6
77 Bahan Bacaan 4.1 Resolusi Konflik Kerangka Kerja Membangun Perdamaian K onflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedan merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari (sunnatulloh) yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif. Suatu konflik dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik. Secara ilmiah terminologi resolusi konflik merujuk pada kebutuhan individu, kelompok, tim, organisasi atau komunitas untuk melihat perdamaian sebagai suatu ‘proses’ terbuka dan membabak kerangka aksi penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Beberapa asumsi yang melandasi pentahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dipandang sebagai sebuah fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki daur kerja atau siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik secara spesifik sangat dipengaruhi dinamika dan perubahan lingkungan tertentu. Ketiga, sebab atau akar masalah suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal—suatu proposisi kausalitas bivariat tetapi lebih bersifat multidimensi. Keempat, Konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. Kelima, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal, apabila dikombinasikan dengan beragam intervensi dan mekanisme penyelesaian konflik yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif, melalui keterpaduan melibatkan berbagai pihak dan sumber daya dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan. ... Sumber Konflik Dalam memahami konflik, gejala, intensitas dan cara penyelesaiannya sangat tergantung sumber penyebab konflik yang ada dalam masyarakat. Terdapat lima sumber penyebab konflik, yaitu (a) konflik struktural, (b) konflik kepentingan, (c) konflik nilai, (d) konflik hubungan sosial, dan (e) konflik data (Lakpesda NU, 2008).

Bab 4- Memahami Konflik Dalam Masyarakat_BB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab 4- Memahami Konflik Dalam Masyarakat_BB

77

Bahan Bacaan 4.1

Resolusi Konflik Kerangka Kerja Membangun Perdamaian

K onflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok)

yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedan merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari (sunnatulloh) yang

terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi

mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif. Suatu konflik dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara

produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian

masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik.

Secara ilmiah terminologi resolusi konflik merujuk pada kebutuhan individu,

kelompok, tim, organisasi atau komunitas untuk melihat perdamaian sebagai suatu ‘proses’ terbuka dan membabak kerangka aksi penyelesaian konflik dalam beberapa

tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Beberapa asumsi yang melandasi

pentahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dipandang

sebagai sebuah fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki daur kerja atau siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik secara spesifik sangat dipengaruhi

dinamika dan perubahan lingkungan tertentu. Ketiga, sebab atau akar masalah suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal—suatu proposisi

kausalitas bivariat tetapi lebih bersifat multidimensi. Keempat, Konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.

Kelima, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal, apabila dikombinasikan

dengan beragam intervensi dan mekanisme penyelesaian konflik yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif, melalui keterpaduan

melibatkan berbagai pihak dan sumber daya dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan.

... Sumber Konflik

Dalam memahami konflik, gejala, intensitas dan cara penyelesaiannya sangat

tergantung sumber penyebab konflik yang ada dalam masyarakat. Terdapat lima sumber penyebab konflik, yaitu (a) konflik struktural, (b) konflik kepentingan, (c)

konflik nilai, (d) konflik hubungan sosial, dan (e) konflik data (Lakpesda NU, 2008).

Page 2: Bab 4- Memahami Konflik Dalam Masyarakat_BB

78

Konflik Struktural

Konflik terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya, seperti; tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Pihak yang berkuasa

dan memiliki kewenangan formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap

pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya

menguntungkan salah satu pihak tertentu atau pihak dominan—Pemerintah pusat.

Konflik Kepentingan

Konflik yang terjadi akibat persaingan kepentingan yang dirasakan menjadi kebutuhan

yang harus dipenuhi atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih, meyakini bahwa untuk memuaskan

kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban, dan biasanya yang menjadi korban masyarakat. Hal lain yang mengindikasikan konflik kepentingan yaitu terjadinya

persaingan manipulatif atau tidak sehat antarkedua belah pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang mendasar (ekonomi,

politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis.

Konflik Nilai

Konflik terjadi akibat perbedaan sistem nilai atau keyakinan yang dianut oleh pihak-

pihat terkait. Sistem nilai merupakan seperangkat keyakinan atau kepercayan yang diakui oleh suatu komunitas yang memberi mkna dalam kehidupan. Nilai menjelaskan

mana yang dianggap baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Individu, kelompok atau komunitas dapat hidup

berdampingan secara harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai muncul ketika salah satu pihak berusaha memaksakan suatu sistem nilai kepada pihak

lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif (di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan).

Konflik Hubungan Sosial

Dalam bermasyarakat terjadi jalinan atau interaksi sosial antarpribadi, antarkelompok, antarkomunitas, dan antarorganisasi. Dalam berinteraksi terdapat kecenderungan

terjadi bias persepsi, streotipe diantara pihak-pihak yang terlibat. Terkadang salah satu pihak mempersepsikan dengan caranya sendiri sehingga menjadi bias. Stereotip

merupakan salah satu faktor timbulnya prasangka yang akan berlanjut pada ketidakpercayaan, kecurigaan, kecemburuan, dan diskriminasi. Pada akhirnya terjadi

tindakan kekerasan. Prasangka menimbulkan gejolak sosial dan memungkinkan terjadi pertentangan dan rusaknya hubungan sosial yang telah terbangun. Prasangka

merupakan sifat negatif terhadap kelompok atau individu tertentu semata-mata karena

keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip) yang memunculkan generalisasi lebih awal tanpa di dasarkan fakta

atau bukti akurat. Hal ini mengakibatkan dampak negatif terhadap pihak lainnya. Jika sasaran prasangka mencakup kelompok minoritas dalam arti jumlah maupun status.

Prasangka kemudian direalisasikan dalam perilaku atau tindakan diskriminasi kepada kelompok lain.

Page 3: Bab 4- Memahami Konflik Dalam Masyarakat_BB

79

Konflik Data

Konflik data menyangkut keabsahan dan penggunaaan metode analisis data yang dipergunakan untuk pengambilan keputusan. Konflik ini muncul kepermukaan ketika

salah satu pihak kekurangan informasi dan data yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, mendapat informasi yang salah, kekurangan data yang valid dan dapat

dipercaya, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai metode analisis yang berbeda.

Terjadinya konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu disebabkan kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik. Konflik data lainnya bisa

jadi karena ketidakjelasan tujuan dan masalah yang akan di kaji oleh pihak-pihak

yang berkepentingan.

... Pendekatan Resolusi Konflik

Konflik dalam masyarakat merupakan fenomena sosial yang memiliki karakteristik dan pola penyelesaian yang unik. Berbagai dimensi dan kerangka penyelesaian

dilakukan melalui proses yang sistematis untuk menemukan alternatif solusi berdasarkan hasil analisis yang benar. Dimensi konflik perlu dipahami sebagai sebuah

kerangka kerja dan analisis dalam menemukan pola dasar resolusi konflik dalam membangun perdamaian.

Secara umum ada tiga pendekatan dalam melihat resolusi konflik sebagai

suatu pendekatan; Pertama, pendekatan yang berfokus pada dinamika konflik (Galtung, 1960). Dalam pendekatan ini, konflik dipandang sebagai fenomena dinamis

dimana reaksi salah satu pelaku konflik ditentukan dari aksi lawannya. Konflik digambarkan dalam ABC segitiga (triangle) yaitu Atitiude-Behviour-Context (sikap-

perilaku-konteks). Resolusi konflik dilakukan dengan cara melakukan transformasi transendental, melakukan kompromi atau pembatalan (witdrawal). Resolusi konflik

secara transenden artinya berupaya agar tujuan dari penyelesaian konflik tercapai. Semua pihak yang terlibat dalam konflik harus berkorban untuk tidak menerima

seratus persen tuntutannya. Resolusi dengan pembatalan dilakukan dengan

menghilangkan tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai salah satu. Dalam melakukan dialog dan negosiasi perlu dilandasi dengan membangun kekuatan

ekonomi, kekuatan sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (Confidence Building Measures).

Kedua, fokus pada kebutuhan dasar. Konflik dilihat sebagai sebuah fenomena sosial dinamis, Meskipun konflik juga disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan

kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai konflik yang realistik. Konflik disebabkan ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat,

tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik. Resolusi Konflik diarahkan

kepada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu dengan memberikan akses kepada pihak-pihak yang berpotensi konflik. Cosser kemudian menawarkan pembentukan sebuah

institusi baru yang bersifat formal maupun informal.

Teori Cosser kemudian diperbaiki oleh Edward Azar yang melihat kepada

durasi konflik dan kegagalan dalam resolusi konflik. Azar mengajukan skema resolusi konflik melalui pendekatan struktural yang tredesentralisasi. Pendekatan ini

diharapkan dapat memuaskan kebutuhan psikologis, ekonomis dan relasional. Pendapat ini senada dengan pandangan Gurr mengajukan teori "Deprivasi Relatif".

Teori Gurr ini melihat kondisi sistematis yang merubah konflik menjadi kekerasan.

Perspektif ketiga disebut kalkulasi rasional (William Zartman, 1985). Fokus dalam perspektif ini bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik memiliki

pertimbangan rasional untuk membuat keputusan, mengatur strategi dan

Page 4: Bab 4- Memahami Konflik Dalam Masyarakat_BB

80

menghentikan konflik. Tetapi menghentikan kekerasan bukan satu-satunya kepentingan dari pihak yang berkonflik. Resolusi konflik menurut pendekatan ini menunggu saat yang

tepat (ripe moment). Peran pihak ketiga untuk mendorong dan mempengaruhi pertimbangan melalui pemberian reward atau punishment.

Dalam konteks konflik etnis dan agama, setidaknya ada tiga perspektif yang sering digunakan; Pertama, perspektif primodial yang melihat konflik sebagai suatu

yang tak terhindarkan dalam masyarakat yang secara etnis dan agama berbeda. Realitas etnik dan agama dianggap sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah alami dan

tidak terhindarkan. Kedua, perspektif instrumentalis melihat bahwa etnis dan agama bukanlah sebagai penyebab konflik melainkan sebagai sarana komunikasi atau alat

untuk mencapai tujuan dalam konflik. Kedua realitas tersebut digunakan untuk

memobilisasi dalam mencapai tujuan ekonomi maupun politik. Pihak yang terlibat melakukan mobilisasi sebagai ’political entrepenur’. Perannya melakukan mobilisasi dan

mengambil keuntungan dalam konflik. Ketiga, perspektif konstruktivis yang berpandangan bahwa etnis dan agama merupakan identitas yang dikonstruksikan secara

sengaja dalam situasi konflik. Perspektif konstruksionis ini merupakan sintesa dari perspektif primordial dan instrumental. Dalam prakteknya model analisis konflik agama

dan etnis didominasi pendekatan instrumental dan konstruktivis.

... Tahapan Resolusi Konflik

Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih

didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk

memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving

approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah

kepada pembentukan komunitas perdamaian yang berkelanjutan.

Tahap Pertama: Mencari De-eskalasi Konflik

Pada tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang

memakan korban jiwa, sehingga resolusi konflik difokuskan pada upaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses penyelesaian konflik.

Tahap ini masih berkaitan dengan kondisi konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus beriringan dengan proses orientasi militer. Proses resolusi konflik

dapat dimulai, jika terindikasi pihak-pihak yang berselisih akan menurunkan tingkat eskalasi konfliknya.

Kajian tentang ‘entry point’ ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang

kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, para pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan

yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000). Bebeda dengan Burton (1990, 88-90) bahwa pemecahan masalah (resolusi konflik)

justru diupayakan sedapat mungkin dapat diprediksi termasuk biaya yang dibutuhkan. Dengan demikian, entry point juga dapat dilakukan apabilai tersedia pihak ketiga yang

mampu menurunkan eskalasi konflik. De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melalui intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan

mandat BAB VI dan VII Piagam PBB. Operasi militer untuk perdamaian dalam rangka

menurunkan eskalasi konflik menjadi tugas berat dari beberapa lembaga internasional. UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995

Page 5: Bab 4- Memahami Konflik Dalam Masyarakat_BB

81

yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”. Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies,

Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.

Tahap Kedua: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik

Pada saat de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan bantuan kemanusiaan (humanitarian

intervention) untuk meringankan beban penderitaan korban konflik. Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations. Prinsip ini

yang menjadi dasar dari sebuah perubahan besar model intervensi kemanusiaan yang

mengharuskan tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus berupaya mendekati titik sentral peperangan. Pertimbangan ini didasarkan bahwa korban

dari pihak sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut. Tidak ada yang harus diupayakan untuk melindungi tempat penting bagi

dengan intervensi pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk minimal dari aksi kemanusian dengan memberikan layanan dan manajemen bantuan terkait masalah kekurangan

komoditas kebutuhan pokok (commodity-based humanitarianism) yang dianggap tidak memadai lagi. Intervensi kemanusiaan dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk

membuka peluang dilakukannya negosiasi antarelit atau pemangku kepentingan yang

terlibat langsung dalam upaya penyelesaian konflik. Pada tahap ini akan lebih banyak nuansa politik dengan maksud agar terjadi proses negosiasi dan memperoleh

kesepakatan politik (political settlement) antara pemangku kepentingan yang terlibat konflik.

Tahap Ketiga: Problem-solving Approach

Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah pemecahan masalah (problem-solving)

yang berorientasi sosial. Tahap ini diarahkan untuk membangun suatu kondisi yang kondusif bagi bertentangan untuk melakukan transformasi konflik yang spesifik ke arah

penyelesaian. Transformasi konflik dikatakan berhasil apabila kedua kelompok yang

terlibat konflik dapat mencapai pemahaman bersama (mutual understanding) tentang cara mengeskplorasi alternatif penyelesaian konflik secara yang langsung dan dapat

dikerjakan komunitas masing-masing. Alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab

fundamental dari suatu konflik.

Penerapan problem-solving approach dikembangkan Rothman (1992:30) yang

menawarkan empat komponen utama proses problem-solving, yaitu; (1) Masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal.

(2) Masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang

kompleksitas konflik mencakup penyebab konflik, trauma yang timbul selama konflik, dan kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan

proses resolusi konflik. (3) kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan indikasi perdamaian. (4) problem-solving

workshop yang berupaya menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif bagi pihak-pihak yang bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi

konflik.

Tahap Keempat: Peace-Building

Tahap peace-building meliputi transisi, rekonsiliasi dan konsolidasi yang menjadi tahapan

terberat dan membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki kondisi masyarakat secara

Page 6: Bab 4- Memahami Konflik Dalam Masyarakat_BB

82

berkelanjutan. Tahap ini memiliki pola penyelesaian yang bersifat struktural dan kultural. Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000, 135-

283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi masyarakat pasca-konflik. Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses yaitu: (1)

pemilihan bentuk struktur negara, (2) pelimpahan kedaulatan negara, (3) pembentukan sistem politik, (4) pembentukan sistem pemilihan umum, (5) pemilihan bahasa nasional

untuk masyarakat multi-etnik, dan (5) pembentukan sistem peradilan.

Mekanisme rekonsiliasi dilakukan untuk mengurangi potensi konflik lebih dalam

dan berkepanjangan yang akan dialami oleh suatu komunitas akibat rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena kekerasan struktural yang terjadi. Atau peristiwa dabn

kejadian (dinamika sejarah) yang dialami komunitas tersebut.

Mekanisme konsolidasi dalam upaya membangun perdamaian yang berupaya mendorong pemangku kepentingan yang terlibat konflik untuk terus melakukan

intervensi perdamaian terhadap struktur sosial yang ada. Tujuan utamanya untuk mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta

mengkonstruksikan proses perdamaian secara berkelanjutan yang dapat dijalankan secara mandiri oleh pihak-pihak yang bertikai. Secara umum kedua tujuan itu dapat

dicapai dengan merancang dua kegiatan yaitu; Pertama, membangun early warning sytem. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini

(Widjajanto, 2001). Sistem peringatan dini diharapkan mampu menyediakan informasi

dan ruang bagi pemangku kepentingan dalam resolusi konflik untuk memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata dalam mengelola konflik. Sistem

peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang melibatkan pemerintah, lembaga non pemerintah, kebijakan dan lembaga yang

dapat mengurangi pertikaian antarkelompok yang dimanfaatkan untuk mengurangi penggunaan kekuatan militer–kekerasan dan bentuk represi lain dalam penyelesaian

konflik.

Kedua, Mengembangkan mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan

sebanyak mungkin pemangku kepentingan non militer di berbagai tingkat eskalasi

konflik. Resolusi konflik dapat melibatkan pihak-pihak dari Non-Governmental Organisations (NGOs), mediator internasional, dan institusi keagamaan.

Keempat tahap resolusi konflik yang telah diuraikan harus di lihat secara komprehensif dan satu kesatuan yang utuh—tidak dapat dijalankan secara terpisah.

Kegagalan yang terjadi dalam proses penyelesaian konflik atau untuk mencapai tujuan disatu tahap akan berakibat pola pengelolaan konflik di tahap berikutnya. Tahapan

tersebut mengilustrasikan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus

menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan

kekerasan struktural di suatu komunitas �.