Upload
ngocong
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
96
BAB 4
HASIL dan PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Perusahaan dan Profil Responden
Sub bab ini akan memberikan gambaran umum perusahaan PT. Matahari Putra
Prima, Tbk. dan profil responden penelitian ini.
4.1.1 Profil Responden
Responden yang menjadi unit analisis penelitian ini adalah perusahaan PT. Matahari
Putra Prima, Tbk dengan studi kasus di Matahari Department Store Mal Ciputra, untuk
pengumpulan data sekunder, dan para pengunjung Matahari Department Store Mal Ciputra
yang pernah melakukan pembelian di MDS Mal Ciputra dalam enam bulan terakhir, untuk
pengumpulan data primer.
4.1.2 Profil Perusahaan
PT. Matahari Putra Prima, Tbk adalah salah satu peritel besar di Indonesia dengan
jumlah toko yang sangat banyak, yakni 83 Matahari Department Store, 28 Hypermaket, 37
Supermarket (Foodmart), 9 Kids2Kids, 36 Boston Pharmacy, dan 110 TimeZone yang tercatat
beroperasi hingga Agustus 2007 di lebih dari 50 kota di seluruh Indonesia. Segmen yang
dibidiknya adalah konsumen kalangan menengah atas. Masyarakat menengah yang dituju
adalah keluarga dengan jumlah pengeluaran bulanannya berkisar antara Rp. 1.750.000,-
hingga Rp. 2.500.000.-. Kemudian untuk supermarket, sasaran konsumennya adalah yang
memiliki pengeluaran bulanan sekitar Rp. 1.250.000,- (Visidata Riset Indonesia, 2003).
97
Sesuai dengan visinya untuk menjadi perusahaan ritel berkelas internasional dan
misinya menjadikan perusahaan ritel Indonesia yang dominan dan modern serta berwawasan
global, perusahaan ini juga telah mengembangkan sayapnya di dunia internasional dengan
membuka cabang department store pertama di Shenzhen, China, pada bulan Oktober 2005.
Matahari bermula dari sebuah toko kecil di Pasar Baru, yang merupakan shopping
center bergengsi di Jakarta kala itu. Pada tahun 1958, seorang businessman bernama Hari
Dharmawan membeli “The Sun”, sebuah toko yang menjual bermacam-macam barang, dan
mengubah namanya menjadi “Matahari”. Pada saat dibuka, ruangan yang digunakan masih
sederhana, hanya satu lantai dan hanya berfokus pada penjualan pakaian dan kosmetik.
Selanjutnya, pada tahun 1972 terjadi kemajuan yang menggembirakan yang mana
omset toko Matahari mengalami kenaikan secara signifikan sehingga Hari Dharmawan
memutuskan untuk memperluas tempat usahanya. Jumlah dan jenis barang yang dijual
semakin beragam, tidak hanya fashion saja, tetapi juga makanan, minuman, peralatan
rumah tangga, dan peralatan elektronik. Pada tahun yang sama, Matahari mengukuhkan
dirinya sebagai pionir konsep Department Store pertama di Indonesia.
Beberapa tahun selanjutnya Matahari mulai membuka beberapa cabang, seperti di
Blok M, Pasar Senen, dan bahkan pada tahun 1980 dilakukan ekspansi hingga ke luar Jakarta
untuk pertama kalinya, yakni di Bogor, dengan nama “Sinar Matahari Bogor”. Lima belas
tahun kemudian, pihak manajemen Matahari memantapkan diri untuk fokus pada bisnis
Supermarket sebagai bagian dari bisnis ritel yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan
harga bersaing.
Tahun 1998 adalah tahun yang berat bagi Matahari yang disebabkan terjadinya
kerusuhan massa di Indonesia. Pada saat itu, 11 toko milik Matahari mengalami penjarahan
ataupun hancur terbakar oleh para perusuh. Namun, Matahari mampu untuk segera bangkit
98
kembali yang terbukti dari perkembangan-perkembangan yang semakin pesat di tahun-tahun
selanjutnya.
Pada tahun 1999, PT. Matahari Putra Prima Tbk. menciptakan Private Brand. Private
Brand tersebut merupakan suatu kumpulan produk unggulan yang bertujuan untuk
menyatakan bahwa Matahari Department Store memiliki merek yang tidak dimiliki oleh
department store lain, sehingga memberikan daya tarik tersendiri bagi konsumen dan
membangun loyalitas terhadap toko.
Semakin menyadari pentingnya loyalitas pengunjung terhadap tokonya, pada tahun
2000 diluncurkanlah kartu pelanggan yang akan memberikan banyak manfaat bagi
pemiliknya, yakni Matahari Club Card (MCC). Hal ini disambut gembira oleh para konsumen,
terbukti dengan banyaknya pengunjung yang segera mendaftarkan diri untuk mendapatkan
kartu MCC. Saat ini anggota MCC mencapai 4 juta member.
Semenjak Matahari Group beralih kepemilikan ke tangan Lippo Group pada tahun
1997 dengan kepemilikan saham sebesar 50,1%, Matahari terlihat berjalan kurang lancar.
Untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk di tahun-tahun mendatang, pihak Lippo
membentuk tim manajemen yang baru. Dari susunan manajemen baru nampak para petinggi
Lippo banyak menggantikan manajemen lama. Bersamaan dengan itu pula masuk beberapa
tenaga ahli asing. Dengan manajemen baru tersebut, strategi Matahari banyak mengalami
perubahan mendasar. Setelah pemisahan manajemen department store dan supermarket,
Matahari kembali ke core business-nya yaitu mengelola bisnis eceran untuk konsumen kelas
menengah atas dengan satu nama, yakni Matahari. Hal itu dilakukan lewat konsep one-stop
shopping yang menggabungkan bisnis department store dan supermarket dalam satu atap.
Ini berarti Matahari meninggalkan bisnis lainnya seperti Galeria yang membidik segmen atas,
Mega M yang mengembangkan konsep Hypermarket, dan Super Ekonomi yang membidik
99
menengah bawah. Kemudian, pada tahun 2003 Matahari meluncurkan Market Place di Mal
Kelapa Gading Center.
Tahun 2004 Matahari meluncurkan konsep Hypermart yang disusul dengan ekspansi
agresif pada tahun 2005. Kesuksesan tersebut membawa Matahari masuk dalam Retail Asia
Top 500 Gold Awards sebagai peritel terbaik di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut,
yakni tahun 2004 s/d tahun 2006. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan tahunan
yang diselenggarakan oleh Retail Asia, sebuah majalah bisnis ritel yang terkemuka di Asia,
yang bekerja sama dengan perusahaan riset global, Euromonitor International, sebagai
sumber penyedia data, dan KPMG yang merupakan salah satu dari empat perusahaan auditor
terbesar (Big Four Auditor).
Sejak akhir Mei 2007, dilakukan perubahan nama 38 gerai Matahari Supermarket
menjadi Foodmart. Perubahan nama ini dilakukan untuk mendongkrak omzet bisnis
supermarket dan menjadikan gerai supermarket lebih independen dari Matahari Department
Store. Bersamaan dengan itu, grup Matahari sedang mempersiapkan pembukaan Parisian
Department Store yang pertama di Indonesia.
4.1.3 Kondisi Perusahaan
Matahari memiliki tingkat penjualan yang terus meningkat dan bahkan pada kuartal
ke-3 tahun 2006, YTD (Year-To-Date) September 2006 menunjukkan peningkatan sebesar
25,3% dengan total net sales mencapai Rp. 5,7 triliun, meningkat dari nilai tahun lalu
sebesar Rp. 4,5 triliun. Pertumbuhan net sales tersebut terutama berasal dari peningkatan
sebesar 7,2% pada divisi department store dengan total net sales mencapai Rp. 2,9 triliun
dan 57,6% peningkatan pada total net sales divisi supermarket/hypermarket yang mencapai
Rp. 2,5 triliun. Hypemarket memberikan kontribusi yang besar pada peningkatan pada total
net sales divisi supermarket/hypermarket (MSM). Matahari Department Store Mal Ciputra
100
sendiri pada tahun 2006 memberikan kontribusi net sales sebesar 16,2% dari total net sales
Matahari Department Store (MDS) keseluruhan.
PT Matahari Putra Prima Tbk., tahun ini telah menyediakan dana sebesar Rp. 1,1
triliun untuk pembukaan gerai baru, renovasi, dan investasi di teknologi informasi.
Sementara dalam 3-5 tahun ke depan, dana sebesar 600 miliar telah disediakan untuk
membangun 50 hypermarket di Jabodetabek dan kota-kota lainnya.
Renovasi sedang dan telah dilakukan di seluruh gerai Matahari Department Store,
termasuk di MDS Mal Ciputra. Pada saat tulisan ini dibuat, sedang berlangsung realisasi dari
sebuah konsep baru untuk divisi Department Store bernama “Parisian” yang mana sedang
dilaksanakan di lokasi yang sebelumnya merupakan lokasi Galeria Department Store di Mal
Taman Anggrek.
4.1.4 Analisis Industri
Analisis struktur industri dapat dilihat melalui 5-forces Porter yang merupakan lima
kekuatan dalam persaingan industri di bawah ini :
4.1.4.1 Ancaman Pendatang Baru
Pendatang baru dalam industri akan memberi dampak pada bertambah ketatnya
tingkat persaingan dalam industri. Namun demikian pemain baru tidak dapat begitu saja
masuk dalam industri, tetapi perlu memperhitungkan hambatan-hambatan yang ada untuk
masuk ke dalam industri sebagaimana berikut ini:
a.) Skala Ekonomis
101
Skala ekonomis tidak mudah dicapai dalam industri department store
mengingat dibutuhkannya modal yang sangat besar serta biaya operasi yang tinggi.
Sebagai gambaran, Ramayana akan membangun 10—15 gerai baru dengan belanja
modal 2007 sekitar Rp 300 - 400 miliar (wartaekonomi.com). Hal ini berarti untuk
membangun 1 gerai saja akan membutuhkan modal sekitar Rp. 30-40 miliar.
Kemudian, berdasarkan data biaya operasional MDS Mal Ciputra tahun 2000-2006,
dapat diperkirakan biaya rata-rata operasional per gerai adalah Rp. 6,2 miliar per
tahun.
b.) Akses ke Saluran Distribusi
Pusat perbelanjaan pada umumnya terbagi menjadi dua jenis
pengembangan fisik, yaitu trade centers dan shopping mall. Pada umumnya, status
kepemilikan trade centers adalah strata-title dimana unit kios-kios yang tersedia
adalah untuk dijual, bukan untuk disewa seperti shopping mall pada umumnya.
Pasokan pusat perbelanjaan di Jabotabek memperlihatkan pertumbuhan
yang sangat pesat. Pembangunan shopping mall dan trade centers di Jakarta dan
sekitarnya akan terus membanjiri pasokan ruang perbelanjaan hingga tahun 2007
dengan 34 proyek (Tabel lampiran 5), baik pembangunan baru maupun ekspansi,
dengan total area keseluruhan 2.565.300 m2. Distribusinya adalah 759.000 m2
(29%) untuk trade centers dan 1.805.400 m2 (71%) untuk shopping mall (Info
Properti, 2005, p5). Menurut riset Procon Indah, jumlah total kumulatif pasokan
ruang ritel di Jakarta sampai pertengahan September 2004 adalah mencapai 1,78
juta m2, sedangkan total pasokan pusat perbelanjaan dengan sistem sewa di
Jakarta saat ini sebesar 1,46 juta m2 (Info Properti, 2005, p5). Namun, dengan
adanya dua mal premium yang dibuka tahun 2007 ini, yakni Grand Indonesia dan
102
One Pacific Place, maka dalam waktu yang nyaris bersamaan akan ada tambahan
pasokan ruang ritel sebesar 213.000 m2.
Service charge untuk shopping centers di Jakarta pada umumnya masih
stabil. Untuk shopping mall kelas A, seperti Plaza Senayan dan Plaza Indonesia
misalnya, service chargenya adalah Rp. 45.000 hingga Rp. 75.000 per m2,
sedangkan untuk mal-mal menengah di bawahnya, seperti Plaza Semanggi, service
charge yang berlaku adalah Rp. 27.500 hingga Rp. 45.000 per m2. Adanya tabiat
pengembang yang ikut-ikutan membangun pusat-pusat perbelanjaan pada saat
sub-sektor ritel ini booming di Jakarta sehingga menghasilkan tambahan pasokan
ruang ritel yang besar, membuat harga sewa sedikit merosot. Hal ini memang
menguntungkan untuk para pengusaha ritel. Saat ini, mal-mal kelas atas dan
premium memasang tarif sewa Rp. 500.000 – Rp. 850.000 per m2 per bulan.
Beberapa bulan lalu, sebelum kemunculan Grand Indonesia dan One Pacific Place,
terdapat tarif sewa ruang ritel hingga Rp. 1 juta per m2 per bulan. Tidak berhenti
hingga bantingan tarif sewa, menurut Utami Prastiana selaku Manajer Senior PT.
Procon Indah, saat ini beberapa mal baru bahkan menawarkan program promosi
berbentuk joint profit.
Keberadaan hypermarket dan department store sendiri pada umumnya
merupakan anchor-tenant yang biasanya dipertimbangkan oleh pengelola gedung
sebagai pihak yang dapat mendatangkan keramaian (traffic) tinggi. Karena sifat
istimewa tersebut, pada umumnya anchor ini menikmati rent-rate dan service
charge yang lebih rendah dari tenant lain pada umumnya. Sebagai contoh adalah
PT. Mitra Adiperkasa (pewaralaba Sogo Department Store) yang pernah
mendominasi saleable area lantai dasar di Plaza Indonesia secara gratis pada saat
krisis 1997-2001 lalu. Ini dilakukan pihak manajemen Plaza Indonesia supaya Sogo
103
Department Store tidak pindah ke gedung lain dan dengan demikian masih menjadi
magnet traffic yang diandalkan untuk Plaza Indonesia. Dengan kondisi dan fasilitas
tersebut, cukup memudahkan akses ke saluran distribusi bagi para pendatang baru
di industri department store, namun umumnya hanya pengusaha ritel dengan
merek-merek terkenal yang bisa menikmati fasilitas ini.
c.) Identitas Merek
Perusahaan yang sudah lama bermain di pasar relatif lebih mudah diterima
konsumen, sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk membangun
kepercayaan dan brand image pada konsumen. Sebaliknya, bagi pemain baru yang
akan masuk ke pasar dengan menggunakan merek baru dan dilakukan oleh
perusahaan baru akan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk masuk ke pasar,
membangun kepercayaan, dan brand image pada para konsumen.
d.) Peraturan-peraturan Pemerintah
Pemerintah mendukung terciptanya persaingan yang sehat baik sesama
peritel modern dengan peritel tradisional. Ini terlihat dari aturan sistem zoning yang
mengatur jarak ritel modern dengan pasar tradisional. Bahkan peraturan ini
cenderung merupakan upaya memelihara pasar-pasar tradisional dari gempuran
ritel-ritel modern, baik lokal maupun asing.
Namun demikian, perkembangan bisnis ritel modern yang semakin kompleks
sekarang ini cenderung sudah tidak terakomodasi oleh peraturan yang ada. Ini bisa
terlihat dari kasus benturan yang terjadi antara minimarket dengan ritel-ritel kecil di
berbagai pelosok kota dan pemukiman. Karena kasus benturan ini, Indomaret
104
diperingati Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk tidak membuka gerai di
wilayah Jabotabek terutama yang berhadapan dengan warung-warung kecil.
Terdapat pula kekhawatiran sebagian besar peritel lokal atas ekspansi
Carrefour yang berhasil membuka sepuluh gerai hypermarketnya dalam waktu
singkat meski masih di wilayah Jakarta. Kekhawatiran ini disebabkan peraturan
zoning yang ada tidak memadai untuk dipakai saat ini. Oleh sebab itu, Aprindo
mengusulkan sistem zoning ritel yang bertitik tolak dari pusat kota atau pusat pasar
tradisional, sehingga ritel modern yang memliki ruang yang lebih luas harus berada
di pinggiran kota, dan seterusnya.
Di samping peraturannya yang sudah tidak relevan lagi, peraturan
pemerintah sudah sejak lama selalu dapat diperdaya oleh ritel modern. Seperti ketika
bisnis ritel modern ini masih dalam kerangka daftar negatif investasi (DNI), sehingga
peritel lokal masih terlindungi dari intervensi asing. Namun, kenyataannya beberapa
ritel modern asing, seperti Yaohan, Walmart, dan Seibu bisa masuk dengan dalih
waralaba dengan pengusaha lokal. Sekarang dengan ketentuan ini seperti yang
tertuang dalam SK Meneg Investasi/ Kepala BKPM No. 29/SK/1998 tertanggal 29
September 1998, bisnis ritel di Indonesia boleh dimasuki oleh investor asing secara
langsung. Ketentuan tersebut diberlakukan bersamaan dengan masuknya bantuan
finansial IMF kepada Pemerintah Indonesia yang mana bantuan tersebut diberikan
dalam rangka memulihkan perekonomian Indonesia yang jatuh akibat krisis ekonomi.
Ketentuan baru tersebut ternyata sangat ditunggu-tunggu oleh para investor
mancanegara. Dua riteler raksasa Perancis, Continent dan Carrefour, juga masuk
bersamaan dengan diberlakukannya ketentuan tersebut.
Belakangan ini, sedang dipersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang
pembinaan pasar tradisional dan penataan pusat perbelanjaan dan toko modern saat
105
ini yang masih dalam tahap harmonisasi redaksional oleh para pakar hukum.
Pengesahan Perpres ini dipastikan tidak sampai Oktober 2007 seperti yang
ditargetkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2007. Dalam Perpres
Pasar Modern terdapat tiga poin penting yang diatur untuk melindungi pedagang
kecil. Tiga poin tersebut antara lain pengaturan persyaratan perdagangan (trading
term) antara ritel modern dan pemasok, pengaturan zonasi untuk ritel modern, serta
kemitraan dengan usaha kecil.
Seperti yang tertulis di Jurnal Nasional bulan Juni 2007, pengaturan untuk
trading term dalam draft Perpres Pasar Modern antara lain peritel pasar modern
dilarang mengembalikan barang yang sudah dibeli. Selain itu, pembayaran barang
dilakukan dalam waktu yang disepakati oleh kedua pihak. Peritel modern juga
dilarang menjual produk di bawah harga beli yang tertulis dalam faktur, kecuali
produk spesifik yang memiliki karakteristik tertentu. Sedangkan peritel besar dilarang
melakukan praktek diskriminasi terhadap pemasok dan praktik lain yang
mengakibatkan terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terkait
dengan kemitraan UMKM, bentuk pengaturan di dalam rancangan Perpres tersebut
adalah larangan memungut biaya pendaftaran dan pembayaran kepada pemasok
UMKM.
Lebih lanjut, pada November 2007 diumumkan bahwa telah dilakukan revisi
Perpres DNI (Daftar Negatif Investasi) yang menyatakan bahwa pemerintah
mengizinkan investasi asing masuk di bidang usaha ritel, khususnya untuk pendirian
supermarket berukuran lebih dari 1.200 meter persegi dan department store
berukuran lebih dari 2.000 meter persegi. Keputusan tersebut merupakan hasil
sinkronisasi dan harmonisasi antara Peraturan Presiden tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Toko, dan Pasar Modern (Perpres Pasar Modern)
106
dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha
yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Bersyarat (Perpres Daftar Negatif
Investasi/DNI).
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ancaman masuknya
pendatang baru cukup rendah, mengingat besarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk
memulai industri ini, dan ketatnya persaingan untuk mendapatkan lokasi strategis. Namun,
untuk pendatang baru asing yang memiliki modal sangat besar serta memiliki merek yang
bonafit di industri department store, ancamannya cukup besar mengingat telah dibukanya
kesempatan penuh bagi investasi asing untuk mendirikan department store berukuran besar
di Indonesia, dan telah diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA).
Organisasi perdagangan dunia (WTO) juga tidak memberikan toleransi hanya karena SDM
kita belum siap.
4.1.4.2 Ancaman Subtitusi
Subtitusi department store merupakan ritel lain yang dapat memberikan manfaat
yang sama tetapi dengan feature atau tampilan yang berbeda.
a.) Kesamaan Manfaat
Beberapa jenis ritel merupakan subsitusi department store bila dilihat dari
kesamaan produk yang dijual dan manfaat fungsional yang diperoleh konsumen.
Hypermarket dan factory outlet merupakan substitusi dari department store jika
dilihat dari tersedianya produk department store yang juga dijual oleh kedua tipe
outlet tersebut.
107
Hypermarket secara fisik merupakan sebuah toko yang cukup besar dengan
luas minimal 4.000 m2. Jadi jika dibandingkan dengan ritel modern lainnya, seperti
minimarket, supermarket maupun department store, hypermarket adalah toko paling
besar dan luas. Sementara item barang yang dijual di hypermarket berkisar antara
60 ribu jenis hingga 75 ribu jenis barang. Adapun jenis barang yang dijajakan
meliputi kelompok makanan dan non-makanan. Jadi dalam hal ini hypermarket
adalah memadukan antara supermarket dan department store menjadi satu kegiatan
besar. Keberadaan hypermarket ini di Indonesia merupakan pesaing berat bagi
peritel lokal. Yang menjadi sumber masalah adalah harga murah yang ditawarkan
oleh hypermarket tersebut. Sebaliknya, justru konsumen yang mengalami penurunan
daya beli akibat krisis justru sangat diuntungkan oleh kehadiran hypermarket ini.
Kenyataan di lapangan menunjukkan sejak dibukanya Continent dan Carrefour
hingga kini selalu dipenuhi oleh konsumen untuk membeli barang-barang
kebutuhannya. Bahkan sebagian konsumen Matahari ikut tersedot, hal ini terlihat
dari menurunnya omzet Matahari sekitar 40% saat kemunculan pertama Continent
pada Maret 1999 (Visidata Riset Indonesia, 2002, pp121-122).
Factory Outlet (FO) biasanya diidentikkan dengan suatu tempat yang
menjual pakaian sisa ekspor dengan harga miring atau relatif murah. Belakangan ini
keberadaan FO yang semula hanya di Bandung, kini telah menyebar ke kota-kota
besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Menurut beberapa
pengamat ritel, keberadaan FO itu meniru dari luar negeri, namun lokasinya berada
di luar kota, dan tidak di sekitar pertokoan atau di tengah kota seperti yang ada di
Indonesia. Selain itu produk-produk fashion yang dijual merupakan sisa ekspor yang
memang reject dan memang dimiliki pabrikan, bukan pedagang.
108
Meski demikian, kedua tipe outlet tersebut tidak dipersepsi sekuat
department store oleh konsumen sebagai tempat menjual kebutuhan sandang
sebagaimana ditunjukkan hasil riset oleh TNS, 2002, p15. Hypermarket oleh
penduduk Jabotabek dipersepsikan sebagai tempat menjual perkakas, perlengkapan
kendaraan, barang elektronik, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari rumah
tangga. Sementara, persepsi konsumen terhadap factory outlet adalah tempat
menjual pakaian dewasa, anak dan bayi, serta kosmetik, sepatu dan tas.
Prilaku belanja konsumen Jabotabek dalam berbelanja di kedua jenis outlet
tersebut masih rendah. Hasil riset di Jabotabek menunjukkan adanya 4% konsumen
yang belanja ke factory outlet secara teratur, dengan frekuensi lebih jarang dari
satu bulan sekali. Sedangkan untuk pembelanja hypermarket ada sebanyak 29%
dengan frekuensi satu kali dalam sebulan (TNS, 2002, p16).
b.) Kecenderungan Harga
Trisrianto dalam Koran Tempo mengatakan bahwa produk yang dijual di
factory outlet kebanyakan adalah barang sisa ekspor, dengan komposisi 80% produk
ekspor dan sisanya lokal. Produk dengan merek terkenal seperti GAP dan Calvin Klein
dijual dengan harga 20%-30% lebih murah dari aslinya. Namun demikian
belakangan ini karena tingginya persaingan factory outlet dan menurunnya kapasitas
produksi dari pemasok lokal, menyebabkan komposisi produk ekspor yang dijual
berkurang menjadi sekitar 50%. Selain itu, beberapa pemain yang mulai menjual
produk sisa ekspor palsu membuat minat konsumen berkurang (2002).
Hypermarket memberikan harga yang lebih murah dibandingkan ritel
modern lainnya. Menurut pengamatan Aprindo, harga tersebut lebih rendah dari
harga pasokan. Atau dengan kata lain hypermarket melakukan praktek jual rugi.
109
Indikasi praktek jual rugi tersebut terlihat dari pemberian diskon secara besar-
besaran dan terus menerus. Sementara itu diskon biasanya dilakukan pada event-
event tertentu dalam waktu yang relatif pendek (Visidata Riset Indonesia, 2002,
p122).
c.) Identitas Produk
Produk substitusi dapat menjadi kuat di pasar jika produk tersebut berhasil
membangun identitas dengan memiliki merek yang kuat dan memiliki karakter yang
berbeda dengan produk yang sudah ada di dalam industri. Hasil riset prilaku belanja
konsumen di Jabotabek belum menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi terhadap
merek factory outlet.
Kesimpulan uraian di atas adalah ancaman factory outlet sebagai produk substitusi
masih rendah, begitupun halnya dengan hypermarket, yang mana masih tidak dipersepsikan
sekuat department store sebagai tempat menjual kebutuhan sandang, khususnya fashion.
4.1.4.3 Daya Tawar Pembeli
Pembeli dalam industri department store adalah konsumen akhir yang
mengkonsumsi langsung produk yang ditawarkan dari department store.
a.) Pembeli Dalam Industri Department Store
Konsumen pembeli produk industri department store adalah individu-individu
dalam masyarakat di Jabotabek. Besarnya pasar industri department store di
Jabotabek tahun 2001 mencapai Rp. 7,6 triliun, dengan jumlah populasi pada tahun
110
2005 mencapai 18,5 juta orang. Dari penghuninya, diperkirakan sebesar 8,8 juta
orang tinggal di Jakarta, 3,7 juta orang tinggal di Bekasi, 3,4 juta orang di
Tangerang, dan 2,6 juta orang di Bogor. Pemerintah Indonesia memproyeksikan
bahwa populasi Jabotabek akan mencapai 32 juta orang pada tahun 2016. Menurut
statistik tsb, Jakarta akan memiliki 12 juta orang, dan kota-kota penyangganya
memiliki 20 juta orang (id.wikipedia.org). Pasar ini terbagi atas tiga kelompok, yang
mana kelompok kelas atas (SES di atas Rp. 4 juta per bulan, menurut AC Nielsen)
sebanyak sekitar 365.000 orang atau hanya 2% dari total populasi Jabotabek yang
mencapai 19,3 juta orang (Marketing, Mei 2006, p11). Sedangkan 98% sisanya,
yakni sekitar 18,93 juta orang merupakan kelompok kalangan menengah dan
kelompok kalangan bawah.
Berdasarkan penelitian MRI (2001), prilaku penduduk Jabotabek dalam
memenuhi kebutuhan sandang dilakukan dengan cara membeli pakaian jadi
sebanyak 89,5 % dan sebanyak 10,5% menjahitkan. Secara ekonomis membeli
pakaian jadi relatif lebih murah dibandingkan dengan membeli bahan kemudian
menjahitkan. Pemenuhan dengan cara menjahitkan biasanya dilakukan untuk
membeli pakaian jadi, kebanyakan membelinya di department store 85,3%, dan
selebihnya membeli di kios, pedagang keliling atau di pertokoan.
Menurut data riset Frontier 2005 terhadap responden di kota-kota besar di
Jawa menyebutkan, 62,14% responden masih melakukan pembayaran secara tunai.
Sisanya, 37,86% menggunakan kartu kredit dan debit (Marketing, Juli 2006, p.24).
Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 7.
b.) Diferensiasi
111
Diferensiasi department store menurut konsumen di Jabotabek tampak
terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu department store bagi kelompok kelas atas,
kelasa menengah, dan kelas bawah. Hal ini sejalan dengan kelompok konsumennya
yang secara ekonomi juga terbagi atas kelas atas, kelas menengah, dan kelas
bawah. Atribut yang mengikuti diferensiasi department store adalah harga barang
yang dijual, kualitas produk, kenyamanan suasana dan pelayanan oleh pelaku dalam
industri department store.
c.) Switching Cost
Pembeli relatif tidak memerlukan biaya yang besar untuk beralih dari satu
department store ke department store lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya pilihan
department store yang ada, sehingga mereka bebas berpindah kapan saja mereka
ingin berbelanja. Hasil penelitian MRI menunjukkan bahwa kunjungan konsumen ke
department store pada kunjungan lima terakhir memperlihatkan adanya sebanyak
2,85 kali belanja ke department store langganan, dan sebanyak 1,31 kali pindah ke
department store lain, dan 0,84 kali pindah ke tempat lainnya. Kecenderungan
pembeli untuk beralih ke department store lain pada kunjungan yang akan datang
ada sebanyak 19% yang menjawab pasti dan mungkin akan pindah ke department
store lain.
Beberapa pemain dalam industri ini telah membuat biaya beralih dengan
memberikan manfaat lebih bagi pelanggan loyalnya. Matahari misalnya, memberikan
manfaat lebih bagi pelanggannya dengan membentuk Matahari Club Card, demikian
juga halnya dengan Metro yang menerbitkan Metro Card.
d.) Integrasi Balik
112
Pada saat ini, upaya konsumen untuk melakukan integrasi balik cenderung
kecil. Hal ini dikarenakan pengadaan kebutuhan sandang dengan alternatif lain
menjadi lebih sulit dan tidak ekonomis. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
data menunjukkan bahwa kebiasaan konsumen dalam membeli pakaian yang sudah
jadi lebih besar (89,5%) dibandingkan dengan yang menjahit (10,5%) sendiri
maupun oleh pihak lain. Konsumen yang membeli pakaian jadi kebanyakan lebih
memilih membeli di department store (85,3%).
