42
1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Manusia mendambakan hidup damai dan sejahtera, tetapi perjalanan sejarah peradaban manusia tidaklah semulus harapan. Pertikaian dan konflik terus menerus terjadi hingga konflik terbesar umat manusia berkulminasi pada Perang Dunia (PD) II tahun 1941-1945. Perang terbesar dalam sejarah peradaban manusia ini telah mematri sejarah konflik paling mematikan yang berdampak pada penderitaan umat manusia dengan kerusakan yang hebat pada harta benda, korban jiwa serta rusaknya sendi-sendi keutuhan hidup manusia. Refleksi atas kengerian dampak kerusakan akibat PD II melahirkan gagasan tentang perlunya mencegah terulangnya tragedi hidup manusia. Bangsa-bangsa berupaya bekerjasama menjaga terciptanya perdamaian dunia sekaligus membantu menyelesaikan persoalan-persoalan konflik yang memicu terjadinya perang. Kesadaran ini menumbuhkan keinginan masyarakat dunia untuk membangun kembali kerjasama internasional dan upaya-upaya penyelesaian konflik serta permasalahan-permasalahan internasional lainnya. 1 1 United Nation, Secretary of the Publications Board. Charter of The United Nations, United Nations Official Website: <http://www.un.org/en/documents/sharter/capter 1.shtml >. (diakses 29 September 2014).

BAB I - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84690/potongan/S2-2015... · Perang Dunia (PD) II tahun 1941-1945. Perang terbesar dalam sejarah ... (Blok komunis

  • Upload
    ngophuc

  • View
    239

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Manusia mendambakan hidup damai dan sejahtera, tetapi perjalanan

sejarah peradaban manusia tidaklah semulus harapan. Pertikaian dan konflik

terus menerus terjadi hingga konflik terbesar umat manusia berkulminasi pada

Perang Dunia (PD) II tahun 1941-1945. Perang terbesar dalam sejarah

peradaban manusia ini telah mematri sejarah konflik paling mematikan yang

berdampak pada penderitaan umat manusia dengan kerusakan yang hebat pada

harta benda, korban jiwa serta rusaknya sendi-sendi keutuhan hidup manusia.

Refleksi atas kengerian dampak kerusakan akibat PD II melahirkan gagasan

tentang perlunya mencegah terulangnya tragedi hidup manusia. Bangsa-bangsa

berupaya bekerjasama menjaga terciptanya perdamaian dunia sekaligus

membantu menyelesaikan persoalan-persoalan konflik yang memicu terjadinya

perang. Kesadaran ini menumbuhkan keinginan masyarakat dunia untuk

membangun kembali kerjasama internasional dan upaya-upaya penyelesaian

konflik serta permasalahan-permasalahan internasional lainnya.1

1 United Nation, Secretary of the Publications Board. Charter of The United Nations, United

Nations Official Website: <http://www.un.org/en/documents/sharter/capter 1.shtml>. (diakses 29 September 2014).

2

Kesepakatan bersama masyarakat dunia mengakui perang terbuka

harus diakhiri. Permusuhan antara pihak yang bertikai mesti diselesaikan di

meja perundingan. Kalaupun masih terjadi peperangan, Perserikatan Bangsa

Bangsa (PBB) mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan

perdamaian dengan melibatkan anggota PBB, dimana Indonesia termasuk

didalamnya, agar memberi ruang pada upaya bina damai selanjutnya.

Dalam melakukan misi perdamaian, PBB melibatkan sejumlah

stakeholders atau pemangku kepentingan. Termasuk di dalamnya tentara yang

direkrut dari tiap-tiap negara anggota PBB yang menyediakan diri sebagai

kontributor.

1.1.1. Peran Indonesia dan Perdamaian Dunia

Sejalan dengan misi perdamain dunia dari PBB, bangsa Indonesia

yang telah merumuskan tujuan nasional NKRI di dalam pembukaan UUD 1945

alinea keempat menyatakan komitmennya untuk ikut serta melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial. Sementara landasan visional bangsa Indonesia yang dilandasi

Pancasila dan UUD 1945 itu mau mengajak seluruh komponen bangsa untuk

aktif terlibat dalam memperjuangkan kepentingan nasional guna mencapai

tujuan nasional agar tercipta masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan

makmur dalam alam yang demokratis. Hal inilah yang melatarbelakangi

kebijakan politik Indonesia melaksanakan kepentingan nasionalnya dengan

3

mengambil haluan politik luar negeri Bebas-Aktif.2 Berdasarkan haluan politik

tersebut pemerintah mulai mengirimkan pasukan pemeliharaan perdamaian

Indonesia Garuda I / UNEF (United Nations Emergency Force) ke Mesir awal

tahun 1957 sampai dengan pengiriman pasukan Garuda XXIII-E / United

Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL) ke Lebanon akhir tahun 2010

selalu ada dalam koridor dan kerangka memperjuangkan kepentingan visi

nasional RI itu serta memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya.3 Peran

aktif RI dalam pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian dunia telah

menimbulkan kepercayaan dunia internasional, khususnya PBB, sehingga

kontribusi Indonesia untuk berpartisipasi dan mengirim kontingennya selalu

diharapkan dalam misi perdamaian PBB.

2 Pandangan politik bebas aktif mulai dikemukakan pertama kali oleh Wapres Mohammad

Hatta tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta berjudul “Mendayung antara Dua Karang”. Pidato ini memberi landasan pijak serta orientasi pergaulan bangsa Indonesia di kancah internasional. Tidak berpihak di salah satu kekuatan politik dunia (Blok komunis Uni Soviet dan Blok kapitalis AS yang menimbulkan perang dingin), melainkan secara aktif memberikan kontribusi dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban dunia berdasarkan keadilan sosial dan perdamaian abadi dengan pelibatan berbagai operasi pemeliharaan perdamaian yang di gelar PBB dalam rangka penyelesian konflik antar negara (interstate conflict) mampun konflik dalam negara (intrastate conflict). Undang Undang RI Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri pada pasal 3 disebutkan bahwa politik luar negeri menganut prinsip Babas Aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.

3 Penggelaran OMSP termaktub Dalam UU no. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional

Indonesia. Selanjutnya dalam Buku Petunjuk Induk TNI (Bujukin) tentang OMSP, Bab III, artikel 19. f., sebagai berikut: Operasi Melaksanakan Tugas Perdamaian Dunia Sesuai Dengan Kebijakan Politik Luar Negeri, adalah tugas yang dilaksanakan TNI atas nama Indonesia untuk kepentingan perdamaian regional atau internasional, di bawah bendera PBB atau organisasi internasional lain. Dan: Sebagai Pasukan Penjaga Perdamaian dan Misi Kemanusiaan, sesuai dengan kebijakan politik luar negeri pemerintah berdasarkan mandat PBB atau organisasi internasional lainnya.

4

1.1.1.1. Pola Operasi Pemeliharaan Perdamaian Tradisional

Lahirnya operasi pemeliharaan perdamaian ketika terjadi konflik di

Yerusalem antara Israel yang memproklamirkan diri sebagai sebuah negara

berdaulat di tanah bangsa Palestina yang berpusat di Yerusalem. PBB

membentuk United Nations Truce Supervision Organization (UNTSO) sejak

tahun 1948 sampai dengan akhir tahun 80-an. Tugas pasukan Peace keepers

pertama kalinya itu hanya melaksanakan mandat untuk memantau gencatan

senjata antar Israel dan Palestina yang didukung oleh negara-negara Arab. Atas

pola kerja operasi demikian pelaksanaan kegiatan operasi pemerliharaan

perdamaian dikenal bersifat klasik dan tradisional.4

Sementara pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia

untuk melaksanakan mandat PBB pertama kalinya saat terjadi konflik terusan

Suez (Mesir) dan bergabung dalam pasukan darurat PBB: United Nations

Force (UNEF) dan membentuk Kontingen Garuda yang akrab dengan “call

sign” KONGA. Peran prajurit TNI dalam pengiriman pasukan pemeliharaan

perdamaian di awal kemerdekaan sampai era orde baru betul-betul hanya atas

permintaan dan pelaksana mandat PBB, lain tidak ada, hanya order untuk

menyiapkan pasukan lalu berangkat ke medan operasi yang bersifat rutin

menjaga zona penyangga agar tidak lagi terjadi pertikaian bersenjata (buffer

zone), tanpa persiapan pembekalan yang cukup, berangkat ke Gaza, Sinai,

4 Wermester, M, 2000, International Peacekeeping, The Changing Nature of UN

Peacekeeping, Boom or Bust? New York:Routledge, Hlm. 38.

