Upload
vandieu
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Bab I
A. Latar Belakang Masalah
Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ,desentralisasi dan otonomi daerah dialamatkan
pada pembangunan dan juga demokratisasi di daerah yang selama orde baru terjadi ketimpangan
ekonomi politik yang luar biasa. Adanya realitas obyektif itulah mengapa semangat desentralisasi
digulirkan dengan harapan memberikan ruang otonomi bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan
inovasi pembangunan di daerahnya.
Dalam prosesnya, implementasi desentralisasi dan otonomi daerah selalu diwarnai
kontestasi dan juga dinamika yang semakin kompleks. Artinya, pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi bukanlah semata-mata proses teknik, administrasi, demi efisiensi dan efektifitas, melainkan
sebuah proses interaksi yang dinamis dari berbagai faktor, yang sering sulit untuk diperhitungkan
terlebih dahulu dan inilah yang sering disebut sebagai process of political interaction.1 Banyak faktor,
baik sosial, politik, ekonomi, maupun tingkah laku yang sedikit banyak mempunyai andil
menentukan arah gerak implementasi kebijakan. Kenyataan ini bisa dipahami mengingat konfigurasi
politik yang ada di tingkat lokal sangat beragam dan kompleks, sesuai dengan kondisi politik lokal
setempat. 2
Dengan ragam dinamika dan realitas obyektif yang terjadi, imbasnya setiap daerah harus
berusaha keras dalam memajukan daerahnya masing-masing. Salah satu instrumen yang dilakukan,
yaitu melalui branding kota atau daerah sebagai upaya pengenalan awareness kepada masyarakat
luas baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Hal ini agaknya memiliki kesamaan dengan
definisi versi American Marketing Association,yang menekankan peranan merk sebagai identifier dan
1 B.C Smith dalam Warsito Utomo , Peranan dan Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu Sosial Politik Vol. 1, No. 1, Juli 1997. Hal,100
2 Hendra Try Ardianto, Pembentukan Struktur Negosisasi Kota Surakarta: Kritik Nalar ‘Best Practices’ dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vo. 15, No. 2, November 2011. Hal, 125
2
differentiator.3 Harapannya dengan adanya deferensiasi, hal tersebut dapat menarik minat investasi
di daerah dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini memungkinkan untuk
diterapkan mengingat trend good governance sedang digemari di Indonesia, yang pada intinya
memberikan peluang bagi daerah untuk berinteraksi dengan pasar dan juga masyarakat secara lebih
intens.
Dengan maraknya penggunaan branding yang dilakukan oleh pemerintah daerah/kota,
setidaknya mengindikasikan bahwasannya Indonesia sedang mengikuti trend dunia dengan selera
serta greget yang sama, karena beberapa kota di banyak belahan dunia telah melakukan hal serupa
sebagai instrumen identitas dan promosi.4 Sebut saja Malaysia dengan “The Trully Asia”, Brisbane
“City of Sun Sunday”, ataupun Singapura dengan “Uniquely Singapore. Di Indonesia sendiri dapat
dijumpai branding daerah, Bali “Shanti, Shanti, Shanti”,Yogyakarta “Jogja Never Ending Asia”, dan
juga Solo dengan “Solo the Spirit of Java”.
Pembangunan identitas kota secara historis memang pernah dilakukan di Indonesia, dan
arus akan hal tersebut semakin marak (khususnya) di era otonomi daerah. Sebelum ini identitas yang
dimaksudkan cakupannya lebih bersifat lokal dan internal, seperti misalnya menyangkut
penghargaan Adipura. Lihat saja slogan-slogan di daerah seperti halnya, Semarang Kota ATLAS, Solo
Berseri, Banjarnegara Gilar-Gilar, dan lain sebagainya.5 Dengan situasi global yang kian dinamis
kemudian menuntut berbagai negara termasuk di dalamnya tiap daerah untuk mulai menggeser
orientasi mereka dalam pengelolaan kawasan dari local oriented ke global-cosmopolit orientation.6
Adanya perkembangan tersebut membuat berbagai daerah dihadapkan pada persaingan yang
konteksnya tidak lagi lokal, namun lebih dari itu sifatnya yang global. Untuk saat ini Yogyakarta
misalnya, tidak lagi hanya bersaing dengan Bali, Jakarta atau Bandung tapi juga sekaligus dengan
3 Riyadi.’Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah’ dalam Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 5, No.1, Maret 2009. Hal. 2 4 Ibid, hl. 2
5 Oop.cit, hal.3 6 Hermawan Kartajaya & Yuswohady.2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors : Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal,3
3
Kuala Lumpur, Phuket atau Singapura.
Oleh Ohmae, salah satu elemen keberhasilan suatu daerah- dan juga negara - ini adalah
kemampuannya untuk memberikan merek atau image pada dirinya sendiri dan menawarkan sesuatu
yang berbeda dan memisahkannya dari persaingan.7 Persaingan dalam hal ini merujuk pada
kemampuan daerah untuk menciptakan persepsi yang baik bagi iklim bisnis dan ivestasi di daerah.
Bagi daerah yang biasa-biasa saja tentu tidak akan menjadi pilihan investor untuk menanamkan
investasinya. Untuk itu diperlukan suatu aktivitas pengelolaan image di suatu daerah (brand image)
agar daerah tersebut tidak terkena cap yang jelek bagi investor. Mengutip pernyataan Al Ries dan
Trout bahwa ‘perception is better than reality’.8
Keberhasilan dalam membangun image sebuah kota barangkali layak disematkan kepada
Kota Bandung. Kota ini memang telah familiar bagi banyak orang dengan julukkanya sebagai Paris
van Java, artinya dari situ dibangun sebuah persepsi bahwa kota ini merupakan duplikat dari kota
Paris dengan segala hingar bingar destinasi wisata dan sajian tourisme lainnya. Hal ini terbukti
dengan apresiasi yang dilakukan oleh internasional yang menobatkan Bandung sebagai peringkat 26
dalam The Best City In Asia mengalahkan Jakarta (peringkat 28) versi majalah Asiaweek.
Di Indonesia sendiri, city branding merupakan hal baru yang kini mulai menjadi tren di
hampir tiap pemerintah daerah. Seiring dengan adanya semangat otonomi daerah, daerah harus
berkompetisi agar tetap bertahan dengan mengandalkan potensi yang dimilikinya. Itu pula-lah yang
mendasari pemikiran tiap-tiap pemerintah daerah untuk melakukan branding. City Branding banyak
digunakan oleh negara-negara di dunia dalam upaya meningkatkan atau merubah citra suatu
tempat/daerah, dengan menonjolkan kelebihan dan keunikan daerah tersebut.9Jack Trout, seorang
pakar pemasaran marketing misalnya mengatakan bahwa suatu daerah harus bertekat untuk
berbeda dengan daerah lain, yang olehnya diistilahkan sebagai diferensiasi. Perbedaaan karena
kinerja ekonomi bagus, kapasitas pemerintahan hebat, lebih efisien, infrastruktur memadai serta 7 Oop.cit, hal. 3 8 Ibid, hal.2 9 Fitri Murfianti. Membangun City Branding Melalui Solo Batik Carnival dalam Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol.2, No. 1, Juni 2010.
