Upload
lekhanh
View
226
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
21
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Rumah Susun.
Istilah Rumah susun berasal dari terjemahan kata flat dalam bahasa Inggris
yang berarti rumah tinggal yang bertingkat dan beratap datar atau loteng sebagai tempat
tinggal atau kediaman tersendiri (Andasmita, 1986 : 7 dalam Arifin 2004). Berdasarkan
UU No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, definisi rumah susun adalah bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-
bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama. Pengertian rumah susun secara teoritis dapat disamakan
dengan condominium yaitu suatu pemilikan bersama atas gedung-gedung yang bersifat
“multiple-occupant” yang masing-masing penghuninya memiliki titel yang
menimbulkan pengakuan akan hak yang terpisah dari para penghuni lainnya. Dengan
demikian masing-masing penghuni diakui mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri
atas ruang yang ditempatinya, yang harus dihormati oleh orang-orang dan pihak-pihak
lain. Akan tetapi apabila dikaji lebih jauh, istilah rumah susun selalu digambarkan
sebagai rumah bagi masyarakat menengah ke bawah atau berpenghasilan rendah
sedangkan istilah condominium ditujukan bagi rumah susun bagi masyarakat kelas
menengah ke atas (Rahardjo, 1998). Luas unit condominium umumnya beragam, tidak
seperti rumah susun yang seragam, guna memberikan pilihan bagi pembeli. Di
condominium orang bisa membeli unit yang memiliki dua kamar, tiga kamar atau lebih.
Di samping rumah susun dan condominium, jenis perumahan bertingkat lainnya
adalah apartemen yang dirumuskan sebagai satu bagian dari gedung meliputi wewenang
untuk mempergunakan sendiri bagian-bagian tertentu gedung tersebut dan menurut
susunannya disediakan untuk dipakai sebagai keseluruhan yang tersendiri (Rahardjo,
1998). Suatu apartemen tercipta oleh karena adanya pemisahan yang dilakukan oleh
pemilik dengan akte notaris dan pendaftaran dalam daftar hipotik setelah itu tiap
apartemen dianggap sebagai barang tidak bergerak yang tersendiri. Pemisahan dalam
apartemen dapat dibatalkan dengan cara yang sama sesudah itu dapat diminta
pemisahan dan pembagian dari persekutuan harta benda itu. Condominium sebagaimana
22
pada rumah susun dimiliki oleh banyak orang yang membeli per unit, sedangkan
apartemen dimiliki oleh orang atau lembaga yang kemudian menyewakannya.
Dalam UU No. 16 Tahun 1985 pasal 3 ayat 1 dijelaskan bahwa tujuan pembangunan
rumah susun adalah antara lain adalah:
a) Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama bagi golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam
pemanfaatannya.
b) Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah didaerah perkotaan dengan
memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan
permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.
Secara lebih rinci dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan
permukiman No.10/KPTS/M/1999 Tentang Kebijakan dan Strategi Pembangunan
Rumah Susun Sederhana tujuan pembangunan rumah susun dapat ditinjau secara umum
maupun khusus sebagai berikut:
a) tujuan secara umum antara lain meliputi:
1) Memenuhi kebutuhan penduduk akan tempat tinggal,
2) Mewujudkan rumah yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat,
3) Memperkenalkan masyarakat akan kebiasaan hidup di rumah susun,
4) Mengurangi dampak lingkungan akibat pembangunan permukiman kota yang
ekspansif.
b) tujuan secara khusus antara lain meliputi:
1) Menyediakan tempat tinggal dalam bentuk rumah susun dan dekat dengan
lingkungan tempat kerja, terutama di kota metropolitan dan kota besar, bagi
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah
2) Melaksanakan pembangunan permukiman yang berkelanjutan dan efisiensi
lahan,
3) Terciptanya lingkungan permukiman yang dapat menopang tumbuh dan
berkembangnya kehidupan ekososbud keluarga,
4) Mendorong Pemerintah daerah untuk mulai menyelenggarakan pembangunan
permukiman secara vertikal melalui pembangunan rumah susun sederhana dan
rumah susun sewa sederhana,
23
5) Mendorong partisipasi masyarakat dan pihak swasta dalam penyediaan rumah
susun sederhana dan rumah susun sewa sederhana.
Adapun sasaran calon penghuni rumah susun menurut Pola Induk Pembangunan Rumah
Susun di DKI Jakarta adalah kelompok masyarakat dengan kriteria sebagai berikut:
1) Masyarakat yang terkena langsung proyek peremajaan dan pembangunan
2) Masyarakat sekitar yang berada dalam lingkup kumuh yang segera akan
dibebaskan
3) Masyarakat umum yang belum mempunyai rumah sendiri.
Berdasarkan kelompok sasarannya pembangunan rumah susun sederhana
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu: rumah susun sederhana untuk dimiliki (rusunami)
dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Selanjutnya rumah susun sederhana sewa
juga dibagi dalam dua kategori yaitu rusunawa tanpa subsidi dan rusunawa dengan
subsidi. Dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman
No.10/KPTS/M/1999 disebutkan bahwa sasaran prioritas bagi masing-masing kategori
rumah susun tersebut berbeda satu sama lain dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Rumah susun sederhana milik
Rumah susun sederhana ini diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang
secara ekonomi mampu untuk membeli (tunai atau dengan KPR) unit rumah
susun. Intervensi Pemerintah dalam batas memberi insentif kemudahan
perijinan dan petunjuk teknis, karena pembangunannya menunjang kebijakan
Pemerintah.
2) Rumah susun sederhana sewa tanpa subsidi
Rumah susun sederhana ini diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang
secara ekonomi mampu, tetapi memilih untuk tinggal di rumah sewa (karena
tinggal sementara atau alasan lain). Intervensi Pemerintah dalam batas
memberi insentif kemudahan perijinan dan petunjuk teknis, karena
pembangunannya menunjang kebijakan Pemerintah.
3) Rumah susun sewa bersubsidi ini secara umum dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Subsidi terbatas: diprioritaskan bagi kelompok masyarakat dengan
kemampuan ekonomi menengah ke bawah yang mampu membayar
meskipun terbatas. Intervensi Pemerintah dapat dilakukan dalam
penyediaan tanah, pembiayaan, pembangunan, maupun pengelolaannya,
24
namun tetap diperhitungkan pengembalian dananya, agar dapat bergulir
untuk proyek selanjutnya.
b) Subsidi penuh: diprioritaskan bagi kelompok yang kemampuan
ekonominya sangat terbatas, hanya mampu membayar sewa untuk
menutup ongkos operasi dan pemeliharaan rutin saja. Intervensi
Pemerintah dilakukan dengan memberi subsidi pembangunan (tanah,
bangunan, prasarana dan sarana dasar lingkungan) sepenuhnya (social
housing).