5

Mesir (Timur Tengah) sebagai pasukan UNEF I dari Januari hingga September

1957.5

Pola operasi disebut tradisional karena tugas yang dilaksanakan hanya

mengawasi dan menjaga zona penyangga. Dari pola tugas seperti itu lahirlah

tugas-tugas di dalam misi perdamaian, sesuai kemauan politik pemerintah

Indonesia yang memang sudah sesuai dengan UUD 1945 sebelum

diamandemen. Itu pun hanya ada dua macam tugas, peace keeping forces dan

military observer. Pada saat itu pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian

ditengarai dipengaruhi oleh atmosfer pengaruh dan urusan politik dan PBB

masih diarahkan oleh negara tertentu. 6

Dalam hal ini Indonesia oleh Sekretaris Jenderal PBB didaftarkan

sebagai salah satu negara di antara negara-negara penyedia pasukan yang

disebut the troop-contributing countries (TCC), yang terdiri dari personel

militer dan polisi.

Penanganan operasi pemeliharaan perdamaian tradisional cenderung

menengahi pertikaian antar negara (interstate conflict) dengan isu perbatasan

dan claim terhadap wilayah negara. Pelaksanaan tugas operasi misi pasukan

pemeliharaan perdamaian lebih bertindak seperti wasit yang menjaga dan

mengawasi agar gencatan senjata dapat dipatuhi, pemulangan pasukan negara

5 Dasman Jamaluddin, 2012, Mission Accomplished Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp

David, Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976 – 1979, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hlm.11.

6 Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen (Purn) T.B. Hasanuddin.

Pengambilan data pada tanggal 8 November 2012. Pernah menjadi Komandan Sektor dalam operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia di Kuwait dan tergabung dalam Konga XI-3/UNIKOM pada tahun 1993.

6

yang bersengketa dapat berjalan dengan baik dan dijamin keamanannya,

mencegah terulangnya pertempuran dan melaksanakan kerjasama dengan

usaya-usaha kemanusiaan internasional seperti dengan Komite Palang Merah

Internasional. Pelaksanaan tugas yang diemban cukup singkat sebagaimana

penyampaian Sekjen PBB Dr. Kurt Waldheim: Make peace, nothing else.7

1.1.1.2. Pola Operasi Pemeliharaan Perdamaian Multidimensi

Terjadinya perubahan lingkungan strategis dan geopolitik dengan

munculnya konflik internal di dalam negara (interstate conflict) mengharuskan

PBB menggunakan kekuatan senjata di bawah pengaturan Piagam PBB yang

dikenal sebagai UN Chapter VII. Dengan berakhirnya perseteruan Uni Soviet

dan Amerika Serikat dalam Perang Dingin telah terjadi pergeseran pola operasi

dari Tradicional Peacekeeping menjadi Multidimentional Peacekeeping.

Penggelaran operasi pemeliharaan perdamaian dihadapkan pada tantangan-

tantangan baru, dimana kemauan politik negara-negara maju berkurang akibat

resiko yang tinggi ketika melaksanakan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian.

Sementara aturan pelibatan (Rules of Engagement/RoE) tidak lagi memadai

untuk memberikan perlindungan bagi warga sipil dan membutuhkan

peningkatan kemampuan pasukan penggetar yang mampu mengawal

pelaksanaan mandat PBB secara tegas. Peran PBB dalam pelaksanaan operasi

masih diharapkan agar terjadi upaya perdamaian yang lebih panjang dengan

menyelenggarakan perdamaian secara komprehensif melalui penegakan hukum

7 Ibid, hlm. 18.

7

sesudah konflik berlangsung, sehingga penggelaran misi perdamaian turut pula

mempersiapkan langkah-langkah menuju perdamaian abadi.

Perubahan yang kian rumit dan kompleks di atas tersebut

membutuhkan koordinasi dan respon institusi nasional yaitu para pemangku

kepentingan (state actor) untuk menghadapi tantangan tersebut. Kerjasama di

antara pemangku kepentingan yang terlibat dibutuhkan, karena selain militer

dibutuhkan polisi dan organisasi-organisasi sipil yang memiliki kaitan dengan

perlindungan terhadap warga sipil yang semakin banyak menjadi korban

konflik internal di dalam negara, pengaturan hak-hak sipil, penegakan hukum

serta pengaturan dalam penggunaan kekuatan bersenjata (peace-enforcement)

oleh pasukan PBB. Koordinasi dalam pola operasi pemeliharaan perdamaian

yang bersifat multidimensi merupakan tantangan mengingat kegagalan PBB

dalam menangani berbagai konflik di Bosnia, Kosovo dan Rwanda.8

Peran Indonesia dalam perubahan pola operasi pemeliharaan

perdamaian menjadi penting dilihat dari perjuangan untuk mewujudkan

kepentingan nasional. Permintaan PBB tidak hanya untuk hanya melaksanakan

mandat semata, pengiriman misi perdamaian Indonesia saat ini saat ini mulai

dilihat memiliki manfaat timbal balik bagi Indonesia dalam meningkatkan citra

positif sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam kancah pergaulan

internasional. Hal ini juga tampak dari semakin maraknya negara-negara

8..Coicaud, J.M., The Puture of Peacekeeping, <http:www.fpip.org/articles/the_future_of_

peacekeeping>. (diakses 21 Januari 2015)

8

berkembang terlibat mengirimkan kontingen mereka dalam pelaksanaan

operasi pemeliharaan perdamaian dunia seusai era Perang Dingin.

Kesempatan yang baik ini tentunya juga amat bermanfaat bagi TNI

yang menjadi pelaksana utama misi perdamaian dunia sekaligus menjadi

perhatian penulisan tesis ini, disamping ada pihak Kepolisian RI maupun unsur

sipil. Keberhasilan pelaksanaan misi perdamaian akan mengukuhkan identitas

TNI sebagai prajurit profesional yang handal dalam berhadapan dengan

perubahan jaman dan isu mengenai keamanan internasional yang semakin

kompleks dan bersifat multidimensional. Kesiapan prajurit TNI yang

dihadapkan pada perubahan situasi keamanan regional dan internasional

dengan keikutsertaannya terjun ke dalam misi perdamaian dunia akan sangat

membantu TNI melaksanakan agenda reformasi internal TNI secara kongkret

sesuai dengan peran TNI abad XXI yang tetap ingin mengawal proses

demokratisasi di Indonesia.9

Seiring dengan meningkatnya kepercayaan PBB terhadap peranan

Kontingen Garuda dalam operasi pemeliharaan perdamaian dunia, adanya

kepentingan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional yang membawa arah

bangsa Indonesia pada sistem demokrasi yang handal dengan prajurit yang

profesional mulai diakomodasi oleh perundang-undangan nasional yang

memasukkan operasi pemeliharaan perdamaian sebagai salah satu tugas pokok

TNI melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagai perwujudan

9 Mabes TNI, 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa, Jakarta, Cetakan Keempat, Penerbit CC Jasa Buma.

9

perubahan paradigma baru pertahanan nasional dalam sistem pemerintahan

Indonesia. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang

TNI, dimana operasi pemeliharaan perdamaian sebagai salah satu dari 14

operasi militer selain perang dalam UU No. 34 Tahun 2004 telah

menunjukkan pola baru bagi arah dan usaha bangsa Indonesia ikut ambil peran

dan tempat secara strategis dalam pergaulan internasional. Arah strategis dari

peran TNI dalam operasi pemeliharaan perdamaian yang telah diratifikasi DPR

RI mempersiapkan TNI melaksanakan diplomasi militer dalam rangka

meningkatkan kemampuan kampanye kekuatan lunak (soft power) pertahanan

RI.

Inilah kesempatan sekaligus peluang bagi TNI untuk memiliki postur

tentara yang profesional yang memiliki kemampuan teknis dan strategis yang

sangat didukung oleh koordinasi dan manajemen antar pemangku kepentingan

untuk mempercepat perubahan TNI yang diinginkan dari segi struktur dan

komposisi, modernisasi peralatan, kesiapan pasukan serta ketahanan mengatur

tingkatan aktifitas operasional guna mencapai tujuan militer yang mendukung

kebijakan luar negeri. Adanya pengakuan atas kemampuan dan kehandalan

TNI oleh masyarakat dunia yang lebih luas merupakan modal pokok bagi peran

TNI sebagai cermin kemampuan bangsa Indonesia dalam menjaga

keseimbangan serta kestabilan keamanan di kawasan. Keberhasilan operasi

pemeliharaan perdamaian bagi TNI adalah keberhasilan TNI memanfaatkan

dan menggarap soft power secara sistematis, masif dan terstruktur dengan

komponen pemangku kepentingan lainnya sekaligus menjadi parameter

10

keberhasilan dari optimalisasi koordinasi antar pemangku kepentingan yang

ada dalam penggelaran pelaksanaan misi pemeliharaan perdamaian.

