35
105 Bab Enam MENJADI DESA WISATA Pengantar Bab ini akan menjelaskan Blimbingsari menjadi desa wisata. Yang dimulai dari bagaimana angkatan muda yang mengenyam pendidikan di luar Blimbingsari yang akhirnya tidak pulang ke Blimbingsari, bahkan hanya tersisa generasi tua yang tinggal di Blimbingsari sehingga dengan peristiwa itu kelihatan Blimbingsari seperti desa ‘sekarat’ atau “dying village”. Dari keterpurukan desa ini, namun ada beberapa orang (pemimpin) yang menghendaki agar Desa Blimbingsari menjadi desa yang “makmur” (living village), dan akhirnya Desa Blimbingsari menjadi desa wisata dimana Desa Blimbingsari terpilih mewakili Jembrana di tingkat Propinsi. Angkatan Muda Semakin Banyak Meninggalkan Desa Blimbingsari Dalam proses menjadi Desa Wisata peran kepala desa Bapak I Made John Rony dan Bapak Pendeta I Ketut Suyaga Ayub sebagai pemimpin sangat menonjol di sini. Mereka dapat disebut pemimpin transformatif karena berhasil mendorong masyarakat Blimbingsari menyesuaikan struktur ekonomi mereka yang tadinya lebih berorientasi pertanian dan perkebunan menuju ekonomi desa yang berorientasi pariwisata. Di bawah ini dijelaskan apa saja tantangan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukaknya. Pada tahun 1960- an orang tua di Blimbingsari (generasi pertama) meng-inginkan, semua anak-anak Blimbingsari dapat mengikuti Sekolah Dasar (SD) 1 . Setelah 1 Wawancara dengan Bapak Gst Rata sebagai Generasi I yang Pindah Ke Blimbingsari, Tanggal 14 Oktober 2009.

Bab Enam MENJADI DESA WISATA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/6/D_902008006_BAB VI.pdfTanggal 14 Oktober 2009. ... Pada tahun 1988-an, sektor pariwisata

Embed Size (px)

Citation preview

105

Bab Enam MENJADI DESA WISATA

Pengantar Bab ini akan menjelaskan Blimbingsari menjadi desa wisata.

Yang dimulai dari bagaimana angkatan muda yang mengenyam pendidikan di luar Blimbingsari yang akhirnya tidak pulang ke Blimbingsari, bahkan hanya tersisa generasi tua yang tinggal di Blimbingsari sehingga dengan peristiwa itu kelihatan Blimbingsari seperti desa ‘sekarat’ atau “dying village”. Dari keterpurukan desa ini, namun ada beberapa orang (pemimpin) yang menghendaki agar Desa Blimbingsari menjadi desa yang “makmur” (living village), dan akhirnya Desa Blimbingsari menjadi desa wisata dimana Desa Blimbingsari terpilih mewakili Jembrana di tingkat Propinsi.

Angkatan Muda Semakin Banyak Meninggalkan Desa Blimbingsari

Dalam proses menjadi Desa Wisata peran kepala desa Bapak I Made John Rony dan Bapak Pendeta I Ketut Suyaga Ayub sebagai pemimpin sangat menonjol di sini. Mereka dapat disebut pemimpin transformatif karena berhasil mendorong masyarakat Blimbingsari menyesuaikan struktur ekonomi mereka yang tadinya lebih berorientasi pertanian dan perkebunan menuju ekonomi desa yang berorientasi pariwisata. Di bawah ini dijelaskan apa saja tantangan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukaknya. Pada tahun 1960-an orang tua di Blimbingsari (generasi pertama) meng-inginkan, semua anak-anak Blimbingsari dapat mengikuti Sekolah Dasar (SD)1. Setelah

1 Wawancara dengan Bapak Gst Rata sebagai Generasi I yang Pindah Ke Blimbingsari, Tanggal 14 Oktober 2009.

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

106

tamat SD sebagian besar mereka kemudian melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) dan banyak pula yang sampai ke perguruan tinggi. Data beberapa nama yang ke perguruan tinggi tercatat sebagai berikut, alm Ketut Percaya, Made Sudira, MTh, Made Samiana SH, Gede Sudarmista, Dr. Made Markus, Kol. AU. Nyoman Elieser, Made Ebenheizer M.Si, Dr. Ketut Siaga Waspada, Dr. Nyoman Sudiarsa, Prof. Kuta Ratna, Dr. Made Matius dan banyak lagi yang lainnya. (wawancara dengan Gusti Ketut Rata, 25 Desember 2009). Menurut keterangan Gusti Rata, hasil-hasil pertanian itulah yang dipakai membiayai pendidikan anak-anak mereka dari SD sampai perguruan tinggi, sehingga anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di SD, sekolah menengah dan perguruan tinggi, para sarjana itu tidak kembali ke Blimbingsari. Anak-anak muda yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi ini tidak serta merta lulus langsung pulang ke kampung halaman karena ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar. Fenomena tidak pulang kampung ini semakin meningkat pada tahun 1970-an. Orang-orang Blimbingsari yang tidak mau pulang kampung, bukan lagi hanya para sarjana, melainkan kaum terpelajar pada umumnya, terutama lulusan sekolah menengah atas (SMA) (wawancara dengan Kepala Desa, Made John Rony, 2009). Biarpun demikian, saat itu belum muncul persoalan yang meresahkan bagi desa itu sendiri (yang “ditinggal” oleh angkatan muda).

”Pada tahun 1980-an, jumlah anak muda yang meninggalkan Blimbingsari semakin meningkat, memberikan pendidikan untuk anak-anaknya bersekolah di kota-kota besar, seperti Kota Surabaya, Jakarta, Salatiga, Jogyakarta dan Kuta, Denpasar, Bali. Setelah anak-anak mereka lulus dari jenjang SD-SMA atau Sarjana, mereka tidak langsung pulang ke Blimbingsari, namun lebih memilih tinggal menetap di kota, ketimbang di desanya. Seperti Made Markus, Ketut Suwirya Nyoman Sukra Eliezer, Nyoman Sudi“ (wawancara dengan Kepala Desa Blimbingsari, Made John Rony, 2009).

Tahun 1980-an keberhasilan industri pariwisata mendatangkan banyak orang dan uang, dan di tengah-tengah kemajuan ekonomi kepariwisataan itu, banyak anak muda terpelajar asal Blimbingsari

Menjadi Desa Wisata

107

tinggal di kota demi mencari pekerjaan di lingkungan pariwisata. Hanya orang tua yang tinggal menetap di Blimbingsari, dan banyak rumah yang dibiarkan kosong.

“Pada tahun 1980-an desa Blimbingsari kehilangan semangat, kehilangan daya dorong, karena para pemuda terpelajar memilih tidak kembali ke Desa Blimbingsari. Mereka lebih senang tinggal di kota-kota besar di seluruh Indonesia, tempat dimana mereka memperoleh pekerjaan dan pengalaman baru” (wawancara dengan Pdt. I Wayan Sunarya, 2009).

Daya Tarik Kota (Urbanisasi) Pada tahun 1988-an, sektor pariwisata mengalami booming,

para wisatawan baik mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) telah berdatangan ke Bali, sehingga investor datang menanamkan modalnya di pulau Bali, khususnya di Nusa Dua, Kuta dan sekitarnya. Masyarakat dari seluruh Bali (Singaraja, Bali Barat dan timur) datang dan merantau untuk mencari pekerjaan menghidupi keluarganya dengan bekerja di sektor pariwisata ke Nusa Dua, Kuta dan sekitarnya. Termasuk warga/masyarakat Blimbingsari yang juga mencari pekerjaan/nafkah di samping karena ada industri pariwisata (lahan pekerjaan) di Kuta, disebabkan juga karena tidak ada lapangan pekerjaan di desanya, Blimbingsari.

“Daya tarik industri pariwisata juga menjadi salah satu penyebab, banyaknya orang bekerja di kota-kota besar dan tidak kembali ke Desa Blimbingsari” (Wawancara dengan Ketut Suwirya, 2010)2.

“Desa sepi” itulah sebutan yang cocok untuk Desa Blimbingsari, setelah ditinggal oleh angkatan muda waktu itu. Pdt. Wayan Sunarya yang menyatakan bahwa, “Desa Blimbingsari menjadi desa yang sangat “sepi dan sunyi”. Situasi ini sangat disayangkan terjadi, karena tanah

2 Wawancara dengan Ketut Suwirya, salah satu pengusaha mebel di Kuta dari Blimbingsari, 25 Desember 2010.

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

108

pertanian yang tadinya subur dengan susah payah digarap dengan semangat gotong royong dibangun dengan baik oleh perintis pertama, menjadi desa yang sepi dan sunyi. Seolah-olah tidak ada kehidupan, karena hanya dihuni oleh orang-orang tua, suara-suara burung dan gonggogan anjing yang ironis sekali menandai desa tersebut.