Melihat uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa daya tawar pembeli dalam
industri department store relatif rendah. Hal ini diakibatkan oleh jumlah pembeli yang
banyak dan bersifat individu memperkecil daya tawar pembeli dalam menghadapi
department store. Beberapa pelaku industri telah menawarkan manfaat lebih bagi
pelanggannya. Akibatnya akan ada switching cost yang timbul, berupa hilangnya manfaat
lebih bila berpindah ke department store lain. Selain itu, diferensiasi department store yang
sejalan dengan jenis pembeli, memperkecil pilihan pembeli dalam mencari department store
pengganti.
4.1.4.4 Daya Tawar Pemasok
Dalam struktur usaha ritel modern, pemasok merupakan ujung tombak dan bagian
yang cukup penting bagi peritel. Persaingan yang cukup sengit di tingkat bisnis ritel modern
belakangan ini sedikit banyaknya berdampak kepada hubungan antara peritel dan
pemasoknya. Hubungan peritel dan pemasok kini sudah tidak bersifat tradisional lagi.
Pemasok tidak bisa lagi mengandalkan hanya hubungan baik, tetapi harus professional
dengan didasarkan kepada angka-angka kinerja dari produk pemasok.
113
Pemasok dalam industri department store adalah produsen garment yang
memproduksi pakaian pria, pakaian wanita, pakaian anak-anak, dan barang tekstil lainnya.
Perusahaan besar garment yang berorientasi ekspor menikmati keuntungan akibat depresiasi
rupiah, sebaliknya cukup banyak perusahaan yang tidak mampu melanjutkan usahanya dan
mereka ini umumnya perusahaan yang berorientasi hanya pada pasar di dalam negeri.
a.) Pemasok
Kinerja industri pakaian jadi (garmen) nasional pada kuartal I tahun 2006,
diperkirakan mengalami penurunan rata-rata sekira 40 persen (Pikiran Rakyat,
2006). Hal itu diduga akibat lesunya ekonomi di dalam negeri dan turunnya daya beli
masyarakat. Penurunan itu juga diperparah oleh banyak beredarnya produk impor
dengan harga murah yang sulit disaingi produsen dalam negeri. Berdasarkan data
APGI, jumlah industri garmen pada 2001 mencapai 860 perusahaan, turun menjadi
849 perusahaan pada 2002, dan menjadi 855 perusahaan pada 2003.
Perusahaan garment dapat dipisahkan menjadi tiga kelompok berdasarkan
jumlah mesin jahit terpasang. Perusahaan besar adalah perusahaan dengan jumlah
mesin jahit minimal sebanyak 1000 unit ada sebanyak 100 perusahaan. Perusahaan
garment berskala menengah ada sebanyak 500 perusahaan, sedangkan perusahaan
garment berskala kecil dan home industry jumlahnya ada sebanyak 600 perusahaan.
Angka tersebut merupakan angka perkiraan dari hasil penelitian yang dilakukan
Indotextile.
Penyediaan pakaian jadi selain produksi lokal ada pula perusahaan importir
yang menyediakan pakaian impor. Akan tetapi jumlah penyediaan pakaian impor ini
sangat kecil dibandingkan dengan produksi lokal. Penyediaan pasokan pakaian jadi
114
untuk pasar lokal mulai tumbuh kembali sejak tahun 2000, dan pasokan tahun 2001
mencapai 728,206 ton. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 8.
Menurut Benny, ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), yang terlibat di
dalam industri garmen untuk pasar dalam negeri umumnya adalah pengusaha usaha
kecil dan menengah (UKM). Sesuai dengan catatan Kompas, setidaknya ada sekitar
98.000 UKM yang menekuni industri tekstil dan produk tekstil (TTP).
b.) Switching Cost
Switching cost bagi pemain department store untuk berganti pemasok relatif
tidak ada, ini disebabkan adanya jumlah pemasok yang banyak dan kekuatan beli
department store terhadap pemasok sangat besar. Sebaliknya, bagi pemasok skala
menengah dan kecil, untuk masuk sebagai pemasok dalam industri harus
mendaftarkan diri sebagai pemasok dan bersedia memenuhi persyaratan untuk
menjamin kesinambungan pemasokan barang, dan kualitas produk. Kesinambungan
penyediaan barang yang berkualitas sangat dipentingkan oleh pemain industri
department store, karena pembelian yang dilakukan secara terpusat dan dalam
jumlah besar akan sulit dicarikan pengganti bila ada pemasok yang mendadak gagal
memenuhi permintan.
c.) Ancaman Integrasi ke Hilir
Integrasi ke hilir dalam batas waktu tertentu dilakukan oleh pemasok,
terutama yang telah memiliki brand name yang kuat. Pemasok yang demikian
seringkali membuka showroom di dalam mal atau plaza. Walaupun demikian,
showroom tersebut tidak terlalu besar dan lebih ditujukan untuk display produk,
terutama untuk membangun citra eksklusif. Lagipula, traffic yang tinggi di dalam
115
department store merupakan hal utama yang akan membuat produk pemasok lebih
memiliki kemungkinan yang tinggi untuk dilihat dan menarik pengunjung untuk
membeli. Benefit tersebut tidak dimiliki oleh sebuah showroom.
Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa daya tawar pemasok relatif lemah,
terutama pada pemasok berskala menengah dan kecil. Pemasok dalam industri pada
dasarnya memproduksi barang lebih berdasarkan pada permintaan dari ritel dan pengecer
lainnya.
4.1.4.5 Intensitas Persaingan
Industri adalah kumpulan perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama.
Maka, persaingan dalam industri adalah persaingan di antara perusahaan-perusahaan dalam
bidang yang sama yang berupaya mendapatkan posisi terbaik di pasar dengan menggunakan
strategi tertentu.
a.) Jumlah Pemain
Jumlah pemain dalam industri ritel department store ada sekitar 16 pemain,
baik berupa perusahaan ritel skala besar, menengah, maupun skala kecil, dengan
jumlah gerai sebanyak 379 buah yang tersebar di seluruh Indonesia yang tercatat
hingga bulan Juni tahun 2002 (Tabel lampiran 1).
Matahari Group masih merupakan yang terbesar dibandingkan dengan
kelompok department store lainnya di Indonesia, baik dalam jumlah gerai maupun
luas lantainya. Hingga pertengahan tahun 2002, gerainya bertambah dari 81 gerai di
tahun 2001 menjadi sekitar 83 gerai department store yang tersebar di beberapa
116
propinsi di seluruh Indonesia. Luas lantai 83 gerai tersebut diperkirakan mencapai
sekitar 433.000 m2. Kelompok kedua terbesar setelah Matahari Group adalah
Ramayana Group, yang hingga pertengahan tahun 2002 telah memiliki 88 gerai.
Kelompok Yogya Dept. Store yang berkantor pusat di Bandung juga tergolong besar,
yakni sekitar 31 gerai dengan luas sekitar 87.000 m2 pada tahun 2002.
Sedangkan untuk Jabotabek, hingga awal tahun 2003 terdapat sepuluh
pemain dari perusahaan ritel skala besar dan menengah yang mendominasi sebagian
besar ruang ritel department store di Jabotabek. Dengan memperhitungkan pemain
yang memiliki luas ruang lebih kecil, maka secara keseluruhan terdapat 147 gerai
perusahaan ritel skala besar dan menengah yang tersebar di seluruh wilayah
Jabotabek (Tabel lampiran 2).
Jumlah gerai terbanyak di Jabotabek adalah Ramayana sebanyak 41 buah
diikuti Pojok Busana sebanyak 36 buah, kemudian Matahari sebanyak 28 buah.
Untuk luas lantai terbesar dimiliki oleh Matahari dengan luas 247.940 m2 diikuti oleh
Ramayana sebesar 203.303 m2. Persaingan antara Ramayana dan Matahari tidak
hanya dari jumlah dan luasan toko yang dimiliki, tetapi dari sebaran outlet juga
terlihat bahwa kedua department store ini tersebar di sembilan wilayah Jabotabek.
Sampai akhir 2007, Matahari akan membuka lima department store baru.
Sedangkan Ramayana yang hingga kuartal pertama 2007 memiliki 97 gerai --
termasuk OrangeMart, Robinson, dan Cahaya Department Store, menargetkan
memiliki 103 gerai hingga akhir tahun 2007. Namun, mereka akan memfokuskan
ekspansinya ke luar Jawa (Warta Ekonomi, Agustus 2007). Selain itu, di Jakarta
kerap bermunculan pemain-pemain baru dalam industri department store, tidak
hanya lokal, tetapi juga dari luar negeri (Tabel lampiran 3). Trend ini menunjukkan
jumlah gerai department store akan terus bertambah, sebagai upaya para pemain
117
untuk memperbesar pasar. Hal ini mengakibatkan persaingan dalam industri akan
semakin ketat.
Lebih jauh lagi persaingan department store di Jabotabek bila dilihat dari
wilayah Jakarta Barat (Tabel lampiran 4), tampak bahwa di wilayah tersebut terdapat
delapan pemain dengan total 12 gerai yang tersebar seluruh wilayah Jakarta Barat.
Melihat tabel tersebut, MDS Mal Ciputra yang terletak di wilayah Jakarta Barat
memiliki enam pesaing department store lain dengan total gerai delapan buah, dan
dua pesaing dari sesama department store milik Matahari Group, yakni MDS di Mal
Daan Mogot dan Lokasari Plaza serta Parisian di Mal Taman Anggrek, dengan total
gerai tiga buah.
b.) Pertumbuhan Industri
Industri ritel di Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif. Pada 2005,
misalnya, kapitalisasi bisnis ritel di Nusantara masih berada di kisaran Rp. 40 triliun.
Namun, tahun lalu, angkanya melonjak menjadi Rp. 50 triliun. Bahkan di tahun ini,
menurut Handaka Santosa (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau
Aprindo), nilainya bisa mencapai Rp. 58,5 triliun. Aprindo memperkirakan
pertumbuhan bisnis ritel di tahun ini sekitar 17%. Sebagian besar gerai ritel modern,
baik yang lokal maupun asing, yang kecil atau besar, berada di Jakarta dan
sekitarnya. Pada 2006, di Jakarta ada 3.384 gerai ritel atau 38,1% dari total gerai di
tanah air (Majalah Trust, Juli 2007).
Laporan yang dibuat oleh Visidata Riset Indonesia pada Tabel 4.1
memperlihatkan bahwa omzet department store di Indonesia pada tahun 2001
mencapai Rp. 10,84 triliun dari Rp. 5,072 triliun pada tahun 1997 dengan
118
pertumbuhan rata-rata sebesar 21,2%. Sedangkan, khusus di Jabotabek, omsetnya
mencapai Rp. 7,6 triliun pada tahun 2001.
Data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia-Aprindo (2006)
memperlihatkan pada tahun 2005 omzet ritel modern di Indonesia telah mencapai
Rp. 140 triliun. Lembaga riset Euromonitor (Bisnis Indonesia, 2002, p21)
memperkirakan pertumbuhan industri ritel di Indonesia masih sekitar 19% per tahun
dalam lima tahun ke depan. Sejalan dengan hal tersebut, Danareksa Research
Institut (SWA, 2003, p36) menyatakan bahwa pertumbuhan pasar department store
tahun 2002 dan 2003 berturut-turut adalah 16,31% dan 12,78%. Berdasar angka
pertumbuhan tersebut dapat dilihat bahwa peluang industri department store masih
besar.
Tabel 4.1 Perkiraan Perkembangan Omzet Department Store di Indonesia,
1997-2001
Tahun Omzet (Rp milyar) Pertumbuhan (%)
1997 5.072 -
1998 5.862 15,6
1999 6.430 9,7
2000 8.327 29,5
2001 10.840 30,2
Pertumbuhan rata-rata 21,2
Sumber : Visidata Riset Indonesia, 2003, “Studi Tentang Perkembangan Bisnis Ritel Modern di Indonesia (Hypermarket, Department Store, Supermarket, dan Minimarket)”, p78.
c.) Besarnya Modal
Pemain dalam industri department store membutuhkan modal yang tidak
sedikit. Besarnya modal yang digunakan untuk mengembangkan perusahaan
119
mengakibatkan perusahaan yang memiliki akses modal lebih besar akan
mempengaruhi kondisi persaingan dalam industri. Ramayana department store pada
pembukaan outletnya yang ke-83 dengan luas 12.000 m2 menghabiskan investasi
sebesar Rp. 37 miliar (Sijori Pos, 2002, p1). Selanjutnya, menurut Kojongian,
investasi yang dikeluarkan Matahari pada tahun 2003 adalah sebesar Rp. 350 miliar,
yang mana Rp. 80 miliar untuk renovasi 11 toko dan sisanya Rp. 270 miliar untuk
membuka delapan toko baru (RUPS Matahari tahun 2003).
d.) Hambatan Keluar
Industri department store merupakan industri yang relatif rendah hambatan
bagi pelaku untuk keluar dari industri. Terlebih lagi apabila lokasi gerai yang dimiliki
berada pada tempat yang strategis. Kecenderungan pemain industri ritel bila akan
keluar dari industri adalah dengan menawarkan asset yang dimiliki kepada pemain
lain dalam industri. Sebagai contoh, department store Cahaya ketika keluar dari
industri menawarkan asetnya dan sekarang dimiliki oleh Ramayana Group. Contoh
lain adalah Alfa Supermarket dan Alfa Gudang Rabat yang dijual oleh pihak PT. Alfa
Retalilindo Tbk. karena daya saingnya yang terus merosot dan akhirnya diakuisisi
oleh PT. Ramayana Lestari Sentosa Tbk. (Warta Ekonomi, 2007, p23). Proses akuisisi
tersebut telah berlangsung sejak akhir Juni 2007 dan direncanakan akan selesai
dalam tiga sampai empat bulan setelahnya.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah terdapat kecenderungan bahwa intensitas
persaingan dalam industri pada masa depan akan tinggi, yang ditunjukkan oleh banyaknya
pesaing dan pertumbuhan gerai yang terus berlanjut, akibat daya tarik industri yang memiliki
120
pertumbuhan tinggi. Begitupun untuk wilayah Jakarta Barat, MDS Mal Ciputra berada di
dalam persaingan dengan intensitas yang tinggi.
Sebagai penutup dari analisis industri, dapat disimpulkan bahwa industri
department store masih menarik, karena :
1. Pertumbuhan industri semakin tinggi yang didukung dengan tingginya pertumbuhan
mal-mal ataupun pusat-pusat perbelanjaan lain yang merupakan saluran distribusi
utamanya. Namun akibatnya intensitas persaingan di masa mendatang cenderung
semakin ketat.
2. Ancaman pendatang baru relatif rendah, akibat tingginya biaya untuk masuk ke
dalam industri dan ketatnya persaingan untuk mendapatkan lokasi strategis. Namun
tetap perlu diwaspadai munculnya pendatang-pendatang asing, karena kekuatan
modal mereka yang besar dan nama merek yang terkenal.
3. Ancaman produk substitusi di masa depan masih rendah, karena awareness dan
prilaku belanja konsumen untuk kebutuhan sandang, khususnya fashion, di factory
outlet maupun di hypermarket masih rendah.
4. Daya tawar pembeli dalam industri rendah. Walaupun switching cost bagi konsumen
rendah, tetapi faktor atribut pelaku industri lebih mempengaruhi loyalitas konsumen.
5. Daya tawar pemasok juga rendah, karena pemasok tidak menguasai informasi
tentang konsumen dan cenderung memproduksi barang berdasarkan permintaan
pelaku industri.
Kesimpulan lain yang dapat diambil dari analisis di atas adalah bahwa MDS Mal
Ciputra walaupun masih berdaya saing tinggi di lingkungan internal Mal Ciputra sendiri,
tetapi memiliki posisi yang rentan terhadap persaingan industri, khususnya di sektor Jakarta
121
Barat. Wilayah Jakarta Barat yang sering disebut sebagai daerah “mulut naga” memiliki
pertumbuhan yang amat pesat. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya kompleks perumahan
maupun pusat perbelanjaan. Kondisi tersebut memberikan daya tarik yang tinggi bagi
pemain-pemain department store lain untuk mendapatkan lokasi di wilayah Jakarta Barat.
Mengingat peraturan pemerintah yang ada saat ini belum memadai untuk mengantisipasi
persaingan tidak seimbang karena pengaturan lokasi berdirinya pusat-pusat perbelanjaan
yang tidak ketat dan perijinan yang cenderung dimudahkan bagi pengembang pusat-pusat
perbelanjaan yang memiliki modal besar, serta telah diberlakukannya AFTA, maka MDS Mal
Ciputra berada pada kondisi waspada.
4.1.5 Struktur Organisasi dan Uraian Pekerjaan
Pada sub-bab ini akan diberikan gambaran struktur organisasi PT. Matahari Putra
Prima, Tbk. dengan uraian pekerjaan untuk masing-masing jabatan dalam struktur
organisasi, baik yang di perusahaan secara keseluruhan, maupun di cabang-cabang toko.
4.1.5.1 Perusahaan
1. Board of Commisioner
Pemegang tertinggi perusahaan dan mempunyai pengaruh besar dalam hal
pemberian modal perusahaan. Komisaris juga pemilik saham terbesar perusahaan
selain dari public. Tugas utama adalah mengawasi pekerjaan Direktur dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan visi dan misi yang diemban
perusahaan. Komisaris terdiri dari :
- Presiden Komisaris
- Komisaris
122
- Komisaris independen
2. Board of Director (BOD)
Pimpinan tertinggi dalam hal operasional perusahaan. BOD tunduk pada ketentuan-
ketentuan global yang telah digariskan oleh RUPS dan Komisaris Perusahaan. BOD
adalah ujung tombak dari pelaksanaan bisnis dan langsung memimpin para manajer
dan senior manager untuk mencapai tujuan perusahaan. BOD terdiri dari :
- Presiden Direktur
- Direktur 1
- Direktur 2
- Direktur 3
3. Business Unit of Director (BUD)
Bekerja sama dengan BOD dalam menentukan pelaksanaan bisnis dan perusahaan,
khususnya dalam pengembangan Department Store dan Supermarket. Bagian ini
terdiri dari :
- CEO Department Store
- CEO Supermarket
4. Corporate Senior Management (CSM)
Tugas utamanya adalah membina hubungan baik dengan para investor yang telah
ada maupun dengan calon investor yang telah ada maupun dengan calon investor,
serta berusaha mengembangkan, dan membuka bisnis-bisnis baru perusahaan. CSM
terdiri dari :
- Investor Relation & Public Director
123
- Business Development Director
4.1.5.2 Cabang-cabang Toko
1. Store Manager
Setingkat dengan kepala cabang di suatu tempat. Store manager adalah pimpinan
tertinggi dalam suatu cabang di Department Store atau Supermarket. Ia
bertanggung jawab dalam memimpin, mengarahkan, dan melaksanakan semua
kebijakan pusat terhadap pelaksanaan bisnis di Department Store tersebut. Ia
mempunyai target terhadap pemasukan atau omset sejumlah sekian rupiah per
bulan dan per tahun, tingkat shrinkage atau angka kehilangan, dan bertanggung
jawab langsung kepada Regional Manager. Store manager dalam melaksanakan
tugasnya sehari-hari dibantu oleh Asisten Store Manager, Supervisor Area,
Supervisor EDP & Finance, Supervisor Teknisi, dan Supervisor VM.
2. Asisten Manager
Membantu Store Manager dalam memberikan saran dan pendapat dalam operasional
toko dan bertanggung jawab atas toko bila Store Manager tidak ada di tempat.
Selain itu, Asisten Manager bertanggung jawab atas administrasi harian baik
penjualan, pengeluaran kas, customer service, dan penampilan toko. Untuk tipe toko
A+, terdapat dua Asisten Manager dengan pertimbangan adanya beban kerja yang
lebih banyak dibandingkan dengan tipe-tipe toko A,B, dan C.
3. Supervisor Area
Bertanggung jawab atas area yang dipimpinnya baik dalam segi penjualan tiap
konter, Visual Merchandising, shrinkage area atau angka kehilangan, nilai inventory,
124
dan standar grooming dari para pramuniaganya, dan yang paling utama adalah
terhadap merchandising atau barang, yaitu memantau atas barang new arrival dan
barang aging.
Sumber : PT. Matahari Putra Prima, Tbk.
Gambar 4.1. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Kantor Pusat
4. Supervisor EDP dan Finance
Bertanggung jawab atas operasional kasir dan EDP, yang mana mencatat dan
mengatur sistem rotasi kasir, laporan penjualan harian dan bulanan, penerimaan dan
pengeluaran kas, penyediaan uang kecil.
5. Supervisor Ekspedisi
Bertanggung jawab atas inventory merchandising atau persediaan barang,
penerimaan barang, dan retur barang.
RUPS
Komisaris Presiden Komisaris Manager Komisaris
Presiden Direktur Corporate Secretary
Direktur 1,2,3 Bisnis Unit Direktur Corporate SeniorManager Spv
ManagerRegional Manager
Manager
StafStaf
Store Manager
125
6. Supervisor Teknisi dan Keamanan
Bertanggung jawab atas operasional toko yang berkaitan atas supply listrik, AC, dan
mesin kassa. Selain itu juga bertanggung jawab kepada Store Manager atas biaya
operasional dari hal tersebut di atas. Selain itu juga membawahi keamanan yang
mana mengatur rotasi dan target, sistem dari keamanan.
7. Supervisor Visual Merchandising dan Promosi
Bertanggung jawab atas acara promosi yang sedang berlangsung dan sistem
penataan, pemajangan barang dan POP dari tiap konter, dan yang paling utama
adalah penampilan toko.
Sumber : PT. Matahari Putra Prima, Tbk.Gambar 4.2. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Cabang Toko
Staf kasir& EDP
VMArtis
Teknisi&
KeamananStaf
EkspedisiStaf
Pramuniaga
KoordinatorArea
SupervisorArea
Ass. Store Manager
Store Manager
SupervisorEDP &Finance
SupervisorVisual
Merchandising& Promosi
SupervisorTeknisi &Keamanan
SupervisorEkspedisi
126
4.2 Analisis Hasil Pengambilan Data
Dalam sub-bab ini, akan dipaparkan hasil pengambilan data beserta analisisnya.
Tahapan pembahasan dilakukan berdasarkan urutan tujuan-tujuan dari penelitian ini.
4.2.1 Suasana Toko, Lokasi Toko, Variasi Merchandise, Tingkat Loyalitas Toko,
dan Tingkat Penjualan MDS Mal Ciputra
Berikut ini akan dijelaskan bagaimana pertimbangan-pertimbangan dalam
pengaturan suasana toko dan variasi merchandise, alasan penempatan lokasi toko MDS di
Mal Ciputra serta tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko MDS Mal Ciputra dan tingkat
penjualan MDS Mal Ciputra selama ini.
4.2.1.1 Pengaturan Suasana Toko
Pengaturan suasana toko adalah menyangkut pengaturan elemen-elemen dalam
lingkungan toko dengan tujuan mempengaruhi kondisi emosi, kognisi, dan perilaku
pengunjung. Elemen-elemen tersebut di antaranya adalah disain toko, pengaturan layout/
perencanaan toko, dan pengaturan visual merchandising (VM). Di dalam pengaturan
tokonya, MDS menggunakan istilah “World” dalam membagi-bagi wilayah produk yang dijual.
Penataan barang di Matahari ditangani oleh Bagian Pengembangan Toko (Store
Development Division). Bagian ini selain menangani penataan barang, juga desain toko baik
dalam maupun luar, penataan lampu, warna hingga pengawasan konstruksi dan negosiasi
dengan kontraktor. Bagian Pengembangan Toko ini langsung di bawah pengawasan Presiden
Direktur yang dibantu oleh tim khusus yang terdiri dari para manajemen senior.
Penataan produk fashion dikelompokkan berdasarkan jenis barang dan merek.
Seperti kelompok pakaian pria dengan berbagai mereknya, juga kelompok celana pria
127
dengan berbagai mereknya. Kemudian kelompok yang tergolong besar yaitu sepatu, tas, dan
kelompok kosmetika.
Matahari melakukan pengaturan tersebut berdasarkan konsep disain Family Tree.
Oleh karenanya, suasana yang ingin dibentuk adalah bernuansa family yang dibentuk oleh
penataan toko, penempatan produk, perancangan area promosi, dan pengaturan visual
merchandising yang mendukung. Di samping itu, diperhatikan pula efisiensi ruang, sehingga
daya tampung ruang terhadap produk yang dipajang menjadi maksimal, dan tidak
menghambat lalu lintas di dalam toko. Kesemuanya itu dilakukan dengan melalui tahap-
tahap seperti yang ditunjukkan oleh diagram alur pada Gambar 4.3.
Pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana toko tersebut didasari akan
sales contribution dari masing-masing merek dan kondisi market. Berikut penjelasannya :
a. Sales Contribution
Jika sebuah merek tidak dapat memberikan kontribusi penjualan yang seimbang
dengan persentase ruang yang dihuninya di dalam sebuah MDS, maka MDS akan
mempertimbangkan kembali bagaimana pengaturan ruang untuk merek tersebut.
Misalnya, merek A menghasilkan kontribusi penjualan sebesar 12%, sementara
persentase ruang yang dihuninya di dalam sebuah MDS adalah 20%, maka MDS
berhak mengusulkan untuk memperkecil ruang merek A tersebut dan memberikan
lebihnya ke merek yang memang memiliki kontribusi yang baik.
b. Kondisi Market
Kondisi pasar selalu berubah, dan merupakan tugas penting bagi toko untuk terus
mengikuti perkembangan terbaru dari kondisi pasar. Demi hal tersebut, maka MDS
terus melakukan renovasi untuk memberikan suasana yang lebih menarik dan sesuai
dengan keinginan pasarnya. Renovasi yang dilakukan tergantung pada kebutuhan
128
masing-masing toko (MDS). Hal itu dilakukan dengan melihat apakah kondisi toko
tersebut sudah tidak layak (terdapat kerusakan), adanya market yang menuntut
disain yang lebih menarik, dan banyaknya dana yang tersedia. Selain itu, perubahan-
perubahan dari pesaing juga menjadi bahan pertimbangan.
Kondisi market tersebut berhubungan langsung dengan sales contribution dari merek-merek
yang ada. Selera pasar di masing-masing toko MDS pasti memiliki perbedaan. Misalnya, MDS
di Mal Ciputra yang lokasinya dekat dengan universitas-universitas menyebabkan merek-
merek pakaian kasual dan denim memiliki kontribusi penjualan yang besar dibandingkan
pakaian-pakaian formal. Sementara di MDS Daan Mogot, celana bermuda (celana pendek)
memiliki tingkat penjualan yang sangat hebat karena lokasinya yang dekat dengan
perumahan. Hal itu tercermin pula dari para pengunjungnya yang banyak menggunakan
celana pendek ketika berbelanja di MDS Daan Mogot. Dengan demikian, walaupun pada
dasarnya pengaturan layout di setiap MDS adalah sama dan memiliki jenis-jenis merek yang
sama, namun pengalokasian ruang untuk setiap merek atau jenis produknya akan berbeda,
tergantung dari kondisi market di masing-masing lokasi MDS.
Lebih lanjut, renovasi yang dilakukan dalam hal Visual Merchandising di MDS
dilakukan berdasarkan event-event tertentu, seperti Valentine’s Day, Back to School, Hari
Kemerdekaan 17 Agustus, Lebaran, Natal, dan event-event tertentu lainnya. Secara teknis,
pengaturan Visual Merchandising antara lain :
a. penyusunan berdasarkan warna (colour story) yang lebih menyentuh konsumen,
misalnya memadukan warna oranye dengan kuning;
b. menetapkan standard display untuk masing-masing “World”, setiap merek
mempunyai desain counter tersendiri yang satu sama lain berbeda. Meski demikian,
satu sama lain juga memperhatikan keharmonisan ruang secara keseluruhan;
129
Gambar 4.3. Proses Pengaturan Suasana Toko MDS
Store Concept
Koordinasipihak project
dan toko
Soft Design
Pusat MDS
Renovasiperlu
dilakukan?
Ya
Tidakmelakukanrenovasi
Tidak
Pengaturanlayout
Penempatanbrands
Groupingsesuai world
Usulanrenovasi
Sales Contribution
³space contribution?
Ya
Tidak
Confirm kepara
pemimpin
Evaluasioleh pusat
130
c. berkomunikasi dengan pihak supplier—apakah ada acara, launching product,
ataupun new arrival yang mau diperkenalkan, dalam penempatan titik-titik promosi
yang setiap bulannya diatur bergantian sesuai dengan event yang ada;
d. memperhatikan penampilan Show Window yang menampilkan manekin yang
mewakili brand yang dijual. Dengan melihat show window tersebut, diharapkan
konsumen akan dapat merasa tertarik dengan merek yang dikenakan oleh manekin-
manekin tersebut dan memutuskan untuk masuk dan membeli produk tersebut
ataupun produk-produk lain yang dijual di MDS.
4.2.1.2 Pengaturan Variasi Merchandise
MDS memiliki keragaman produk yang dalam dan lebar, dengan memiliki banyak
variasi kategori produk dan variasi pilihan dalam kategori produk. Seperti yang telah dibahas
pada sub-bab sebelumnya, pembagian kategori produk di MDS dilakukan berdasarkan
“World”. MDS memiliki 10 World, yakni:
1. Men’s
2. Shoes
3. Youth Boy
4. Youth Girl
5. Ladies
6. Cosmetic
7. Bag & Accessories
8. Intimatte
9. Home
10. Children
131
Sementara itu, produk yang dijual di MDS terbagi atas dua kategori, yakni Direct Purchase
(DP) dan Konsinyasi (CV). DP adalah produk-produk yang pembeliannya dikelola langsung
oleh pihak Merchandiser (MD) di pusat. Sementara CV merupakan produk-produk yang
dititipkan oleh pihak suppliers di MDS. Adapun komposisi produk yang ada di MDS
tergantung dari tipe dari sebuah toko MDS. Komposisi produk dari segi tipe sebuah toko MDS
adalah sbb :
1. Tipe Toko A+
Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 100
miliar, dengan komposisi produk 70% produk CV dan 30% produk Private Brand.