4
iklim usaha kondusif dan dinamis. 10
Kota Surakarta barangkali menjadi salah satu dari sekian banyak daerah yang mencoba
peruntungan melalui city branding, dan Solo the Spirit of Java merupakan merek resmi yang
dicanangakan oleh pemerintah daerah setempat. Merek yang secara resmi diluncurkan sejak 14
Februari 2007 ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan daerah –khususnya- melalui
sektor pariwisata.
Sektor pariwisata sendiri belakangan menunjukkan perkembangan yang kian menjanjikan,
setidaknya sektor ini diproyeksikan menjadi fenomena baru dalam perekonomian global di abad 21.
Khusus bagi Indonesia, sektor pariwisata menjadi andalan dikarenakan pertumbuhan pariwisata
Indonesia selalu di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara riil, tahun 2011 perolehan devisa
dari pariwisata mencapai USD 8,5 Milliar, naik 11,8% dibandingkan tahun 2010. Prosentase ini
melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran 6,5% dan pertumbuhan pariwisata
dunia yang hanya berkisar 4,5%.11 Besaran ini tentunya turut pula mempengaruhi pendapatan
daerah, dimana destinasi pariwisata tersebut berada. Terlebih bagi daerah yang mengandalkan
pariwisata sebagai sumber pendapatan bagi pembangunan.
Sebagai kota yang sudah berusia lebih dari 250 tahun, Surakarta memiliki banyak kawasan
dengan situs budaya dan sejarah . Keberadaan keraton Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan
wujud eksistensi warisan budaya lokal yang masih terus dijaga eksistensinya sebagai warisan dari
masa lalu dan sejarah. Selain itu keberadaan pasar-pasar tradisional maupun daya tarik kuliner
menjadi bargaining tersendiri bagi pengembangan pariwisata kota Surakarta ke depan. Sebagai kota
kedua terbesar di propinsi Jawa Tengah kota ini dikenal sebagai kota yang fokus terhadap sektor
manufaktur diikuti dengan perdagangan, restoran dan hotel. Dengan keanekaragaman budaya,
sejarah, dan kesenian yang telah dikenal oleh masyarakat luas, termasuk keterbukaan dan
10 Oop.cit, hal.4 11 Soebagyo. Strategi Pengembangan Pariwisata Di Indonesia dalam Jurnal Liquidity Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, hal. 154
5
keramahan masyarakat beserta kekayaan kuliner yang dimiliki dipercaya akan memberi andil besar
bagi tumbuh kembangnya industri pariwisata kota Surakarta ke depan.
Melalui modal berbagai potensi budaya yang dimiliki, maka dukungan dalam bentuk non-
materi seperti halnya image, identitas, ataupun merek bagi sebuah kota merupakan hal lain yang
diharapkan mampu membangun sinergi yang konstruktif bagi tumbuh dan berkembangnya Kota
Surakarta. Dengan pengembangan merek daerah menjadi langkah awal untuk mengarahkan daerah
tersebut di masa yang akan datang. Oleh karena itulah pentingnya merumuskan City Branding agar
benar-benar dapat dibedakan dari daerah lain sebagai salah satu strategi meraih keunggulan
bersaing baik di tingkat lokal, regional, bahkan internasional.12
B. Rumusan Masalah
Bagaimana efektivitas implementasi kebijakan City Branding dalam meningkatkan PAD
sektor pariwisata Pemerintah Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Studi ini mendokumentasikan bagaimana Pemda menjalankan kebijakan dengan
mengikuti wacana publik dengan mengelola city branding. Dalam hal ini, City
Branding adalah strategi pemasaran daerah yang tidak secara langsung bermuara pada
peningkatan PAD. Kalau pun City Branding akhirnya nanti dapat meningkatan PAD
dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah yang lain, ada rantai ekonomi yang
panjang yang harus dikelola, dimana rantai ekonomi yang dimaksud salah satunya
bertumpu pada sektor pariwisata. Dalam rangka tersebut melalui penelitian ini akan
terlihat sejauh mana efektivitas pengelolaan –implementasi- kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan PAD, yang tentunya dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan itu sendiri.
12 Ibid, hal.24
6
D. Review Literatur
Penelitian sebuah kebijakan (publik) merupakan inti dari lokus kajian ilmu politik dan
pemerintahan. Meski dalam hal ini, begitu banyak jenis penelitian serupa yang menjadikan
khasanah keilmuan – politik dan pemerintahan – terasa kian kaya dan dinamis. Umumnya,
penelitian sebuah kebijakan berusaha untuk fokus pada proses inkremental berkaitan dengan
formulasi, evaluasi, maupun evaluasi sebuah kebijakan. Begitu juga dalam hubungannya
dengan konstelasi politik yang tentunya tidak bisa dipisahkan dalam diskursus kebijakan itu
sendiri.
Pada kesempatan ini, peneliti berusaha menempatkan penelitian ini sebagai
pengkayaan perspektif dengan menempatkan proses normatif dari sebuah kebijakan yang
dihasilkan oleh sebuah pemerintah daerah. Adapun yang menjadi pembeda adalah fokus
kajian yang berusaha melihat proses inovatif yang relatif jarang dikaji dalam lokus ilmu
politik dan pemerintahan, yakni terkait city branding. Terminologi branding tidak dapat
dipungkiri lekat dengan nomenklatur ekonomi. Seiring dengan dinamika kajian yang kian
kompleks membuat diksi ini (baca; branding) kian populer, khususnya menyangkut
kampanye politik.
Terbukanya keran otonomi daerah telah mendorong kompetisi horizontal antar-daerah
yang berimplikasi pada pilihan sebuah strategi. Branding yang dalam disiplin ilmu
marketing merupakan upaya untuk ‘menjual’ sebuah produk, oleh daerah
dieksperimentasikan menjadi inovasi baru – city branding - dalam bidang pemerintahan.
Nantinya, penelitian ini akan diarahkan pada sejauh mana city branding yang dirumuskan
oleh pemerintah daerah mampu menjadi senjata, melalui upaya pengelolaan dan
implikasinya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD dalam hal ini
merupakan tolak ukur paling riil dan sederhana untuk melihat sejauh mana sebuah
pemerintah daerah berhasil melakukan pembangunan.
7
Penelitian terdahulu yang dilakukan Riyadi (2009) yang berjudul ‘Fenomena City
Branding di Era Otonomi Daerah’, berusaha melihat urgensi city branding bagi sebuah
daerah di tengah gelombang otonomi. Dimana fokus penelitian ini terbatas pada kajian
proses pembentukan city branding secara teoritik, dengan melihat pada filosofi, konteks,
dan tujuan praktisnya.