Menjadi Desa “Makmur” Desa Blimbingsari ternyata tidak ditinggalkan sama sekali oleh

penduduknya, lambat laun desa ini mulai bangkit lagi. Seperti yang diungkapan Pendeta ayub Sayuge berikut ini:

“Pada tahun 1988, Blimbingsari memiliki tanah yang kering karena irigasi air tepat guna bukit sari tidak berfungsi dan tandus karena tidak ada yang mengelola tanah dengan baik. Namun demikian, karena ada beberapa orang yang mau dan memberi diri untuk membangun kembali komunitas Desa Blimbingsari dari desa sekarat (dying Village) menjadi desa ‘makmur’ (A Living Village). Bagaimana caranya agar tanah tersebut tidak kering dan menjadi subur kembali? Ada potensi debit air dimanfaatkan yang ada di Grojogan Desa Blimbingsari, dengan pipa yang dulu disumbangkan oleh David Baso, dari Australia sehingga infrastruktur air untuk irigasi dibangun kembali dengan pemipaan yang canggih dan tepat guna”.

Agar desa ini hidup kembali perlu failitas air untuk menyuburkan tanah perkebunan, sehingga warga bisa menggarap lagi tanaman kembali. Dan ada pula pembangunan infrastruktur (seperti jalan, dan alat-alat pertanian) yang mendukung desa ini menjadi desa makmur, dimanatata ruang desa yang bersih dan rapi, dan komunitas memiliki usaha yang berkembang.Untuk membangun desa ini menjadi desa yang “makmur” maka beberapa infrastruktur (selain infrastruktur yang sudah dibangun saat membuka lahan), diantaranya (1) pembangunan irigasi air tepat guna (pemipaan air bersih dengan penyaringan). (2) Dalam rangka menjadikan Blimbingsari menjadi desa wisata, pada tahun 2005 dibuat beberapa pelatihan untuk warga desa agar bersiap diri. Salah satu pelatihannya adalah kerja sama dengan sekolah pariwisata Dhyana Pura (STIM) di Dalung. Dampaknya

Menjadi Desa Wisata

109

adalah pembangunan wisma tamu atau guest house di rumah-rumah warga desa untuk menerima tamu mancanegara dan wisatawan nusantara yang menginap di Blimbingsari. Untuk itu ada pelatihan tentang; “welcoming the guest untuk bagian front office, bagaimana membersihkan kamar-kamar warga dan menyiapkan makan pagi serta menyuguhkan seni tari dan gamelan sebagai objek wisata. (3) Pembangunan struktur Sekaa (kelompok) gamelan dan menambah alat seni budaya Desa Blimbingsari seperti alat musik jegog juga dibangun sebagai daya tarik wisatawan. (4) Pembangunan yang mendukung ibadah kontekstual di Desa Blimbingsari (dengan memakai kamben dan udeng), (5) pembentukan awig-awig desa adat3, untuk mengatur adat suka dan duka Desa Blimbingsari. (6) pembangunan artefak sekeliling tembok Gereja Pniel. (7) Membersihkan lahan-lahan ‘tidur’ dijadikan objek wisata seperti Grojogan dan Dam Eka Santoso untuk kano dan jukung, (8) Mengembangkan dan menambah keterampilan berwirausaha sehingga masyarakat memiliki usaha dan memiliki jiwa kewirausahaan, untuk menghasilkan revenue sebagai pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, sehingga kesejahteraan komunitas Desa Blimbingsari tercapai.

Pembangunan Pemipaan Air Tepat Guna, Blimbingsari Wawancara dibawah ini, menceriterakan bagaimana sekarang

air di Blimbingsari bisa dimanfaatkan untuk pengairan sawah, ladang, kebun dan peternakan sejak Pdt. Ketut Suyaga Ayub mengajak komunitas Desa Blimbingsari membangun pemipaan air tepat guna.

“Dulu sistem pengairan di Desa Blimbingsari ini kurang memadai dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pengairan untuk sawah dan ladang kami. Pengairan dibuat dengan membuat seperti selokan yang digunakan untuk jalan air dari Grojogan menuju ke sawah dan ladang kami” kata Bapak Gede Marten. “Sekarang bagaimana Pak?” tanya saya.

3 Satu-satunya desa di Bali yang memiliki awig-awig Desa Adat Kristen, yang di resmikan oleh Bupati Jembrana Prof. DR.drg Gede Winasa pada tanggal 25 Desember 2010.

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

110

“Sekarang dengan adanya sistem pemipaan air tepat guna memberikan manfaat yang sangat banyak bagi kami tidak hanya untuk sawah dan ladang kami tapi juga untuk peternakan kami, bahkan air tepat guna dibeli oleh desa tetangga seperti Desa Palasari dan Melaya”4.

Tidak hanya itu saja, menurut informan yang menjabat sebagai Perbekel, Kepala Desa Blimbingsari Made John Rony mengatakan bahwa di samping irigasi bukit sari tidak berfungsi, juga karena air Desa Blimbingsari kotor sehingga warga Blimbingsari membangun sumur bor yang berlokasi di belakang rumah Bapak Kertya dan membuat pemipaan air tepat guna dengan pemanfaatan sumber air hutan di Grojogan (lihat gambar 6.1. sumber air Grojogan Desa Blimbingsari), karena dulunya tidak dimanfaatkansehingga tempat aliran air irigasi sempat kering. Pada tahun 2000, Bapak Pdt. Ketut Suyaga Ayub mengajak beberapa teman warga desa (Pak Marten, Pak Purna, Pak Pageh, Pak Made Okamona, Pak Korni dan Pak Nyoman Yusuf) membangun pemipaan air untuk pemerataan air ke kebun-kebun bagi semua petani di Desa Blimbingsari, baik yang ada di bukit atau di lembah.

Memang pada awalnya beberapa orang seperti Bapak Suserah, Bapak Purnamia kurang percaya dengan ide atau usulan ini, bahkan tidak percaya bagaimana cara membawa air ke seluruh ladang/kebun petani di Desa Blimbingsari. Tetapi setelah jadi proyek pemipaan air tepat guna dan diresmikan oleh Bupati, akhirnya bapak-bapak yang tadinya tidak setuju malah menjadi anggota irigasi air tepat guna karena mereka juga membutuhkan air bersih untuk kebun dan ternaknya.

Memanfaatkan potensi sumber air yang sudah ada di hutan ”Alas Cekik” yang dahulu pernah terbuang-buang dan tidak dimanfaatkan, sekarang dimanfaatkan kembali oleh warga Desa Blimbingsari. Nama sebelumnya adalah irigasi bukit sari dan sekarang menjadi nama pemipaan air tepat guna dengan teknologi yang bagus.

4 Wawancara dengan Bapak Gede Marten, 26 Desember 2010.

Menjadi Desa Wisata

111

Terlampir lampiran prasasti/batu peresmian air tepat guna Blimbingsari yang di resmikan oleh Prof. Dr. Drg. Gede Winasa di Blimbingsari.

Sumber: Data Primer (2009)

Gambar 6.1. Sumber Air Grojogan, Blimbingsari

Masalahnya adalah bagaimana cara mewujudkan potensi debit

air Grojogan tersebut yang mampu dialirkan ke semua ladang/kebun milik warga Desa Blimbingsari dengan pemipaan? Di bawah inilah akan dijelaskan upaya mewujudkan air bersih pemipaan tepat guna.

Upaya-Upaya Terwujudnya Pemipaan Air Bersih Tepat Guna di Blimbingsari

Dalam wawancara dengan Kepala Desa Blimbingsari Bapak Made John Rony, mengatakan bahwa setiap warga yang ikut dan menggunakan air irigasi dikenakan iuran Rp.10.000/bulan per warga Desa Blimbingsari. Masing-masing kelompok itu membayar iuran ke tukang nuduk pipis (yang mengambil uang) yaitu Pak Muspa ditambah setiap 1 kubik (1 m³) air dikenakan Rp.500,-. Upaya untuk mewujudkan air irigasi tepat guna warga dan tim kelompok irigasi bekerja dengan cara kerja bakti, disiplin, kerja keras bergotong-royong”5. Saling bantu-membantu, bahu-membahu, tolong- menolong,

5 Wawancara dengan Kepala Desa Made John Rony, di Blimbingsari, tanggal 10 November 2009

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

112

agar dapat mewujudkan pemipaan air bersih yang tepat guna dengan menggunakan teknologi tepat guna pula. Upaya pemimpin desa dan pemimpin rohani yang dilakukan bersama warga desa ini bekerja setiap hari mulai jam 9.00 pagi dengan memasang pipa (75mm), dan membangun tangki penyimpan berkapasitas 100m³ di dalam hutan, 92 meter di atas permukaan laut. Sumber air berada di ketinggian 95 meter dari permukaan laut. Dari situ penyaluran ke Blimbingsari dapat dilakukan, dengan ketinggian tanah di atas 82 meter. Ide ini akan cukup mengairi 400 hektar tanah Blimbingsari.