Salah satu upaya yang signifikan bagi TNI adalah keseriusan

pemerintah RI untuk membentuk Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian TNI

(PMPP TNI) melalui Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep / 4 / I / 2007 dan

Nomor: Kep / 5 / I / 2007 tanggal 29 Januari 2007, di mana sebelum terbentuk

PMPP TNI, operasi pemeliharaan perdamaian TNI dilaksanakan oleh Staf

Operasi Panglima TNI (Sops Mabes TNI).

1.1.2 Koordinasi Pemangku Kepentingan

Kecepatan dan ketepatan pemerintah RI untuk menangkap peluang ini

sangat tergantung dari kemauan politik pemerintah (political will). Pemerintah

RI melihat kesempatan sekaligus peluang timbal balik dalam pelaksanaan tugas

operasi pemeliharaan perdamaian dunia dengan pola yang berbeda dari

pengiriman misi perdamaian sebelumnya. Perbedaannya adalah permintaan

PBB dengan jumlah personel yang besar, kemampuan yang disesuaikan dengan

peran multidimensi operasi yang lebih kompleks, kemampuan personel yang

diharapkan serta kecepatan pengiriman pasukan dengan standar dan aturan

pelibatan baru yang ditetapkan PBB dalam rangka penyelesaian konflik Israel –

Lebanon tahun 2006.

Penyiapan pasukan Indonesia ke Lebanon merupakan awal koordinasi

dan pengorganisasian antar pemangku kepentingan dengan pola baru, dimana

11

para pemangku kepentingan RI menyanggupi perminataan PBB dengan

ketentuan-ketentuan baru dan kriteria pasukan yang lebih tinggi sesuai standar

PBB yang baru. Dari pihak pemerintah Indonesia kemauan politik Presiden-lah

yang menentukan pelaksanaan koordinasi selanjutnya. Kecepatan Presiden

mengambil inisiatif politik ini dimungkinkan mengingat beliau pernah ikut

bergabung dalam Kontingen Garuda melaksanakan misi operasi pemeliharaan

perdamaian di Boznia Hezergovina tahun 1996.10

Fenomena menarik lainnya, adalah pelaksanaan tugas operasi

pemeliharaan perdamaian Indonesia terjadi 2 tahun setelah terbitnya UU TNI

Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur tentang OMSP (Operasi Militer Selain

Perang). Pada Pasal 7 ayat 2, point b dinyatakan Tugas pokok TNI melakukan

operasi militer selain perang dimana pada point 6 dinyatakan:

melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri.

Faktor menarik lainnya adalah lahirnya wadah baru di lingkungan TNI

dengan nama Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) pada awal tahun

2007, hanya lebih kurang 2 bulan sesudah keberangkatan pasukan Garuda

XXIII-A ke Lebanon. Secara teknis dan taktis, terbentuknya institusi baru TNI

yang langsung bernaung di bawah Panglima TNI ini merupakan tugas untuk

penyiapan pasukan yang lebih seksama sebagai pemekaran fungsi pelaksana

yang sebelumnya secara rutin dan secara dikerjakan oleh Staf Operasi (Sops)

Mabes TNI.

10 PMPP TNI, 2011, TNI dan Misi Pemeliharaan Perdamaian, Peran PMPP TNI dalam

Menyiapkan Kontingen Garuda, Jakarta, Percetakan Abad 21, hlm.197.

12

Secara strategis kehadiran PMPP menjadi pintu gerbang bagi

perwujudan perubahan paradigma baru TNI yang ingin menjadikan prajurit

TNI profesional berkelas dunia karena akan semakin mendapatkan pengakuan

internasional. Tentunya impian ini akan dapat diwujudkan ketika TNI sanggup

merespon tuntutan persoalan dan perubahan fundamental misi pemeliharaan

perdamaian dunia yang kian kompleks, bersifat multidimensional sejak tahun

1990-an. Tantangan yang mengemuka sesuai rekomendasi Pusat Misi

Pemeliharaan Perdamaian Kanada (UNA-Canada) membutuhkan koordinasi

dan kerjasama antara pemangku kepentingan, sifat mandat misi yang saat ini

cenderung lebih menggunakan perdamaian dengan kekuatan bersenjata (peace

enforcement) sebagaimana diatur dalam UN Chapter VII dan memerlukan

otorisasi yang lebih tegas, disamping perlunya perhatian yang lebih besar pada

masalah HAM dan perlindungan terhadap warga sipil yang mengarah kepada

upaya bina damai (preventing release to confict).11

Hanya saja kompleksitas persoalan yang ditangani operasi

pemeliharaan perdamaian masih memiliki kendala, baik yang bersifat teknis

maupun yang non teknis. Kendala teknis kemampuan prajurit TNI dalam

penguasaan bahasa asing (Inggris, Perancis, Arab) masih minim padahal sangat

diperlukan bagi kemampuan menjadi mediator di lapangan, kesiapan

pengerahan pasukan yang belum maksimal. Kendala non teknis yang paling

mencolok adalah kapabilitas koordinasi antar pemangku kepentingan dalam

11 UNA Canada, United Nations, 2007, Future Challanges of UN Peacekeeping, Academic

Publication-Chapter 10, hlm. 152

13

proses pengiriman pasukan yang menuntut perubahan pola baru penangan

operasi pemeliharaan perdamaian sesuai tuntutan standar internasional. Belum

lagi persoalan dinamika perpolitikan dalam negeri menyangkut keputusan

penggunaan keputusan pelibatan TNI dalam mengimplementasikan UN

Chapter VI, Chapter VII serta robust operasi pemeliharaan perdamaian,

minimnya anggaran pemerintah RI untuk menyiapkan operasi pemeliharaan

perdamaian dengan jumlah personel yang lebih besar dan standar alutsista yang

perlu dipersiapkan untuk mendukung tugas operasi.12

Untuk itu koordinasi di tingkat strategis antar pemangku

membutuhkan kekuatan visi kegiatan yang jelas mengingat perubahan pola

operasi pemeliharaan dunia sesuai permintaan PBB dan pola manajemen

pengiriman pasukan misi perdamaian yang lebih masif dari jumlah personel,

bersifat multidimensi. Posisi penting pada pemangku kepentingan pengiriman

pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia berada di tangan Presiden RI.

Kemauan politik (political will) Presiden yang menjadi keputuan politik

pemerintah menjadi pokok dalam teta kelola pengiriman pasukan pemeliharaan

perdamaian Indonesia sesuai mandat PBB.

Merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2006 Tentang Kontingen Garuda Dalam Misi Perdamaian di Lebanon

secara jelas dinyatakan sejumlah institusi yang terlibat. Pemangku kepentingan

yang terlibat untuk saling berkoordinasi dalam Keputusan Presiden tersebut,

12 Hasil wawancara dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen (Purn) T.B. Hasanuddin.

Op.cit.

14

yaitu: Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu), Kementerian Pertahanan RI

(Kemhan), dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). Dalam

Kepres tersebut disebutkan dua institusi yang lain, yakni Kementerian

Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Institusi yang satu berada di

bawah lembaga kepresidenan, sedangkan DPR RI merupakan mitra pemerintah

untuk menjadi penyeimbang bagi penentuan kebijakan strategis yang

menguntungkan kepentingan RI sesuai amanah Undang-Undang.

Disamping itu, ada lembaga yang memiliki peranan cukup besar di

bawah Kementerian Luar Negeri RI, yakni Perutusan Tetap RI (PTRI) di New

York, dimana terdapat Penasehat Militer (Penmil) yang ditunjuk oleh Kemhan

RI atas usulan Mabes TNI/ fungsional organik Badan Intelijen Strategis (BAIS)

TNI yang secara struktural berada di bawah PTRI. Penmil memiliki fungsi

ujung tombak dalam lobby-lobby penyiapan pengiriman pasukan Indonesia

sesuai mandat resolusi DK-PBB. Sementara itu, PMPP TNI di bawah Mabes

TNI sebagai titik berat bagi penyiapan pasukan yang menjadi domain operasi

pemeliharaan perdamaian Indonesia.