Kemudian, penelitian berikutnya oleh Devy Malalantang (2009) yang berjudul
‘Branding Manado : Membangunkan Pariwisata Manado Yang Sedang Tertidur’. Dalam
hal ini fokus penelitian terletak pada aspek praktis dari penggunaan branding terhadap
daerah dipergunakan untuk mendorong pembangunan sektoral (pariwisata) yang dirasa
menjadi keunggulan daerah tersebut.
Berdasarkan referensi-referensi diatas, dapat dilihat bahwa topik penelitian yang
fokus pada kinerja pemerintah daerah dalam hal pengelolaan rantai ekonomi-melalui
pengelolaan city branding- untuk mendorong peningkatan PAD masih relatif langka. Oleh
karena itu melalui penelitian ini, penulis ingin memberikan sumbangsih perspektif dalam
konteks kajian politik-pemerintahan yang diharapkan mampu memperkaya khasanah
keilmuan.
E. Kerangka Teori
E.1 Evaluasi Implementasi Kebijakan Publik
E.1.1 Implementasi Kebijakan
Implementasi merupakan salah satu tahap penting dalam kebijakan karena sebaik apapun
sebuah kebijakan jika tidak mampu diimplementasikan, maka kebijakan tersebut tidak akan mampu
memberikan perubahan. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
sebuah kebijakan, baik yang bersifat individual, kelompok, maupun institusi.
Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah suatu tahapan yang penting,
bahkan jauh lebih penting daripada formulasi kebijakan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan hanya akan
8
menjadi dokumen jika tidak diimplementasikan.13 Pelaksanaan kebijakan dalam hal ini bukanlah
sebuah proses yang sederhana, sebab kendala yang sering muncul biasanya akan terlihat pada
tahapan implementasi ini. Implementasi dari suatu program dalam hal ini melibatkan upaya-upaya
dari policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan
pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.14
Oleh Van Horn dan Van Meter, implementasi dimaknai sebagai ‘those action by public an
private individual (or groups) that are directed at the achievement of objectives set fort in prior policy
decisions. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pada dasarnya sebuah kebijakan baru
dapat diimplementasikan jika tujuan sudah ditetapkan sebelumnya kemudian dioperasionalkan
dalam bentuk tindakan nyata.15
Pengertian Van Horn dan Van Meter diatas dikuatkan oleh Ripley dan Franklin yang
menyatakan bahwa implementasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan sehingga dampak yang diharapkan bisa terwujud dan aktivitas implementasi ini dilakukan
oleh berbagai aktor.16
Sedangkan menurut Grindle, implementasi merupakan pernyataan-pernyataan untuk
mencapai tujuan, sasaran, dan sarana yang diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan.17 Dalam konsep ini –
oleh Grindle- implementasi adalah upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan
dalam formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul sebagai
akibat dari aktivitas pemerintah.
Konsep besar implementasi pada dasarnya menyatakan tujuan kebijakan menjadi lokus yang
harus diraih. Implementasi berusaha merupakan upaya sederhana terkait apa yang akan dicapai
13 Udoji dalam Abdul Wahab. 1997. Hal,59 14 AG Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal,87 15 Dalam Wahab,1997.;Hal, 65 16 Budi Winarno .2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Presindo hal, 145 17 Merilee Grindle.1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey : Princeton.
9
menjadi apa yang ingin dilakukan. Secara prinsip, implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya.18
Dengan implementasi kebijakan mentransmisikan antara tujuan kebijakan dan realisasinya
dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi menurut Grindle adalah membentuk suatu
kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari
suatu kegiatan pemerintah.
Tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system” di mana sarana-
sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang
diinginkan. Kebijakan kemudian diterjemahkan ke dalam program-program tindakan yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan.19
Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan,
program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.
Proses implementasi dalam hal ini tidak hanya dibayangkan sebagai domain administratif yang nir-
politik, karena pada kenyataannya setiap aktor yang terlibat dalam proses implementasi memiliki
hak yang sama untuk memainkan perannya.
Adapun keberhasilan kebijakan nantinya akan ditentukan oleh banyak faktor, dan masing-
masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain sehingga menciptkan sebuah sistem
tertentu. Faktor-faktor tersebut determinan untuk menentukan keberhasilan, sekaligus
berkontribusi terhadap kegagalan suatu kebijakan. Dan keberadaan analisis kebijakan dengan
pengetahuan serta antisipasi terhadap faktor-faktor tersebut akan sangat membantu bagi policy
makers dan policy implementors untuk lebih hati-hati dan bijak dalam bertindak.
E.1.2 Evaluasi Kebijakan
18 Riant D Nugroho. 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta : PT. Gramedia, Hal,88
19 Budi Winarno.2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Presindo hal, 146-147
10
Dari semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah agar dapat diketahui apakah
kebijakan itu sudah dilaksanakan sesuai pedoman pelaksanaan dan mengenai sasaran serta dapat
mencapi tujuan pedoman maka perlu diadakan evaluasi kebijakan. Sebab, dengan evaluasi
kebijakan, kita dapat mengetahui pelaksanaan kebijakan dan pengukuran hasil-hasil yang dicapai.
Pada dasarnya evaluasi kebijakan tersebut bermaksud mengetahui aspek proses pembuatan
kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan, dan efektivitas dampak kebijakan.20
Memang, dalam prakteknya tidak ada batasan yang pasti kapan sebuah kebijakan harus
dievaluasi. Namun umumnya, untuk dapat mengetahui hasil dan juga dampak kebijakan sudah tentu
harus mempertimbangkan rentang waktu tertentu, misalkan saja 5 tahun setelah kebijakan tersebut
diimplementasikan. 21 Dalam melakukan evaluasi, perlu dipertimbangkan model dan karakter
kebijakan itu sendiri, dalama artian semakin strategis suatu kebijakan, maka diperlukan tenggang
waktu yang lebih panjang untuk melakukan evaluasi. Sebaliknya, semakin teknis dari seuatu
kebijakan atau program, maka evaluasi dapat dilakukan dalam kurun waktu yang relatif lebih cepat
semenjak diterapkannya kebijakan.
Sedangkan untuk pengertian evaluasi itu sendiri seperti yang dirumuskan oleh William Dunn
adalah prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk menghasilkan aksi di masa lalu dan atau
masa depan.22Muhadjir Darwin dan Wahtu Nurhadjadmo (1997;12) berpendapat bahwa evalusi
kebijakan dimaknai sebagai proses untuk mneilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil
yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan target kebijakan yang
ditentukan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi kebijakan adalah
merupakan penilaian terhadap serangkaian tindakan yang telah direncanakan, diputuskan, dan
dilakukan; dimana tujuan dilakukannya evaluasi untuk mengetahui sejauh mana kebijakan mencapai
20 Samodra Wibawa.1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal,9 21 AG Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal, 119 22 Muhadjir Darwin.1998. Pengantar Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal, 132
11
tujuan yang telah ditetapkan sebagai pertimbangan dalam peninjauan dan peningkatan pelaksanaan
kebijakan pada masa yang akan datang. Namun prakteknya, masih terdapat kerancuan dalam
membedakan aktivitas pemantauan (monitoring) dan evaluasi itu sendiri. Jika monitoring
didefinisikan sebagai aktivitas untuk menjaga agar proses kebijakan tidak melenceng dari desain
yang sudah digariskan, maka aktivitas evaluasi lebih didefiniskan sebagai aktivitas untuk menilai
efektivitas kebijakan dalam mencapai tujuan kebijakan yang dikehendaki.23
Secara keseluruhan evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi.24 Pertama, fungsi eksplanasi,
melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi
tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Disini evaluator dapat
menemukan variabel-variabel kebijakan yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan suatu
program. Dengan demikian evaluator dapat mengidentifikasi tujuan-tujuan apa yang tercapai,
mengapa tujuan itu harus dicapai dan bagaimana mencapainya.