Terbukti, irigasi air ini berfungsi mengairi seluruh ladang Desa Blimbingsari dan diresmikan oleh Bupati Jembrana Dr. drg. Gede Winasa. Pada saat peresmiannya, warga Blimbingsari mengadakan upacara, dimana ibu-ibu dari semua enjungan, (kelompok) membawa jun (gentong dari tanah liat). Setiap tahun kelompok yang berpartisipasi dalam proyek ini menyediakan pipa mereka masing-masing dari penampungan ke tangki penampungan pribadi (setidaknya dengan ukuran 2 m) pada ladang/tanah mereka.

Pada bulan Juli 2008 ada lebih dari 75 anggota yang ikut menjadi anggota pemipaan air bersih tepat guna ini dan sejumlah surat lamaran menjadi anggota irigasi air tepat guna ini banyak yang daftar dan belum terselesaikan. Proyek ini disebut proyek “Pemipaan Air Hidup Tepat Guna”, karena kehidupan dapat dimulai dari air tersebut. Dikutip dari Made John Rony sebagai perbekel menyarankan agar:

“jemaat atau warga Desa Blimbingsari menggunakan air yang tersedia, dengan sebaik-baiknya. Artinya jika sumber air yang terbatas ini dikelola dengan cara yang benar dan baik, maka sumber air ini akan dapat menjadi sumber ‘kehidupan’ bagi warga Desa Blimbingsari”.

Sumber Air itu harus dipelihara dan digunakan dengan cara yang “bijak dan baik”. Proyek selanjutnya adalah menguji coba menara air untuk merekayasa kembali proyek ini dari awal. Memang selalu dibutuhkan sebuah kesabaran dan pembelajaran pada awal panggunaan proyek pemipaan air tepat guna ini, sebelum mereka betul-betul menguasainya, sebab proyek yang gagal akan mengganggu pengairan ladang/sawah dan pertumbuhan tanaman.

Menjadi Desa Wisata

113

Penjelasan Gambar 6.2. di bawah ini adalah cara mengelola sumber air dari Grojogan sampai ke ladang/kebun. Gambar 6.2. menjelaskan bahwa nomer 1, adalah reserpoir atau tower yang luasnya 2 x 6 x 1,5 m yang menjadi sumber air pertama yang akan dialiri melalui pipa ke sumber air ke 2 sebagai bak penampung (yang ukurannya 5 x 3 x 3 m). Dari bak penampung ini air dialirkan ke gambar 3 (bak penampung) dan 4 (bak penyaring). Dari bak penyaring (gambar 4) ini dialirkan ke bak penampung (gambar 5) dan bak distribusi (gambar 6). Dari Sumur bor juga dipompa ke bak distribusi (gambar6) ke seluruh ladang/sawah warga Desa Blimbingsari, sehingga semua ladang, tanah, ternak komunitas desa memperoleh air bersih. Hal ini juga yang menunjang desa ini terpilih menjadi desa wisata karena ketersediaan air bersih ini.

Sumber: Data Primer

Gambar 6.2. Peta Sumber Air dari Grojogan Sampai ke Ladang/Kebun

Sempat Terhenti

Perjalanan usaha warga menggunakan air bersih ini tidak cukup ‘mulus’ alias sempat terhenti, dan hal ini menimbulkan konflik antar warga desa. Sempat diusut oleh Pdt. Suyaga Ayub, apa penyebab terjadinya masalah air bersih ini terhenti. Mungkin ada keculasan/kecurangan dan ingin mementingkan diri sendiri di antara pengguna air bersih tepat guna dengan memotong pipa-pipa di tempat

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

114

dataran tinggi dan mengambil air secara langsung demi kepentingan diri sendiri sehingga petani di bagian lahan lembah tidak mendapat air. Permasalahan air bersih ini cukup lama dan alot dalam menyelesaikan-nya, namun begitu, tetap sebagai pemimpin rohani mempunyai inisiatif untuk bertemu dengan seluruh warga yang pada akhirnya diberikan penjelasan agar “kita pintar membawa bodoh”, tandas Pak Pdt. Suyaga Ayub dengan sambil tersenyum menjelaskan hal ini kepada penulis. Sebenarnya sederhana sekali, menyelesaikan konflik ini, dengan mengutarakan “mari kita tidak hanya mementingkan diri sendiri, karena memotong pipa-pipa itu membuat warga lainnya tidak mem-peroleh air bersih”. Akhirnya sepakat dipilihnya salah seorang untuk mengawasi pemipaan ini, orang itu adalah Pak Muspa. Sampai saat penulis meninggalkan daerah tersebut tidak terdengar lagi ada masalah pendistribusian air bersih.

Dampak Pemipaan Air Bersih Tepat Guna Perbekel Blimbingsari John Rony kembali mendiskusikannya

dengan pemimpin Bali Barat tentang pengairan/irigasi air dan pimpinan Bali Barat tertarik, karena mereka memang sangat berharap dapat menyelesaikan persoalan air di desa mereka. Banyak petani dari desa lain datang ke Blimbingsari untuk melihat dan mengikuti cara proyek ini ,tidak hanya Blimbingsari, tetapi Ekasari, Nusasari dan Pangkung tanah pun ikut membuatnya. Mereka tertarik karena berdasarkan pertimbangan ekologis, yaitu tidak memerlukan lahan yang banyak, tidak membutuhkan dam untuk menampung air, dan air mengalir dari pipa-pipa ke tempat-tempat pemeliharaan hewan (sapi dan babi), dan banyak kotoran hewan dengan sendirinya akan menyuburkan tanah tersebut.

Banyak dampak dari irigasi air yang berguna untuk usaha warga Blimbingsari.

“Sebagai contoh adalah: produksi pertanian dan perkebunan meningkat, produksi pembuatan gula merah dari sadapan nira kelapa juga meningkat, warga yang memiliki

Menjadi Desa Wisata

115

ternak/hewan (sapi dan babi) produksinya meningkat, bisa lebih mudah mendapat air baik untuk mandi maupun untuk diminum oleh hewan peliharaan, sehingga tidak kehausan, tanaman coklat juga pertumbuhannya dapat lebih baik”, ungkap Pak Wayan Murtiyasa, 2009 (salah satu petani coklat).

Dampak lain adalah ada yang mendaftarkan dan meminjam dana (kredit usaha) di Maha Bhoga Marga (MBM) Kapal, Mengwi, dimana modal itu digunakan untuk usaha menggemukkan sapi atau babi untuk dipasarkan, karena melihat begitu meningkatnya produksi sapi dan babi meningkat sejak adanya irigasi air tepat guna tersebut6.

Sebelum ada irigasi air, hanya ada beberapa warga yang memelihara sapi, karena kesulitan air. Data nama orang yang ikut program penggemukan sapi adalah sebagai berikut: Bapak Gede Sukabagia, Nyoman Yusuf, Gede Oka Mona, Gede Sudigda, Prenamia, Ketut Suyaga Ayub, Ketut Aget, Gede Karyan.

Di bawah ini dijelaskan bagaimana irigasi air berdampak pada peternak sapi dan babi oleh salah satu informan yang bernama Pak Gede Marten. Harga jual sapi yang dimiliki Pak Gede Marten adalah untuk yang sapi jantan sejumlah Rp. 3 juta dikalikan empat ekor menjadi Rp. 12 juta, sedangkan untuk yang sapi betina, sejumlah Rp. 2 juta dikalikan empat ekor menjadi Rp. 8 juta. Sehingga jadi total pendapatan kotornya adalah sebesar Rp.20 juta, belum termasuk biaya pemeliharaan karena Pak Gede Marten tetap mengeluarkan biaya pakan (makan ternak)/hari yaitu satu pikul pakan seharga Rp.10.000 6 Sebagai bukti nyata produksi peternakannya yang meningkat dengan adanya sistem “irigasi air tepat guna”, salah satu informan bernama Gede Marten mengatakan bahwa sistem irigasi air tepat guna bermanfaat untuk hewan ternaknya sampai memperoleh pupuk organik dari kotorannya. Sapi yang di miliki Bapak Gede Marten sejumlah tujuh ekor sapi, dimana tiga ekor adalah milik sendiri, dan empat ekor di bagi hasil dengan orang lain. Dibagi hasil artinya empat ekor sapi itu yang dipelihara oleh orang lain (dikadasin) yang nanti akan dibagi hasilnya setelah laku terjual, pada saat anak sapi berumur 6 bulan, Sapi yang di kadasin adalah sapi penginduk, dimana ”godel” /anak sapi tersebut dijual dan uangnya dibagi dua. Anak sapi yang jantan berumur 4-6 bulan (tergantung model godelnya, anak sapi), harga anak sapi bisa mencapai Rp. 3-4 juta, kalau anak sapi yang betina seharga Rp. 2-3 juta.. Anak yang didapat dari hasil dikadasin sejumlah dua (2) ekor, sebab total anaknya sejumlah empat (4) ekor. Jadi dalam setahun menghasilkan empat ekor. Kira-kira sampai lima belas (15) bulan baru peternak sapi mendapat hasilnya.

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

116

per satu ekor sapi. Sehingga dari usaha penggemukan sapi ini, warga mampu memperoleh penghasilan untuk biaya hidup, karena bantuan sistem irigasi air tepat guna tersebut.

Di samping peternakan sapi, ada juga peternak babi. Masih dengan informan Pak Gede Marten, ia memiliki empat ekor babi. Dalam setahun yang satu ekor babi tersebut dapat dua kali di jual. Satu ekor babi betina bisa beranak antara 8 sampai 10 ekor babi. Faktanya adalah 8 ekor anak babi yg dihasilkan. Delapan ekor/tahun dikali 4 ekor, dikali 2, dikalikan Rp.250.000 menjadi sejumlah Rp.16 jt/tahun. Sehingga penghasilan keluarga ini kalau dibagi dua belas bulan menjadi sejumlah Rp 1.333.000/bulan. (Catatan: satu anak babi, kadang seharga Rp 250.000). Seperti sapi, mereka juga mengeluarkan biaya pakan untuk babi, dimana satu ekor babi membutuhkan 3 kg pakan/hari dikalikan 4 ekor, dikalikan Rp. 3.000 menjadi sejumlah Rp. 36.000/ hari. Dilihat dari penghasilan dan pengeluaran bahwa dampak dari irigasi air tepat guna tersebut dapat meningkatkan pendapatan warga melalui peternakan baik sapi maupun babi.

Penggemukan anak sapi dan babi adalah salah satu mata pencaharian, setelah bertani kelapa dan coklat. Cara-cara seperti inilah yang dipakai warga Blimbingsari agar keluar dari ’kemiskinan dan keterpurukan’, dengan berani meminjam dana/modal yang pastinya akan mendatangkan profit/keuntungan.

Biasanya, untuk menggemukkan seekor sapi diperlukan dua tahun. Dengan memakai makanan berkonsentrat, untuk mencapai berat badan yang diperlukan, kelompok ini hanya membutuhkan waktu 5 bulan. Pada saat itu anak sapi dibeli seharga Rp.1.500.000 (satu setengah juta rupiah) dan ketika sudah gemuk dijual dengan harga Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah). Mereka memperoleh pendapatan Rp.2.500.000 (dua setengah juta rupiah) belum termasuk biaya makanan berkonsentrat. Pemerintah Jembrana sangat terkejut dengan pencapaian hasil yang luar biasa dengan penggemukan sapi mencapai 1 kg (satu kilogram) sehari, karena target dari pemerintah hanya 0,6 kg

Menjadi Desa Wisata

117

per hari, sehingga diadopsilah program ini oleh pemerintah7. Berikut hasil transkrip wawancara dengan Gede Marten yang dilakukan penulis di Blimbingsari, tanggal 15 Oktober 2009, sebagai bukti nyata produksi hasil pertanian yang meningkat dengan adanya sistem “irigasi air tepat guna” sebagai berikut:

Keluarga Gede Marten menyatakan bahwa:

”pemerataan air irigasi bermanfaat untuk warga Desa Blimbingsari, khususnya lahan-nya yang menghasilkan 60 pohon kelapa8. Yang kedua adalah pohon coklat. Keluarga Gede Marten menghasilkan 400-500 batang pohon coklat di lahannya yang teraliri sistem irigasi air tepat guna tepat guna ini.9”.

Dalam kesempatan yang sama, penulis melakukan wawancara dengan Nyoman Yusuf10, tentang bukti nyata bahwa, dengan adanya sistem irigasi air tepat guna, hewan ternak (sapi, babi, lele) bisa hidup dan menghasilkan kotoran ternak yang bisa dijadikan kompos. Berikut petikan wawancara:

”Petani sane mangkin nyidayang ngubuh sampi, babi, lan tegalan sawireh ade irigasi air tepat guna, makasami warge demen sajan”.

Maksudnya adalah Petani-petani sekarang bisa memelihara sapi, kalau tidak ada pemipaan air tepat guna, bagaimana mencari air

7 Wawancara dengan Pak Man Yusuf, di Blimbingsari, 2009. 8 Dimana dalam sebulan antara 600-800 buah bisa dipetik yang dijual secara eceran kepada pengepul. Keluarga ini mendapat 800 butir x 1000 rupiah = Rp. 800.000. Kadang-kadang dalam 1 bulan, mendapat Rp. 600.000 paling rendah. 9 Coklat dijemur satu hari, pas bagus keringnya, bisa mencapai 1 kg dengan harga Rp. 20.000/dua minggu, dia paling dapat setengah kuintal, berarti Rp. 20.000x 50, sehingga penghasilannya setara dengan = Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah)/dua minggu atau Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah)/bulan. Prosesnya adalah menjual coklat langsung di pekarangan rumah, dan ada penjual yang datang keliling dan menawar harga coklat. Penjual mana yang paling tinggi menawar, itu yang dia beri, dan penjual itu juga orang Blimbingsari. Harga coklatnya tergantung kering tidaknya coklat tersebut. Makin kering makin mahal harga coklat tersebut. Pernah terjadi harga sampai Rp.25.000/kg 10 Wawancara dengan Nyoman Yusuf, di Blimbingsari, 2009,

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

118

untuk ternak sapi, babi dan kebun tidak bisa disirami sehingga masyarakat senang sekali dan bersemangat11”.

Blimbingsari Menjadi Desa Wisata Program pemerintah dalam bidang kepariwisataan

merencanakan tujuh juta wisatawan mengunjungi Indonesia dan minimal empat juta dari jumlah tersebut mengunjungi Pulau Bali tahun 2013. Ibu Wendy, orang asing dari Australia pernah tinggal di Blimbingsari berkata: “I don’t want to die before I see Bali ” yang lain mengatakan “Bali is my second home”. Kunjungan wisatawan tersebut telah mengakibatkan mengalirnya tenaga kerja ke Bali dari luar Pulau Bali maupun mancanegara. Dengan kehadiran wisatawan dan tenaga kerja, jalan-jalan di Bali menjadi padat dan tempat-tempat wisata sangat ramai sehingga kenyamanan wisata kian hari kian berkurang. Kemacetan, kelestarian lingkungan tidak bisa lagi dipertahankan.

Ternyata pertumbuhan pariwisata di Indonesia dan khususnya di Bali telah menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat desa yang hidup sebagai petani, memelihara lingkungan, seni, industri kecil dan sebagainya ternyata tidak merasakan apapun dari gemerlapnya pariwisata di Bali. Dolar yang mengalir hanya dinikmati pemilik modal yang membangun hotel, art shop, industri dan sebagainya, sedangkan petani yang memelihara lingkungan, kerajinan tetap miskin dan tidak menikmati hasil dari pariwisata. Di samping itu pembangunan yang dilaksanakan cenderung mematikan usaha-usaha kecil yang dikelola masyarakat-masyarakat lokal.

Pada bulan Desember 2011 telah dipilih dan ditetapkan tujuh desa wisata dari 8 kabupaten di Bali. Ketujuh desa itu adalah Desa

11 Visi Gereja Pniel ”Tanah ini adalah Perjanjian untuk kesejahteraan masyarakat”. Berkaitan dengan pengurangan gas emisi rumah kaca atau pemanasan global bumi, dengan adanya kotoran sapi bisa dijadikan kompos yang banyak dipakai oleh masyarakat Blimbingsari untuk pupuk tanaman dan perkebunan di tegalan. Sekarang dengan adanya air tepat guna ini kita bisa mandi di kebun, dahulu tidak bisa sama sekali mandi di kebun, karena tidak ada sistem irigasi air tepat guna, wawancara dengan Nyoman Yusuf, 2009,

Menjadi Desa Wisata

119

Pinge di Kabupaten Tabanan, Desa Blimbingsari di Kabupaten Jembrana, Desa Bedahulu di Kabupaten Gianyar, Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli, Desa Pancasari di Kabupaten Buleleng, Desa Budakeling dan Desa Jasri di Kabupaten Karangasem (wawancara dengan Pdt. Suyaga Ayub, 26 Desember 2012). Pada tanggal 25 Desember 2011 Bupati Jembrana telah meresmikan Desa Wisata Community Based Tourism Assocition (COBTA) Blimbingsari di Blimbingsari. Ada yang memberikan ucapan selamat dengan beragam cara, salah satu berbentuk rangkaian bunga yang disusun sangat indah seperti di lampiran 5 (bunga letter).

Terpilihnya Blimbingsari sebagai pusat pengembangan desa wisata merupakan terobosan baru bagi transformasi ekonomi Blimbingsari. Mengapa Blimbingsari yang terpilih sebagai desa wisata dan bukan desa lainnya yang ada di kabupaten Jembrana?

“Hal itu terjadi karena peran pemimpin baik dari pemerintah desa maupun pemimpin rohani, yang berkolaborasi”, ungkap Made John Rony, 2011.

Baik pemimpin rohani maupun pemerintahan desa bersama-sama berdiskusi, dan merencanakan, melakukan percakapan dengan Bupati Jembrana mengenai berbagai hal tentang desa wisata.

Segarnya udara bersih, hamparan alam pedesaan yang rimbun di kiri kanan jalan hotmik yang mulus terasa begitu segar menyelimuti setiap wajah dan kulit. Menuju Blimbingsari, melewati sebuah gapura yang di sebut Kuri Agung berarsitektur kombinasi antara arsitektur tradisional dan modern tetapi anggun. Tampak gapura ini dibangun dengan serius dan memancarkan aura keramahan. Rahajeng Rawuh Ring Blimbingsari (Selamat Datang di Blimbingsari) inilah kalimat ramah yang terukir pada ambang atas Kuri Agung menyambut dengan hangat siapapun yang berkunjung memasuki Desa Blimbingsari.

Begitu masuk ke Desa Blimbingsari Ibu Wendy, wisatawan dari Australia yang sudah fasih berbahasa Indonesia sekaligus sebagai informan penulis, memberi komentar “kok di desa ini rasanya tenang, damai sejahtera, udaranya segar, lingkungannya bersih dan rapi”.

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

120

Sekilas suasana desa ini sama dengan desa lain yang dekat dengan pegunungan, tetapi Blimbingsari memancarkan kesan sebagai sebuah desa yang maju dengan bahu jalan berumput yang dipotong dengan rapi, pekarangan yang rimbun dengan berbagai bunga dan bebas dari sampah dan plastik. Sebagian besar pekarangan tidak dibatasi dengan tembok tetapi dibatasi dengan bunga-bunga yang mewujudkan rasa damai dan kepercayaan satu dengan yang lain, bebas dari pencurian dan penggunaan narkoba.

Memasuki pusat desa di sebuah perempatan yang mempunyai tugu kecil akan langsung terbaca ciri keistimewaan Desa Blimbingsari. Inilah Blimbingsari, satu-satunya desa komunitas Kristen di Bali. Bahkan tahun 2010, Dewan Gereja Dunia berkunjung juga ke Desa Blimbingsari, pada saat peringatan ulang tahun Blimbingsari yang ke 80 (lihat lampiran 7).

Secara fisik Desa Blimbingsari ditandai dengan hadirnya sosok komplek bangunan gedung gereja yang berarsitektur Bali yang khas mirip pura tapi bukan pura. Dewan gereja sedunia telah mencatat Gereja Pniel Blimbingsari merupakan salah satu gedung gereja yang mempunyai keistimewaan yang khusus diantara gereja-gereja di dunia.

Blimbingsari sudah siap menerima tamu-tamu wisatawan nusantara dan mancanegara. Warga Blimbingsari menyiapkan rumah mereka sebagai guest house. Penyewaan tersebut bukan semata-mata bertujuan komersial tetapi mereka dapat bercakap-cakap menshare iman mereka dengan tamu dengan cara itu mereka ikut ambil bagian memberitakan “kabar baik kepada bangsa-bangsa”.

Untuk berlibur di Blimbingsari, seseorang dapat melakukan beberapa aktivitas yang di kolaborasi atau bekerja sama dengan wilayah lain. Taman Nasional Bali Barat berbatasan dengan Blimbingsari yang menyajikan flora dan fauna yang sangat menarik. Seseorang dapat melakukan highking untuk program satu jam, tiga jam atau enam jam dan kita dapat membuat beragam out-bond. Di Taman Nasional Bali Barat ini terdapat burung Jalak Putih yang sudah langka

Menjadi Desa Wisata

121

dan dilindungi pemerintah yang diperkirakan jumlahnya masih di bawah 500 ekor.

Bagi yang hobi memancing, mereka dapat melakukannya di Sungai Melaya Blimbingsari, Dam Palasari maupun di laut. Snorkling juga dapat dilaksanakan di Pulau Menjangan yang dihuni dengan taman bawah air dan ikan yang indah berwarna-warni. Snorkling sangat terkenal dan banyak dilakukan oleh tamu-tamu mancanegara. Di Blimbingsari seseorang dapat membuat aktifitas agrowisata yaitu dengan mengunjungi industri pembuatan kopra (lihat lampiran 5), industri pembuatan gula kelapa dari hasil sadapan nira pohon kelapa (lihat lampiran 10). Mereka dapat mengunjungi pembuatan gula kelapa mulai dari mengambil nira kelapa, merebus sampai menjadi gula kelapa. Mengunjungi agrobisnis seperti pertanian, peternakan ayam, sapi, babi dan lain-lain. Banyak pengunjung mengunjungi SD Kristen Maranatha dan Panti Asuhan yang terdapat di Blimbingsari.

Selama ini terdapat juga banyak wisata rohani baik dalam negeri maupun luar negeri dengan program retreat, kunjungan keluarga dan khususnya mengikuti ibadah kontekstual. Kebaktian kontekstual dilaksanakan minggu pertama setiap bulan, jemaat akan hadir berpakaian daerah dan lagu-lagu Bali yang diiringi dengan tabuh gong. Disini juga terdapat jegog. Instrument ini dimainkan oleh sekitar 20 orang ditambah dengan penari. Wisata rohani ada beranekaragam, ada yang stop over beberapa jam di Blimbingsari bertemu dengan pelayan jemaat dan melanjutkan perjalanan kembali ke Denpasar. Di Blimbingsari dapat dilaksanakan juga retreat, study banding, dan perkemahan.

Komite Pariwisata yang dibentuk gereja dan pemerintah desa adalah sebuah lembaga yang sederhana yang dibentuk untuk mengatur perkunjungan-perkunjungan para tamu baik wisata nusantara dan wisata mancanegara. Komite pariwisata lebih detail akan dibahas pada halaman 138 berikutnya. Gambar 6.3 sampai gambar 6.6 di bawah ini menggambarkan denah Desa Blimbingsari, sket trecking dan tourism master plan, juga hendak menggambarkan transformasi apa yang sedang terjadi di Blimbingsari. Gambar dan bagan 6.3-6.6 di bawah ini

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

122

juga menggambarkan terobosan baru dan pengembangan Desa Blimbingsari yang tidak dimiliki oleh desa-desa tetangga. Gambar sket ini diambil dari buku Blimbingsari,The Promise land, oleh Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 2013.

Gambar 6.3. Denah Desa Wisata Blimbingsari, Kecamatan Melaya,

Kabupaten Jembrana, Bali

Menjadi Desa Wisata

123

Gambar 6.4. Denah Sket Jalur Treking, Desa Wisata Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

124

Gambar 6.5. Denah Sket Jalur Treking, Blimbingsari-Ekasari-Palasari, Desa Wisata Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali

Menjadi Desa Wisata

125

Gambar 6.6. Denah Pariwisata, Desa Wisata Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

126

Transformasi terjadi karena kepemimpinan rohani dan peme-rintah yang kreatif. Cerita ini ditunjang oleh fakta lapangan seperti kasus yang ada di Gereja Pniel, dimana pemimpin rohani membuat visi dan misi bersama warganya yang menyatakan bahwa “tanah Blimbingsari adalah tanah pemberian Tuhan” (lihat lampiran 5). Oleh karenanya pemimpin memberi arahan visi dan misi yang jelas kepada warga, agar bisa disiplin untuk membangun desanya. Ini salah satu kreativitas seorang pemimpin dengan menggunakan kata-kata bahwa “tanah pemberian Tuhan”, sehingga warga memiliki budaya disiplin untuk bekerja.

Sebagai pemimpin, mereka memberi motivasi kepada warganya. Mereka tidak mementingkan diri mereka sendiri tetapi yang utama adalah untuk kepentingan desanya, walaupun mereka harus menderita. Semangat wirausaha ini yang diberikan kepada warganya, sehingga desa ini menjadi lebih maju, di samping adanya desa wisata. Cerita itu di tunjang dengan contoh nyata yaitu pemimpin rohani Pdt. Ketut Suyaga Ayub, memberikan tanahnya saat itu sebagai tanah yang disumbangkan kepada Gereja Pniel, Desa Blimbingsari untuk membangun monumen Jubelium GKPB 11-11-2011 dan monumen nama-nama perintis yang masuk pertama kali tahun 1939 ke Blimbingsari. Padahal kalau dilihat dari harga tanah sekarang sangat mahal dan mana mungkin ‘ada seseorang’ yang mau memberikan tanahnya dengan cuma-cuma.

“Monumen yang dibangun tersebut (Jubelium GKPB 11-11-2011 dan monumen nama-nama perintis yang masuk pertama kali tahun 1939 ke Blimbingsari) akan menjadi sejarah bagi warga Desa Blimbingsari dan orang luar Desa Blimbingsari, termasuk juga wisatawan (baik wisnus dan wisman)”, tandas Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 2013.

Efek dari transformasi ini juga berdampak pada jiwa entrepreneurship orang-orang Blimbingsari. Hal ini terlihat dari 24 orang warga Blimbingsari memiliki usaha, yang secara kreatif membangun usaha keluarga karena dorongan semangat kewirausahaan aktor Blimbingsari seperti jenis-jenis usaha pada tabel 6.1. di bawah ini.

Menjadi Desa Wisata

127

Tabe

l 6.1

. Jen

is-je

nis W

irau

saha

di B

limbi

ngsa

ri

Sum

ber:

Dat

a Pr

imer

, 201

0 (D

ata

Dio

lah)

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

128

Terobosan lainnya juga bahwa ada program ekonomi kreatif (industri kreatif) artinya Blimbingsari mampu melakukan transformasi dengan “menjual” budaya dan upacara keagamaan Protestan (Bali- Kristen) dan keindahan Blimbingsari serta tersedianya berbagai objek wisata bagi tamu atau wisatawan nusantara dan mancanegara.

GKPB yang pada awalnya bernama Persatuan Orang-Orang Bali Protestan terbentuk pada tahun 1948. Penyatuan ini dicatat oleh Pemerintah Negara Indonesia Timur pada hari Rabu 11 Agustus 1948, Register 214 LN, No. 812. Dengan demikian Gereja Kristen Protestan Di Bali (GKPB) lahir tahun 1948. Pada bulan April 1949 di Abianbase mulai digunakan nama Gereja Bali Kristen Protestan. Pada tahun 1951 akhirnya digunakan nama Gereja Kristen Protestan di Bali13. Dari butir di atas, jelas bahwa Pemerintah Belanda memberikan tanah untuk para transmigran (Bali-Kristen) yang penulis maknai sebagai potensi menjadi desa wisata dimana “desa ini unik, bersih, pohon kelapa yang rimbun, rapi, landscape, pemandangan yang indah, gereja untuk ibadah kontekstual di minggu pertama, dan seni budaya serta adanya gunung Klatakan untuk kepentingan hiking/outbond”.

Upaya-Upaya Mewujudkan Desa Wisata Upaya-upaya warga dalam mewujudkan desa wisata itu,

diantaranya adalah membentuk komite pariwisata Desa Blimbingsari, pada tahun 2005 yang beranggotakan 3 orang (tugasnya adalah mengatur setiap kunjungan tamu yang datang ke Blimbingsari dari kedatangan sampai keberangkatan). Melakukan kerja sama antara GKPB Pniel Blimbingsari dengan Pusat Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (P3M) STIM Dhyana Pura dengan memberi pelatihan tentang grooming, pelayanan front office, penggunaan Bahasa Inggris, food and beverage, house keeping dan pariwisata kerakyatan. Berikut adalah menggerakkan partisipasi warga

12 Wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, di Blimbingsari, November 2009. 13 Wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, di Blimbingsari, November 2009.

Menjadi Desa Wisata

129

untuk memperbaiki kamar-kamar rumah warga. Memperbaiki struktur sekaa gamelan dan pengadaan alat instrumentalia gamelan dan jegog itu sendiri. Mengadakan ibadah kontekstual, serta membangun kolam renang. Inilah salah satu cara membangun perekonomian Jemaat sekaligus perekonomian Desa Blimbingsari dengan menjadikan Desa Blimbingsari menjadi desa wisata.

Komite Pariwisata Komite pariwisata Blimbingsari dibentuk oleh tiga lembaga

yaitu pertama, pemerintah Desa Blimbingsari, kedua, Gereja Kristen Protestan di Bali Jemaat Pniel Blimbingsari, dan ketiga, Paguyuban. Adapun susunan kepengurusan komite pariwisata ini terdiri dari pelindung adalah Perbekel Desa Blimbingsari bersama Pelayan Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, dengan tiga anggota terdiri dari I Gede Sudigda, Putu Cahya Herani A., dan I Wayan Murtiyasa. (lihat gambar 6.7.).

Sumber: Laporan Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari

Gambar 6.7. Struktur Organisasi Komite Pariwisata Blimbingsari

Komite pariwisata dibentuk dengan tujuan mengembangkan pariwisata Blimbingsari sebagai wisata rohani, budaya, dan agro wisata, meningkatkan ekonomi masyarakat dan mengembangkan Blimbingsari sebagai tujuan wisata Bali Barat. Konkritnya adalah Komite Pariwisata membuat koordinasi dengan kepala desa dan pimpinan rohani, atas

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

130

tamu-tamu yang datang mengunjungi Desa Blimbingsari ini, melaporkan jumlah tamu yang datang, melakukan perencanaan dari awal tamu datang, menyiapkan makanan, minuman, mengatur tempat menginap (akomodasi), menyediakan atraksi seni dan budaya, sampai tamu tersebut meninggalkan Desa Blimbingsari.

“Begitu pentingnya peranan komite pariwisata ini, walau hanya beranggotakan tiga orang saja, karena jikalau tidak ada tim komite pariwisata ini, maka tidak ada yang mengurusnya”, ungkap Ibu Putu Cahya Herani, salah satu anggota komite pariwisata.

Kerja sama Desa dengan Sekolah Pariwisata Dhyana Pura Tanah yang 400 hektar tersebut dikelola oleh seluruh

komunitas Blimbingsari dalam menerima kunjungan wisatawan (baik mancanegara dan nusantara). Jauh sebelum kunjungan wisatawan tersebut, Desa Blimbingsari telah melakukan persiapan-persiapan menuju desa wisata agar lebih siap menerima kunjungan tersebut. Persiapan berbenah diri dilakukan melalui pelatihan bekerja sama dengan Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) dan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Dhyana Pura, Dalung, Kuta. Masayarakat Blimbingsari memiliki potensi. Potensi itu diantaranya adalah ketrampilan hidup (life Skill), masyarakat yang mau belajar, kreatif, inovatif, memiliki landscape/pemandangan yang indah dan menarik. Program pelatihan ini berlangsung selama dua tahun, mulai tahun 2008 dan tahun 2009, dimana semua biaya ditanggung oleh Lembaga PPLP, STIM Dhyana Pura, Dalung (masyarakat Blimbingsari sama sekali tidak mengeluarkan biaya untuk mengikuti pelatihan tersebut)14. Kurikulum yang diberikan oleh P3M Dhyana Pura terlampir (lihat lampiran 12).

Program pelatihan yang diberikan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) dan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Dhyana Pura secara umum adalah sebagai berikut, 14 Wawancara dengan Bapak Jaya Pramono, S.Pd, M.Par., sebagai ketua pelaksana Pusat Pengabdian Masyarakat (P3M) STIM Dhyana Pura, Di Dalung, Kuta, 2010.

Menjadi Desa Wisata

131

housekeeping: artinya bagaimana meningkatkan kebersihan kamar utama dan kamar mandi beserta semua perlengkapannya. Bagaimana komunitas Desa Blimbingsari mempersiapkan atau menyajikan kamar yang bersih dan rapi, agar para wisatawan yang berkunjung dan menginap di Desa Blimbingsari tidak “jijik” sehingga tamu wisatawan (wisnus dan wisman) menjadi puas dan nyaman. Food and Beverage: artinya bagaimana desa mempersiapkan atau menyajikan makanan yang hygine dan bersih. Biasanya tamu disiapkan sarapan pagi, walaupun kadang-kadang tamu meminta disiapkan Lunch and Dinner. Front Office & Grooming: artinya pelayanan adalah perhatian yang fokus. Bagaimana warga Blimbingsari menyambut tamu dengan ramah, memberikan informasi yang benar, kepada tamu yang berkunjung dan penguasaan berbahasa Inggris yang baik menjadi tujuan utama sehingga terjadi komunikasi yang baik dengan para wisatawan khususnya yang dari mancanegara.

Bagaimana kronologis persiapan yang dilakukan oleh warga Desa Blimbingsari yang meminta sekolah pariwisata Dhyana Pura berkenan untuk melatih Desa Blimbingsari tersebut agar menjadi desa wisata? Persiapan yang dilakukan oleh Desa Blimbingsari adalah menurut Kepala Desa Made John Rony, 2009 mengadakan pertemuan dengan para komite pariwisata, banjar dan lembaga gereja serta membuat rencana pertemuan dengan lembaga Sekolah Pariwisata Dhyana Pura. Setelah dibuatnya perencanaan, salah satunya perencanaan tersebut adalah mengundang dosen (pimpinan Dhyana pura) yang akan membantu memberikan pelatihan “gratis/free” karena dimasukan dalam program pengabdian masyarakat, tuntutan dari Dikti untuk melaksanakan tri dharma perguruan tinggi. Setelah itu ditentukan siapa saja dosen yang akan menjadi pembicara saat pelatihan Desa Wisata Blimbingsari. Pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai keahlian dan kemampuan masing – masing dosen dalam bidangnya dan memberikan jadwal, waktu pelaksanaan serta teknis pelaksanaannya. Pelatihan ini bermaksud agar komunitas warga Desa Blimbingsari bisa menyediakan akomodasi yang layak huni bagi tamu, dan hal itu terbukti sekarang dengan tata ruang bersih, rapi dan kamar-

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

132

kamar pun sesuai kelas hotel melati 1 dengan tipe dan ukuran kamar serta fasilitas yang diperoleh tamu (lihat lampiran 4) .

Menggerakkan Partisipasi Warga Memperbaiki Kamar-Kamar Rumah Warga Blimbingsari

Sebagai Kepala Desa Blimbingsari dan sekaligus sebagai tokoh masyarakat Desa Blimbingsari, dengan adanya peristiwa ini, membuat Made John Rony semakin pasti memantapkan ide dan melibatkan (menggerakan partisipasi warga) komunitas Desa Blimbingsari untuk membenahi rumah-rumah mereka agar fasilitasnya baik-bagus, kamar yang bersih sehingga makin banyak tamu yang datang ke desa Blimbingsari ini seperti layaknya hotel kelas melati. Anjuran dan gagasan Kepala Desa Made John Rony tersebut dikuti dan mereka berlomba-lomba membenahi rumah/kamar mereka. Contoh kasus penyedian akomodasi adalah rumah Bapak Pdt. Suyaga Ayub. Kepala desa Made John Rony menyatakan bahwa “Pak Pdt. Ketut Suyaga Ayub menyediakan akomodasi yang memadai dengan kualitas dan fasilitas seperti hotel”. Akomodasi yang nyaman ini dibangun dengan dua lantai, dua kamar di bawah dan dua kamar di atas yang cukup besar. Jadi total kamar berjumlah empat kamar besar. Adapun fasilitas-fasilitasnya adalah Air conditioning (AC), Televisi Flat ukuran 21 inc yang dipasang di setiap kamar, hot and cold water, serta breakfast yang enak. Wisatawan yang menginap membayar ongkos sewa kamar semalam antara Rp.200.000-250.000 per kamar sudah termasuk makan pagi. Walaupun sering juga para tamu yang menginap tidak dikenakan biaya apapun karena tujuan dan kehadiran tamu yang berbeda (untuk pelayanan/diakonia). Pada November 2009 muncul angka yang sangat mengejutkan bahwa warga Desa Blimbingsari sebanyak empat puluh (40) kepala keluarga (KK) sudah memperbaiki rumah-rumah/kamar-kamar mereka yang dijadikan sebagai tempat menginap (bermalam) dan ataupun mengingat himbauan kebersihan dari aktor rohaniawan tersebut. Nama-nama rumah/kamar yang diperbaiki adalah terlampir dalam lampiran 1.

Menjadi Desa Wisata

133

Setelah warga Desa Blimbingsari berhasil dengan perbaikan rumah-rumah tersebut, Kepala Desa Made John Rony hanya mengingatkan kepada warga, bahwa:

“sebagai warga yang telah mendapat pelajaran perhotelan dari sekolah perhotelan Dhyana Pura, tentang bagaimana menata kebersihan kamar (house keeping), memasak (food and beverage) dan keramah-tamahan dan lain lain tersebut, jangan lagi kita sembrono dan tetap menjaga kebersihan dan melayani tamu dengan baik serta ramah kepada semua orang yang menginap di rumah kalian masing-masing”.

Sampai saat ini faktanya adalah bahwa tamu wisatawan (wisnus dan wisman) senang, puas dan ingin berkunjung kembali ke Desa Blimbingsari karena Desa Blimbingsari tetap bersih dan rapi serta penduduknya (warganya) ramah.

Konflik Warga Pemilik Guest House Tidak selalu dan tidak selamanya Desa Blimbingsari memiliki

hal yang indah-indah dan harmoni saja, karena peristiwa konflik pun terjadi antar warga pemilik wisma tamu (Guest House). Asal mulanya adalah baik sekali untuk memberi level atau standar masing-masing pengelola guest house ini. Kategori itu adalah suit room, ada standar room dan deluxe room, tentu dengan fasilitas dan harga kamar yang berbeda. Karena ada pemilik yang memiliki guest house yang sering dikunjungi dan dipakai terus oleh tamu (baik wisnus atau wisman), sehingga terjadi ‘iri hati’ dari pengusaha guest house lainnya. Pernyataan ini dapat dijelaskan dengan kasus (pemaknaan dari penulis) yang terjadi antara Ibu Cahya Herani versus Ibu Kornelius, karena begitu tamu sepi dan sedikit tamu yang berkunjung tentu dengan supply kamar guest house yang banyak dengan demand yang sedikit mempengaruhi persaingan di level usaha guest house. Sering tamu menginap di rumah bu Cahya Herani, karena memiliki fasilitas yang lebih seperti ada AC, tempat yang lebih besar dan ada kolam renang ketimbang di guest house milik Ibu Kornelius yang minim fasilitas. Tidak ada AC, tidak ada kolam renang dan agak sempit.

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

134

Walaupun begitu tidak menyurutkan hati Ibu Kornelius untuk berjualan kamar (guest house).

Dengan mengetahui konflik seperti ini, seringkali Pak Pendeta memberikan arahan saat berkotbah agar tidak saling ‘iri hati’ dalam usaha apapun. Ada banyak kasus lainnya yang menimbulkan konflik, (baik di bidang usaha, maupun kelembagaan gereja) namun penulis hanya mengambil beberapa contoh di atas, agar memberikan gambaran kepada pembaca bahwa desa ini tidak selalu harmoni. Namun mayoritas permasalahan terselesaikan dengan baik yang akhirnya memunculkan rasa solider di antara warga desa sendiri dan komunitas desa ini semakin memiliki hubungan yang erat.

Memperbaiki Struktur Sekaa Gamelan dan Menambah Alat Seni Budaya Desa Blimbingsari

Komite Pariwisata memainkan peranan memperbaiki struktur sekaa gamelan Pertama tahun 2004. Satu tahun kemudian tepatnya tahun 2005, Kepala Desa Made John Rony beserta Pdt Jemaat Pniel saat itu membenahi sekaa jegog Desa Blimbingsari. Kepala Desa Made John Rony beserta Pdt Jemaat Pniel, mengadakan audensi ke Bapak Bupati Jembrana yang saat itu dijabat oleh Prof. Dr. drg. I Gede Winasa, untuk mendapatkan sebuah alat musik jegog yang merupakan musik ciri khas Jembrana, dan menggunakan alat musik jegog tersebut sebagai bagian dari ibadah kontekstual di GKPB Pniel Blimbingsari.

“Akhirnya Desa Blimbingsari diberi subsidi sejumlah Rp.15.000.000 (lima belas juta rupiah) untuk membeli jegog bekas pakai (second hand). Setelah diperbaiki ala kadarnya, gamelan jegog itu dapat digunakan sebagaimana mestinya. Dari alat musik jegog ini, munculah tarian joged bumbung dan tari pergaulan”, kata Pak Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 26 Desember 2010.

Menjadi Desa Wisata

135

Sumber: Data Primer 2009

Gambar 6.8. Para Tamu Menari Bersama-sama Penari Blimbingsari

Tarian rakyat ini awalnya cenderung dilakukan dengan gerak erotis, bahkan sering penari melakukan porno aksi. Akan tetapi di Blimbingsari tidak diperbolehkan alias dihilangkan, sehingga kembali ke bentuk asalnya sebagai tari rakyat pergaulan, yang mengikuti etika sopan santun. Penari joged bumbung juga dilatih oleh orang Hindu yang ditemani oleh warga Blimbingsari (pengadaan pelatih Bali Kristen dan Hindu).

Pembenahan kesenian dilakukan kembali tahun 2006, karena sebelumnya kelompok sekaa gong ini agak macet15. Sekaa Gong awalnya tidak berfungsi maksimal, karena yang memainkan gamelan hanya diperuntukan untuk kelompok lansia (lanjut usia), sehingga anak mudanya tidak mau ikut mentas, tetapi setelah berkomunikasi dengan beberapa orang, maka Kepala Desa Made John Rony beserta Pdt Jemaat Pniel mengubah sistemnya yaitu dengan cara/sistem bahwa warga Blimbingsari semua bisa mengambil peran sebagai pemusik (baik gamelan dan jegog) yang digolongkan ke dalam group seni yang ”demen megambel” artinya kelompok yang suka bermain gamelan.

Jadi yang terpenting dengan adanya musik dan seni tari ini adalah memberikan semangat baru, pergaulan, dan persaudaraan antar dan bagi warga Desa Blimbingsari dengan tamu–tamu yang datang ke Desa Blimbingsari. 15 Wawancara dengan Dek We Putra, Di Blimbingsari, November 2009

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

136

Upah Penabuh Gambelan Bapak Kadek We Putra mengatakan bahwa: ”biasanya, satu

kali pertunjukan seni gambelan dan jegog ini, oleh tamu dibayar Rp.600.000 atau bahkan kadang -kadang tamu membayar Rp.300.000, ada juga yang tidak membayar”. Namun, khusus untuk kebaktian/ ibadah di gereja, sekaa gong ini tidak dibayar, tetapi sebagai bentuk pelayanan untuk Tuhan.

Mereka mempunyai organisasi yang mengatur perkumpulan ”demen megambel” ini. Sehingga dari uang yang masuk/diterima ini lantas dipakai untuk membeli seragam, kas kelompok, dan terkadang dibagikan kepada anggota sehingga pada akhirnya mereka mampu meningkatkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhannya.

Para pengibing atau tamu yang terlibat menari bersama penari biasanya sangat senang karena mendapat kegembiraan, merasa mendapat perlakuan yang sangat khusus (spesial). Itulah yang menjadikan komunitas Desa Blimbingsari hidup.

Kamben Bali dan Udeng : Sebuah Kontekstual Sebagai orang Bali yang telah menjadi Kristen, bukan berarti

mereka meninggalkan budaya Bali sama sekali. Justru harus menambah dan memperkaya kasanah budaya Bali di Blimbingsari, walaupun telah percaya Kristus sebagai orang Kristen. Berdasarkan hal itu, di Desa Blimbingsari dikembangkan budaya dengan memakai pakaian adat Bali dan Udeng dalam ibadah kontekstual pada tahun 2004 sampai sekarang. Tidak hanya pada hari-hari raya besar dan perjamuan kudus saja warga Desa Blimbingsari memakai pakaian adat dan udeng, seperti sakramen baptisan kudus, pernikahan, sidi dewasa, perayaan Paskah dan Natal (kelahiran Tuhan Yesus yang dirayakan setiap 25 Desember) serta kesekaratan/penguburan (kedukaan). Tetapi di samping itu warga di Blimbingsari juga konsisten dan komitmen menjalankan Ibadah Kontekstual setiap bulan di minggu pertama. Ini yang membedakan bahwa di Blimbingsari setiap bulan di minggu pertama, jemaat

Menjadi Desa Wisata

137

menggunakan gambelan Bali, tarian Bali, lagu berbahasa Bali. Sebagai tanda kontekstual, maka lagu-lagu pun menggunakan tata ibadah berbahasa Bali (lihat lampiran 3, lagu berbahasa Bali terjemahan bebas).

Ibadah Kontekstual ini juga sekarang disukai oleh rombongan tamu-wisatawan sebagai hiburan, di samping mereka beribadah, mereka memberi sumbangan ke gereja. Dengan adanya tamu wisatawan dan kunjungan wisata rohani ini berarti membawa/ memberi pemasukan dan penghasilan bagi masyarakat Desa Blimbingsari, khususnya yang bersama-sama ikut berpartisipasi melayani pengujung dan yang dikunjungi juga merasakan sukacita (wawancara dengan Kepala Desa Made John Rony). Mereka menceritakan kepada teman-temannya atau handai taulan, saudara-saudaranya dan lain-lainnya bahwa Desa Blimbingsari ini sangat unik dan menarik. Tidak dipungkiri bahwa dengan persembahan-persembahan yang diperoleh Desa Blimbingsari sebagai pemasukan desa untuk peningkatan ekonomi warga, karena para tamu atau wisatawan yang melakukan ”kunjungan” ke desa ini memberi persembahan, baik buat gereja maupun untuk desa termasuk d idalamnya tim komite pariwisata.

Ibadah Kontekstual yang dimulai tahun 2004 ini juga melibatkan guru seni tari dari luar (agama Hindu) dan didampingi satu orang dari Blimbingsari beragama Kristen untuk mengajarkan kepada anak-anak dan pemuda, kelompok Ibu-Ibu (Dian Kristawati GKPB Pniel), Kaum Bapak (Kristya Winangun GKPB Pniel) dan Panti Asuhan untuk belajar kesenian tari ini, seni gamelan (bagaimana mengiring musik gamelan di gereja pada saat beribadah) yang dinikmati oleh jemaat, warga Blimbingsari dan rombongan tamu pengunjung sebagai hiburan.

Tamu pengunjung (wisnus dan wisman) melakukan berbagai acara dan aktivitas. Acara-acara dan aktivitas yang dilakukan oleh tamu tersebut adalah sebagai berikut. Melakukan ibadat bersama di gereja, melakukan doa dan kebaktian kebangunan rohani (KKR), kunjungan perayaan pelantikan dan pentahbisan. Tidak hanya itu saja,

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

138

ceramah tentang sejarah, budaya dan kontekstualisasi yang dilakukan oleh pemimpin rohani. Memberi sumbangan (baik dana dan tenaga) terhadap pembangunan ekonomi jemaat. Melakukan pentas seni (malam kesenian), baik melakukan seni tari, seni gamelan dan jegog. Melakukan kunjungan terhadap orang sakit, panti Jompo, panti asuhan Widya Asih. Melakukan kunjungan ke sawah dan pertanian serta peternakan. Melakukan outbound di Grojogan, hiking (lihat lampira 5) dan perkemahan serta renang. Melakukan rekreasi, permaianan atau piknik, sehingga komunitas ini menjadi komunitas desa wisata yang bermakna, bermanfaat baik bagi komunitas itu sendiri maupun di luar komunitas Blimbingsari.

Kesimpulan

Untuk menjelaskan topik menjadi Desa Wisata, maka penulis menjelaskan mengenai terbentuknya Blimbingsari sebagai Desa Wisata. Yang di dalamnya berisi tentang desa “sekarat’ (Dying Village) karena anak-anak mereka tidak pulang ke desa setelah mengenyam pendidikan. Namun demikian, untuk mengubah desa tersebut menjadi desa hidup (A Living Village) muncullah pembangunan infrastruktur yang ada.

Dari pertanian menjadi desa “sepi dan sunyi”, sebelum desa ini menjadi desa wisata. Di dalam bab ini dinyatakan dengan ironis sekali bahwa tanah pertanian yang tadinya subur dan dialiri oleh Irigasi Bukitsari menjadi tanah yang gersang, tanah tandus dan tidak subur lagi. Perintis pertama yang makin lama menjadi generasi tua, tidak bisa mengelola lagi lahan yang luas ini karena ditinggal oleh para angkatan muda dan melakukan migrasi ke luar desa Blimbingsari.

Tidak selamanya Desa Blimbingsari memiliki kisah “sukses atau berhasil”, seperti di tahun 1990-an terjadi kisah dimana Desa Blimbingsari menjadi desa sepi, dari pertanian yang subur menjadi desa yang “sekarat”. Ini disebabkan oleh dua faktor besar yaitu: Pertama, adanya migrasi keluar dari desa ke kota untuk belajar dan mengenyam pendidikan di kota-kota besar dan mencari nafkah; Kedua,

Menjadi Desa Wisata

139

adanya daya tarik industri pariwisata sehingga tidak kembali ke desa Blimbingsari.

Disinilah peran kepemimpinan (baik pemimpin rohani dan pemimpin desa) memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong peningkatan ekonomi Blimbingsari dengan menggalang nilai kewirausahaan (entrepreneurship) sehingga Blimbingsari terbentuk menjadi Desa Wisata. Penulis menjelaskan pembangunan infrastruktur yang dibangun dan akhirnya desa itu menjadi “desa hidup” (A Living Village) yang ditunjukkan melalui gereja yang unique, ada home stay, tarian dan gamelan serta kunjungan turis yang meningkat dari tahun ke tahun, yang berintegrasi dengan perkebunan, pertanian dan peternakan, karena tidak dapat dipisahkan.

Masyarakat Blimbingsari yang mayoritas Kristen dan yang sudah melakukan pembangunan infrastruktur mencoba mencari cara untuk membuat desa yang ditempatinya menjadi desa “hidup”, sehingga bisa bertahan dari keterpurukannya. Bahkan sekarang Pemerintah Bali telah memilih Desa Blimbingsari sebagai satu-satunya desa wisata di Kabupaten Jembrana dan mendapat bantuan dari Pemda setempat.

Adapun cara/hal-hal yang dibangun agar menjadi daya tarik tamu/turis di antaranya menonjolkan Identitas Bali Krsiten yang walau sudah menjadi Kristen tetap menggunakan budaya Bali dalam kegiatan imannya/ibadahnya serta memiliki gereja yang unik seperti pura (temple) dan di sekeliling tembok gereja berisi pahatan sejarah. Inilah maknanya bab ini “menjadi desa wisata”, dimana tadinya adalah desa yang ‘sekarat’ menjadi desa yang ‘maju dan makmur’ dengan ekonomi kreatif sampai desa ini terbentuk menjadi satu-satunya desa wisata di Kabupaten Jembrana yang digerakan oleh peran kepemimpinan dengan nilai kewirausahaan tersebut.