaksud dengan strategi pembelajaran sains berbasis
kecerdasan majemuk pada penelitian ini adalah pola/kerangka kegiatan
pembelajaran sains yang dipilih pendidik, sesuai dengan kecerdasan majemuk
peserta didik yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, dan
rumusan tujuan pembelajarannya.
D. Perumusan Masalah
Dari identifikasi dan pembatasan masalah yang ada, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang akan menjadi dasar berpijak bagi peneliti dalam
melakukan kegiatan penelitian ke arah yang lebih jelas dan spesifik, yaitu:
1. Bagaimana pemilihan konsep sains dan perumusan tujuan dari pembelajaran
konsep tersebut, dalam penyusunan rancangan strategi pembelajaran sains
berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor?
12
2. Bagaimana penentuan jenis-jenis kecerdasan siswa yang diterapkan dalam
pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor?
3. Bagaimana pemilihan metode pembelajaran yang digunakan dalam
pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor?
4. Bagaimana penentuan kegiatan belajar siswa dalam pembelajaran suatu
konsep sains, dalam penyusunan rancangan strategi pembelajaran sains
berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor?
5. Bagaimana pemilihan media pembelajaran yang diperlukan dalam
pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor?
6. Bagaimana penentuan jenis dan prosedur kegiatan penilaian yang digunakan
dalam pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor?
7. Bagaimana perumusan urutan pelaksanaan pembelajaran suatu konsep sains,
dalam penyusunan rancangan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan
majemuk di SD SoU Parung Bogor?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Jika mengacu pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Mengetahui gambaran dari pemilihan konsep sains dan perumusan tujuan
dari pembelajaran konsep tersebut, dalam penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor.
b. Mengetahui gambaran dari penentuan jenis-jenis kecerdasan siswa yang
diterapkan dalam pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan
rancangan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD
SoU Parung Bogor.
c. Mengetahui gambaran dari pemilihan metode pembelajaran yang digunakan
dalam pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan
13
strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU
Parung Bogor.
d. Mengetahui gambaran dari penentuan kegiatan belajar siswa dalam
pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor.
e. Mengetahui gambaran dari pemilihan media pembelajaran yang diperlukan
dalam pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan
strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU
Parung Bogor.
f. Mengetahui gambaran dari jenis dan prosedur kegiatan penilaian yang
digunakan dalam pembelajaran suatu konsep sains, dalam penyusunan
rancangan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD
SoU Parung Bogor.
g. Mengetahui gambaran dari perumusan urutan pelaksanaan pembelajaran
suatu konsep sains, dalam penyusunan rancangan strategi pembelajaran
sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah
wawasan para praktisi pendidikan sains dan mahasiswa keguruan jurusan
pendidikan sains pada khususnya, dan mahasiswa keguruan yang bukan
jurusan pendidikan sains (IPA) dan mahasiswa non keguruan, pemerhati
masalah pendidikan, dan masyarakat pada umumnya, tentang gambaran dari
penerapan teori kecerdasan majemuk dalam strategi pembelajaran sains,
khususnya di SD School of Universe Parung Bogor.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi bahan
refleksi bagi SD School of Universe Parung Bogor dalam penyusunan
rancangan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di sekolah
ini, dan menjadi bahan masukan bagi kegiatan penelitian selanjutnya
khususnya di jurusan pendidikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
14
BAB II
ACUAN TEORETIK
A. Hakikat Kecerdasan Majemuk
1. Definisi Kecerdasan
Kecerdasan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah intelligence,
yang dalam Longman Dictionary of Contemporary English International
Student Edition, diartikan sebagai “Ability to learn and understand”
(Kemampuan untuk belajar dan memahami)23. Beragam definisi kecerdasan
telah dikemukakan oleh banyak kalangan, baik dari para ahli psikologi sendiri
maupun dari kalangan orang awam. Usaha penelitian tentang definisi
kecerdasan sendiri telah banyak dilakukan sejak lama oleh para ahli.
Contohnya pada tahun 1921, sebuah jurnal akademik mengadakan
penelitian terhadap empat belas psikolog dan guru ternama tentang definisi
kecerdasan menurut mereka. Hasilnya, didapatkan empat belas definisi
kecerdasan yang berbeda, tetapi kebanyakan dari para ahli menekankan pada
aspek kemampuan untuk belajar dari pengalaman (the ability to learn from
experience) dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan tertentu (the
ability to adapt to one’s environment)24. Dari hasil penelitian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk belajar dari
pengalaman, dan beradaptasi dengan lingkungan tertentu.
Pada tahun 1981 penelitian serupa juga dilakukan oleh psikolog Robert
J. Sternberg dan para koleganya. Mereka meng-interview dan menyebarkan
kuisioner kepada 476 orang responden laki-laki dan perempuan, dan mereka
juga menyebarkan kuisioner kepada 140 psikolog yang intens mengkaji
masalah kecerdasan. Hasilnya, mereka menemukan daftar berbagai macam
perilaku yang mereka karakteristikkan sebagai “kecerdasan” (intelligence),
23Paul Procter (eds.), Longman Dictionary of Contemporary English International Student Edition,(London: Longman Group Ltd, 1980), hlm. 582.
24Douglas K. Detterman, Intelligence, dalam Microsoft® Encarta® 2007, © 1993-2006 MicrosoftCorporation, hlm. 1-2.
15
“kecerdasan akademik” (academic intelligence), “kecerdasan harian”
(everyday intelligence), dan “bukan kecerdasan” (unintelligence). Berbagai
macam prilaku yang mengarah pada “kecerdasan” (intelligence) dapat
dikelompokan ke dalam tiga kategori. Pertama, kemampuan memecahkan
permasalah praktis (practical problem-solving ability). Kedua, kemampuan
verbal (verbal ability). Dan ketiga, kompetensi sosial (social competence).25
Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukan bahwa istilah kecerdasan
pada umumnya mengacu pada kemampuan dalam hal verbal, pemecahan
masalah praktis, dan kompetensi sosial yang dimiliki oleh setiap individu.
Sedangkan di tahun 1986, beberapa peneliti melakukan penelitian ulang
tentang permasalahan yang sama dengan mengajukan pertanyaan kepada 25
orang ahli tentang definisi kecerdasan. Dari penelitian tersebut, didapatkan
berbagai macam definisi kecerdasan yang berbeda, antara lain yaitu:
a. Kemampuan beradaptasi terhadap permasalahan-permasalah baru
dalam kehidupan
b. Kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan
c. Kapasitas dari pengetahuan yang telah dimiliki
d. Kemampuan untuk berfikir produktif, original, dan mandiri
e. Kemampuan untuk menimbang, mengerti, dan memberikan alasan.26
Dari hasil ketiga penelitian di atas, dapat dilihat bahwa istilah
kecerdasan mengacu pada kemampuan operasi/kerja mental seseorang yang
tidak hanya mengacu pada satu jenis kemampuan saja. Selain itu, juga dapat
disimpulkan bahwa tujuan utama dari kemampuan-kemampuan mental
tersebut, secara pragmatis, berorientasi pada pemecahan masalah dalam
kehidupan. Atau dengan kata lain, dari hasil beberapa penelitian yang pernah
dilakukan, istilah kecerdasan didefinisikan sebagai kemampuan operasi/kerja
mental seseorang dalam memecahkan masalah dalam kehidupan.
25Diane E. Papalia dan Sally W. Olds, Psychology, (New York: McGraw-Hill, 1985), h. 236.26Detterman, op.cit., hlm. 2.
16
Selain itu, dalam Papalia dan Olds, secara khusus beberapa ahli juga
mengemukakan pendapatnya tentang definisi dari kecerdasan, antara lain:
Lewis Terman, mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan berfikir secara
abstrak (the ability to think abstractly); Jean Piaget berpendapat bahwa
kecerdasan merupakan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya; David Wechsler mengemukakan bahwa kecerdasan
adalah kemampuan untuk bertindak secara sengaja, berfikir rasional, dan
menyesuaikan diri secara efektif dengan lingkungan.27
Passer dan Smith, mencoba mengakomodir beberapa point penting
tentang kecerdasan, dengan mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan
untuk mendapatkan pengetahuan, untuk berfikir dan mengajukan alasan secara
efektif, dan untuk beradaptasi dengan lingkungan.28 Jadi, dapat disimpulkan
bahwa definisi kecerdasan, yang umum digunakan, adalah kemampuan untuk
belajar, beradaptasi, dan memecahkan masalah dalam kehidupan secara efektif.
Pendapat berbeda diutarakan oleh Galton. Menurut Galton, dalam
Passer dan Smith, kecerdasan adalah kemampuan bawaan sejak lahir dan
seseorang tidak dapat melakukan banyak hal untuk meningkatkannya. Dia juga
percaya bahwa kecerdasan dapat diukur secara langsung.29
Selanjutnya pendapat yang diutarakan Galton di atas didukung oleh
sebagian psikolog, yang mendefinisikan kecerdasan sebatas pada yang terukur
oleh tes kecerdasan. 30 Hal tersebut ditentang oleh Davidoff yang
mengungkapkan sebaliknya, bahwa definisi inteligensi adalah “kemampuan
untuk melakukan kegiatan mental yang tidak dapat secara langsung diukur
begitu saja.”31
Selain itu, pendapat berbeda juga diutarakan oleh Spearman.
Kecerdasan menurut Spearman, dalam Davidoff, “merupakan kemampuan
27Papalia dan Olds, op.cit., h. 237.28Michael W. Passer dan Ronald E. Smith, Psychology: The Science of Mind and Behavior, (New
York: McGraw-Hill, 2003), h. 301.29Ibid., h. 302.30Papalia dan Olds, loc.cit.31Linda L. Davidoff, Psikologi: Suatu Pengantar, Terj. dari Introduction to Psychology oleh Mari
Juniati, (Jakarta: Erlangga, 1991), Jilid II, hlm. 97.
17
tunggal.” Selanjutnya pendapat ini dikenal dengan istilah inteligensi umum
(general intelligence) 32 . Pendapat ini ditentang oleh Thurstone, dalam
Davidoff, yang menyatakan dengan tegas bahwa:
Inteligensi umum yang dikemukakan oleh Spearman itu padadasarnya terdiri dari 7 kemampuan yang dapat dibedakan denganjelas, yaitu: (1) untuk menjumlah, mengurangi, mengalikan, danmembagi, (2) menulis dan berbicara dengan mudah, (3) memahamidan mengerti makna kata yang diucapkan, (4) memperoleh kesanakan sesuatu, (5) mampu memecahkan persoalan dan mengambilpelajaran dari pengalaman lampau, (6) dengan tepat dapat melihatdan mengerti hubungan benda dalam ruang, (7) mengenali objekdengan tepat dan cepat.33
Pendapat Thurstone di atas didukung oleh Stern, dalam Semiawan,
yang meyatakan bahwa setiap individu lahir dengan membawa lebih dari satu
kemampuan, yang secara utuh, masing-masing memiliki potensi untuk
dikembangkan. 34 Selain itu, pendapat Stern ini juga mematahkan pendapat
yang dilontarkan oleh Galton.
Dari beberapa keterangan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk
belajar, beradaptasi, dan memecahkan masalah dalam kehidupan secara efektif,
yang secara utuh, masing-masing memiliki potensi untuk dikembangkan, dan
bukan didasarkan pada apa yang diukur oleh tes kecerdasan.
Pandangan dari Binet, Galton, Spearman, dan para psikolog lainnya
yang beranggapan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan bawaan sejak
lahir, dapat diukur secara langsung, dan merupakan kemampuan tunggal,
selanjutnya dikenal dengan istilah pandangan tradisional tentang kecerdasan.
Gardner sendiri secara umum mendefininisikan kecerdasan sebagai
“kemampuan untuk menyelesaikan masalah, atau menciptakan produk, yang
berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya dan masyarakat.” 35
Lebih lanjut dia meyakini bahwa kompetensi kognitif (belajar, memahami)
32 Ibid., h. 96.33 Ibid.34 Conny R. Semiawan, Multiple Intelligences as a Human Treasure (Dalam Rangka Nurturing
Global Students with Character), dalam Fasilitator, Edisi 4, Tahun 2006, hlm. 27.35 Howard Gardner, Kecerdasan Majemuk, Terj. dari Multiple Intelligences oleh Alexander Sindoro,
(Batam: Interaksara, 2003), hlm. 22.
18
manusia lebih baik diuraikan dalam arti kumpulan kemampuan yang disebut
kecerdasan.36
Di dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Majemuk, Gardner
menjelaskan bahwa setiap kecerdasan mengalami tahap-tahap perkembangan
alaminya masing-masing.37 Dia juga tidak sependapat jika kecerdasan hanya
dilihat/diartikan dari apa yang diukur oleh tes, karena menurut gardner
“....ketika tes IQ hanya mengukur kemampuan bahasa atau logika-matematika,
dalam masyarakat ini kita dapat dikatakan telah cuci otak untuk membatasi
pengertian kecerdasan pada kemampuan yang dipakai dalam menyelesaikan
masalah logika dan linguistik.”38
Jika dibandingkan antara definisi kecerdasan yang umum digunakan
dan definisi kecerdasan versi Howard Gardner, maka dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang prinsipil di antara keduanya, hanya saja Gardner
lebih menekankan pada aspek kemampuan menyelesaikan masalah dan
menciptakan produk yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan
budaya dan masyarakat.
Tetapi jika definisi kecerdasan versi Gardner dibandingkan dengan
definisi tradisional maka akan terlihat banyak perbedaan yang prinsipil.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.
Perbedaan Pandangan Tentang Kecerdasan
Pandangan Tradisional Kecerdasan Majemuk GardnerKemampuan bawaan sejak lahir yangkonstan
Potensi kemampuan hereditas yang dapatdikembangkan
Kemampuan tunggalKemampuan jamak yang masing-masingrelativ otonom
Dapat diukur menggunakan tesstandar
Tidak sebatas dari yang terukur oleh tesstandar
36 Ibid., h. 33.37 Ibid., h. 51.38 Ibid., h. 33.
19
Karena penelitian ini berfokus pada teori kecerdasan majemuk, maka
dalam mendifinisian kecerdasan, akan merujuk pada apa yang telah
diungkapkan oleh Gardner. Dengan kata lain, dalam penelitian ini kecerdasan
didefinisikan sebagai potensi-potensi yang dimiliki, dan dapat dikembangkan
oleh setiap individu untuk memecahkan berbagai permasalahan, dan untuk
menciptakan sesuatu yang berguna/bermanfaat dalam kebudayaan.
2. Teori Kecerdasan Majemuk
Pada tahun 1983, bersamaan dengan diterbitkannya buku Frame of
Mind, Howard Gardner, seorang profesor dalam bidang pendidikan pada
Harvard Graduate School of Education dan profesor dalam bidang neurologi
pada The Boston University School of Medicine, memperkenalkan sebuah teori
tentang kecerdasan manusia yang dikenal dengan Teori Kecerdasan Majemuk
(Multiple Intelligences Theory).
Bertolak dari rasa tidak puas terhadap konsep IQ, dan pandangan
kecerdasan yang dibuat dalam unit tunggal, Gardner mencoba merumuskan
teorinya dengan mencermati bukti dari beberapa sumber yang sebelumnya
tidak/belum pernah dipertimbangkan, yaitu:
a. Pengetahuan mengenai perkembangan normal dan perkembangan
dari individu berbakat.
b. Informasi mengenai hilang atau menyusutnya keterampilan tertentu
karena adanya kerusakan otak.
c. Penelitian mengenai populasi yang luar biasa. Populasi khusus lain
yang menunjukan profil pemahaman dengan perbadaan yang amat
tajam seperti, para idiot savant, yaitu orang yang amat cerdas pada
bidang tertentu tetapi nyaris tidak memahami bidang yang lain, dan
anak-anak penderita autisme.
d. Data mengenai evolusi proses belajar dalam beberapa milenium.
e. Pertimbangan proses belajar lintas budaya.
f. Penelitian psikometrik.
20
g. Penelitian pelatihan psikologis.39
Dalam menentukan suatu kemampuan/keterampilan tertentu sebagai
kecerdasan, Gardner mengajukan beberapa kriteria yang harus terpenuhi
(semua atau sebagian besar), yaitu:
1) Terdapat bukti lokalisasi pada bagian tertentu di otak.
2) Memiliki riwayat perkembangan khusus dan kinerja puncak bertaraf
ahli yang dapat diidentifikasikan.
3) Memiliki sistem simbol tertentu yang khas.
4) Memiliki asal-usul evolusioner.
5) Memiliki cara kerja atau rangkaian cara kerja dasar yang
teridentifikasi.
6) Dapat diamati pada populasi tertentu.
7) Dapat dinilai/diukur dengan menggunakan alat uji/tes kecerdasan
standar.
8) Didukung oleh hasil penelitian psikologi eksperimental.40
Dari uraian pada kedua paragraf di atas dapat dilihat bahwa jenis-jenis
kecerdasan yang diajukan oleh gardner memiliki dasar yang kuat baik secara
eksperimentatif maupun anatomi-fisiologi. Sebagai contoh, kecerdasan verbal
dan matematis logis dengan enam kecerdasan lainnya, yang diakui Gardner
sebagai kecerdasan, sama-sama memiliki porsi pada bagian otak tertentu yang
terpisah dan otonom satu sama lain. Dengan kata lain, apabila ada bagian otak
yang mengatur kecerdasan tertentu mengalami gangguan, tidak berpengaruh
terhadap kemempuan kecerdasan yang lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pertimbangan terhadap ketujuh sumber
dan kedelapan kriteria di atas, Gardner menyimpulkan bahwa setiap individu
memiliki delapan kecerdasan yang tidak saling tergantung (independen), dapat
dikembangkan, dan selalu berinteraksi satu sama lain. Kedelapan kecerdasan
39 Ibid., h. 35.40 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia
Pendidikan, Terj. dari Multiple Intelligences in the Classroom-2nd edition oleh Yudhi Murtanto,(Bandung: Kaifa, 2003), Cet. II, h. 5-16.
21
tersebut adalah: linguistik, matematis-logis, spasial, kinestetis-jasmani,
musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.41
Kecerdasan linguistik (Linguistic intelligence) adalah kemampuan
individu dalam menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan
maupun tulisan. Termasuk di dalamnya ialah, kemampuan dalam
memanipulasi struktur, bunyi, makna, dan penggunaan praktis bahasa (aspek
pragmatis). Aspek pragmatis di sini mencakup kemampuan dalam
mempengaruhi (retorika), menghafal (mnemonik), menjelaskan/memberikan
informasi, dan metabahasa (menggunakan bahasa untuk menjelaskan bahasa
itu sendiri).42
Sedangkan kecerdasan matematis-logis atau logical-mathematical
intelligence, merupakan kemampuan seseorang dalam menggunakan angka-
angka dengan baik dan melakukan penelaran dengan benar. Kecerdasan ini
meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan, dalil-dalil dan
fungsi logis, dan abstraksi lain. Proses yang biasa digunakan dalam kecerdasan
ini mencakup: penarikan kesimpulan, penghitungan, kategorisasi, generalisasi,
klasifikasi, dan pengujian hipotesis.43
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pemahaman terhadap
kecerdasan yang berkembang di dunia pendidikan hanya berfokus pada kedua
kecerdasan di atas. Dengan kata lain, siswa yang dianggap cerdas hanyalah
mereka yang memiliki kemampuan lebih dalam hal menggunakan kata-kata
secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan, dan menggunakan angka-
angka dengan baik dan melakukan penelaran dengan benar.