Kedua, fungsi kepatuhan, dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku,
baik birokrasi maupun pelaku lain, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh
kebijakan. Ketiga, fungsi auditing, melalui evaluasi model ini dapat diketahui apakah output benar-
benar sampai ke tangan kelompok sasaran maupun penerima lain yang dimaksudkan oleh pembuat
kebijakan.25 Dan yang terakhir adalah akunting, dimana fungsi evaluasi ini untuk mengetahui apa
akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.
Dalam prakteknya, seorang analis –atau evaluator- kebijakan seringakali menemui beberapa
kendala. Diantaranya adalah tujuan-tujuan dalam kebijakan publik jarang dilakukan –ditulis- secara
cukup jelas, dalam artian seberapa jauh tujuan-tujuan kebijakan publik itu harus dicapai.
Pengembangan ukuran-ukuran yang tepat dan dapat diterima semua pihak pada dasarnya sangat
sulit dilakukan.
23 Purwo Santoso. 2010. Modul Pembelajaran : Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta : POLGOV. Hal, 153 24 Dunn dan Ripley dalam Samodra. 1994;10-11
25 Penerima lain dalam hal ini adalah individu, keluarga, birokrasi desa, dan lain-lain sesuai dengan jenis dan karakteristik program kebijakan.
12
Kesulitan yang lain –dan yang paling besar- dalam melakukan evaluasi kebijakan adalah
memastikan dampak yang dihasilkan kebijakan bukan karena kebetulan atau diibaratkan menang
lotere. Kebijakan ini terkait erat dengan problem-problem metodologis yang dihadapi dalam
pengambilan keputusan kebijakan, yaitu26 :
1. Keragaman dimensi dari berbagai tujuan kebijakan
2. Informasi yang sangat tidak lengkap
3. Keragaman alternatif untuk bisa menentukan dampak-dampak yang ditimbulkan dari tiap
alternatif
4. Keterbatasn yang beragam dan, bisa jadi, saling berkonflik satu sama lain
5. Kebutuhan akan kesederhanaan dalam menggambarkan dan mempresentasikan
kesimpulan di tengah-tengah kompleksitas-kompleksitas di atas.
Sedangkan terkait dengan aktivitas evaluasi umumnya diidentifikasi menjadi dua jenis.27
Pertama, evaluasi implementasi yang berusaha melihat proses pelaksanaan/implementasi, yang
terkait adalah pelaksana dan bagaimana pelaksanaanya. Dan kedua, adalah evaluasi dampak
kebijakan (impact evaluation) dengan memberi perhatian lebih besar pada output, outcome dan
dampak (impact) kebijakan dibandingkan pada proses pelaksanaannya.
Sedangkan, untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa
indikator. Seperti yang ditawarkan oleh Willian Dunn bahwasannya aktivitas evaluasi ditujukan untuk
melihat kondisi-kondisi ; efektivitas, kecukupan, pemerataan, responsifitas, dan ketepatan.28 Terkait
dengan penelitian ini sendiri kebutuhan untuk melihat seberapa jauh efektivitas kebijakan lebih
ditekankan, dimana hal tersebut nantinya didasarkan pada besaran dampak –impact- yang dirasakan
oleh pemerintah daerah. Dimana dalam prosesnya tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang akan
dijelaskan dalam sub bab berikutnya.
26 Oop.cit, hal. 153-154
27 Riant D Nugroho. 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta : PT. Gramedia, Hal, 26 28AG Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal, 126
13
E.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Evaluasi Implementasi Kebijakan
Secara konseptual, aktfitas implementasi kebijakan berada dalam domain penting kebijakan,
yakni politik dan administratif. Hal ini memiliki konsekuensi tersendiri bahwa dengan cara pendang
yang demikian, evaluasi kebijakan nantinya diarahkan untuk turut mempertimbangkan faktor-faktor
–khususnya politik- baik internal maupun eksternal kebijakan itu sendiri. Dengan kata lain, kebijakan
publik yang nyatanya menjadi domain kerja birokrasi menjadi mustahil dikatakan hampa politik
seperti yang diasumsikan dalam birokrasi rasional ala Weber.
Ortodoksi kajian kebijakan publik, telah dikenal beberapa konsep implementasi kebijakan
beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sebut saja model Grindle, Van Horn & Van Meter,
Mazmanian & Sabatier, maupun Edwards III, dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya.29
Konteks penelitian ini sendiri, nantinya akan menggunakan model yang ditawarkan oleh
George Edwards III dengan asumsi bahwa evaluasi terhadap implementasi kebijakan dipengaruhi
oleh empat variabel, yakni : komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Variabel
tersebut nantinya akan bermanfaat untuk melihat sejauh mana efektifitas kebijakan dengan
melakukan analisis terhadap kondisi-kondisi yang melingkupi implementasi kebijakan itu sendiri.
Gambar 1.1
Model Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III
Sumber : AG Subarsono (2006;91)
29 Lihat Nugroho (2007); Subarsono (2006); dan Wibawa (1997).
komunikasi
Struktur birokrasi
Sikap (disposisi)
Sumber daya
implementasi
14
Dalam model ini, kegiatan implementasi kebijakan dimulai dari dua masalah yang mendasar
yaitu, terkait kondisi-kondisi seperti apa yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan dan juga
hambatan yang menyebabkan kegagalan. Untuk membantu dalam menjawab permasalahan
tersebut, oleh Edwards III digunakan empat variabel penting dalam implementasi kebijakan.
Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut.30
Pertama, komunikasi. Prasyarat pokok bagi impelemntasi kebijakan yang efektif bahwa
implementor kebijakan haruslah paham mengenai apa yang harus dilakukan. Untuk itulah segala
aspek baik dalam bentuk perintah atau petunjuk harus disampaikan secara cermat dan tepat,
sehingga nantinya mudah dipahami dan sebaliknya tidak membingungkan. Pada dasarnya faktor
komunikasi ini nantinya sebagai proses transmisi baik dalam tataran yang substansial maupun teknis
dalam operasionalisasi kebijakan.
Kedua, adalah sumber daya. Ketersedian sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan
kebijakan sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan kebijakan. Adapun sumber daya yang
pokok dan harus ada biasanya meliputi kapasitas sumber daya kewenangan, manusia maupun daya
dukung anggaran maupun infrastruktur penunjang lainnya.