Koordinasi lainnya menyangkut kecepatan kesiapan gelar pasukan,

seperti: rekruitmen personel, pengorganisasian personel yang lebih handal

masih perlu ditingkatkan dan disempurnakan. Pengamatan dan penelitian akan

difokuskan pada penerapan perubahan manajemen baru yang akan dilihat

selama kurun pengiriman pasukan pada KONGA XXIII A sampai dengan E /

UNIFIL ke Lebanon antara tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Fokus

penelitian hanya pada pelaksanaan tugas operasi KONGA XXVIII A – E /

15

UNIFIL Tahun 2006-2010 di Lebanon ini menjadi signifikan bagi penelitian

karena pada periode itulah titik balik perubahan kebijakan terhadap operasi

perdamaian dunia yang dilaksanakan RI sejak diterapkannya UU TNI no 34

Tahun 2004.

Koordinasi antar pemangku kepentingan baik pada garis vertikal

maupun horisontal/sejajar tersebut di atas inilah yang menjadi fokus dan

pembahasan dalam kajian penelitian tesis ini. Sebab, kepemimpinan yang

handal sangat tampak dari koordinasi yang sinergis dan menghasilkan

keberhasilan misi mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara itu tantangan

yang perlu diatasi secara serius dalam menyiapkan misi perdamaian dunia bagi

pemerintah RI menyangkut kapabilitas koordinasi yang masih lemah antar

pemangku kepentingan dalam proses pengiriman pasukan karena menuntut

perubahan pola baru penanganan operasi pemeliharaan perdamaian yang

dipersiapkan Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan uraian latar belakang terkait koordinasi antar pemangku

kepentingan dalam operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia diperlukan

masukan yang bermanfaat bagi pelaksanaan tugas KONGA dalam merespon

tantangan dan upaya penyiapan bagi pelaksanaan tugas KONGA di masa

mendatang. Waktu penelitian ini dibatasi sejak pengiriman pasukan pada

KONGA XXIII A – E / UNIFIL tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 di

Lebanon.

16

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka terdapat dua

rumusan masalah yang akan diteliti dalam pernyataan penelitian tesis ini pada

pertanyaan:

1. Apa peran dan tantangan masing-masing pemangku kepentingan

yang terlibat dalam misi pengiriman pasukan pemeliharaan

perdamaian Indonesia?

2. Bagaimana upaya mengatasi tantangan koordinasi antar

pemangku kepentingan sehingga pelaksanaan tugas operasi

pemeliharaan perdamaian Indonesia dapat terlaksana dengan

optimal?

1.3 Tujuan Penulisan

Seperti disebutkan dalam rumusan masalah di atas tujuan penelitian

ini adalah untuk:

1. Menganalisis peran, mengindentifikasikan masalah dan tantangan

yang terjadi dalam berkoordinasi antar pemangku kepentingan.

dalam pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia.

2. Menganalisis upaya dan antisipasi penyelenggaraan koordinasi

agar mekanisme koordinasi antar pemangku kepentingan semakin

sinergis, efektif dan efisien sesuai tuntutan pola perubahan operasi

pemeliharaan perdamaian dunia.

17

1.4 Landasan Teori

Koordinasi yang sinergis antar pemangku kepentingan merupakan

kunci pokok keberhasilan misi pengiriman pemeliharaan perdamaian.

Koordinasi yang baik menunjukkan kemampuan kapasitas negara untuk

menerapkan manajemen strategis, mengasilkan keputusan yang memberikan

arah dalam pelaksanaan tugas. Ada 4 landasan teori yang dipakai sebagai pisau

analisis penelitian ini agar didapatkan kombinasi mengenai apa peran masing-

masing pemangku kepentingan, apa saja permasalahan, tantangan dan upaya

pelaksanaan koordinasi dan kerjasama berbagai aktor yang terlibat pengerahan

pasukan TNI dalam operasi pemeliharaan perdamaian.

Pertama adalah pengertian mengenai koordinasi dalam kerangka

penyiapan pasukan (deployment coordination) untuk melaksanakan tugas

operasi pemeliharaan perdamaian. Kedua, koordinasi yang baik membutuhkan

kesatuan intepretasi atas visi kegiatan, sehingga teori aplikatif mengenai

Diplomasi Pertahanan menjadi pembicaraan berikutnya. Ketiga, kemampuan

koordinasi yang baik tidak lepas dari salah satu upaya melaksanakan sistem

pemerintahan yang demokratis yang berada pada supremasi sipil. Maka

pemahaman akan Pemerintahan Demokratis (Democratic Governance) menjadi

landasan teori selanjutnya. Keempat, Adanya perubahan pola penanganan

konflik saat ini menimbulkan persoalan dan tantangan. Laporan Brahimi

(Brahimi Report) dipakai sebagai acuan rekomendasi yang menyoroti

18

persoalan koordinasi dan manajemen penyiapan pasukan pemeliharaan

perdamaian.

1.4.1 Pengertian Koordinasi

Pengertian dan batasan koordinasi menurut G.R. Terry adalah suatu

usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang

tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang

seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut

E.F.L. Brech koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan

memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing-masing dan

menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di

antara anggota sendiri (Hasibuan, 2007:85). Menurut Mc. Farland koordinasi

adalah suatu proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok

secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam

mencapai tujuan bersama (Handayaningrat, 1985:89). Handoko mendefinisikan

koordinasi sebagai proses pengintegrsian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan

pada satuan–satuan yang terpisah suatu organisasi untuk mencapi tujuan

organisasi secara efisien (Handoko, 2003:195).13

Dari keempat orang di atas dapat dirumuskan bahwa koordinasi

memiliki 4 hal yang pokok, yakni:

13 Pengertian koordinasi dari keempat pakar bersumber dari: <http://nuwrileardkhiyari.blog

detik.com/2013/10/06/pengertian-koordinasi/>.

19

1. Adanya kesatuan intepretasi atas visi yang kuat dan

menyatukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan pekerjaan yang

sinergis. Koordinasi yang baik ditampakkan dengan pola struktur

dan mekanisme pelaksanaan tugas yang jelas sehingga tujuan

dapat terlaksana dengan penggunaan waktu yang efisien. Semakin

besar kegiatan dan ketertangungan pada unit-unit kerja, maka

akan semakin besar dan kompleks pula kebutuhan koordinasi.

Visi adalah kekuatan pokok dari suatu organisasi yang merupakan

pandangan jauh ke depan atas hakekat tujuan organisasi yang

hendak dicapai pada masa mendatang. Secara gradual level

tingkatan visi organisasi dapat dilihat dalam cakupan 3 level:

internasional (PBB, contohnya), regional/nasional

(bangsa/negara, misalnya seperti Indonesia), dan

kelompok/individu (organisasi tentara, seperti TNI).

Visi itu selalu dikaitkan dengan kata misi, suatu

pergerakan, penugasan, pengerahan, pelibatan, dlb. seperti

pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia,

contohnya. Di tingkat strategis visi merupakan konsepsi dasar

yang dibutuhkan untuk meletakkan kesepahaman dan menyatukan

intepretasi bersama sehingga memudahkan pencapaian tujuan. Di

tingkat taktis visi memiliki kekuatan untuk melaksanakan

kesatuan gerak (unity of command).

20

Dua pemahaman mengenai Diplomasi Pertahanan dan

Pemerintahan Demokratis merupakan bagian penting dalam

membentuk visi koordinasi pemangku kepentingan bagi

pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian. Sedangkan

pengembangan Doktrin mengenai peace keeping, produk Undang-

Undang, Keputusan Presiden, Buku Petunjuk Induk (Bujukin),

Buku Petunjuk Pelaksanaan (Bujuklak), prinsip dasar (Code of

Conduct), aturan perlibatan (Rule of Engagement) merupakan

mekanisme taktis yang memberikan kemudahan menjalankan

perintah tanpa beban karena mengetahui tujuan dan sasarannya.

2. Adanya arahan (baik strategis maupun taktis) dari

pimpinan (pusat) adalah suatu produk kemauan (willingnes) yang

menggerakkan dan memberikan motivasi di tingkat pusat

pengambilan keputusan sekaligus menjadi kekuatan moral yang

membutuhkan kapasitas pemimpin sekaligus kekuatan manajerial

yang mengarahkan mekanisme kerja organisasi. Kalau visi lebih

pada konsep idea, sedangkan arah strategis lebih pada pelaku

yang menjadi subyek pelaksana visi, seperti: presiden, para

menteri, panglima TNI, dll.