Gambar 2.1
Kategori Rumah Susun Sederhana Berdasarkan Kelompok Sasaran Calon Penghuni
Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman No.10/KPTS/M/1999
Rumah Susun
Sederhana (Rusuna)
Rumah Susun Sederhana
Milik (Rusunami)
Rumah Susun Sederhana sewa
(Rusunawa) Rumah Susun
Sederhana sewa subsidi
Rumah Susun Sederhana sewa
tanpa subsidi
Rumah Susun Sederhana
sewa subsidi penuh
Rumah Susun Sederhana
sewa subsidi tidak penuh
25
2.2. Komponen Biaya Pembangunan Perumahan Susun Sederhana dalam
Menentukan Harga Sewa/Beli
Dalam subbab ini dijelaskan mengenai beberapa komponen biaya pelaksanaan
pembangunan dan pengelolaan rumah susun secara lebih rinci sebagai input pendekatan
perhitungan harga sewa rumah susun sederhana.
2.2.1. Komponen Biaya Produksi
Dalam membangun segala jenis bangunan rumah susun yang akan
dikembangkan total biaya produksi yang harus dikeluarkan akan terdiri dari beberapa
input biaya yang terbagi dalam dua tahapan yaitu tahapan perencanaan dan
pembangunan dengan rincian biaya sebagai berikut:
2.2.1.1. Biaya Tahap Perencanaan
Biaya pada tahap perencanaan merupakan segala jenis biaya yang berhubungan dengan
lahan mulai dari perijinan, pengadaan hingga jasa pembuatan siteplan (perencanaan
tapak). Secara lebih rinci biaya-biaya dalam tahapan perencanaan rumah susun ini
adalah sebagai berikut:
1) Biaya Lahan (Land Cost)
Biaya pengadaan lahan merupakan biaya yang diperlukan dalam memperoleh
lahan sebagai tempat dibangunnya rumah susun sederhana nantinya. Proses
perolehan lahan tersebut dapat dilakukan dengan pembebasan melalui
mekanisme beli, sewa, ganti rugi, dan dapat juga dengan konsolidasi lahan
(Arifin, 2004). Biaya atas pengadaan lahan biasa dihitung per m2
2) Biaya Pengukuran Lahan
sehingga
ukuran luas dari lahan rumah susun sederhana sangatlah penting dperhatikan
melalui proses pengukuran yang detail. Biaya lahan yang diperoleh pengembang
dari penjual tanah dapat mencapai 6-8% dari harga jual suatu rumah (Hummel,
2001).
Proses pengukuran lahan dilakukan setelah proses pengadaan lahan telah
dilaksanakan. Pengukuran lahan diperlukan dalam memperoleh informasi secara
detail luas dan batas kavling rumah susun sederhana yang akan dibangun
nantinya. Informasi tersebut diperlukan dalam proses perijinan pembangunan
rumah susun.
26
3) Biaya Investigasi Tanah
Proses investigasi tanah diperlukan dalam melihat kelayakan tanah yang akan
digunakan dalam pembangunan rumah susun sederhana. Proses ini dilakukan
dalam analisis tapak sebelum proses pembuatan site planning dilakukan. Biaya
dalam investigasi tanah pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh
surveyor pada dasarnya merupakan biaya tidak langsung (indirect cost).
4) Biaya Pembuatan Site Planning
Pembuatan siteplanning (perencanaan tapak) merupakan proses pengaturan
/penyesuaian antara kondisi fisik ruang dari tapak dengan program-program
yang telah direncanakan sebelumnya pada tapak dengan memperhatikan kaidah
seni yang terkait dengan prinsip-prinsip dalam bidang arsitektur, sipil, Arsitektur
Lansekap, dan perencanaan kota (Lynch, 1983:1). Biaya dalam pembuatan site
planning ini juga merupakan biaya tidak langsung yang pengerjaannyadilakukan
melalui jasa konsultan. Menurut Hummel (2002) biaya yang dikeluarkan dalam
pembuatan jasa siteplanning merupakan bagian dari biaya professional
(professional fees). Biaya professional ini dapat terbagi menjadi dua kategori.
Kategori pertama adalah the planning and engineering cost of development of
the plans and specifications yang salah satunya adalah biaya pembuatan
siteplanning. Kategori kedua adalah the cost of engineering, surveying, and
construction management during construction yang merupakan salah satunya
adalah jasa pembuatan desain dan konstruksi bangunan (lebih lanjut dibahas
pada subbab 2.2.1.2.). Besar biaya yang dikeluarkan untuk biaya professional
ini berkisar antara 7 dan 15% dari total biaya proyek keseluruhan (Hummel,
2001).
5) Biaya Pematangan lahan
Pematangan lahan diperlukan untuk menyesuaikan kondisi fisik topografi tanah
dengan proses pembangunan rumah susun sederhana. Proses pematangan lahan
dapat dilakukan dengan jalan memotong bagian lahan yang terjal (cut) dan
menutup bagian yang landai (fill) agar lahan yang akan digunakan siap untuk
digunakan untuk proses pembangunan rumah susun sederhana. Biaya atas
pematangan lahan
27
6) Biaya Administrasi Lahan
Proses administrasi lahan merupakan bagian dari proses legalisasi segala sesuatu
yang berhubungan dengan proses pembangunan rumah susun sederhana. Dalam
beberapa proyek, ijin dari pemerintah daerah/pusat harus diperoleh sebelum
proses konstruksi dilaksanakan dan biaya yang dikeluarkan dalam proses ini
berkisar antara 20-25% dari biaya fisik proyek pembangunan rumah (Hummel,
2001). Administrasi lahan dalam proses pembangunan rumah susun terdiri dari
proses perijinan, pengurusan Hak Guna Bangunan, pengalihan hak milik atas
lahan. Biaya-biaya perijinan yang harus ditempuh dalam pembangunan rumah
susun antara lain:
• Ijin Prinsip
• Ijin Lokasi
• Ijin Perencanaan Tapak (Site Plan)
• Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
2.2.1.2. Biaya Tahap Pembangunan
Biaya tahap pembangunan akan terdiri dari biaya tahap pembangunan bangunan rumah
susun sederhana dan pembangunan sistem Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU).
Subkomponen biaya secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Biaya Bangunan Rumah Susun
Menurut Poerbo (1993) biaya dalam tahapan pembangunan dapat dikelompokkan
ke dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung.
a) Biaya Langsung
Biaya langsung yang dimaksud disini adalah segala jenis biaya yang terkait
dengan konstruksi bangunan yang melibatkan faktor-faktor produksi seperti
tenaga kerja, bahan bangunan (material), teknologi konstruksi bangunan
bertingkat dan biaya lain yang berhubungan langsung dengan pembuatan
bangunan rusuna. Biaya ini pada dasarnya mengikuti standar yang telah
dikeluarkan oleh pemerintah.
b) Biaya Tidak Langsung
Biaya langsung yang dimaksud disini adalah segala jenis biaya yang terkait
dengan jasa pembuatan desain konstruksi bangunan yang melibatkan pihak
28
konsultan arsitek dengan memperhatikan aturan-aturan teknis sesuai dengan
pedoman yang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan terkait rumah
susun sederhana. Biaya jasa konsultan ini pada dasarnya tidak hanya pada
pembuatan bangunan saja namun juga pada pembuatan jasa perencanaan
tapak sebelumnya dan sistem jaringan PSU yang akan dikembangkan
berdasarkan standar jumlah penduduk yang akan menghuni rumah susun
sederhana.