Ketiga, disposisi (kecenderungan). Kecenderungan yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan
merupakan faktor yang relatif dominan dalam fase impelentasi kebijakan. Karena dalam prosesnya,
kecenderungan ini nantinya akan bekerja mempengaruhi pola pikir dan tindakan dari pelaksana
kebijakan itu sendiri. Sehingga visi atau interpretasi biasanya menjadi penjelas dalam menjawab pola
kerja dari implementasi kebijakan itu sendiri.
Dan yang terakhir adalah struktur birokrasi. Kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan birokrasi, begitupun sebaliknya. Karena memang hal tersebut –kebijakan publik-
merupakan domain kerja dari birokrasi itu sendiri. Untuk itulah peran variabel ini sangat penting
untuk menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.
30 Budi Winarno. 2008. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Presindo hal, 175
15
E.2 City Branding Sebagai Strategi Menggalakkan Pariwisata
Potensi daerah ibarat sebuah produk atau jasa yang dikemas dan diberi merk
(branding) agar memiliki ciri yang dapat membedakan dengan potensi daerah lainnya. Hal
ini agaknya menjadi dasar yang cukup rasional, karena bersamaan dengan era otonomi
daerah berbagai daerah kemudian berlomba-lomba menonjolkan identitasnya sehingga
bisa merasa berbeda dari daerah lain. Branding yang baik akan dapat membuat sebuah
daerah ‘lebih diinginkan’, sebaliknya semakin buruk branding sebuah daerah maka hal ini
membuatnya semakin ditinggalkan persaingan.31
City Branding adalah upaya membangun identitas tentang sebuah kota. Identitas lebih
banyak berkaitan dengan apa yang dipikirkan seseorang terhadap orang lain, apa yang
dipercayai, dan apa yang seseorang lakukan. Namun, identitas bukanlah sesuatu hal yang
sifatnya given atau taken for granted. Identitas dalam hal ini adalah sebuah konstruksi,
sebuah konsekuensi dari sebuah proses interaksi antar manusia, institusi, dan praksis
dalam kehidupan sosial. 32 Identitas tidak hanya dipengaruhi oleh peristiwa, aksi, dan
konsekuensi masa lalu, tetapi juga dipengaruhi bagaimana sebuah peristiwa atau aksi
diinterpretasikan secara retroaktif.
Dalam upaya membangun sebuah identitas, penggunaan merk atau branding bagi
sebuah kota merupakan strategi tersendiri. Merk atau brand bukan hanya sebuah
rangkaian kata atau gambar yang ditempel pada produk ataupun jasa tanpa sebuah makna
yang mengikutinya. Brand atau merk, secara tradisional dapat diartikan sebagai nama,
terminologi, logo, simbol atau desain yang dibuat untuk menandai atau mengidentifikasi
produk yang ditawarkan kepada konsumen Sebuah brand atau merk merupakan identitas
31 Julia Winfield Pfefferkom.2005.The Branding of Cities:Exploring City Branding and The Importance of Brand Image.Syracuse University. Hal, 8 32 Ibid, hal.14
16
yang unik dari sebuah produk atau jasa di dalam benak konsumennya, yang mencerminkan
tingkat perbedaan dari kompetitor.33
Sedangkan menurut Anholt, branding adalah proses mendesain, merencanakan dan
mengomunikasikan nama dan identitas dengan tujuan untuk membangun atau mengelola
reputasi. Dalam pengertian ini, branding merupakan proses deliberasi memilih dan
menghubungkan atribut-atribut tersebut karena mereka diasumsikan memberi nilai
tambah pada produk atau jasa.
City Branding dapat dipandang sebagai sebuah pendekatan yang tepat untuk
mempromosikan suatu tempat/wilayah jika melihat dunia sebagai pasar global dan suatu
tempat/wilayah merupakan sebuah produk atau sebuah perusahaan yang sedang bersaing
dengan tempat/wilayah lainnya dalam upaya untuk menjaga atau mempertahankan posisi
mereka di tengah persaingan. Hal ini menjadi relevan di tengah globalisasi dengan
paradigma pembangunannya yang dari orientasi local orientation ke global-cosmopolit
orientation.34
Fenomena serupa –global cosmopolit orientation- agaknya berlaku pula dalam
memahami perkembangan sektor pariwisata di era kekinian. Hal ini memang beralasan,
mengingat prospek dari sektor ini dimana pariwisata merupakan industri terbesar dan
terkuat dalam pembiayaan ekonomi global. Sektor pariwisata disebut akan menjadi
pendorong utama perekonomian dunia pada abad ke-21. Oleh karenya banyak negara
maupun daerah yang berlomba mengembangkan industri pariwisata.
Sebagai bangsa yang memiliki tingkat segregasi, baik alam, sosial, dan budaya yang
tinggi,Indonesia berpotensi menjadi primadona sektor pariwisata. Setidaknya dengan penduduk
yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau, 470 suku bangsa, 19 daerah hukum adat, dan tidak kurang 33 Tony Yeshin.2004.Integrated Marketing Communications,The Holistic Approach. Oxford :
ElseiverButterworth-Heinemann.hal.15 34 Hermawan Kartajaya & Yuswohady.2005. Attracting Tourist, Traders, and Investors : Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, hal.3
17
dari 300 bahasa, serta ragam –warisan- budaya yang tinggi merupakan aset utama yang dapat
dikemas sebagai produk wisata. Atas realitas dan prospek yang dimiliki, maka secara khusus
Indonesia sejak tahun 2009 memilik Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
Melalui UU ini kegiatan pariwisata dipahami sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta mutidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan
setiap orang dan negara serta interaksi anatara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama
wisatawan, pemerintah, pemda, dan pengusaha. Dari definisi tersebut setidaknya dapat diambil
benang merah bahwa sektor pariwisata merupakan industri yang multidimensi sekaligus
kompleks. Jauh sebelum itu, hal ini dikemukan oleh Pendit (1990) disebutkan bahwa pariwisata
merupakan sektor yang kompleks, yang juga melibatkan industri-industri klasik, seperti kerajinan
tangan dan cinderamata, serta usaha-usaha penginapan, restoran dan transportasi. Sekaligus
pariwisata itu sendiri mempunyai lingkup yang luas, meliputi wisata bahari (beach and sun
tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam (natural tourism), wisata budaya
(cultural tourism), dan perjalanan bisnis (business travel)35. Oleh karena itu sektor pariwisata di
era kekinian memang diakui memberikan prospek cerah bagi pengembangan perekonomian, baik
di tingkat nasional maupun daerah. Bahkan secara pragmatis adanya kebijakan terkait
pengelolaan sektor pariwisata di daerah-daerah memang diarahkan dalam rangka meningkatkan
pendapatan daerah.
Itulah mengapa adanya City Branding sebagai strategi pengemasan identitas daerah-
sekaligus promosi- agaknya selaras dengan perkembangan sektor pariwisata yang memang
menjanjikan. Ibarat sebuah produk, pariwisata membutuhkan dukungan marketing yang
komprehensif dimana di dalamnya mencakup informasi akan potensi dan keunggulan yang
dimiliki. Sehingga dalam praksisnya, keduanya dapat berjalan sinergis sesuai dengan visi dan
tujuan yang dicanangkan oleh pemerintah daerah.