Koordinasi tetap membutuhkan kekuatan aktor dalam

suatu institusi maupun lembaga, sehingga kemauan politik

(political will) yang diambil oleh pemangku kepentingan akan

21

memberi pengaruh yang menentukan pada warna dan “roh” dari

organisasi tersebut agar mampu memberi pengaruh bagian-bagian

lainnya mencapai tujuannya.

Kemauan aktor pemangku kepentingan yang bersifat non

teknis seperti inilah yang mampu memberi pengaruh cepat atau

lambatnya suatu mekanisme kerja, termasuk cepat tidaknya

penyiapan pengiriman pasukan yang menjadi tututan standar

PBB.

3. Adanya kemampuan penyediaan target waktu yang tepat

untuk penyelenggaraan tugas merupakan parameter yang paling

mudah untuk menunjukkan apakah sistem dan mekanisme

keseluruhan koordinasi telah berjalan sesuai rencana atau tidak.

Terjadinya permasalahan dan hambatan dalam memberi

respon cepat menjadi parameter resmi yang dilakukan PBB yang

memasukkan rapid development and standing capasity sebagai

kriteria dan standar kapasitas kemampuan pasukan pemeliharaan

perdamaian.

4. Adanya lokasi (tempat) sebagai fasilitas dan cara

(metode) untuk dapat mendukung terlaksananya kegiatan atau

pekerjaan guna pencapaian sasaran demi terciptanya peningkatan

profesionalitas. Pusat-pusat pelatihan dan pendidikan seperti

pembentukan PMPP TNI di Sentul menjadi bagian penting dari

perwujudan koordinasi pemangku kepentingan yang efektif.

22

Tujuan koordinasi itu sendiri adalah (1) untuk mewujudkan integrasi,

sinkronisasi dan simplifikasi agar tujuan organisasi dapat tercapai secara

efektif dan efisien; (2) memecahkan konflik kepentingan berbagai pihak yang

terkait, dan; (3) agar dapat membantu pimpinan mampu mengintegrasikan dan

mensinkronkan perlaksanaan tugas-tugasnya dengan para pemangku

kepentingan (stakeholders) yang saling bergantung, agar tujuan organisasi

dapat tercapai. Dalam kaitan pemangku kepentingan penyiapan pasukan

pemeliharaan perdamaian mengenal adanya 2 macam koordinasi. Pertama,

koordinasi yang bersifat strategis di tingkat struktural pengambil keputusan.

Kedua, koordinasi yang bersifat taktis di tingkat struktural pelaksana putusan.

1.4.2 Pemerintahan Demokratis (Democratic Governance)

Pemerintahan demokratis merupakan anak kandung dari perjuangan

sebuah negara menuju kekuatan supremasi masyarakat sipil, penggunaan

manajemen modern dalam pengolaan pemerintahan yang menekankan control

and balancing. Inti dari pemikiran dasar sistem pemerintah demokatis adalah

penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, perlindungan terhadap hak-hak

sipil, terciptanya sistem kemasyarakatan yang menjunjung aturan dan hukum

yang berlaku secara menyeluruh sehingga manusia terhindar dari rasa takut,

termasuk dari ancaman perang dan pemusnahan antar sesama manusia.

Sejalan dengan kerinduan umat manusia mengusahakan keadilan

sosial dan terwujudnya perdamaian yang abadi dan Menurut David P. Barash,

dari perspektif studi perdamaian kegagalan utama PBB adalah

23

ketidakmampuan untuk mencapai pelucutan senjata secara global menghindari

perang. Namun, PBB tetap berjuang atas usaha-usaha menciptakan kondisi

budaya kemanusiaan serta menciptakan “kondisi perdamaian positif” dengan

cara menciptakan sebuah sistem keamanan yang kolektif dalam konteks negara

demokrasi. Dewan Keamanan, dalam mengindentifikasi sebuah pemerintah

yang melakukan agresi, menyiapkan kekuatan militer untuk menciptakan

kedamaian. Hal inilah yang tersurat dalam pernyataan David P. Barash:

The Security Council was empowered to identify an aggressor and then to request various member states to provide military force as necessary to enforce the peace.14

Terjadinya perubahan pada pola koordinasi yang mengedepankan

pendekatan kemanusiaan dan kontrol terhadap militer tentunya turut mengubah

doktrin militer dan cara penanganan struktur dan manajemen kerja pengiriman

pasukan pemeliharaan perdamaian. Adanya semangat reformasi tahun 1998

membawa Indonesia masuk pada era baru dalam perubahan dinamika politik

menuju pemerintahan yang demokratis. Pola koordinasi model kepemimpinan

pemerintahan era Suharto cenderung sentralistik, bersifat komando telah

ditinggalkan. Sebelum reformasi terjadi, pola pengiriman pasukan

pemeliharaan perdamaian Indonesia cenderung stagnan, bersifat rutin, tanpa

ada pembekalan pasukan yang disiapkan menghadapi tugas yang bersifat

multidimensi, tidak ada lesson learned. Tidak demikian dengan situasi pasca

reformasi.

14 David P. Barash, 2002, Peace and Conflict Studies, London, Sage Publications, Thousand

Oaks , hlm. 353.

24

Semenjak bergulirnya semangat reformasi tuntutan rakyat atas

supremasi sipil pada pemerintahan, mengemukanya aspirasi demiliterisasi,

penghargaan terhadap HAM telah mengubah kemauan politik pemerintah yang

menyangkut pola kerja dan cara berkoordinasi yang lebih tunduk pada

pengawasan dan mekanisme kerja yang seimbang (control and balancing).15

Pelaksanaan tata kelola, sistem dan struktur pemerintahan yang

demokratis (democratic governance) dimasukkan ke dalam agenda reformasi

pokok sebagai isu esensial sebagai landasan baru mengelola identitas.

Perumusan TNI sebagai prajurit profesional dimana TNI tunduk sebagai alat

negara yang melaksanakan politik pemerintah (sipil) perlu didudukan pada

posisi yang tepat sesuai tuntutan jaman tanpa mengesampingkan perannya

dalam sejarah perjuangan bangsa adalah bentuk pelaksanaan dari agenda

tersebut. Bersamaan upaya menjalankan pemerintahan yang demokratis TNI

melaksanakan reformasi internal dengan mengusung paradigma baru TNI

dengan tiga elemen kunci yang mengalir kuat yaitu pemberdayaan

kelembagaan fungsional, TNI memainkan perannya sebagai bagian dari sistem

nasional dan peran TNI tersebut dilaksanakan atas dasar kesepakatan bangsa.16

Identitas TNI yang kini telah bermetamorfosis sebagaimana tercantum

dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI selain sebagai Tentara Rakyat,

Tentara Pejuang, Tentara Nasional juga adalah Tentara Profesional. Identitas

terakhir merupakan rumusan yang baru diterbitkan dalam undang-undang

15 Mabes TNI, 1999, Opcit., hlm. 17. 16 Ibid., hlm. 25.

25

produk reformasi. Yang dimaksud sebagai Tentara Profesional, yaitu tentara

yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak

berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, dengan mengikuti kebijakan politik

negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,

ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.17

Tata kelola pemerintah yang demokratis memikirkan proses

pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada masing-masing

satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu

organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien. Pengintegrasian pada tujuan

kepentingan nasional itu membutuhkan pengelolaan identitas pada penugasan

TNI ke dalam OMSP yang berbeda dengan doktrin pola perilaku TNI dalam

OMP sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004. Menurut Robert Getso (2005)

penugasan pasukan militer sebagai pasukan pemeliharaan perdamaian atau

untuk tugas operasi non tempur memerlukan a cross-cultural shift pada

masing-masing diri parjurit. Perubahan ini dinamakan perubahan psikologi dari

budaya militer sebagai prajurit perang menjadi militer (yang sipil) yang

bertugas sebagai pasukan pemeliharaan perdamiaan atau dalam istilahnya:

“a psychological shift from the military culture of the war fighter to the civil military culture of the peace keeper”,

17<http:// www.tni.mil.id/page-3-jati-diri-tni.html>. (diakes 1 November 2014)

26

dengan implikasi sosial, perilaku, psikologi dan filosofi yang perlu

diperhatikan dan dilatih.18 Terdapat 2 sisi yang dapat saling berbenturan pada

perubahan mentalitas TNI. Jika reformasi mental dapat terlaksana sesuai

agenda yang bertahap, berlanjut dan bertingkat, akan didapatkan TNI yang

memiliki jiwa korsa (esprit de corps), dan soliditas sebagai tentara profesional.

