Upload
nuruldr
View
215
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ghj
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indikator kinerja pembangunan di suatu wilayah berkaitan dengan
pembangunan sumber daya manusia ditetapkan oleh UNDP (United
Nations Development of Population) yaitu dengan sebutan HDI (Human
Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Aspek
kesehatan terkait dengan IPM ini, indikator utama yang diukur adalah
Angka Harapan Hidup. Angka harapan hidup dipengaruhi oleh Angka
kematian bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan faktor-faktor
lain berkaitan erat dengan resiko kematian seperti Angka Kematian Ibu
(AKI), Angka Kematian Balita (AKABA) dan Angka Kematian Kasar
(AKK) (Dinkes Kabupaten Cirebon, 2011).
Dalam literatur demografi, AKI merupakan indikator yang
menunjukkan banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama
42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat
persalinan yang disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya,
dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup. Karena
itu, lonjakan AKI yang cukup tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh hasil
SDKI-2012 merupakan peringatan serius buat pemerintah (BKKBN,
2011).
Keberhasilan pembangunan di suatu negara dan wilayahnya tidak
terlepas dari pembangunan di bidang kesehatan, sejalan dengan target
Sasaran Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals
(MDGs) terdapat 5 (lima) dari 8 (delapan) diantaranya merupakan sasaran
pembangunan kesehatan. Fokus prioritas Pembangunan Kesehatan
menurut pemaparan Menteri Kesehatan dalam Simposium Nasional
(JHCC,2010) adalah: 1. Peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita; 2.
Perbaikan status gizi masyarakat; 3. Pengendalian penyakit menular serta
penyakit tidak menular; 4. Penyehatan lingkungan; 5. Pemenuhan,
pengembangan, dan pemberdayaan SDM kesehatan; 6. Peningkatan
2
ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, keamanan; 7. Mutu dan
penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan; 8. Pengembangan
sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas); 9. Pemberdayaan
masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan; dan 10.
Peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier (Dinkes
Kabupaten Cirebon, 2011).
Indonesia tidak mampu mencapai Target MDGs dalam hal
Kesehatan Ibu. Berdasarkan hasil survei Demogafi dan Kependudukan
Indonesia (SDKI) 2012, terdapat kenaikan angka kematian ibu (AKI) yang
cukup drastis dari 228 per 100 ribu kelahiran menjadi 359 per 100 ribu
kelahiran. Waktu untuk pencapaian target MDGs tinggal 1 tahun 7 bulan.
Rasanya tidak mungkin dalam waktu yang terbatas , kita dapat mencapai
target 118 per 100 ribu kelahiran,” papar Tb Rachmat Sentika, staf ahli
Menko Kesra Bidang MDGs (Evie, 2014).
Saat ini, Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang berkontribusi
besar terhadap tingginya Angka Kematian Bayi di Indonesia. Hal ini
dikarenakan jumlah penduduk di Jawa Barat juga besar. Menurut data
Laporan Program Kesehatan Anak Provinsi Jawa Barat Tahun 2010 –
2012, jumlah kematian neonatus yang dilaporkan di Jawa Barat mencapai
angka 3.624 dan kematian bayi mencapai 4.650 (UNPAD, 2013).
Data Kemenkes menyebutkan, penyebab kematian antara lain
perdarahan, infeksi dan tekanan darah tinggi (eklampsi). Ketiga penyebab
tersebut sesungguhnya bisa dicegah jika diketahui sejak dini dengan gejala
bengkak, pertambahan berat badan ibu yang berlebihan, hipertensi dan
bercak perdarahan pada trisemester terakhir.
Analisis lain terkait tingginya AKI ini ternyata 82 persen kematian
terjadi pada usia muda, kurang dari 15 tahun dan diantara 15-20 tahun. Hal
ini ditengarai , karena tingginya kawin muda dan perilaku seksual remaja
yang bergeser lebih muda, seperti umur menstruasi pertama 10-11 tahun,
77 persen perempuan usia 15-24 tahun sudah punya pacar dan perilaku
pacaran semakin membahayakan.
3
Penyebab lain tingginya AKI adalah kualitas hidup perempuan
yang rendah, rata-rata pendidikan rendah, derajat kesehatan dan gizi yang
rendah, anemia, kurang zaat besi, pendek dan stunting. Menurut
Rachmaat, infrastruktur dipastikan sebagai penyebab utama sulitnya ibu
mencari pelayanan kesehatan. Dari hasil Riskesdas 2010 mencatat, bahwa
84 persen ibu meninggal di Rumah dan Rumah Sakit Rujukan pada jam-
jam pertama. Perlu ada gerakan Nasional untuk melindungi kaum Ibu,
agar tingkat Kematian Ibu menurun (Evie, 2014).