E.3 4 City Branding Sebagai Strategi Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 35 (lihat Pendit,1990; Nugroho,2010)
18
Dalam rangka menuju persaingan, di Indonesia tren penggunaan City Branding
tengah menjadi primadona di berbagai daerah. Termasuk dalam rangka persaingan
pariwisata di daerah yang tengah menjadi sektor unggulan Terlebih dengan potensi
ekonomi dan pariwisata yang dimiliki di tiap-tiap daerah, city branding merupakan
penonjolan akan sebuah kebanggaan sekaligus identitas yang membedakan satu daerah
dengan daerah lainnya. Tindakan-tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu
tempat/wilayah pada saat ini atau nanti, termasuk cara promosinya, pariwisatanya, cara
mereka bersikap dalam lingkup domestik maupun asing, cara mereka merepresentasikan
identitas budayanya, serta bagaimana mereka ditampilkan dalam media dunia
memberikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan suatu wilayah dalam scope
internal maupun eksternal.
Citra kota memiliki kekuatan dalam membentuk merk untuk sebuah kota,
mempengaruhi bahkan membentuk kota itu sendiri. Dan merk yang melekat pada kota
sangat bergantung pada identitas kota. Setiap kota akan memiliki identitasnya, kota
memiliki emosinya sendiri-sendiri, sebuah dialektis antara masyarakat dan fisik kotanya
(Murfianti, 2010). Ini seperti halnya sebuah mata uang dengan dua sisinya, bahwa
pembangunan fisik kota sekalipun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari masyarakat dan
budaya yang dimiliki. Membangun fisik (city) pada dasarnya adalah membangun roh dan
jiwa masyarakatnya. Kota yang berhasil membangun identitas yang kuat tidak hanya dari
aspek fisik tetapi juga kehidupan sosial masyarakatnya. Kemampuan kota untuk
mempertahankan karakter dan identitasnya dan bahkan mempengaruhi daerah lainnya
disebut dengan Local Genius.36
Untuk konteks Indonesia saat ini, keterbatasan platform serta strategi dalam
memasarkan sebuah daerah menjadikan pembangunan dan pertumbuhan menjadi sedikit
36 Paulus Hariyono. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta : Bumi Aksara, hal. 89
19
terhambat. Hal ini disebabkan para pemasar daerah masih belum mempunyai sebuah tool
memadai yang dapat mereka gunakan untuk membangun daya saing dan memasarkan
daerah kepada target pasar yang dibidik. Berbagai pengamatan menunjukkan, di tengah
era otonomi daerah ini, banyak para bupati dan para pejabat daerah yang menjadi
bingung karena tak tahu strategi apa yang harus digunakan untuk memasarkan daerah
sehingga mampu berdampak pada peningkatan pendapatan daerah (PAD).
Dalam hal ini, PAD merupakan konsekuensi dari diterapkannya desentralisasi fiskal
dalam semesta otonomi daerah. Artinya, daerah diberikan kewenangan untuk mengelola
anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi.
Sebagai bagian dari proses ekonomi, city branding berorientasi pada pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi. Dalam konteks ini -otonomi daerah- city branding berperan
strategi yang komprehensif untuk menarik masuk akumulasi modal. Kondisi ini
memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk melakukan inovasi-inovasi
yang dapat mendukung kegiatan perdagangan dan investasi. Hal ini berarti, city branding
sebagai produk inovasi diarahkan untuk menciptkan iklim yang kondusif bagi usaha dan
investasi dan selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Seiring dengan semakin terbukanya keran investasi di daerah, maka hal menjadi
peluang bagi Pemerintah Daerah dalam penetrasi di bidang fiskal. Tentunya dengan
kewengan yang dimiliki, manajemen fiskal yang dilakukan harus pula menyesuaikan
dengan potensi yang dimiliki daerah. Upaya manajemen menjadi sebuah keharusan,
mengingat kecenderungan yang terjadi justru dengan adanya otonomi fiskal kian
menyingkirkan pesona investasi akibat ekonomi biaya tinggi. Hal ini seringkali
disebabkan adanya perspesi yang keliru dari elit daerah (Gubernur/Bupati dan DPRD)
tentang konsep desentralisasi sebagai kebebasan dan kewenangan yang luas untuk
memungut pajak dan retribusi demi pemasukan daerah. Motifnya peningkatan PAD
20
tanpa mau bekerja keras dan mengembangkan daya kreasi daerah yang
berkesinambungan. Kondisi semacam ini pada akhirnya justru menciptkan deprivasi
antara kemampuan Pemerintah Daerah dalam menciptakan sumber pajak (tax policy)
dengan potensi yang dimiliki. Terlebih dengan terbatasnya cakupan PAD sebagai
pendapatan yang spesifik membuat faktor inovasi dan kehati-hatian mutlak diperlukan.
Ditinjau dari aspek legal-formal, Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan
pernerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah setelah memberikan pelayanan
tertentu kepada penduduk yang mendiami wilayah yuridiksinya. 37Dalam UU No. 32
Tahun 2004 komponen PAD meliputi, hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang sah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam
mendukung dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan dan yang
akan dilaksanakan pada masa mendatang (Mamesah, 1995). Hal ini menujukkan betapa
dengan otonomi daerah kejelian dan juga sensitivitas dalam membaca peluang sangat
dibutuhkan oleh tiap-tiap pemerintah daerah. Tentu kejelian dan sensitivitas harus pula
dibarengi dengan kemampuan (strategi) pemasaran yang cukup jitu.
Upaya memasarkan daerah berarti mendesain suatu daerah agar mampu memenuhi
dan memuaskan keinginan dan ekspektasi pelanggan. Pelanggan daerah dalam hal ini
yang pertama dan utama, tentu saja adalah penduduk dan masyarakat daerah tersebut
yang membutuhkan layanan publik yang memadai. Kedua, adalah TTI (Traders,
Tourist,Investor) baik dari dalam maupun luar daerah. Ketiga adalah talent (SDM
37 Mohammad Riduansyah.Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor). Jurnal Sosio-Humaniora, Vol. 7, No. 2, Desember 2003. Hal, 50
21
berkualitas), developer, dan organizer – disingkat menjadi TDO – dan seluruh pihak
yang memiliki sumbangsih dalam membangun keunggulan bersaing suatu daerah.
Melalui city branding diharapkan akan menanamkan sebuah citra (positif) terhadap
segmen pasar yang dituju. Citra ini akan mempengaruhi sejauh mana orientasi
pelanggan-atau dalam hal ini TTI – TDO – terhadap potensi investasi dan pengembangan
sebuah daerah. Oleh Kartajaya (2005), model pemasaran daerah (city branding) dapat
ditempuh melalui tiga langkah strategis. Pertama, yakni menjadi tuan rumah yang baik
(be a good host) bagi pelanggan daerah. Kedua, memperlakukan mereka secara baik
(treat your guest properly). Dan terakhir, membangun sebuah ‘rumah’ yang nyaman
bagi mereka (buliding a home sweet home).