Sebaliknya, jika gagal kekuatan solidaritas juga mampu mengemuka dan

menghasilkan kekuatan yang dapat memicu suatu konflik baru.

Sejalan dengan hal tersebut tata kelola pemerintahan yang demokratis

bertujuan untuk mewujudkan kepentingan nasional yang membawa gambaran

bahwa bangsa Indonesia adalah pemerintah yang demokratis, mematuhi

rambu-rambu demokrasi dengan terlibat pada usaha-usaha kemanusiaan dan

penghargaan pada HAM, serta militer yang profesional.

1.4.3 Diplomasi Pertahanan

Kesatuan visi bagi para pemangku kepentingan yang mengatur

pelaksanaan tugas misi perdamaian adalah kerangka pikir dan pemahaman

akan diplomasi pertahanan. Diplomasi pertahanan merupakan komponen

konseptual yang sangat penting bagi suatu pemerintahan dan pemangku

kepentingan misi perdamaian yang perlu dipahami dan menjadi kemampuan

menyampaikan serta menuangkan strategi pertahanan secara komprehensif

18 Robert Getso, 10 Preparing Warriors to be Peacekeepers, <http://www.class.uidaho.edu

/martin_archives/peace_journal/Peacekeeping/Peacekeeping1.doc>. (diakses 1 November 2014)

27

agar menjadi kesatuan yang utuh dalam keseluruhan sistem pertahanan kepada

pihak negara lain demi terciptanya perdamaian yang lebih luas.19

Diplomasi pertahanan dipahami juga sebagai seni berkomunikasi

dalam rangka koordinasi dengan negara lain yang mengisyaratkan adanya

kekuatan sumber daya dan kemampuan pertahanan suatu negara.20

Diplomasi pertahanan menjadi alat ataupun cara dalam mencapai

tujuan yang telah digariskan oleh kebijakan kementerian pertahanan yang

dikoordinasikan kepada kementerian luar negeri agar memberikan manfaat

negara dalam bidang kerjasama internasional guna menghilangkan

permusuhan, membangun dan memelihara kepercayaan dan membantu

pembangunan angkatan bersenjata negara-negara lain yang menganut prinsip

demokrasi dan penuh tanggung jawab, sehingga tercipta suatu kontribusi yang

signifikan pada pencegahan dan resolusi konflik.21

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan bahwa diplomasi

pertahanan merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari diplomasi total

pemerintah.22 Faktor-faktor yang sangat signifikan dalam mempengaruhi

diplomasi pertahanan adalah:

19 Syaiful Anwar, Ir., MA., N.Bus, Mayor Jenderal TNI, 2012, Meningkatkan Kapasitas Dan

Peran Diplomat Pertahanan Untuk Membangun Pertahanan Yang Tangguh, Jakarta, Jurnal Pertahanan Mei 2012, Volume 2, Nomor 2, hlm. 107.

20 Saiful Anwar, opcit., hlm 109. 21 “Defence Diplomacy”, Opcit. 22 Saiful Anwar, opcit., hlm. 111.

28

1. Terciptanya kebijakan pertahanan pemerintah, seperti:

revisi serta validasi struktur organisasi yang bertujuan pada

efisiensi dan efektifitas mekanisme kerja untuk mencapai tujuan

yakni yang lebih besar, lebih berpengaruh, lebih luas, merupakan

faktor-faktor yang mempengaruhi diplomasi pertahanan. Sasaran

dan target terciptanya kebijakan-kebijakan pertahanan yang

tercakup dalam hal-hal seperti ini, yakni: kapabilitas untuk

melihat kemungkinan negara-negara mana saja yang merupakan

prioritas yang perlu dijalin kerja sama dalam bidang pertahanan,

agar kepentingan nasional dapat terlindungi sekaligus dapat

berperan lebih luas bagi kepentingan kesejahteraan hidup bersama

dalam kawasan dunia.

Upaya untuk dapat diterima oleh dua faksi atau negara

yang berkonflik, kerjasama bilateral maupun multilateral dengan

negara lain untuk menggalang kebersamaan berdasarkan tujuan

nasional bangsa Indonesia merupakan bagian dari kerangka kerja

yang dilandasi oleh Diplomasi Pertahanan.23

2. Terbentuknya kebijakan luar negeri. Kebijakan luar

negeri merupakan acuan utama setiap pemerintahan termasuk

Pemerintah RI dalam menentukan strategi dan cara dalam

23 Ibid.

29

melakukan kerja sama luar negeri dalam semua bidang, termasuk

dalam bidang pertahanan.24

3. Hukum Nasional. Hukum nasional seperti Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri RI

dan hukum–hukum lain bidang pertahanan yang diatur dengan

perundang-undangan yang sangat ketat karena sangat sarat

dengan unsur hukum dan unsur politik pemerintah.25

Menghadapi perubahan lingkungan strategis dan

geopolitik, perubahan pola dan tantangan operasi pemeliharaan

perdamaian dibutuhkan pula produk-produk baru perundang-

undangan yang mengakomodasi secara lebih spesifik kebutuhan

diplomasi pertahanan agar bangsa Indonesia memiliki

kemampuan mengatur tingkatan aktifitas operasional untuk

mencapai tujuan tingkat kesiapan pasukan, material dan dukungan

kebutuhan militer bagi pertahanan lainnya.

4. Hukum dan kebiasaan internasional (customary). Hukum

internasional dapat berupa konvensi tentang pelaksanaan perang,

larangan tentang pengembangan beberapa jenis senjata, UN

Charter, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa ada benturan terhadap

perbedaan hukum nasional dengan kebiasaan internasional

menyangkut hal-hal prinsipil. Misalnya, penggunaan peace

24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 113.

30

enforcement tidak sesuai dengan garis dan semangat UUD 1945

yang mengakui dan menghormati kedaulatan suatu negara. Maka

pemerintah masih dapat mempertimbangkan ketika hukum

internasional dan penerapan konsep operasi PBB mendapat ijin

dari pihak-pihak atau negara yang berkonflik. Penempatan pejabat

diplomatik, komitmen Indonesia pada misi kemanusiaan, HAM

yang bersifat universal, dll merupakan implementasi dari

penerapan diplomasi militer.26

5. Keadaan lingkungan setempat (environment).

Lingkungan yang berpengaruh signifikan, antara lain: struktur

organisasi pemerintahan setempat khususnya organisasi

pertahanan dan militer, termasuk juga mekanisme birokrasi dan

tataran kewenangan dalam organisasi tersebut.27

Diplomasi pertahanan dengan sendirinya akan mempromosikan good-

governance hasil tata kelola pemerintahan yang demokratis dengan

menggunakan kekuatan bersenjata dan infastruktur terkait sebagai alat

kebijakanan keamanan dan kebijakan luar negeri.

Lebih lanjut, diplomasi pertahanan dilakukan antara lain, untuk

mencari perimbangan antara kebutuhan untuk menciptakan stabilitas keamanan

regional, peningkatan kapabilitas pertahahan, dan kemandirian pertahanan

26 Ibid. 27 Ibid.

31

suatu negara. Diplomasi pertahanan, saat ini telah menjadi alat penting dalam

kebijakan keamanan dan kebijakan luar negeri suatu negara.28

Perkembangan diplomasi pertahanan mengalami penyesuaian bagi

kepentingan menjaga perdamaian dunia tetapi juga memberi pengaruh positif

pada kepentingan nasional sebuah negara. Berkaitan dengan hal tersebut

Matthew Amstrong berpendapat bahwa saat ini berbagai negara memanfaatkan

penugasan pemeliharaan perdamaian untuk memperjuangkan agenda politik

luar negeri dan ekonominya serta menaikkan posisinya dalam lingkup global.