Adapun kecerdasan visual-spasial (Spatial-visual intelligence) ialah
kemampuan individu dalam mempersepsi dan mentransformasi dunia spasial-
visual secara akurat. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap unsur warna,
garis, bentuk, dan hubungan antarunsur tersebut. Secara teknis kecerdasan ini
41 Ibid., hlm. 10-11.42 Ibid., h. 2.43 Ibid., h. 3.
22
mencakup kemampuan dalam membayangkan, mempresentasikan ide secara
visual atau spasial, dan mengorientasikan diri dalam matrik spasial.44
Kecerdasan visual-spasial (Spatial-visual intelligence) merupakan jenis
kecerdasan lain, selain kecerdasan verbal dan matematis-logis, yang
belakangan mulai disentuh oleh konsep kecerdasan tradisional. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa jenis tes IQ yang di dalamnya terdapat soal-soal yang
berpretensi untuk mengukur kemampuan seseorang dalam mempersepsi dan
mentransformasi dunia spasial-visual secara akurat. Jenis kecerdasan lain yang
juga mulai diperhitungkan pada saat-saat sekarang ini adalah kecerdasan Inter
dan intra-personal.
Kecerdasan interpersonal (Interpersonal intelligence) adalah
kemampuan seseorang dalam mempersepsi dan membedakan suasana hati,
perasaan, maksud, dan motivasi orang lain. Secara spesifik, kecerdasan ini
meliputi kepekaan terhadap ekspresi wajah, suara, dan gerak isyarat;
kemampuan membedakan tanda/isyarat interpersonal seseorang; dan
kemampuan menanggapi isyarat tersebut secara efektif.45
Belakangan, kecerdasan interpersonal (Interpersonal intelligence) lebih
dikenal dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence). Sedangkan
istilah kecerdasan emosional sendiri diperkenalkan oleh David Goleman, jauh
setelah Gardner memperkenalkan istilah kecerdasan interpersonal.
Adapun kecerdasan intrapersonal (Intrapersonal intelligence) yaitu
kemampuan seseorang dalam memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan
pemahaman tersebut. Secara spesifik kecerdasan ini meliputi kemampuan
dalam memahami kekuatan dan kelemahan diri secara akurat; kemampuan
berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri; dan kesadaran akan suasana
hati, tempramen, maksud, motivasi, dan keinginan.46
44 Ibid.45 Ibid., h. 4.46 Ibid.
23
Dari pengertian tentang kecerdasan intrapersonal di atas, dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan interpersonal merupakan representasi dari jenis
kecerdasan yang belakangan dikenal dengan istilah kecerdasan spritual karena,
man a’rofa nafsahu fa a’rofa rabbahu. Selain itu, kecerdasan jenis ini juga
mulai diperhitungkan dalam dunia pendidikan secara umum, tidak hanya pada
pendidikan yang membandrol agama tertentu dalam sisitem pendidikannya.
Sedangkan tiga jenis kecerdasan lain dari konsep kecerdasan
majemuknya Gardner yang masih belum diakui secara umum, terlebih dalam
dunia pendidikan, adalah kecerdasan naturalis (Naturalist intelligence),
kecerdasan kinestetik-jasmani (Bodily-kinesthetic intelligence), dan
Kecerdasan musikal (Musical intelligence).
kecerdasan naturalis (Naturalist intelligence) adalah kemampuan
individu dalam mengenali fenomena alam dan keahlian mengkategorikan suatu
spesies/jenis di lingkungan sekitar. Sedangkan kecerdasan kinestetik-jasmani
(Bodily-kinesthetic intelligence) merupakan kemahiran seseorang dalam
menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan, dan
keterampilan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Kecerdasan
ini meliputi kemampuan-kemampuan fisik secara spesifik seperti: koordinasi,
keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun
kemampuan dalam menerima rangsangan, dan hal yang berkaitan dengan
sentuhan. Adapun kecerdasan musikal (Musical intelligence) yaitu kemampuan
individu dalam mempersepsi, membedakan, menggubah, dan mengekspresikan
bentuk-bentuk musikal. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap irama,
melodi, dan karakter atau warna suatu suara atau nada suatu lagu.47
Penjelasan lebih lanjut mengenai asal-usul evolusioner, lokalisasi di
otak, riwayat perkembangan, kinerja puncak, dan sistem simbol dari masing-
masing kecerdasan di atas dapat dilihat pada tabel berikut:
47 Ibid., h. 3-4.
24
Tabel 2
Rincian Penjelasan Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan Asal-usul evolusioner Lokalisasi diotak
Riwayatperkembangan
Linguistik Tulisan-tulisan yangdiperkirakan telahberumur 30.000 tahun
Lobustemporal kiridan lobusbagian depan
“booming” pada awalmasa kanak-kanak dantetap bertahan hinggausia lanjut
Matematis-logis
Ditemukannya sistemkalender dan anggka awal
Lobus bagiandepan kiri danparietal kanan
Memuncak pada masaremaja dan awal masadewasa dan menurunsetelah usia 40 tahununtuk kemampuanmatematis tingkattinggi
Visual-spasial
Gambar-gambar di gua Bagianbelakanghamisferkanan
Menguasai paradigmaEuclidian pada usia 9-10 tahun dan kepekaanartistik tetap bertahanhingga lanjut usia
Kinestetik-jasmani
Bukti-bukti penggunaanalat-alat pada zamanpurba
Serebelum,basal ganglia,motor korteks
Variatif, tergantungpada kekuatan danfleksibilitas
Musikal Bukti-bukti instrumentmusik pada zaman batu
Lobustemporalkanan
Berkembang palingawal
Interpersonal Hidup komunal untukberburu/mengumpulkan
Lobus bagiandepan,hamisferkanan, sistemlimbik
Ikatan kasih sayangpada masa kritis tigatahun pertama
Intrapersonal Bukti-bukti awalkehidupan religius
Lobus bagiandepan, lobusparietal, sistemlimbik
Pembentukan batasantara “diri” dan“orang lain” selamamasa kritis tiga tahunpertama
Naturalis Pemahaman atas spesieslain yang dapat dilihatdari alat-alat berburu padazaman purba
Wilayah-wilayah lobusparietal kiri
Muncul secara drastispada sebagian anak
Sumber: Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di DuniaPendidikan, Terj. dari Multiple Intelligences in the Classroom-2nd edition oleh YudhiMurtanto, (Bandung: Kaifa, 2003), Cet. II, h. 10-15.
25
Tabel 2 (lanjutan)
Rincian Penjelasan Kecerdasan MajemukKecerdasan Kinerja puncak Sistem simbol
Linguistik Orator, penulis, penyiarberita
Bahasa fonetis (misalnya, bahasaIndonesia)
Matematis-logis
Ilmuan, ahlimatematika
Bahasa pemrograman komputer(misalnya; bahasa C, pascal)
Visual-spasial Arsitek, navigator,seniman
Bahasa ideografis (misalnya,bahasa/huruf Jepang)
Kinestetik-jasmani
Penari, atlet, mekanik,ahli bedah
Bahasa isyarat, huruf braille
Musikal Penyanyi dan komposer Sistem notasi musik, kode MorseInterpersonal Konselor, guru,
politikusSimbol-simbol sosial (misalnya,ekspresi wajah, dan gerak isyarat)
Intrapersonal Pemimpin keagamaan,psikoterapis
Simbol diri (misalnya, tercermin dalamkarya seni)
Naturalis Ahli biologi Sistem klasifikasi, sistem periodik unsur
Selain Gardner, konsep kecerdasan majemuk juga diutarakan oleh
Samples. Perbadaan antara Gardner dan Samples terletak pada jenis kecerdasan
yang dimiliki manusia. Pada teori Gardner dikenal istilah kecerdasan linguistik
dan matematis-logis, sedangkan Samples memperkenalkannya dengan istilah
simbolik-abstrak. Dan jika Gardner memperkenalkan istilah kecerdasan
musikal, maka Samples mencoba menjangkau lebih luas dengan
memperkanalkan istilah kecerdasan auditori. Untuk lebih lengkapnya dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3
Jenis Kecerdasan Manusia Menurut Samples dan Gardner
Bob Samples Howard GardnerSimbolik-abstrak Linguistik
Matematis-logisVisual-spasial Visual-spasialKinestetik KinestetikAuditori MusikalSinergis Personal Alamiah
Personal Interpersonal Intrapersonal
Sumber: Bob Samples, Revolusi Belajar Untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain untukMembuka Pikiran Anak-Anak Anda, Terj. dari Open Mind/Whole Mind: Parenting andTeaching Tomorrow’s Children Today oleh Rahmani Astuti, Cet. I, (Bandung: Kaifa,2002), h. 142.
26
B. Strategi Pembelajaran
1. Pengertian Strategi
Kata strategi berasal dari bahasa latin strategia, yang berarti seni
penggunaan rencana untuk mencapai tujuan48. Dalam literatur bahasa Inggris,
istilah strategi dikenal dengan strategy, yang dalam Oxford Advanced
Learner’s Dictionary diartikan sebagai: “(a) a plan that intended to achieve a
particular purpose (sebuah rencana yang ditujukan untuk mencapai tujuan
tertentu), (b) the process of planning something or carrying out a plan in a
skilful way (proses perencanaan sesuatu atau proses mewujudkannya dengan
sebuah cara yang penuh dengan kemampuan), (c) the skill of planning the
movements of armies in a battle or war (kemampuan merencanakan pergerakan
tentara di medan perang)”.49 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata strategi diartikan sebagai “Rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk
mencapai sasaran khusus”.50
Jika ditinjau dari aspek kebahasaan yang telah dipaparkan pada
paragraf di atas, maka dapat disimpulkan bahwa istilah strategi mengacu pada
sebuah rencana yang disusun dan dijalankan untuk mencapai tujuan tertentu.
Jadi, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (purpose), dibutuhkan cara atau
usaha (action) yang sebelumnya telah direncanakan (planned), inilah yang
dimaksud dengan strategi ditinjau dari aspek kebahasaan (purpose + planned
action = strategy).
Secara umum, Djamara dan Zain mendefinisikan strategi sebagai “suatu
garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang
ditentukan.”51 Pendapat senada juga diutarakan oleh Dede Rosyada dan Abudin
48 Nuryanti Rustaman, et.al., Strategi Pembelajaran Biologi, (Jakarta: UT, 2007), Cet. I, h. 1.2.49 Sally W (ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 2000),
h. 1284.50 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1092.51 Syaiful Bahri Djamara dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996),
Cet. I, h.5.
27
Nata, dalam Mansyur, bahwa strategi adalah “suatu garis-garis besar haluan
untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan.”52
Dari kedua pendapat tersebut, secara garis besar, strategi dapat diartikan
sebagai pedoman/acuan dalam bertindak untuk mencapai sasaran. Sedangkan
untuk lebih spesifiknya, Slameto mendefinisikan strategi sebagai “suatu
rencana tentang cara-cara pendayagunaan dan penggunaan potensi yang ada
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi.”53
Jadi, dari keseluruh definisi strategi yang telah diuraikan sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa pengertian strategi di sini ialah rencana
usaha/upaya yang disusun dan dijalankan, yang berorientasi pada
pendayagunaan dan penggunaan potensi yang ada, dan yang dijadikan
acuan/pedoman untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien.
2. Definisi Pembelajaran
Secara etimologis, kata pembelajaran diartikan sebagai “proses, cara,
perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.”54 Sedangkan Gagne,
secara garis besar, menggambarkan pembelajaran sebagai upaya yang
bertujuan untuk membuat/membantu seseorang belajar. 55 Dengan kata lain,
pembelajaran harus menghasilkan proses belajar dalam diri setiap individu
pembelajar.
Lantas, upaya apa yang dapat dilakukan untuk membantu/membuat
seseorang belajar? Gagne, Briggs, dan Wagner, seperti yang dikutip oleh
Winataputra, memperjalas pengertian pembelajaran sebagai “serangkaian
kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada
siswa.” 56 Jadi, upaya yang dapat dilakukan untuk membantu/membuat
seseorang belajar adalah melalui serangkaian kegiatan yang terancang. Lalu
rangkaian kegiatan seperti apa yang termasuk upaya dalam pembelajaran?
Dijelaskan oleh Winataputra bahwa, pembelajaran adalah “kegiatan yang
52 Mansyur, Materi Pokok Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam danUniversitas Terbuka, 1997), h. 5.
53 Slameto, Proses Belajar Mengajar dalam SKS, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 90.54 Pusat Bahasa, op.cit., h. 17.55 Ismail, et.al., Kapita Selekta Pembelajaran Matematika, (Jakarta: UT, 2002), h. 1.1356 Winataputra, et.al., op.cit., h. 1.19
28
dilakukan untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan
kualitas belajar pada diri peserta didik.” 57 Mulyasa menambahkan bahwa
pembelajaran adalah “proses interaksi antara peserta didik dengan
lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.”58
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian
pembelajaran menurut para ahli adalah, upaya yang dilakukan melalui
serangkaian kegiatan yang dirancang untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan
meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik, dan di
dalamnya terjadi proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya.
Ditinjau dari sisi hukum, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 butir 20 dituliskan bahwa,
“Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.”59 Masih dalam UU yang sama,
Pasal 1 butir 4, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan peserta didik adalah,
“…anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui
proses pembelajaran….” 60 dan istilah pendidik, dalam pasal 1 butir 6,
didefinisikan sebagai “…tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.”61 Sedangkan, dalam pasal
1 butir 1, yang dimaksud dengan pendidikan adalah “…usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya….”62
57 Ibid., h. 1.1858 E. Mulyasa, KBK: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), h. 100.59 Dirjen Pendidikan Islam Depag RI, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Tentang
Pendidikan, (Jakarta: Depag RI, 2006), h. 7.60 Ibid., h. 5.61 Ibid.62 Ibid.
29
Dalam literatur bahasa Indonesia, kata proses berarti “Runtutan
perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu.” 63 Sedangkan kata
interaksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “hal saling
mempengaruhi.”64 Dan untuk istilah lingkungan di sini diartikan sebagai segala
sesuatu yang terdapat atau terjadi di luar diri peserta didik yang dapat
dimanfaatkan dalam membantu mempermudah atau memperlancar proses
belajar dan pembelajaran. Atau biasa dikenal dengan istilah sumber belajar,
yang meliputi: 1) Manusia/orang lain, dalam hal ini yang terutama pendidik; 2)
Bahan atau materi, yaitu sesuatu yang di dalamnya terkandung unsur/pesan
pembelajaran, contohnya media pembelajaran; 3) Lingkungan, yang
merupakan ruang atau tempat berlangsungnya proses interaksi peserta didik
dengan sumber-sumber belajar, misalnya ruang kelas, laboratorium dan lain-
lain; 4) Alat dan peralatan, yaitu sumber belajar yang digunakan untuk
memproduksi dan/atau memfungsikan sumber-sumber lain seperti komputer
dan proyektor; 5) Aktivitas, yaitu sumber belajar yang biasanya merupakan
kombinasi antara suatu teknik dengan sumber lain guna memudahkan proses
belajar. Sedangkan untuk istilah “lingkungan belajar,” di sini diartikan sebagai
iklim atau suasana yang dapat mendukung berlangsungnya proses belajar dan
pembelajaran secara kondusif. 65
Penjelasan ringkas mengenai proses pembelajaran menurut UU
sisdiknas dapat dilihat pada bagan berikut:
Bagan 1. Proses Pembelajaran Menurut UU Sisdiknas
63 W. J. S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 769.64 Pusat Bahasa, op.cit., h. 335.65 Mulyasa, op.cit., h. 48-49.
30
Dari uraian tentang tinjauan aspek yuridis tersebut, patut ditegaskan di
sini bahwa proses pembelajaran menurut UU sisdiknas berorientasi pada
pengembangan potensi diri yang dimiliki setiap peserta didik. Keterangan dan
bagan di atas juga mengisyaratkan bahwa proses pembelajaran berpusat pada
peserta didik, sedangkan pendidik lebih berperan dalam mewujudkan proses
pembelajaran dengan memilih sumber belajar yang sesuai dan menunjang
tercapainya tujuan pembelajaran, dan menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif sebagai wujud partisipasinya dalam pendidikan. Selain itu dapat pula
disimpulkan bahwa, dalam pengertian yang lebih luas, pembelajaran dapat
diartikan sebagai runtutan kegiatan dalam hal saling mempengaruhi antara
anggota masyarakat dengan tenaga kependidikan dan segala sesuatu yang
terdapat atau terjadi di lingkungan yang dapat dimanfaatkan dalam membantu
mempermudah atau memperlancar proses belajar dan pembelajaran dalam
suasana yang kondusif.
Berdasarkan kedua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi
pembelajaran pada penelitian ini adalah upaya yang dilakukan melalui
serangkaian kegiatan yang berpusat pada peserta didik, dan dirancang untuk
menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar
peserta didik, guna pengembangan potensi diri yang dimiliki oleh setiap
peserta didik, pada lingkungan belajar yang kondusif, yang di dalamnya terjadi
proses interaksi aktif antara peserta didik dengan sumber belajar.
3. Pengertian Strategi Pembelajaran
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung tentang penegrtian dari
strategi dan pembelajaran. strategi yaitu rencana usaha/upaya yang disusun dan
dijalankan, yang berorientasi pada pendayagunaan dan penggunaan potensi
yang ada, dan yang dijadikan acuan/pedoman untuk mencapai tujuan tertentu
secara efektif dan efisien. Sedangkan pembelajaran adalah upaya yang
dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang berpusat pada peserta didik, dan
dirancang untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan
kualitas belajar peserta didik, guna pengembangan potensi diri yang dimiliki
oleh setiap peserta didik, pada lingkungan belajar yang kondusif, yang di
31
dalamnya terjadi proses interaksi aktif antara peserta didik dengan sumber
belajar.
Jadi, dari kedua pengertian tersebut, dapat disintesiskan bahwa yang
dimaksud dengan strategi pembelajaran adalah rencana serangkaian kegiatan,
yang berorientasi pada pendayagunaan dan penggunaan potensi diri yang
dimiliki oleh setiap peserta didik, untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan
meningkatkan intensitas dan kualitas belajar peserta didik secara efektif dan
efisien, pada lingkungan belajar yang kondusif.
Menurut Miarso, strategi pembelajaran merupakan pendekatan yang
menyeluruh dalam pembelajaran, yang berupa pedoman umum dan kerangka
kegiatan yang dijabarkan dari pandangan falsafah atau teori, mengenai belajar,
tertentu. 66 Sedangkan Rustaman berpendapat bahwa “strategi pembelajaran
juga dapat diartikan sebagai pola kegiatan pembelajaran yang dipilih dan
digunakan guru secara kontekstual, sesuai dengan karakteristik siswa, kondisi
sekolah, lingkungan sekitar, serta tujuan khusus pembelajaran yang
dirumuskan.”67 Dari kedua pendapat tersebut, ada dua hal pokok yang terdapat
dalam setiap strategi pembelajaran yaitu, strategi pembelajaran harus
didasarkan pada pandangan falsafah atau teori tertentu, dan harus sesuai
dengan karakteristik siswa.