Langkah strategis pertama merupakan upaya untuk menarik dan mengakusisi
pelanggan. Untuk menjadi tuan rumah yang baik maka harus terjadi kolaborasi kohesif
antara masyarakat, kalangan bisnis, dan pemerintah daerah (Kartajaya, 2005). Bentuk
kolaborasi semacam ini diperlukan agar aktivitas masyarakat, operasional bisnis, dan
kebijakan pemerintah daerah selaras dan saling menunjang sehingga terbentuk iklim
yang baik yang mampu menarik TTI-TDO.
Yang kedua adalah langkah untuk memuaskan mereka. Memperlakukan TTI-TDO
secara semestinya berati bahwa dibutuhkan kemampuan sebuah daerah untuk
mengidentifikasi keinginan dan ekspektasi mereka, dan secara responsif memenuhi
keinginan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keberadaan dan minat investor
agar mereka betah dan menjalankan aktivitasnya secara baik dan berkelanjutan. Dalam
praksisnya, strategi ini berhubungan dengan kemampuan untuk memperbaiki kondisi
liveability, investability, dan visitability.
Sementara langkah yang terakhir merupakan upaya mempertahankan pelanggan,
maka daerah harus memiliki kemampuan untuk menyediakan wahana penunjang yang
22
memadai bagi aktivitas TTI-TDO. Wahana penunjang dalam hal ini dapat berupa
infrastruktur fisik, seperti halnya telekomunikasi canggih, akses ke pusat-pusat bisnis,
hingga perguruan tinggi untuk menarik orang-orang berbakat.
F. DEFINISI KONSEPTUAL
1. Evaluasi Implementasi Kebijakan
Bahwa keberadaan kebijakan publik sebagai alat pelayanan terhadap masyarakat
maka fase implementasi haru dipastikan mampu menjangkau tujuan dan output kebijakan
yang ingin dicapai. Implementasi kebijakan dalam prakteknya merupakan cerminan
keinginan dan konsistensi pemerintah sebagai pelayan masyarakat dengan menerapkan
standar kerja yang jelas dan terarah. Sementara itu, dalam prosesnya sebuah kebijakan
niscaya akan mengalami distorsi dalam implementasinya. Oleh karena itu keinginan untuk
selalu melakukan evaluasi kebijakan dalam hal ini adalah manifestasi dari konsistensi
pemerintah untuk memastikan bahwa tujuan kebijakan dapat tercapai dengan menggunakan
ukura-ukuran tertentu.
2. Pengelolaan City Branding
Dengan adanya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan daerah membuat
persaingan antar daerah menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena itu
dibutuhkan sebuah strategi yang komprehensif guna menciptakan sebuah citra daerah yang
kondusif bagi iklim investasi dan pembangunan. City branding tidak lain adalah sebuah
upaya menanamkan persepsi terhadap target pasar sebuah daerah dengan mengidentifikasi
ciri khas serta potensi yang dimilki yang pada akhirnya akan menciptakan sebuah identitas
daerah. Identitas tersebut diperlukan sebagai upaya mendeferensiasi bahwa sebuah daerah
23
paling pantas dan baik sebagai destinasi dan investasi. Hal ini kemudian dijabarkan dalam
bentuk produk hukum pemerintah daerah, yang dijadikan pedoman bagi pengelolaan city
branding.
3. Pendapatan Asli Daerah
Sektor pariwisata tidak dapat dipungkiri tengah menjadi primadona bagi
pengembangan –khususnya- ekonomi daerah. Hal ini lumrah karena pengelolaan sektor ini
pada dasarnya membutuhkan treatment khusus. Pembangunan pariwisata tidak lain adalah
kegiatan mengelola atraksi (attraction) menjadi potensi sekaligus aset dalam kerangka
sistem pariwisata dimana melibatkan banyak stakeholders serta didukung dengan
pengembangan infrastruktur pendukung, sehingga nantinya dapat diarahkan sebagai sumber
pendapatan asli –PAD- bagi sebuah daerah.
G. DEFINISI OPERASIONAL
Sebagai produk inovasi Pemda, city branding merupakan upaya pengembangan sektor
ekonomi daerah. Namun paradigma pembangunan ekonomi daerah kontemporer menekankan
pada pentingnya ketersediaan daya dukung yang memudahkan aktivitas pengelolaan city
branding itu sendiri. Maka dalam kerangka evaluasi implementasi kebijakan, penting untuk
dilihat kesesuaian arah kebijakan –dalam tujuan dan output- nantinya apakah efektif atau tidak
dalam pembangunan sektor pariwisata periode tahun 2007-2010, sehingga untuk memudahkan
dalam analisis evaluasi penelitian ini menggunakan tipe impact evaluation, dengan melihat
sejauh mana efektifitas dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan kebijakan. Tolak ukur yang
digunakan untuk evaluasi kebijakan implementasi adalah :
a) Disposisi
Pada fase ini akan dilihat peran kepemimpinan politik daerah dalam
menjembatani pembangunan daerah, baik dilevel gagasan maupun tindakan.
b) Komunikasi
24
Komunikasi dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai proses sosialisasi yang
dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan stakeholder terkait.
c) Sumber daya
Tolak ukur sumber daya dalam penelitian ini disederhanakan menjadi dua,
yakni dengan melihat sumber daya berupa kewenangan dan juga anggaran.
Faktor Struktur Birokrasi, dalam penelitian ini tidak digunakan dengan pertimbangan
bahwa hal ini dapat terjelaskan pada poin ketiga –sumber daya- dengan mengelaborasi
regulasi maupun hubungan antar organisasi, baik di dalam birokrasi itu sendiri maupun
dengan organisasi di luar birokrasi.
Sedangkan tolak ukur untuk dalam melihat komponen PAD sektor pariwisata adalah
sebagai berikut :
a) Pajak Pariwisata
Pajak pariwisata dalam hal ini bisanya dihitung dengan banyaknya tingkat
okupansi –hunian- hotel maupun restoran, yang prosentasenya telah
ditentukan oleh pemerintah daerah. Semakin menarik sebuah daerah, akan
banyak wisatawan yang datang dan sekaligus merupakan peluang bagi
meningkatnya hunian hotel sebagai industru pendukung yang outputnya tentu
saja pada akslerasi pajak yang diterima daerah.
b) Retribusi Pariwisata
Diukur dengan melihat jumlah penerimaan yang diterima daerah sebagai
kontraprestasi langsung atas pelayanan pariwisata yang diberikan. Retribusi
berasal dari insentif obyek wisata yang dikenakan kepada wisatawan.
Adapun urutan komponen tolak ukur diatas tentunya spesifik yang berhubungan
langsung dengan aktivitas pemerintah dalam pengelolaan city branding sekaligus dalam
rangka menggiatkan pembangunan di sektor pariwisata kota Surakarta.