2. Tipe Toko A
Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar,
dengan komposisi produk 70% produk CV dan 30% produk Private Brand.
3. Tipe Toko B
Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar,
dengan komposisi produk 60% produk CV dan 40% produk Private Brand.
4. Tipe Toko C
Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar,
dengan komposisi produk 50% produk CV dan 50% produk Private Brand.
MDS Mal Ciputra termasuk tipe toko A+, dengan omset per tahun sebesar lebih dari
Rp. 100 miliar dan komposisi DP sebesar 36% dan CV 64%. Komposisi produknya
berdasarkan kategori produk dan world untuk periode Januari – Juni 2007 adalah sebagai
berikut (Tabel 4.2) :
132
Tabel 4.2. Kontribusi by World dan Kategori Produk ( DP dan CV )
World Contribution Space (%)
Men’s 14
Shoes 11
Youth Boy 10
Youth Girl 11
Ladies 12
Cosmetic 7
Bag & Accessories 4
Intimatte 5
Home 12
Children 14
Total 100
Contribution Space (%) DP : 36 CV : 64
Sumber : MDS Mal Ciputra
Di dalam prosesnya, pemilihan model atau pembelian produk yang akan dijual di
MDS untuk produk DP ditentukan dan dilakukan sepenuhnya oleh pihak Merchandiser (MD)
dari kantor pusat di Jakarta berdasarkan volume yang dibagi secara proporsional untuk
masing-masing toko MDS. MD tersebut bertanggung jawab dalam menentukan jenis serta
jumlah barang yang akan dijual di setiap toko, melakukan negosiasi harga pembelian dengan
pemasok, serta menentukan harga penjualan yang tepat agar dapat mencapai marjin laba
kotor yang diharapkan dari tingkat penjualan bulanan dan tahunan yang ditargetkan.
Sementara tugas pihak toko MDS Ciputra adalah menerima produk DP yang dikirim dari
133
Distribution Center (DC) dan tidak berhak untuk menolak. Secara praktek, pihak toko MDS
seharusnya memiliki pengamatan yang lebih baik mengenai produk mana yang lebih memiliki
penjualan yang baik dan sesuai dengan selera pengunjungnya, dan produk mana yang
secara historikal terbukti tidak laku. Oleh karena itu, pihak toko MDS dapat memberikan
laporan mengenai hal tersebut kepada pihak MD pusat untuk dipertimbangkan kembali oleh
pihak MD pusat. Namun, terkadang pihak MD kurang tegas karena menangani terlalu banyak
toko-toko MDS sehingga terjadi pengiriman produk yang telah disarankan untuk tidak dijual
pada toko MDS yang telah memberikan laporan tidak laku tersebut. Jika terjadi demikian,
pihak toko MDS tetap harus menerima terlebih dahulu, baru kemudian melakukan laporan
kembali dan akhirnya jika disetujui oleh pihak MD pusat, maka akan dilakukan transfer
internal (mengirimkan produk atau merek tertentu tersebut ke toko MDS lain yang memiliki
penjualan yang baik akan produk tersebut).
Lain halnya untuk produk CV, yang mana pihak toko MDS dapat memberikan saran
langsung kepada pihak supplier mengenai produk mana yang kurang atau tidak laku dan
produk mana yang lebih laku terjual, untuk kemudian melakukan pengurangan atau
penarikan model tertentu dan memperbanyak produk atau model tertentu yang lebih laku
terjual. Produk-produk CV yang menentukan model dan pilihan produk yang dijual adalah
dari pihak supplier. MDS tidak bertanggung jawab atas produk-produk yang cacat atau tidak
laku, dan menggunakan sistem margin dalam penjualannya. Misalnya, harga sebuah produk
A adalah Rp. 100.000, sesuai perjanjian bahwa MDS mendapatkan 30% gross margin dari
harga penjualan tersebut, maka MDS hanya memberikan sejumlah Rp. 70.000 kepada pihak
supplier apabila barang tersebut terjual, sedangkan Rp. 30.000 adalah untuk pendapatan
toko MDS. Sesuai prinsip konsinyasi yang berarti titip jual, maka untuk barang-barang yang
cacat atau tidak laku akan dikembalikan kepada pihak supplier tanpa syarat apapun. Proses
134
pengaturan variasi merchandise seperti yang telah dijelaskan di atas, digambarkan pada
diagram alur di bawah ini (Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Proses Pengaturan Variasi Merchandise MDS Mal Ciputra
4.2.1.3 Pertimbangan dalam Pemilihan Lokasi MDS di Mal Ciputra
Mal Ciputra dibangun pada tahun 1991 dan dibuka pada 26 Februari 1993. Pada saat
itu selama kurun waktu beberapa tahun, mal ini sempat berjaya menjadi pusat belanja
terbesar di Indonesia sebelum menjamurnya mal-mal lain yang lebih besar. Matahari melihat
adanya kesempatan untuk masuk ke Mal Ciputra berdasarkan alasan di atas dan melihat
lokasi Mal Ciputra yang menempati lahan di persimpangan antara Jl. S. Parman – Jl. Kyai
Pusat MDS Supplier
Pembelianproduk olehMerchandiser
DistributionCenter
Penerimaanproduk DP
dan CV
Pemilihanmodel,
warna, dll
Penjualan bagus ?
Produksebaiknya
di transfer?
Evaluasi oleh pihakMD
Penerimaanproduk DP
dan CVyang sama
MDScabang lain
Ya
TidakTidak
Ya
Tidak
135
Tapa – Jalan Tol Dalam Kota adalah lokasi yang strategis, karena selalu menjadi daerah yang
dilewati setiap orang yang akan menuju ke kawasan Jakarta Barat. Akses pencapaiannya pun
sangat menguntungkan karena dapat ditempuh melalui beberapa ruas jalan dan dibuat
pintu-pintu masuk dari setiap ruas jalan tersebut.
Lokasi ditentukan oleh pihak pusat dan dievaluasi kembali melalui pertumbuhan
penjualannya. Apabila terdapat masalah, maka akan dilihat faktor-faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi hal tersebut. Jika masih terdapat peluang bagi lokasi-lokasi
MDS yang ada, baik dilihat dari segi penjualan maupun market yang potensial, maka toko-
toko MDS di lokasi-lokasi tersebut akan terus di-upgrade (misalnya, dari tipe toko A menjadi
tipe toko A+). Sebagai contoh, dulu MDS hanya menjual produk-produk lokal, tetapi dengan
adanya market sekarang yang lebih menyukai produk-produk high-end, maka Matahari
memutuskan untuk lebih banyak menjual produk-produk merek internasional (khususnya
untuk denim, kosmetik, dan apparel). Lebih spesifiknya, untuk lokasi MDS Mal Ciputra yang
terletak dekat dengan univesitas-universitas dan banyak pengunjungnya yang merupakan
kalangan anak muda (market youth lebih besar), sehingga penjualan untuk produk Youth
lebih besar dibandingkan produk lainnya. Hal tersebut berimplikasi pada keputusan untuk
membagi world Youth menjadi dua, yakni Youth Boy dan Youth Girl. Sedangkan, untuk world
Children memiliki penjualan yang kurang baik karena tidak banyak terdapat keluarga muda
yang datang berkunjung di MDS Mal Ciputra.
Keputusan dalam pemilihan lokasi merupakan hal yang besar dan merupakan
pengeluaran biaya yang paling besar dibandingkan keputusan-keputusan dalam unsur Retail
Marketing lainnya. Jika masalah yang terjadi sangat krusial dan toko MDS di lokasi tertentu
tidak lagi memiliki peluang sedikitpun untuk berkembang, maka hal terburuk yang harus
dilakukan adalah menutup toko MDS di lokasi tersebut. Hal ini sangat dihindari oleh para
peritel, sehingga pihak Matahari akan sangat berhati-hati dalam pemilihan lokasi gerai-
136
gerainya, serta selalu introspeksi dengan melihat tren yang ada, seperti meningkatkan
pelayanan dan peluncuran MCC yang akan memberikan nilai tambah bagi para pengunjung
yang datang ke MDS.
4.2.1.4 Tingkat Loyalitas Pengunjung Terhadap MDS Mal Ciputra
Seperti yang telah diceritakan dalam bab profil responden mengenai sejarah
Matahari, dalam rangka membangun, mempertahankan, dan meningkatkan loyalitas
pengunjung atau konsumennya terhadap MDS, diluncurkanlah MCC (Matahari Club Card).
Maka, dalam melihat tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko MDS Mal Ciputra dapat
dilakukan melalui data MCC tersebut. Data MCC pada LAMPIRAN 9 menunjukkan jumlah
member MCC yang dibagi ke dalam tiga kategori loyalitas (segment loyalty) pada MDS
Citraland (Mal Ciputra) beserta pergerakan tingkat loyalitasnya selama periode Juni 2006 -
Mei 2007.
Pengkategorian loyalitas untuk program MCC terbagi tiga, yakni :
· Kategori “A” = dalam 6 bulan pengamatan, 6 bulan berbelanja (berturut-turut).
· Kategori “B” = dalam 6 bulan pengamatan, 3-5 bulan berbelanja (namun tidak
harus berturut-turut).
· Kategori “C” = dalam 6 bulan pengamatan, 1-2 bulan berbelanja (namun tidak
harus berturut-turut).
Pengamatan yang dilakukan terbagi atas dua periode tiap tahunnya (satu periode
adalah enam bulan). Berdasarkan hasil pengamatan pada periode 1 (Juni 2006 - November
2006), anggota MCC yang termasuk kategori “A” berjumlah 678 orang, “B” sejumah 13.931
orang, dan “C” sejumlah 63.069 orang. Sementara untuk periode 2 (Desember 2006 – Mei
2007), kelompok “A” meningkat menjadi 713 orang, tetapi sebaliknya untuk kategori “B” dan
“C” menurun menjadi sejumlah 13.749 dan 59.715 orang. Dari kedua periode tersebut,
137
kelompok “C” merupakan kategori yang memiliki jumlah terbesar, hal ini mencerminkan
bahwa mayoritas anggota MCC MDS Mal Ciputra memiliki tingkat loyalitas yang tidak terlalu
tinggi. Mereka berbelanja hanya satu hingga dua bulan selama jangka waktu enam bulan,
yang berarti total hanya berbelanja dua hingga empat bulan dalam setahun.
Hal tersebut juga terlihat dari data pergerakan tingkat loyalitas anggota MCC MDS
Mal Ciputra (LAMPIRAN 9), yang menunjukkan bahwa jumlah anggota yang meningkat
loyalitasnya (total promote) lebih kecil dibandingkan jumlah anggota yang menurun
loyalitasnya (total down grade), yakni 6.265 (total promote) dan 6.329 orang (total down
grade). Adapun jumlah anggota yang tingkat loyalitasnya stabil (tidak meningkat ataupun
menurun) menunjukkan angka terbesar, yakni sejumlah 27.651 orang. Gambar 4.5
menunjukkan diagram batang pergerakan jumlah pembelian dari anggota MCC pada tiap
kategori loyalitas selama dua periode. Diagram tersebut juga memperlihatkan bahwa selain
jumlah anggota MCC MDS Mal Ciputra dengan loyalitas yang stabil adalah yang terbanyak,
mereka juga memiliki jumlah pembelian yang terbanyak dan berkontribusi paling besar
terhadap tingkat penjualan MDS Mal Ciputra dibandingkan dengan jumlah pembelian
anggota MCC yang memiliki penurunan atau peningkatan loyalitas. Uniknya, mereka yang
mengalami kenaikan tingkat loyalitas (promote), yakni mereka yang semakin sering
berbelanja di MDS Mal Ciputra justru memiliki kontribusi pembelian yang lebih kecil pada
periode 1, dan kontribusi pembelian terbesar kedua pada periode 2. Bisa ditarik kesimpulan
pula, bahwa nilai belanja per transaksi dari mereka yang memiliki loyalitas stabil juga lebih
besar daripada mereka yang tingkat loyalitasnya berubah. Namun, perlu diperhatikan juga
bahwa persentase pertumbuhan dari mereka yang loyalitasnya meningkat (promote) sangat
signifikan, mencapai hingga 338% (LAMPIRAN 9).
138
Gambar 4.5 Pergerakan Jumlah Pembelian Anggota MCC MDS Mal Ciputra
Secara keseluruhan kembali terbukti, seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa
mayoritas anggota MCC MDS Mal Ciputra memiliki tingkat loyalitas yang tidak terlalu tinggi.
Mereka berbelanja hanya satu hingga dua bulan selama jangka waktu enam bulan, yang
berarti total hanya berbelanja dua hingga empat bulan dalam setahun (kategori CC), tetapi
mereka berbelanja dengan nilai yang lebih besar dalam setiap transaksinya. Sebaliknya,
mereka yang berbelanja lebih sering justru memiliki nilai belanja per transaksi yang lebih
sedikit, tetapi dengan tingkat pertumbuhan pembelian yang sangat signifikan.
4.2.1.5 Tingkat Penjualan MDS Mal Ciputra
MDS Mal Ciputra memiliki tingkat penjualan rata-rata Rp. 97,279 miliar per tahun
selama periode 2002-2006 (Tabel 4.3). Selama tahun 2002-2004, terlihat adanya penurunan
tingkat penjualan pada MDS Mal Ciputra hingga senilai Rp. 9,519 miliar. Namun kembali
02,000,000,0004,000,000,0006,000,000,0008,000,000,000
10,000,000,00012,000,000,00014,000,000,000
(Rp)
Period 1 Period 2
Sales Periode 1 dan 2
StablePromoteDown Grade
139
mengalami peningkatan penjualan pada tahun 2005 dan 2006, yang mana MDS Mal Ciputra
memiliki tingkat penjualan di atas Rp. 100 miliar (upgrade to A+). Sementara itu, kontribusi
MDS Mal Ciputra terhadap penjualan bersih MDS keseluruhan memiliki nilai rata-rata sebesar
13,64%.
Tabel 4.3. Tingkat Penjualan MDS Mal Ciputra Tahun 2002-2006 (dalam juta rupiah)
Tahun Penjualan Kontribusi % Net Sales
2002 94.112 14.112 15,3%
2003 89.281 10.350 11,6%
2004 83.926 9.519 11,3%
2005 104.487 14.466 13,8%
2006 114.589 18.520 16,2%
Sumber : PT. Matahari Putra Prima Tbk.
Pembelian oleh anggota MCC senilai Rp. 61,764 miliar memberikan kontribusi
sebesar 53,90% terhadap penjualan MDS Mal Ciputra pada tahun 2006 (LAMPIRAN 11). Hal
ini menunjukkan adanya kontribusi yang lebih besar dari pembelian oleh anggota MCC
dibandingkan dengan pengunjung yang bukan anggota MCC. Kondisi serupa juga terlihat dari
kontribusi penjualan MCC sebesar 51% terhadap penjualan MDS Mal Ciputra pada periode
2006 hingga pertengahan 2007.
Adapun produk yang memberikan kontribusi terbesar dan memiliki produktivitas per
m2 tertinggi bagi penjualan MDS Mal Ciputra antara lain adalah kategori produk CV
(konsinyasi) dengan rata-rata kontribusi di atas 60% dan rata-rata produktivitas Rp. 3 juta.
Jika dilihat dari kontribusi by world, kategori produk yang memberikan kontribusi di atas 10%
140
di antaranya adalah produk Men’s (18%), Shoes (15%), Youth Boy (12%), dan Youth Girl
(12%). Kontribusi kategori Youth secara total menjadi 24%, yang merupakan kategori
produk dengan kontribusi terbesar terhadap penjualan MDS Mal Ciputra. Hal ini wajar,
mengingat lokasi MDS Mal Ciputra yang dekat dengan lembaga-lembaga pendidikan,
khususnya universitas-universitas. Tabel 4.4 memberikan ringkasan data kontribusi tersebut.
Tabel 4.4. Contribution By World Januari-Juni 2007 MDS Mal Ciputra
Produktivitas per m2 (Rp.)Keterangan Penjualan (%)
DP CV
Men’s 18 2.398.890 3.740.370
Shoes 15 2.616.630 4.687.620
Youth Boy 12 2.461.920 3.120.810
Youth Girl 12 1.501.320 3.756.840
Ladies 10 1.374.660 3.121.890
Cosmetic 8 3.359.130
Bag & Acc. 3 2.011.230 1.826.190
Intimatte 6 1.508.280 4.426.950
Home 6 1.232.820 1.475.640
Children 10 1.669.590 2.332.560
TOTAL 100 2.327.790 3.167.580
Contribution Sales DP : 31 % CV : 69 % Jan-Des ‘05
Contribution Sales DP : 27 % CV : 73 % Jan-Des ‘06
Contribution Sales DP : 23 % CV : 77 % Jan-Jun ‘07
Sumber : MDS Mal Ciputra
4.2.2 Data Demografis
Berikut ini merupakan informasi mengenai sebaran demografis pengunjung MDS Mal
Ciputra yang sebagian besar akan disajikan dalam bentuk graphic pie.
141
a. Jenis Kelamin
Mayoritas pengunjung MDS Mal Ciputra adalah wanita, yakni 130 orang dengan persentase
65%. Sementara pengunjung pria hanya sejumlah 35%.
Gambar 4.6. Jenis Kelamin Responden
b. Usia
Rata-rata pengunjung merupakan pengunjung dewasa, dengan mayoritas 73% memiliki usia
20-35 tahun. Sementara pengunjung dengan usia lanjut hanya terdapat 5%.
Gambar 4.7. Usia Responden
c. Tingkat Pendidikan Tertinggi
47% responden memiliki pendidikan tertinggi S2, diikuti oleh D3 sebesar 29% dan -
Jenis Kelamin
Lelaki35%
Wanita65%
Usia (tahun)
13%
73%
9%
5% 0%< 20 thn20-35 thn36-50 thn51-65 thn> 65 thn
142
S1 sebesar 10%. Sisanya memiliki pendidikan tertinggi SD, SMU/sederajat, dan S3 sebesar
9%, 3%, dan 2%. Tidak terdapat responden dengan pendidikan tertinggi SLTP.
Gambar. 4.8. Tingkat Pendidikan Tertinggi Responden
d. Status Pernikahan
Status pernikahan responden mayoritas merupakan bujang/single (belum menikah), dengan
persentase 75% (150 orang). Sisanya telah menikah 24% dan merupakan janda/duda 1%.
Gambar 4.9. Status Pernikahan Responden
Tingkat Pendidikan Tertinggi
9%
29%
10%47%
2%
0%0%
3%
SDSLTPSMU/sederajatD3S1S2S3Lainnya
Status Pernikahan
Bujang/single75%
Menikah24%
Lainnya0%
Janda/duda1%
MenikahBujang/singleJanda/dudaLainnya
143
e. Rata-rata Pengeluaran per Bulan
Sebagian besar responden merupakan kalangan menengah ke atas (69%), dengan total
persentase kalangan atas sebesar 46%, dan total kalangan menengah sebesar 23%.
Sementara kalangan bawah memiliki total persentase sebesar 31% (pie warna hijau dan biru
tua).
Gambar 4.10. Rata-rata Pengeluaran per Bulan Responden
f. Keanggotaan MCC
Lebih dari 50% responden tidak memiliki keanggotaan MCC, sedangkan yang merupakan
anggota MCC hanya sebesar 46%.
Gambar 4.11. Keanggotaan MCC Responden
g. Prilaku Belanja Responden
Rata-rata Pengeluaran per Bulan
22%
24%23%
17%
14%> Rp.3.000.000
Rp.1.800.001-Rp.3.000.000
Rp.1.000.001-Rp.1.800.000
Rp. 600.000-Rp1.000.000
< Rp.600.000
Keanggotaan MCC
46%54%
MemberMCC
Non-memberMCC
144
Hanya 39% dari responden yang memiliki prilaku belanja yang berorientasi rekreasi.
Sedangkan sebagian besar responden (61%) memiliki prilaku belanja yang berorientasi
fungsional. Dengan demikian, sebagian besar responden menjawab bahwa mereka dalam
berbelanja lebih mementingkan hal-hal yang sifatnya praktis dan fungsional (lokasi mudah
dicapai, harga menarik, antrian sedikit) dibandingkan adanya suasana yang menyenangkan
dari tempat mereka berbelanja (tempat yang bergengsi, tampilan disain dan interior yang
menarik, serta penataan produk yang menarik).
Gambar 4.12. Prilaku Belanja Responden
h. Jenis Pekerjaan
Responden yang bekerja sebagai karyawan dan profesional menunjukkan persentase
tertinggi, masing-masing sebesar 31%. Jenis pekerjaan responden kedua terbanyak adalah
mahasiswa, dengan persentase sebesar 19% atau 38 orang. Sedangkan sisanya merupakan
pelajar 8%, ibu rumah tangga 5%, PNS 2%, dan freelance, sedang bekerja magang, telah
pensiun, serta pengangguran, dengan masing-masing persentase sebesar 1%.
Prilaku Belanja Responden
61%
39%BerorientasifungsionalBerorientasirekreasi
145
Gambar 4.13. Jenis Pekerjaan Responden
i. Transportasi yang Digunakan
Sebagian besar dari mereka yang datang ke MDS Mal Ciputra menggunakan kendaraan
umum (42%), dan mobil pribadi (41%). Sisanya menggunakan motor dan jalan kaki sebesar
12% dan 5%.
Gambar 4.14. Jenis Transportasi yang Digunakan Responden
Jenis Pekerjaan1%
31%
19%
31%
1%
1%
2%
8%
5%
1%
Freelance Karyawan Ibu rumah tangga Magang MahasiswaPelajar Pengangguran Pensiun PNS Profesional
Transportasi yang Digunakan
5%
42%41%
12%Jalan kaki
Kendaraanumum
Mobil Pribadi
Motor
146
j. Waktu Tempuh, Lama Belanja, dan Jumlah Kunjungan dalam 1 Bulan Terakhir
Hasil survei menunjukkan bahwa responden membutuhkan waktu tempuh rata-rata 32,82
menit untuk sampai ke MDS Mal Ciputra, menggunakan waktu rata-rata 98,025 menit
melihat-lihat di dalam MDS Mal Ciputra, serta rata-rata responden mengunjungi MDS Mal
Ciputra sebanyak 3,03 kali dalam sebulan terakhir.
Berdasarkan penjabaran hasil sebaran demografis di atas, dapat disimpulkan bahwa
mayoritas responden merupakan wanita sebesar 65% (130 orang), berusia 20-35 tahun
(73% atau 146 orang), memiliki pendidikan tertinggi S2 sebanyak 47% (94 orang), belum
menikah 75% (150 orang), merupakan kalangan atas dengan rata-rata pengeluaran sebesar
Rp. 1.800.001 hingga lebih dari Rp. 3 juta sebanyak 46% (92 orang), bukan merupakan
anggota MCC 54% (108 orang). 61% (122 orang) memiliki prilaku belanja yang berorientasi
fungsional, bekerja sebagai karyawan dan profesional dalam bidang tertentu masing-masing
sebesar 31% (total 124 orang), dan menggunakan transportasi kendaraan umum 42% (84
orang). Mereka membutuhkan waktu tempuh rata-rata sekitar 32,82 menit, menghabiskan
waktu melihat-lihat di dalam MDS Mal Ciputra selama rata-rata 98,025 menit, serta
mengunjungi MDS Mal Ciputra rata-rata sebanyak 3,03 kali dalam sebulan terakhir.
4.2.3 Screening Data
Berikut sebagian output PRELIS yang merupakan output statistik deskriptif yang memberikan
informasi mengenai mean, standar deviasi skewness dan kurtosis, sampai nilai minimum dan
maximum beserta frekuensinya pada tiap-tiap variabel manifest (indikator) :
Total Sample Size = 200
Univariate Summary Statistics for Continuous Variables
147
Variable Mean St. Dev. T-Value Skewness Kurtosis Minimum Freq. Maximum Freq.
-------- ---- -------- ------- -------- -------- ------- ----- ------- -----
ST11 3.775 0.894 59.749 -1.547 2.483 1.000 8 5.000 23ST12 4.035 0.958 59.546 -1.385 1.961 1.000 6 5.000 63ST13 4.040 0.686 83.272 -1.088 2.474 2.000 11 5.000 40ST14 3.755 0.805 65.958 -1.043 0.957 1.000 1 5.000 21ST15 3.800 0.730 73.633 -1.238 1.999 1.000 1 5.000 18ST16 3.965 0.726 77.285 -1.302 2.907 1.000 1 5.000 33ST21 3.525 1.084 45.984 -0.639 -0.497 1.000 8 5.000 30ST22 3.775 0.865 61.723 -1.194 1.509 1.000 4 5.000 26ST23 3.730 0.825 63.945 -1.143 1.128 1.000 2 5.000 19ST24 3.415 1.029 46.951 -0.622 -0.811 1.000 5 5.000 15ST25 3.260 1.148 40.143 -0.363 -0.994 1.000 13 5.000 21ST26 3.550 1.036 48.470 -0.601 -0.501 1.000 5 5.000 29ST27 3.760 0.752 70.728 -1.293 2.086 1.000 2 5.000 16ST28 3.555 0.928 54.173 -0.601 -0.538 1.000 1 5.000 20ST29 3.565 0.922 54.684 -1.009 0.314 1.000 5 5.000 14ST210 3.635 0.852 60.357 -1.045 0.717 1.000 3 5.000 15ST211 3.925 0.694 79.970 -1.629 4.486 1.000 2 5.000 24ST31 3.230 1.106 41.302 -0.377 -0.787 1.000 14 5.000 18ST32 3.680 0.861 60.445 -0.953 0.516 1.000 2 5.000 20ST33 3.780 0.822 65.067 -1.274 1.797 1.000 3 5.000 22ST34 3.965 0.712 78.805 -1.387 3.793 1.000 2 5.000 32
LT11 3.665 0.920 56.318 -0.964 0.481 1.000 4 5.000 23LT12 4.085 0.591 97.717 -1.348 7.240 1.000 2 5.000 37LT13 3.775 0.964 55.388 -0.929 0.427 1.000 4 5.000 38LT21 3.605 0.924 55.193 -0.911 0.238 1.000 4 5.000 19LT22 3.560 0.889 56.631 -0.747 0.270 1.000 4 5.000 18
VM11 3.900 0.868 63.527 -1.294 2.025 1.000 4 5.000 38VM12 4.075 0.657 87.727 -1.153 3.168 2.000 10 5.000 41VM13 3.900 0.750 73.519 -1.060 1.859 1.000 1 5.000 31VM14 3.920 0.804 68.929 -1.083 1.182 2.000 21 5.000 36VM21 3.530 1.041 47.937 -0.552 -0.681 1.000 4 5.000 28VM22 3.460 1.046 46.785 -0.585 -0.651 1.000 6 5.000 22
LYT11 4.065 0.919 62.538 -1.228 1.463 1.000 3 5.000 66LYT12 3.395 1.084 44.296 -0.312 -0.895 1.000 6 5.000 28LYT21 3.640 0.730 70.506 -0.419 0.015 2.000 14 5.000 16LYT22 3.930 0.894 62.174 -1.013 1.102 1.000 3 5.000 49LYT31 3.855 0.726 75.127 -1.126 2.081 1.000 1 5.000 24LYT32 3.835 0.700 77.461 -1.446 2.867 1.000 1 5.000 17LYT33 3.860 0.709 76.976 -1.586 3.707 1.000 2 5.000 19LYT34 3.705 0.838 62.560 -0.901 0.696 1.000 2 5.000 22LYT35 3.820 0.663 81.461 -0.724 1.100 2.000 9 5.000 20LYT36 3.850 0.693 78.596 -0.983 2.090 1.000 1 5.000 23
PP11 2.980 1.112 37.911 -0.027 -1.117 1.000 15 5.000 12PP12 2.695 1.140 33.447 0.127 -1.177 1.000 30 5.000 6PP13 2.765 1.165 33.573 0.160 -1.161 1.000 26 5.000 10PP21 3.295 1.046 44.563 -0.349 -0.669 1.000 9 5.000 19PP22 3.180 1.185 37.946 -0.043 -1.183 1.000 11 5.000 28PP23 3.990 0.856 65.882 -1.096 1.425 1.000 2 5.000 51
Hasil di atas memperlihatkan tidak terdapat data outliers, yang terbukti dari nilai minimum
dan maksimum yang tidak berada di luar angka 1 - 5. Sementara itu, dengan melihat nilai
rata-rata dari masing-masing variabel manifest tersebut dapat kita lihat bahwa secara
148
keseluruhan responden memberikan ranking yang baik untuk variabel laten suasana toko,
lokasi toko, dan variasi merchandise. Namun, responden memberikan ranking yang kurang
baik untuk variabel pembelian pengunjung.
Lebih lanjut, untuk variabel suasana toko, indikator yang mendapatkan ranking
terburuk paling banyak (31,5% responden memberi nilai 5) adalah indikator pada dimensi
ambient factors : ST12, yakni mengenai kesukaan responden akan musik yang diputar di
MDS Mal Ciputra. Indikator tersebut menggunakan pernyataan negatif pada kuesioner (“Saya
merasa terganggu dengan musik yang diputar di MDS ini”). Dengan demikian, nilai 5
menunjukkan penilaian yang sangat buruk dari responden. Hal ini menunjukkan bahwa
31,5% responden merasa terganggu dengan musik yang diputar di MDS Mal Ciputra selama
kunjungan mereka. Sedangkan indikator pada dimensi yang sama: ST13, yakni mengenai
penilaian responden akan kebersihan lantai MDS Mal Ciputra, merupakan indikator yang
mendapat ranking tertinggi terbanyak (20% responden memberi nilai 5) dibandingkan
indikator-indikator suasana toko lainnya.