Gerlach dan Ely, seperti yang dikutip oleh Rustaman, berpendapat
bahwa, “…strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang dipilih untuk
menyampaikan materi pelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu, yang
meliputi sifat, lingkup, dan urutan kegiatan yang dapat memberikan
pengalaman belajar kepada siswa.”68 Lebih spesifiknya, David, seperti yang
dikutip oleh Gulo, berpendapat bahwa strategi pembelajaran meliputi metode,
atau serangkaian aktifitas yang didisain untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. 69 Sedangkan menurut Suparman, strategi pembelajaran merupakan
66 Yusuf Hadi Miarso, Teknologi Pendidikan, (Jakarta: Pusat Antar Universitas, 1989), Cet. Ke-1,h.114.
67 Rustaman et.al., op.cit., h. 1.3.68 Ibid., h. 1.2.69 W. Gulo, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, 2002), h. 5.
32
perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran,
peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.70
Dari ketiga pendapat pada paragraf di atas, dan pendapat yang diajukan
oleh Rustaman pada paragraf sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
strategi pembelajaran memiliki beberapa komponen utama di dalamnya, antara
lain: materi pelajaran; metode pembelajaran; aktifitas belajar; media
pembelajaran; dan urutan kegiatan pembelajaran. Selain itu, secara
keseluruhan, dapat pula disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strategi
pembelajaran di sini adalah, kerangka/pola kegiatan yang didasarkan pada
suatu teori tertentu dan sesuai dengan potensi/karakter siswa, guna mencapai
tujuan dari pembelajaran secara efektif dan efisien.
C. Hakikat Sains dan Pembelajarannya
Istilah sains diadopsi dari kata science (Inggris) atau lebih spesifiknya
dikenal dengan natural science, dan merupakan padanan kata dan makna dari IPA
(Ilmu Pengetahuan Alam). 71 Dengan kata lain, sains secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari alam.
Sebagai sebuah ilmu, setidaknya sains harus memiliki tiga landasan utama
sebagai dasar keilmuannya, dan pilar pembeda dengan ilmu lainnya. Ketiga
landasan tersebut yakni, ontologis (objek apa yang dikaji sains), epistemologis
(bagaimana cara mengkajinya), dan aksiologis (untuk apa sains digunakan).
Dari definisi pada dua paragraf sebelumnya, dapat diketahui bahwa yang
menjadi aspek ontologis dari sains adalah alam. Fried dan Hademenos
menegaskan bahwa objek kajian sains terbatas pada aspek-aspek tertentu dari
alam. Atau lebih lengkapnya mereka berpendapat sebagai berikut: “Sains adalah
sistem terorganisasi untuk mempelajari secara sistematik aspek-aspek tertentu dari
alam.” 72 Pembatasan tersebut setidaknya memperjelas wilayah garapan sains.
70 Atwi Suparman, Disain Instruksional, (Jakarta: Pusat Antar Universitas, 2001), Cet. Ke-1, h. 167.71 Pusat Bahasa, op.cit., h.978.72 George H. Fried dan George J. Hademenos, Teori dan Soal-Soal Biologi Edisi Kedua, Terj dari
Schaum’s Outlines of Theory and Problems of Biology Secound Edition, oleh Tim PenerjemahErlangga, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 1.
33
Sehingga kecil kemungkinan untuk menyerobot lahan garapan keilmuan lain yang
berbuntut pada over leafing atau bahkan ke-bias-an pada sains.
Ramli dan Dwirahayu menspesifikan batas ontologis sains pada fenomena-
fenomena yang terjadi di alam. Hal ini dapat dilihat dari pendapat mereka tentang
hakikat sains sebagai berikut: “Sejatinya IPA –belakangan lebih popular dengan
istilah sains…mencoba menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi di alam
dengan pendekatan eksperimen yang diuraikan dengan penjelasan-penjelasan
yang logis.”73 Spesifikasi batas ontologis sains yang sama juga diutarakan oleh
Sutjipto, yang mendefinisikan sains sebagai “...ilmu penegtahuan yang
mempelajari tentang gejala-gejala alam.74
Definisi yang diajukan oleh Ramli dan Dwirahayu di atas, juga
mengisyaratkan bahwa scoup dari objek kajian sains terbatas pada hal-hal yang
mampu ditangkap oleh indera dan logika. Hal senada juga diungkapkan oleh Fried
dan Hademenos bahwa “Ruang lingkup sains terbatas pada hal-hal yang dapat
dipahami oleh indra.” Dan ditambahkan oleh mereka, bahwa hal tersebut
berimplikasi pada penekanan pendekatan objektif terhadap fenomena-fenomena
yang terjadi. Dan penekanan tersebut berimbas pada kecendrungan untuk
menekankan pada bagaimana berbagai hal (fenomena/gejala) terjadi di alam,
bukannya pada mengapa hal-hal tersebut terjadi.75 Selain itu Nur dan Samani juga
menambahkan bahwa “…segala kejadian di alam semesta semata-mata
berdasarkan kepada hukum kausalitas.”76
Dari uraian pada dua paragraph di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek
ontologis dari sains adalah fenomena/gejala alam yang dapat ditangkap oleh indra
dan dicerna oleh logika. Dengan kata lain, pada dasarnya objek kajian sains hanya
terfokus pada fenomena/gejala alam yang bersifat empiris dan logis.
73 Gelar Dwirahayu dan Munasprianto Ramli, Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Sains danMatematika Dasar: Sebuah Pengantar, dalam G. Dwirahayu (eds.), Pendekatan Baru dalamPembelajaran Sains dan Matematika Dasar: Sebuah Antologi, (Ciputat: PIC UIN Jakarta, 2007),h. 1.
74 Sutjipto, Pemahaman Siswa Sekolah Dasar terhadap Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) MasihRendah, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 060, Tahun Ke-12, Mei 2006. H. 305.
75 Fried dan Hademenos, loc.cit.76 Mohamad Nur dan Muchlas Samani, Teori Pembelajran IPA dan Hakekat Pendekatan
Keterampilan Proses, (Jakarta: DEPDIKBUD, 1996), h. 7.
34
Selain itu, patut pula ditambahkan disini bahwa dalam kajian metefisika
dikenal adanya dua faham yang berbeda pandangan tentang hakikat dari wujud
sesuatu, yaitu supranatural dan materealisme-naturalis. Menurut faham
supranatural, terdapat wujud yang bersifat gaib yang lebih berkuasa dan lebih
tinggi dari alam yang nyata (tampak), juga memegang kendali atas gejala-gajala
yang terjadi pada alam. Sebaliknya, faham materialisme-naturalis menolak adanya
wujud-wujud yang bersifat supranatural. Menurut faham ini “…gejala-gejala alam
tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh
kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan demikian
dapat kita ketahui.”77 Dengan kata lain, faham supranaturalis lebih berorientasi
pada aspek kepercayaan/keyakinan (faith), sedangkan materialisme-naturalis pada
aspek pengetahuan yang dapat dipelajarai (knowledge).
Jika uraian dari ketiga paragraf sebelumnya disintesiskan, maka dapat pula
disimpulkan bahwa pada hakikatnya sains menganut faham materialisme-naturalis
dalam memandang objeknya. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa scoup
objek kajian sains terbatas pada hal-hal yang dapat diketahui dan dipelajari dari
bagaimana berbagai fenomena/gejala alam yang terjadi, dan menafikan kekuatan
lain di luar alam itu sendiri yang menyebabkan mengapa berbagai
fenomena/gejala alam itu dapat terjadi. Jadi, secara ontologis, pada dasarnya sains
merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam, dan terfokus pada bagaimana
proses berlangsung/terjadi-nya berbagai fenomena/gejala alam yang bersifat
empiris dan logis.
Implikasi mendasar dari pemahaman tersebut adalah, jika selama ini
Tuhan diposisikan sabagai causa prima atas adanya kehidupan, maka dengan
tegas sains menolak posisi Tuhan tersebut atas segala fenomena/gejala alam yang
terjadi. Hal ini berpotensi untuk membuahkan sebuah nilai keimanan/keyakinan
bahwa fenomena/gejala alam yang berubah menjadi bencana tidak ada
sangkutpautnya dengan Tuhan, melainkan disebabkan oleh ketimpangan yang
terjadi di alam akibat ulah dari para komponen yang ada di alam, khususnya
77 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1998), Cet. Ke-11, h. 64.
35
manusia. Allah Swt berfirman dalam Alquran surat Ar-Rum ayat 41dan Asy-
Syura ayat 30:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karenaperbuatan tangan manusia,….78
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan olehperbuatan tanganmu sendiri,….79
Inilah yang menjadi landasan paling dasar dan utama dari aspek aksiologis
sains secara vertikal, yaitu untuk menyingkap tabir ke-ilahian Allah Swt dan
mempertebal keimanan kepada-Nya dengan menjadikan sains sebagai dasar
argumentasi ilmiah atas segala nilai-nilai keimanan yang bercokol di hati setiap
hamba. Hati mengimani, karena akal fikiran memahami sepenuhnya pada apa
yang diimani, kenapa harus diimani, dan bagaimana mengimaninya. Memang
tidak semuanya mampu dicapai oleh akal, tetapi tidak ada satu pun yang boleh
luput dari pertanggungjawaban akal.
Selain dasar aksiologis di atas, sains –sebagaimana ilmu-ilmu lainnya–
pada tataran praktis secara umum juga bertujuan untuk menjawab berbagai
permasalah sehari-hari dan menawarkan berbagai kemudahan hidup dalam
kehidupan manusia.80 Dari kedua tujuan tersebut dapat pula disimpulkan bahwa
yang menjadi landasan aksiologis (secara horizontal) dari sains adalah sifat
pragmatis dan aplikatif. Sains bersifat pragmatis dalam artian bahwa sains
ditujukan untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi manusia dalam
kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan alam sekitar mereka dan
gejala/fenomena yang terjadi di dalamnya, termasuk diri mereka sendiri sebagai
salah satu komponen dari alam. Sedangkan sains bersifat aplikatif berarti
pengembangan dari setiap pengetahuan tentang alam dan gejala-gejalanya yang
telah didapatkan, yang termanifestasikan dalam bentuk teknologi, bertujuan untuk
menawarkan berbagai kemudahan hidup dalam kehidupan manusia, dan
menggeser orientasi kehidupan mereka dari “aman” ke “nyaman”.
78 Dewan Penterjemah, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan PenyelenggaraPenterjemah/Pentafsir Al Qur’an, 1971), h. 647.
79 Ibid., h. 78880 Suriasumantri, op.cit., h. 105-106.
36
Menurut Suriasumantri, tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu,
sebab ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.
Sedangkan metode, menurut Senn, seperti yang dikutip Suriasumantri, diartikan
sebagai “prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-
langkah yang sistematis.”81
Pada pembahasan sebelumnya, telah disinggung bahwa menurut Fried dan
Hademenos “Sains adalah sistem terorganisasi untuk mempelajari secara
sistematik aspek-aspek tertentu dari alam.” Dijelaskan oleh Nokes, seperti yang
dikutip oleh Aly dan Rahma, bahwa sains adalah pengetahuan teoritis yang
diperoleh dengan metode khusus. 82 Sedangkan Purnell’s, seperti yang dikutip
Sofyan, menjelaskan bahwa sains merupakan pengetahuan yang didapatkan
dengan cara observasi dan eksperimen yang sistematis.83 Selain itu, Carin dan
Sund, seperti yang dikutip oleh Suartini, juga menjelaskan bahwa “sains
merupakan pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku
universal, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen.” 84
Sedangkan Carin dan Sund, seperti yang dikutip oleh Sofyan, menjelaskan bahwa
“perkembangan IPA ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan fakta atau produk
ilmiah saja, melainkan juga oleh timbulnya metode ilmiah.”85
Dari uraian kedua paragraf di atas dan kesimpulan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa sains adalah ilmu yang mengkaji fenomena/gejala alam yang
bersifat empiris dan logis, dan didapatkan melalui metode ilmiah (scientific
method) dengan pendekatan observasi dan eksperimen. Dengan kata lain, landasan
epistemologis dari sains adalah metode ilmiah.
Pada dasarnya menurut Huxley, seperti yang dikutip Suriasumantri,
metode ilmiah merupakan “ekspresi mengenai cara kerja fikiran.” Suriasumantri
81 Ibid., h. 119.82 Abdullah Aly dan Eny Rahma, Ilmu Alamiah Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 18.83 Ahmad Sofyan, Konstruktivisme dalam Pembelaaran IPA/Sains, Makalah Seminar Internasional
Pendidikan IPA Pengembangan Kurikulum dan Model Pembelajaran Konstruktivisme dalamSains, Jurusan Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif HidayatullahJakarta, 31 Mei 2007, h. 2. t.d.
84 Kinkin Suartini, Urgensi Pertanyaan dalam Pembelajaran Sains dengan Metode Discovery-Inquiry, dalam G. Dwirahayu (eds.), h. 98.
85 Sofyan, Konstruktivisme, loc.cit.
37
sendiri menjelaskan bahwa metode ilmiah merupakan kerangka fikir ilmiah yang
beritikan proses logico-hypothetico-verifikasi dan terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Perumusan masalah. Merupakan pertanyaan mengenai objek empiris
dengan batasan yang jelas dan teridentifikasi faktor-faktor yang terkait
di dalamnya
2. Penyusunan kerangka fikir. Merupakan argumentasi yang menjelaskan
hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang
membentuk konstelasi permasalahan dan saling terkait
3. Perumusan hipotesis. Merupakan jawaban sementara dari pertanyaan
yang diajukan dalam penelitian dan dirumuskan dari kerangka fikir
yang telah dikembangkan
4. Pengujian hipotesis. Merupakan proses pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang telah dirumuskan guna melihat apakah
terdapat fakta yang mendukung hipotesis tersebut
5. Penarikan kesimpulan. Merupakan penilaian apakah hipotesis yang
telah diajukan ditolak atau diterima berdasarkan fakta-fakta yang
dikumpulkan. Jika fakta yang didapatkan mendukung hipotesis, maka
hipotesis tersebut diterima dan sebalaiknya.86
Dari uraian tentang ketiga pilar dasar (ontologis, epistemologis, dan
aksiologis) yang menyusun sains di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
hakikatnya sains adalah ilmu yang mengkaji proses berlangsung/terjadi-nya
berbagai fenomena/gejala alam yang bersifat empiris dan logis, menggunakan
metode ilmiah dengan pendekatan observasi dan eksperimen dalam proses
pengkajiannya, bertujuan untuk menyingkap tabir keilahian Allah Swt dan
mempertebal keimanan kepada-Nya, dan untuk menjawab berbagai permasalahan
yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan alam
sekitar mereka dan gejala/fenomena yang terjadi di dalamnya, termasuk diri
mereka sendiri sebagai salah satu komponen dari alam, dan menawarkan berbagai
kemudahan hidup dalam kehidupan manusia.
86 Suriasumantri, op.cit., h. 127-128.
38
Implikasi dari rumusan hakikat sains tersebut dalam pembelajaran sains di
sekolah dasar dapat dilihat dari apa yang dipelajari, bagaimana, dan apa tujuan
dari mempelajarinya? Menurut Prayekti, sains sebagai salah satu mata pelajaran
yang wajib diajarkan di sekolah secara umum memiliki beberapa tujuan, antara
lain:
a. Agar siswa memahami konsep-konsep sains dan keterkaitannya dengan
kehidupan sehari-hari, dan
b. Memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan
tentang alam sekitar maupun menerapkan berbagai konsep sains untuk
menjelaskan gejala-gejala alam dan mampu menggunakan teknologi
sederhana, untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.87
Selain itu, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006,
pengajaran mata pelajaran sains di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya
2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA
yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat
4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan
5) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara,
menjaga dan melestarikan lingkungan alam
6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan
87 Prayekti, Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achievement Division di Sekolah Dasar,dari http://pk.ut.ac.id/jp/42prayekti.htm, 5 April 2005.
39
7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.88
Selain tujuan dari pembelajaran sains di sekolah dasar, dari kedua
pendapat pada dua paragraf sebelumnya, dapat pula dilihat objek utama dari
pembelajaran sains yaitu alam sekitar beserta gejala yang terjadi di dalamnya.
Selain itu dapat dilihat juga cara-cara yang dapat ditempuh dalam mempelajari
objek utama sains guna mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Secara
garis besar, cara-cara tersebut mengacu pada pendekatan proses/sikap ilmiah dan
penguasaan konsep dasar sains dalam pembelajaran sains.
Dapat disimpulkan pula bahwa pada dasarnya yang menjadi sumber atau
lingkungan (setting/latar/tempat) belajar utama dari pembelajaran sains adalah
lingkungan alam sekitar peserta didik yang bersifat riil (empiris) dan logis.
Aktivitas pembelajarannya tidak hanya berorientasi pada pengumpulan dan
penguasaan konsep yang telah ada (banking concept) dan penggunaannya dalam
merumuskan pengetahuan baru (pola pembelajaran deduktif pendekatan
konsep/tekstual), atau pada aktivitas yang memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk menyusun/merumuskan dan mengembangkan/membangun konsep
mereka sendiri dari realita/fakta alamiah yang mereka temui dalam keseharian
mereka dan terjadi di lingkungan alam sekitar mereka (pola pembelajaran induktif
pendekatan kontekstual), tetapi juga pada penerapan konsep-konsep tersebut
dalam lingkungan alam dan sosial keseharian peserta didik, dan pada pemanfaatan
teknologi sederhana (pendekatan Salingtemas).
Hal ini mengisyaratkan bahwa pada kegiatan evaluasi pembelajaran sains
tidak hanya menitikberatkan pada kemampuan kognisi peserta didik dalam
mengoleksi berbagai konsep sains, tetapi juga pada proses atau sikap mereka
dalam mempelajari sains (aspek afektif dan psikomotor).
Jadi, pada hakikatnya pembelajaran sains dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai upaya yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang berpusat pada
peserta didik, dan dirancang untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan
88 BSNP dan Depdiknas RI, Standar Kompetensi Lulusan; SK-KD, (Jakarta: BSNP dan Depdiknas,2006)
40
intensitas dan kualitas dari aktivitas beragam potensi peserta didik dalam
memproses berbagai objek atau fenomena alam. tidak hanya berorientasi pada
pengumpulan dan penguasaan konsep tentang berbagai objek atau fenomena alam
yang telah ada dan penggunaannya dalam merumuskan pengetahuan baru, atau
pada aktivitas yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menyusun/merumuskan dan mengembangkan/membangun konsep mereka sendiri
dari realita/fakta alamiah yang mereka temui dalam keseharian mereka dan terjadi
di lingkungan alam sekitar mereka, tetapi juga pada penerapan konsep-konsep
tersebut dalam lingkungan alam dan sosial keseharian peserta didik dan pada
pemanfaatan teknologi sederhana yang semuanya dapat digunakan dalam
memecahkan berbagai permasalahan, dan atau menciptakan produk yang berharga
dalam kehidupan sehari-hari. Berlangsung pada lingkungan belajar yang kondusif
yang di dalamnya memungkinkan terjadinya proses interaksi aktif secara langsung
antara peserta didik dengan berbagai objek dan gejala alam di lingkungan sekitar
peserta didik yang bersifat riil (empiris) dan logis, dan dengan berbagai sumber
belajar tekstual yang kaya akan konsep dasar sains, dan juga dapat memberikan
ruang kepada peserta didik untuk mencari, menemukan/membuktikan, dan
menerapkan/mengekspresikan rumusan konsep dasar sains yang telah ada/atau
realita/fakta alamiah dari objek dan gejala alam yang mereka dapatkan dalam
keseharian mereka di lingkungan alam sekitar mereka.