25
G. METODE PENELITIAN
G. 1 Jenis Penelitian
Dalam sebuah penelitian diperluakan metode sebagai alatnya. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metodologi kualitatif dengan tujuan untuk lebih menggali lebih dalam sebuah
fenomena yang ada. Studi Kasus sebagai bagian dari metode ini pun dalam penelitian ini dipilih guna
mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam dari proses pengelolaan city branding yang
dilakukan Pemkot Surakarta.
Studi Kasus sebagai metode yang diturunkan dari metodologi intepretif ini diharapkan dapat
membantu dalam memperoleh data dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk selanjutnya
diinformasikan pada khalayak dalam bentuk temuan maupun kesimpulan penelitian. City branding
sebagai bagian dari strategi pemasaran belakangan memang tengah digemari oleh banyak
Pemerintah Daerah. Sebagai bagian dari rantai ekonomi, city branding mewujud sebagai investasi
non fisik –dalam bentuk slogan- yang bertujuan mencipatkan sebuah persepsi (image) terhadap
target pasar Pemda. Dengan persepsi tersebut, diharapkan arus modal dan investasi akan masuk ke
daerah, dan pada gilirannya akan berdampak pada suplai fiskal daerah dalam bentuk Pendapatan
Asli Daerah (PAD), baik melalui pajak, retribusi, maupun lain-lain pendapatan yang sah. Dalam hal
ini, kelebihan studi kasus akan memfokuskan penelitian pada obyek kajian tanpa harus melebar pada
hal-hal diluar obyek tersebut. Sekaligus, melalui metode ini peneliti membatasi aktor-aktor yang
akan dilibatkan dalam penelitian. Karena menurut Berg, studi kasus adalah metode yang secara
sistematis menggali informasi tentang seseorang, setting sosial, peristiwa, atau kelompok yang
kemungkinan peneliti untuk mengerti bagaimana proses tersebut berlangsung dan berfungsi (Yin,
2003).
Terpilihnya case study atau studi kasus sebagai metode penelitian ini tentunya didasarkan pada
kebutuhan-kebutuhan peneliti dalam mengumpulkan data yang akan berpengaruh pada tahap
26
penganalisisan data. Keterbatasan waktu penelitian yang tersedia menjadi salah satu faktor
mengapa peneliti memilih metode ini dalam penelitian, hal tersebut berkaitan dengan sifat case
study yang cenderung tidak membutuhkan waktu penelitian yang lama seperti halnya yang
diperlukan oleh etnografi (Buingin 2008: .22). Alasan lain peneliti menggunakan studi kasus dalam
pengolahan data tak lain adalah kelebihan dari studi kasus yang menurut Black dan Champion
mengindikasikan keluwesan dalam pengumpulan data, penerapannya yang dapat dilakukan dalam
banyak lingkungan sosial serta kesempatan untuk menguji teori (Buingin 2008: 23). Keluwesan yang
dimasudkan disini adalah multi sumber bukti atau sumber keterangan yang melibatkan lebih dari
satu orang ataupun satu pihak. Selain itu, keluwesan juga diperlukan ketika pengumpulan data yang
membutuhkan berbagai cara dalam mengumpulkannya, seperti wawancara, observasi serta tinjauan
pustaka.
Mengingat dalam pertanyaan penelitian yang melihat efektifitas kebijakan pariwisata dari tahun
2006-2010. Maka penelitian ini menggunakan deret waktu (time series), untuk melihat dinamika
pengelolaan kebijakan publik yang terjadi.
Adapun data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yakni apa yang disebut dengan
data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti
berdasarkan pengamatan dan juga wawancara langsung di lapangan. Sumber primer ini diperoleh
dengan melalui wawancara indepth interview dengan intansi-intansi pemerintah terkait, khusunya
menyangkut dinamika dalam pengelolaan City Branding. Sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh secara tidak langsung , yang didapatkan peneliti dengan berbasisikan pada data yang
berupa dokumen-dokumen terkait yang mendukung jalannya penelitian. Data ini berupa dokumen
perencanaan pembangunan daerah, PAD dari sisi pajak dan juga retribusi daerah yang berkaitan
dengan pariwisata yang menjadi basis dari pengelolaan city branding tersebut.
Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah berbagai macam informasi yang didapat
berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan narasumber pihak – pihak yang dinilai secara
langsung terlibat dalam masalaha yang sedang diteliti. Sementara kebutuhan akan data sekunder
27
dapat dilakukan dengan melakukan telaah teoritis terhadap sejumlah literatur, baik itu yang
berwujud penelitian, jurnal, surat kabar, maupun dokumen – dokumen terkait yang dapat
membantu peneliti untuk menganalisis temuan yang ada di lapangan yang dibktikan dengan
keberadaan dari data primer yang telah diperoleh sebelumnya.
G. 2 Teknik Pengumpulan Data
G.2.1 Sumber Data
Lazimnya penelitian ilmiah, dua pilahan besar menjadi sumber data atas penelitian ini yakni
data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara
melalui metode indepth interview dengan instansi pemerintahan daerah terkait yang merupakan
bagian dari pemangku kepentingan tata kelola pemerintahan. Adapun instansi-instansi tersebut
meliputi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, Dinas Pendapatan Pengeloaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Perhimpunan Hotel
dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang Surakarta, Association of The Indonesia Tours and Travel
Agencies (ASITA) chapter Surakarta, dan instansi-instansi lain yang terkait. Data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari kajian dokumen berupa literatur pendukung, dokumen Rencana
Pembangunan Daerah, dokumen rincian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan, lain-lain dokumen yang
kiranya mendukung dalam menghasilkan data penelitian.
G.2.2 Teknik Analisa Data
Sejak pengumpulan data itu pula, maka akan dimulai pula mencari arti peristiwa, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan
proposisi.38
Setelah data-data diperoleh, akan dilakukan analisis. Pertama dimulai dengan pereduksian
data. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis.
Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang dibuang, pola-pola
38 Mustika Zed (2004), Metode Penelitian Kepustakaan.. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal 57
28
mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita apa yang sedang berkembang,
semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data
secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.39
Pembuatan kesimpulan pun akan dilakukan berdasarkan alur kejadian yang sudah
diruntutkan sehingga rumusan masalah yang ditulis dalam penelitian ini dapat terjawab. Bahkan
dimungkinkan sejak pengambilan data.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan dibagi kedalam lima bab. Bab pertama memuat latar belakang, rumusan
masalah, serta tujuan dari penulisan ini. Dalam bab ini pula dipaparkan teori mengenai arti penting
kehadiran city branding bagi sebuah daerah sebagai sebuah strategi persaingan menuju peningkatan
PAD.
Bab kedua berisi tentang Sayembara pencetusan City Branding ‘Solo The Spirit of Java’.
Bab ketiga akan ditulis tentang City Branding dan Gairah Pengembangan Pariwisata Daerah.
Bab keempat akan ditulis analisis tentang Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas
Kebijakan.
Bab lima akan ditutup dengan kesimpulan dari penulis.
39 Ibid, hal. 16