Kemudian, untuk variabel lokasi toko, indikator yang mendapatkan nilai 5 terbanyak
(19% atau 38 responden memberi nilai 5) adalah indikator pada dimensi aksesbilitas : LT13,
yakni penilaian responden akan kemudahan untuk datang ke MDS Mal Ciputra dengan
menggunakan transportasi umum. Pernyataan untuk menilai indikator ini menggunakan
pernyataan negatif (“Sulit untuk berkunjung ke MDS ini dengan menggunakan transportasi
umum”), yang berarti nilai 5 merupakan penilaian yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat 19% responden yang memberikan penilaian sangat buruk akan kemudahan
mengakses MDS Mal Ciputra dengan menggunakan transportasi umum. Sementara untuk
indikator-indikator lainnya mendapatkan penilaian yang baik dari para responden.
Pada variabel variasi merchandise, indikator yang mendapatkan penilaian tertinggi
ataupun terendah paling banyak adalah indikator-indikator pada dimensi variabilitas.
149
Indikator VM12, yang merupakan penilaian responden akan ragam kategori produk yang
tersedia, mendapat penilaian tertinggi (nilai 5) terbanyak, yakni 20,5% responden memberi
nilai 5. Sementara indikator yang mendapatkan penilaian rendah (nilai 2) terbanyak, adalah
VM14, yang merupakan penilaian responden akan banyaknya pilihan warna (ukuran, bahan,
dll) dalam setiap kategori produk. VM14 mendapat nilai 2 dari 21 responden (10,5%). Akan
tetapi VM14 juga mendapatkan penilaian tertinggi (nilai 5) yang tidak terlalu jauh berbeda
dengan jumlah responden yang memberikan nilai 2, yakni 36 orang (18%) responden
memberikan nilai 5 untuk VM14.
Pada variabel loyalitas toko, nilai rendah terbanyak diberikan oleh 66 responden
(33%) pada indikator dimensi commitment, yakni LYT11 : kekuatan komitmen responden
untuk berbelanja kembali di MDS Mal Ciputra. Indikator tersebut menggunakan pernyataan
negatif (“Saya tidak berniat untuk kembali berbelanja di MDS ini”). Sehingga nilai 5 yang
diberikan oleh responden menunjukkan tidak adanya komitmen responden untuk kembali
berbelanja di MDS Mal Ciputra. Sementara itu, indikator pada dimensi satisfaction, yakni
LYT31 : kepuasan pengunjung terhadap pelayanan di MDS, memiliki penilaian tertinggi
terbanyak dibandingkan indikator-indikator loyalitas toko lainnya. 12% atau 24 responden
memberikan nilai 5 untuk LYT31. Kondisi tersebut mengimplikasikan adanya loyalitas yang
tidak terlalu kuat dari para pengunjung MDS Mal Ciputra.
Terakhir, pada variabel pembelian pengunjung, indikator yang mendapatkan nilai
tertinggi terbanyak dari responden (9,5% responden memberi nilai 5) adalah indikator pada
dimensi average number of visits over a year, yakni PP21 : bahwa responden setiap bulan
datang berkunjung ke MDS Mal Ciputra. Sementara indikator yang mendapatkan penilaian
terendah dari responden (25,5% responden memberi nilai 5) adalah indikator pada dimensi
average number of visits over a year, yakni PP23 : bahwa responden hanya sekali dalam
setahun berkunjung dan atau berbelanja di MDS. Hasil yang diharapkan dari indikator ini
150
adalah nilai 1 (Sangat Tidak Setuju), karena kondisi yang diinginkan adalah responden sering
berkunjung atau setiap bulan berkunjung ke MDS Mal Ciputra. Hal ini memperlihatkan bahwa
sebagian besar responden tidak setiap bulan berkunjung di MDS Mal Ciputra. Di samping itu,
melihat hasil indikator lainnya dapat disimpulkan pula bahwa rata-rata responden
mengunjungi banyak toko dalam setahun dan 7,5% (15 orang) menyatakan bahwa MDS Mal
Ciputra merupakan pilihan pertama mereka.
Berikut adalah hasil tes distribusi normalitas multivariat dengan PRELIS :
Test of Univariate Normality for Continuous Variables
Skewness Kurtosis Skewness and Kurtosis
Variable Z-Score P-Value Z-Score P-Value Chi-Square P-Value
ST11 -9.001 0.000 3.920 0.000 96.385 0.000
ST12 -8.058 0.000 3.450 0.001 76.833 0.000
ST13 -6.330 0.000 3.912 0.000 55.379 0.000
ST14 -6.067 0.000 2.208 0.027 41.687 0.000
ST15 -7.199 0.000 3.488 0.000 64.001 0.000
ST16 -7.575 0.000 4.244 0.000 75.393 0.000
ST21 -3.714 0.000 -1.809 0.071 17.068 0.000
ST22 -6.946 0.000 2.961 0.003 57.013 0.000
ST23 -6.646 0.000 2.465 0.014 50.249 0.000
ST24 -3.620 0.000 -3.895 0.000 28.272 0.000
ST25 -2.110 0.035 -5.823 0.000 38.353 0.000
ST26 -3.495 0.000 -1.827 0.068 15.553 0.000
ST27 -7.521 0.000 3.571 0.000 69.314 0.000
ST28 -3.493 0.000 -2.026 0.043 16.303 0.000
ST29 -5.869 0.000 0.983 0.326 35.412 0.000
ST210 -6.079 0.000 1.808 0.071 40.221 0.000
ST211 -9.477 0.000 5.161 0.000 116.454 0.000
ST31 -2.191 0.028 -3.691 0.000 18.425 0.000
ST32 -5.543 0.000 1.423 0.155 32.749 0.000
ST33 -7.412 0.000 3.283 0.001 65.719 0.000
ST34 -8.065 0.000 4.804 0.000 88.122 0.000
LT11 -5.608 0.000 1.352 0.176 33.284 0.000
LT12 -7.838 0.000 6.173 0.000 99.540 0.000
151
LT13 -5.405 0.000 1.238 0.216 30.748 0.000
LT21 -5.299 0.000 0.801 0.423 28.724 0.000
LT22 -4.343 0.000 0.878 0.380 19.631 0.000
VM11 -7.525 0.000 3.513 0.000 68.967 0.000
VM12 -6.708 0.000 4.424 0.000 64.563 0.000
VM13 -6.167 0.000 3.348 0.001 49.243 0.000
VM14 -6.300 0.000 2.540 0.011 46.139 0.000
VM21 -3.213 0.001 -2.898 0.004 18.722 0.000
VM22 -3.403 0.001 -2.698 0.007 18.861 0.000
LYT11 -7.140 0.000 2.905 0.004 59.416 0.000
LYT12 -1.817 0.069 -4.683 0.000 25.236 0.000
LYT21 -2.435 0.015 0.193 0.847 5.968 0.051
LYT22 -5.891 0.000 2.427 0.015 40.597 0.000
LYT31 -6.552 0.000 3.566 0.000 55.644 0.000
LYT32 -8.413 0.000 4.215 0.000 88.553 0.000
LYT33 -9.223 0.000 4.755 0.000 107.682 0.000
LYT34 -5.242 0.000 1.769 0.077 30.614 0.000
LYT35 -4.208 0.000 2.424 0.015 23.587 0.000
LYT36 -5.715 0.000 3.575 0.000 45.441 0.000
PP11 -0.156 0.876 -7.746 0.000 60.022 0.000
PP12 0.740 0.459 -9.035 0.000 82.182 0.000
PP13 0.933 0.351 -8.650 0.000 75.699 0.000
PP21 -2.032 0.042 -2.816 0.005 12.062 0.002
PP22 -0.250 0.802 -9.178 0.000 84.293 0.000
PP23 -6.373 0.000 2.858 0.004 48.784 0.000
Relative Multivariate Kurtosis = 1.146
Test of Multivariate Normality for Continuous Variables
Skewness Kurtosis Skewness and Kurtosis
Value Z-Score P-Value Value Z-Score P-Value Chi-Square P-Value
------ ------- ------- ------- ------- ------- ---------- -------
902.832 45.637 0.000 2750.427 16.911 0.000 2368.725 0.000
Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidaknormalan
multivariate. Hal tersebut ditunjukkan dari bagian Skewness dan Kurtosis yang signifikan
152
pada skala 5% (p-value < 0.05). Jika data adalah tidak multivariate normal, maka besar
kemungkinan univariate juga tidak normal. Hal tersebut terbukti dimana hampir seluruh
variabel melanggar asumsi univariate normality. Kecuali variabel manifest LYT21, yang
memiliki nilai Skewness and Kurtosis yang tidak signifikan (p-value sebesar 0.051; yakni lebih
besar daripada 0.05). Hal ini adalah wajar, mengingat responden merupakan pengunjung di
sebuah department store (dalam hal ini MDS Mal Ciputra), yang pada dasarnya memiliki
resiko adanya kondisi psikologis responden (internal) yang tidak dapat terduga, seperti
sedang terburu-buru, memiliki suasana hati yang sedang buruk atau sedang senang. Hal
tersebut akan berpengaruh terhadap pengisian kuesioner oleh sang responden. Hal ini juga
didukung oleh pernyataan Schermelleh-Engel et. al. (2003) yang menyatakan bahwa
pelanggaran akan asumsi distribusi adalah umum dan sering tidak terhindarkan dalam
prakteknya.
Data yang tidak normal tersebut akan berpengaruh terhadap pemilihan metode
estimasi yang akan digunakan pada proses pengolahan SEM nanti. Setelah ini, langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis SEM.
4.2.4 Analisis SEM (Structural Equation Modeling)
Menurut buku berjudul Structural Equation Modeling yang ditulis oleh Imam Ghozali
dan Fuad , proses SEM mencakup beberapa langkah yang harus dilakukan, yakni :
1. konseptualisasi model
2. penyusunan diagram alur (path diagram)
3. spesifikasi model
4. identifikasi model
5. estimasi parameter
6. penilaian model fit
153
7. modifikasi model
8. validasi silang model (opsional)
4.2.4.1 Konseptualisasi Model
Tahap ini berhubungan dengan pengembangan hipotesis berdasarkan teori sebagai
dasar dalam menghubungkan variabel laten dengan variabel laten lainnya, dan juga dengan
indikator-indikatornya. Tabel 4.5 menunjukkan hubungan antar variabel dan indikator-
indikator dari masing-masing variabel laten.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada sub bab hipotesa, berdasarkan teori
dapat disimpulkan bahwa suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise memiliki
pengaruh terhadap loyalitas toko yang akan berimplikasi kepada pembelian pengunjung
dalam bentuk pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja.
Oleh sebab itu, hipotesis dari penelitian yang akan diuji adalah:
H1. Suasana toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko
Dengan sub hipotesa:
H1-1. Hubungan fungsional yang positif antara Ambient Factors (ST-1), Design Factors
(ST-2), dan Social Factors (ST-3) terhadap suasana toko (ST).
H1-2. Hubungan fungsional yang positif antara suasana toko (ST) terhadap loyalitas toko
(LYT).
H2. Lokasi toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko
Dengan sub hipotesa:
H2-1. Hubungan fungsional yang positif antara Aksesbilitas (LT-1) dan Keberadaan toko
lain (LT-2) terhadap lokasi toko (LT).
H2-2. Hubungan fungsional yang positif antara lokasi toko (LT) terhadap loyalitas toko
(LYT).
154
H3. Variasi merchandise berpengaruh positif terhadap loyalitas toko
Dengan sub hipotesa:
H3-1. Hubungan fungsional yang positif antara Variabilitas (VM-1) dan Availibility (VM-2)
terhadap variasi merchandise (VM).
H3-2. Hubungan fungsional yang positif antara variasi merchandise (VM) terhadap
loyalitas toko (LYT).
H4. Loyalitas toko berpengaruh positif terhadap pembelian pengunjung
Dengan sub hipotesa:
H4-1. Hubungan fungsional yang positif antara Commitment (LYT-1), Intention to revisit
the store (LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) terhadap loyalitas toko (LYT).
H4-2. Hubungan fungsional yang positif antara Average Number of Stores Visited Over a
Year (PP-1) dan Average Number of Visits Over a Year (PP-2) terhadap pembelian
pengunjung (PP).
H4-3. Hubungan fungsional yang positif antara loyalitas toko (LYT) terhadap pembelian
pengunjung (PP) yang dilihat dari pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja
(loyalitas pengunjung terhadap toko).
Tabel 4.5. Hubungan Antar Variabel
Variabel SifatVariabel
Dimensi Indikator
Suasana
Toko
(ST)
LatenEksogen
( x1 )
AmbientFactors(ST-1)
1. Volume musik (ST11)
2. Disukainya musik (ST12)
3. Kebersihan lantai (ST13)
4. Kebersihan tembok (ST14)
5. Kebersihan rak (ST15)
6. Scent (ST16)
155
Variabel SifatVariabel
Dimensi Indikator
DesignFactors(ST-2)
1. Penataan produk yang baik (ST21)
2. Kemudahan menemukan barang (ST22)
3. Penataan produk yang menarik (ST23)
4. Perasaan senang ketika berjalan di lorong (ST24)
5. Kenyamanan (ST25)
6. Tanda petunjuk yang membantu (ST26)
7. Tanda petunjuk yang dimengerti (ST27)
8. Style (ST28)
9. Warna (ST29)
10. Display (ST210)
11. Lighting (ST211)
SocialFactors(ST-3)
1.Banyaknya pengunjung lain (ST-31)
2.Penampilan karyawan (ST-32)
3.Perilaku karyawan (ST-33)
4.Keramahan karyawan (ST-34)
156
Variabel SifatVariabel
Dimensi Indikator
Lokasi
Toko(LT)
LatenEksogen
( x2 )
Aksesbilitas(LT-1)
1. Lokasi yang dekat dengan rumahpengunjung/tempat kerja (LT-11)
2. Lokasi nyaman (LT-12)
3. Mudah dicapai dengan menggunakan transportasiumum (LT-13)
Keberadaantoko lain(LT-2)
1. Keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifatkomplementer bagi MDS (LT-21)
2. Keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifatsubstitusi bagi MDS (LT-22)
Variasi
Merchandise(VM)
LatenEksogen
( x3 )
Variabilitas(VM-1)
1. Ragam merek (brands) yang tersedia (VM-11)
2. Ragam kategori produk yang tersedia (VM-12)
3. Ragam private labels (VM-13)
4. Banyak pilihan (warna,ukuran,bahan,dll) dalamsetiap kategori produk (VM-14)
Availibility(VM-2)
1. Ketersediaan produk (VM-21)
2. Consistency in assortment (C2C) (VM-22)
Loyalitas
Toko(LYT)
LatenEndogen
( h1 )
Commitment(LYT-1)
1. Komitmen untuk berbelanja kembali (LYT-11)
2. Komitmen untuk tidak berpindah (LYT-12)
Intention torevisit the
store(LYT-2)
1. Di masa mendatang, pengunjung akan sangatsering shopping di MDS (LYT-21)
2. Di masa mendatang, pengunjung tidak akanshopping di MDS (LYT-22)
157
4.2.4.2 Penyusunan Diagram Alur
Penyusunan diagram alur akan memudahkan kita dalam memvisualisasi hipotesis
yang telah diajukan dalam konseptualisasi model di atas. Visualisasi model akan mengurangi
tingkat kesalahan kita dalam pembangunan suatu model pada LISREL. Gambar 4.15
menunjukkan diagram alur dari model konseptual.
Variabel SifatVariabel
Dimensi Indikator
Satisfaction(LYT-3)
1. Kepuasan pengunjungterhadap pelayanan di MDS (LYT-31)
2. Kepuasan pengunjung terhadap produk di MDS(LYT-32)
3. Kepuasan pengunjung terhadap lokasi MDS(LYT-33)
4. Kepuasan pengunjung terhadap disain toko secarakeseluruhan (LYT-34)
5. Kepuasan pengunjung terhadap pembelian yangdilakukannya di MDS (LYT-35)
6. Akan merekomendasikan kepada orang lain(LYT-36)
Pembelian
Pengunjung(PP)
LatenEndogen
( h2 )
Averagenumber of
stores visitedover a year
(PP-1)
1. Mengunjungi banyak toko dalam setahun (PP-11)
2. Mengunjungi sedikit toko dalam setahun (PP-12)
3. Hanya mengunjungi 1 toko dalam setahun(PP-13)
Averagenumber of
visits over a year
(PP-2)
1. Sering berkunjung (tiap bulan) di MDS (PP-21)
2. Jarang berkunjung (tidak setiap bulan) di MDS(PP-22)
3. Sekali dalam setahun berkunjung dan atauberbelanja di MDS (PP-23)
158
Gambar 4.15. Model Konseptual
159
4.2.4.3 Spesifikasi Model
Parameter yang diestimasi (hanya sebagian dari format LISREL):
LAMBDA-Y
lyt pp
-------- --------
LYT11 0 0
LYT12 1 0
LYT21 2 0
LYT22 3 0
LYT31 4 0
LYT32 5 0
LYT33 6 0
LYT34 7 0
LYT35 8 0
LYT36 9 0
PP11 0 0
PP12 0 10
PP13 0 11
PP21 0 12
PP22 0 13
PP23 0 14
LAMBDA-X
st lt vm
-------- -------- --------
ST11 15 0 0
ST12 16 0 0
ST13 17 0 0
ST14 18 0 0
ST15 19 0 0
ST16 20 0 0
ST21 21 0 0
ST22 22 0 0
ST23 23 0 0
ST24 24 0 0
ST25 25 0 0
ST26 26 0 0
ST27 27 0 0
ST28 28 0 0
ST29 29 0 0
ST210 30 0 0
ST211 31 0 0
ST31 32 0 0
ST32 33 0 0
ST33 34 0 0
ST34 35 0 0
LT11 0 36 0
LT12 0 37 0
LT13 0 38 0
LT21 0 39 0
LT22 0 40 0
VM11 0 0 41
VM12 0 0 42
VM13 0 0 43
VM14 0 0 44
VM21 0 0 45
VM22 0 0 46
160
BETA
lyt pp
-------- --------
lyt 0 0
pp 47 0
GAMMA
st lt vm
-------- -------- --------
lyt 48 49 50
pp 0 0 0
PHI
st lt vm
-------- -------- --------
st 0
lt 51 0
vm 52 53 0
PSI
Note: This matrix is diagonal.
lyt pp
-------- --------
54 55
THETA-EPS
LYT11 LYT12 LYT21 LYT22 LYT31 LYT32
-------- -------- -------- -------- -------- --------
56 57 58 59 60 61
THETA-EPS
LYT33 LYT34 LYT35 LYT36 PP11 PP12
-------- -------- -------- -------- -------- --------
62 63 64 65 66 67
THETA-EPS
PP13 PP21 PP22 PP23
-------- -------- -------- --------
68 69 70 71
THETA-DELTA
ST11 ST12 ST13 ST14 ST15 ST16
-------- -------- -------- -------- -------- --------
72 73 74 75 76 77
THETA-DELTA
ST21 ST22 ST23 ST24 ST25 ST26
-------- -------- -------- -------- -------- --------
78 79 80 81 82 83
THETA-DELTA
ST27 ST28 ST29 ST210 ST211 ST31
-------- -------- -------- -------- -------- --------
84 85 86 87 88 89
THETA-DELTA
ST32 ST33 ST34 LT11 LT12 LT13
-------- -------- -------- -------- -------- --------
90 91 92 93 94 95
THETA-DELTA
LT21 LT22 VM11 VM12 VM13 VM14
-------- -------- -------- -------- -------- --------
96 97 98 99 100 101
THETA-DELTA
VM21 VM22
-------- --------
102 103
161
Seperti yang dapat dilihat di atas, jumlah parameter yang diestimasi adalah 103 parameter.
Program LISREL akan melakukan estimasi terhadap parameter-parameter di atas. Hasilnya
adalah penilaian model fit dan saran modifikasi (apabila ada) untuk pertama kalinya.
4.2.4.4 Identifikasi Model
Informasi yang diperoleh dari data diuji untuk menentukan apakah cukup untuk
mengestimasi parameter dalam model. Tahapan ini dimaksudkan untuk menjaga agar model
yang dispesifikasikan bukan merupakan model yang under-identified atau unidentified.
Untuk menentukan apakah model kita mengandung masalah identifikasi atau tidak,
maka harus dipenuhi keadaan berikut :
t ≤ s/2
t = Jumlah parameter yang diestimasi
s = Jumlah varians dan kovarians antara variable manifest (observed/ manifest) ; yang
merupakan (p + q) (p + q + 1)
p = Jumlah variabel y (indikator variabel endogen)
q = Jumlah variabel x (indikator variabel eksogen)
Hasil perhitungan berdasarkan output awal adalah dibawah ini:
t = 103 parameter, dengan perincian seperti pada Tabel 4.6.
s = ( 16 + 33 ) ( 16 + 33 + 1 )
= 2450
s/2 = 2450 / 2 = 1225
Maka, t < s/2 ; dimana 103 < 1225
162
Kondisi tersebut merupakan over-identified. Berarti terdapat cukup persamaan untuk
melakukan estimasi untuk masing-masing parameter (jumlah persamaan yang tersedia
melebihi jumlah parameter yang diestimasi). Oleh karena itu, model dapat di-identifikasi.
Tabel 4.6. Perincian Parameter
Parameter Keterangan Jumlah
LAMBDA-Y Hubungan antara variabel laten
endogen
14
LAMBDA-X Hubungan antara variabel laten
eksogen
32
BETA Hubungan langsung variabel
endogen terhadap variabel
endogen lain
1
GAMMA Hubungan langsung variabel
eksogen terhadap variabel
endogen
3
PHI Kovarians/korelasi antara
variabel eksogen
3
PSI Matriks kovarians antara
residual struktural ( z )
2
THETA-EPS Matriks kovarians simetris
antara kesalahan pengukuran
pada indikator suatu variabel
laten endogen ( e )
16
163
THETA-DELTA Matriks kovarians simetris
antara kesalahan pengukuran
pada indikator suatu variabel
laten endogen ( d )
32
4.2.4.5 Estimasi Parameter
Pertimbangan dalam memilih metode estimasi yang akan digunakan tergantung pada
besar sampel dan normalitas suatu penelitian. Sampel penelitian ini berjumlah 200, serta
terdapat ketidaknormalan multivariat seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab screening
data. Oleh karena itu, estimasi yang akan digunakan adalah Maximum Likelihood (ML).
Seperti yang dinyatakan dalam buku Structural Equation Modeling, bahwa ukuran
sampel yang disarankan untuk penggunaan estimasi Maximum Likelihood adalah sebesar
100-200. Selain itu, ML memiliki kelemahan, yakni adanya asumsi yang kuat akan normalitas
multivariat, sementara pelanggaran akan asumsi distribusi adalah umum dan sering tidak
terhindarkan dalam prakteknya, serta berpotensial membawa ke hasil yang menyesatkan
(Schermelleh-Engel et al, 2003, p26). Walaupun demikian, ML tampaknya cukup kuat akan
pelanggaran asumsi normalitas (cf Boomsma & Hoogland, 2001; Chou & Bentler, 1995;
Curran, West & Finch, 1996; Muthén & Muthén, 2002; West, Finch, & Curran, 1995). Hal ini
didukung pula oleh Schermelleh-Engel et al (2003) dengan pernyataannya : “Simulation
studies suggest that under conditions of severe nonnormality, ML parameter estimates are
still consistent but not necessarily efficient”.
Alasan penting lain atas pemilihan metode ML tersebut adalah karena metode ini
memungkinkan tes statistik formal untuk overall model fit bagi overidentified models
164
(Schermelleh-Engel et al, 2003, p26), yang mana sesuai dengan kondisi model penelitian ini
seperti yang telah ditunjukkan oleh hasil perhitungan pada sub-bab identifikasi model (t <
s/2 ; dimana 103 < 1225). Kelebihan lainnya yakni “…its estimates are in general scale
invariant and scale free” (Bollen, 1989, p109). Sehingga konsekuensinya nilai-nilai dari fungsi
kecocokan tidak tergantung apakah korelasi atau matrix-matrix kovarians yang dianalisa,
serta apakah data original atau yang telah ditransformasi yang digunakan (Schermelleh-
Engel et al, 2003, p26).
4.2.4.6 Penilaian Model Fit
Output indeks-indeks Goodness of Fit :
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 1073Minimum Fit Function Chi-Square = 2448.06 (P = 0.0)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2686.32 (P = 0.0)Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1613.32
90 Percent Confidence Interval for NCP = (1464.55 ; 1769.70)
Minimum Fit Function Value = 12.30Population Discrepancy Function Value (F0) = 8.11
90 Percent Confidence Interval for F0 = (7.36 ; 8.89)Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.087
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.083 ; 0.091)P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 14.5390 Percent Confidence Interval for ECVI = (13.79 ; 15.32)
ECVI for Saturated Model = 11.82ECVI for Independence Model = 21.70
Chi-Square for Independence Model with 1128 Degrees of Freedom =4222.49
Independence AIC = 4318.49Model AIC = 2892.32
Saturated AIC = 2352.00Independence CAIC = 4524.81
Model CAIC = 3335.04Saturated CAIC = 7406.82
Normed Fit Index (NFI) = 0.42
165
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.53Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.40
Comparative Fit Index (CFI) = 0.56Incremental Fit Index (IFI) = 0.56Relative Fit Index (RFI) = 0.39
Critical N (CN) = 97.22
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.083Standardized RMR = 0.094
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.64Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.61Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.58
Chi-Square dan P
Model awal memiliki nilai chi-square sebesar 2448.06 dengan 1073 degrees of freedom.
Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa model tidak fit.
Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square yang juga
memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
x2/df
Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model awal di
atas adalah 2448.06/1073 = 2.282. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model awal
termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih rendah dari cut-off model fit yang
disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih tinggi daripada yang dianjurkan
oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
dengan mengendalikan kompleksitas model (yang diproksikan dengan jumlah degrees of
freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup baik.
RMSEA
RMSEA merupakan indikator model fit yang paling informatif. Ia mengukur penyimpangan -
166
nilai parameter pada suatu model dengan matriks kovarians populasinya (Browne dan
Cudeck, 1993). RMSEA model adalah sebesar 0.087. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
model tidak fit ( > 0.08). Karena model tidak fit, 90 Percent Confidence Interval
for RMSEA = (0.083 ; 0.091) juga mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut
memiliki ketepatan yang tidak baik, yang mana nilai batas kiri confidence interval tersebut
menunjukkan nilai yang sangat jauh dari nol (left boundary of CI = 0.00 -> good-fit).
Begitu pula dengan P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) =
0.00 yang jauh lebih kecil dari 0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , juga jauh lebih kecil
daripada 0.5 sebagaimana yang disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Dengan kata
lain, kita ingin menerima hipotesis null yang menyatakan bahwa RMSEA model kurang
daripada 0.05. Akan tetapi, nilai yang signifikan tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa
RMSEA tidak kurang daripada 0.05.
NNFI
NNFI digunakan untuk mengatasi permasalahan kompleksitas model. Nilai NNFI model awal
adalah sebesar 0.53 yang jauh lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa
model tidak fit.
CFI
Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah
batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas
model fit adalah 0.9. Model awal memiliki nilai CFI sebesar 0.56, sehingga model dinyatakan
tidak fit.
167
SRMR
SRMR digunakan untuk mengatasi masalah ketergantungan RMR terhadap ukuran varians
dan kovarians dari variabel teramati. Nilai SRMR £ 1 adalah batas model fit. Model awal
memiliki SRMR sebesar 0.094 yang berarti masih dapat diterima sebagai acceptable fit.
Berdasarkan penilaian output di atas, secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa
model awal memiliki kinerja yang tidak baik. Tabel 4.7 meringkas hasil di atas.
Tabel 4.7. Penilaian Model Fit Awal
Indeks Fit Model Awal Syarat Kriteria
X2 (df) 2448.06 (1073) 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value 0.0 .05 < p £ 1.00 = Good Fit ;
.01 £ p £ .05 = Acceptable Fit
X2 / df 2.282 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA 0.087 0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ;
.05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
(RMSEA <0 .05)
0.00 .10 < p £ 1.00 = Good Fit ;
.05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
90% CI 0.083 ; 0.091 close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit;
close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI 0.53 .97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
CFI 0.56 .97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR 0.094 0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ;
.05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
168
4.2.4.7 Evaluasi Model Pengukuran (Uji Validitas dan Reliabilitas)
Pada sub bab ini akan diberikan hasil uji validitas dan reliabilitas indikator-indikator.
Pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian, yakni validitas dan reliabilitas masing-masing
indikator terhadap variabel latennya (secara individual) dan reliabilitas konstruk (composite
reliability).
A. Uji Validitas dan Reliabilitas (Individual)
Output SIMPLIS persamaan pengukuran:
LISREL Estimates (Maximum Likelihood)
Measurement Equations
LYT11 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.82 , R² = 0.025 (0.083) 9.94
LYT12 = 0.24*lyt, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.049 (0.14) (0.11) 1.73 9.90
LYT21 = 0.40*lyt, Errorvar.= 0.37 , R² = 0.30 (0.19) (0.040) 2.06 9.39
LYT22 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.027 (0.096) (0.078) 1.53 9.94
LYT31 = 0.47*lyt, Errorvar.= 0.31 , R² = 0.42 (0.23) (0.034) 2.08 8.98
LYT32 = 0.56*lyt, Errorvar.= 0.18 , R² = 0.64 (0.27) (0.024) 2.10 7.46
LYT33 = 0.46*lyt, Errorvar.= 0.30 , R² = 0.41 (0.22) (0.033) 2.08 9.00
LYT34 = 0.58*lyt, Errorvar.= 0.36 , R² = 0.49
169
(0.28) (0.042) 2.09 8.65
LYT35 = 0.48*lyt, Errorvar.= 0.21 , R² = 0.53 (0.23) (0.025) 2.10 8.42
LYT36 = 0.40*lyt, Errorvar.= 0.32 , R² = 0.33 (0.19) (0.034) 2.07 9.28
PP11 = 0.12*pp, Errorvar.= 1.22 , R² = 0.012 (0.12) 9.95
PP12 = - 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R² = 0.0033 (0.099) (0.13) -0.66 9.97
PP13 = 0.37*pp, Errorvar.= 1.22 , R² = 0.10 (0.27) (0.13) 1.38 9.49
PP21 = 0.95*pp, Errorvar.= 0.19 , R² = 0.83 (0.69) (0.23) 1.38 0.80
PP22 = 0.53*pp, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.20 (0.37) (0.13) 1.42 8.34
PP23 = 0.16*pp, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.035 (0.13) (0.072) 1.25 9.88
ST11 = 0.11*st, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.015 (0.067) (0.079) 1.60 9.96
ST12 = 0.14*st, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.023 (0.072) (0.090) 2.01 9.94
ST13 = 0.30*st, Errorvar.= 0.38 , R² = 0.19 (0.049) (0.039) 6.15 9.65
ST14 = 0.24*st, Errorvar.= 0.59 , R² = 0.092 (0.059) (0.060)
170
4.11 9.84
ST15 = 0.36*st, Errorvar.= 0.40 , R² = 0.25 (0.051) (0.042) 7.09 9.53
ST16 = 0.28*st, Errorvar.= 0.45 , R² = 0.15 (0.053) (0.046) 5.39 9.73
ST21 = 0.30*st, Errorvar.= 1.09 , R² = 0.075 (0.080) (0.11) 3.69 9.87
ST22 = 0.43*st, Errorvar.= 0.57 , R² = 0.24 (0.061) (0.059) 7.01 9.54
ST23 = 0.52*st, Errorvar.= 0.41 , R² = 0.39 (0.055) (0.045) 9.30 9.11
ST24 = 0.33*st, Errorvar.= 0.95 , R² = 0.10 (0.076) (0.097) 4.34 9.82
ST25 = 0.25*st, Errorvar.= 1.26 , R² = 0.047 (0.086) (0.13) 2.90 9.91
ST26 = 0.28*st, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.072 (0.077) (0.10) 3.62 9.87
ST27 = 0.32*st, Errorvar.= 0.46 , R² = 0.18 (0.054) (0.048) 5.97 9.67
ST28 = 0.63*st, Errorvar.= 0.47 , R² = 0.45 (0.061) (0.053) 10.24 8.86
ST29 = 0.49*st, Errorvar.= 0.61 , R² = 0.28 (0.064) (0.065) 7.63 9.45
ST210 = 0.56*st, Errorvar.= 0.41 , R² = 0.44 (0.056) (0.046) 10.00 8.93
171
ST211 = 0.42*st, Errorvar.= 0.31 , R² = 0.36 (0.047) (0.034) 8.81 9.23
ST31 = 0.31*st, Errorvar.= 1.13 , R² = 0.076 (0.082) (0.11) 3.73 9.86
ST32 = 0.53*st, Errorvar.= 0.46 , R² = 0.37 (0.058) (0.051) 9.05 9.17
ST33 = 0.51*st, Errorvar.= 0.42 , R² = 0.38 (0.055) (0.046) 9.16 9.15
ST34 = 0.31*st, Errorvar.= 0.41 , R² = 0.19 (0.051) (0.043) 6.03 9.67
LT11 = 0.26*lt, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.083 (0.076) (0.081) 3.47 9.59
LT12 = 0.35*lt, Errorvar.= 0.22 , R² = 0.36 (0.055) (0.036) 6.41 6.15
LT13 = 0.18*lt, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.034 (0.080) (0.091) 2.21 9.84
LT21 = 0.29*lt, Errorvar.= 0.77 , R² = 0.10 (0.077) (0.081) 3.84 9.48
LT22 = 0.035*lt, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.0016 (0.074) (0.079) 0.48 9.97
VM11 = 0.57*vm, Errorvar.= 0.43 , R² = 0.43 (0.059) (0.050) 9.63 8.64
VM12 = 0.41*vm, Errorvar.= 0.26 , R² = 0.40 (0.045) (0.030) 9.20 8.79
172
VM13 = 0.46*vm, Errorvar.= 0.35 , R² = 0.37 (0.052) (0.040) 8.85 8.91
VM14 = 0.53*vm, Errorvar.= 0.37 , R² = 0.43 (0.054) (0.043) 9.75 8.59
VM21 = 0.73*vm, Errorvar.= 0.56 , R² = 0.49 (0.069) (0.067) 10.49 8.26
VM22 = 0.68*vm, Errorvar.= 0.63 , R² = 0.42 (0.071) (0.073) 9.57 8.66
Output LISREL completely standardized solution (nilai loading yang telah distandardisasi) :
Completely Standardized Solution
LAMBDA-Y
lyt pp -------- -------- LYT11 0.16 - - LYT12 0.22 - - LYT21 0.54 - - LYT22 0.17 - - LYT31 0.65 - - LYT32 0.80 - - LYT33 0.64 - - LYT34 0.70 - - LYT35 0.73 - - LYT36 0.58 - - PP11 - - 0.11 PP12 - - -0.06 PP13 - - 0.32 PP21 - - 0.91 PP22 - - 0.45 PP23 - - 0.19
LAMBDA-X
st lt vm -------- -------- -------- ST11 0.12 - - - - ST12 0.15 - - - - ST13 0.44 - - - -
173
ST14 0.30 - - - - ST15 0.50 - - - - ST16 0.39 - - - - ST21 0.27 - - - - ST22 0.49 - - - - ST23 0.63 - - - - ST24 0.32 - - - - ST25 0.22 - - - - ST26 0.27 - - - - ST27 0.43 - - - - ST28 0.67 - - - - ST29 0.53 - - - - ST210 0.66 - - - - ST211 0.60 - - - - ST31 0.28 - - - - ST32 0.61 - - - - ST33 0.62 - - - - ST34 0.43 - - - - LT11 - - 0.29 - - LT12 - - 0.60 - - LT13 - - 0.18 - - LT21 - - 0.32 - - LT22 - - 0.04 - - VM11 - - - - 0.65 VM12 - - - - 0.63 VM13 - - - - 0.61 VM14 - - - - 0.66 VM21 - - - - 0.70 VM22 - - - - 0.65
Berdasarkan output model pengukuran di atas, dapat disimpulkan beberapa hal (Ghozali &
Fuad, 2003, p212):
1. Indikator-indikator tidak valid : ditunjukkan dengan tidak signifikannya hubungan
antara indikator dengan variabel laten (taraf arti 5%, t < 1,96)
2. Indikator-indikator paling kurang valid : ditunjukkan dengan nilai loading paling
rendah yang dimiliki oleh indikator, yang ditampilkan pada output Completely
Standardized Solutions
3. Paling kurang reliable : ditunjukkan dengan R2 yang paling rendah pada persamaan
pengukuran (measurement equations) antara indikator dengan variabel latennya.
174
Sehingga kita dapat mengelompokkan “indikator-indikator yang bermasalah” tersebut ke
dalam tiga kelompok :
1. Indikator-indikator yang tidak valid / tidak signifikan ( t < |1.96| ) :
PP12 = - 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R² = 0.0033 (0.099) (0.13)
-0.66 9.97
PP23 = 0.16*pp, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.035 (0.13) (0.072)
1.25 9.88
LT22 = 0.035*lt, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.0016 (0.074) (0.079)
0.48 9.97
2. Indikator-indikator dengan nilai loading yang rendah (< 0.5) :
LYT11 0.16
LYT12 0.22
LYT22 0.17
PP11 0.11
PP12 -0.06
PP13 0.32
PP22 0.45
PP23 0.19
ST11 0.12
ST12 0.15
ST13 0.44
ST14 0.30
ST16 0.39
175
ST21 0.27
ST22 0.49
ST24 0.32
ST25 0.22
ST26 0.27
ST27 0.43
ST31 0.28
LT11 0.29
LT13 0.18
LT21 0.32
LT22 0.04
3. Indikator yang paling kurang reliabel :
· Indikator variabel laten Suasana Toko (ST) : ST11 ; R² = 0.015
Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator ST11 (musik)
memiliki kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel laten Suasana Toko
(ST), yakni sebesar 1,5%.
· Indikator variabel laten eksogen Lokasi Toko (LT) : LT22 ; R² = 0.0016
Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator LT22
(keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifat subtitusi bagi MDS) memiliki
kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel Lokasi Toko (LT), yakni sebesar
0,16%.
176
· Indikator variabel laten eksogen Variasi Merchandise (VM) : VM13 ; R² = 0.37
Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator VM13 (ragam
private labels) memiliki kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel laten
Variasi Merchandise (VM), yakni sebesar 37%.
· Indikator variabel laten endogen Loyalitas Toko (LYT) : LYT11 ; R² = 0.025
Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator LYT11
(komitmen untuk berbelanja kembali) memiliki kontribusi paling kecil pada
pembentukan variabel laten Loyalitas Toko (LYT), yakni sebesar 2,5%.
· Indikator variabel laten endogen Pembelian Pengunjung (PP): PP12 ; R² =
0.0033
Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator PP12
(mengunjungi sedikit toko dalam setahun) memiliki kontribusi paling kecil pada
pembentukan variabel laten Pembelian Pengunjung (PP), yakni sebesar 0,33%.
Selain ketiga kelompok di atas, terdapat beberapa indikator yang walaupun tidak memenuhi
syarat signifikansi validitas pada taraf 5% ( t ³ |1.96| ), namun memenuhi syarat signifikansi
validitas yang diukur berdasarkan taraf arti 20% ( t ³ |1.282| ) dan 10% ( t ³ |1.645| ) :
1. Valid pada taraf arti 10% :
LYT12 = 0.24*lyt, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.049 (0.14) (0.11)
1.73 9.90
2. Valid pada taraf arti 20% :
LYT22 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.027 (0.096) (0.078)
1.53 9.94
177
PP13 = 0.37*pp, Errorvar.= 1.22 , R² = 0.10 (0.27) (0.13)
1.38 9.49
PP21 = 0.95*pp, Errorvar.= 0.19 , R² = 0.83 (0.69) (0.23)
1.38 0.80
PP22 = 0.53*pp, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.20 (0.37) (0.13)
1.42 8.34
ST11 = 0.11*st, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.015 (0.067) (0.079)
1.60 9.96
Signifikansi pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah pada enam indikator tersebut
khususnya disebabkan karena enam indikator tersebut merupakan enam hal yang tidak
dapat dipastikan sepenuhnya oleh pengunjung. Seperti pada LYT12 : “Komitmen untuk tidak
berpindah”, komitmen pengunjung untuk tidak berpindah tersebut dapat digoyahkan oleh
adanya penawaran-penawaran khusus di department store lain. Hal ini secara khusus
disebutkan pada pernyataan untuk indikator LYT12 di kuesioner, yakni : “Saya akan
berbelanja ke department store lain yang memberikan penawaran khusus walaupun jauh”.
Demikian pula halnya dengan LYT22 : ”Di masa mendatang, pengunjung tidak akan
shopping di MDS”, PP13 : ”Hanya mengunjungi satu toko dalam setahun”, PP21 : “Sering
berkunjung (tiap bulan) di MDS”, PP22 : “Jarang berkunjung (tidak setiap bulan) di MDS”,
dan ST11 : “Volume musik”.
B. Composite Reliability
Seperti yang telah dijelaskan pada bab metodologi penelitian, di samping menguji
reliabilitas indikator secara individual dengan R2 (squared multiple correlations), kita juga
dapat menilai reliabilitas gabungan (composite reliability) untuk tiap-tiap variabel laten
178
(sering juga disebut construct reliability). Untuk melakukan hal tersebut, kita menggunakan
informasi pada bagian Completely Standardized Solutions dan menghitung reliabilitas
gabungan dengan rumus :
rc = (ål)2 / [ (ål)2 + å (q) ]
Berikut perhitungannya :
Variabel Laten Suasana Toko
rc = ( 0.121 + 0.151 + 0.440 + 0.303 + 0.499 + 0.390 + 0.273 + 0.494 + 0.625 + 0.319 +
0.216 + 0.268 + 0.428+ 0.674+0.531 + 0.661 + 0.598 + 0.276 + 0.612 + 0.617 +
0.432 )2 / [ ( 0.121 + 0.151 + 0.440 + 0.303 + 0.499 + 0.390 + 0.273 + 0.494 +
0.625 + 0.319 + 0.216 + 0.268 + 0.428+ 0.674+0.531 + 0.661 + 0.598 + 0.276 +
0.612 + 0.617 + 0.432 )2 + (0.985 + 0.977 + 0.807 + 0.908 + 0.751 + 0.848 +
0.925 + 0.756 + 0.609 + 0.898 + 0.953 + 0.928 + 0.817 + 0.546 + 0.718 + 0.563
+ 0.642 + 0.924 + 0.626 + 0.619 + 0.814 ) ]
= (8.928)2 / [ ( 8.928 )2 + 16.614 ]
= 79.709 / 96.323
= 0.828 » 0.8 ( > 0.5 dan > 0.6 ; Reliabel)
Variabel Laten Lokasi Toko
rc = ( 0.288 + 0.600 + 0.183 + 0.319 +0.040 )2 / [ ( 0.288 + 0.600 + 0.183 + 0.319
+0.040 )2 + (0.917 + 0.640 + 0.966 + 0.898 + 0.998 ) ]
= ( 1.43 )2 / [ (1.43 )2 + 4.419 ]
= 2.045 / 6.464
= 0.316 » 0.3 ( < 0.5 ; Tidak Reliabel )
179
Variabel Laten Variasi Merchandise
rc = (0.653 + 0.630 + 0.611 + 0.659 + 0.698 + 0.650)2 / [ (0.653 + 0.630 + 0.611 + 0.659
+ 0.698 + 0.650)2 + (0.573 + 0.603 + 0.627 + 0.565 + 0.513 + 0.577 ) ]
= ( 3.901 )2 / [ ( 3.901 )2 + 3.458 ]
= 15.218 / 18.676
= 0.815 » 0.8 ( > 0.5 dan > 0.6 ; Reliabel )
Variabel Laten Loyalitas Toko
rc = (0.158 + 0.221 + 0.545 + 0.165 + 0.646 + 0.801+ 0.642 + 0.697 + 0.725 + 0.578)2 /
[ (0.158 + 0.221 + 0.545 + 0.165 + 0.646 + 0.801+ 0.642 + 0.697 + 0.725 + 0.578)2
+ (0.975 + 0.951 + 0.703 + 0.973 + 0.583 + 0.358 + 0.587 + 0.514 + 0.474 +
0.666 ) ]
= ( 5.178 )2 / [ ( 5.178 )2 + 6.784 ]
= 26.812 / 33.596
= 0.798 » 0.8 ( > 0.5 dan > 0.6 ; Reliabel )
Variabel Laten Pembelian Pengunjung
rc = (0.112 - 0.057 + 0.320 + 0.911 + 0.447+ 0.187)2 / [ (0.112 - 0.057 + 0.320 + 0.911 +
0.447+ 0.187)2 + (0.988 + 0.997 + 0.898 + 0.170 + 0.800 + 0.965 ) ]
= ( 1.92 )2 / [( 1.92 )2 + 4.818 ]
= 3.686 / 8.504
= 0.433 » 0.4 ( < 0.5 ; Tidak Reliabel )
180
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat terlihat bahwa terdapat dua variabel laten yang
secara composite tidak reliabel, yakni variabel laten Lokasi Toko dan Pembelian Pengunjung.
Hal tersebut disebabkan adanya indikator-indikator dari kedua variabel tersebut yang
memiliki nilai-nilai validitas tidak signifikan dan nilai-nilai reliabilitas terendah seperti yang
telah dikemukakan di awal penilaian model pengukuran di atas.
Indikator-indikator yang tidak valid dan memiliki reliabilitas yang sangat rendah tersebut
berpengaruh kepada model yang tidak fit dari hasil penilaian output model awal di atas.
Namun secara keseluruhan, indikator-indikator yang ada memiliki validitas yang baik , dan
dapat digunakan untuk pengolahan data selanjutnya.
4.2.4.8 Penilaian Model Struktural
Berikut sebagian output SIMPLIS model awal:
Structural Equations
lyt = 0.53*st - 0.12*lt + 0.37*vm, Errorvar.= 0.49 , R² = 0.51 (0.27) (0.36) (0.36) (0.47) 1.98 -0.34 1.01 1.05
pp = 0.32*lyt, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.10 (0.28) (1.25)
1.12 0.72
Correlation Matrix of Independent Variables
st lt vm -------- -------- -------- st 1.00
lt 0.60 1.00 (0.10) 5.77
vm 0.63 0.88 1.00 (0.06) (0.10) 11.01 8.50
181
Covariance Matrix of Latent Variables
lyt pp st lt vm -------- -------- -------- -------- -------- lyt 1.00 pp 0.32 1.00 st 0.68 0.22 1.00 lt 0.51 0.16 0.60 1.00 vm 0.59 0.19 0.63 0.88 1.00
Melihat hasil output persamaan model struktural awal di bawah ini,
Structural Equations
lyt = 0.53*st - 0.12*lt + 0.37*vm, Errorvar.= 0.49 , R² = 0.51 (0.27) (0.36) (0.36) (0.47) 1.98 -0.34 1.01 1.05
pp = 0.32*lyt, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.10 (0.28) (1.25)
1.12 0.72
dapat disimpulkan bahwa hanya terdapat 1 hubungan dan pengaruh yang signifikan, yakni
dari variabel eksogen ST terhadap variabel endogen LYT (Loyalitas Toko), dengan t-value
sebesar 1.98 ( t > |1.96|, signifikan pada taraf 5%). Sementara, nilai R2 sebesar 0.51
menunjukkan nilai yang cukup reliabel , yang menunjukkan bahwa 51% dari variabel laten
LYT dijelaskan oleh variabel-variabel laten ST (Suasana Toko), LT (Lokasi Toko), dan VM
(Variasi Merchandise).
Di lain pihak, pada hubungan pengaruh antara variabel laten LYT terhadap PP
(Pembelian Pengunjung) menunjukkan nilai t-value sebesar 1.12 yang tidak signifikan (t <
|1.96|) dan memiliki nilai R2 hanya sebesar 0.10. Berarti, variabel laten LYT hanya
menjelaskan 10% dari variabel laten PP. Dengan demikian, model struktural tidak sesuai
dengan yang diharapkan.
182
Lebih lanjut mari kita melihat hasil Correlation Matrix of Independent
Variables di bawah ini :
Correlation Matrix of Independent Variables
st lt vm -------- -------- -------- st 1.00
lt 0.60 1.00 (0.10) 5.77
vm 0.63 0.88 1.00 (0.06) (0.10) 11.01 8.50
Dari output tersebut, kita dapat mengetahui korelasi antara variabel-variabel laten eksogen
yang dapat dilihat dari nilai estimasinya. Setiap korelasi antar variabel menunjukkan hasil
yang signifikan, karena nilai t-value yang seluruhnya signifikan bahkan hingga taraf 1% ( t >
|3.291| ).
Informasi korelasi dan standard error di atas sangat bermanfaat untuk mengetahui
apakah sebenarnya model di atas cocok menggunakan dua variabel laten atau tiga variabel
laten. Karena kemungkinan korelasi tertinggi antara variabel ST-LT dan ST-VM adalah 0.70
dan 0.69 yang mana jauh dari nilai 1 (yaitu adanya hubungan yang sempurna antara dua
variabel), maka penggunaan dua variabel tersebut adalah tepat. Namun, kemungkinan
korelasi tertinggi dari variabel LT-VM adalah 0.98 (mendekati 1), maka seharusnya model
menggunakan kedua variabel tersebut menjadi satu variabel saja. Dengan kata lain,
indikator-indikator dari LT dan VM sebaiknya digabung ke dalam satu faktor jika melihat hasil
korelasi tertingginya tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak sesuai dengan teori, sehingga
penelitian ini akan tetap menggunakan tiga variabel eksogen tersebut.
Hasil model struktural yang tidak baik di atas tidaklah mengherankan mengingat
hasil penilaian overall fit di awal yang menunjukkan hasil bahwa model tidak fit. Maka
183
terlebih dahulu akan dilakukan respesifikasi atau modifikasi model dengan menggunakan
data yang sama di sub-bab selanjutnya, dengan tujuan memperbaiki model awal yang tidak
fit tersebut.
4.2.4.9 Modifikasi Model
Seperti yang dapat dilihat pada hasil penilaian goodness-of-fit model keseluruhan
yang memberikan hasil tidak fit, maka dilakukan modifikasi pada model awal yang tidak fit
tersebut.
A. MODIFIKASI 1 (MODEL A)
Dari analisis model pengukuran pada sub-bab sebelumnya, ditemukan beberapa indikator
yang tidak valid, baik pada taraf 5%, 10%, maupun 20%, serta indikator-indikator yang
memiliki reliabilitas rendah. Karena indikator-indikator tersebut adalah tidak reliabel dan tidak
(kurang valid), sehingga kontribusinya terhadap variabel laten dipertanyakan. Alternatif
terbaik untuk meningkatkan model fit adalah dengan meningkatkan kontribusi indikator
terhadap variabel laten (Ghozali & Fuad, 2005, p213). Maka, hal pertama yang akan
dilakukan dalam modifikasi model awal adalah dengan menghilangkan variabel observed
yang paling dipertanyakan kontribusinya (paling tidak valid dan tidak reliabel) sebagai
indikator dari variabel latennya. Di bawah ini adalah indikator-indikator paling tidak valid dan
tidak reliabel, diurutkan mulai dari indikator dengan nilai validitas dan reliabilitas terkecil :
PP12 = - 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R² = 0.0033 (0.099) (0.13)
-0.66 9.97
LT22 = 0.035*lt, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.0016 (0.074) (0.079)
0.48 9.97
184
PP23 = 0.16*pp, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.035 (0.13) (0.072)
1.25 9.88
PP12 memiliki t-value terendah : -0.66, dan R2 = 0.0033. Maka, variabel manifest atau
indikator yang akan dihilangkan untuk pertama kali adalah indikator dari variabel laten
Pembelian Pengunjung (PP), yakni PP12 : “Mengunjungi sedikit toko dalam setahun”.
Indikator tersebut dapat menjadi tidak valid dan reliabel karena definisi sedikit toko tidak
sama bagi setiap pengunjung, dan mereka lebih memiliki pemahaman yang sama atas
pernyataan ekstrim seperti “banyak” atau “hanya satu”.
Hasil pengolahan modifikasi pertama dapat dilihat pada lampiran. Berikut sebagian output
SIMPLIS :
W_A_R_N_I_N_G: PHI is not positive definite
W_A_R_N_I_N_G: The solution was found non-admissible after 50iterations. The following solution is preliminary and is providedonly for the purpose of tracing the source of the problem. SettingAD> 50 or AD=OFF may solve the problem
Output di atas merupakan hasil model modifikasi pertama yang tidak dapat
diidentifikasi (model does not converge). Model mengalami specification error yang timbul
karena dihapusnya hubungan antara indikator PP12 dengan variabel latennya PP (Pembelian
Pengunjung), yang berarti bahwa indikator PP12 seharusnya tidak dihilangkan dari model.
Pernyataan WARNING yang kedua menginformasikan bahwa LISREL tidak dapat
menghasilkan estimasi yang benar dan reliabel selama 50 proses iterasi. Salah satu solusi
yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memberikan perintah
Options: AD>50 IT=100, yang mengijinkan program untuk melakukan iterasi lebih dari
185
50. Akan tetapi, Joreskog & Sorbom (1996) menyatakan bahwa hal tersebut akan sia-sia
karena biasanya model yang baik akan langsung menghasilkan nilai estimasi beserta standar
error-nya hanya dalam beberapa iterasi.
Oleh karena itu, PP12 tidak akan dihilangkan dari model dan kembali menggunakan
model awal untuk modifikasi selanjutnya.
B. MODIFIKASI 2 (MODEL B)
Modifikasi kedua tetap mengacu kepada model awal, dan dilakukan dengan menghilangkan
indikator paling tidak valid dan tidak reliabel kedua, yakni LT22 : “Keberadaan toko lain
di sekitar MDS bersifat substitusi bagi MDS”. LT22 merupakan indikator dari variabel
laten Lokasi Toko. LT22 memiliki t-value sebesar 0.48, dan R2 = 0.0016.
Hasil pengolahan modifikasi kedua (dapat dilihat pada lampiran) menghasilkan model yang
lebih baik. Berikut indeks goodness-of-fit model modifikasi kedua:
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 1027Minimum Fit Function Chi-Square = 2285.22 (P = 0.0)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2444.90 (P = 0.0)Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1417.90
90 Percent Confidence Interval for NCP = (1277.10 ; 1566.34)
Minimum Fit Function Value = 11.48Population Discrepancy Function Value (F0) = 7.13
90 Percent Confidence Interval for F0 = (6.42 ; 7.87)Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.083
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.079 ; 0.088)P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 13.3090 Percent Confidence Interval for ECVI = (12.59 ; 14.05)
ECVI for Saturated Model = 11.34ECVI for Independence Model = 20.87
186
Chi-Square for Independence Model with 1081 Degrees of Freedom =4059.45
Independence AIC = 4153.45Model AIC = 2646.90
Saturated AIC = 2256.00Independence CAIC = 4355.47
Model CAIC = 3081.03Saturated CAIC = 7104.50
Normed Fit Index (NFI) = 0.44Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.56
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.42Comparative Fit Index (CFI) = 0.58Incremental Fit Index (IFI) = 0.59Relative Fit Index (RFI) = 0.41
Critical N (CN) = 99.87
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.079Standardized RMR = 0.091
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.66Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.62Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.60
a. Chi-Square dan P
Model B mengalami penurunan nilai chi-square menjadi sebesar 2285.22 dengan 1027
degrees of freedom. Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa
model tidak fit. Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square
yang juga memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
b. x2/df
Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model B
mengalami penurunan (membaik), yakni 2285.22/1027 = 2.225. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa model B termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih
rendah dari cut-off model fit yang disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih
tinggi daripada yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan mengendalikan kompleksitas model (yang
187
diproksikan dengan jumlah degrees of freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup
baik.
c. RMSEA
RMSEA model B juga membaik, yakni sebesar 0.083. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
model acceptable fit ( < 0.1). Sedangkan, 90 Percent Confidence Interval for
RMSEA = (0.079 ; 0.088) mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut memiliki
ketepatan yang tidak baik, yang mana nilai batas kiri confidence interval tersebut
menunjukkan nilai yang jauh dari nol (left boundary of CI = 0.00 -> good-fit).
Begitu pula dengan P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) =
0.00 yang lebih kecil dari 0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , dan jauh lebih kecil daripada
0.5 sebagaimana yang disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Dengan kata lain, kita
ingin menerima hipotesis null yang menyatakan bahwa RMSEA model kurang daripada 0.05.
Akan tetapi, nilai yang signifikan tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa RMSEA tidak
kurang daripada 0.05. Namun, nilai CI tersebut termasuk kategori Acceptable Fit (90% CI
= close to RMSEA).
d. NNFI
Nilai NNFI model B mengalami peningkatan hingga senilai 0.56. Namun, nilai tersebut masih
lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak fit.
e. CFI
Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah
batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas
188
model fit adalah 0.9. Model B mengalami peningkatan nilai CFI sebesar 0.58, namun model
masih dinyatakan tidak fit.
f. SRMR
SRMR digunakan untuk mengatasi masalah ketergantungan RMR terhadap ukuran varians
dan kovarians dari variabel teramati. Nilai SRMR £ 1 adalah batas model fit. Model B
mengalami penurunan nilai SRMR hingga sebesar 0.091, dan masih dapat diterima sebagai
acceptable fit.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model B masih memiliki kinerja yang tidak
baik walaupun telah mengalami perbaikan yang membuktikan bahwa dengan dihilangkannya
LT22 dapat memberikan peningkatan pada kontribusi indikator-indikator lokasi toko terhadap
variabel latennya. Hal tersebut juga memberikan informasi bahwa pengunjung tidak
menganggap toko-toko lain di sekitar MDS Mal Ciputra sebagai substitusi yang kuat,
khususnya karena MDS memiliki pilihan produk yang lebih banyak dibandingkan dengan
toko-toko kecil di sekitar MDS Mal Ciputra. Oleh karena itu, akan dilakukan modifikasi
kembali dengan menggunakan model B. Modifikasi yang akan dilakukan adalah dengan
menghilangkan indikator yang paling tidak valid dan tidak reliabel pada hasil estimasi pada
model B. Tabel 4.8 memberikan ringkasan hasil di atas.
Tabel 4.8. Penilaian Model Fit Model B
Indeks Fit Model B Syarat Kriteria
X2 (df) 2285.22 (1027) 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value 0.0 .05 < p £ 1.00 = Good Fit ;
189
.01 £ p £ .05 = Acceptable Fit
X2 / df 2.225 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA 0.083 0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ;
.05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
(RMSEA <0 .05)
0.00 .10 < p £ 1.00 = Good Fit ;
.05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
90% CI 0.079 ; 0.088 close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit;
close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI 0.56 .97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
CFI 0.58 .97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR 0.091 0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ;
.05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
Dengan melihat output model pengukuran pada model B (lihat lampiran), ditemukan
satu indikator yang paling tidak valid dan tidak reliabel, yakni :
PP12 = - 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R2 = 0.0033 (0.099) (0.13) -0.66 9.97
Ternyata indikator yang paling bermasalah tersebut adalah sama dengan indikator yang
dihilangkan pada model A (modifikasi pertama). PP12 memiliki nilai t yang tidak signifikan
sebesar -0.66 dengan R2 sebesar 0.0033. Oleh karena itu, PP12 : “Mengunjungi sedikit
toko dalam setahun”, akan dihilangkan dari model B untuk modifikasi selanjutnya.
C. MODIFIKASI 3 (MODEL C)
Modifikasi ketiga mengacu kepada model B, dan dilakukan dengan menghilangkan indikator -
190
paling tidak valid dan tidak reliabel pada hasil estimasi model B, yakni PP12 : “Mengunjungi
sedikit toko dalam setahun”. PP12 merupakan indikator dari variabel laten Pembelian
Pengunjung. PP12 memiliki t-value sebesar -0.66, dan R2 = 0.0033.
Hasil pengolahan modifikasi ketiga (dapat dilihat pada lampiran) menghasilkan model yang
lebih baik. Berikut indeks goodness-of-fit model modifikasi ketiga:
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 982Minimum Fit Function Chi-Square = 2165.26 (P = 0.0)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2320.76 (P = 0.0)Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1338.76
90 Percent Confidence Interval for NCP = (1201.83 ; 1483.35)
Minimum Fit Function Value = 10.88Population Discrepancy Function Value (F0) = 6.73
90 Percent Confidence Interval for F0 = (6.04 ; 7.45)Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.083
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.078 ; 0.087)P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 12.6690 Percent Confidence Interval for ECVI = (11.97 ; 13.38)
ECVI for Saturated Model = 10.86ECVI for Independence Model = 20.26
Chi-Square for Independence Model with 1035 Degrees of Freedom =3938.95
Independence AIC = 4030.95Model AIC = 2518.76
Saturated AIC = 2162.00Independence CAIC = 4228.67
Model CAIC = 2944.30Saturated CAIC = 6808.48
Normed Fit Index (NFI) = 0.45Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.57
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.43Comparative Fit Index (CFI) = 0.59Incremental Fit Index (IFI) = 0.60Relative Fit Index (RFI) = 0.42
Critical N (CN) = 101.00
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.077Standardized RMR = 0.089
191
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.66Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.63Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.60
a. Chi-Square dan P
Model C mengalami penurunan nilai chi-square menjadi sebesar 2165.26 dengan 982
degrees of freedom. Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa
model tidak fit. Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square
yang juga memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
b. x2/df
Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model C
mengalami penurunan (membaik), yakni 2165.26/982 = 2.205. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa model C termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih rendah dari cut-off
model fit yang disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih tinggi daripada
yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa dengan mengendalikan kompleksitas model (yang diproksikan dengan
jumlah degrees of freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup baik.
c. RMSEA
RMSEA model C tidak berubah, yakni sebesar 0.083. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
model acceptable fit ( < 0.1). Sementara 90 Percent Confidence Interval for
RMSEA = (0.078 ; 0.087) mengalami penurunan (membaik) sebesar 0.001. Ia
mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut memiliki ketepatan yang masih tidak baik, yang
mana nilai batas kiri confidence interval tersebut menunjukkan nilai yang jauh dari nol (left
192
boundary of CI = 0.00 -> good-fit). Namun, nilai CI tersebut termasuk kategori Acceptable
Fit (90% CI = close to RMSEA).
Begitu pula dengan P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) =
0.00 yang lebih kecil dari 0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , dan jauh lebih kecil daripada
0.5 sebagaimana yang disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Dengan kata lain, kita
ingin menerima hipotesis null yang menyatakan bahwa RMSEA model kurang daripada 0.05.
Akan tetapi, nilai yang signifikan tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa RMSEA tidak
kurang daripada 0.05.
d. NNFI
Nilai NNFI model C mengalami peningkatan hingga senilai 0.57. Namun, nilai tersebut masih
lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak fit.
e. CFI
Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah
batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas
model fit adalah 0.9. Model C mengalami peningkatan nilai CFI hingga sebesar 0.59, namun
model masih dinyatakan tidak fit.
f. SRMR
Nilai SRMR £ 1 adalah batas model fit. Model C mengalami penurunan nilai SRMR hingga
sebesar 0.089, dan dapat diterima sebagai acceptable fit.
193
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model C masih memiliki kinerja yang tidak
baik, tetapi telah mengalami sedikit perbaikan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
dihilangkannya PP12 : “Mengunjungi sedikit toko dalam setahun”, telah meningkatkan
kontribusi indikator-indikator pembelian pengunjung terhadap variabel latennya. Hal tersebut
dapat terjadi karena definisi sedikit toko tidak sama bagi setiap pengunjung, dan mereka
lebih memiliki pemahaman yang sama atas pernyataan ekstrim seperti “banyak” atau “hanya
satu”.
Perbaikan yang terjadi sangat sedikit, nilai RMSEA bahkan tidak berubah, sehingga
masih akan dilakukan modifikasi kembali dengan menggunakan model C. Modifikasi yang
akan dilakukan adalah dengan menghilangkan indikator yang paling tidak valid dan tidak
reliabel pada hasil estimasi pada model C. Tabel 4.9 memberikan ringkasan hasil di atas.
Tabel 4.9. Penilaian Model Fit Model C
Indeks Fit Model C Syarat Kriteria
X2 (df) 2165.26(982) 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value 0.0 .05 < p £ 1.00 = Good Fit ;
.01 £ p £ .05 = Acceptable Fit
X2 / df 2.205 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA 0.083 0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ;
.05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
(RMSEA <0 .05)
0.00 .10 < p £ 1.00 = Good Fit ;
.05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
90% CI 0.078 ; 0.087 close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit;
close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI 0.57 .97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
194
CFI 0.59 .97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR 0.089 0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ;
.05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
Dengan melihat output model pengukuran pada model C (lihat lampiran), ditemukan
satu indikator yang paling bermasalah, yakni :
PP21 = 0.96*pp, Errorvar.= 0.17 , R2 = 0.85 (0.72) (0.24) 1.34 0.69
PP21 memiliki nilai t-value dan errorvar yang tidak signifikan pada taraf 5%. Nilai errorvar
yang tidak signifikan berarti mengungkapkan bahwa indikator tersebut tidak memiliki
kesalahan pengukuran (measurement error). Meskipun sebagai peneliti kita sangat ingin
untuk memperkecil nilai measurement error tersebut, namun dalam bidang ilmu sosial dan
keperilakuan, tidak adanya kesalahan pengukuran dalam penelitian adalah hal tidak masuk
akal dan tidak mungkin (Diamontopoulus dan Siguaw, 2000). Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka PP21 : “Sering berkunjung (tiap bulan) di MDS”, akan dihilangkan dari
model C untuk modifikasi selanjutnya.
D. MODIFIKASI 4 (MODEL D)
Modifikasi selanjutnya mengacu kepada model C, dan dilakukan dengan menghilangkan
indikator paling tidak valid dan tidak reliabel pada hasil estimasi model C, yakni PP21 :
“Sering berkunjung (tiap bulan) di MDS”.
Hasil pengolahan modifikasi keempat (dapat dilihat pada lampiran) menghasilkan model yang
lebih baik. Berikut indeks goodness-of-fit model modifikasi keempat:
195
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom = 938Minimum Fit Function Chi-Square = 2061.12 (P = 0.0)
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2190.28 (P = 0.0)Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1252.28
90 Percent Confidence Interval for NCP = (1119.59 ; 1392.64)
Minimum Fit Function Value = 10.36Population Discrepancy Function Value (F0) = 6.29
90 Percent Confidence Interval for F0 = (5.63 ; 7.00)Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.082
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.077 ; 0.086)P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 11.9890 Percent Confidence Interval for ECVI = (11.31 ; 12.69)
ECVI for Saturated Model = 10.40ECVI for Independence Model = 19.47
Chi-Square for Independence Model with 990 Degrees of Freedom =3783.99
Independence AIC = 3873.99Model AIC = 2384.28
Saturated AIC = 2070.00Independence CAIC = 4067.41
Model CAIC = 2801.22
Saturated CAIC = 6518.76
Normed Fit Index (NFI) = 0.46Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.58
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.43Comparative Fit Index (CFI) = 0.60Incremental Fit Index (IFI) = 0.61Relative Fit Index (RFI) = 0.43
Critical N (CN) = 101.58
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.073Standardized RMR = 0.087
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.67Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.64Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.61
a. Chi-Square dan P
Model D mengalami penurunan nilai chi-square menjadi sebesar 2061.12 dengan 938
degrees of freedom. Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa
196
model tidak fit. Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square
yang juga memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
b. x2/df
Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model D
mengalami penurunan (membaik), yakni 2061.12/938 = 2.197. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa model D termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih rendah dari cut-off
model fit yang disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih tinggi daripada
yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa dengan mengendalikan kompleksitas model (yang diproksikan dengan
jumlah degrees of freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup baik.
c. RMSEA
RMSEA model D mengalami penurunan (membaik), yakni sebesar 0.082. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa model acceptable fit ( < 0.1). Sementara, Byrne (1998) menyatakan
bahwa nilai RMSEA yang kurang daripada 0.05 mengindikasikan adanya model fit, dan nilai
RMSEA yang berkisar antara 0.08 menyatakan bahwa model memiliki perkiraan
kesalahan yang reasonable. Lebih lanjut, MacCallum et al. (1996) menyatakan bahwa
RMSEA berkisar antara 0.08 sampai dengan 0.1 menyatakan bahwa model memiliki fit
yang cukup (mediocre).
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.077 ; 0.086)
mengalami penurunan (membaik). Ia mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut memiliki
ketepatan yang masih tidak baik, yang mana nilai batas kiri confidence interval tersebut
menunjukkan nilai yang jauh dari nol (left boundary of CI = 0.00 -> good-fit). Namun, nilai
CI tersebut termasuk kategori Acceptable Fit (90% CI = close to RMSEA).
197
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 lebih kecil dari
0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , dan jauh lebih kecil daripada 0.5 sebagaimana yang
disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Kita ingin menerima hipotesis null yang
menyatakan bahwa RMSEA model kurang daripada 0.05. Akan tetapi, nilai yang signifikan
tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa RMSEA tidak kurang daripada 0.05.
d. NNFI
Nilai NNFI model D mengalami peningkatan hingga senilai 0.58. Namun, nilai tersebut masih
lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak fit.
e. CFI
Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah
batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas
model fit adalah 0.9. Model D mengalami peningkatan nilai CFI hingga sebesar 0.60, namun
model masih dinyatakan tidak fit.
f. SRMR
Nilai SRMR £ 1 adalah batas model fit. Model D mengalami penurunan nilai SRMR hingga
sebesar 0.087, dan dapat diterima sebagai acceptable fit.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model D masih memiliki kinerja yang tidak
sempurna, tetapi telah mengalami perbaikan yang lebih baik, khususnya dengan adanya
penurunan nilai RMSEA yang menyatakan bahwa penyimpangan nilai parameter pada model
dengan matriks kovarians populasinya semakin kecil, sehingga model lebih dapat diandalkan.
198
Tabel 4.10. Penilaian Model Fit : “Model D”
Indeks Fit Model D Syarat Kriteria
X2 (df) 2061.12(938) 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value 0.0 .05 < p £ 1.00 = Good Fit ;
.01 £ p £ .05 = Acceptable Fit
X2 / df 2.197 0 £ X2 £ 2df = Good Fit ;
2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA 0.082 0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ;
.05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
(RMSEA <0 .05)
0.00 .10 < p £ 1.00 = Good Fit ;
.05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
90% CI 0.077 ; 0.086 close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit;
close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI 0.58 .97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
CFI 0.60 .97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ;
.95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR 0.087 0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ;
.05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
Melihat hasil model pengukuran pada model D (lihat lampiran), maka tidak terdapat lagi
variabel manifest atau indikator-indikator yang tidak signifikan (baik pada taraf 1%, 5%,
10%, maupun 20%). Maka selanjutnya modifikasi akan dilakukan dengan melihat
modification indices yang dilihat pada format SIMPLIS. Berikut adalah hasil saran modifikasi
dari LISREL dalam format SIMPLIS pada model D:
The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate ST31 lt 12.1 0.45
The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate LYT12 LYT11 25.2 0.34
199
LYT22 LYT11 55.1 0.42 LYT22 LYT12 16.5 0.27 LYT33 LYT32 17.2 0.09 LYT36 LYT33 9.9 -0.08 PP23 LYT11 18.5 0.23 PP23 LYT22 19.0 0.23 PP23 PP22 12.0 0.26 ST12 ST11 11.1 0.20 ST15 LYT33 12.9 0.09 ST15 ST14 8.6 0.10 ST16 LYT35 9.5 -0.07 ST16 ST13 17.0 0.12 ST16 ST14 18.5 0.16 ST23 ST21 9.6 0.16 ST24 ST23 12.6 0.17 ST26 LYT12 8.2 0.22 ST26 LYT22 11.0 0.21 ST27 ST26 16.2 0.20 ST28 LYT34 9.0 0.10 ST28 ST13 9.6 -0.10 ST29 LYT22 10.6 -0.16 ST210 LYT31 11.1 -0.09 ST210 ST16 8.5 -0.09 ST210 ST29 39.6 0.24 ST31 LYT22 11.8 -0.23 ST31 LYT31 9.3 -0.13 ST31 PP13 8.8 0.26 ST32 PP13 11.2 0.19 ST33 LYT31 55.4 0.21 ST33 LYT33 10.0 -0.09 ST33 ST24 9.3 -0.14 ST34 LYT31 28.5 0.14 ST34 ST22 11.9 -0.12 ST34 ST33 32.9 0.18 LT12 LYT11 8.4 0.10 LT13 LYT11 16.4 0.25 LT13 LYT12 8.8 0.21 LT13 LYT22 24.6 0.30 LT13 ST12 8.6 0.19 LT13 ST21 10.4 0.23 LT13 ST25 12.0 -0.26 LT13 ST26 9.4 0.21 LT13 ST31 12.6 -0.26 LT21 ST25 8.4 0.21 LT21 ST31 24.5 0.33 VM11 ST211 9.9 0.09 VM12 LT13 9.4 0.11 VM12 VM11 29.7 0.15 VM13 LYT32 9.3 0.06 VM13 PP13 7.9 -0.14 VM14 ST33 8.9 0.09 VM21 LYT21 9.1 0.11
200
VM21 ST16 9.1 -0.12 VM21 VM12 8.3 -0.10 VM22 ST21 8.9 -0.19 VM22 ST31 16.3 0.26 VM22 LT13 8.1 -0.16 VM22 LT21 15.3 0.21 VM22 VM21 21.3 0.24
Saran modifikasi yang diberikan oleh LISREL tersebut memberikan informasi akan
besar penurunan nilai chi-square dan nilai estimasi yang akan dihasilkan, apabila menambah
path langsung (indikator composite) ataupun membebaskan parameter tertentu. Penurunan
chi-square di atas semuanya akan memberikan hasil indeks goodness-of-fit yang lebih baik.
Akan tetapi, saran-saran tersebut tidak akan diikuti karena tidak sesuai atau tidak dapat
dijustifikasi dengan teori yang ada. Adalah lebih baik untuk memiliki teori substantif yang
dapat dijadikan dasar dalam melakukan modifikasi, karena modifikasi yang tidak berdasarkan
atas teori sangatlah tidak disarankan (Field, 2000). Lebih jelasnya, akan dibahas satu per
satu mengenai saran modifikasi di atas.
The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate
ST31 lt 12.1 0.45
Saran pertama adalah dengan memberikan path langsung dari variabel laten LT (Lokasi
Toko) ke ST31 (indikator Suasana Toko : “Banyaknya pengunjung lain”). Hal ini tidak dapat
dilakukan karena hal tersebut berarti menjadikan variabel manifest atau indikator ST31
menjadi indikator komposit dari variabel LT dan ST. Seperti yang telah disampaikan di bab
metodologi penelitian di dalam sub-bab operasionalisasi variabel, bahwa indikator-indikator
untuk masing-masing variabel baik LT maupun ST telah ditentukan berdasarkan pada teori
dan penelitian-penelitian yang ada, yang mana tidak menyatakan bahwa terdapat indikator
dari variabel suasana toko yang juga merupakan indikator dari variabel lokasi toko. Dengan
demikian, saran tersebut tidak dapat dibenarkan secara teori.
201
Saran selanjutnya adalah dengan mengkorelasikan error di antara indikator-indikator
(membebaskan parameter).
The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate LYT12 LYT11 25.2 0.34 LYT22 LYT11 55.1 0.42 LYT22 LYT12 16.5 0.27 LYT33 LYT32 17.2 0.09 LYT36 LYT33 9.9 -0.08 PP23 LYT11 18.5 0.23 PP23 LYT22 19.0 0.23 PP23 PP22 12.0 0.26 ST12 ST11 11.1 0.20 ST15 LYT33 12.9 0.09 ST15 ST14 8.6 0.10 ST16 LYT35 9.5 -0.07 ST16 ST13 17.0 0.12 ST16 ST14 18.5 0.16 ST23 ST21 9.6 0.16 ST24 ST23 12.6 0.17 ST26 LYT12 8.2 0.22 ST26 LYT22 11.0 0.21 ST27 ST26 16.2 0.20 ST28 LYT34 9.0 0.10 ST28 ST13 9.6 -0.10 ST29 LYT22 10.6 -0.16 ST210 LYT31 11.1 -0.09 ST210 ST16 8.5 -0.09 ST210 ST29 39.6 0.24 ST31 LYT22 11.8 -0.23 ST31 LYT31 9.3 -0.13 ST31 PP13 8.8 0.26 ST32 PP13 11.2 0.19 ST33 LYT31 55.4 0.21 ST33 LYT33 10.0 -0.09 ST33 ST24 9.3 -0.14 ST34 LYT31 28.5 0.14 ST34 ST22 11.9 -0.12 ST34 ST33 32.9 0.18 LT12 LYT11 8.4 0.10 LT13 LYT11 16.4 0.25 LT13 LYT12 8.8 0.21 LT13 LYT22 24.6 0.30 LT13 ST12 8.6 0.19 LT13 ST21 10.4 0.23 LT13 ST25 12.0 -0.26 LT13 ST26 9.4 0.21 LT13 ST31 12.6 -0.26 LT21 ST25 8.4 0.21 LT21 ST31 24.5 0.33
202
VM11 ST211 9.9 0.09 VM12 LT13 9.4 0.11 VM12 VM11 29.7 0.15 VM13 LYT32 9.3 0.06 VM13 PP13 7.9 -0.14 VM14 ST33 8.9 0.09 VM21 LYT21 9.1 0.11 VM21 ST16 9.1 -0.12 VM21 VM12 8.3 -0.10 VM22 ST21 8.9 -0.19 VM22 ST31 16.3 0.26 VM22 LT13 8.1 -0.16 VM22 LT21 15.3 0.21 VM22 VM21 21.3 0.24
Error dari masing-masing indikator dalam penelitian ini disebabkan oleh adanya hal-hal
eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh pihak MDS, seperti suasana toko, lokasi toko,
dan variasi merchandise yang lebih baik atau berbeda dari para pesaing dalam kondisi
persaingan yang semakin ketat, serta kondisi psikologis ataupun karakter (internal)
konsumen yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan terganggunya loyalitas konsumen
ataupun pembelian mereka dalam hal pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja. Dan
bukan terkait dengan error dari indikator-indikator seperti yang disarankan di atas. Hal ini
juga dikemukakan di dalam artikel harian-global.com, yakni bahwa bisnis ritel kini hanyut
dalam arus yang semuanya bermuara pada apa yang diinginkan konsumen. Kemudahan,
kenyamanan, harga murah dan kualitas produk, diberikan oleh semua kompetitor bisnis
tersebut. Banyaknya pilihan tempat berbelanja juga menjadikan konsumen tidak loyal
terhadap satu gerai atau satu merek perusahaan ritel tertentu. Karena konsumen dapat
dengan leluasa berpindah-pindah belanja dari satu gerai ke gerai yang lain untuk mencari
yang paling cocok. Faktor daya tariknya mencakup aspek kenyamanan tempat, akses
transportasi menuju ke lokasi dan penawaran harga produk (“Konsumen Semakin Tidak
Loyal, Kenapa?”, 10 Oktober 2007). Maka, penelitian ini tidak akan mengikuti hasil saran di
atas untuk mengkorelasikan error dari antara kedua indikator tertentu dan akan tetap
menggunakan model D sebagai model yang terbaik.
203
Selain itu, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pada Bab Metodologi
Penelitian, perlu diperhatikan bahwa indeks-indeks fit di atas tersebut (X2 and its associated
p-value, X2/df, RMSEA and its associated confidence interval, SRMR, NNFI, dan CFI) dapat
terpengaruh oleh model misspecification, small-sample bias, efek dari pelanggaran
normalitas dan kemandirian (independence), serta efek-efek dari metode estimasi yang
digunakan (Hu & Bentler, 1998), maka adalah selalu mungkin bahwa sebuah model
adalah fit dengan data walaupun satu pengukuran fit atau lebih memberikan nilai
bad fit (Schermelleh-Engel et al., 2003, p53). Berdasarkan hal tersebut, dan kenyataan
bahwa penelitian ini memiliki data yang menunjukkan adanya pelanggaran normalitas, maka
model D dengan 5 indeks kecocokan model dari total 9 indeks fit yang digunakan
menunjukkan acceptable fit (nilai-nilai yang diberi Bold pada Tabel 4.9),
menunjukkan bahwa model D adalah moderately fit dengan data, walaupun 4
indeks kecocokan model lainnya (nilai-nilai yang tidak diberi Bold pada Tabel 4.9)
menunjukkan bahwa model adalah tidak fit.
Selanjutnya, mari kita melihat dan membandingkan normal probability (Q-plots),
yang menunjukkan asumsi terpenuhi tidaknya asumsi normalitas dan juga kemungkinan
model fit dari setiap model (lihat lampiran). Model awal memiliki garis residual yang hampir
sejajar dengan garis diagonal, meskipun pada puncak gambar Q-plots menunjukkan adanya
penyimpangan normalitas. Pola yang tidak linear tersebut menunjukkan bahwa terdapat
indikasi bahwa data menyimpang dari asumsi normalitas, linearitas, atau bahkan dapat
spesification errors (model yang tidak sempurna yang timbul akibat dimasukkan variabel atau
indikator yang tidak relevan dan/atau dihilangkannya variabel/indikator yang relevan).
Namun, seiring dengan modifikasi model yang dilakukan dengan menghilangkan indikator-
indikator yang paling dipertanyakan kontribusinya terhadap variabel latennya di atas, garis
residual tersebut tampak semakin berkumpul dan sejajar dengan garis diagonal, dan puncak
204
gambar Q-plots menunjukkan penyimpangan normalitas yang semakin mengecil. Garis
residual ditunjukkan dengan tanda bintang (*) dan silang (x), tampak jelas bahwa tanda-
tanda bintang dan silang tersebut dari yang terpecah-pecah di model awal menjadi semakin
menyatu selama proses modifikasi hingga model D. Model D memiliki kemungkinan
acceptable fit terbaik karena garis residualnya adalah yang paling sejajar dengan garis
diagonal, memiliki kecuraman lebih besar daripada 45 derajat, serta menunjukkan
penyimpangan normalitas yang paling kecil.
4.2.4.10 Validasi Silang Model
Setelah melihat hasil di atas, maka tahap terakhir dari proses SEM adalah melakukan
validasi silang model, yaitu menguji fit-tidaknya model terhadap suatu data baru (atau
validasi sub-sampel yang diperoleh melalui prosedur pemecahan sampel). Validasi silang ini
penting hanya apabila terdapat modifikasi yang substantial yang dilakukan terhadap model
asli (Ghozali & Fuad, 2005, p10). Oleh karena dalam penelitian ini tidak terdapat modifikasi
yang substantial yang dilakukan terhadap model aslinya, maka tahap ini tidak perlu
dilakukan. Walaupun demikian, akan diberikan pembahasan singkat mengenai validasi silang
model D.
Hasil validasi silang tersebut dapat dilihat pada indeks ECVI (Expected Cross
Validation Index). ECVI digunakan untuk menilai kecenderungan bahwa model, pada sampel
tunggal, cross validates (dapat divalidasi silang) pada ukuran sampel dan populasi yang
sama (Browne & Cudeck, 1989). ECVI mengukur penyimpangan antara fitted (model)
covariance matrix pada sampel yang dianalisis dan kovarians matriks yang akan diperoleh
pada sampel lain tetapi yang memiliki ukuran sampel yang sama besar (Byrne, 1998). Model
yang memiliki ECVI terendah berarti model tersebut sangat potensial untuk direplikasi. Nilai
ECVI model yang lebih rendah daripada ECVI yang diperoleh pada saturated model dan
205
independence model, mengindikasikan bahwa model adalah fit (Byrne, 1998). Berikut hasil
output indeks tersebut.
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 11.9890 Percent Confidence Interval for ECVI = (11.31 ; 12.69)
ECVI for Saturated Model = 10.40ECVI for Independence Model = 19.47
Hasil output tersebut menunjukkan nilai ECVI sebesar 11.98. Sementara ECVI for Saturated
Model sebesar 10.40 dan ECVI for Independence Model sebesar 19.47. Sehingga, karena
nilai ECVI jauh lebih kecil daripada nilai ECVI for Independence Model, dan hanya sedikit
lebih besar dari nilai ECVI for Saturated Model, maka dapat disimpulkan bahwa model D
cukup fit dan dapat direplikasi untuk sampel lain yang memiliki ukuran yang sama besar.
Dengan demikian, langkah selanjutnya adalah melakukan uji hipotesis pada model
struktural dan analisis hubungan-hubungan antar indikator dengan variabel latennya pada
model pengukuran.
4.2.4.11 Uji Sub Hipotesa pada Model Pengukuran
Sub-sub hipotesa yang akan diuji adalah :
H1-1. Hubungan fungsional yang positif antara Ambient Factors (ST-1), Design Factors
(ST-2), dan Social Factors (ST-3) terhadap suasana toko (ST).
H2-1. Hubungan fungsional yang positif antara Aksesbilitas (LT-1) dan Keberadaan toko
lain (LT-2) terhadap lokasi toko (LT).
H3-1. Hubungan fungsional yang positif antara Variabilitas (VM-1) dan Availibility (VM-2)
terhadap variasi merchandise (VM).
H4-1. Hubungan fungsional yang positif antara Commitment (LYT-1), Intention to revisit
the store (LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) terhadap loyalitas toko (LYT).
206
H4-2. Hubungan fungsional yang positif antara Average Number of Stores Visited Over a
Year (PP-1) dan Average Number of Visits Over a Year (PP-2) terhadap pembelian
pengunjung (PP).
Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 3, nilai loading dari model pengukuran
merupakan ukuran korelasi antara variabel dan faktornya. Maka, dengan mengacu kepada
kriteria tingkat korelasi dari Tabel 3.8, selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap
hubungan fungsional antara masing-masing indikator dengan variabel latennya. Sementara
untuk analisis uji sub hipotesa mengenai hubungan fungsional antar variabel laten akan
dibahas di sub-bab uji hipotesa pada model struktural.
A. Hubungan Fungsional Ambient Factors (ST-1), Design Factors (ST-2), dan
Social Factors (ST-3) Terhadap Variabel Laten Suasana Toko (ST)
Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi ambient
factors, design factors, dan social factors dengan variabel laten suasana toko (uji sub
hipotesa H1-1).
A.1. Hubungan Fungsional Ambient Factors (ST-1) Terhadap Variabel Laten
Suasana Toko (ST)
ST11 = 0.11*st, Errorvar.= 0.79 , R2 = 0.015 (0.067) (0.079) 1.61 9.96
ST-11 (volume musik) memiliki nilai loading sebesar 0.11 yang menunjukkan bahwa
ia memiliki hubungan fungsional yang tidak signifikan terhadap variabel laten Suasana Toko
(Tabel 3.8). Seharusnya indikator ini disarankan untuk dihilangkan dari model, tetapi ketika
hal ini dilakukan, model mengalami spesifikasi error yang berarti bahwa model membutuhkan
207
indikator tersebut dan dengan demikian tidak akan dihilangkan dari model. Kondisi tersebut
dapat terjadi karena volume musik merupakan hal yang tidak disadari dengan kuat oleh para
responden, walaupun sebenarnya tingkat volume musik yang digunakan memberikan
pengaruh di bawah sadar mereka.
ST12 = 0.15*st, Errorvar.= 0.90 , R2 = 0.023 (0.072) (0.090) 2.02 9.94
ST14 = 0.24*st, Errorvar.= 0.59 , R2 = 0.092 (0.059) (0.060) 4.12 9.84
ST16 = 0.28*st, Errorvar.= 0.45 , R2 = 0.15 (0.052) (0.046) 5.41 9.73
Nilai loading ST12 (disukainya musik), ST14 (kebersihan tembok), dan ST16 (scent) berada
di atas kriteria signifikansi 5% untuk ukuran sampel minimum 200 (Tabel 3.8). Hal ini
menunjukkan bahwa ST12, ST14, dan ST16 memiliki hubungan yang signifikan (³ +0.14)
dengan variabel laten Suasana Toko. Dengan demikian, indikator disukai tidaknya musik,
kebersihan tembok, dan aroma yang dirasakan oleh responden memiliki hubungan dengan
suasana yang dirasakan oleh pengunjung pada sebuah toko.
ST13 = 0.30*st, Errorvar.= 0.38 , R2 = 0.19 (0.049) (0.039) 6.15 9.65
ST15 = 0.36*st, Errorvar.= 0.40 , R2 = 0.25 (0.051) (0.042) 7.10 9.53
Nilai loading ST13 (kebersihan lantai) dan ST15 (kebersihan rak), berada di atas kriteria
signifikansi untuk ukuran sampel > 50 (Tabel 3.8). ST13 dan ST15 memiliki nilai loading di
atas +0.30, yang berarti indikator-indikator tersebut memiliki hubungan yang
208
bermakna/berarti (Bachrudin & Tobing, 2003) terhadap variabel laten Suasana Toko. Dengan
demikian, kebersihan lantai maupun kebersihan rak memiliki hubungan dengan suasana toko
yang dirasakan oleh pengunjung.
A.2 Hubungan Fungsional Design Factors (ST-2) Terhadap Variabel Laten Suasana
Toko (ST)
ST21 = 0.30*st, Errorvar.= 1.09 , R2 = 0.075 (0.080) (0.11) 3.71 9.87
ST24 = 0.33*st, Errorvar.= 0.95 , R2 = 0.10 (0.076) (0.097) 4.34 9.82
ST27 = 0.32*st, Errorvar.= 0.46 , R2 = 0.18 (0.054) (0.048) 5.96 9.68
Ketiga indikator di atas, yakni ST21 (penataan produk yang baik), ST24 (perasaan senang
ketika berjalan di lorong), dan ST27 (tanda petunjuk yang dimengerti) memiliki nilai loading
> +0.30 , yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna/ berarti (signfikan) antara
ketiga indikator di atas dan variabel laten suasana toko. Sementara itu, untuk indikator ST24
memiliki nilai loading pada kriteria > +0.30 yang lebih besar dibandingkan kedua indikator
lainnya. Hal tersebut memberikan pandangan bahwa perasaan senang ketika berjalan di
lorong memberikan efek yang lebih terasa nyata dan berarti bagi suasana toko yang
dirasakan oleh pengunjung dibandingkan dengan penataan produk yang baik dan
terdapatnya tanda petunjuk yang dimengerti.
ST22 = 0.43*st, Errorvar.= 0.57 , R2 = 0.24 (0.061) (0.059) 7.01 9.54
ST29 = 0.49*st, Errorvar.= 0.61 , R2 = 0.28
209
(0.064) (0.065) 7.62 9.45
ST211 = 0.42*st, Errorvar.= 0.31 , R2 = 0.36 (0.047) (0.033) 8.83 9.22
Nilai loading dari ST22 (kemudahan menemukan barang), ST29 (warna), dan ST211
(lighting) berada pada tingkat signifikansi untuk sampel lebih dari 50, yakni nilai loading >
+0.40 (Tabel 3.8). Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang lebih bermakna antara
ketiga indikator tersebut dengan variabel laten suasana toko (Bachrudin & Tobing, 2003).
Dari ketiganya, ST29 memiliki nilai loading yang paling tinggi, yakni 0.49. Hal ini memberikan
arti bahwa tema warna dari suatu toko memberikan suasana toko yang paling lebih
bermakna, yang dirasakan oleh pengunjung suatu toko.
ST23 = 0.52*st, Errorvar.= 0.42 , R2 = 0.39 (0.055) (0.046) 9.29 9.12
ST28 = 0.63*st, Errorvar.= 0.47 , R2 = 0.45 (0.061) (0.053) 10.25 8.86
ST210 = 0.56*st, Errorvar.= 0.41 , R2 = 0.44 (0.056) (0.046) 10.00 8.93
Berikutnya, ST23 (penataan produk yang menarik), ST28 (style), dan ST210 (display),
merupakan indikator-indikator yang memiliki nilai loading tertinggi (>+0.50) di antara
indikator-indikator dimensi design factors lainnya. Dengan demikian, ketiga indikator tersebut
memiliki hubungan yang sangat bermakna terhadap suasana toko yang dirasakan oleh
pengunjung. Nilai loading tertinggi dimiliki oleh indikator ST28, yakni 0.63. Maka, dapat
disimpulkan bahwa style dari sebuah toko sangat berpengaruh terhadap suasana toko yang
dirasakan oleh pengunjungnya.
210
ST25 = 0.25*st, Errorvar.= 1.26 , R2 = 0.047 (0.086) (0.13) 2.90 9.91
ST26 = 0.28*st, Errorvar.= 1.00 , R2 = 0.072 (0.077) (0.10) 3.62 9.87
Terakhir, indikator-indikator yang memenuhi taraf signifikansi 5% adalah ST25
(kenyamanan) dan ST26 (tanda petunjuk yang membantu) dengan nilai loading ³ 0.14. Hal
ini menunjukkan adanya hubungan fungsional yang signifikan antara kenyamanan dan tanda
petunjuk yang membantu dengan suasana yang dirasakan oleh pengunjung di sebuah toko.
A.3 Hubungan Fungsional Social Factors (ST-3) Terhadap Variabel Laten Suasana
Toko (ST)
ST31 = 0.30*st, Errorvar.= 1.13 , R2 = 0.076 (0.082) (0.11) 3.72 9.87
ST34 = 0.31*st, Errorvar.= 0.41 , R2 = 0.19 (0.051) (0.043) 6.01 9.67
Banyaknya pengunjung lain (ST31) dan keramahan karyawan (ST34) memiliki nilai loading
yang memenuhi taraf signifikan untuk kriteria sampel lebih dari 50 (Tabel 3.8). Nilai loading
tersebut menunjukkan bahwa ST31 dan ST34 memiliki hubungan yang bermakna/ berarti
terhadap variabel laten suasana toko (ST). Dengan adanya hubungan tersebut, maka
banyaknya pengunjung lain dan keramahan karyawan berhubungan dengan suasana yang
dirasakan oleh pengunjung dari suatu toko, dengan keramahan karyawan sedikit lebih berarti
daripada banyaknya pengunjung lain karena nilai loading ST34 (0.31) lebih besar daripada
nilai loading ST31 (0.30). Sedangkan, berdasarkan nilai koefisien determinasinya, dapat
211
diketahui bahwa ST31 dapat menjelaskan variabel suasana toko sebesar 7,6% dan ST34
sebesar 19%.
ST32 = 0.53*st, Errorvar.= 0.46 , R2 = 0.37 (0.058) (0.051) 9.05 9.17
ST33 = 0.51*st, Errorvar.= 0.42 , R2 = 0.38 (0.055) (0.046) 9.15 9.15
Sementara itu, ST32 (penampilan karyawan) dan ST33 (perilaku karyawan) menunjukkan
nilai loading yang sangat bermakna (>+0.50). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang sangat bermakna antara baik buruknya penampilan dan perilaku karyawan
dengan suasana toko yang dirasakan oleh pengunjungnya. Dengan demikian, berdasarkan
hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub hipotesa H1-1 diterima.
B. Hubungan Fungsional Aksesbilitas (LT-1), dan Keberadaan Toko Lain (LT-2)
Terhadap Variabel Laten Lokasi Toko (LT)
Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi aksesbilitas
dan keberadaan toko lain dengan variabel laten lokasi toko (uji sub hipotesa H2-1).
B.1. Hubungan Fungsional Aksesbilitas (LT-1) Terhadap Variabel Laten Lokasi
Toko (LT)
LT11 = 0.27*lt, Errorvar.= 0.78 , R2 = 0.085 (0.076) (0.081) 3.50 9.58
LT13 = 0.17*lt, Errorvar.= 0.90 , R2 = 0.031 (0.080) (0.091) 2.11 9.85
212
Indikator-indikator LT11 (lokasi yang dekat dengan rumah pengunjung/ tempat kerja) dan
LT13 (mudah dicapai dengan menggunakan transportasi umum) menunjukkan nilai loading
yang signifikan pada taraf 5% (³ +0.14) dan 1% (³ 0.18). Maka, terlihat adanya hubungan
yang signifikan antara lokasi yang dekat dengan rumah pengunjung/ tempat kerja dan
mudah dicapai tidaknya suatu toko dengan menggunakan transportasi umum dengan kondisi
lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat belanja dan frekuensi
berkunjung dari pengunjung.
LT12 = 0.36*lt, Errorvar.= 0.22 , R2 = 0.36 (0.055) (0.036) 6.43 6.09
Sedangkan LT12 (lokasi nyaman), menunjukkan nilai loading yang signifikan untuk ukuran
sampel lebih dari 50. Dengan demikian, indikator LT12 memiliki hubungan yang bermakna/
berarti dengan variabel laten lokasi toko. Dengan kata lain, lokasi yang nyaman memiliki
hubungan yang bermakna dengan kondisi lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan
pemilihan tempat belanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung.
B.2. Hubungan Fungsional Keberadaan Toko Lain (LT-2) Terhadap Variabel Laten
Lokasi Toko (LT)
LT21 = 0.30*lt, Errorvar.= 0.76 , R2 = 0.10 (0.077) (0.081) 3.87 9.47
Keberadaan toko lain di sekitar MDS yang bersifat komplementer bagi MDS (LT21) memiliki
nilai loading yang signifikan pada jumlah sampel lebih dari 50 (Tabel 3.8). Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan toko lain di sekitar MDS yang bersifat komplementer bagi
MDS memiliki hubungan yang bermakna/ berarti dengan variabel laten lokasi toko. Maka,
dapat disimpulkan bahwa keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifat komplementer bagi
213
MDS sehingga memberikan pandangan kondisi lokasi MDS yang baik bagi pengunjung, dalam
kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja oleh pengunjung dan frekuensi berkunjung
pengunjung. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa sub hipotesa H2-1 diterima.
C. Hubungan Fungsional Variabilitas (VM-1) dan Availability (VM-2) Terhadap
Variabel Laten Variasi Merchandise (VM)
Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi variabilitas
dan availability dengan variabel laten variasi merchandise (uji sub hipotesa H3-1).
C.1. Hubungan Fungsional Variabilitas (VM-1) Terhadap Variabel Laten Variasi
Merchandise (VM)
VM11 = 0.57*vm, Errorvar.= 0.43 , R2 = 0.43 (0.059) (0.050) 9.65 8.63
VM14 = 0.53*vm, Errorvar.= 0.37 , R2 = 0.43 (0.054) (0.043) 9.73 8.59
Indikator-indikator VM11 (ragam merek yang tersedia) dan VM14 (banyak pilihan seperti
warna, ukuran, bahan, dll, dalam setiap kategori produk) menunjukkan nilai loading yang
berada di atas +0.50. Nilai tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna
antara indikator-indikator tersebut dengan variabel laten variasi merchandise. Maka, ragam
merek yang tersedia serta banyaknya pilihan dalam setiap kategori produk memiliki
hubungan yang sangat bermakna dengan pandangan pengunjung dalam kaitannya dengan
pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung.
214
VM12 = 0.41*vm, Errorvar.= 0.26 , R2 = 0.40 (0.045) (0.030) 9.20 8.79
VM13 = 0.46*vm, Errorvar.= 0.35 , R2 = 0.37 (0.052) (0.040) 8.87 8.90
Sementara VM12 (ragam kategori produk yang tersedia) dan VM13 (ragam private labels)
menunjukkan nilai loading di atas +0.40, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
lebih bermakna antara kedua indikator tersebut dengan variabel laten variasi merchandise
(Bachrudin & Tobing, 2003). Dengan demikian, ragam kategori produk yang tersedia dan
ragam private labels memiliki hubungan fungsional yang lebih bermakna terhadap
pandangan pengunjung akan variasi merchandise di suatu toko dalam kaitannya dengan
pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung tersebut. Melihat
hasil loading VM13 atau ragam private labels yang lebih besar daripada nilai loading VM12
atau ragam kategori produk yang tersedia, maka dapat disimpulkan pula bahwa ragam
private labels yang ada di suatu toko lebih memiliki makna dalam pemilihan tempat
berbelanja dan banyaknya frekuensi berkunjung dari pengunjung.
C.2. Hubungan Fungsional Availability (VM-2) Terhadap Variabel Laten Variasi
Merchandise (VM)
VM21 = 0.73*vm, Errorvar.= 0.56 , R2 = 0.48 (0.069) (0.068) 10.46 8.27
VM22 = 0.68*vm, Errorvar.= 0.63 , R2 = 0.42 (0.071) (0.073) 9.56 8.66
Baik VM21 (ketersediaan produk) maupun VM22 (consistency in assortment) memiliki nilai
loading di atas +0.50, yang berarti bahwa kedua indikator tersebut memiliki hubungan
215
fungsional yang sangat bermakna dengan variabel laten variasi merchandise. Maka, dapat
disimpulkan bahwa ketersediaan produk dan consistency in assortment dari suatu toko
memberikan hubungan yang sangat bermakna bagi pandangan pengunjung akan variasi
merchandise di suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja dan
frekuensi berkunjung dari pengunjung tersebut. Di antara keduanya, indikator VM21
menunjukkan hubungan yang paling hampir mendekati 1, sehingga dapat diketahui bahwa
ketersediaan produk-produk yang diinginkan (tidak pernah kehabisan stok) oleh pengunjung
yang baik akan memberikan kontribusi yang lebih sangat bermakna terhadap pemilihan
pengunjung akan tempat belanjanya dan frekuensi berkunjung pengunjung di sebuah toko.
Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub
hipotesa H3-1 diterima.
D. Hubungan Fungsional Commitment (LYT-1), Intention to Revisit the Store
(LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) Terhadap Variabel Laten Loyalitas Toko
(LYT)
Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi commitment,
intention to revisit the store, dan satisfaction dengan variabel laten loyalitas toko (uji sub
hipotesa H4-1).
D.1. Hubungan Fungsional Commitment (LYT-1) Terhadap Variabel Laten
Loyalitas Toko (LYT)
LYT11 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.82 , R2 = 0.028 (0.083) 9.94
216
LYT12 = 0.25*lyt, Errorvar.= 1.11 , R2 = 0.052 (0.14) (0.11) 1.81 9.90
Indikator LYT11 (komitmen untuk berbelanja kembali) dan LYT12 (komitmen untuk tidak
berpindah) sama-sama memperlihatkan nilai loading yang signifikan untuk ukuran sampel
minimum sebanyak 200 (Tabel 3.8). LYT11 signifikan pada taraf 5% (³ +0.14), sementara
LYT12 signifikan pada taraf 1% (³ +0.18). Maka, kesimpulan yang dapat diambil dari hasil
tersebut adalah bahwa komitmen untuk berbelanja kembali (LYT11) dan komitmen untuk
tidak berpindah (LYT12) memiliki hubungan fungsional yang signifikan terhadap variabel
laten loyalitas toko.
D.2. Hubungan Fungsional Intention to Revisit the Store (LYT-2) Terhadap
Variabel Laten Loyalitas Toko (LYT)
LYT21 = 0.39*lyt, Errorvar.= 0.38 , R2 = 0.29 (0.18) (0.040) 2.17 9.40
LYT22 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.78 , R2 = 0.030 (0.096) (0.078) 1.61 9.93
LYT21 (di masa mendatang, pengunjung akan sangat sering shopping di MDS) memiliki nilai
loading di atas +0.30, yang menunjukkan bahwa indikator LYT21 memiliki hubungan yang
berarti/bermakna dengan variabel laten loyalitas toko. Sementara itu, LYT22 (di masa
mendatang, pengunjung tidak akan shopping di MDS) memiliki nilai loading di atas +0.14,
yang berarti bahwa indikator LYT22 memiliki hubungan fungsional yang signifikan dengan
variabel laten loyalitas toko pada taraf 5%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
keinginan pengunjung untuk akan sangat sering berbelanja dan tidak akan berbelanja di
MDS memiliki hubungan yang bermakna dan signifikan dengan loyalitas toko pengunjung.
217
D.3. Hubungan Fungsional Satisfaction (LYT-3) Terhadap Variabel Laten Loyalitas
Toko (LYT)
LYT31 = 0.47*lyt, Errorvar.= 0.31 , R2 = 0.42 (0.21) (0.034) 2.20 8.98
LYT33 = 0.46*lyt, Errorvar.= 0.29 , R2 = 0.41 (0.21) (0.033) 2.20 8.99
LYT35 = 0.48*lyt, Errorvar.= 0.21 , R2 = 0.52 (0.22) (0.025) 2.21 8.45
LYT36 = 0.40*lyt, Errorvar.= 0.32 , R2 = 0.33 (0.18) (0.035) 2.18 9.29
Hubungan yang lebih bermakna (> +0.40) terhadap variabel laten loyalitas toko ditunjukkan
oleh keempat indikator di atas, yakni LYT31 (kepuasan pengunjung terhadap pelayanan di
MDS), LYT33 (kepuasan pengunjung terhadap lokasi MDS), LYT35 (kepuasan pengunjung
terhadap pembelian yang dilakukannya di MDS), dan LYT36 (akan merekomendasikan
kepada orang lain). Nilai-nilai tersebut memberikan makna bahwa kepuasan pengunjung
terhadap pelayanan di MDS, kepuasan pengunjung terhadap lokasi MDS, kepuasan
pengunjung terhadap pembelian yang dilakukannya di MDS, serta akan tidaknya
merekomendasikan kepada orang lain untuk berbelanja di MDS, memliki makna yang lebih
terhadap komitmen pengunjung untuk berbelanja kembali dan keinginan untuk kembali
berkunjung ke toko MDS.
LYT32 = 0.56*lyt, Errorvar.= 0.17 , R2 = 0.65 (0.25) (0.023) 2.22 7.36
LYT34 = 0.58*lyt, Errorvar.= 0.36 , R2 = 0.49 (0.26) (0.042) 2.21 8.66
218
LYT32 (kepuasan pengunjung terhadap produk di MDS) dan LYT34 (kepuasan pengunjung
terhadap disain toko secara keseluruhan) menunjukkan nilai loading di atas +0.50, yang
berarti indikator-indikator tersebut memiliki hubungan signifikan dan sangat bermakna
terhadap variabel laten loyalitas toko. Nilai loading tersebut memberikan kesimpulan bahwa
kepuasan pengunjung terhadap produk di MDS dan disain toko secara keseluruhan memiliki
hubungan yang sangat bermakna terhadap pembentukan loyalitas toko pengunjung terhadap
toko MDS. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa sub hipotesa H4-1 diterima.
E. Hubungan Fungsional Average Number of Stores Visited Over A Year (PP-1)
dan Average Number of Visits Over A Year (PP-2) Terhadap Variabel Laten
Pembelian Pengunjung (PP)
Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi average
number of visits over a year dan average number of visits over a year dengan variabel laten
pembelian pengunjung (uji sub hipotesa H4-2).
E.1. Hubungan Fungsional Average Number of Stores Visited Over A Year (PP-1)
Terhadap Variabel Laten Pembelian Pengunjung (PP)
PP11 = 0.65*pp, Errorvar.= 0.82 , R2 = 0.34 (0.21) 3.93
Indikator PP11 (mengunjungi banyak toko dalam setahun) menunjukkan nilai loading atau
hubungan yang sangat bermakna (> +0.50) terhadap variabel laten pembelian pengunjung.
Berarti, perilaku pengunjung yang mengunjungi banyak toko dalam setahun memiliki
219
hubungan yang sangat bermakna terhadap perilaku pembelian pengunjung dalam kaitannya
dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja.
PP13 = 0.33*pp, Errorvar.= 1.25 , R2 = 0.079 (0.17) (0.14) 1.97 8.90
Sementara itu, PP13 (hanya mengunjungi satu toko dalam setahun), dengan nilai loading >
+0.30, menunjukkan adanya hubungan yang berarti/ bermakna terhadap variabel latennya,
yakni pembelian pengunjung. Nilai tersebut memberi informasi bahwa perilaku pengunjung
yang hanya mengunjungi satu toko dalam setahun memiliki hubungan yang bermakna
terhadap perilaku pembelian pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat
mereka akan berbelanja. Lebih lanjut, jika melihat nilai loading yang lebih besar hingga dua
kali lipat pada indikator PP11 (mengunjungi banyak toko dalam setahun) dibandingkan
dengan indikator PP13 (hanya mengunjungi satu toko dalam setahun), memberikan suatu
kesimpulan bahwa perilaku pengunjung yang mengunjungi banyak toko dalam setahun
melibatkan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja yang lebih mudah dibandingkan
dengan perilaku pengunjung yang hanya mengunjungi satu toko dalam setahun. Wajar
tentunya, karena mereka yang hanya mengunjungi satu toko dalam setahunnya cenderung
memiliki banyak pertimbangan dalam pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja dan
banyak berpikir, sebab pada dasarnya mereka telah terbiasa untuk berbelanja di satu toko
tertentu yang telah sangat mereka percaya (loyalitas toko yang sangat kuat) dan adalah
sangat sulit bagi mereka untuk keluar dari comfort zone tersebut.
E.2. Hubungan Fungsional Average Number of Visits Over A Year (PP-2) Terhadap
Variabel Laten Pembelian Pengunjung (PP)
220
PP22 = 0.29*pp, Errorvar.= 1.32 , R2 = 0.062 (0.16) (0.14) 1.85 9.17
PP23 = 0.22*pp, Errorvar.= 0.69 , R2 = 0.066 (0.12) (0.075) 1.88 9.11
Terakhir, indikator-indikator PP22 (jarang berkunjung atau tidak setiap bulan berkunjung ke
MDS) dan PP23 (sekali dalam setahun berkunjung dan atau berbelanja di MDS) memiliki nilai
loading yang signifikan pada taraf 1% (³ +0.18). Hasil tersebut memberikan kesimpulan
bahwa terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara indikator PP22 dan indikator
PP23 terhadap variabel laten pembelian pengunjung, pada taraf 1%. Hubungan fungsional
yang signifikan tersebut memberikan informasi bahwa perilaku pengunjung yang jarang atau
tidak setiap bulan berkunjung ke MDS dan perilaku pengunjung yang hanya sekali dalam
setahun berkunjung dan atau berbelanja di MDS, memiliki efek terhadap perilaku pembelian
pengunjung, dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja.
Secara implisit, dapat diketahui bahwa mereka yang jarang berkunjung atau tidak setiap
bulan berkunjung di MDS memiliki perilaku pemilihan toko MDS sebagai tempat mereka
berbelanja yang lebih kuat dibandingkan mereka yang hanya sekali dalam setahun
berkunjung atau berbelanja di MDS. Hal ini dikarenakan oleh kepercayaan dan pengalaman
yang dimiliki oleh mereka yang tidak setiap bulan berkunjung di MDS lebih besar daripada
mereka yang hanya sekali dalam setahun berkunjung atau berbelanja di MDS. Dengan
demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub hipotesa
H4-2 diterima. Tabel 4.11 memberikan ringkasan hubungan antara indikator-indikator
dengan variabel latennya.
221
Tabel 4.11 Hubungan Indikator-indikator dengan Variabel Latennya
Variabel Suasana
Toko
Lokasi
Toko
Variasi
Merchandise
Loyalitas
Toko
Pembelian
Pengunjung
ST11 0.11 - - - -
ST12 0.15 - - - -
ST13 0.30 - - - -
ST14 0.24 - - - -
ST15 0.36* - - - -
ST16 0.28 - - - -
ST21 0.30 - - - -
ST22 0.43 - - - -
ST23 0.52 - - - -
ST24 0.33 - - - -
ST25 0.25 - - - -
ST26 0.28 - - - -
ST27 0.32 - - - -
ST28 0.63** - - - -
ST29 0.49 - - - -
ST210 0.56 - - - -
ST211 0.42 - - - -
ST31 0.30 - - - -
ST32 0.53* - - - -
ST33 0.51 - - - -
ST34 0.31 - - - -
LT11 - 0.27 - - -
LT12 - 0.36** - - -
LT13 - 0.17 - - -
LT21 - 0.30* - - -
VM11 - - 0.57* - -
VM12 - - 0.41 - -
VM13 - - 0.46 - -
222
Variabel Suasana
Toko
Lokasi
Toko
Variasi
Merchandise
Loyalitas
Toko
Pembelian
Pengunjung
VM14 - - 0.53 - -
VM21 - - 0.73** - -
VM22 - - 0.68 - -
LYT11 - - - 0.15 -
LYT12 - - - 0.25* -
LYT21 - - - 0.39* -
LYT22 - - - 0.15 -
LYT31 - - - 0.47 -
LYT32 - - - 0.56 -
LYT33 - - - 0.46 -
LYT34 - - - 0.58** -
LYT35 - - - 0.48 -
LYT36 - - - 0.40 -
PP11 - - - - 0.65**
PP13 - - - - 0.33
PP22 - - - - 0.29*
PP23 - - - - 0.22
* Indikator dengan korelasi tertinggi dari suatu dimensi.** Indikator dengan korelasi tertinggi dari suatu dimensi dan merupakan korelasi tertinggi indikator
terhadap variabel latennya.
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data.
4.2.4.12 Uji Hipotesis pada Model Struktural
Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:
H1. Suasana toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko
H2. Lokasi toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko
H3. Variasi merchandise berpengaruh positif terhadap loyalitas toko
H4. Loyalitas toko berpengaruh positif terhadap pembelian pengunjung
223
Pengujian hipotesis-hipotesis di atas akan dilakukan dengan mengevaluasi model
stuktural dari model D. Berikut hasil akhir persamaan model struktural tersebut:
Structural Equations
lyt = 0.53*st - 0.15*lt + 0.38*vm, Errorvar.= 0.49 , R2 = 0.51 (0.26) (0.35) (0.36) 2.08 -0.43 1.06 pp = 0.38*lyt, Errorvar.= 0.85 , R2 = 0.15 (0.21) 1.82
Interpretasi estimasi paramater unstandardized hampir sama dengan regresi linear biasa,
dimana perubahan variabel dependen dipengaruhi oleh besarnya estimate value suatu
variabel independen lainnya dengan mengasumsikan bahwa seluruh variabel independen
lainnya dianggap tetap (Ghozali & Fuad, 2005, p286).
Nilai estimasi ST (Suasana Toko) memiliki nilai positif dan signifikan pada taraf 5%
(nilai t = 2.08 > |1.96|). Output tersebut memiliki arti bahwa berubahnya suasana toko
sebesar satu unit akan menambah loyalitas toko sebesar 0.53. Hasil tersebut mendukung
pernyataan hipotesis 1, yakni bahwa suasana toko berpengaruh positif terhadap loyalitas
toko.
Sementara itu, nilai estimasi variabel lokasi toko memiliki nilai yang negatif dan tidak
signifikan baik pada taraf 20%, 10%, 5%, maupun 1%. Demikian pula halnya dengan nilai
estimasi variabel variasi merchandise. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi toko dan variasi
merchandise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas toko. Dengan
demikian, pernyataan hipotesis 2 dan 3 tidak diterima.
Adapun, nilai estimasi variabel loyalitas toko memiliki nilai yang positif dan signifikan
pada taraf 10%, karena nilai t hitung (1.82) lebih besar daripada |1.645| (Tabel 3.9). Output
tersebut memiliki arti bahwa loyalitas toko berpengaruh positif dan signifikan terhadap
224
pembelian pengunjung pada taraf 10%, yakni berubahnya loyalitas toko sebesar satu unit
akan menambah pembelian pengunjung sebesar 0.38. Hasil tersebut mendukung pernyataan
hipotesis 4, yakni bahwa loyalitas toko berpengaruh secara positif terhadap pembelian
pengunjung.
Lebih jauh lagi, akan dilakukan perbandingan untuk mengetahui variabel manakah
yang memiliki pengaruh terbesar terhadap variabel endogen loyalitas toko dan pembelian
pengunjung dengan melihat pada bagian estimasi parameter yang telah distandarisasi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, standardized estimates tidak lagi dipengaruhi oleh
adanya perbedaan unit pengukuran pada variabel-variabel independen. Oleh karena itu,
untuk mengetahui variabel mana yang memiliki pengaruh terbesar, maka sangat disarankan
untuk melihat pada standardized estimates daripada unstandardized estimates (Ghozali &
Fuad, 2005, p324). Berikut adalah sebagian format LISREL dari model D :
BETA lyt pp -------- -------- lyt - - - - pp 0.384 - -
GAMMA st lt vm -------- -------- -------- lyt 0.533 -0.153 0.383 pp - - - - - -
Dari hasil output tersebut, dapat diketahui bahwa dari ketiga variabel yang mempengaruhi
variabel endogen loyalitas toko, variabel suasana toko memiliki pengaruh terbesar
dengan nilai standardized estimates sebesar 0.533, diikuti oleh variasi
merchandise (0.383), dan lokasi toko yang memiliki pengaruh terkecil (-0.153).
Namun, hanya suasana toko yang memiliki pengaruh yang signifikan dengan alasan seperti
yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan, variabel endogen pembelian pengunjung hanya
225
dipengaruhi oleh satu variabel, yakni variabel loyalitas toko, sehingga jelas terlihat bahwa
loyalitas toko adalah variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap
pembelian pengunjung (0.384).
Lalu, untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara dua variabel dari masing-
masing variabel penelitian (uji sub hipotesa H1-2, H2-2, H3-2, dan H4-2), akan dilihat dari
Correlation Matrix of ETA and KSI hasil standarisasi. Berikut adalah output tersebut :
Correlation Matrix of ETA and KSI
lyt pp st lt vm -------- -------- -------- -------- -------- lyt 1.000 pp 0.384 1.000 st 0.683 0.262 1.000 lt 0.500 0.192 0.599 1.000 vm 0.585 0.224 0.628 0.871 1.000
Dari hasil di atas, dapat diketahui bahwa :
· Suasana toko dan loyalitas toko memiliki hubungan positif yang paling kuat,
yakni sebesar 0.683.
Hal ini menunjukkan bahwa suasana toko yang menarik atau disukai oleh
pengunjung memiliki hubungan yang sangat dan paling kuat terhadap loyalitas
mereka terhadap toko tersebut. Dengan demikian, sub hipotesa H1-2
diterima.
· Lokasi toko dan loyalitas toko memiliki hubungan positif yang juga kuat, tetapi
paling lemah jika dibandingkan dengan hubungan di antara loyalitas toko dengan
variabel-variabel eksogen lainnya (suasana toko dan variasi merchandise), yakni
sebesar 0.500.
Hal ini menunjukkan bahwa lokasi toko yang baik menurut pengunjung
berhubungan kuat dengan tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko tersebut,
226
walaupun tidak sekuat hubungan dengan suasana toko dan variasi merchandise.
Dengan demikian, sub hipotesa H2-2 diterima.
· Variasi merchandise dan loyalitas toko memiliki hubungan positif yang kuat,
yakni sebesar 0.585.
Hal ini menunjukkan bahwa variasi merchandise yang baik menurut
pengunjung berhubungan sangat kuat dengan tingkat loyalitas mereka terhadap
suatu toko. Dengan demikian, sub hipotesa H3-2 diterima.
· Terakhir, loyalitas toko dan pembelian pengunjung memiliki hubungan yang
cukup kuat, yakni sebesar 0.384.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat loyalitas toko yang cukup atau tinggi dari
pengunjung berhubungan cukup kuat dengan pembelian pengunjung tersebut
dalam hal pemilihan gerai tempatnya akan berbelanja. Dengan demikian, sub
hipotesa H4-2 diterima.
Sementara itu, melihat hasil koefisien determinasi dari persamaan struktural loyalitas
toko, dapat diketahui bahwa variabel-variabel eksogen / independen (suasana toko, lokasi
toko, dan variasi merchandise) 51% varians loyalitas toko dijelaskan oleh variabel suasana
toko, lokasi toko, dan variasi merchandise. Sedangkan sisanya (49%) dijelaskan oleh faktor
selain suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise. Nilai koefisien determinasi pada
persamaan struktural pembelian pengunjung menunjukkan bahwa 15% varians pembelian
pengunjung dijelaskan oleh loyalitas toko, sedangkan sisanya (85%) dijelaskan oleh faktor
selain loyalitas toko. Dengan demikian, persamaan struktural loyalitas toko dan pembelian
pengunjung cukup baik.
227
4.3 Implikasi Hasil Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan :
T-1 Mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana
toko dan variasi merchandise, mengetahui alasan penempatan lokasi toko
MDS di Mal Ciputra serta mengetahui tingkat loyalitas pengunjung terhadap
toko MDS Mal Ciputra dan tingkat penjualan MDS Mal Ciputra selama ini.
T-2 Menganalisis pengaruh dari suasana dalam toko (ST) terhadap loyalitas
pengunjung terhadap toko (LYT). Secara rinci sebagai berikut:
a. Menganalisis hubungan fungsional antara Ambient Factors (ST-1),
Design Factors (ST-2), dan Social Factors (ST-3) terhadap suasana toko
(ST).
b. Menganalisis hubungan fungsional antara suasana toko (ST) terhadap
loyalitas toko (LYT).
T-3 Menganalisis pengaruh dari lokasi toko (LT) terhadap loyalitas pengunjung
terhadap toko (LYT). Secara rinci sebagai berikut:
a. Menganalisis hubungan fungsional antara Aksesbilitas (LT-1) dan
Keberadaan toko lain (LT-2) terhadap lokasi toko (LT).
b. Menganalisis hubungan fungsional antara lokasi toko (LT) terhadap
loyalitas toko (LYT).
T-4 Menganalisis pengaruh dari banyaknya variasi/pilihan merchandise (VM)
terhadap loyalitas pengunjung terhadap toko (LYT). Secara rinci sebagai
berikut:
228
a. Menganalisis hubungan fungsional antara Variabilitas (VM-1) dan
Availibility (VM-2) terhadap variasi merchandise (VM).
b. Menganalisis hubungan fungsional antara variasi merchandise (VM)
terhadap loyalitas toko (LYT).
T-5 Menganalisis pengaruh dari loyalitas tersebut (LYT) terhadap pembelian
pengunjung (PP) yang dilihat dari pemilihan gerai tempat mereka akan
berbelanja (loyalitas toko pengunjung). Secara rinci sebagai berikut:
a. Menganalisis hubungan fungsional antara Commitment (LYT-1),
Intention to revisit the store (LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) terhadap
loyalitas toko (LYT).
b. Menganalisis hubungan fungsional antara Average Number of Stores
Visited Over a Year (PP-1) dan Average Number of Visits Over a Year
(PP-2) terhadap pembelian pengunjung (PP).
c. Menganalisis hubungan fungsional antara loyalitas toko (LYT) terhadap
pembelian pengunjung (PP) yang dilihat dari pemilihan gerai tempat
mereka akan berbelanja (loyalitas pengunjung terhadap toko).
Hasil penelitian dengan pembahasan seperti yang telah dijabarkan pada sub bab 4.2
telah mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui
bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana toko di sebuah MDS didasari
akan sales contribution dari masing-masing merek dan kondisi market. Besarnya dana yang
tersedia dan kondisi dari masing-masing toko, dan perubahan-perubahan dari para pesaing
juga dijadikan bahan pertimbangan.
229
Kemudian, pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan dalam pemilihan lokasi toko
MDS di Mal Ciputra di antaranya adalah pada saat Mal Ciputra pertama akan dibuka, mal ini
merupakan pusat belanja terbesar di Indonesia sebelum menjamurnya mal-mal lain yang
lebih besar. Alasan lainnya, adalah berdasarkan kelengkapan sarana. Outlet-outlet Matahari
umumnya merupakan gedung-gedung yang telah dilengkapi sarana yang cukup baik, seperti
tempat parkir, AC, lift, dan eskalator. Sarana tersebut merupakan sarana utama yang
mempunyai peranan penting dalam rangka menciptakan suasana nyaman berbelanja. Mal
Ciputra sendiri dilengkapi eskalator sebanyak 28 unit, lift dengan kapasitas penumpang 15
orang, dan AC sentral. Selain itu, dilengkapi juga dengan sarana seperti telepon sebanyak
480 lines, electricity 14MW, drinking water, system keamanan yang terdiri dari CCTV, alarm
system, safety system, dan sprinkler system. Kemudian, terdapat pula indoor parking
sebanyak 500 kendaraan, dan outside parking untuk sekitar 1.500 kendaraan.
Untuk pengaturan variasi merchandise, di dalam prosesnya, pemilihan model atau
pembelian produk yang akan dijual di MDS untuk produk DP ditentukan dan dilakukan
sepenuhnya oleh pihak Merchandiser (MD) dari kantor pusat di Jakarta berdasarkan volume
yang dibagi secara proporsional untuk masing-masing toko MDS. MD tersebut bertanggung
jawab dalam menentukan jenis serta jumlah barang yang akan dijual di setiap toko,
melakukan negosiasi harga pembelian dengan pemasok, serta menentukan harga penjualan
yang tepat agar dapat mencapai marjin laba kotor yang diharapkan dari tingkat penjualan
bulanan dan tahunan yang ditargetkan. Sementara tugas pihak toko MDS Ciputra adalah
menerima produk DP yang dikirim dari Distribution Center (DC) dan tidak berhak untuk
menolak.
Sementara, untuk produk-produk CV yang menentukan model dan pilihan produk
yang dijual adalah dari pihak supplier. MDS tidak bertanggung jawab atas produk-produk
yang cacat atau tidak laku, dan menggunakan sistem margin dalam penjualannya. Sesuai
230
prinsip konsinyasi yang berarti titip jual, maka untuk barang-barang yang cacat atau tidak
laku akan dikembalikan kepada pihak supplier tanpa syarat apapun.
Tingkat loyalitas pengunjung MDS Mal Ciputra dilihat dari data MCC (Matahari Card
Club). Pengkategorian loyalitas untuk program MCC terbagi tiga, yakni : Kategori “A” =
dalam 6 bulan pengamatan, 6 bulan berbelanja (berturut-turut); kategori “B” = dalam 6
bulan pengamatan, 3-5 bulan berbelanja (namun tidak harus berturut-turut); dan kategori
“C” = dalam 6 bulan pengamatan, 1-2 bulan berbelanja (namun tidak harus berturut-turut).
Berdasarkan analisis atas data MCC, ditemukan bahwa mayoritas anggota MCC MDS Mal
Ciputra memiliki tingkat loyalitas yang tidak terlalu tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah anggota
yang meningkat loyalitasnya (total promote) lebih kecil dibandingkan jumlah anggota yang
menurun loyalitasnya (total down grade), yakni 6.265 (total promote) dan 6.329 orang (total
down grade). Adapun jumlah anggota yang tingkat loyalitasnya stabil (tidak meningkat
ataupun menurun) menunjukkan angka terbesar, yakni sejumlah 27.651 orang.
MDS Mal Ciputra memiliki tingkat penjualan rata-rata Rp. 97,279 miliar per tahun
selama periode 2002-2006 (Tabel 4.2). Selama tahun 2002-2004, terlihat adanya penurunan
tingkat penjualan pada MDS Mal Ciputra hingga senilai Rp. 9,519 miliar. Namun kembali
mengalami peningkatan penjualan pada tahun 2005 dan 2006, yang mana MDS Mal Ciputra
memiliki tingkat penjualan di atas Rp. 100 miliar (upgrade to A+). Pembelian oleh anggota
MCC senilai Rp. 61,764 miliar memberikan kontribusi sebesar 53,90% terhadap penjualan
MDS Mal Ciputra pada tahun 2006.
Adapun produk yang memberikan kontribusi terbesar dan memiliki produktivitas per
m2 tertinggi bagi penjualan MDS Mal Ciputra antara lain adalah kategori produk CV
(konsinyasi) dengan rata-rata kontribusi di atas 60% dan rata-rata produktivitas Rp. 3 juta.
Jika dilihat dari kontribusi by world, kategori produk yang memberikan kontribusi di atas 10%
231
di antaranya adalah produk Men’s (18%), Shoes (15%), Youth Boy (12%), dan Youth Girl
(12%).
Hasil pengolahan data kuesioner menunjukkan bahwa hanya suasana toko yang
memiliki pengaruh yang signifikan dan positif (untuk taraf 5%) terhadap loyalitas
toko. Suasana toko dan loyalitas toko juga memiliki hubungan yang paling kuat, yakni
sebesar 0.683. Tidak lupa, melihat hubungan fungsional yang terjadi di antara indikator-
indikator suasana toko dengan variabel laten suasana toko, diketahui bahwa elemen suasana
toko yang paling besar kontribusinya adalah indikator pada dimensi Design Factors, yakni
ST28 : “Style”, yakni sebesar 63%. Maka, elemen ini adalah yang berpengaruh paling besar
pula dalam pembentukan suasana toko yang dapat meningkatkan loyalitas toko pengunjung.
Hal ini diperkuat pula dengan hasil korelasi terkuat di antara indikator-indikator loyalitas toko
dengan variabel latennya, adalah pada indikator LYT34 : “Kepuasan pengunjung terhadap
disain toko secara keseluruhan”, dengan kontribusi 58%.
Kemudian, melihat hubungan antara indikator-indikator suasana toko terhadap
variabel latennya, ditemukan bahwa : ST15 (kebersihan rak) dengan nilai loading
sebesar 0.36, adalah ambient factors yang paling besar hubungannya dengan suasana toko
yang dirasakan oleh pengunjung; style dari suatu toko (ST28) dengan nilai loading
sebesar 0.63, merupakan dimensi design factors yang paling besar hubungannya dengan
suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung; penampilan karyawan dari suatu toko
(ST32) dengan nilai loading sebesar 0.53, merupakan dimensi social factors yang paling
besar hubungannya dengan suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung.
Sementara itu, nilai estimasi variabel lokasi toko memiliki nilai yang negatif dan tidak
signifikan baik pada taraf 20%, 10%, 5%, maupun 1%. Demikian pula halnya dengan nilai
estimasi variabel variasi merchandise. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi toko dan variasi
merchandise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas toko.
232
Walaupun begitu, lokasi toko dan loyalitas toko memiliki hubungan yang juga kuat, tetapi
paling lemah jika dibandingkan dengan hubungan di antara loyalitas toko dengan variabel-
variabel eksogen lainnya (suasana toko dan variasi merchandise), yakni sebesar 0.500 atau
50%. Sedangkan, variasi merchandise dan loyalitas toko memiliki hubungan yang lebih kuat
dibandingkan dengan hubungan antara lokasi toko dengan loyalitas toko, yakni sebesar
0.585 atau 58,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun tidak berpengaruh secara
signifikan, namun perubahan-perubahan di dalam variasi merchandise dan loyalitas toko atau
lokasi toko dan loyalitas toko memiliki hubungan kuat yang positif dan searah. Pengaruh
yang tidak signifikan tersebut dapat disebabkan oleh banyaknya peritel lain yang
menawarkan kelengkapan merchandise dan bahkan memiliki variasi yang berbeda seperti
merek tertentu mungkin hanya ada di toko tertentu. Begitupun halnya dengan lokasi, yang
mana walaupun lokasi yang strategis dan dekat merupakan pilihan yang tepat bagi
pengunjung, tetapi dengan adanya penawaran khusus ataupun ingin merasakan suasana
yang berbeda di tempat lain akan menyebabkan pengunjung berpindah-pindah.
Kemudian, melihat hubungan antara indikator-indikator lokasi toko terhadap variabel
latennya, ditemukan bahwa: lokasi nyaman (LT12) adalah indikator dengan nilai
korelasi tertinggi sebesar 0.36 atau 36%, merupakan indikator dimensi aksesbilitas
yang paling besar hubungannya dengan kondisi lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan
pemilihan tempat belanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung; indikator LT21
(keberadaan toko lain di sekitar MDS yang bersifat komplementer bagi MDS)
dengan nilai loading 0.30, adalah indikator dari dimensi tersebut yang paling besar
hubungannya dengan kondisi lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat
belanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung.
Selanjutnya, melihat hubungan antara indikator-indikator variasi merchandise
terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa: ragam merek yang tersedia (VM11)
233
dengan nilai korelasi tertinggi sebesar 0.57 atau 57% merupakan indikator dimensi
variabilitas yang paling besar hubungannya dengan pandangan pengunjung akan variasi
merchandise dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung
dari pengunjung; ketersediaan produk (VM21) dengan nilai loading 0.73, merupakan
indikator dimensi Availability (VM-2) yang paling besar hubungannya dengan pandangan
pengunjung akan variasi merchandise dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja
dan frekuensi berkunjung dari pengunjung.
Adapun, nilai estimasi variabel loyalitas toko memiliki nilai yang positif dan signifikan
pada taraf 10%, karena nilai t hitung (1.82) lebih besar daripada |1.645| (Tabel 3.9). Output
tersebut memiliki arti bahwa loyalitas toko berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pembelian pengunjung pada taraf 10%. Selain itu, loyalitas toko dan
pembelian pengunjung memiliki hubungan yang cukup kuat, yakni sebesar 0.384 atau
38,4%. Lalu, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa kepuasan pengunjung terhadap
disain toko secara keseluruhan merupakan elemen yang paling penting dalam pembentukan
variabel laten loyalitas toko, maka meningkatkan kepuasan pengunjung terhadap disain toko
secara keseluruhan adalah penting pula untuk meningkatkan pembelian pengunjung dalam
kaitannya dengan pemilihan gerai MDS Mal Ciputra sebagai tempat berbelanja mereka.
Tingkat signifikansi pada tingkat yang lebih rendah tersebut disebabkan loyalitas toko dari
target pengunjung MDS yang merupakan kalangan menengah dan menengah ke atas, tidak
terlalu kuat. Hal ini terkait dengan prilaku kalangan tersebut yang karena dengan
kemampuan finansialnya yang berlebih mereka bisa secara leluasa berpindah belanja,
terutama produk fashion dan aksesoris, ke banyak gerai. Sementara masyarakat konsumen
kelas menengah ke bawah relatif lebih mudah untuk menjadi loyal terhadap suatu toko,
terlebih kalangan kelas bawah. Sebab, mereka hanya butuh lokasi belanja yang dapat
dijangkau tanpa harus mengeluarkan biaya dan lebih murah. Tingkat loyalitas yang tidak
234
terlalu kuat dari pengunjung MDS tersebut juga terlihat dari hasil analisis atas data MCC,
yang menemukan bahwa mayoritas anggota MCC MDS Mal Ciputra memiliki tingkat loyalitas
yang tidak terlalu tinggi.
Kemudian, dengan melihat hubungan antara indikator-indikator loyalitas toko
terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa: indikator LYT12 (komitmen untuk tidak
berpindah) dengan nilai loading 0.25, merupakan indikator dimensi commitment yang
paling besar hubungannya dengan loyalitas toko pengunjung; LYT21 (keinginan
pengunjung untuk akan sangat sering berbelanja) memiliki nilai korelasi sebesar
0.39 atau 39%, yang berarti indikator tersebut merupakan indikator dimensi Intention to
Revisit The Store (LYT-2) yang paling besar hubungannya dengan loyalitas toko pengunjung;
kepuasan pengunjung terhadap disain toko secara keseluruhan (LYT34) dengan
nilai loading sebesar 0.58, merupakan indikator dimensi satisfaction yang paling besar
hubungannya dengan loyalitas toko pengunjung.
Selanjutnya, melihat hubungan antara indikator-indikator pembelian pengunjung
terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa: indikator PP11 (mengunjungi banyak
toko dalam setahun) dengan nilai loading 0.65, merupakan indikator dimensi Average
Numbers of Stores Visited Over a Year yang paling besar hubungannya dengan pembelian
pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja; dan
perilaku pengunjung yang jarang berkunjung atau tidak setiap bulan berkunjung
di MDS (PP22) dengan nilai loading sebesar 0.29, adalah indikator dimensi average
numbers of visits over a year yang paling besar hubungannya dengan pembelian pengunjung
dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja.
Dengan hasil uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, elemen Retailing
Mix yang paling penting dalam meningkatkan potensi MDS Mal Ciputra dalam rangka
meningkatkan loyalitas toko pengunjungnya yang akan berimplikasi kepada pembelian
235
pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai MDS Mal Ciputra sebagai tempat
berbelanja mereka, adalah Suasana Toko (ST). Lalu, walaupun lokasi toko dan variasi
merchandise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas toko, tetapi kedua
variabel tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan yang sangat kuat dengan
loyalitas toko pengunjung. Oleh karena itu, perlu dilakukan perancangan yang lebih baik
dengan melihat indikator-indikator yang berperan paling besar di dalam ketiga variabel
tersebut, yani kebersihan rak, style dari disain sebuah toko, penampilan karyawan,
kenyamanan lokasi, memperhatikan keberadaan toko lain yang bersifat komplementer di
sekitar MDS yang terletak di mal, banyaknya ragam merek yang disediakan, dan memastikan
ketersediaan produk agar tidak pernah kehabisan stok.
Terkait dengan prilaku target konsumen MDS yang merupakan kalangan menengah
dan menengah ke atas, yakni lebih mengutamakan kualitas produk, ekslusivitas, dan
harganya yang bersaing, sementara peritel-peritel lain juga banyak yang memberikan hal-hal
tersebut, maka MDS harus lebih kreatif dan memberikan diferensiasi yang menonjol. Style
dari toko MDS adalah hal utama yang harus dipertimbangkan untuk dirancang ulang secara
drastis agar dapat meningkatkan potensi MDS Mal Ciputra khususnya, dan mungkin juga
untuk MDS lainnya. Penggunaan teknologi canggih dalam melaksanakan hal tersebut juga
perlu dipertimbangkan. Sejalan dengan hal tersebut, Yongky Surya Susilo di dalam sebuah
wawancara di majalah Marketing edisi Agustus 2007 menyatakan bahwa ini sudah zamannya
shopping experience, total emosi, semua panca indra disentuh. Ia memberi contoh bahwa
ada sebuah toko baju yang menggunakan teknologi untuk mengidentifikasi konsumennya
secara pribadi. Toko tersebut telah memiliki data tinggi, berat badan, dan sebagainya. Di
komputer, gambar baju dicocokkan dengan tubuh calon pembeli, sehingga tidak perlu lagi
sibuk mencoba di kamar ganti. Cukup melihat di komputer. Teknologi seperti itu patut dicoba
di MDS, sebab tidak hanya masyarakat Indonesia yang menyukai sesuatu yang customized
236
dan distinctive, tetapi masyarakat internasional juga demikian. Kemudian, berdasarkan studi-
studi yang pernah dilakukan oleh AC Nielsen, salah satu kebutuhan emosional dari
konsumen-konsumen yang berbelanja di outlet modern, adalah “make kids happy”. Anak-
anak butuh ruang sendiri dalam hiburan. Sehingga cukup menarik untuk mengadaptasi hal
ini di dalam sebuah department store, misalnya menyediakan area produk anak-anak yang
dirancang khusus sehingga menciptakan experience khusus dan mendorong anak-anak untuk
ingin membeli produk-produk di MDS. Lagipula, anak-anak sangat berperan dalam membujuk
orang tuanya untuk membeli suatu produk. Untuk melakukan hal ini, Matahari dapat
melakukan outsourcing dengan peritel tempat penitipan, bermain, dan edukasi anak-anak
seperti Gymboree. Akan lebih baik pula jika dapat merancang suasana atau khususnya style
yang berbeda-beda untuk setiap World. Selama ini di MDS hanya terlihat perbedaan yang
mencolok pada bagian sepatu, home, dan kosmetik. Dari hasil penjualan MDS Mal Ciputra
juga terlihat adanya penjualan yang mencolok hanya pada bagian Men’s. Kondisi tersebut
dapat dijelaskan oleh sifat lelaki yang cenderung praktis dan tidak terlalu memperhatikan
segi emosional sebuah toko, sehingga dengan adanya produk yang bagus dan harga yang
terjangkau, mereka akan berbelanja di situ. Sementara anak-anak dan wanita lebih mudah
terdorong oleh sesuatu yang sifatnya emosional. Jika dipicu oleh suasana yang menarik
dengan dukungan style dan tampilan produk yang unik, mereka adalah konsumen yang
sangat potensial untuk ditingkatkan porsi belanjanya oleh MDS. Inovasi-inovasi lebih lanjut
dari hal-hal seperti itu akan membawa Matahari kepada pencapaian visi dan misinya.
Selain itu, terdapat beberapa kondisi spesial yang layak diperhatikan, khususnya di
kota-kota besar. Misalnya, Jakarta dengan persoalan kemacetannya. Menurut Sugiyanto
Wibawa dari tim teknis Aprindo, kemacetan tersebut akan mempengaruhi pola belanja.
Konsumen cenderung mengambil pola shopping jarak dekat. Selain itu, pusat perbelanjaan
malam juga tetap menjadi incaran. Pasalnya, konsumen kota pada pagi hari sibuk bekerja.
237
Karena itu, faktor kenyamanan dan entertainment harus lebih dikedepankan para peritel
dalam melayani pelanggan.
Lebih lanjut, di kota-kota besar, mal-mal dan ritel-ritel menjamur bak cendawan di
musim hujan. Banyak sentra perbelanjaan mengepung konsumen dari berbagai sudut,
sehingga kemungkinan terjadi over supply di kota-kota tersebut. Walaupun begitu, tentunya
akan terjadi seleksi alam, karena konsumen pada akhirnya yang memiliki kekuatan untuk
menentukan hidup mati para peritel. Mengenai lokasi toko MDS Mal Ciputra, selain
kemacetannya yang sudah terkenal, letaknya di wilayah Jakarta Barat tersebut juga
dikhawatirkan akan mengalami kelebihan supply pusat perbelanjaan. Khususnya karena
kawasan tersebut dinilai memiliki prospek yang baik sebab di kawasan tersebut banyak
dibangun perumahan-perumahan baru dengan mayoritas target market golongan menengah
ke atas (Visidata Riset Indonesia, 2003). Maka, satu alasan kuat lagi bagi Matahari untuk
lebih menonjolkan diferensiasinya dibandingkan dengan peritel lain selain harga bersaing,
pelayanan, dan produk yang berkualitas. Jangan melakukan hal-hal yang generik, tetapi
sekarang ini harus lebih mengutamakan kreativitas. Hermawan Kertajaya juga menyatakan
bahwa tidak ada gunanya melakukan price war terus menerus, strategi “me too” tersebutlah
yang menyebabkan terjadinya over supply di Indonesia. Menurutnya, kreativitas adalah
added value yang sangat berharga dan akan membuat mereka yang memilikinya menjadi
unggul di atas yang lainnya. Oleh karena itu, menghadapi kemungkinan kenaikan harga
minyak di tahun 2008, Matahari sebaiknya mengkaji ulang strategi ekspansinya. Sugiyanto
juga menyatakan perlunya memperhatikan masalah listrik akibat krisis energi dan kenaikan
harga minyak tersebut, termasuk harga sewa properti yang semakin melambung (Marketing,
Desember 2007). Terlebih lagi dengan adanya rencana peraturan pemerintah di tahun 2008
mengenai mewajibkan masyarakat Indonesia untuk hanya menggunakan Pertamax sebagai
bahan bakar mobil pribadi dan tidak diperbolehkan memperpanjang STNK bagi pemilik
238
kendaraan yang diproduksi sebelum tahun 2000. Tentunya lokasi yang memiliki akses mudah
dengan menggunakan kendaraan umum akan sangat berharga. Dengan demikian, sangat
dianjurkan agar Matahari lebih fokus kepada inovasi-inovasi dan kreativitas dalam membuat
keunikan-keunikan nyata yang akan membuatnya unggul dan mampu melawan persaingan
yang semakin ketat, khususnya terhadap para pesaing asing yang akan semakin banyak
berdatangan oleh karena telah dibukanya kesempatan lebar bagi mereka untuk membuka
department store berukuran besar (di atas 2000 m2) di Indonesia, dari pemerintah.
Terkait dengan merchandise, program promosi dari setiap pengelola jaringan usaha
ritel yang tujuannya untuk membangun loyalitas konsumen ternyata justru berdampak pada
semacam program training untuk membangun kecenderungan konsumen menjadi tidak loyal.
Sebab, dengan banyaknya informasi mengenai produk murah tersebut bisa jadi konsumen
hanya akan berbelanja ke gerai yang sedang menggelar kegiatan promosi. Kecenderungan
yang demikian terlihat jelas. Konsumen rata-rata pergi berbelanja di tiga perusahaan ritel
yang berbeda (harian-global.com, Oktober 2007). Sementara dari hasil screening data pada
hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa rata-rata pengunjung menyatakan kalau mereka
mengunjungi banyak toko yang berbeda dalam setahunnya. Mengoptimalkan ragam merek
yang dimiliki serta selalu memastikan ketersediaan produk untuk tidak pernah mengalami
kehabisan stok adalah hal penting terkait dengan merchandise assortments atau variasi
merchandise dalam membentuk loyalitas toko yang ditemukan dalam penelitian ini. Khusus
dalam perancangan ragam merek yang akan dijual, perlu memperhatikan prilaku orang
Indonesia yang masih “brand minded”. Mereka lebih mempercayai merek yang telah mereka
kenal. Sementara private label hanya akan dipilih saat ekonomi sedang tidak bagus, sebab
lebih murah dan hemat. Tetapi, seperti yang diutarakan oleh Yongky Surya Susilo, begitu
ekonomi membaik, orang Indonesia akan kembali lagi ke merek. Kondisi tersebut juga dapat
terlihat dari laporan keuangan MDS Mal Ciputra yang menunjukkan kontribusi penjualan
239
produk konsinyasi rata-rata lebih besar dua kali lipat daripada kontribusi penjualan produk
direct purchase yang di dalamnya termasuk private labels. Yongky juga menyatakan bahwa
produk branded masih akan masuk ke Indonesia yang ditujukan untuk menjaring orang
Indonesia yang gemar belanja ke luar negeri.
Sebagai tambahan, Hermawan Kertajaya dalam acara khususnya di Metro TV baru-
baru ini memberikan delapan prediksi kecenderungan di tahun 2008 yang perlu diketahui
oleh para pengusaha. Di antaranya adalah internet booming, pro-competition policy,
desentralisasi otonomi daerah semakin banyak yang akan membuat setiap daerah saling
berlomba untuk menjadi yang terbaik, pemerintah yang akan berlaku sangat mendukung
terhadap kinerja perekonomian khususnya untuk berusaha meninggalkan “nilai rapor” yang
baik di akhir masa pemerintahannya dan untuk berusaha memenangkan pemilu selanjutnya,
adanya kebangkitan dari “I-express community” (individu-individu yang ingin menunjukkan
otoritas dirinya, umumnya sebagai ahli dari suatu hal tertentu), masyarakat lebih menyukai
gosip (rumours) atau lebih mempercayai pendapat orang terpercayanya (word of mouth),
ekspansi akan lebih mengarah ke luar Jawa, kemudian yang terakhir dan yang paling
menarik adalah proliferation of mass market atau mengecilnya segmen pasar kalangan
menengah sementara kalangan atas masih sangat baik dan kalangan bawah semakin
membesar. Khusus terkait dengan prediksi kecenderungan terakhir, Matahari harus
mempertimbangkan apakah selanjutnya MDS masih akan tetap bertahan pada target
pasarnya yakni di kalangan menengah dan menengah ke atas atau ingin berfokus pada
kalangan atas saja. Perlu diperhatikan bahwa sekarang ini, jika melihat data demografis MDS
Mal Ciputra, prosentase masyarakat kalangan menengah dengan pengeluaran per bulan Rp.
1.000.001 hingga Rp. 1.8000.000 yang berkunjung, hanya 23%. Jika benar terjadi, maka
prosentase tersebut akan jauh lebih mengecil. Sehingga disarankan untuk
240
mempertimbangkan merancang suasana toko yang lebih menampilkan gaya premium dan
menyajikan experience yang kental dan unik untuk meraih lebih banyak pasar kalangan atas.
Akhir kata, penelitian ini memiliki beberapa batasan, yakni terdapatnya
ketidaknormalan data. Selain itu, sampel pengunjung di MDS Mal Ciputra masih belum dapat
mewakili seluruh pengunjung MDS di lokasi lain terkait dengan perbedaan sosial ekonomi
dari masing-masing lokasi. Oleh karenanya, hasil penelitian ini tidak sepenuhnya dapat
diandalkan untuk diaplikasikan di MDS lain selain MDS Mal Ciputra. Maka, dianjurkan untuk
melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih dapat mewakili
seluruh MDS. Selain itu, metode penelitian SEM dan saran-saran dari temuan-temuan yang
ada dari penelitian ini dapat diperluas ke dalam cross-cultural settings untuk menemukan
variabel-variabel atau elemen-elemen Retailing Mix mana yang lebih penting di daerah atau
bahkan di negara yang berbeda-beda.