D. Strategi Pembelajaran Sains Berbasis Kecerdasan Majemuk
1. Pengertian
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung pengertian dari strategi
pembelajaran yaitu, kerangka/pola kegiatan yang didasarkan pada suatu teori
tertentu, dan sesuai dengan potensi/karakter siswa, guna mencapai tujuan dari
pembelajaran secara efektif dan efisien. Sedangkan definisi sains adalah, ilmu
yang mengkaji proses berlangsung/terjadi-nya berbagai fenomena/gejala alam
yang bersifat empiris dan logis, menggunakan metode ilmiah dengan
pendekatan observasi dan eksperimen dalam proses pengkajiannya, bertujuan
untuk menyingkap tabir ke-ilahian Allah Swt dan mempertebal keimanan
41
kepada-Nya, dan untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi
manusia dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan alam sekitar
mereka dan gejala/fenomena yang terjadi di dalamnya, termasuk diri mereka
sendiri sebagai salah satu komponen dari alam, dan menawarkan berbagai
kemudahan hidup dalam kehidupan manusia.
Dari kedua pengertian di atas dapat disintesiskan di sini bahwa yang
dimaksud dengan strategi pembelajaran sains adalah, kerangka/pola kegiatan
yang didasarkan pada suatu teori tertentu dan sesuai dengan potensi/karakter
siswa, dalam mempelajari/mengkaji proses berlangsungnya berbagai
fenomena/gejala alam yang bersifat empiris dan logis secara ilmiah, guna
mempertebal keimanan kepada Allah Swt (tujuan vertikal), dan untuk
menjawab berbagai permasalahan dan memperoleh berbagai kemudahan dalam
hidup (tujuan horizontal) secara efektif dan efisien.
Menurut Armstrong, pada dasarnya implementasi dari teori kecerdasan
majemuk dalam dunia pendidikan mencakup hal-hal yang dilakukan guru
dalam membelajarkan peserta didiknya tanpa terpaku pada teks dan papan
tulis. Sumbangan terbesar teori kecerdasan majemuk bagi bidang pendidikan
adalah masukan bagi setiap guru untuk memperkaya perbendaharaan strategi
pembelajaran dari pada hanya sekedar strategi pembelajaran yang berorientasi
pada kecerdasan linguistik dan logis-matematis yang telah mendominasi
sekolah-sekolah pada umumnya. Dan sebagai metamodel untuk mengelola dan
mempersatukan semua inovasi kependidikan yang berupaya mengatasi masalah
strategi pembelajaran yang terlalu sempit tersebut.89
Pada pembahasan sebelumnya juga telah disinggung bahwa strategi
pembelajaran sains harus berdasar pada suatu teori tertentu, dan berorientasi
pada potensi yang dimiliki setiap siswa dalam penyusunannya. Selain itu, telah
disinggung pula bahwa dalam teori kecerdasan majemuk, kemampuan-
kemampuan manusia yang selama ini hanya dianggap sebagai sebuah potensi,
yang pada tataran praktis dalam dunia pendidikan minim diapresiasi, pada
dasarnya merupakan kecerdasan manusia yang harus dioptimalkan
89 Armstrong, op.cit., h. 76-80.
42
penggunaannya dalam pembelajaran. Dengan kata lain, teori kecerdasan
majemuk merupakan ladasan dasar yang ideal bagi penyususnan strategi
pembelajaran sains karena berorientasi pada potensi (kecerdasan) yang dimiliki
setiap siswa.
Jadi, dari uraian di atas secara sederhana dapat disimpulkan bahwa
strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk merupakan strategi
pembelajaran sains yang berdasar pada teori kecerdasan majemuk. Jika
mengacu pada definisi dari strategi pembelajaran sains yang ada, maka lebih
spesifiknya strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk dapat
didefinisikan sebagai kerangka/pola kegiatan yang didasarkan pada teori
kecerdasan majemuk dan berorientasi pada optimalisasi penggunaan
kemajemukan kecerdasan sisiwa dalam mempelajari/mengkaji proses
berlangsung/terjadi-nya berbagai fenomena/gejala alam yang bersifat empiris
dan logis secara ilmiah, guna mempertebal keimanan kepada Allah Swt (tujuan
vertikal), dan untuk menjawab berbagai permasalahan dan memperoleh
berbagai kemudahan dalam hidup (tujuan horizontal) secara efektif dan efisien.
Atau pada tataran praktisnya, dapat diterjemahkan sebagai pola/kerangka
kegiatan pembelajaran sains yang dipilih pendidik, sesuai dengan kecerdasan
majemuk peserta didik yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran dan
rumusan tujuan dari pembelajarannya.
2. Langkah-Langkah Penyusunan
Secara teknis, menurut Newman dan Logan seperti yang dikutip oleh
Rosyada dan Abudin Nata dalam Mansyur, ada empat hal yang harus
diperhatikan dalam menyusun strategi dasar dari setiap usaha, yaitu:
a. Identifikasi dan penetapan spesifikasi dan kualifikasi hasil yang
harus dicapai dan menjadi sasaran usaha tersebut, dengan
mempertimbangkan aspirasi masarakat yang memerlukannya.
b. Pertimbangan dan pemilihan pendekatan utama yang mumpuni
untuk mencapai sasaran tersebut.
c. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh dari
awal sampai akhir.
43
d. Pertimbangan dan penetapan tolak ukur dan ukuran baku yang akan
digunakan untuk menilai keberhasilan usaha yang dilakukan.90
Jika keempat point di atas diterapkan dalam konteks pembelajaran
sains, maka dapat diterjemahkan menjadi:
1) Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan
dari pembelajaran sains yang akan dilakukan, dengan
memperhatikan tuntutan kurikulum dan masyarakat.
2) Mempertimbangkan dan memilih metode, teknik/prosedur,
media/alat pembelajaran yang sesuai, untuk mencapai tujuan
pembelajaran sains yang telah ditetapkan.
3) Mempertimbangkan dan menetapkan prosedur pelaksanaan
pembelajaran sains dari awal sampai akhir.
4) Mempertimbangkan dan menetapkan indikator ketercapaian dari
proses pembelajaran sains yang dilakukan, yang dapat dijadikan
pedoman dalam kegiatan evaluasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, setidaknya ada beberapa
faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan strategi pembelajaran sains,
antara lain: a) Tujuan khusus/spesifik dari pembelajaran suatu konsep sains
yang akan dilakukan; b) Metode, teknik, dan media pembelajaran yang sesuai
untuk mencapai tujuan pembelajaran; c) Urutan pelaksanaan kegiatan
pembelajaran dari awal hingga akhir; d) Indikator ketercapaian dari proses
pembelajaran yang dilakukan.
Untuk penyusunan strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan
majemuk, ada satu hal penting lagi yang harus diperhatikan, yaitu jenis-jenis
kecerdasan siswa yang dapat diterapkan dalam pembelajaran suatu konsep
sains. Adapun langkah-langkah penyusunannya menurut Armstrong dan
Campbell adalah sebagai berikut:
(1) Pilih/tentukan konsep atau tema sains yang akan diajarkan, dan
tujuan dari pembelajaran konsep tersebut lalu fokus kepada
keduanya, sebagai acuan bagi langkah-langkah selanjutnya,
90 Mansyur, loc.cit.
44
(2) Pilih/tentukan jenis-jenis kecerdasan siswa yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran konsep atau tema sains yang telah
dipilih/ditentukan pada langkah ke-1, guna mencapai tujuan dari
pembelajaran konsep atau tema tersebut,
(3) Pilih/tentukan metode pembelajaran yang representatif terhadap
jenis-jenis kecerdasan siswa yang telah dipilih/ditentukan pada
langkah ke-2, dapat diterapkan dalam pembelajaran konsep atau
tema sains yang telah dipilih/ditentukan pada langkah ke-1, dan
efektif untuk mencapai tujuan dari pembelajaran konsep atau tema
sains tersebut,
(4) Pilih/tentukan spesifikasi kegiatan belajar dari masing-masing
kecerdasan yang telah dipilih/ditentukan pada langkah ke-2, dan
yang merupakan implementasi dari metode pembelajaran yang
telah dipilih/tentukan pada langkah ke-3,
(5) Pilih/tentukan media/alat pembelajaran yang diperlukan dalam
pelaksanaan dari masing-masing kegiatan belajar yang telah
dipilih/ditentukan pada langkah ke-4, dan/atau metode
pembelajaran yang telah dipilih/ditentukan pada langkah ke-3,
(6) Pilih/tentukan jenis dan prosedur kegiatan penilaian/evaluasi yang
akan digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian dari tujuan
pembelajaran konsep atau tema sains yang telah dipilih/ditentukan
pada langkah ke-1, ketepatan dalam pemilihan/penentuan jenis-
jenis kecerdasan dan media/alat pembelajaran pada langkah ke-2
dan ke-5, dan keefektifitasan penerapan metode dan kegiatan
belajar yang telah dipilih/ditentukan pada langkah ke-3 dan ke-4,
dan
(7) Pilih/tentukan urutan pelaksanaan kegiatan pembelajaran secara
keseluruhan, mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti, sampai
45
kegiatan akhir atau penutup, berikut durasi dari masing-masing
kegiatan.91
Patut ditambahkan di sini bahwa, dalam memilih atau menentukan
konsep atau tema sains yang akan diajarkan, Gardner,92 Hoer,93 Armstrong,94
dan Campbell,95 merekomendasikan konsep atau tema yang terintegrasi. Dalam
artian, pemilihan atau penentuan suatu konsep atau tema sains yang akan
diajarkan, tidak hanya terpaku pada satu sudut pandang disiplin keilmuan atau
materi mata pelajaran sains tertentu. Tetapi juga harus mencakup berbagai
disiplin keilmuan lain yang saling berkaitan (interdisipliner), baik yang
dikemas dalam satu tema (tematis), ataupun yang dilihat dari sudut pandang
beberapa mata pelajaran sains (sains/IPA terpadu). Selain itu, penentuan
rumusan tujuan pembelajaran suatu konsep sains juga tidak hanya sebatas pada
yang tercantum di kurikulum, tetapi dapat juga berupa rumusan tujuan
khusus/spesifik tertentu yang disesuaikan dengan kekhasan sekolah dan/atau
karakteristik/kecerdasan siswa.
91 Linda Campbell et.al., Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences, Terj. dariTeaching & Learning Through Multiple Intelligences oleh Tim Intuisi, (Depok: Intuisi Press,2006), Cet. II, hlm. 241-242., dan Armstrong, op.cit., h. 88-90.
92 Gardner, op.cit., h. 187-18893 Thomas R. Hoer, Buku Kerja Multiple Intelligences: Pengalaman New City School di St. Louis,
AS, Dalam Menghargai Aneka Kecerdasan Anak, Terj. dari Becoming Multiple IntelligencesSchool oleh Ary Nilandari, (Bandung: Penerbit Kaifa, 2007), Cet. I, hlm. 95-96.
94 Armstrong, op.cit., h. 90.95 Campbell, et.al., op.cit., h. 246.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di SD School of Universe Jl. Raya Parung 314 Bogor.
Berlangsung selama enam minggu pada bulan Mei-Juni semester genap tahun
pelajaran 2007/2008. Rincian prosedur penelitian sebagai berikut:
Tabel 4
Rincian Rencana Kerja Penelitian
No Tahap
Estimasi waktupelaksanaan
KeteranganMei Juni
1 2 3 4 5 1 2 3 4 51 Persiapan × Pengurusan izin dan
survey lokasi2 Pelaksanaan × × Wawancara, observasi,
studi dokumentasi, dananalisis data harian
3 Pengolahan Data × × Analisis data keseluruhan,cross-check data, daninterpretasi hasil analisisdata
4 Pelaporan × Mengajukan hasilpenelitian secarakeseluruhan ke pihakkampus
B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif-deskriptif. Menurut Moleong, penelitian kualitatif adalah “penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.”96
96Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2007), Cet.XXIV, h. 6.
47
C. Unit Analisis
Masih mengacu pada tujuan penelitian, yang menjadi satuan atau unit
analisis dari penelitian ini adalah para pendidik di SD School of Universe Parung
Bogor. Pendidik di sini baik yang terlibat secara langsung, seperti guru kelas,
maupun yang terlibat secara tidak langsung, seperti kepala sekolah dan wakil
kepala sekolah bidang kurikulum atau koordinator kurikulum sekolah.
D. Instrumen Penelitian
Bogdan dan Biklen, Lincoln dan Guba, seperti yang disintesiskan oleh
Moleong, menegaskan bahwa dalam penelitian kualitatif, “peneliti sendiri atau
dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.”97 Adapun
rasionalisasinya adalah, karena dengan peneliti sendiri atau memanfaatkan
bantuan orang lain sebagai pengumpul data, lebih memungkinkan untuk
mengadakan penyesuaian terhadap realita-realita di lapangan dan memahami
kaitan antar kenyataan-kenyataan tersebut. 98 Selain peneliti sendiri sebagai
instrumen penelitian yang utama, kisi-kisi wawancara dan pedoman observasi
juga digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumenter.99 Format wawancaranya
adalah wawancara semi terstruktur, yakni pertanyaan yang akan diajukan
merupakan pengembangan dari kisi-kisi yang telah disusun.
Sedangkan untuk pengamatan yang dilakukan bersifat: 1. Non
partisipatif, dalam artian peneliti hanya mengamati subjek yang menjadi fokus
penelitian tanpa terlibat langsung di dalamnya; 2. Terbuka, hal ini menunjukan
bahwa keberadaan peneliti sebagai pengamat secara terbuka diketahui dan
disadari oleh subjek, dan para subjek dengan sukarela memberikan kesempatan
kepada peneliti untuk mengamati kegiatan yang terjadi/dilakukan yang menjadi
fokus penelitian; 3. Tak terstruktur. Ini berarti bahwa pengamatan dilakukan
97 Ibid., h. 9.98Ibid.99Ibid., h. 5.
48
atas latar atau kegiatan se-almiah mungkin bukan buatan. 100 Jadi meskipun posisi
peneliti hanya sebagai pengamat, bukan berarti keberadaan peneliti tidak
diketahui atau disadari oleh para subjek, dan meskipun keberadaan peneliti
sebagai pengamat diketahui para subjek, tetap hal tersebut tidak bertendensi
negatif terhadap kealamiahan peristiwa atau kegiatan yang menjadi fokus
penelitian, kerena proses pengamatan akan tetap mengacu pada latar kejadian atau
peristiwa yang se-alamiah mungkin.
Adapun yang dimaksud dengan studi dokumentasi pada penelitian ini
adalah, pemanfaatan informasi dokumenter untuk mendapatkan data yang
diperlukan dalam penelitian. Moleong membaginya ke dalam dua jenis yakni,
dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi menurutnya adalah
“catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman,
dan kepercayaannya.” 101 Jika mengacu pada definisi tersebut, maka dalam
penelitian ini dokumen pribadi dapat diartikan sebagai catatan atau karangan
seseorang secara tertulis tentang pemikiran orang tersebut mengenai teori
kecerdasan majemuk pada umumnya, penerapan teori kecerdasan majemuk dalam
pembelajaran pada khususnya, dan lebih spesifik lagi tentang strategi
pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk. Sedangkan dokumen resmi
dapat dibagai lagi menjadi dua macam yaitu, dokumen eksternal dan dokumen
internal.
Dokumen internal menurut Moleong dapat berupa memo, pengumuman,
instruksi, dan laporan rapat yang digunakan untuk kalangan sendiri. Dengan kata
lain istilah dokumen internal di sini mengacu pada segala macam bentuk atau
format acuan atau aturan tertulis yang berkaitan baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan fokus penelitian yang dihasilkan dan berlaku dari/ke
dalam. Sedangkan dokumen eksternal adalah dokumen yang berisi bahan-bahan
informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga, misalnya majalah, brosur, buletin,
pernyataan, dan berita.102
100 Ibid., h. 176.101 Ibid., h. 217.102 Ibid., h. 219.
49
F. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan tidak mengacu
pada satu rumusan teknik atau metode analisis data tertentu, tetapi merujuk pada
gambaran teknik analisis data kualitatif secara umum yang diberikan oleh
Moleong. 103 Pada tahap awal, data yang berhasil dikumpulkan akan ditelaah
secara lebih mendalam untuk kemudian disederhanakan (reduksi) ke dalam
bentuk-bentuk abstraksi yang merupakan rangkuman inti, proses, dan pernyataan-
pernyataan yang berkaitan dengan fokus penelitian.
Setelah data yang terkumpul berhasil disederhanakan, maka tahapan
selajutnya adalah menyusunnya ke dalam satuan-satuan yang merupakan
potongan infomasi terkecil yang berdiri sendiri (unitisasi). Tahap selanjutnya
ialah, mengelompokkan unit-unit yang saling berkaitan ke dalam kategori tertentu
(kategorisasi) dengan memberi kode pada masing-masing kategori. Setelah proses
kategorisasi dilakukan, maka tahapan berikutnya yaitu memeriksa keabsahan data.
Terakhir, adalah menginterpretasikan hasil analisis data dalam bentuk kata-kata
(narasi).
103 Ibid., h. 247.
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Profil School of Universe (SoU) Parung Bogor
a. Sejarah
School of Universe (SoU) merupakan salah satu sekolah alam yang digagasoleh Lendo Novo. Sekolah ini didirikan di atas sebidang tanah seluas 1 ha, tepatnyadi Jl. Raya Parung 314, desa Lebak Wangi RT 03/01, kelurahan Pemagar Sari,Parung, kabupaten Bogor, Jawa Barat. Secara garis besar, pembahasan mengenaisejarah berdirinya SoU tak lepas dari pemikiran sang penggagas, dan konseppendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah yang pernah didirikannya sebelumSoU. Dengan kata lain, terdapat jalinan benang merah sejarah di antara sekolah-sekolah tersebut, yang berhulu pada penggalan kisah dan cita-cita masa kecil sangpenggagas.
Berangkat dari penggalan kisahnya sewaktu kecil, yang sering dimarahiguru karena dianggap kerap bertindak "subversif" dengan terlalu banyak bertanya,terbesit cita-cita besar dalam benak Lendo kecil untuk mendirikan sekolah yang didalamnya setiap siswa dapat menikmati waktu belajar mereka tanpa harus terpakupada standar moral pendidikan yang menyiksa, yaitu duduk-manis dan diam (2D).
Karena menurutnya, “duduk diam di kelas adalah siksaan.”104
Tahun 1992 merupakan debut awal bagi Lendo untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya dengan mendirikan sebuah taman kanak-kanak (TK), yangdiberi nama TK Salman. Dinamai demikian, karena TK ini berdiri di lingkunganmasjid Salman. Sebuah masjid di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) tempatLendo menempuh pendidikan S1 dan S2-nya. Sekolah ini tak luput dari kontroversikarena, kenang Lendo, “Siswa di TK Salman setiap harinya belajar dari pagihingga sore hari.”105 Padahal menurutnya, “…siswa di TK ini sangat menikmati
kegiatan belajar mereka,”106 karena, seperti yang dijelaskan oleh Lendo, “Kalauanak TK harus duduk diam dan melipat tangannya selama belajar, mungkin waktusepuluh menit bagi mereka sangat lama, tapi kalau kegiatan belajar merekamenyenangkan, mereka akan menikmati belajar itu walau berjam-jam.”107 Dengankata lain, dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan yang diterapkan di TK
104 Lihat Lampiran 11, h. 146105 Ibid.106 Ibid.107 Ibid.
51
salman adalah, pendidikan yang terbebas dari dominasi ritual 2D dalam aktivitaspembelajarannya, sehingga para siswa dapat menikmati kegiatan belajar mereka.
Selain mendirikan dan mengelolah TK Salman, di tahun yang sama (1992)Lendo juga terus merumuskan konsep sekolah yang diimpikannya. Hingga padatahun 1997, muncullah kesempatan untuk mendirikan sekolah alam Ciganjur yang
merupakan sekolah alam pertamanya.108
Di sekolah alam Ciganjur, Lendo menerapkan konsep pendidikan yangdidasarkan pada inti ajaran yang terkandung dalam Al Qur’an dan Al Hadis, yangmenegaskan bahwa salah satu tujuan dari diciptakannya manusia adalah untukmenjadi khalifah Allah Swt di muka bumi. Pengejawantahan dari konsep dasartersebut dapat dilihat dari kurikulum yang dipakai di sekolah ini, yakni kurikulumakhlak, kurikulum logika, dan kurikulum kepemimpinan, dengan perbandingan80:20. Artinya, 80% merupakan kurikulum akhlak, sedangkan 20%-nya merupakankurikulum kognitif. Perbandingan tersebut didasari oleh asumsi bahwa
keberhasilan anak cenderung ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.109
Dalam kegiatan pembelajarannya, di sekolah alam Ciganjur setiap siswa diarahkan untuk berinteraksi langsung dengan alam sebagai sumber dan/atau mediapembelajaran setiap harinya, dan dibimbing untuk dapat belajar secara mandiri danmenjadi akrab dengan lingkungannya. Kongkritnya, mereka belajar denganmengamati, bertanya, mengumpulkan data tentang berbagai hal/fenomena yangada/terjadi di alam sekitar secara langsung di alam terbuka, dan belajar membuatdan menguji hipotesis mereka sendiri.110 Selain itu, kegiatan pembelajaran sekolahini juga lebih dominan dilakukan di luar kelas (outdoor activity) daripada di dalamkelas (indoor activity), dengan perbandingan 70:30. Sedangkan untuk materipembelajaran yang disampaikan, sekolah ini menggunakan model spider web, atau
yang umum dikenal dengan pembelajaran tematik.111
Selain mengembangkan sekolah alam Ciganjur, Lendo juga mulaimenggarap konsep sekolah yang tetap berorientasi pada alam/lingkungan, tetapimemiliki kekhasan atau fokus pada pengembangan bidang tertentu. Hingga padatahun 2004 didirikanlah School of Universe, sebuah sekolah bisnis berbasis
lingkungan.112
Patut ditegaskan di sini, bahwa secara garis besar konsep pendidikan yangdi terapkan di SoU tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan di sekolah alamCiganjur. Meski demikian, pada dasarnya konsep pendidikan yang diterapkan diSoU lebih merupakan bentuk manifestasi dari pengembangan konsep pendidikan
108 Ibid.109 Lihat Lampiran 13, h.150110 Lihat Lampiran 11, h.146111 Lihat Lampiran 13, h.150112 Lihat Lampiran 11, h. 146
52
yang diterapkan di sekolah alam Ciganjur, yang fokus pada aspek pendidikankewirausahaan. Hal ini dapat dilihat dalam pembahasan-pembahasan berikutnya.
b. Latar Belakang
Dari situs resmi SoU dapat disimpulkan bahwa, latar belakang berdirinyaSoU berangkat dari kesadaran atas realita global bahwa potensi kekayaan alamyang ada di bumi, yang sejatinya lebih dari cukup untuk dapat menopangkehidupan seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, ternyata lebih menjadikutukan daripada karunia dan berkah Tuhan. Resource curse, atau kutukan sumberdaya alam di bumi menunjukan adanya fenomena paradox of plenty. Paradoksantara potensi kekayaan alam yang melimpah di bumi, dengan kemiskinansebagian besar manusia, kebangkrutan sebagian besar makhluk dan bahkankerusakan pada bumi itu sendiri. Paradox of plenty disinyalir terjadi karena adanyaketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam pendistribusian, pengolahan, dan
pemanfaatan potensi kekayaan alam yang ada di bumi.113
Kemiskinan pada sebagian besar manusia di bumi, yang disebabkan olehketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup, karena minimnya aksesatau kesempatan kerja, mendorong manusia untuk mendestruksi alam. Tapiironisnya, kerusakan alam terbesar malah berasal dari mereka yang kaya, yaknimereka yang dapat menikmati sebagian besar potensi kekayaan alam yang ada di
bumi.114
Dengan kata lain, kemiskinan (Poverty), kemakmuran (prosperity), danpengrusakan alam (nature destruction) merupakan tiga realita global, yangmelatarbelakangi berdirinya SoU. Kemiskinan atau ketidakmampuan untukmemenuhi kebutuhan dasar hidup, yang disebabkan oleh minimnya akses ataukesempatan kerja, cenderung mendorong manusia untuk merusak alam. Sedangkankemakmuran, cenderung dicapai dengan tidak memperhatikan dampak yangditimbulkan terhadap orang lain dan lingkungan alam sekitar.
Selain itu, pada pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwa, terdapatbenang merah sejarah antara SoU dengan dua sekolah Lendo sebelumnya, yangketiganya berhulu pada penggalan kisah dan cita-cita masa kecil sang penggagas,yakni sekolah yang di dalamnya setiap siswa dapat menikmati waktu belajarmereka, tanpa terpaku pada ritual wajib 2D dan dominasinya dalam setiap kegiatanpembelajaran, yang dapat berimbas pada kejenuhan atau bahkan perasaan tersiksadalam diri siswa. Dus, kegiatan belajar siswa jadi lebih menyenangkan.
113 Lihat Lampiran 7, h.130114 Ibid.
53
Dalam perspektif teori KM, aktivitas 2D dalam kegiatan pembelajaran,yang menurut lendo merupakan bentuk penyiksaan endemik dalam duniapendidikan, merupakan wujud kegiatan belajar yang berorientasi hanya padapengembangan kecerdasan linguistik siswa dalam memproses informasi/pelajaranyang disampaikan secara verbal. Hal ini bukan berarti bahwa secara teoritis, dalamhal ini teori KM, aktivitas 2D dalam kegiatan belajar merupakan hal yang buruk.Tetapi, jika aktivitas tersebut sampai disakralkan, dijalankan secara "istiqomah"tanpa mentolelir bentuk-bentuk kegiatan lain, yang berpretensi kepadapengembangan dan pendayagunaan kecerdasan-kecerdasan selain kecerdasanlinguistik karena dianggap "bid’ah", dan/atau bahkan penodaan "akidah"pendidikan, maka dalam hal ini teori KM sepakat dengan Lendo, bahwa dominasiaktivitas 2D dalam pembelajaran adalah bentuk penodaan terhadap institusipendidikan, dan sekolah yang mensakralkannya dapat dikatakan "sesat". Pendekkata, latar belakang berdirinya SoU telah dirasuki "ruh" teori KM.
c. Visi, Misi dan Tujuan
Dalam wawancara penulis dengan Murniwati, kepala sekolah SD SoU,secara singkat Murni mengatakan bahwa visi dan misi yang utama dari SoU adalahmencetak anak mandiri.115 Sedangkan dalam sumber lain, Adib menuliskan bahwaSoU adalah salah satu sekolah alam yang “mencita-citakan lahirnya generasimandiri melalui keahlian dalam bidang bisnis serta memiliki akhlak mulia.” Yakni,menurut Lendo dalam Adib, “generasi yang bisa mengejar kesejahteraan tanpamengabaikan dampak atas orang lain, dan atau lingkungan. Atau dengan kata lain,menurut Murni dalam Adib, mencetak “pemimpin di muka bumi dan memberirahmat bagi sekalian alam.”116
Dari paragraf di atas, dapat dilihat bahwa visi dari SoU adalah, lahirnyapemimpin di muka bumi (khalifah fil ardh) yang dapat memberikan manfaat bagiseluruh alam. "Grace to All Nature", Rahmatan Lil Alamin. Sedangkan yangmenjadi misinya ialah menyiapkan generasi mandiri yang dapat mencapaikesejahteraan hidup, tanpa mengabaikan dampak atas orang lain dan alam sekitarmelalui keterampilan bisnis berwawasan lingkungan (green business skill).
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai adalah, agar keluaran dari SoUmenjadi pemimpin masa depan yang: 1) Menguasai ilmu kepemimpinan danmampu menerapkannya dalam keseharian, sehingga menjadi pemimpin yangluwes/toleran; 2) Memiliki akhlak yang terpuji (akhlaqul karimah) yang mendarah-daging; 3) Memiliki Jiwa wirausaha, yang menjadi keterampilan hidup dalamkeintelektualannya; 4) Dapat menjadi bagian dari alam, pengasuh alam semestadan lingkungan, untuk dipelajari, diproduksi, dipakai, dirawat, dan disyukuri, dan
115 Lihat Lampiran 4, h.118116 Lihat Lampiran 12, h.148
54
5) Diharapkan, keluaran SoU, dapat memenuhi standar kompetensi nasional yang
ditetapkan diknas.117
d. Jenjang/Tingkat
Jenjang pendidikan yang diselenggarakan di SoU meliputi; taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolahmenengah atas (SMA). Untuk tingkat TK dan SD, lama belajar yang ditempuh,sama dengan sekolah-sekolah lain yakni, dua tahun untuk TK (TK A dan TK B)dan enam tahun untuk SD. Tetapi, khusus untuk SMP dan SMA, yang normalnyamasing-masing diselenggarakan selama tiga tahun, di sekolah ini penyelenggaraankeduanya digabung, dan dilaksanakan dalam satu waktu selama empat tahun, yangdiistilahkan dengan sekolah menengah (SM). Kebijakan tersebut diambil denganalasan, “bahwa setelah anak mencapai usia baligh, dia harus bisa mempunyai
maisyah sendiri.”118
Karena perbedaan yang amat mencolok tersebut, keberadaan SM di SoUmasih belum diakui sepenuhnya oleh diknas. Atau seperti yang diungkapkan olehMurni bahwa, “untuk SM masih belum disamakan dengan sekolah formal namunlebih bersifat semi formal karena lamanya pendidikan di SM hanya empat tahun,
dan kurikulum yang digunakan lebih mengutamakan ke perbisnisan”.119
e. Kurikulum
Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai visi, misi, dan tujuan dariSoU. Dalam dunia pendidikan, dalam hal ini sekolah, pengejawantahan dari visi,misi, dan tujuan pendidikan yang diemban suatu sekolah dapat dilihat darikurikulum yang digunakan/diterapkan.
Meskipun menerapkan konsep pendidikan yang cenderung berbeda dengansekolah-sekolah pada umumnya, tetapi untuk kurikulum pada dasarnya SoU tetapmengacu pada kurikulum diknas, hanya saja dalam pengembangan danpenerapannya, kurikulum yang diterapkan di SoU lebih merupakanpengejawantahan dari visi, misi, dan tujuan pendidikan yang diembannya.
Untuk tingkat TK dan SD, secara garis besar, kurikulum yang digunakanterbagi dalam tiga materi pokok yaitu, pengembangan akhlak, logika, dan sifatkepemimpinan. Sedangkan untuk tingkat sekolah menengah (SM) kurikulum yangdigunakan, dikembangkan dari integrasi kurikulum standar diknas yang mencakupmateri-materi pokok ujian masuk PTN, yaitu Matematika, IPA (Kimia, Fisika,Biologi) dan Bahasa Inggris, selain kurikulum kecakapan hidup yang berbasis pada
117 Lihat Lampiran 8, h.139118 Ibid.119 Lihat Lampiran 4, h.118
55
bioteknologi, information-communication-technology (ICT), dan trading house
(business).120
Hal tersebut bukan berarti bahwa di tingkat SM, pengembangan akhlak,logika, dan sifat kepemimpinan tidak diterapkan, dan sebaliknya, bukan berartibahwa siswa tingkat TK dan SD tidak diperkenalkan dengan pendidikan kecakapanhidup seperti bisnis dan atau ICT. Perbedaannya hanya pada taraf pemberianmateri, di mana untuk siswa tingkat TK dan SD hanya sebatas pada tahappengenalan.121 Jadi, kesimpulannya adalah, ada empat model kurikulum yangditerapkan di SoU yakni, kurikulum akhlak, kurikulum logika, kurikulum,kepemimpinan, dan kurikulum kecakapan hidup.
f. Tenaga Kependidikan dan Fasilitas
Sejatinya, kurikulum yang dikembangkan dan diterapkan di tiap-tiapsekolah, lebih merupakan pengejawantahan dari visi, misi, dan tujuan pendidikanyang diemban sekolah-sekolah tersebut dalam bentuk tekstual. Kontekstualisasidari apa yang tertulis dalam kurikulum, tidak mungkin terwujud tanpa melibatkankomponen pendidikan yang lain yaitu guru. Guru yang dapat memahami danmenjiwai apa yang menjadi visi, misi, dan tujuan sekolah, menguasai apa yangtertuang di dalam kurikulum, dan menerapkannya dalam proses pendidikan. Gurupun sejatinya masih membutukan komponen pendidikan lain yang dapatmemudahkannya dalam melaksanakan tugas untuk menerapkan yang tertulis dikurikulum, yakni fasilitas atau sarana yang dimiliki sekolah. Pendek kata, adaketerkaitan antara visi, misi, dan tujuan pendidikan di SoU dengan kualifikasifasilitatornya, dan dengan fasilitas yang ada.
Tenaga kependidikan di SoU terdiri dari fasilitator atau guru kelas danasisten fasilitator yang berjumlah 35 orang, kesemuanya berpendidikan minimalstrata satu. Rata-rata dari mereka adalah sarjana non kependidikan lulusan daribeberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia seperti UI, UIN, IPB, ITB, danUNIBRAW. Latar belakang pendidikan keguruan (bergelar SPd atau memiliki aktamengajar) bagi seorang fasilitator di SoU tidaklah menjadi prioritas, karena kriteriadasar yang harus dipenuhi dari seorang fasilitator di SoU adalah: 1) Memilikiakhlak yang baik; 2) Cinta anak-anak; 3) Kreatif dan inovatif; dan 4) Memiliki
wawasan kependidikan, lingkungan, dan perbisnisan.122
Telah disinggung dalam uraian pada paragraf sebelumnya bahwa agardapat memudahkan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya di sekolah untukmengkontekstualisasikan apa yang tertulis di kurikulum, diperlukan sarana atau
120 Lihat Lampiran 7, h.130121 Lihat Lampiran 12, h.148122 Lihat Lampiran 4, h.118
56
fasilitas penunjang. Di SoU, terdapat beberapa fasilitas penunjang pendidikan yangantara lain terdiri dari: (1) Mosque (Prayer Room); (2) Ecoshop; (3) Library; (4)Resource & Workshop Room; (5) Audio Visual Room; (6) Class room; (7) Fasilitas
Outbound; (8) ICT Lab; (9) Area bermain; (10) Green lab; (11) Office.123
g. Aktivitas Keseharian (Daily activities).
Aktivitas pendidikan di SD SoU setiap harinya diawali dengan kegiatanmengaji bersama di masjid sekolah. Dalam kegiatan ini, setiap siswa satu per satumembaca Alquran dan/atau "iqro" dengan bimbingan guru kelas masing-masing.Selain kegiatan yang berorientasi pada pelayanan aspek kebutuhan dan potensispiritual-religius siswa, di sekolah ini juga diadakan kegiatan yang berpretensi padapengembangan aspek jasmani para siswa, yaitu olah raga pagi bersama.
Kegiatan olah raga pagi bersama rutin dilaksanakan dua kali dalamseminggu oleh para siswa dengan bimbingan dari seorang guru olahraga dihalaman sekolah. Di atas hamparan rumputnya yang hijau, di bawah naunganrindangnya pohon-pohon besar yang tumbuh di halaman sekolah, para siswaterlihat sangat menikmati kegiatan ini. Kegiatan menggerak-gerakkan anggotatubuh dengan diiringin musik dan lagu, atau yang dikemas dalam bentukpermainan.
Kegiatan lain yang dilakukan secara berjamaah di sekolah ini adalah, kerjabakti dan sholat juhur. Sholat juhur berjamaah dilakukan di masjid sekolah denganmuadzin salah seorang dari siswa laki-laki, dan diimami oleh salah seorang gurulaki-laki. Selesai melaksanakan sholat juhur berjamaah dan doa, para siswaberhamburan ke luar masjid menuju tempat yang menurut mereka representatifuntuk menikmati makan siang mereka. Sedangkan kegiatan kerja bakti difokuskanuntuk membersihkan ruang kelas masing-masing, halaman sekolah, dan masjid.Tidak hanya siswa yang mengerjakan kegiatan ini, para guru pun ikut serta didalamnya. Menyapu lantai ruang kelas dan masjid, mengepelnya, hinggamembersihkan kaca-kacanya dilakukan secara gotong royong.
Selain empat kegiatan di atas, masih banyak lagi aktivitas yangberlangsung di sekolah ini, yang dilakukan per kelas, seperti:
1) Art study. Minat dan kemahiran para siswa dalam berkesenian, baik
musik maupun seni rupa, dikembangkan dan diasah di sini. Ada yang
bermain gitar, piano, drum, bass, maupun alat musik tradisional
seperti angklung. Ada juga yang melukis, dan yang membuat
kerajinan tangan dari kertas dan botol bekas kemasan air mineral.
Kegiatan ini dilakukan di Resource & Workshop Room.
123 Lihat Lampiran 7, h.130
57
2) Belajar pemantapan. Di sini guru kelas me-review pelajaran yang telah
diajarkan melalui "sharing" dengan para siswa, dan/atau para siswa
mengerjakan soal.
3) CaLisTung (baca-tulis-hitung). Kegiatan ini difokuskan untuk siswa
kelas 1 dan kelas 2. Di sini mereka belajar membaca, menulis, dan
berhitung dengan bernyanyi, games, puzzle, dan dengan cara atau
media lainnya.
4) Outing/field trip. Kegiatan mengunjungi tempat-tempat tertentu untuk
belajar secara kontekstual di lingkungan atau tempat sebenarnya.
5) Latihan drama. Kegiatan ini dilakukan oleh beberapa siswa dari kelas
yang berbeda di halaman sekolah dengan dibimbing oleh seorang guru
untuk dipentaskan pada acara perpisahan siswa kelas enam.
6) Memeriksa proyek kelas. Di sini siswa mengecek proyek mereka
masing-masing, seperti penetasan telur ayam dengan inkubator,
penanaman pohon buah dan/atau sayuran dalam polybag.
7) Membersihkan area outbond. Kegiatan ini dilakukan setelah siswa
melaksanakan kegiatan outbond. Di sini, selain membersihkan area
outbond, para siswa juga ikut membersihkan dan merapihkan
peralatan outbond, yang telah digunakan, bersama instruktur outbond.
8) Membersihkan bengkel seni. Peralatan yang telah dipakai dibersihkan
oleh siswa yang bersangkutan, menaruh dan merapihkannya di tempat
semula. Kegiatan ini rutin dilakukan oleh para siswa yang telah selesai
menggunakannya. Selain itu, membersihkan ruangan bengkel seni,
merapihkan peralatan yang ada di dalamnya juga dilakukan secara
berkala.
9) Membersihkan perpustakaan. Kegiatan ini dilakukan secara berkala
oleh para siswa sesuai jadwalnya. Membersihkan ruangan,
menata/merapihkan koleksi yang ada, merupakan aktivitas siswa
dalam kegiatan ini.
10) Membuat hasil karya sederhana. Kegiatan ini dilakukan siswa secara
individu dan/atau kelompok. Ada yang dalam bentuk makanan atau
minuman, dan ada juga yang berbentuk barang. Hasil karya para siswa
ini kemudian dipasarkan oleh mereka sendiri.
58
11) Menggambar. Selain calistung, menggambar juga merupakan kegiatan
yang sering dilakukan oleh kelas 1 dan 2. Tetapi kegiatan tidak
termasuk kegiatan yang dilakukan di sanggar seni, melainkan kegiatan
pembelajaran harian yang sama dengan calistung. Tidak hanya
menggunakan pensil dan crayon, para siswa juga menggambar dengan
cat air. Objek yang mereka gambar kebanyakan berupa hewan
dan/atau tumbuhan yang ada di sekeliling mereka.
12) Mengurus hewan peliharaan sekolah. Di sini para siswa melakukan
beberapa aktivitas seperti: membersihkan hewan peliharaan dan
kandangnya, serta memberi makan hewan.
13) Mengurus kebun sekolah. Selain memiliki koleksi hewan peliharaan,
sekolah ini juga memiliki kebun yang di dalamnya terdapat koleksi
bermacam-macam tumbuhan. Baik tanaman buah, sayuran, obat-
obatan, maupun tanaman hias yang bernilai ekonomis.
Pengurusan/perawatan-nya dilakukan oleh para siswa dengan
dibimbing oleh guru kelas masing-masing. Di sini aktivitas yang
dilakukan siswa antara lain, menyiram, membersihkan tanaman dan
media tanamnya, dan memberi pupuk.
14) Menyusun buku di perpustakaan. Di sini, dengan dibimbing oleh
petugas perpustakaan dan guru kelas masing-masing, siswa belajar
menyusun buku berdasarkan katalognya.
15) Outbond. Kegiatan outbond yang dilakukan di sekolah ini ada
beberapa macam. Ada yang menggunakan peralatan khusus seperti
"flying fox", "monkey" dan "Elvis bridge". Permainan yang hanya
yang menggunakan peralatan sederhana seperti tali dalam permainan
"tali kusut". Ada juga permainan yang dilakukan tanpa alat seperti
trust fall. Kegiatan ini dilakukan di lingkungan sekolah, dan
dibimbing langsung oleh para guru dengan dibantu oleh beberapa
instuktur outbond, khususnya untuk permainan yang menggunakan
alat-alat khusus.
Uraian di atas merupakan gambaran dari aktivitas keseharian yangberlangsung di SD SoU Parung Bogor, yang berhasil ditangkap melaluipengamatan langsung di sekolah ini selama dua minggu. Dari hari senin sampaijum’at setiap minggunya. Sedangkan untuk rincian pelaksanaan berdasarkan hari
59
dan waktu (jam) dari masing-masing kegiatan dapat dilihat pada lembar hasil
pengamatan penelitian.124
2. Gambaran Umum Penerapan Teori Kecerdasan Majemuk di SD SoU ParungBogor
Setelah menguraikan gambaran umum dari SoU, yang merupakan setting atautempat penelitian ini dilaksanakan, selanjutnya pembahasan akan lebih dikerucutkanpada gambaran umum dari penerapan teori KM di SD SoU, yang sebagian besardidasarkan pada hasil wawancara dengan pihak yang dianggap kompeten, dalam halini principle atau kepala sekolah SD SoU, ibu Murniwati, S.Sos.
Penerapan, atau lebih tepatnya pengadopsian, nilai atau prinsip teori KM diSoU dapat dilihat secara implisit dari latar belakang berdirinya sekolah ini. Dalamperspektif teori KM, sekolah yang dicita-citakan Lendo adalah sekolah yang tidakhanya terpaku pada pengembangan dan pendayagunaan kecerdasan linguistiksiswanya, tetapi juga harus menyentuh tujuh kecerdasan lainnya. Singkat kata, sekolahyang mengapresiasi kemajemukan kecerdasan siswanya.
Secara eksplisit ditegaskan oleh Murni bahwa SD SoU merupakan salah satusekolah yang menerapkan teori KM, yang dalam pelaksanaanya para siswa tidakdibeda-bedakan berdasarkan jenis kecerdasan tertentu, melainkan lebih menekankanpada keterlayanan seluruh jenis kecerdasan siswa.125 Pada tataran praktis, umumnyaada dua model penerapan teori KM dalam dunia pendidikan, khususnya dalampembelajaran. Pertama, pembelajaran dilakukan berdasarkan kecerdasan yangmenonjol dari tiap-tiap siswa, dan biasanya siswa yang memiliki jenis kecerdasanmenonjol yang sama dikelompokkan ke dalam satu kelas tertentu. Model ini sepertiyang diterapkan di SD Al-Hikmah Surabaya. Di sekolah ini para siswa dikelompokkanke dalam tiga kelas yang berbeda, yakni linguistik, matematis-logis, dan kinestetis.126
Sedangkan model penerapan yang kedua adalah, pembelajaran dilakukan denganberorientasi pada pemberdayaan semua (delapan) jenis kecerdasan siswa.127 berbedadengan model yang pertama, pada model ini masing-masing siswa tidakdikelompokkan dan diajarkan berdasarkan kecerdasan mereka yang menonjol,melainkan setiap siswa dianggap sama-sama memiliki potensi kedelapan kecerdasanyang harus diapresiasi dan didayagunakan dalam setiap proses pembelajaran. Jadi,kelas linguistik, matematis-logis, kinestetik dan lainnya, tidak dikenal dalam modelini. Model ini seperti yang diterapkan di SD Ciputra, seperti yang diungkapkan olehAndreas Rasidi kepala sekolah SD Ciputra dalam Anita dan Titik, bahwa “Kami
124 Lihat Lampiran 3, h.94125 Lihat Lampiran 4, h.118126 Anita Rachman dan Titik Andriyani, Multiple Intelegences, Pengembangan Kemampuan dengan
Metode Kecerdasan, dari www.cyberschooldps.net, 19 Juni 2007.127 Ibid.
60
memang menggolongkan kecerdasan masing-masing siswa. Tapi, kami tidak lantas
mengumpulkan mereka yang memiliki kecerdasan sama.”128
Dari uraian paragraf di atas dapat disimpulkan bahwa, jenis penerapan teoriKM di SD SoU mengacu pada model penerapan yang kedua, di mana potensikedelapan kecerdasan para siswa, yang meliputi kecerdasan linguistik, matematis-logis, kinestetik, visual-spasial, musikal, interpersonal, intrapersonal dan natural,sama-sama diapresiasi dan didayagunakan dalam setiap pembelajaran.
Selain itu, baik model pertama maupun yang kedua, keduanya dapatmemberikan ekses yang positif terhadap pencapai belajar siswa secara khusus, ataupunpeningkatan mutu sekolah secara umum. Hal ini seperti yang terjadi di SD Al-HikmahSurabaya. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Arodhi, wakil kepalakurikulum yang juga merangkap sebagai ketua Tim Pengembangan Kurikulum SD Al-Hikmah, sebagai berikut: “Kami menerapkan MI sejak setahun lalu. Alhamdulillah,prestasi anak-anak semakin maksimal.”129 Sedangkan untuk di SoU sendiri,pencapaian positif dalam skala nasional dapat dilihat dari pengakuan terhadap sekolahini, yang disebut-sebut sebagai “sekolah model, sekolah nasional plus”130. Sedangkanuntuk skala global, pengakuan terhadap konsep pendidikan yang diusung oleh SoUdatang dari Dewan Gereja Dunia, yang mengontrak Lendo untuk merintis beberapasekolah semodel SoU di Indonesia, antara lain untuk wilayah Papua dan Nusa
Tenggara.131
Adapun alasan dari penerapannya adalah karena teori KM sejalan dengan visi,misi, dan tujuan dari SoU.132 Keselarasan tersebut akan diulas pada paragraf-paragrafberikut.
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa, visi dari SoU adalahlahirnya pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardh) yang dapat memberikan manfaatbagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Konsep kepemimpinan yang diperkenalkanIslam kepada peradaban manusia sejak empat belas abad yang lalu ini, sejatinya tidakhanya mengacu pada kemahiran seseorang dalam beretorika untuk mempengaruhimassa pada saat kampanye (kecerdasan linguistik), memanipulasi angka atau rumusekonomi dan alasan logis untuk menaikkan harga kebutuhan pokok dan membodohirakyat atas kenaikkan harga tersebut (kecerdasan matematis-logis), tetapi juga padamanusia yang mampu memersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi,serta perasaan orang lain, dan meresponnya secara efektif (kecerdasan interpersonal).Seseorang yang dapat memahami dan menghargai diri sendiri, kekuatan danketerbasan diri, kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen, dan
128 Ibid.129 Ibid.130 Lihat lampiran 8, h.139131 Lihat Lampiran 11, h.146132 Lihat Lampiran 4, h.118
61
keinginan diri, serta kemampuan berdisiplin diri (kecerdasan intrapersonal), mana’rofa nafsahu fa a’rofa robbahu. Juga mereka yang menyadari dan memahami artipenting alam semesta/lingkungan bagi keberlangsungan proses kehidupan di dunia.Ringkasnya, pemimpin yang "rahmatan lil alamin" adalah mereka yang dapatmenjalin harmoni dengan Sang Pencipta alam semesta Allah Swt dan makhluk ciptaa-Nya (Hablum minallohi wa hablum minannasi), manusia yang mampumemberdayakan kemajemukan kecerdasan yang dimilikinya secara efektif untuktujuan yang positif.
Sedangkan misi dari SoU ialah, menyiapkan generasi mandiri yang dapatmencapai kesejahteraan hidup tanpa mengabaikan dampak atas orang lain melaluiketerampilan bisnis. Dalam dunia bisnis, seseorang tidak hanya dituntut untuk dapatmenghitung jumlah keuntungan atau kerugian yang diperoleh secara matematis, tetapijuga harus dapat mempromosikan usahanya secara efektif, baik yang disampaikansecara visual (semisal poster), verbal (iklan di radio), musikal (jingle song), maupunkinestetis (tarian atau aksi teatrikal) dan/atau keterpaduannya. Selain itu, yang tidakkalah penting adalah aspek pemasaran. Pemahaman terhadap karakteristik pasar ataukonsumen yang dituju mutlak diperlukan, dan yang terpenting ialah aspek pemahamanterhadap kekuatan dan kelemahan dari diri sendiri atas bisnis yang dijalankan. Singkatkata, dalam dunia bisnis, pendayagunaan aspek kecerdasan majemuk mutlakdiperlukan.
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai adalah, agar keluaran dari SoUmenjadi pemimpin masa depan yang: 1) Menguasai ilmu kepemimpinan, dan mampumenerapkannya dalam keseharian, sehingga menjadi pemimpin yang luwes/toleran; 2)Memiliki akhlak yang terpuji (akhlaqul karimah), yang mendarah-daging; 3) Memilikijiwa wirausaha yang menjadi keterampilan hidup dalam keintelektualannya; 4)Menjadi bagian bagian dari alam, pengasuh alam semesta dan lingkungan, untukdipelajari, diproduksi, dipakai, dirawat, dan disyukuri; 5) Dapat memenuhi standarkompetensi nasional yang ditetapkan diknas.
Dalam perspektif teori KM, akhlaqul karimah merupakan ekspresi darikecerdasan intra dan inter-personal seseorang. Sedangkan tujuan nomor empat padaparagraf di atas, merupakan pengejawantahan dari jenis kecerdasan naturalis. Adapununtuk tujuan yang terakhir, lebih mencerminkan pengembangan dan penggunaankecerdasan linguistik dan matematis logis. Hal ini dapat dilihat dari jenis ujian yangdiadakan, dan mata pelajaran yang diujikan. Untuk menghindari over leafing, makapenjelasan untuk tujuan nomor satu dan tiga tidak dituliskan lagi di sini karena dapatdilihat pada uraian paragraf sebelumnya.
Teori KM sudah diterapkan di SD SoU sejak sekolah ini berdiri, tepatnyatahun 2004. Langkah-langkah penerapannya di SD SoU dimulai dari proses trainingpara calon tenaga kependidikan yang akan mengajar di SD SoU. Pada saat trainingtersebut mereka dibekali, salah satunya, dengan pengetahuan tentang teori KM.Pemahaman bahwa setiap anak memiliki beragam potensi, yang dalam teori KM
62
dianggap sebagai kecerdasan, karena memiliki kriteria yang sama dengan apa yangselama ini dianggap sebagai kecerdasan yakni IQ, yang sejatinya hanya merupakan
perwujudan dari perkembangan kecerdasan linguistik dan matematis-logis.133
Dengan kata lain, teori KM yang diperkenalkan di SoU adalah teori yangberpandangan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang majemuk. Tidak hanyakecerdasan linguistik dan matematis-logis yang selama ini menjadi fokus daripengukuran tes IQ, tetapi juga kecerdasan visual-spasial, kinestetik, interpersonal,intrapersonal, naturalis, dan musik.
Konsekuensi dari penerapannya di SoU, setiap fasilitator dan asisten fasilitatorharus memperhatikan dan melayani aspek kecerdasan majemuk yang dimiliki siswadalam kegiatan pembelajaran yang menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena itu,para calon tenaga kependidikan yang akan mengajar di SD SoU juga diberikan
gambaran umum dari penerapan teori KM dalam pembelajaran.134
Setelah tahap pembekalan, maka tahap selanjutnya adalah pelaksanaan praktisdari apa yang telah didapat selama training. Dengan kata lain, para fasilitator danasisten fasilitator harus dapat mengembangkan dan menerapkan pengetahuan yangdidapat selama training dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang
sesungguhnya.135
Dalam proses penerapannya terdapat beberapa kendala yang lebih bersifatakademis. Kendala-kendala tersebut terutama dirasakan oleh para fasilitator, sepertiminimnya pelatihan-pelatihan khusus mengenai penerapan teori kecerdasan majemukdalam pembelajaran, yang berimbas pada kesulitan mereka, terutama dalammenentukan jenis kecerdasan yang akan dikembangkan dan model penilaiannya dalampembelajaran. Adapun harapan dari penerapan teori KM di SD SoU ialah, guru dapatmengembangkan pembelajaran yang lebih efektif, kretif, dan inovatif dan para siswa
dapat terlayani aspek kecerdasan majemuk mereka.136
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa SD SoU merupakan salah satusekolah dasar yang menerapkan teori KM. Penerapannya sudah dimulai sejak sekolahini berdiri yakni tahun 2004. Alasan dari penerapan teori KM di sekolah ini karenanilai dan prinsip yang di usung teori KM sejalan dengan visi, misi, dan tujuanpendidikan SoU. Adapun langkah penerapannya dimulai dari proses pembekalan paracalon pendidik tentang teori KM, dan gambaran penerapannya dalam pembelajaran.Sedangkan harapan dari penerapannya adalah, agar guru dapat lebih kreatif daninovatif dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran yang efektif, sehingga para
133 Ibid.134 Ibid.135 Ibid.136 Ibid.
63
siswa dapat menikmati kegiatan belajar, karena aspek kecerdasan majemuk merekaterlayani dengan baik.
B. Pembahasan terhadap Temuan Penelitian
Setelah sebelumnya dijabarkan gambaran dari setting atau tempat penelitian inidilaksanakan, dan diuraikan secara umum mengenai penerapan teori KM di SD SoU,selanjutnya akan dijabarkan gambaran dari langkah-langkah penyusunan strategipembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU, yang merupakanpembahasan utama dari penelitian ini. Pembahasan didasarkan pada; hasil studidokumentasi berupa contoh format rencana pengajaran (action planning) dan penilaianportofolio, wawancara dengan koordinator bidang kurikulum/litbang (bapakDarwinsyah), dan fasilitaor kelas satu (ibu Rini Septiani), kelas dua (bapak GunturWijaya), kelas tiga (ibu Tia Wahyuni), kelas empat (ibu Puji Handayani), kelas lima (ibuHeni Kumalasari), dan kelas enam (bapak Nur Ahsin).
Harus ditegaskan kembali di sini, bahwa langkah-langkah dari penyusunanstrategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk pada penelitian ini meliputipemilihan/penentuan: 1. Konsep sains dan perumusan tujuan dari pembelajaran konseptersebut; 2. Jenis-jenis kecerdasan yang diterapkan dalam pembelajaran; 3. Metodepembelajaran yang digunakan; 4. Kegiatan belajar siswa dalam pembelajaran; 5. Mediapembelajaran yang diperlukan dalam pembelajaran; 6. Jenis dan prosedur kegiatanpenilaian yang digunakan; dan 7. Urutan pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Gambarandari masing-masing langkah akan dijabarkan pada pembahasan-pembahasan berikut:
1. Pemilihan Konsep Sains dan Perumusan Tujuan Pembelajarannya.
Langkah pertama dalam penyusunan strategi pembelajaran sains berbasiskecerdasan majemuk adalah, memilih konsep sains dan merumuskan tujuan daripembelajarannya. Sebelum lebih jauh menjabarkan tentang pemilihan konsep sainsdan perumusan tujuan pembelajarannya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa diSoU, baik TK, SD, maupun SM, semua menggunakan model pembelajaran spider webatau yang biasa dikenal dengan pembelajaran tematik. Materi pembelajaran dikemasdalam tema-tema tertentu dan dibahas secara interdisipliner.
Darwin menegaskan bahwa di SD SoU konsep sains yang diajarkan dipilihsendiri oleh guru yang bersangkutan, dan dalam pemilihan materi dari setiap matapelajaran harus disesuaikan dengan tema. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa dalampelaksanaanya, guru dapat mengembangkan konsep sains yang sudah ada pada bukuajar atau menyusunnya sendiri, yang keduanya harus tetap mengacu atau disesuaikandengan tema, standar kompetensi, kompetensi dasar, dan kurikulum sekolah.137
Pernyataan Darwin tersebut diamini oleh semua guru dengan beberapa keterangantambahan.
137 Lihat Lampiran 5, h 123
64
Seperti yang diungkapkan oleh Puji, bahwa unsur keterkaitan antar materipelajaran yang ada dalam satu tema, harus diperhatikan dalam memilih materi darisetiap pelajaran yang diajarkan. Sebagai contoh, dalam pembelajaran dengan tema myenvironment, konsep sains yang dipilih untuk diajarkan adalah tentang hubungansumber daya alam, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Konsep tersebut dipilih,karena melihat adanya keterkaitan dengan materi-materi dari mata pelajaran lain yangada dalam tema yang sama, seperti materi tentang sumber daya alam dan kegiatan
ekonomi (IPS), dan lingkungan sekitarku (Bahasa Indonesia).138
Jika mengacu pada buku teks, maka konsep sains yang dipilih termasukpembahasan untuk semester II. Sedangkan untuk materi pelajaran Bahasa Indonesiadan IPS-nya merupakan pembahasan pada semester I. Dengan kata lain, apa yangdilakukan Puji dalam memilih konsep sains yang akan diajarkan tidak sepenuhnyamengacu pada buku teks, termasuk isi dari konsep sains yang akan diajarkan.
Sedangkan untuk Rini dan Ahsin; tingkat kesulitan, kekompleksitasan, dankeabstrakan materi setiap mata pelajaran yang diajarkan juga harus diperhatikan.Seperti yang dicontohkan oleh Rini, konsep sains yang dipilih untuk diajarkan padatema the matters around us I, hanya sebatas pada pembahasan mengenai ciri-ciribenda, tidak sampai pada pembahasan mengenai perubahan bentuk banda. Begitu pulahalnya dengan materi mata pelajaran matematika dan Bahasa indonesia, hanya
membahas tentang panjang-pendek dan mendeskripsikan benda.139
Jika mengacu pada buku ajar sains kelas I, konsep yang dipilih oleh Rinimerupaka kelompok pembahasan mengenai Benda-Benda di Sekitar Kita, yangdidalamnya mencakup pembahasan mengenai: a. Ciri benda; b. Perubahan bentukbenda; dan c. Kegunaan benda. Dengan kata lain, aspek hirarkis berdasarkankekompleksitasan dan kesulitan suatu konsep sains menjadi pertimbangan Rini dalammenentukan konsep sains yang akan diajarkan.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa konsep sains yang diajarkan di SDSoU dapat berupa konsep sains yang dikembangkan dari buku ajar atau yang disusunsendiri oleh para guru. Tetapi pada dasarnya suatu konsep atau materi dari setiap matapelajaran yang diajarkan, baik yang mengacu pada buku ataupun yang dibuat sendiri,dipilih dengan cara: a. Disesuaikan dengan tema pembelajaran, standar kompetensi(SK), kompetensi dasar (KD) dan meteri mata pelajaran lain dalam satu tema yangsama; b. Diperkaya sesuai dengan kurikulum sekolah; dan c. Diperhatikan tingkatkesulitan, kekompleksitasan, dan keabstrakan konsep atau materi tersebut.
Sedangkan, jika dibandingkan dengan model pemilihan konsep sains yangditerapkan di sekolah-sekolah konvensional, maka terdapat satu ciri khas dari modelpemilihan yang diterapkan di SD SoU, yakni unsur keterkaitan antar materi pelajaran
138 Lihat Lampiran 6, h 126
139 Ibid.
65
yang ada dalam satu tema. Hal ini tidak ditemukan di SD konvensional karena,terpaku pada kurikulum, pola pembelajaran tematis hanya diberlakukan pada kelassatu, dua, dan tiga. Sebaliknya, model pembelajaran tematis, atau di SD SoU lebihdikenal dengan spider web, diberlakukan dari kelas satu sampai enam.
Hal yang sama juga berlaku dalam perumusan tujuan pembelajaran suatukonsep sains. Secara umum, tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai dari suatuusaha atau kegiatan. Dalam dunia pendidikan, tujuan berorientasi pada siswa, yakniperubahan positif pada diri siswa yang merupakan konsekuensi/ekses dari prosespembelajaran yang dilakukan.
Dalam konteks tersebut, Darwin dan para guru sepakat bahwa di SD SoU,dalam semua mata pelajaran tidak hanya sains, dikenal istilah tujuan pembelajaran danindikator, yang perumusan keduanya merupakan wewenang masing-masing gurudengan mengacu pada SKKD dari materi masing-masing mata pelajaran.140 Dalamcontoh format RPP atau action planning yang digunakan di SD SoU, selain deskripsi
dari materi yang akan diajarkan, terdapat pula kedua istilah tersebut.141
Lebih lanjut Darwin menjelaskan bahwa, perbedaan yang mendasar darikeduanya terletak pada sifatnya, tujuan pembelajaran bersifat umum-konseptual,sedangkan indikator lebih bersifat spesifik-operasional. Tetapi dalam perumusannya,baik tujuan pembelajaran maupun indikator, harus sama-sama memperhatikankarakteristik siswa, kurikulum sekolah (SD SoU), dan materinya.142 Apa yangdiungkapkan Darwin dibenarkan oleh semua guru. Tetapi pada tataran teknisnya,mereka menegaskan bahwa untuk indikator dirumuskan dalam kata kerja operasional
yang terukur dan/atau dapat diamati.143
Jika dibandingkan dengan model perumusan tujuan pembelajaran padasekolah-sekolah konvensional, maka dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yangcukup prinsipil dengan apa yang dilakukan di SD SoU. Melihat keduanya mengacupada sember yang sama, yaitu SKKD dari masing-masing pembahasan dandirumuskan dalam format yang sama, yakni kata kerja operasional yang terukurdan/atau dapat diamati untuk indikator, dan lebih bersifat umum-konseptual untuktujuan pembelajaran.
2. Penentuan Jenis-Jenis Kecerdasan.
Setelah menjabarkan gambaran dari pemilihan suatu konsep sains danperumusan tujuan pembelajarannya, untuk berikutnya akan dijabarkan gambaran daripenentuan jenis-jenis kecerdasan siswa yang diterapkan dalam pembelajaran suatukonsep sains, dalam konteks penyusunan rancangan strategi pembelajaran sains
140 Lihat Lampiran 5, h.123 dan lampiran 6, h.126141 Lihat Lampiran 9, h.141142 Lihat Lampiran 5, h.124143 Lihat Lampiran 6, h.127
66
berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU Parung Bogor. Inilah yang menjadi ciri khasdari strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk, strategi pembelajaransains yang berorientasi pada pengembangan dan pendayagunaan kecerdasan majemukpeserta didik, tidak seperti strategi pembelajaran sains konvensional yang hanyaberorientasi pada konsep sains dalam penyusunannya. Dengan kata lain, di sini akandijabarkan gambaran dari penentuan jenis-jenis kecerdasan siswa yang dapatdikembangkan dan didayagunakan dalam pembelajaran suatu konsep sains.
Pada pembahasan sebelumnya pernah disinggung oleh Murni bahwa,penerepan teori KM di SD SoU lebih berpretensi pada pengembangan danpendayagunaan seluruh jenis kecerdasan siswa. Tidak memisahkannya berdasarkanjenis-jenis kecerdasan tertentu yang dianggap lebih menonjol, dengan asumsi bahwasetiap siswa memiliki potensi kedelapan kecerdasan yang harus terlayani.
Tetapi, Darwin menegaskan bahwa hal tersebut bukan berarti semua (delapan)kecerdasan harus diterapkan dalam pembelajaran suatu materi pelajaran tertentu ataubahkan suatu tema dalam satu waktu/pertemuan. Lebih lanjut Darwin menjelaskanbahwa, dalam penentuan jenis kecerdasan yang dikembangkan dan didayagunakandalam pembelajaran suatu konsep sains, guru harus mengacu pada konsep sainstersebut dan tujuan pengajarannya.144 Dengan kata lain, penguasaan terhadap konsepsains yang diajarkan, dan pemahaman atas tujuan yang ingin dicapai daripembelajaran konsep sains tersebut, merupakan modal dasar bagi guru untuk dapatmenentukan kecerdasan yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran suatukonsep sains.
Idem ditto para guru di SD SoU, mereka sependapat dengan apa yang
diungkapkan Darwin di atas.145 Namun pada tataran praktisnya, secara garis besar adatiga pertimbangan yang diperhatikan guru dalam menentukan jenis kecerdasan yangdikembangkan dan didayagunakan dalam pembelajaran suatu konsep sains, yakni:
Pertama, bagaimana komponen dari masing-masing kecerdasan dapatdigunakan atau diterapkan dalam pembelajaran suatu konsep sains. Hal ini sepertiyang dicontohkan oleh Rini, bahwa dalam penentuan jenis kecerdasan musikal, harusdifikirkan bagaimana dapat menyertakan musik, yang merupakan komponen darikecerdasan musikal, dalam pembelajaran suatu konsep sains. Seperti dalampembelajaran dengan tema Manusia dan konsep sains yang diajarkan adalah mengenaiAnggota tubuh manusia, Rini menentukan jenis kecerdasan musikal dan kinestetikmengingat konsep tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lagu semisal lagu”Kepala-lutut-pundak-kaki” dengan diiringi gerakan memegang masing-masing
bagian yang disebutkan dalam nyanyian.146
144 Ibid.145 Lihat Lampiran 6, h.128146 Ibid.
67
Dengan kata lain, penentuan jenis-jenis kecerdasan dengan pendekatan inilebih berorientasi pada aspek kecerdasan siswa, bukan pada konsep sains yangdiajarkan. Kefleksibelitasan dari suatu konsep sains dan penyampaiannya, merupakankunci utama agar dapat mengapresiasikan jenis kecerdasan siswa sebanyak mungkin.Oleh karenanya, pendekatan ini menuntut kekreatifitasan ekstra dari para guru dalampelaksanaannya.
Kedua, mempertimbangkan apakah konsep sains yang diajarkan dapatdisampaikan melalui atau dengan pendekatan dari komponen tiap-tiap kecerdasan.Seperti yang dicontohkan oleh Tia dan Ahsin, bahwa dalam memilih kecerdasan jeniskinestetik dan musik, apakah konsep sains yang diajarkan dapat disampaikan denganpendekatan gerakan-gerakan atau nyanyian tertentu, dan komponen-komponenkecerdasan kinestetik dan musik lainnya. Misalnya, dalam pembelajaran dengan temajagad raya dengan konsep sains yang diajarkan adalah tata surya, Ahsin memilih jeniskecerdasan musikal dan kinestetik mengingat konsep tersebut dapat disampaikandengan lebih menarik dalam format bermain peran sambil bernyanyi, dimana setiapanak mengambil peran sebagai planet-planet, sedangkan Ahsin sendiri sebagaimatahari. Masing-masing peran diperkuat oleh poster gambar planet yang sesuai dandikenakan di badan. Sambil bernyanyi, tiap-tiap anak diminta untuk berevolusi danberotasi sesuai dengan kala revolusi dan waktu rotasi dari masing masing planet yangdiperankan, dengan waktu yang telah disederhanakan dalam satuan menit oleh
masing-masing anak.147
Singkatnya, kebalikan dengan pertimbangan yang pertama di atas,pertimbangan yang kedua lebih berorientasi pada content dari konsep sains yangdiajarkan. Bargaining position berada di tangan konsep sains yang diajarkan,komponen dari tiap-tiap kecerdasan harus lebih fleksibel menyesuaikan diri agar dapatditerapkan dalam pembelajaran konsep sains tersebut.
Ketiga, apakah ada unsur pendukung dari konsep sains yang diajarkan, yangmempresentasikan pengembangan atau pendayagunaan tiap-tiap kecerdasan. Puji danHeni mencontohkan, bahwa dalam penentuan jenis kecerdasan yang akandikembangkan dan didayagunakan dalam pembelajaran suatu konsep sains, harusmempertimbangkan unsur-unsur pendukung yang ada dari konsep tersebut seperti;lagu, puisi, prosa, dongeng, games dengan gerak badan, gambar, dan makhluk hidupyang berkaitan dengan konsep sains yang akan diajarkan. Seperti, yang dicontohkanHeni dalam pembelajaran dengan tema makhluk hidup dengan konsep sains yangdiajarkan adalah organ dalam manusia, jenis kecerdasan visual-spasial dipilih olehHeni mengingat konsep tersebut paling mungkin diajarkan dengan bantuan poster dan
alat-alat peraga tiga dimensi dari organ-organ dalam tubuh manusia.148
147 Ibid.148 Ibid.
68
Jadi, jika pada kedua pendekatan sebelumnya cenderung terlihat bertolakbelakang dalam hal orientasinya, maka untuk pendekatan yang ketiga ini cenderungmengambil posisi tengah dengan berorientasi pada unsur pendukung lain di luarkonsep sains yang diajarkan dan komponen kecerdasan yang akan diterapkan dalampembelajaran yang dapat mengharmoniskan keduanya. Dengan kata lain, kemampuanguru untuk mencari dan atau menciptakan sendiri lagu, cerita, games dengan gerakbadan, makhluk hidup, pengalaman personal dan interpersonal, gambar, dan unsurpendukung lainnya yang berkaitan dengan konsep sains yang diajarkan, dan yangdapat mengapresiasi pengembangan dan pendayagunaan tiap-tiap jenis kecerdasandalam pembelajaran konsep sains tersebut, merupakan kunci utama pendekatan ini.
3. Pemilihan Metode Pembelajaran.
Metode pembelajaran merupakan salah satu unsur penting dalam prosespembelajaran yang sering menjadi sorotan dalam menilai keefektivitasan dari kegiatanpembelajaran yang dilakukan. Karena, metode pembelajaran adalah cara yangdigunakan dalam membelajarkan siswa secara prosedural. Dalam model pembelajaranberbasis kecerdasan majemuk tidak dikenal adanya metode tertentu. Dalam artian,model pembelajaran ini tetap menggunakan metode-metode yang ada atau telahdikenal dan sering digunakan oleh para guru pada umumnya.
Meskipun demikian, perbedaan yang prinsipil dari model pembelajaranberbasis kecerdasan majemuk adalah terletak pada pemilihan metode pembelajarannyayang berdasar pada teori KM, teori yang menghargai kemajemukan kecerdasan siswa,dan dalam penerapannya dituntut adanya sebuah variasi sehingga kemajemukankecerdasan yang dimiliki setiap siswa dapat terlayani.
Darwin menjelaskan bahwa dalam memilih metode yang diterapkan padapembelajaran suatu konsep sains, harus sesuai dengan karakteristik konsep tersebut,efektif untuk mencapai tujuan pembelajarannya, dan variatif dalam penerapannya.149
Pada tataran praktisnya, para guru juga mengakui hal yang sama dengan Darwin.
Teknis dari pemilihannya, yang dilakukan oleh guru di SD SoU, secara garisbesar diawali dengan menginventarisir metode-metode pembelajaran yang ada,kemudian memahami karakter, ciri khas, kelebihan, kekurang, dan gambaran teknisdan prosedural metode yang dipilih. Selanjutnya, mencocokkan metode dengankonsep sains yang diajarkan, tujuan pengajarannya, dan jenis-jenis kecerdasan yangdikembangkan atau diterapkan dalam pembelajaran konsep sains tersebut. Selain itu,mereka juga mengakui bahwa dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran,
mereka cenderung menerapkan lebih dari satu metode.150
Dengan kata lain, metode yang dipilih adalah metode pembelajaran yangrepresentatif terhadap jenis-jenis kecerdasan siswa yang dapat diterapkan dalam
149 Lihat Lampiran 5, h.124150 Lihat Lampiran 6, h.129
69
pembelajaran suatu konsep sains, dan efektif untuk mencapai tujuan dari pembelajarankonsep tersebut. Sebagai contoh, apa yang telah dilakukan Ahsin dengan kelasnyadalam pembelajaran dengan tema jagad raya dan konsep sains yang diajarkan adalahtata surya seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, metode pembelajaran yangdigunakan adalah story telling dan role playing. Dua metode pembelajaran yangsangat langka pada strategi pembelajaran sains konvensional, mengingat strategipembelajaran sains konvensional hanya berorientasi pada konsep dan ketuntasanpenyampaiannya dalam menentukan metode pembelajaran.
4. Penentuan Spesifikasi Kegiatan Belajar Siswa.
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa metode pembelajaranmerupakan cara yang digunakan dalam menyajikan suatu pelajaran secara proseduralguna membelajarkan siswa. Tetapi, aspek operasional dalam pelaksanaan suatumetode pembelajaran kadang berbeda, meskipun menerapkan metode yang sama.
Karena sebelumnya telah dijabarkan mengenai gambaran dari pemilihanmetode pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran suatu konsep sainsdi SD SoU, maka untuk berikutnya akan dijabarkan mengenai gambaran daripenentuan spesifikasi kegiatan belajar siswa dalam pembelajaran suatu konsep sains.
Secara teknis, penentuan kegiatan belajar siswa dalam pembelajaran sains diSD SoU didasarkan pada tujuan pembelajaran operasional (indikator) daripembelajaran konsep sains yang diajarkan. Hal ini seperti yang dilakukan Tia danGuntur, dalam menentukan spesifikasi kegiatan yang dilakukan siswa selama prosespembelajaran sains, mereka mengembangkannya dari indikator pembelajaran sains.
Semisal, indikator dari pembelajaran konsep sains yang diajarkan adalah:siswa dapat menyebutkan bagian-bagian tumbuhan, maka jenis kegiatan yangdilakukan siswa selama pembelajaran adalah:
a. Siswa mendengarkan pengantar dari guru
b. Siswa menuju kebun sekolah
c. Siswa menyebutkan bagian-bagian tumbuhan yang mereka temui
d. Siswa mengambil sample dari masing-masing bagian tumbuhan yang
mereka sebutkan
e. Siswa membuat poster dari bagian-bagian tumbuhan yang telah mereka
kumpulkan dengan judul “Parts of Plant”, dalam bentuk table yang terdiri
dari kolom; No, Name of plant part, function/s.151
151 Ibid.
70
Berbeda dengan Tia dan Guntur, Puji dan Ahsin mendasarkan penentuanspesifikasi kegiatan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran sains padaunsur pendukung dari konsep sains yang diajarkan. Misalnya, unsur pendukung darikonsep pembelajaran sains yang diajarkan adalah lagu tertentu yang liriknya telahdigubah sesuai dengan konsep sains tersebut, maka jenis kegitan siswanya adalah:siswa menyanyikan lagu tersebut secara bersama-sama pada saat pembelajaran.
Seperti yang dicontohkan oleh Ahsin dalam pembelajaran dengan tema jagadraya dengan konsep sains yang diajarkan adalah tata surya yang telah dijabarkan padapembahasan sebelumnya, pada pengantarnya Ahsin memperkenalkan nama-namaplanet dengan nyanyian, yakni lagu nama-nama hari yang telah dirubah liriknya
dengan nama-nama planet, dan para siswa menyanyikannya bersama-sama.152
Lain halnya dengan yang dilakukan Rini dan Heni, dalam menentukanspesifikasi kegiatan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran konsep sainsyang diajarakan, mereka mendasarkannya pada jenis-jenis kecerdasan yangdikembangkan dan didayagunakan dalam pembelajaran konsep sains tersebut.Misalnya, dalam pembelajaran tentang struktur bumi, salah satu jenis kecerdasan yangditerapkan adalah kecerdasan visual-spasial, maka kegiatan yang dilakukan siswadalam pembelajaran adalah menggambar struktur lapisan bumi tiga dimensi dengan
cat air dan masing-masing lapisan dibedakan berdasarkan warna.153
Sedangkan menurut Darwin, penentuan spesifikasi kegiatan belajar yangdilakukan siswa dalam pembelajaran suatu konsep sains, didasarkan pada jenis-jeniskecerdasan yang diterapkan, dan juga merupakan implementasi dari metode
pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran konsep sains tersebut.154
Dengan kata lain, penentuan spesifikasi kegitan belajar siswa dalampembelajaran pada strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk yangditerapkan di SD SoU tidak berpretensi pada pemasungan siswa pada aktivitas-aktivitas tertentu, tetapi lebih merupakan pedoman bagi guru tentang garis besarkegiatan yang dilakukan oleh para siswa dan lebih berorientasi ke siswa.
5. Pemilihan Media Pembelajaran.
Sesederhana apapun cara yang digunakan dalam menyampaikan suatuinformasi, tetap membutuhkan media untuk menyampaikannya supaya informasi yangingin disampaikan lebih mudah diterima, provokatif, motivatif, menarik, dan dapatmenggambarkan dengan utuh informasi yang ingin disampaikan. Dalam konteksproses belajar-mengajar, dikenal istilah media pembelajaran.
Sebelumnya, telah dijabarkan gambaran dari pemilihan suatu informasi(konsep sains) yang disampaikan (diajarkan), dan cara yang digunakan dalam proses
152 Ibid.153 Ibid.154 Lihat Lampiran 5, h.124
71
penyampaiannya, baik secara prosedural (metode pembelajaran), maupun operasional(kegiatan belajar). Oleh karena itu, berikut ini akan dijabarkan gambaran daripemilihan media pembelajaran yang dibutuhkan dalam pembalajaran konsep sainsyang akan diajarkan, dalam konteks langkah penyusunan strategi pembelajaran sainsberbasis kecerdasn majemuk di SD SoU Parung Bogor.
Pada pembahasan di awal bab juga telah disinggung bahwa alam danlingkungan sekitar, dengan segenap komponen dan fenomena yang ada/terjadi didalamnya, merupakan sumber belajar utama di SoU. Selain itu, porsi aktivifitaspembelajaran yang di terapkan di sekolah ini 70%-nya dilakukan di luar kelas (outdoor activity), dan pada kegiatan pembelajarannya para siswa di arahkan untukberinteraksi langsung dengan alam sekitar setiap harinya, dan dibimbing untuk dapatbelajar secara mandiri dan menjadi akrab dengan lingkungannya.
Atas dasar tersebut, Darwin berpendapat bahwa media pembelajaran yangumum digunakan adalah sesuatu yang berasal/terdapat di alam, yang dapat
dimanfaatkan untuk menyampaikan konsep sains yang diajarkan.155
Hal yang disampaikan Darwin di atas tidak serta-merta menunjukkan bahwamedia pembelajaran yang biasa digunakan, seperti spidol, LCD proyektor, dll, tidakdipakai di SoU. Karena, para guru sependapat bahwa dalam pemilihan mediapembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran konsep sains yang akandiajarkan, tidak hanya mengacu pada apa yang tersedia di alam/lingkungan sekolah,yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran, tetapi juga pada inventaris mediapembelajaran, yang biasa digunakan, yang dimiliki sekolah. Jika media yangdiperlukan tidak terdapat di keduanya, maka mereka berinisiatif untuk menyediakan
sendiri dan/atau memerintahkan siswa untuk membawanya.156
Namun pada pelaksanaanya, konsep sains yang diajarkan, metode yangdigunakan dalam pembelajaran, dan spesifikasi kegitan yang dilakukan siswa didalamnya, merupakan tiga hal yang menjadi rujukan dalam pemilihan media yangdigunakan. Seperti yang diungkapkan oleh Ahsin dan Tia, bahwa media pembelajaranyang dipilih adalah media pembelajaran yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatanbelajar siswa.157
Semisal apa yang dicontohkan Ahsin dalam pembelajaran dengan tema jagadraya dan konsep sains yang diajarkan adalah tata surya yang telah dijabarkan padapembahasan sebelumnya. Di sini Ahsin menggunakan media pembelajaran berupaposter dari masing-masing planet yang ada pada tata surya. Penggunaan di siniditujukan untuk memperkuat peran siswa sebagai planet mengingat kegiatan yangmereka lakukan adalah role playing tentang tata surya. Hal ini sangat jauh berbeda
155 Ibid.156 Lihat Lampiran 6, h.129157 Ibid.
72
dengan apa yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah konvensional, di mana mediaposter biasanya hanya digunakan untuk membantu guru dalam mengajarkan suatukonsep sains, bukan sebaliknya, membantu siswa dalam belajar/mempelajari sains.
Lain halnya dengan Guntur dan Puji, mereka berpendapat bahwa mediapembelajaran yang dipilih adalah media yang diperlukan dalam metode pembelajaranyang digunakan.158 Seperti yang yang dicontohkan oleh Guntur dalam pembelajarankonsep sains tentang bagian tumbuhan yang telah disinggung pada pembahsansebelumnya. Pada pembelajaran yang diterapkan oleh Guntur untuk konsep tersebut,dapat dilihat bahwa metode yang digunakan adalah metode field trip. Oleh karena itu,media pembelajaran yang dipilih digunakan adalah media yang alamiah berupapepohonan hidup yang ada di lingkungan sekolah.
Sedangkan untuk Heni dan Rini, metode yang akan digunakan dipilihberdasarkan karakteristik konsep sains yang akan diajarakan.159 Model pemilihanmedia pembelajaran yang dilakukan oleh Heni dan Rini tersebut tidak jauh berbedadengan apa yang biasa dilakukan dalam penyusunan strategi pembelajaran sainskonvensional yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah pada umumnya.
6. Penentuan Jenis dan Prosedur Kegiatan Penilaian.
Jika me-review penjabaran-penjabaran sebelumnya, mulai dari gambarantentang pemilihan konsep sains yang diajarkan sampai pemilihan media pembelajaran,dapat dilihat satu kesamaan bahwa semuanya sepenuhnya dilakukan oleh guru. Apayang dipilih atau ditentukan untuk diajarkan, diterapkan, digunakan, diberlakukan, dandipakai di SD SoU, sepenuhnya merupakan hak prerogative masing-masing guru.
Hal yang demikian tidak berlaku dalam penentuan jenis-jenis penilaian yangakan digunakan dalam pembelajaran di SD SoU. Karena, di sekolah ini, untuk jenis-jenis penilaian yang diberlakukan telah ditentukan oleh pihak sekolah. Secara garisbesar, jenis-jenis penilaian yang telah ditentukan tersebut dapat dikelompokkanmenjadi tes dan bukan tes (non tes).
Untuk kelompok penilaian tes, jenis-jenis penilaian yang ditepakan di SD SoUantara lain:
a. Ulangan harian. Dilaksanakan setelah menyelesaikan pembahasan satu
tema pembelajaran tertentu, untuk mengetahui ketercapaian KD dan
indikator dari tiap-tiap mata pelajaran yang terdapat dalam tema tersebut.
158 Ibid.
159 Ibid.
73
Bentuk dan prosedur pelaksanannya diserahkan ke masing-masing guru
kelas.
b. Ujian akhir semester (UAS). Dari namanya dapat diketahui bahwa UAS
dilaksanakan setiap akhir semester. Soal UAS dibuat bersama-sama dengan
guru sekolah lain dalam wadah kelompok kerja guru. Disajikan dalam
bentuk soal pilihan ganda, isian, dan uraian.
c. Ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Merupakan ujian akhir
sekolah untuk siswa kelas enam. Soal langsung dari diknas, dan prosesnya
dilaksanakan di sekolah lain, karena jumlah siswa kelas 6 SD SoU kurang
dari dua puluh.
d. Penilaian berbasis proyek. Merupakan penilaian terhadap hasil kerja siswa
mengenai tugas atau pekerjaan tertentu yang berkaitan dengan tema. Sama
dengan ulangan harian, bentuk dan format pelaksanaan penilaian
sepenuhnya inisiatif dari masing-masing guru, dengan memperhatikan
tingkatan/kelas yang diajar.
e. Tugas pemasaran. Yakni tugas untuk memasarkan hasil dari unjuk kerja
seluruh siswa yang diberlakukan khusus untuk siswa kelas 4, 5, dan 6.
Bentuk dan prosedur pelaksanaan diserahkan kepada masing-masing guru
kelas.160
Sedangkan untuk kelompok penilaian non-tes, ada dua jenis penilaian yangditerapkan di SD SoU yaitu, penilaian portofolio dan "sharing". Penilaian portofoliomerupakan penilaian kualitatif yang dilakukan guru terhadap perkembangan belajartiap-tiap siswa per tema pembelajaran, dilaporkan kepada orang tua siswa setiap duabulan sekali untuk kemudian diserahkan kembali ke pihak sekolah setelah diberikomentar. Sedangkan yang dimaksud dengan "sharing" di sini adalah investigasi yangdilakukan guru untuk mengeksplorasi (mengetahui) kemampuan penerimaan atau dayatangkap siswa terhadap pelajaran yang telah disampaikan, dan dilakukan setelah setiap
sesi pembelajaran.161
Dari uraian dua paragraf di atas dapat dilihat bahwa untuk penilaian tertentu,bentuk dan prosedur penilaiannya diserahkan kepada masing-masing guru. Penilaian-penilaian tersebut antara lain; ulangan harian, portofolio, penilaian berbasis proyek,"sharing", dan tugas pemasaran.
Untuk portofolio, semua guru di SD SoU menerapkan cara yang sama, yaknimengobservasi tiap-tiap siswa dengan mengacu pada format penilaian portofolio
160 Lihat Lampiran 5, h.124161 Ibid.
74
standar sekolah. Learning outcomes (hasil belajar), degree of help needed (tingkatkebutuhan bantuan dalam belajar), attitude (sikap), dan student comment (pernyataan)tiap-tiap siswa selama/setelah proses pembelajaran tema tertentu, merupakan fokus
observasi guru dalam penilaian portofolio yang diberlakukan di SD SoU.162
Sama hal nya dengan portofolio, dalam melakukan "sharing" para guru di SDSoU menerapkan cara yang sama. Di sini guru mengeksplorasi tingkat pemahamanatau daya tangkap siswa terhadap pelajaran yang telah diberikan dengan cara tanyajawab atau berdiskusi dengan para siswa tentang pelajaran yang baru saja merekapelajari. Hal-hal apa saja, yang berhasil ditangkap (dipahami) dan/atau belumdimengerti masing-masing siswa dari pelajaran yang telah disampaikan? Kenapa siswabelum bisa memahami bagian tersebut? Apa yang menjadi kendalanya? Atau dimanaletak kesulitannya?, merupakan pertanyaan dasar yang menjadi acuan para guru di SD
SoU dalam melakukan "sharing".163
Dari penjabaran pada dua paragraf sebelumnya dapat dilihat bahwa formatpenilaian keduanya, selain bersifat kualitatif, juga berpotensi terhadap penilaian yangbersifat subjektif. Sebuah model penilaian yang amat riskan diterapkan mengingatabsurdnya standar nilai masing-masing individu, dan akan berubah menjadi bencanajika penilaian model ini berorientasi sepenuhnya untuk menghakimi siswa. Tetapi halyang kedua tidak terjadi di SD SoU, karena penilaian dalam bentuk portofolio lebihberpretensi sebagai progres report dari proses belajar siswa selama di sekolah yanglebih berfungsi sebagai informasi dan bahan masukan bagi orang tua. Sedangkan jenispenilaian sharing lebih lebih berorientasi pada guru. Tepatnya, pada tingkatkeefektifitasan sebuah pembelajaran yang mereka lakukan.
Dalam melakukan ulangan harian, para guru di SD SoU mengacu pada KD,indikator dari konsep tiap-tiap mata pelajaran yang terdapat dalam satu tema, danjenis-jenis kecerdasan yang diterapkan dalam pembelajaran konsep dari tiap-tiap matapelajaran yang terdapat dalam tema tersebut. Atas dasar acuan tersebut, ulangan hariandi SD SoU tidak hanya berorientasi pada ulangan dalam bentuk tertulis, tetapi juga
bentuk unjuk kerja lain yang sesuai dengan indikator dan jenis kecerdasan.164
Sedangkan untuk penilaian berbasis proyek, biasanya para guru di SD SoUmenerapkannya ke siswa secara kelompok atau individu. Cara yang umumnyaditempuh guru dalam penilaian jenis ini adalah siswa atau sekelompok siswa dimintauntuk melakukan pekerjaan tertentu yang menghasilkan produk berupa barang. Followup dari kegiatan penilaian berbasis proyek adalah kegiatan tugas pemasaran. Padakegiatan tugas pemasaran, para siswa baik secara individu maupun kelompok, diminta
162 Lihat Lampiran 6, h. 129163 Ibid.164 Ibid.
75
untuk memasarkan hasil kerja proyek mereka dengan dibimbing oleh guru kelas
masing-masing.165
Kedua jenis penilaian pada dua paragraf di atas tidak jauh berbeda dengan apayang diterapkan di sekolah-sekolah kebanyakan. Ulangan hariannya masih didominasioleh format ulangan tertulis (pen and paper). Tetapi, khusus untuk penilaian berbasisproyek, di SD SoU lebih berorientasi pada aspek bisnis. Hal ini dimungkingkanmengingat kekhasan yang dibandrol oleh sekolah ini adalah green business school.
7. Perumusan Urutan Pelaksanaan Pembelajaran.
Setelah konsep sains yang diajarkan, tujuan pengajarannya, dan jenis-jeniskecerdasan yang diterapkan, metode-metode pembelajaran yang digunakan, kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan siswa, media pembelajaran yang digunakan danpenilaian yang diberlakukan dalam pembelajaran suatu konsep sains dipilih atauditentukan, maka langkah terakhir dalam penyusunan rancangan strategi pembelajaransains berbasis kecerdasan majemuk adalah merumuskan urutan pelaksanaan kegiatanpembalajaran suatu konsep sains.
Pada prinsipnya, menurut Darwin hal yang harus diperhatikan oleh para gurudalam merumuskan urutan kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk satu hariadalah durasi dari tiap-tiap kegiatan dari awal hingga penutup, dan waktu baku untukpelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu seperti sholat, istirahat, dll.166 Dari urutanpelaksanaan kegiatan pembelajaran yang terdapat dalam contoh action planning SDSoU, dapat dilihat bahwa urutan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang di terapkandi SD SoU, secara garis besar, merupakan gambaran interaksi guru dengan para siswa.Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa urutan kegiatan pembelajaran yang
diterapkan di SD SoU disusun berdasarkan durasi bukan jam.167
Selain memperhatikan durasi pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam satuhari, para guru juga memperhatikan alokasi waktu yang ditetapkan untukmembelajarkan suatu tema. Bukan hanya itu, dalam teknis penyusunannya, merekajuga memperhatikan karakteristik dari materi yang akan diajarkan, sehingga urutankegiatan pembelajaran memperlihatkan pola kebertahapan yang ideal, yakni darikonsep yang mudah ke yang sulit, yang sederhana ke yang rumit, dan yang kongkritke yang abstrak. Selain kebertahapan, sustainablity dari kegiatan yang dilakukan jugaharus diperhatikan, sehingga urutan kegiatan pembelajaran yang dilakukan
menggambarkan proses kerja ilmiah.168
Jika dibandingkan antara format urutan pelaksanaan kegiatan pembelajaran diSD SoU dengan apa yang diberlakukan di sekolah-sekolah pada umumnya, terlihat
165 Ibid.166 Lihat Lampiran 5, h.124 , dan Lihat juga lampiran 3, h.94167 Lihat Lampiran 9, h.141168 Lihat Lampiran 6, h.129
76
sangat jelas perbedaannya. Hal itu dimungkinkan mengingat di SD SoU menerapkanmodel pembelajaran tematis, sehingga akan sangat sukar bila penerapannya harusmengacu pada model tatap muka (1 x 35 menit) yang biasa diterapkan di sekolah dasarkebanyakan.
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya
dapat ditarik kesimpulan bahwa, dalam penyusunan strategi pembelajaran sains
berbasis kecerdasan majemuk di SD SoU:
1. Konsep sains yang diajarkan, dipadu-padankan dengan materi pelajaran lain
dan dikemas dalam model pembelajaran tematis.
2. Jenis kecerdasan siswa yang dikembangkan atau didayagunakan dalam
pembelajaran, lebih berorientasi pada semua (delapan) jenis kecerdasan, tidak
pada jenis kecerdasan tertentu yang dianggap lebih menonjol.
3. Metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran lebih bersifat multi
metode, sebagai konsekuensi logis dari pengembangan atau pendayagunaan
kedelapan jenis kecerdasan siswa dalam pembelajaran.
4. Jenis kegiatan belajar siswa dalam pembelajaran, merupakan operasionalisasi
sistematis dari metode pembelajaran yang digunakan.
5. Media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran lebih didominasi
oleh media yang terdapat di alam dan berorientasi untuk membantu siswa
dalam belajar, tidak hanya untuk membantu guru dalam mengajar.
6. Jenis dan prosedur penilaian dalam pembelajaran didominasi oleh penilaian
yang bersifat subjektif-kualitatif.
7. Urutan pelaksanaan pembelajaran disusun berdasarkan durasi per-kegiatan,
mengingat model penyampaian materi yang bersifat tematis.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat peneliti ajukan berdasarkan penelitian ini
antara lain:
1. Perlu adanya pengembangan lebih lanjut dari setiap aspek pemilihan/penentuan
dalam langkah-langkah penyusunan strategi pembelajaran sains berbasis
kecerdasan majemuk yang diterapkan di SD SoU.
78
2. Perlu diadakan penelitian deskriptif lebih lanjut mengenai pelaksanaan dari
strategi pembelajaran sains berbasis kecerdasan majemuk di lapangan, untuk
kemudian diuji secara eksperimentatif mengenai hubungan dan/atau
pengaruhnya terhadap hasil dan/atau motivasi belajar siswa.
3. Bagi sekolah dan/atau para guru sekolah dasar, yang tidak/belum pernah
menerapkan langkah-langkah penyusunan strategi pembelajaran sains berbasis
kecerdasan majemuk, maka langkah-langkah penyusunan strategi pembelajaran
sains berbasis kecerdasan majemuk yang diterapkan di SD SoU dapat dijadikan
acuan, untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan karakteristik sekolah
dan/atau kreatifitas masing-masing guru.