Kota Cirebon merupakan salah satu bagian dari provinsi Jawa
Barat yang merupakan salah satu penyumbang terbesar AKI dan AKB di
Indonesia. Pada tahun 2004 AKI sebesar 13 dari 5220, sedangkan pada
tahun 2005 sebesar 11 dari 4848, dan pada tahun 2006 sebesar 7 dari 5206.
Kematian Ibu dan Bayi ternyata paling besar terjadi pada penduduk
yang miskin dimana terdapat barier psikologis, sosial budaya serta
finansial untuk mendapatkan pelayanan spesialistik dan penanggulangan
komplikasi. Oleh karena itu kota Cirebon berupaya dengan menciptakan
salah satu program yang bertujuan untuk mempercepat penurunan jumlah
kematian ibu berslain dan kematian bayi, yaitu Rumah Sakit Berbasis
Masyarakat (RSBM). Komponen RSBM diantaranya pemerintah, swasta
dan masyarakat sendiri dibawah tanggung jawab Dinas Kesehatan Kota
Cirebon melalui APBD kota Cirebon. Kegiatan utama RSBM adalah
menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi di kota Cirebon.
Hasil kegiatan program RSBM ini membawa dampak positif pada
kota Cirebon. Saat ini jalinan sistem RSBM di Kota Cirebon cukup baik,
hal itu ditandai dengan sistem komunikasi masyarakat dengan Puskesmas
yang terus berjalan, sehingga pasien yang hendak dirujuk ke Rumah Sakit
tidak datang sendiri tetapi berdasarkan rekomendasi dari puskesmas
masing-masing, artinya tiga sistem dari RSBM yakni masyarakat,
Puskesmas dan, Rumah Sakit benar-benar saling melengkapi dan
menjalankan fungsinya masing-masing tanpa harus tumpang tindih. (Data
Puskesmas Cangkol, 2014).
4
RSBM di Puskesmas Cangkol belum dapat berjalan secara optimal
RSBM itu sendiri baru berjalan pada bulan Maret 2014, ini dapat dilihat
dari jumlah kunjungan pasien mulai dari bulan Maret – November
sebanyak 149 kunjungan. Dari data yang didapatkan, jumlah AKB di
Puskesmas Cangkol belum turun secara signifikan yaitu dilihat dari
jumlah AKB pada tahun 2013 sebanyak 5 kasus, dan jumlah AKB pada
tahun 2014 masih sebanyak 5 kasus. Sedangkan untuk 3 tahun terkahir ini,
jumlah AKI di Puskesmas Cangkol tidak ada. (Data Puskesmas Cangkol,
2014).
Di puskesmas Cangkol jumlah kunjungan KIA sampai bulan
Oktober 2014 sebanyak 196 kunjungan. Untuk pemanfaatan PONED
mulai dari bulan Januari sampai November tahun 2014 yang ditangani
adalah sebanyak 46 persalinan, 40 orang diantaranya adalah persalinan
normal tanpa penyulit, 4 orang persalinan dengan atonia uteri, 1 orang
persalinan dengan ketuban pecah dini dan 1 orang persalinan dengan
condiloma. Untuk pelayanan rujukan di Puskesmas Cangkol sebanyak 21
kasus. (Data Puskesmas Cangkol, 2014).
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi secara
terpadu dalam upaya meminimalisir angka kesakitan dan angka
kematian Ibu dan bayi di Puskesmas Cangkol.
b. Tujuan Khusus
Untuk menanggulangi penyebab utama kesakitan dan kematian ibu
hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir. Pengamatan dan perhatian
fokus kegiatan yang berbasis masyarakat yang diperlukan untuk
menjamin akses pelayanan sehingga tidak merasa ragu-ragu,bahkan
takut bila membutuhkan pertolongan.