Misi pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian yang dilaksanakan oleh

negara manapun di dunia merupakan salah satu dari alat politik luar negeri

suatu negara sekaligus membawa pergeseran standar perilaku yang semakin

selektif dalam operasi penjaga perdamaian.29

Sejalan dengan pemikiran Amstrong tersebut, bagi Indonesia

keikusertaan di dalam misi pasukan pemeliharaan perdamaian menunjukkan

peran Indonesia yang mendukung serta memperkokoh pelaksanaan konsep

politik luar negeri Bebas Aktif sebagai bagian dari diplomasi negara khususnya

dalam membentuk opini publik bagi kepentingan nasional. Menurut Dewi

Fortuna Anwar secara subyektif kepentingan nasional bisa didefinisikan secara

jelas dengan kriteria yang obyektif dan cenderung konstan dari waktu ke

waktu. Sedangkan Isharyanto menyebutkan bahwa kepentingan nasional dapati

28 Ibid. 29 Lihat: Matthew Amstrong, 2010, UN Peacekeeping as Public Diplomacy,

<http://www.sorldpoliticsreview.com/ authors/554/matt-amstrong>. (diakses 15 Februari 2014).

32

diartikan secara subyektif, artinya kepentingan nasional selalu berubah

mengikuti preferensi subyektif para pembuat keputusan.30

Gambar di bawah ini memperlihatkan macam-macam bentuk

Diplomasi Pertahanan.

Gambar I. Macam-Macam Bentuk Diplomasi Pertahanan. Sumber: Jurnal Pertahanan, Mei 2012, Volume 2, Nomor 2.

Senada dengan pentingnya diplomasi pertahanan yang memberikan

fondasi bagi kesatuan visi dan intepretasi bagi koordinasi antar pemangku

kepentingan terkait pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian, David P.

Barash menyajikan pendekatan komprehensif bagi pembicaraan mengenai

perdamaian dan konflik. Studi ilmu terapan inter disipliner yang baru

mengajukan 3 tinjauan, salah satunya adalah tinjauan teori yang berasal dari 30 Mas Isharyanto, Kepentingan Nasional dalam Hubungan Internasional, Isharyanto:

<http://wordpress.com/serambi/kepentingan-nasional-dalam-hubungan-internasional/>. (Diakses 22 Oktober 2014).

33

studi-studi strategis (strategic studies) yang lebih menekankan perpanjangan

tangan suatu negara mengusung kepentingan nasionalnya yang menyangkut

pertahanan dan keamanan negara. Negara sendiri dipandang sebagai aktor

utama dari hubungan antar negara terutama hal-hal yang berhubungan dengan

koersif (pengendalian keamanan dengan bentuk kekerasan), baik aktif maupun

laten. Berkenaan dengan pemikiran itu, David P. Barash menulis dalam

bukunya, Peace And Conflict Studies, demikian:

Diplomacy is only as effective as the military power avaliable to each side, the threats that underwrite courteous diplomatic interchanges. “Diplomacy without armaments”, according to Frederick the Great, “is like music without instruments.” (Diplomasi dan kekuatan militer yang dimiliki oleh suatu negara akan sangat membantu pengamanan negara tersebut. Keduanya ini akan saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu diplomasi akan jalan dengan adanya dukungan kekuatan militer, begitu juga dengan kekuatan militer akan jalan bila ada dukungan dari diplomasi. Hal ini memang seperti yang dikatakan oleh Frederik Agung yaitu diplomasi tanpa senjata sama dengan musik tanpa aransemen.)31

Pernyataan David P. Barash itu menunjukkan bahwa penyiapan

prajurit TNI yang profesional guna mendukung pengiriman pasukan

pemeliharaan perdamaian merupakan salah satu fokus bagi ukuran ketahanan

negara menghadapi ancaman dari negara lain yang bersifat koersif, sekaligus

juga dapat memberi ukuran akan profesionalitas kekuatan militer yang mampu

digelar oleh suatu negara. Pandangan David P Barash ini sejalan dengan teori

diplomasi pertahanan.

31 David P. Barash, 2002, Op.Cit.., hlm. 274.

34

Diplomasi pertahanan telah dilakukan oleh para pejabat Kemhan RI

maupun TNI.32 Berdasarkan macam-macam kegiatan yang dilakukan, maka

diplomasi pertahanan dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:33

1. Pembicaraan (talks), yaitu pembicaraan yang dilakukan

oleh para pejabat Kemhan RI dan TNI dalam forum-forum atau

pertemuan resmi yang membicarakan agenda pembicaraan yang

telah ditentukan dan disepakati bersama, baik dalam forum

bilateral maupun dalam forum multilateral.

2. Kegiatan Kerjasama (cooperative activites), yaitu

kegiatan yang dilakukan oelh institusi Kemhan RI dan TNI baik

secara individual maupun dalam bentuk unit-unit operasional

dengan individual atau unit-unit operasional yang berasal dari

negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.

3. Kegiatan Atase Pertahanan (Defence Attache), yaitu

kegiatan yang dilakukan personel TNI yang bertugas sebagai

atase teknis di bidang pertahanan sebagai bagian dari misi

diplomatik pemerintah sebagaimana Penasehat Militer (Penmil)

yang bertugas di PTRI New York, PBB.

4. Misi Perdamaian (Peace Mission), yaitu kegiatan yang

dilakukan oleh pejabat atau perwira Kemhan RI atau TNI baik

32 Saiful Anwar, opcit., hlm. 117. 33 Ibid, hlm. 117-121.

35

secara individual maupun dalam kelompok atau kontingen dalam

tugas-tugas misi perdamaian dunia maupun mediasi dalam

pertikaian. Dari segi tingkatan pejabat atau personel yang

ditugaskan, sekaligus fungsi yang dikerjakan, personel TNI yang

terlibat dalam misi pemeliharaan perdamaian dapat digolongkan

dalam enam macam penugasan, yaitu:

a) Staf di UN DPKO (United Nations Departement of

Peacekeeping Operations), yaitu para pejabat atau personel

yang berdasarkan permintaan dan persetujuan organisasi PBB

ditempatkan sebagai perwakilan Kemhan RI atau TNI untuk

melaksanakan tugas tertentu yang diberikan oleh PBB yang

berhubungan dengan manajemen UN peacekeeing mission.

b) Komandan atau Staf lapangan di Organisasi Gabungan

(Force Commander), yaitu para pejabat atau personel TNI

yang diminta untuk mengisi struktur organisasi gabungan.

c) Komandan atau Staf Lapangan di Organisasi Gabungan, yaitu

para pejabat atau personel TNI yang diminta untuk mengisi

struktur organisasi gabungan.

d) Anggota Kontingen, yaitu pasukan TNI yang bertugas dalam

misi perdamaian sebagai anggota kontingen.

e) Pengamat Militer (Military Observer), yaitu para perwira

TNI yang bertugas secara individual tetapi masuk dalam

36

organsiasi gabungan misi perdamaian untuk memantau

perkembagan situasi keamanan wilayah.

f) Tim Monitoring Organisasi Regional, yaitu para perwira TNI

atau Kemhan RI yang diberikan tugas untuk memonitor

situasi keamanan di wilayah konflik yang dimandatkan PBB.

Peran Indonesia untuk secara gencar memanfaatkan kedudukannya

sebagai anggota organisasi internasional di PBB sangat perlu memahami

mekanisme koordinasi dan diplomasi pertahanan untuk membangun dan

meningkatkan kemampuan profesionalisme TNI sebagai sumber daya bangsa

(aset bangsa) yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan nasional untuk ikut

serta menjaga perdamaian dunia sesuai mandat PBB. Tentunya, keikutsertaan

pasukan Indonesia dalam operasi penjaga perdamaian ini sekaligus juga dapat

dimanfaatkan sebagai sarana peningkatan kemampuan personel TNI untuk

dapat meningkatkan standar perilaku secara sistemik.

1.4.4 Laporan Brahimi (Brahimi Report)

Laporan ini memberikan rekomendasi atas mekanisme

pengorganisasian dan koordinasi pengiriman pasukan pemeliharaan

perdamaian yang menyangkut: arahan strategis, pembuatan keputusan,

penempatan pasukan secara tepat, perencanaan operasional dan dukungan serta

penggunaan teknologi informasi. Dikeluarkannya laporan Brahimi (dikenal

dengan sebutan: Brahimi Report-2005) membawa kesadaran baru bahwa misi

37

pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian menjadi sedemikian kompleks

dan tidak bisa lagi ditangani secara konvensional dan tradisional.

Indikasi ketimpangan-ketimpangan dalam pelaksanaan misi

pemeliharaan perdamaian di lapangan demikian mendasar namun kompleks

membutuhkan sistem kemitraan yang jelas dalam jalur-jalur organisasinya;

membutuhkan validasi doktrin yang sehat, kuat dan membutuhkan

kepemimpinan atas mandat yang realistis. Ketimpangan juga terjadi pada

standar SDM yang perlu dipahami dan diterjemahkan dalam tugas-tugas

lapangan sesuai garis komando. Oleh karenanya dibutuhkan masukan-masukan

baru dengan parameter yang jelas dan tegas serta menggunakan evaluasi atas

kinerja yang komprehensif.