2) Biaya Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) Dasar
Prasarana, sarana dan utilitas dasar merupakan komponen penting dalam
menunjang pembangunan rumah susun sederhana. Pembangunan PSU dilakukan
dengan pertimbangan akan standar jumlah penduduk yang akan menjadi calon
penghuni rumah susun nantinya.
2.2.2. Komponen Biaya Investasi
Gerald (1978) dalam Iskandar (2003) menyatakan bahwa investasi adalah
aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (inputs), misalnya
uang dan tenaga kerja untuk dipakai pengadaan barang modal pada saat sekarang yang
akan menghasilkan aliran produk dimasa yang akan datang. Ferry, Brandon dan Ferry
(1999) mengemukakan bahwa dalam mengembangkan suatu proyek pembangunan
pengembang, ataupun institusi kelembagaan publik akan mempertimbangkan cost target
yang secara umum terbagi ke dalam beberapa bagian yaitu:
Cost Target untuk Profit Development
Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini di dasarkan kepada
keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya arus penerimaan yang jauh lebih
besar dari total biaya pengeluaran yang dilakukan selama pembangunan.
Pendanaan pembangunan jenis ini diperoleh sebagian diperoleh dari modal-modal
individu dan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam
melakukan pinjaman modal hal terpenting yang harus dipertimbangkan adalah
besarnya bunga pinjaman modal yang diperhitungkan dalam anggaran biaya.
Cost Target untuk Social Development
29
Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini biasanya dilakukan oleh
sektor publik melalui anggaran pendanaan (budget) yang telah direncanakan.
Dalam pembangunan jenis ini biaya biasanya didasarkan kepada standar biaya
buatan yang telah ditentukan.
Cost Target untuk Mixed Development
Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini pada dasarnya mengandung
campuran antara kedua jenis pembangunan diatas sebelumnya sehingga dengan
kondisi ini sangat penting untuk mengkaji apa prioritas biaya dalam pembangunan
yang akan direncanakan untuk dapat mendefinisikannya secara tepat.
Iskandar (2003) juga menambahkan bahwa jenis investasi dapat digolongkan
berdasarkan sifatnya sebagai berikut:
Autonomous Invesment, Jenis investasi ini merupakan jenis investasi yang
dbiasanya dilakukan pemerintah sebagai stimulan dalam meningkatkan laju
perekonomian seperti pembuatan PSU di perkotaan.
Induce Invesment, yaitu jenis investasi yang sangat dipengaruhi oleh harga pasar
karena adanya perubahan permintaan atau penawaran. Jenis investasi ini sangat
terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat.
Investasi pada suatu badan usaha atau perusahaan dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan dari tingkat bunga uang dari modal yang
diinvestasikan. Investasi ini dilakukan jika tingkat bunga yang berlaku saat itu
lebih rendah jika dibandingkan dengan keuntungan investasi.
Bentuk investasi jenis kedua dan ketiga bersifat komersial sehingga banyak
sektor swasta memakai kedua jenis ini, namun ada kalanya sektor Pemerintah juga
memakai jenis investasi kedua dan ketiga ini sebagai dana untuk membangun investasi
proyek sosial lainnya. Pola investasi dalam kasus pembangunan rumah susun sederhana
berdasarkan Rancangan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah
tentang Pedoman Umum Investasi dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa
dibagi kedalam tiga jenis yaitu pola investasi UPT (Unit Pelaksana Teknis), Pola
investasi PMN (Penyertaan Modal Negara) dan Pola investasi kemitraan. Secara rinci
ketiga jenis pola investasi ini akan dijelaskan sebagai berikut:
30
1) Pola Investasi UPT
Pola Investasi UPT adalah pola investasi pembangunan rumah susun yang
dilakukan oleh pemerintah melalui sumber dana APBN/APBD dengan lebih
bersifat sosial sehingga tidak mengharapkan adanya pengembalian investasi dan
profit dari pembangunan yang dilakukan. Pola investasi UPT dilakukan
pemerintah dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang merupakan aset
negara.
2) Pola Investasi PMN
Pola investasi yang dilakukan pemerintah dengan sumber dana pembangunan
dari penyertaan modal negara dan mengharapkan adanya pengembalian biaya
investasi namun tidak memperhitungkan tingkat/target profit (keuntungan)
tertentu. Pengembalian biaya investasi digunakan sebagai sumber dana
pembangunan rumah susun sederhana di tempat lain (dana bergulir).
3) Pola Investasi Kemitraan
Pola investasi ini dilakukan oleh organisasi berbadan hukum seperti
koperasi,yayasan, kelompok profesi atau perusahaan dengan para investor yang
difasilitasi pemerintah. Pola investasi jenis ini mengharapkan pengembalian
biaya investasi dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari biaya investasi
yang ditanamkan.
Komponen biaya investasi sangat terkait dengan beberapa 2 sub komponen biaya
sebagai berikut:
1) Biaya Modal : terkait dengan seberapa besar modal yang dibutuhkan
untuk melakukan proses produksi rumah susun
sederhana baik yang berasal dari modal sendiri maupun
modal pinjaman.
2) Biaya bunga pinjaman: terkait dengan seberapa besar bunga atas pinjaman
modal yang harus dibayar setiap periodenya kepada
pemberi pinjaman.
Dalam analisis keuangan atau finansial terhadap penggunaan modal investasi
bagi suatu proyek terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan sebagai
pertimbangan kelayakan berlangsungnya proyek tersebut. Menurut Rangkuti (2005),
metode tersebut antara lain sebagai berikut:
31
a) Metode non discounted criterion cashflow
Metode ini pada dasarnya tidak mempertimbangkan nilai dari uang yang
diinvestasikan di masa depan. Pada proyek-proyek dengan umur ekonomis yang
panjang, penggunaan metode ini terlalu besar resikonya (Iskandar, 2003). Pengujian
dengan metode ini terdiri dari beberapa kriteria seperti Marginal Efficiency of
Capital (MEC), Accounting Rate of Return (ARR), dan Payback Period, dan
Rangking by Inspection. Dalam bab 5 yang akan dibahas selanjutnya metode ini
tidak digunakan. Pengujian mengenai kelayakan proyek digunakan dengan metode
discounted criterion cashflow.
b) Metode discounted criterion cashflow
Metode ini pada dasarnya mempertimbangkan nilai dari uang yang diinvestasikan di
masa sekarang (present value) dengan hasil yang akan didapatkan di masa depan
(future value). Besarnya present value diperoleh dengan cara mengkalikan nilai
uang yang akan didapatkan pada masa yang akan datang (future value) dengan
Discount Factor (DF) (1
Keterangan:
PV = Present Value
FV = Future Value
i = tingkat discount rate
n = jangka waktu
Pengujian dengan metode discounted criterion cashflow ini terdiri dari beberapa
kriteria antara lain:
). Present Value didapatkan dengan menggunakan
perhitungan sebagai berikut
1) PI (Profitability Index)
Profitability Index merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur rencana
investasi yang diperoleh dengan membandingkan besarnya nilai present value
dari pendapatan (cash inflow) dengan biaya investasi proyek (initial cash outlay)
(Rangkuti, 2005). Perhitungan yang digunakan dalam PI adalah sebagai berikut:
1 ) Discount Factor merupakan bilangan yang dapat dipakai untuk mengkalikan suatu jumlah di waktu
yang akan datang (F) supaya menjadi nilai sekarang (P) (Kadariah, 1988 p.19).
)i)(1
1( n+×= FVPV
32
Parameter kelayakan yang digunakan dalam kriteria PI adalah sebagai berikut:
• Apabila nilai PI > 1 maka proyek layak dilakukan
• Apabila nilai PI < 1 maka proyek tidak layak dilakukan
2) NPV (Net Present Value)
Net present value adalah selisih perhitungan antara jumlah penerimaan (income)
dengan jumlah pengeluaran (cost) yang dinilai pada masa saat ini (present value)
(Kadariah, 1988). Perhitungan yang digunakan dalam NPV adalah sebagai
berikut:
NPV = ntn n
nn KiCB
−
∑
+−
=1 )1(
Keterangan:
Bn = Merupakan penerimaan ( Benefit ) pada tahun n
Cn = Merupakan pengeluaran ( Cost ) pada tahun n
Kn = Merupakan Capital yang dipergunakan selama periode investasi (n tahun)
(1+ i )n
• Bila NPV > 0, investasi dikatakan layak untuk dilaksanakan.
= Discount Factor Penentuan kelayakan investasi berdasarkan kriteria Net Present Value ini adalah
antara lain:
• Bila NPV < 0, investasi dikatakan tidak layak untuk dilaksanakan.
• Bila NPV = 0, investasi dikatakan mencapai break even point pada kondisi ini, keputusan sangat
tergantung pada investor/developer.
3) IRR (Internal Rate of Return)
Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan bahwa
jumlah nilai sekarang (netto) sama dengan jumlah seluruh biaya (cost) investasi
proyek (Soetrisno, 1981 p.52). Besarnya IRR dapat membuat besarnya NPV proyek
sama dengan nol dan membuat PI sama dengan 1. Besarnya IRR tidak dapat
ditemukan secara langsung melainkan dicari dengan coba-coba lalu dilakukan
interpolasi antara Discount Rate tertinggi (i’) yang menghasilkan NPV positif
(NPV’) dan Discount Rate terendah (i”) yang menghasilkan NPV negatif (NPV”)
OutlayCash Initial PVInflowCash PV
=PI
33
(Kadariah, 1988 p.44). Perhitungan yang digunakan dalam IRR adalah sebagai
berikut:
IRR =
−
−+ )'"(
"'
'
iiNPVNPV
NPVi
Keterangan:
i = discount rate mula-mula yang diperkirakan mendekati social discount rate
NPV’ = Present value positif
NPV” = Present value negatif
i’ = discount rate yang menghasilkan Present value positif
i”
2.2.3. Komponen Biaya Pengelolaan
= discount rate yang menghasilkan Present value negatif
Biaya pengelolaan merupakan segala jenis biaya yang harus dikeluarkan ketika proses
produksi rumah susun sederhana telah dilakukan. Komponen biaya ini terdiri dari
beberapa sub komponen seperti:
1) Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan segala jenis biaya yang dibutuhkan dalam
menjalankan fungsi pengelolaan rumah susun sederhana yang umumnya akan
terdiri dari biaya-biaya seperti biaya administrasi termasuk biaya upah personil,
biaya iuran atas pemakaian listrik, air, telepon dari pengelola dan kebersihan
sampah, biaya pajak baik terdiri atas PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), Pajak
perseroan dan PPn (Pajak Pertambahan Nilai). Beban biaya pajak PPn akan lebih
lanjut dijelaskan dalam tinjauan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan RI
No.36/PMK 03/2007 tentang batasan rusuna yang dibebaskan atas PPn.
2) Biaya Pemeliharaan
Biaya pemeliharaan merupakan jenis biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
perawatan atas bangunan gedung rumah susun sederhana dan prasarana, sarana
dan utilitas (PSU) yang digunakan. Besarnya biaya pemeliharaan ini dikeluarkan
secara periodik bulanan, tahunan maupun sewaktu-waktu (Arifin, 2004). Total
biaya operasional dan pemeliharaan besarnya sekitar 5% dari harga sewa rumah
susun (Poerbo, 1993).
34
3) Depresiasi atau Biaya Penyusutan Bangunan
Biaya penyusutan merupakan nilai ganti per tahun yang dikeluarkan atas beban
pendapatan sebelum pajak dengan besaran yang tergantung kepada umur
ekonomis suatu jenis gedung/bangunan (Poerbo,1993). Besar persentase
depresiasi dan masa kegunaan ekonomisnya bermacam-macam. Di Amerika
Serikat untuk jenis bangunan flat/apartemen umur ekonomisnya adalah 40 tahun
dan nilai depresiasinya adalah 2,5% per tahun (Poerbo, 1993).
4) Pajak
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jenis pajak yang dibebankan
kedalam proses pengelolaan rumah susun sederhana antara lain Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Perseroan.
6) Asuransi
Asuransi digunakan dalam proses pengelolaan rumah susun dimaksudkan
sebagai jaminan dalam resiko keselamatan penghuni yang dapat disebabkan oleh
adanya kebakaran ataupun gempa pada bangunan rumah susun. Pembayaran
polis pada rumah susun yang dikelola pemerintah tidak dibebankan kepada
penghuni namun untuk rumah susun yang dikelola oleh swasta dibebankan
kepada pemerintah.
2.3. Pendekatan Perhitungan Harga Sewa dan Harga Sewa-Beli
Dalam subbab ini akan dijelaskan mengenai dasar perhitungan penentuan harga
sewa-beli (jual) dan sewa dengan mengadaptasi pendekatan studi yang dilakukan oleh
Poerbo (1993) tentang harga sewa minimum dan disesuaikan dengan perhitungan yang
dilakukan oleh pengembang pada umumnya berdasarkan biaya produksi dan
pengelolaannya.
2.3.1. Pendekatan Perhitungan Harga Sewa-Beli (Harga Jual)
Perhitungan harga Sewa-Beli (Harga Jual) yang digunakan untuk rumah susun
sederhana milik (rumah susun Karet Tengsin dan Bendungan Hilir I) diperoleh dengan
pendekatan perhitungan sebagai berikut:
∑=
unit
B)(
PSB (Formulasi 1)
35
Keterangan:
SB = Harga Sewa-Beli atau Harga Jual (hire-purchase)
BP = Total Biaya Produksi
= jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat
occupancy rate di tiap Rumah susun studi)
Setelah diperoleh harga sewa-beli (Harga jual) maka selanjutnya harga tersebut akan
dimasukkan ke dalam perhitungan angsuran Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).
Besarnya suku bunga pinjaman KPR yang dipakai oleh beberapa bank bervariasi dari
selang 9,5% sampai dengan 15%. Pada perhitungan yang dilakukan dalam studi ini
dipakai suku bunga pinjaman KPR yang umumnya banyak dipakai oleh beberapa bank
yaitu sebesar 12,5% dalam jangka waktu angsuran berkisar 5 sampai dengan 20 tahun
melalui pendekatan perhitungan sebagai berikut:
Keterangan:
SB = Harga Sewa-Beli atau Harga Jual (hire-purchase) (dalam rupiah)
DP = Biaya Uang Muka atau Down Payment (DP) (dalam rupiah)
k%` = Tingkat Suku Bunga KPR (dalam persen)
n = lama waktu angsuran selama jangka waktu 5 sampai dengan 20 tahun (dalam bulan)
2.3.2. Pendekatan Perhitungan Harga Sewa
Perhitungan harga sewa yang digunakan untuk rumah susun sederhana sewa (rumah
susun Pasar Jumat) diperoleh dengan pendekatan perhitungan sebagai berikut:
Keterangan:
HSM = Harga Sewa Murni (dalam rupiah)
BPn
= Biaya Produksi setelah komponen biaya lahan dikenakan tingkat inflasi. Besarnya biaya lahan
yang dikenakan tingkat inflasi dihitung dengan menggunakan perhitungan:
BT = Komponen biaya lahan sebelum dikenakan inflasi (dalam rupiah)
∑ unit
n%)1).(()( kDPSBA +−
= (Formulasi 2)
( )∑
=unit)]( x bulan) (12 x L) -[(n
BPnHSM (Formulasi 3)
(Formulasi 4) niBTnBT )1( +×=
36
BTn
i = tingkat inflasi yang diperkirakan sebesar 0,75% (berdasarkan rata-rata fluktuasi inflation rate
per bulan selama tahun 1996 sampai dengan 2007)
= Komponen biaya lahan setelah dikenakan inflasi (dalam rupiah)
2
= jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat occupancy rate di tiap Rumah susun studi)
Harga sewa yang dihasilkan dalam formulasi 3 di atas selanjutnya akan dikombinasikan
dengan besarnya biaya pengelolaan yang dibebankan kepada tiap penghuni rumah susun
(surcharge) sehingga diperoleh harga sewa total sebagai berikut:
n = target waktu pengembalian modal/Break Even Point (dalam tahun)
L = lama waktu pembangunan konstruksi (dalam tahun)
Keterangan:
HST = Harga Sewa Total (dalam rupiah)
BL = Biaya Pengelolaan selama 1 bulan = jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat
occupancy rate di tiap Rumah susun studi)
2.4. Klasifikasi Struktur Pendapatan Masyarakat DKI Jakarta dan
Kemampuan Membayar Harga Sewa dan Sewa-Beli Rumah Susun
Sederhana.
Berdasarkan klasifikasi pendapatan yang telah disusun oleh Biro Pusat Statistik
(BPS) tahun 2002, secara umum struktur pendapatan masyarakat DKI Jakarta terbagi ke
dalam tiga kategori yaitu pendapatan rendah, pendapatan menengah, dan pendapatan
tinggi. Dilihat dari perbandingan rasio gini pendapatan, tiga kategori pendapatan
masyarakat DKI Jakarta tersebut secara berturut-turut memiliki perbandingan persentase
sebesar 40: 40: 20.
Secara khusus, BPS juga membagi struktur pendapatan masyarakat DKI Jakarta
secara rinci menjadi empat kategori antara lain:
1) Pendapatan Rendah (Low Income)
2 ) Besarnya inflation rate mengacu kepada data besarnya tingkat inflasi berdasarkan pengeluaran di
bidang perumahan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik)
∑ unit
∑+=
unitBLHSMHST )( (Formulasi 5)
∑ unit
37
Kelompok masyarakat dengan kategori pendapatan rendah adalah mereka
dengan pendapatan per bulan kurang dari Rp.1.700.000.
2) Pendapatan Menengah Bawah (Middle Low Income)
Kelompok masyarakat dengan kategori menengah bawah adalah mereka dengan
pendapatan per bulan antara dari Rp.1.700.000 sampai Rp.3.700.000
3) Pendapatan Menengah Atas (Middle High Income)
Kelompok masyarakat dengan kategori menengah atas adalah mereka dengan
pendapatan per bulan antara dari Rp.3.700.001 sampai Rp.5.700.000
4) Pendapatan Tinggi (High Income)
Kelompok masyarakat dengan kategori pendapatan tinggi adalah mereka dengan
pendapatan per bulan di atas Rp.5.700.001.
Dalam studi ini pendekatan metode yang digunakan dalam memperoleh
informasi mengenai kemampuan masyarakat dalam membayar harga sewa maupun
angsuran harga sewa-beli didasarkan pada keterjangkauan harga sewa rumah yang
didefinisikan oleh US Departement of Housing and Urban Development (2001) dan
disesuaikan dengan parameter pendapatan yang digunakan bank pada umumnya dalam
menilai kelompok masyarakat yang layak memperoleh kredit kepemilikan rumah.
Definisi dari US Departement of Housing and Urban Development (2001) menyebutkan
bahwa sebuah keluarga dikatakan mampu membayar sewa-rumah (ataupun angsuran
sewa-beli) jika persentase pengeluaran untuk sewa rumah ditambah utilitas dasar, pajak
dan pembayaran asuransi adalah 20% (minimum) sampai dengan 30% (maksimum) dari
total pendapatan. Dari kisaran persentase antara 20% -30% tersebut diambil pendekatan
persentase 25% dari total pendapatan untuk memperoleh informasi mengenai
kemampuan masyarakat dalam membayar harga sewa maupun angsuran harga sewa-
beli. pendekatan persentase 25% dari total pendapatan diambil berdasarkan parameter
pendapatan yang digunakan bank di Indonesia pada umumnya dalam menilai kelompok
masyarakat yang layak memperoleh kredit kepemilikan rumah.
2.5. Indikator Kesesuaian Target Penghuni Rumah Susun Sederhana
Indikator kesesuaian target penghuni rumah susun sederhana didasarkan pada
ketentuan kriteria target grup penghuni yang dapat tinggal di rumah susun sederhana
menurut beberapa tinjauan kebijakan seperti: UU No.16 tahun 1985 tentang Rumah
38
Susun, Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 tentang rumah susun, Lampiran
Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman Nomor: 10/KPTS/M/1999, dan
Buku Pola Induk Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta. Berdasarkan
pertimbangan tersebut diambil tiga indikator sebagai berikut:
1) Status penghuni rumah susun
Berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman
Nomor: 10/KPTS/M/1999 tentang kebijakan dan strategi pembangunan rumah
susun sederhana disebutkan bahwa rumah susun sederhana dibedakan ke dalam
dua jenis yaitu rumah susun milik (rusunami) dan rumah susun sewa (rusunawa).
Berdasarkan kedua jenis rumah susun tersebut maka seharusnya penghuni yang
tinggal didalamnya memiliki status sebagai pemilik (untuk rusunami) dan
penyewa (untuk rusunawa).
Dengan kondisi demikian, maka indikator target penghuni rumah susun dapat
dikatakan sesuai apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Persentase sampel penghuni dengan status pemilik (pada rusunami) tidak
kurang dari 100%
b) Persentase sampel penghuni dengan status penyewa (pada rusunawa) tidak
kurang dari 100%
Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan bahwa target penghuni
seharusnya sesuai dengan jenis status kepemilikan rumah susun yang ditempati
dan pertimbangan bahwa setiap penghuni rumah susun (tanpa kecuali)
seharusnya tidak diperbolehkan menjual, menyewakan, atau mengontrakkan
kembali ke penghuni lain yang bukan target penghuni rumah susun yang
semestinya.
2) Tingkat Pendapatan Penghuni Rumah Susun
Target penghuni rumah susun sederhana menurut UU No.16 tahun 1985 tentang
rumah susun (pasal 3 ayat 1) dan Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988
tentang rumah susun (pasal 53 ayat 1) adalah golongan masyarakat
berpendapatan rendah. Apabila ditinjau dari klasifikasi pendapatan menurut BPS
propinsi DKI Jakarta maka standar pendapatan masyarakat berpendapatan
rendah adalah sebesar dibawah Rp.1.700.000. Berdasarkan pertimbangan
pendapatan penghuni rumah susun yang tergolong MBR tersebut maka target
39
penghuni rumah susun dapat dikatakan sesuai apabila persentase pendapatan
sampel penghuni rumah susun yang berada dibawah Rp.1.700.000 tidak kurang
dari 100% .
Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa
sasaran calon penghuni rumah susun menurut UU No.16 Tahun 1985 dan
Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 adalah setiap masyarakat yang
tergolong ke dalam Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR).
3) Kepemilikan hunian lain
Berdasarkan pola induk pembangunan rumah susun di DKI Jakarta disebutkan
bahwa target grup penghuni rumah susun adalah masyarakat dengan salah satu
ketentuan kriterianya adalah belum memiliki rumah sendiri. Melalui kriteria
persyaratan tersebut maka ukuran target penghuni rumah susun sederhana dapat
dikatakan sesuai apabila persentase sampel penghuni rumah susun yang tidak
memiliki rumah/hunian lain diluar rumah susun yang ditempati saat ini tidak
kurang dari 100% .
Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan pada pertimbangan
persyaratan calon penghuni rumah susun (menurut buku pola induk
pembangunan rumah susun) yang menyebutkan bahwa setiap calon penghuni
rumah susun (tanpa kecuali) adalah masyarakat yang belum memiliki rumah
(hunian) lain.
2.6 Tinjauan Kebijakan Rumah Susun
2.6.1 Konsep Kebijakan Pembangunan Rumah Susun 1000 menara
Dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan ini pada dasarnya adalah
Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah-bawah ke pusat
aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di perkotaan,
maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal, berupa Rumah
Susun sederhana (Rusuna). Pembangunan Rusun bertujuan untuk pemenuhan
kebutuhan Rusun layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan
menengah-bawah di kawasan perkotaan dengan penduduk di atas 1,5 juta jiwa.
Sasaran pembangunan Rusun tahun 2007-2011, yakni pemenuhan kebutuhan
Rusun layak huni sebanyak 1.000 menara atau sekitar 350.000 unit Rusun, dengan
40
harga sewa/jual yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah
di kawasan perkotaan. Dalam kebijakan tidak dijelaskan secara pasti pasti
parameter pendapatan masyarakat berpendapatan rendah yang berhak untuk
menghuni rumah susun sederhana dan persyaratan-persyaratan lain secara lebih
rinci.
Sasaran pembangunan Rusun yang dilakukan di kota-kota prioritas seperti
prioritas pembangunan, antara lain meliputi: Medan, Batam, Palembang,
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar ini juga dilakukan melalui
pernaikan sistem pasokan, antara lain berupa: fasilitasi pengadaan tanah bagi
pembangunan Rusun, berupa percepatan proses pembebasan dan sertifikasi tanah;
percepatan proses perijinan; pengurangan/ penangguhan/ pembebasan biaya
perijinan dan beban pajak, dukungan pembiayaan investasi pembangunan Rusun.
Melalui perbaikan dari sisi permintaan, antara lain berupa: peningkatan kapasitas
dayabeli dan kapasitas meminjam masyarakat, melalui upaya pemberdayaan
masyarakat dan dukungan kebijakan fiskal yang dapat mendorong tumbuhnya
pasar Rusun di perkotaan.
Biaya keseluruhan pembangunan Rusun diperkirakan sebesar Rp 56,889
trilyun selama 5 tahun. Sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Propinsi/Kabupaten/Kota sebesar 6,154 trilyun, sedangkan sebesar Rp 50,735
trilyun direncanakan berasal dari badan usaha dan masyarakat. Porsi terbesar dana
APBN dipergunakan untuk dukungan fasilitas subsidi Kredit Pemilikan Rusun
yang diperkirakan mencapai Rp 4,300 trilyun, serta bersama-sama dengan dana
APBD, dengan perkiraan dana sebesar Rp 1,700 trilyun dipergunakan untuk
kegiatan fasilitasi dan stimulasi peningkatan kualitas penyediaan prasarana, sarana
dan utilitas kawasan perkotaan dan lingkungan Rusun. Sedangkan sisanya sebesar
Rp 0,154 trilyun, merupakan dukungan terhadap penciptaan iklim yang kondusif
terhadap percepatan pembangunan Rusun. Sementara itu, sumber dana terbesar
berasal dari badan usaha dan masyarakat, yakni sebesar Rp 50,735 trilyun.
Diharapkan dapat membiayai keseluruhan pembangunan 1.000 unit Rusun di
41
kawasan perkotaan, termasuk biaya penyediaan tanah serta prasarana, sarana, dan
utilitas Rusun.
2.6.2 Tinjauan Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan RI No.36/PMK 03/2007
Tentang Batasan Rusuna yang Dibebaskan Atas PPn
Salah satu komponen biaya yang perlu diperhatikan dalam pembangunan rumah susun
sederhana adalah biaya pajak yang salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPn).
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.36/PMK.03/2007
disebutkan bahwa rumah susun yang dibebaskan dari PPN memiliki beberapa kriteria
yaitu:
a) harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp
75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
b) luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2
c) pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang
mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan
merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai
tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sejak dimiliki.
(dua puluh satu meter
persegi);
2.7 Tinjauan Kasus Pembangunan Rumah Susun di Beberapa Negara Lain
2.7.1 Kasus Pembangunan Rumah Susun di India
India sebagai Negara berkembang di Asia memiliki jumlah populasi penduduk
sebesar 1.027.000.000 jiwa (data hasil sensus penduduk dalam Renu Sud Karnad, 2001)
dengan kecenderungan jumlah populasi di perkotaan yang semakin naik dari tahun 1901
sebesar 26 juta hingga tahun 285 juta di tahun 2001. Seiring dengan naiknya jumlah
populasi penduduk perkotaan tersebut maka jumlah kebutuhan perumahan juga semakin
meningkat. Kondisi lahan yang semakin terbatas membuat kebijakan akan perumahan di
India mengarah kepada pembangunan secara vertikal yang salah satunya diwujudkan
melalui pembangunan rumah susun. Pembangunan dan pengelolaan rumah susun di
India dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui beberapa program bantuan biaya
42
subsidi atau kerjasama antara pemerintah sebagai pengelola dengan pihak swasta
sebagai pelaksana pembangunan.
Jumlah populasi penduduk India sebagian besar berada di bawah garis
kemiskinan. Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan United Nations Human
Settlements Programme, jumlah populasi penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan berada di Kawasan perkotaan. Kondisi ini membuat pemerintah India
mengeluarkan kebijakan pembangunan rumah susun yang diperuntukkan untuk
masyarakat berpendapatan rendah. Housing and Urban Development Coorporotion ltd.
(HUDCO) mengkaji masyarakat yang dikategorikan berpendapatan rendah di India
adalah mereka dengan penghasilan sekitar pendapatan Rs 2,101/bulan sampai dengan
Rs. 4,500/bulan.
Pada awal pembangunannya rumah susun tersebut dipasarkan dengan harga
sewa yang terjangkau namun pada akhirnya penghuni yang merupakan masyarakat
berpendapatan rendah tidak mampu untuk menanggung iuran rutin yang merupakan
biaya pengelolaan rumah susun tersebut. Tingginya biaya tinggal yang harus ditanggung
oleh penghuni rumah susun membuat beban biaya yang terlalu besar melebihi beban
biaya ketika masih menghuni perumahan kumuh mereka.
2.7.2 Kasus Pembangunan Rumah Susun di Singapura
Singapura merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang sering menjadi
proyek percontohan dari produksi perumahan yang terjangkau bagi negara-negara lain
di Asia. Negara dengan luas wilayah sebesar 690 km2
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan lahan yang
ada maka Singapura menerapkan kebijakan pembangunan perumahan secara vertikal
ini memiliki jumlah penduduk
sebesar 3,4 juta jiwa dan 4 persen dari jumlah tersebut berada di bawah garis
kemiskinan pada tahun 1998 (Belinda Yuen, 2005). Dari data sensus yang dilakukan di
Singapura pada tahun 2000 disebutkan bahwa sekitar 11.630 rumah tangga
mengeluarkan pengeluaran biaya hidup tidak kurang dari S$ 1000/bulan dengan
pendapatan rata-rata sekitar S$ 459/bulan (pendapatan rata-rata rumah tangga secara
keseluruhan sebesar S$ 4943/bulan). Definisi kemiskinan yang diturunkan dari kriteria
kualifikasi pendapatan masyarakat Singapura adalah kelompok rumah tangga dengan
pendapatan individu didalamnya sebesar S$ 10 per hari.
43
yang salah satunya adalah rumah susun (flat) yang terjangkau dari segi biaya sewa bagi
masyarakat berpendapatan rendah. Kebijakan rumah susun di Singapura merupakan
bagian yang paling penting dalam membantu kebutuhan akan akses perumahan. Proses
persyaratan bagi penghuni dalam menempati rumah susun secara transparan merupakan
salah satu aspek kelembagaan dalam sistem perumahan yang adil bagi semua pihak
(Chong et.al, 1985 p.230 dalam Yuen, 2005 p.14). Adapun penyedian dana dan
pembangunan Perumahan dilakukan oleh dua lembaga publik yaitu Housing and
Development Board (HDB) dan Central Profiden Fund (CPF). HDB merupakan
lembaga dibawah Kementrian Urusan Hukum dan Pembangunan Nasional yang
bergerak dalam bidang penyediaan perumahan bagi publik sedangkan CPF merupakan
Lembaga Keuangan non bank yang bergerak di bidang pemupukan dana tabungan
masyarakat (Sudana, 2000). Dalam proses pelaksanaan pembangunan perumahan, HDB
mendapat sumber dana keuangan dari CPF selain dari Capital Market (Wan, 1986
dalam Sudana, 2000).
Jenis perumahan susun yang dibangun oleh pemerintah Singapura berdasarkan
laporan HDB terdiri dari 2 jenis yaitu perumahan susun sewa dan perumahan susun
milik. Untuk perumahan susun sewa terdiri dari 3 tipe yaitu rumah susun 1 kamar
dengan luas lantai 33 m2 , rumah susun 2 kamar dengan luas lantai 45 m2, rumah susun 3
kamar dengan luas lantai 69 m2. Untuk perumahan susun milik terdiri dari 2 tipe yaitu
rumah susun 4 kamar dengan luas lantai 90 m2, rumah susun 5 kamar dengan luas lantai
110 m2
. Berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Singapura melalui
Housing and Development Board (HDB) ditetapkan bahwa masyarakat singapura yang
belum memiliki rumah pribadi dan memiliki pendapatan ruma tangga (household
income) tidak lebih dari S$ 800/bulan berhak untuk menyewa/membeli rumah susun.
Secara lebih rinci mekanisme persyaratan ini dapat dilihat dalam tabel II.1:
Tabel II.1 Persyaratan Calon Penghuni Rumah Susun 1 kamar dan 2 kamar di Singapura
Jenis SRS Rata-Rata Luas Lantai Biaya Sewa Kondisi Persyaratan
1-kamar 33 S$ 26-33 a. Warga negara
Singapura
44
2-kamar 45 S$ 44-75
b. Minimal 21 Tahun
c. Pendapatan Keluarga
tidak melebihi S$ 800
per bulan
d. Tidak memiliki
properti di tempat
lain.
Sumber: HDB (2000)
Dengan kondisi persyaratan di atas, maka sebagian masyarakat yang masih
berada di bawah garis kemiskinan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
belum semuanya terjaring untuk memiliki akses akan kebutuhan rumah sehingga dapat
dikatakan biaya tinggal yang harus dikeluarkan untuk menempati rumah susun (flats)
masih dinilai sangat mahal dan belum sepenuhnya terjangkau bagi masyarakat
berpendapatan rendah (Streats, 25 Juli 2003).
2.7.3 Kasus Pembangunan Rumah Susun di Malaysia
Semenjak Merdeka, kebijakan mengenai perumahan telah menjadi prioritas
dalam lima tahun rencana nasional negara Malaysia. Pembangunan perumahan yang
dilakukan pemerintah bagi masyarakat berpendapatan rendah merupakan cara yang
digunakan untuk mengatasi permasalahan permukiman liar (squatters) yang sebagian
besar terkonsentrasi di daerah perkotaan terutama di tiap Ibukota propinsi. Jumlah dari
populasi masyarakat yang menghuni perumahan liar diestimasi sekitar 5 sampai dengan
10% dari jumlah populasi penduduk Malaysia yang berjumlah 20 juta jiwa (Ali, 2001).
Rumah susun sederhana digunakan pemerintah Malaysia sebagai tempat untuk
merelokasi sebagian masyarakat yang mengalami proses pembersihan permukiman liar
sebelumnya.
Pembangunan Rumah susun di Negara Malaysia dimaksudkan untuk menjaring
kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Berdasarkan The Seventh Malaysia Plan
(1996-2000) disebutkan bahwa masyarakat berpendapatan rendah adalah mereka yang
memiliki pendapatan berkisar antara RM 1501-RM 2500 (US 0.75- US 1.25 per bulan)
(Shuid, 2001). Adapun jenis rumah susun sederhana yang diperuntukkan bagi
masyarakat berpendapatan rendah sebagian besar memiliki ketinggian 5 lantai dan
jumlah unit berkisar 4-10 unit SRS (Satuan Rumah Susun) untuk tiap lantai dengan luas
minimum 48m2 (Kooi dkk).
45
Harga sewa rumah susun yang diperuntukkan untuk masyarakat
berpendapatan rendah di Malaysia tergantung kepada lokasi dan harga lahan yang
digunakan untuk pembangunan. Pemerintah Negara Malaysia menetapkan harga sewa
rumah susun dengan kategori RM 25,000.00, RM 30,000.00, RM 35,000.00 dan RM
42,000.00 per unit. Akan tetapi, dengan harga sewa minimum rumah susun sebesar
RM 25.000 (US 412.5) tersebut, sebagian masyarakat berpendapatan rendah di
Malaysia masih belum mampu membelinya (Ali, 2001). Para pengembang rumah susun
yang menilai harga sewa minimum yang diterapkan pemerintah tersebut sangat rendah
sebagian besar mendapat pinjaman modal dari bank yang harus dibayar per bulan dalam
periode 15 sampai dengan 25 tahun. Di sisi lain realita di Lapangan menunjukkan
bahwa harga sewa rumah susun yang harus dibayar masyarakat biasanya lebih besar
dari yang ditetapkan pemerintah. Hal ini tidak jarang membuat masyarakat penghuni
tidak mampu membayar uang sewa sehingga sebagian dari mereka terpaksa menjual
kembali unit rumah susun mereka dan kembali ke permukiman mereka yang liar (Ali,
2001).
Berdasarkan tinjauan kasus-kasus kebijakan pembangunan rumah susun dari
beberapa negara lain tersebut maka dapat diambil suatu ringkasan secara umum sebagai
perbandingan dengan kebijakan pembangunan rumah susun di Indonesia yang dapat
dilihat pada tabel II.2.
Tabel II.2 Ringkasan Studi Kasus Pembangunan Rumah Susun di Negara Lain
No. Indikator
Pembanding
Negara
India Singapura Malaysia
1
Kelompok
Sasaran
Penghuni
Rumah Susun
Masyarakat dengan
pendapatan Rs 2,101/-
to
Rs. 4,500/-.
Masyarakat dengan
pendapatan sekitar S $
800
Masyarakat dengan
pendapatan sekitar RM
1501-RM 2500
46
2
Jenis/Tipe
Rumah Susun
Rumah susun
sederhana rata-rata
memiliki luas unit
sekitar 21 m2
Perumahan susun sewa
terdiri dari 3 tipe yaitu
rumah susun 1 kamar
dengan luas lantai 33 muntuk tipe
yang paling kecil.
2
, rumah susun 2 kamar
dengan luas lantai 45 m2,
rumah susun 3 kamar
dengan luas lantai 69 m2.
Perumahan susun milik
terdiri dari 2 tipe yaitu
rumah susun 4 kamar
dengan luas lantai 90 m2,
rumah susun 5 kamar
dengan luas lantai 110
m2
Rumah susun sederhana
yang diperuntukkan bagi
masyarakat berpendapatan
rendah sebagian besar
memiliki ketinggian 5 lantai
dan jumlah unit berkisar 4-
10 unit SRS (Satuan Rumah
Susun) untuk tiap lantai
dengan luas minimum 48m
.
2
3
Harga
Sewa/bulan
Rs 50/bulan 1) S $ 26-33 untuk tipe
33 m2) S $ 44-75 untuk tipe
45 m
2
harga sewa rumah susun
sederhana bervariasi dengan
kategori RM 25,000.00, RM
30,000.00, RM 35,000.00
tergantung pada lokasi
rumah susun sederhana
tersebut.
2
4
Permasalahan
yang sering
terjadi
Disamping biaya sewa
masih ada iuran rutin
merupakan biaya
pengelolaan rumah
susun tersebut yang
tinggi sehingga
membuat beban biaya
yang terlalu besar
melebihi beban biaya
ketika masih menghuni
perumahan kumuh
mereka.
Biaya tinggal yang harus
dikeluarkan untuk
menempati rumah susun
(flats) di Singapura
masih dinilai sangat
mahal dan belum
sepenuhnya terjangkau
bagi masyarakat
berpendapatan rendah.
realita di Lapangan
menunjukkan bahwa harga
sewa rumah susun biasanya
lebih besar dari yang
ditetapkan pemerintah
sehingga membuat penghuni
tidak mampu membayar
uang sewa dan sebagian dari
mereka terpaksa menjual
kembali unit rumah susun
mereka dan kembali ke
permukiman mereka yang
liar.
Sumber: ringkasan subbab 2.7.1 sampai dengan 2.7.3