5
1.3 Manfaat
Untuk memperkuat kinerja Puskesmas dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu nifas dan bayi baru lahir
emergensi/komplikasi dalam satu jejaring/sistem rujukan komprehensif di
wilayah Puskesmas Cangkol.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
2.1 Identifikasi Masalah
a. Masalah
Sistem/Metode Sarana dan Prasarana
- Waktu penapisan dr. Spesialis yang hanya 1 kali dalam sebulan
- Waktu penapisan pasien yang terhambat oleh tenaga kesehatan
- Masalah administrasi dalam proses rujukan ke RS terdekat
- Tidak adanya evaluasi dari dr. Spesialis
- Tidak adanya transfer of knowledge dari dr. Spesialis ke tenaga kesahatan
- Belum adanya alur rujukan ketika RS Rujukan Penuh
- RS rujukan RSBM (RS Gunung Jati) yang belum dimanfaatkan secara optimal atau kamar sering penuh
- Alat-alat pemeriksaan yang belum dimaksimalkan
- Belum terpenuhinya semua syarat puskesmas PONED.
- Belum tersedianya ruangan untuk pasien rawat inap
- Kurangnya fasilitas untuk perawatan neonatal
- Belum maksimalnya penanganan kegawatdaruratan dan fasilitas yang dibutuhkan
6
2.2 Prioritas Masalah
Matriks USG
Alat pertama yang dapat digunakan untuk menentukan permasalahan
prioritas adalah dengan menggunakan matriks USG. Kepner dan tragoe
tahun 1981 menyatakan pentingnya suatu masalah dibandingkan masalah
lainnya dapat dilihat dari tiga aspek berikut :
1. Bagaimana gawat nya masalah dilihat dari pengaruhnya sekarang ini
terhadap produktifitas, orang, dan / atau sumber dana dan daya
2. Bagaimana mendesaknya dilihat dari waktu yang tersedia
3. Bagaimanakah perkiraan yang terbaik mengenai kemungkinan
berkembangnya masalah
Pada penggunaan matriks USG, untuk menentukan suatu masalah
yang prioritas, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan. Ketiga
faktor tersebut adalah urgency, seriuosness, dan growth.
Urgency berkaitan dengan tingkat kegawatan, apabila masalah tidak
ditanggulangi akan menyebabkan masalah yang lebih kompleks. Semakin
mendesak suatu masalah untuk diselesaikan maka semakin tinggi urgency
masalah tersebut.
Seriuosness berkaitan dengan tingkat keseriusan, apabila masalah
tidak diselesaikan dapat berakibat serius pada masalah lain. Dampak ini
RSBM
SDMDana
-Adanya pasien risti yang bukan masyarakat wilayah Cangkol
- Kurangnya tenaga analis laboratorium
- Tidak adanya dr. Spesialis jantung (RSBM) di Puskesmas cangkol
- Perawat dan bidan belum mengikuti pelatihan PONED
- Terbatasnya biaya operasional puskesmas
7
terutama yang menimbulkan kerugian bagi organisasi seperti dampaknya
terhadap produktifitas, keselamatan jiwa manusia, sumberdaya atau
sumber dana. Semakin tinggi dampak masalah tersebut terhadap organisasi
maka semakin serius masalah tersebut.
Growth berkaitan dengan besar atau luasnya masalah penyebab atau
yang ditimbulkan. Semakin cepat berkembangnya masalah tersebut maka
semakin tinggi tingkat pertumbuhannya. Suatu masalah yang cepat
berkembang tentunya makin prioritas untuk diatasi permasalahan tersebut.
Untuk mengurangi tingakat subyektivitas dalam menentukan masalah
prioritas, maka perlu menetapkan kriteria untuk masing-masing unsur
USG tersebut. Umumnya digunakan skor dengan skala tertentu. Misalnya
penggunaan skor skala 1-5. Semakin tinggi tingkat urgency, serius, atau
pertumbuhan masalah tersebut, maka semakin tinggi skor untuk masing-
masing unsur tersebut.
Matriks Penilaian USGR
Urgency dilihat dari tersedianya waktu, mendesak atau tidak masalah
tersebut diselesaikan.
5 : Sangat mendesak
4 : Mendesak
3 : Cukup mendesak
2 : Kurang mendesak
1 : Tidak mendesak
Seriousness atau tingkat keseriusan dari masalah, yakni dengan melihat
dampak masalah tersebut terhadap produktifitas kerja, pengaruh terhadap
keberhasilan, membahayakan sistem atau tidak.
5 : Sangat serius
4 : Serius
3 : Cukup serius
2 : Kurang serius
1 : Tidak serius
Growth atau tingkat perkembangan masalah yakni apakah masalah
tersebut berkembang sedemikian rupa sehingga sulit untuk dicegah.
8
5 : Sangat cepat
4 : Cepat
3 : Cukup cepat
2 : Kurang cepat
1 : Tidak cepat
Resources adalah pengaruh ketersediaan sumber daya terhadap
permasalahan yang dihadapi.
5 : Sangat berpengaruh
4 : Berpengaruh
3 : Cukup berpengaruh
2 : Kurang berpengaruh
1 : Tidak berpengaruh
2.3 Analisis Masalah
No Analisis MasalahMatriks USGR
Urgency Seriuosness Growth Resource UxSxGxR
Sistem/Metode
1. Waktu penapisan dr.
Spesialis yang hanya 1 kali
dalam sebulan
2 3 2 3 36
2. Waktu penapisan pasien
yang terhambat oleh
tenaga kesehatan
3 3 2 2 36
3. Masalah administrasi
dalam proses rujukan ke
RS terdekat
2 3 1 3 18
4. Tidak adanya evaluasi dari
dr. spesialis
1 2 2 2 8
5. Kurangnya transfer of
knowledge dari dr.
Spesialis ke tenaga
kesehatan
2 3 2 4 48
9
6. Belum adanya alur rujukan
ketika RS Rujukan penuh
3 3 2 3 54
SDM/Manusia
7. Adanya pasien risti yang
bukan masyarakat wilayah
Cangkol
2 2 2 2 16
8. Kurangnya tenaga analis
laboratorium
2 2 2 3 24
9. Tidak adanya dr. Spesialis
Jantung (RSBM) di
Puskesmas Cangkol
2 2 2 3 24
10. Perawat dan bidan belum
mengikuti pelatihan
PONED
3 3 2 4 72
Sarana dan Prasarana
11. RS rujukan RSBM (RS
Gunung Jati) yang belum
dimanfaatkan secara
optimal atau kamar sering
penuhi
3 3 2 3 54
12. Alat-alat pemeriksaan
yang belum
dimaksimalkan
2 3 2 3 36
13. Belum terpenuhinya syarat
Puskesmas PONED
2 3 3 3 54
14. Belum tersedianya
ruangan untuk pasien
rawat inap
2 3 2 3 36
15. Kurangnya fasilitas untuk
perawatan neonatal
3 3 2 2 36
16. Belum maksimalnya
penanganan
3 2 2 2 24
10
kegawatdaruratan dan
fasilitas yang dibutuhkan
Dana
17. Terbatasnya biaya
operasional puskesmas
2 2 3 3 36
Sistem atau metode :
1. Waktu penapisan dokter spesialis yang hanya1 kali dalam sebulan
Karena baru adanya sitem RSBM dokter spesialis di puskesmas
Cangkol dalam penanganan ibu hamil di puskesmas Cangkol dalam
hal deteksi dini untuk ibu hamil risti yang kurang memadai.
2. Waktu penapisan pasien yang terlambat oleh tenaga kesehatan
Ini bisa saja berakibat karena pengadaan alat pemeriksaan penunjang
USG untuk ibu hamil tidak digunakan dalam penapisan di Puskesmas
Cangkol, padahal puskesmas Cangkol ini tersedia pelayanan PONED
yang dapat buka dalam 24 jam sehari. Kurangnya tenaga medis yang
tersedia dalam keteramplan teknologi penunjang ini bisa menghambat
penapisan awal pasien sebelum melakukan tindakan rujukan.
3. Masalah administrasi dalam proses rujukan ke RS terdekat
Permasalahan ini diakibatkan karena sistem pelayanan kesehatan yang
baru sehingga mereka kurang mengerti dan belum melengkapi surat
jaminan kesehatan yang berlaku, dan ini menyebabkan rumah sakit
pengampu bagi puskesmas Cangkol yaitu rumah sakit Pelabuhan
sedikit sulit sehingga memperlama dalam tindakan dan pelayanan
kesehatan, dan petugas kesehatan puskesmas Cangkol lebih memilih
rumah sakit gunung jati dalam proses rujukan untuk kasus gawat
darurat.
11
4. Belum adanya alur rujukan ketika RS Rujukan penuh.
Permasalahan ini harus di diskusikan dengan tenaga kesehatan yang
terkait dan di Dinas kesehatan. Karena bila pasien gawat darurat maka
akan berakibat sangat buruk pada pasien tersebut.
5. Tidak adanya evaluasi dari dr. Spesialis Obgyn.
Permasalahan ini harus didiskusikan kembali dengan dr. spesialis
Obgyn agar meluangkan waktu untuk melakukan evaluasi selain
melakukan kegiatan RSBM di Puskesmas Cangkol.
6. Kurangnya transfer of knowledge dari dr. Spesialis ke tenaga
kesehatan
Permasalahan ini harus didiskusikan kembali dengan dr. spesialis
Obgyn agar meluangkan waktu untuk membahas ilmu tentang
obstetrik dan ginekologi kepada tenaga kesehatan.
Sumber Daya Manusia:
7. Adanya pasien risti yang bukan masyarakat wilayah Cangkol
Dengan adanya masyarakat yang andon dengan resiko tinggi ini, akan
mempersulit data rekapitulasi pasien yang resiko tinggi di kelurahan
Lemahwungkuk sehingga angka kematian atau kesakitan di kelurahan
Lemahwungkuk tidak valid
8. Kurangnya tenaga analis laboratorium
Kurangnya tenaga kesehatan analis yang menyebabkan kurangnya
pemeriksaan penunjang di ruang laboratorium sederhana puskesmas
Cangkol sehingga tidak semua pemeriksaan laboratorium dapat
tercover di puskesmas Cangkol
9. Tidak adanya dr. Spesialis Jantung (RSBM) di Puskesmas Cangkol
Kurangnya tenaga medis kesehatan yaitu dr. Spesialis Jantung di
Puskesas Cangkol sehingga pasien yang mempunyai penyakit jantung
harus dirujuk ke RS rujukan RSBM.
10. Perawat dan bidan belum mengikuti pelatihan PONED
12
Kurangnya tenaga medis terutama perawat dan bidan yang belum
bersertifikat PONED sehingga harus dilaksanakan pelatihan atau on
job training di RS PONEK. Karena salah satu syarat Puskesmas
PONED harus memiliki perawat dan bidan yang bersertifikat PONED.
Sarana dan Prasarana
11. RS rujukan RSBM (RS Gunung Jati) yang belum dimanfaatkan secara
optimal atau kamar sering penuh
Kurangnya kamar terutama ruang NICU dan PICU di RS Gunung Jati
sehingga menyebabkan pelayanan rumah sakit untuk pasien RSBM
kota Cirebon yang kurang optimal.
12. Alat-alat pemeriksaan yang belum dimaksimalkan
Puskesmas Cangkol memiliki inkubator dan alat pemeriksaan
ultrasonografi dalam menunjang pelayanan PONED namun
ketersediaan sarana tersebut belum dapat dimaksimalkan dalam
penggunaannya dikarenakan belum adanya tenaga terlatih yang
khusus menangani, merawat, dan menggunakan sarana tersebut.
Penggunaan alat USG secara maksimal dapat membantu dalam
penapisan kehamilan risiko tinggi dan menentukan prognosis dari
persalinan. Penggunaan inkubator penting bagi pelayanan neonatus
dan bayi muda, serta sebagai alat tatalaksana dalam kasus-kasuss bayi
risti tertentu seperti bayi dengan ikterus dan hipotermia. Belum
maksimalnya penggunaan sarana tersebut disayangkan karena sarana
tersebut penting dalam pelayanan PONED.
13. Belum terpenuhinya syarat Puskesmas PONED
Belum tersedianya rawat inap, tenaga kesehatan belum tersertifikasi
dan luas tanah yang belum memenuhi fasilitas PONED.
14. Belum tersedianya ruangan untuk pasien rawat inap
Kurangnya luas tanah dan fasilitas untuk rawat inap di Puskesmas
Cangkol
15. Kurangnya fasilitas untuk perawatan neonatal
Belum optimalnya penggunaan box bayi dengan inkubator
13
16. Belum maksimalnya penanganan kegawatdaruratan dan fasilitas yang
dibutuhkan
Kurangnya tenaga kesehatan mampu PONED dan fasilitas yang belum
optimal
Dana
17. Terbatasnya biaya operasional puskesmas
Kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dari APBD untuk
pelayanan kesehatan tidak selalu mencukupi kebutuhan. Hal tersebut
terkait manajemen baik dari pemerintah maupun pelayanan kesehatan
dan kebutuhan masyarakat di pusat pelayanan kesehatan primer.
Penggunaan anggaran yang diberikan pemerintah diutamakan untuk
pelaksanaan program dasar puskesmas sehingga tidak semua program
kesehatan yang direncanakan puskesmas dapat terlaksana.