Rekomentasi Brahimi mengenai kecepatan penyiapan dan kapasitas

pasukan yang siap untuk diterjunkan di wilayah konflik sebagai peace keepers

(rapid deployment and standing capacity) menjadi salah satu hambatan yang

cukup besar dalam efektifitas pengorganisasian dan koordinasi dalam

pelaksanaan penggelaran operasi pemeliharaan perdamaian. Idealnya respon

pasukan yang dimiliki adalah kemampuan untuk dapat bergerak cepat, efektif,

fleksibel dan berkelanjutan. Padahal PBB tidak memiliki kapasitas standar

seperti ini dan sangat tergantung dari kontribusi negara pengirim pasukan.Hal

ini yang menyebabkan mekanisme organisasi dan koordinasi operasi

pemeliharaa menjadi kompleks. Rekomendasi Brahimi dapat dipakai pula

untuk menganalisis keberlangsungan penyiapan prajurit TNI dalam pengiriman

pasukan pemeliharaan perdamaian agar perencanaan dan upaya mengenai

38

target waktu menjadi realistis sesuai dengan perubahan pola manajemen yang

memberikan memberikan hasil guna yang optimal.34

Rekomendasi itu juga menunjuk pada kelambatan PBB

mempersiapkan sumberdaya dan pelaksanaan penyiapan pasukan yang

memiliki pengaruh pada keberhasilan misi operasi pemeliharaan perdamaian

masa mendatang. Tanpa kapasitas kesiapan dan kecepatan dalam pengiriman

pasukan akan menghasilkan kegagalan terkait menghadapi persoalan

menghadirkan pasukan pemeliharaan perdamaian di daerah konflik yang

melibatkan aktor negara dan bukan negara (interstate conflict). Latar belakang

dan kondisi wilayah konflik membutuhkan kecermatan koordinasi peran

pemangku kepentingan untuk menentukan macam apa bentuk pasukan yang

dikirm, kapabilitas dan konfigurasi sususnan personel/pasukan yang

diterjunkan di medan operasi. Selain itu juga memastikan faktor keamanan

bagi pasukan sendiri di wilayah konflik. Perlunya pengkajian dan prosedur

oleh tim khusus/survey di daerah konflik terlebih dahulu merupakan persoalan

krusial yang memperlambat penyiapan dan keberangkatan pasukan

pemeliharaan perdamaian. Kompleksitas mekanisme ini sangat perlu bagi

perhitungan target waktu bagi unsur pemangku kepentingan pemerintah RI

agar dapat sekecil mungkin mengeliminir persoalan-persoalan target waktu

karena panjangnya alur birokrasi dalam perencanaan pelibatan pasukan TNI.

34 Brahimi, Lakhdar, Report or the Panel on United Nations Peace Operations, Secretary

General for Special Assignments in Support or the Secretary-General’s Preventive and Peacemaking Efforts. Published by the United Nations Departement of Public Information – DPI/1634/Rev.46 – April 2005. <http://www.un.org/Depts/dpko/dpko/index.asp>. (diakses 29 November 2012)

39

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian ini adalah bagaimana koordinasi pada tataran

strategis maupun taktis antar pemangku kepentingan pada garis vertikal

maupun horisontal/sejajar berperan dan merespon tantangan koordinasi antar

pemangku kepentingan pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian

Indonesia, sehingga menghasilkan kapabilitas kerjasama yang sinergis untuk

menghasilkan manfaat bagi pelaksanaan tugas KONGA menuju perubahan

pola baru penanganan operasi pemeliharaan perdamaian Indonesia di masa

mendatang.

Waktu penelitian ini dibatasi sejak pengiriman pasukan pada KONGA

XXIII A – E / UNIFIL tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 di Lebanon.

Periode ini penting diteliti karena pada periode inilah terjadi titik balik

perubahan kebijakan terhadap operasi perdamaian dunia yang mulai

dilaksanakan RI sejak diterapkannya UU TNI no 34 Tahun 2004, berdirinya

PMPP TNI.

Periode tersebut merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun

2009, dimana dalam Kepres tersebut hanya ada 3 institusi yang terkait secara

langsung, yakni: Kemhan, Kemlu dan Mabes TNI. Peran DPR RI sebagai mitra

pemerintah untuk menjadi penyeimbang bagi penentuan kebijakan strategis

yagn menguntungkan kepentingan RI termasuk pembahasan penelitian.

KONGA XXIII F dan pengiriman operasi pemeliharaan perdamaian

selanjutnya tidak masuk dalam penelitian ini disebabkan sejak tanggal 29

November 2011 telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2011

40

tentang Tim Koordinasi Misi Pemeliharaan Perdamaian (TKMPP) dimana pada

TKMPP itu terdapat, yaitu: Kemenkopolhukam RI, Kemlu RI, Kemhan RI,

Kemhumham RI, Kemkeu RI, Bappenas, Sekkab, Mabes TNI, BIN dan

Kepolisian RI.

1.6 Metodologi

1.6.1 Jenis Penelitian

Dasar metodologis penulisan didasarkan pada pendekatan metode

deskriptif – ekspalantori – kritis. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh

gambaran mengenai proses koordinasi yang dilaksanakan para pemangku

kepentingan pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia, apa

peran dan permasalahan agar menghasilakn mekanisme yang lebih sinergis

antar pemangku kepentingan.

1.6.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini memakai sumber data primer yang

didapat dari pemahaman dan pengetahuan narasumber sebagai pelaku langsung

yang mewakili informasi sebagai pemangku kepentingan langsung terkait

koordinasi pengiriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia dengan

teknik wawancara secara mendalam (in depth interview) dengan dialog tanya

jawab. Wawancara juga dilakukan di lokasi/instansi para pelaku, juga

menyertakan beberapa narasumber lainnya dalam jajaran institusi pemangku

kepentingan yang mewakili informasi atas obyek penelitian.

41

Sumber data sekunder juga digunakan melalui studi liberatur yang

terdiri dari: dokumen-dokumen, buku, artikel, yang secara deskriptif

menjelaskan obyek penelitian yang memiliki korelasi dengan substansi

penelitian.

1.7 Sistematika Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada analisis mengenai peran,

masalah dan tantangan dalam koordinasi antar pemangku kepentingan dalam

pengeriman pasukan pemeliharaan perdamaian Indonesia dalam kurun 2006-

2010 dan bagaimana permasalahan koordinasi itu dapat diatasi, dengan

sistematika penulisan sebagai berikut:

I. Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, rumusan

masalah, tujuan dan Manfaat Penulisan, landasan teori, ruang lingkup

penelitian dan metode penelitian.

II. Misi Perdamaian PBB dan Keterlibatan Indonesia dalam Dalam

Operasi Pemeliharaan Perdamaian. Bab ini berisikan peran PBB

dalam upaya pengiriman misi perdamaian, tantangannya berupa

kemauan politik tiap-tiap negara, penggelaran cepat pasukan dan

implementasi aturan pelibatan pasukan pemeliharaan perdamaian

PBB. Selanjutnya deskripsi mengenai keterlibatan Indonesia dalam

misi pemeliharaan perdamaian, pengakuan internasional dan target

jumlah personel

42

III. Peran, Koordinasi dan Permasalahan Pemangku Kepentingan

Pengiriman Pasukan Pemeliharaan Perdamaian Indonesia. Bab

ini berisikan analisis atas peran, koordinasi dan permasalahan para

pemangku kepentingan, yakni: Presiden RI, Kementerian Luar Negeri

RI, PTRI di New York, Kementerian Pertahanan RI, Mabes TNI,

PMPP TNI dan DPR RI.

IV. Respon Pemangku Kepentingan Berkoordinasi Menjawab

Tantangan Pengiriman Pasukan Pemeliharaan Perdamaian. Bab

ini berisikan mengenai mekanisme keseluruhan koordinasi antar

pemangku kepentingan. Kemudian analisis terhadap respon sesuai

keempat unsur koordinasi, yakni: respon kesatuan interpretasi atas

visi, respon untuk melaksanakan arahan strategis, respon untuk

pencapaian target waktu, dan respon fasilitas pendukung..

Bab V. Penutup. Pada bab ini berisikan manfaat koordinasi dan kesatuan visi

Diplomasi Pertahanan, serta rekomendasi berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan.