Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Konsep Dasar Skizofrenia
2.1.1 Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah penyakit otak yang timbul akibat
ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia yang berada
di dalam otak. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa psikotik paling lazim
dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik
diri dari hubungan antar prilaku yang normal. Seringkali diikuti dengan
delusi dan halusinasi (presepsi tanpa adanya rangsangan panca indra)
Fugen (2012), dalam Masriadi (2016). Skizofrenia merupakan gangguan
psikis yang ditandai dengan penyimpangan realitas, penarikan diri dari
interaksi sosial, serta disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognitif (Situart,
2013). Skizofrenia juga dapat diartikan sebagai terpecahnya pikiran,
perasaan, dan perilaku sehingga yang dilakukan tidak sesuai dengan
pikiran dan perasaan orang yang mengalaminya (Prabowo, 2014).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia
adalah gangguan psikis yang ditandai dengan adanya pemisahan antara
pikiran, emosi, perilaku, penyimpangan realitas, penarikan diri dari
interaksi sosial, serta disorganisasi persepsi dan kognitif.
2.1.2 Etiologi
Beberapa faktor penyebab skizofrenia sebagai berikut (Nurarif &
Hardhi, 2016):
7
8
1. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesaktian
bagi saudara tiri 0,9- 1,8%, bagi saudara kandung 7-15%, bagi
anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 40-
68%, kembar 2 telur 2-15%, dan kembar satu telur 61-86%.
2. Endokrin
Teori ini dikemukaan berhubung dengan sering timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperlum
dan waktu klimakterium tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
3. Metabolisme
Teori ini timbul karena penderita skizofrenia tampak pucat,
tidak sehat, ujung ekstermitas agak sianosis, nafsu makan
berkurang, dan BB (berat badan) menurun. Serta pada penderita
dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini
masih dalam pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
4. Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak dapat disebabkan oleh penyakit badaniah
karena hingga saat ini tidak dapat ditemukan kelainan patologis
anatomis atau fisiologis yang khas pada SPP. Tetapi Meyer
mengakui bahwa suatu konstitusi yang inferior atau penyakit
badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia. Menurut
Meyer skizofrenia merupakan rekasi yang salah atau suatu
maladaptasi sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan lama-
lama orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan (otisme).
9
5. Teori Sigmund Freud
Menurut Sigmund skizofrenia dapat disebabkan oleh
kelemahan ego yang dapat timbul karena penyebab psikogenik
ataupun somatik.
6. Eugen Bleuler
Gejala utama skizofrenia yang timbul menurut Eugen adalah
jiwa yang terpecah belah akibat adanya keretakan atau disharmoni
antara proses berfikir, perasaan, dan perbuatan. Bleuler membagi
gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok:
a. Gejala primer : Gangguan proses pikir, gangguan emosi,
gangguan kemauan, dan otisme.
b. Gejala sekunder : Waham, halusinasi dan gejala katatonik
atau gangguan psikomotorik yang lain (Keliat, 2006 dalam
Nurarif & Hardhi, 2016).
2.1.3 Klasifikasi Skizofrenia
Skizofrenia terbagi dalam beberapa jenis berdasarkan gejala utama
diantaranya adalah (Prabowo, 2014):
1. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas. Gejala
utama pada jenis simplek berupa kedangkalan emosi dan
kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir, waham, dan
halusinasi jarang ditemukan tetapi jenis ini timbulnya secara
perlahan-lahan.
2. Skizofrenia Hebefrenik
10
Permulaannya muncul perlahan-lahan atau subakut dan
sering timbul pada masa remaja atau diantara usia 15-25 tahun.
Gejala yang paling terlihat ialah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauan, dan adanya depersenalisasi atau double
personality.
3. Skizofrenia Katatonik
Timbul pertama kali pada saat umur menginjak 15- 30
tahun dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress
emosional. Jika memungkinkan muncul gaduh gelisah katatonik
atau stupor katatonik. Gejala penting yang akan muncul adalah
gejala psikomotor seperti:
a. Penderita menutup diri, mimik muka tidak ada, strupor
penderita tidak bergerak sama sekali utnuk waktu
yangsangat lama, dan bisa beberapa hari bahkan bisa
berbulan-bulan.
b. Penderita menantang jika dipindah posisinya.
c. Tidak nafsu makan, BAK dan BAB ditahan, air ludah
tidak ditelan sehingga terkumpul di mulut dan meleleh
keluar.
4. Skizofrenia Paranoid
Jenis skizofrenia ini dimulai pada usia 30 tahun. Gejala
yang mencolok ialah waham primer disertai dengan waham -
waham sekunder dan halusinasi. Kepribadian penderita sebelum
11
sakit sering digolongkan schizoid. Penderita mudah tersinggung,
agak congkak, kurang percaya diri, dan suka menyendiri.
5. Episode Skizofrenia Akut
Gejala skizofrenia timbul mendadak dan pasien seperti
dalam keadaan mimpi. Dalam keadaan in timbul perasaan seakan-
akan dunia luar maupun dirinya sendiri berubah dan seakan
mempunyai suatu arti yang khusus bagi dirinya.
6. Skizofrenia Residual
Jenis skizofrenia ini merupakan keadaan kronis dengan
riwayat sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala
berkembang ke arah gejala yang negative. Gejala negative terdiri
dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpukan
afek, pasif, dan tidak ada inisiatif. Tidak banyak bicara, ekspresi
nonverbal menurun, serta buruknya perawatan diri, dan fungsi
sosial.
7. Skizofrenia Skizo Afektif
Disamping gejala skizofrenia timbul secara bersamaan
gejala-gejala seperti depresi (skizo depresif) atau gejala
mania(psiko-manik). Jenis skizofrenia ini cenderung untuk sembuh
tanpa efek tetapi, juga mungkin muncul serangan kembali.
2.1.4 Tanda dan Gejala
1. Gejala Positif
12
Fungsi otak dari penderita penyakit skizofrenia akan
bekerja lebih aktif atau bisa dikatakan berlebihan. Hal ini
menyebabkan otak bekerja tidak normal. Akibatnya penderita akan
mengalami beberapa hal seperti:
a. Berkhayal merupakan hal yang sering dialami penderita
skizofrenia. Mereka memiliki keyakinan yang berbeda
dengan orang normal. Penderita juga sering salah dalam
menafsirkan persepsi.
b. Halusinasi. Penderita akan sering kali melihat atau
mendengar hal- hal yang sebenarnya tidak ada.
c. Gangguan pola pikir. Penderita skizofrenia akan akan sulit
bicara dan mengatur pikirannya. Sehingga dalam hal ini
akan mengganggu kemampuan berkomunikasi mereka.
d. Penderita skizofrenia akan sering berperilaku aneh seperti
anak kecil yang melakukan hal- hal konyol.
2. Gejala Negative
Gejala ini mengacu pada tidak adanya karakteristik fungsi
otak yang normal. Gejala-gejala yang ditimbulkan antara lain:
a. Sulit mengekspresikan emosi.
b. Menarik diri dari lingkungan sosial.
c. Kehilangan motivasi.
d. Tidak minat melakukan kegiatan sehari-hari.
e. Mengabaikan kebersihan diri.
3. Gejala Kognitif
13
Jenis gejala ini akan menimbulkanmasalah pada proses
berfikir. Tanda dan gejala yang mungkin timbul diantaranya:
a. Masalah dalam membuat informasi yang masuk akal dan
dimengerti orang lain.
b. Sulit berkonsentrasi.
c. Terdapat masalah pada memori otak.
2.1.5 Komplikasi
1. Penganiayaan fisik, psikologis, atau seksual.
2. Sindrom otak organik misalnya, penyakit Alzheimer.
3. Gangguan prilaku.
4. Oppositional defiant disorder.
5. Depresi.
6. Serangan panik.
7. Gangguan Tourette.
8. Delirium.
9. Demensia.
10. Gangguan amnestik.
11. Halusinasi.
12. Upaya bunuh diri.
13. Abnormalitas neurotransmitter otak.
(Prabowo, 2014).
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan psikologi:
a. Pemeriksaan psikiatri.
14
b. Pemeriksaan psikometri.
2. Pemeriksaan lain jika diperlukan: Darah rutin, fungsi hepar, faal
ginjal, enzim hepar, EKG, CT scan, EEG.
2.1.7 Penatalaksanaan
Menurut (Nurarif Min Huda & Kusuma Hardhi, 2015) penatalaksanaan
untuk gangguan jiwa diantaranya sebagai berikut :
1. Penggunaan obat antipsikosis
Obat-obat yang digunakan untuk mengobati skizofrenia
disebut antipsikosis. Antipsikosis bekerja mengontrol halusinasi,
delusi, dan perubahan pola pikir yang terjadi pada skizofrenia.
Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikosis
sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikosis yang
benar-benar cocok bagi pasien. Terdapat 3 kategori antipsikosis
yang dikenal saat ini, antara lain:
a. Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaannya
adalah antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif,
antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping
yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain:
1) Haldol (haloperidol)
Sediaan haloperidol tablet o,5 mg, 1,5 mg, 5 mg, dan
injeksi 5 mg/ml, dosis 5-15mg/hari.
2) Stelazine (trifluoperazine)
15
Sediaan trifluoperazine tablet 1 mg dan 5 mg, dosis 10-15
mg/ hari.
3) Mellaril (thioridazine)
Sediaan thioridazine tablet 50 dan 100 mg, dosis 150-600
mg/hari.
4) Thorazine (chlorpromazine)
Sediaan chlorpromazine tablet 25 dan 100 mg, injeksi 25
mg/ml. Dosis 150-600 mg/hari.
5) Trilafon (perphenazine)
Sediaan perfenazine tablet 2, 4, 8 mg dosis 12-24 mg/ hari.
6) Prolixin (fluphenazine)
Sediaan flufenazin tablet 2,5 mg, 5 mg, dosis 0-15
mg/ hari. Sediaan flumazine dekanoat injeksi 25 mg/ ml,
dosis 25 mg/2-4 minggu. Akibat berbagai efek samping
yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional,
banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer
atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan
antipsikotik konvensional). Pertama, pada pasien yang
sudah mengalami kemajuan yang pesat menggunakan
antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang
berarti. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil
secara reguler.
b. Newer atypical antipsycotics
16
Obat-obatan yang tergolong kelompok ini disebut
atipical karena prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit
menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan
antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical
antipsycotics yang tersedia, antara lain:
1) Risperdal (risperidone). Sediaan risperidone tablet 1, 2, 3
mg dosis 2-6 mg/ hari.
2) Seroquel (quetiapine).
3) Zyprexa (olanzopine).
c. Clozaril (clozapine)
Clozaril memiliki efek samping yang jarang tapi sangat
serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%). Clozaril
dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna untuk
melawan infeksi. Ini artinya, pasien yang mendapat clorazil
harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara reguler.
Para ahli merekomendasikan penggunaan clorazil paling
sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman jika tidak
berhasil.
2. Terapi elektrokonvulsif (ECT).
3. Pembedahan bagian otak.
4. Perawatan di rumah sakit.
5. Psikoterapi.
a. Terapi psikoanalisa
17
Terapi psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan
konsep Freud. Tujuan psikoanalisa adalah menyadarkan
individu akan konflik yang tidak disadarinya dan mekanisme
pertahanan yang digunakan untuk mengendalikan
kecemasannya. Hal yang paling penting padaterapi ini adalah
untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita.
b. Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya terapi perilaku menekankan prinsip
pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan
dengan perilaku nyata. Para therapist mencoba menentukan
stimulus yang mengawali respon dan kondisi lingkungan yang
menguatkan atau mempertahankan perilaku dalam masyrakat.
Paul dan Lentz menggunakan dua bentuk program psikososial
untuk meningkatkan fungsi kemandirian.
1) Social Learning Program
Menolong penderita skizofrenia untuk mempelajari
perilaku-perilaku yang sesuai.
2) Social Skills Training
Terapi ini melatih penderita skizofrenia mengenai
keterampilan atau keahlian sosial.
3) Terapi Humanistik
Terapi kelompok dan terapi keluarga.
2.1.8 Pencegahan
1. Hindari kebiasaan menyendiri.
18
2. Berusaha untuk menceritakan masalah yang ada dengan keluarga
atau teman terdekat.
3. Kenali gejala-gejala penyakit dan konsultasikan dengan dokter.
4. Konsumsi makanan yang bergizi.
5. Observasi secara ketat perilaku klien.
6. Singkirkan semua benda yang berbahaya.
7. Berikan obat dan berkesinambungan.
8. Menurunkan ketegangan.
9. Periksa mulut penderita setelah minum obat.
10. Alihkan jika klien halusinasi.
11. Fokus dan kuatkan realitas.
(Nurarif & Hardhi, 2016).
2.1.9 Definisi Risiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku dari
seorang individu yang bertujuan untuk melukai melukai diri sendiri atau
orang lain (Muhith, 2015). Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana
individu melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk verbal maupun
secara fisik. Yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan sekitar disertai dengan amuk, gaduh, dan gelisah yang tidak
terkontrol. Keadaan ini dapat menimbulkan kerugian baik terhadap diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri
sendiri dapat berbentuk seperti bunuh diri atau membiarkan diri dalam
bentuk penelantaran diri.
19
Perilaku kekerasan pada orang lain dapat berbentuk tindakan
agresif yang bertujuan untuk melukai atau bahkan membunuh orang
lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan seperti merusak lingkungan,
melempar kaca, genteng, batu, dan semua yang ada dilingkungan
sekitar. Melihat dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan adalah perilaku seseorang yang timbul karena adanya stressor
sehingga timbul rasa marah yang tidak terkontrol dan menunjukkan
adanya tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan sekitar.
2.1.10 Rentang Respon Marah
Gambar 2.1 Rentang respon marah (Ahmad Yusuf, 2015)
Keterangan:
Asertif : Mengungkapkan rasa marah tanpa menyakiti orang lain.
Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan dan tidak menemukan alternatif.
Pasif : Mampu mengungkapkan perasaanya dengan baik.
Agresif : Klien mengekspresikan secara fisik tapi masih terkontrol.
Kekerasan : Perasaan marah yang tidak terkontrol.
2.1.11 Etiologi
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan (amuk)
20
Menurut (Ahmad Yusuf, 2015) ada beberapa teori terkait dengan
timbulnya
perilaku kekerasan pada orang dengan gangguan jiwa, yaitu :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa sesorang untuk mencapai suatu
tujuan mengalami hambatan akan timbul dorongan
agresif yang memotivasi perilaku kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu
dan masa kecil yang tidak menyenangkan.
3) Frustasi.
4) Kekerasan dalam rumah atau keluarga.
b. Faktor sosial budaya
Social learning theory menyebutkan bahwa agresif
tidak berbeda dengan respon- respon yang lain. Jadi,
seseorang akan agresif sesuai dengan bagaimana individu
tersebut belajar dalam merespon stimulus yang diterima.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya
agresivitas atau perilaku kekerasan yang maladaptif antara
lain sebagai berikut:
21
1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
2) Status dalam perkawinan.
3) Single parent.
4) Pengangguran.
5) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan
interpersonal dan struktur keluarga dalam sosial
kultural.
c. Faktor biologis
Neurobiological theory menyebutkan adanya
perubahan pada susunan syaraf saat seseorang agresif.
Bagian- bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya
agresivitas adalah sebagai berikut:
1) Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan
ekspresi emosi dan mengatur sistem informasi dan
memori.
2) Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai interpretasi memori dan
indra penciuman.
3) Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagaian pemikiran yang
logis, pengelolaan emosi, dan alasan berfikir.
d. Perilaku (Behavioral)
22
1) Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan
belajar mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam
berespons positif terhadap frustasi.
2) Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada
anak atau godaan (seduction) orang tua
mempengaruhi kepercayaan (trust) dan percaya diri
(self esteem) individu.
3) Perilaku kekerasan diusia muda, baik korban
kekerasan pada anak (child abuse) atau
mengobservasi kekerasan dalam keluarga
mempengaruhi penggunaan kekerasan sebagai
koping.
e. Faktor presipitasi
Ancaman biologis, sosial budaya, konsep diri, dan
psikologis yang terjadi pada saat ini adalah sebagai berikut:
1) Ancaman fisik: Penyakit fisik dan pukulan.
2) Ancaman sosial budaya: Kehilangan orang yang
dicintai atau benda kesayangan.
3) Ancaman psikologis: Kehilangan kasih sayang dan
perhatian.
4) Ancaman konsep diri: Harga diri rendah, kegagalan,
dan frustasi.
2.1.12 Faktor Resiko
Menurut (SDKI, 2016) faktor risiko perilaku kekerasan yaitu:
23
1. Pemikiran waham atau delusi.
2. Curiga pada orang lain.
3. Halusinasi.
4. Berencana bunuh diri.
5. Disfungsi sistem keluarga.
6. Kerusakan kognitif.
7. Disorientasi atau konfusi.
8. Keruskan kontrol implus.
9. Persepsi pada lingkungan tidak adekuat.
10. Alam perasaan depresi.
11. Riwayat kekerasan pada hewan.
12. Kelainan neurologis.
13. Lingkungan tidak teratur.
14. Penganiyaan atau pengabaian anak.
15. Riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang
lain atau destruksi properti orang lain.
16. Impulsif.
17. Ilusi.
2.1.13 Kondisi Klinis Terkait
Menurut (SDKI, 2016) kodisi klinis terkait dengan risiko perilaku
kekerasan yaitu:
1. Penganiyaan fisik, psikologis, atau seksual.
2. Sindrom otak organik(misalnya penyakit Alzheimer).
3. Gangguan perilaku.
24
4. Oppositional deflant disorder.
5. Depresi.
6. Serangan panik.
7. Gangguan tourette.
8. Delirium.
9. Demensia.
10. Gangguan amnestik.
11. Halusinasi.
12. Upaya bunuh diri.
13. Abnormalitas neurotransmitter otak.
2.1.14 Manifestasi Klinis
Menurut (Nurhalimah, 2016) ada beberapa tanda dan gejala yang
dialami pasien risiko perilaku kekerasan diantaranya yaitu :
a. Data subjektif :
1) Ungkapan berupa ancaman.
2) Ungkapan kata-kata kasar.
3) Ungkapan ingin memukul atau melukai.
b. Data objektif :
1) Wajah memerah dan tegang.
2) Pandangan tajam.
3) Mengatupkan rahang dengan kuat.
4) Mengepalkan tangan.
5) Bicara kasar.
6) Suara tinggi, menjerit, atau berteriak.
25
7) Mondar mandir.
8) Melempar atau memukul berupa benda atau orang lain.
2.1.15 Mekanisme Koping
Menurut Prabowo (2014) mekanisme koping yang digunakan pada
klien dengan masalah risiko perilaku kekerasan untuk melindungi
dirinya yaitu sebagai berikut:
1. Sublimasi
Adalah suatu sasaran yang digunakan untuk mengendalikan
marah. Contohnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya dengan meninju tembok, memukul bantal atau kasur
yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi
Merupakan perilaku atau sikap menyalahkan orang lain atas
kesulitan yang dialami atau keinginannya yang tidak tercapai.
Mislanya, seorang individu menuduh orang lain melakukan sebuah
pencurian di tempat kerjanya.
3. Deplacment
Merupakan suatu sikap untuk melepaskan perasaan yang
tertekan biasanya dengan menunjukkan perilaku destruktif, seperti
memukul pintu, meninju tembok, melempar barang, bahkan sampai
dengan melukai diri sendiri maupun orang lain.
2.1. 16 Pentalaksanaan
26
Menurut Prabowo (2014) pentalaksanaan pada pasien dengan
masalah perilaku kekerasan antara lain:
1. Farmakoterapi
Klien dengan masalah perilaku kekerasan perlu adanya
perawatan serta pengobatan yang tepat dan cepat. Pengobatan
dengan antipsikotik yang mempunyai dosis tinggi contohnya
klopromazin berguna untuk mengendalikan psikomotor. Apabila
kondisi ini muncul pertama kalinya maka gejala akan hilang dan
dosis dipertahankan selama satu bulan. Apabila kondisi ini
muncul lebih dari satu kali atau sering maka obat diberikan secara
terus-menerus selama dua bulan. Dosis klopromazin dapat
diberikan 30-800mg/24 jam/oral.
2. Terapi Okupasi (Terapi Kerja)
Terapi okupasi adalah terapi dengan menggunakan media
untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan kemampuan
berkomunikasi. Maka dari itu, terapi ini tidak selalu
menggunakan segala bentuk kegiatan pekerjaan namun,
menggunakan sebuah kegiatan seperti membaca koran, bermain
catur, dan lain-lainnya untuk dijadikan media terapi. Setelah klien
melakukan kegiatan tersebut, selanjutnya lakukan evaluasi
mengenai kegiatan yang telah dilakukannya.
3. Peran Serta Keluarga
Keluarga yaitu sistem pendukung utama setiap keadaan
(sehat-sakit) bagi semua orang. Perawat membantu keluarga agar
27
dapat melakukan perannyan yaitu, mengenal masalah kesehatan,
membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada
anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat,
dan menggunakan sumber yang ada dimasyarakat. Keluarga yang
mampu mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku
maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pecegahan sekunder), dan mengembalikan perilaku
maldaptif menuju perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga
derajat kesehatan klien dan keluarga dapat teratasi.
4. Terapi Somatik
Merupakan terapi yang diberikan pada klien gangguan jiwa
bertujuan untuk mengubah prilaku maladaptif menjadi perilaku
adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi
fisik klien. Tetapi target terapi ini adalah perilaku klien.
5. Terapi Kejang Listrik
Electronik Convulsive Theraphy (ECT) merupakan bentuk
terapi yang menimbulkan gejala grand mall dengan mengalirkan
arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada plipis klien.
Terapi ini digunakan untuk menangani klien skizofrenia dengan
intensitas 20-30 kali terapi. Biasanya dilakukan setiap 2-3 hari
sekali (seminggu 2 kali).
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Identitas
28
a. Perawat memperkenalkan diri dan melakukan kontrak pada
pasien: Nama klien, alamat, nama perawat, tujuan, waktu,
topik yang akan dibicarakan dan tempat pertemuan.
b. Nomor rekam medis dan usia.
2. Alasan masuk
Alasan utama klien MRS yakni klien mengungkapkan kata-
kata kasar dan keras, memberi ancaman, ingin memukul atau
memecahkan benda yang ada disekitar. Wajah kemerahan,
pandangan tajam, rahang terkatup, tangan mengepal. Tindakan
utama keluarga biasanya dengan memasungnya atau memberikan
obat penenang.
3. Faktor predisposisi
Pasien dengan masalah perilaku kekerasan biasanya sering
mendapatkan pengobatan di rumah sakit. Pengobatan yang dijalani
belum berhasil sehingga belum bisa beradaptasi dengan
lingkungannya. Gejala yang sering timbul mengakibatkan trauma
yang pernah dialami pasien seperti kekerasan dilingkup keluarga
atau lingkungan, tindakan kriminal, dan lain-lainnya.
4. Faktor presipitasi
a. Ancaman biologis, sosial budaya, konsep diri, dan psikologis
yang terjadi pada saat ini adalah sebagai berikut:
b. Ancaman fisik: Penyakit fisik dan pukulan.
c. Ancaman sosial budaya: Kehilangan orang yang dicintai atau
benda kesayangan.
29
d. Ancaman psikologis: Kehilangan kasih sayang dan perhatian.
e. Ancaman konsep diri: Harga diri rendah, kegagalan, dan
frustasi.
5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan TTV mendapatkan hasil tekanan darah
meningkat, pernafasan cepat saat kondisi marah, mata melotot,
mata merah, pandangan tajam, berbicara dengan nada tinggi, kasar,
dan kata-kata kotor, postur tubuh kaku serta tangan mengepal.
6. Psikososial
a. Genogram: Menggambarkan garis keturunan keluarga pasien
bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya anggota
keluarga yang menderita gangguan jiwa seperti yang dialami
pasien.
b. Konsep diri
1) Citra tubuh: Tidak adanya keluhan persepsi klien seperti
bagian tubuh yang tidak disukai pada seseorang.
2) Identitas diri
Klien gangguan jiwa dengan masalah perilaku
kekerasan biasanya berasal dari anggota masyarakat atau
keluarga. Interaksi yang terjadi antara klien dengan
keluarga maupun masyarakat sekitar tidak efektif dan
tidak berjalan dengan baik sehingga klien tidak merasa
puas akan status ataupun posisi yang dimilikinya.
3) Peran diri
30
Biasanya klien gangguan jiwa dengan perilaku
kekerasan tidak mampu melakukan tugas dan perannya
secara baik sebagai anggota dalam masyarakat.
4) Ideal diri
Biasanya klien gangguan jiwa dengan perilaku
kekerasan selalu ingin diperlakukan baik oleh keluarga
maupun masyarakat setempat, sehingga ia dapat
melakukan tugas dan perannya dengan baik.
5) Harga diri
Biasanya klien gangguan jiwa dengan perilaku
kekerasan mempunyai hubungan yang tidak baik bersama
orang lain sehingga klien merasa bahwa dirinya dikucilkan
dengan keluarga maupun orang-orang disekitarnya.
6) Hubungan sosial
Klien gangguan jiwa khususnya dengan masalah
perilaku kekerasan mempunyai masalah dalam
bersosialisasi. Seperti menarik diri, pendiam, mempunyai
rasa curiga yang tinggi, dan berperilaku kasar.
7) Spiritual
a. Nilai keyakinan
Klien melakukan ibadah dengan agama yang
kepercayaannya.
b. Kegiatan ibadah
31
Klien dengan perilaku kekerasan jarang melakukan
ibadah sesuai kepercyaannya.
8) Status mental
Penampilan klien tidak rapi, rambut berantakan, bau
badan, bau mulut, dan gigi terlihat kotor.
9) Pembicaraan
Klien berbicara lebih cepat, suara bernada tinggi dan keras
atau berteriak.
10) Aktivitas motorik
Klien kelihatan gelisah, berjalan tanpa arah disertai tangan
mengepal, graham mengatup, mata melotot, dan
kemerahan.
11) Alam perasaan
Klien terkadang terlihat sedih, gembira yang berlebihan,
atau terkadang terlihat marah tanpa diketahui penyebabnya
dan merasa putus asa.
12) Proses pikir
Saat klien berbicara tiba-tiba terhentiitu bisa dikarenakan
emosi yang meningkat tanpa ada gangguan eksternal.
13) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran klien perilaku kekerasan yaitu
stupor dengan gangguan motorik seperti kekakuan,
melakukan kegiatan yang sering diulangi, serta klien
terlihat kacau.
32
14) Memori
Klien dengan kondisi ini biasanya mempunyai
memori yang konfabulasi misalnya berbicara tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada untuk menutupi gangguan
jiwa yang dialaminya.
15) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien tidak dapat berkonsentrasi dan berhitung
dengan baik. Seperti klien selalu meminta agar pernyataan
yang diberikan untuk diulang kembali serta klien tidak
mampu menjelaskan kembali apa yang dibicarakan.
16) Kebutuhan persiapan pulang
a) Makan
Klien makan 3 kali sehari dengan porsi lauk pauk,
nasi, sayur, buah.
b) BAB atau BAK
Klien menggunakan toilet yang telah disediakan untuk
BAB BAK dan membersihkannya kembali.
c) Mandi
Klien mandi 2 kali sehari, membersihkan rambut 2
kali sehari, dan menggososk gigi.
d) Berpakaian
Klien akan mengganti pakaiannya setelah selesai
mandi pagi dan sore.
e) Istirahat tidur
33
Klien tidur siang ≤ 1-2 jam dan tidur malam ≤ 8-9
jam.
f) Penggunaan obat
Klien minum obat 3x sehari dengan obat oral. Reaksi
klien stelah minum obat merasa tenang dan tidur
nyenyak.
g) Pemeliharaan kesehatan
Klien melanjutkan terapinya dengan dukungan
keluarga dan orang-orang disekitar.
h) Kegiatan didalam rumah
Klien dapat melakukan kegiatan sehari- hari seperti
merapikan tempat tidur.
i) Kegiatan diluar rumah
Klien dapat melakukan aktivitas di luar rumah secara
mandiri.
17) Mekanisme koping
Mekanisme koping yang umum digunakan pada
penderita gangguan jiwa dengan masalah perilaku
kekerasan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
displacement, sublimasi, proyeksi, represi, denial, dan
reaksi formasi.
18) Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan adalah:
a) Menyerang atau menghindar (fight or flight)
34
Pada kondisi ini, respon fisiologis timbul karena
adanya reaksi saraf otonom terhadap sekresi
ephineprin yang menyebabkan tekanan darah dan
denyut nadi meningkat, wajah merah, peningkatan
pengeluaran saliva, kewaspadaan meningkat disertai
ketegangan otot, rahang terkatup, tangan mengepal,
tangan menjadi kaku, dan disertai reflek yang cepat
(Prabowo, 2014).\
b) Asertif (Assertiveness)
Perilaku asertif merupakan cara yang terbaik
untuk mengekspresikan rasa marah tanpa menyakiti
orang lain secara fisik maupun psikologis serta dapat
mengembangkan diri klien.
c) Memberontak (Acting Out)
Perilaku yang muncul disertai dengan kekerasan
akibat konflik perilaku “acting out” agar menarik
perhatian orang lain.
d) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan
pada diri sendiri atau orang lain.
2.2.2 Diagnosa keperawatan
35
Menurut (Ahmad Yusuf, 2015) diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul pada klien dengan risiko perilaku kekerasan adalah:
1. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain.
2. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan.
3. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
4. Isolasi sosial berhubungan dengan koping individu inefekif.
2.2.3 Pathway
Gambar 2.2 Patofisiologi risiko perilaku kekerasan (Ahmad Yusuf, 2015).
Perilaku kekerasan Core Problem
Gangguan konsep diri : harga
diri rendah Causa
Risiko mencederai diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan Effect
36
2.2.4 Perencanaan Intervensi Pada Pasien Skizofrenia Dengan Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan
Perencanaan
Tujuan (TUM/TUK) Kriteria hasil Intervensi
TUM :
Klien tidak melakukan
tindakan kekerasan
TUK:
1. Klien dapat membina
hubungan saling
percaya
Setelah 3 X pertemuan
klien menunjukkan
tanda-tanda percaya
kepada perawat:
a. Wajah cerah,
tersenyum
b. Mau berkenalan
c. Ada kontak mata
d. Bersedia
menceritakan
perasaan
Bina hubungan saling
percaya dengan:
a. Beri salam setiap
berinteraksi.
b. Perkenalkan nama,
nama panggilan
perawat dan tujuan
perawat berinteraksi
c. Tanyakan dan
panggil nama
kesukaan klien
d. Tunjukkan sikap
empati, jujur dan
menepati janji setiap
kali berinteraksi
e. Tanyakan perasaan
klien dan masalah
yang dihadapi klien
f. Buat kontrak
interaksi yang jelas
g. Dengarkan dengan
penuh perhatian
ungkapan perasaan
klien
2. Klien dapat
mengidentifikasi
Setelah 3 X pertemuan
klien menceritakan
a. Bantu klien
mengungkapkan
37
penyebab kekerasan
yang dilakukannya
penyebab perilaku
kekerasan yang
dilakukannya:
a. Menceritakan
penyebab perasaan
jengkel/ kesal baik
dari diri sendiri
maupun
lingkungannya
perasaan marahnya:
b. Motivasi klien
untuk menceritakan
penyebab rasa kesal
atau jengkelnya
c. Dengarkan tanpa
menyela atau
memberi penilaian
setiap ungkapan
perasaan klien
3. Klien dapat
mengidentifikasi
tanda-tanda perilaku
kekerasan
Setelah 3 X pertemuan
klien menceritakan
tanda-tanda saat terjadi
perilaku kekerasan
a. Tanda fisik: mata
merah, tangan
mengepal, ekspresi
tegang, dan lain-
lain.
b. Tanda emosional:
perasaan marah,
jengkel, bicara
kasar.
c. Tanda sosial:
bermusuhan yang
dialami saat terjadi
perilaku kekerasan.
Bantu klien
mengungkapkan tanda-
tanda perilaku kekerasan
yang dialaminya:
a. Motivasi klien
menceritakan
kondisi fisik (tanda-
tanda fisik) saat
perilaku kekerasan
terjadi
b. Motivasi klien
menceritakan
kondisi emosinya
(tanda-tanda
emosional) saat
terjadi perilaku
kekerasan
c. Motivasi klien
menceritakan
kondisi hubungan
dengan orang lain
(tanda-tanda sosial)
saat terjadi perilaku
kekerasan
4. Klien dapat
mengidentifikasi jenis
perilaku kekerasan
yang pernah
dilakukan.
Setelah 3 X pertemuan
klien menjelaskan:
a. Jenis-jenis ekspresi
kemarahan yang
selama ini telah
dilakukannya
b. berasaannya saat
melakukan
kekerasan
c. Efektivitas cara
yang dipakai dalam
menyelesaikan
masalah
Diskusikan dengan klien
perilaku kekerasan yang
dilakukannya selama ini:
a. Motivasi klien
menceritakan jenis-
jenis tindak
kekerasan yang
selama ini pernah
dilakukannya.
b. Motivasi klien
menceritakan
perasaan klien
setelah tindak
38
kekerasan tersebut
terjadi
c. Diskusikan apakah
dengan tindak
kekerasan yang
dilakukannya
masalah yang
dialami teratasi.
5. Klien dapat
mengidentifikasi
akibat perilaku
kekerasan
Setelah 3 X pertemuan
klien menjelaskan akibat
tindak kekerasan yang
dilakukannya
a. Diri sendiri: luka,
dijauhi teman, dll
b. Orang
lain/keluarga: luka,
tersinggung,
ketakutan, dll
c. Lingkungan: barang
atau benda rusak dll
Diskusikan dengan klien
akibat negatif (kerugian)
cara yang dilakukan
pada:
a. Diri sendiri
b. Orang lain/keluarga
c. Lingkungan
6. Klien dapat
mengidentifikasi cara
mengontrol
kemarahan.
Setelah 3 X pertemuan
klien:
a. Menjelaskan cara-
cara sehat
mengungkapkan
marah
Diskusikan dengan klien:
a. Apakah klien mau
mempelajari cara
baru mengungkapkan
marah yang sehat
b. Jelaskan berbagai
alternatif pilihan
untuk
mengungkapkan
marah selain perilaku
kekerasan yang
diketahui klien.
c. Jelaskan cara-cara
sehat untuk
mengungkapkan
marah:
1) Cara fisik: nafas
dalam, pukul
bantal atau kasur.
2) Verbal:
mengungkapkan,
menolak, dan
meminta dengan
cara yang baik.
3) Sosial: latihan
asertif dengan
orang lain.
4) Spiritual: sholat
39
doa, zikir, dsb
sesuai keyakinan
agamanya
masing-masing
7. Klien menggunakan
obat sesuai program
yang telah ditetapkan
Setelah 3 X pertemuan
klien menjelaskan:
a. Manfaat minum
obat
b. Kerugian tidak
minum obat
c. Nama obat
d. Bentuk dan warna
obat
e. Dosis yang
diberikan
kepadanya
f. Waktu pemakaian
g. Cara pemakaian
h. Efek yang
dirasakan
1. Jelaskan manfaat
menggunakan obat
secara teratur dan
kerugian jika tidak
menggunakan obat
2. Jelaskan kepada klien:
a. Jenis obat (nama,
warna dan bentuk
obat)
b. Dosis yang tepat
untuk klien
c. Waktu pemakaian
d. Cara pemakaian
e. Efek yang akan
dirasakan klien
3. Anjurkan klien:
a. Minta dan tepat
waktu
b. Lapor ke
perawat/dokter
jika mengalami
efek yang tidak
biasa
c. Beri pujian
terhadap
kedisiplinan klien
menggunakan obat
menggunakan
obat.
Tabel 2.1 Intervensi pada pasien Skizofrenia dengan masalah keperawatan
RisikoPerilaku Kekerasan (Nurhalimah, 2016).
40
2.2.5 Perencanaan (Intervensi) Keperawatan
Sedangkan ntervensi yang dapat dilakukan pada pasien skizofrenia dengan
risiko perilaku kekerasan menurut SDKI SLKI SIKI yaitu sebagai berikut:
Diagnosa
keperawatan
Standar Keperawatan (SLKI) Standar Keperawatan
(SIKI)
Risiko perilaku
kekerasan terhadap
diri sendiri atau
orang lain.
Definisi:
Risiko perilaku
kekerasan adalah
berisiko
membahayakan
secara fisik, emosi,
atau seksual pada
diri sendiri, dan
orang lain.
SLKI:
Setelah dilakukan tindakan
asuhan keperawatan selama 3x
pertemuan diharapkan risiko
perilaku kekerasan dapat
berkurang.
Dengan kriteria hasil:
1. Mampu mengontrol diri.
2. Dapat mengidentifikasi
makna marah, fungsi
marah, frustasi, dan
bagaimana respon marah.
3. Verbalisasi ancaman
kepada orang lain.
4. Verbalisasi umpatan.
5. Perilaku menyerang.
6. Perilaku melukai diri
sendiri atau orang lain.
7. Perilaku merusak
lingkungan sekitar.
8. Perilaku agresif atau
amuk.
9. Bicara ketus.
SIKI:
Observasi:
1. Pencegahan perilaku
kekerasan.
2. Monitor adanya benda
yang berpotensi
membahayakan seperti
tali, benda-benda
tajam.
3. Monitor keamanan
barang yang dibawa
oleh pengunjung.
4. Monitor selama
penggunaan barang
yang membahayakan
misalnya pisau cukur.
Terapeutik:
1. Menggunakan
pendekatan yang
tenang dan
meyakinkan.
2. Pertahankan
lingkungan bebas dari
bahaya secara rutin.
3. Libatkan keluarga
terdekatseperti Ayah
atau Ibu dalam
perawatan.
Edukasi:
1. Menjelaskan makna
marah, fungsi marah,
frustasi, respon marah.
2. Anjurkan pengunjung
dan keluarga untuk
mendukung
keselamatan pasien.
41
3. Latih cara
mengungkapkan
perasaan secara asertif.
4. Latih mengurangi
kemarahan secara
verbal dan nonverbal
misalnya, relaksasi atau
bercerita.
Tabel 2.2 Intervensi pada pasien Skizofrenia dengan masalah
keperawatanRisikoPerilaku Kekerasan. (SDKI, SLKI &SIKI, 2016)
2.2.6 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah fase dimana mengaplikasikan rencana
keperawatan pada klien dalam bentuk kegiatan yang komprehensif
(Vaughans, 2013). Menurut (Nursalam, 2009 dalam Ida, 2019),
pelaksanaan yaitu rencana tindakan yang dilakukan untuk mencapai
dari tujuan dan kriteria hasil yang telah dibuat. Tahap pelaksanaan ini
terdiri dari tindakan mandiri dan kolaborasi yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi koping. Pelaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita
skizofrenia dengan masalah risiko perilaku kekerasan yaitu dengan
menggunakan cara strategi pelaksanaan 1 pada pasien resiko perilaku
kekerasan jika berhasil maka boleh untuk melanjutkan strategi
pelaksanaan 2, 3, dan 4.Adapun Strategi pelaksanaan pada pasien resiko
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
SP 1 Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab
marah atau jengkel, identifikasi tanda dan gejala yang
dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibat
melakukan kekerasan, dan cara mengontrol perilaku kekerasan
secara fisik 1 .
SP 2 Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik ke-2.
a. Evaluasi latihan nafas dalam, pukul bantal dan kasur.
b. Latih secara fisik ke-2: Patuh minum obat secara teratur
dengan prinsip lima benar (benar nama pasien, benar nama
42
obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan
benar dosis obat).
c. Susun jadwal kegiatan harian cara kedua
SP 3 Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal:
a Evaluasi jadwal harian untuk dua cara fisik (tarik nafas
dalam, pukul bantal atau kasur, dan patuh minum obat).
b Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak,
meminta, dan mengungkapkan perasaan dengan baik.
c Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
SP 4 Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
a Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan
secara fisik, patuh minum obat, dan sosial/verbal
b Latihan sholat, berdoa, berdzikir sesuai dengan keyakinan
masing-masing.
c Buat jadwal latihan sholat/berdoa
Tabel 2.3. Strategi Pelaksanaan pada pasien Skizofrenia dengan masalah
keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan (Nurhalimah, 2016).
2.2.7 Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan penilaian keberhasilan asuhan
keperawatan yang diberikan pada klien berdasarkan tujuan yang dicapai
(Vaughans, 2013). Menurut Tarwoto & Wartonah (2011), evaluasi
dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Evaluasi proses (formatif) yang dilakukan setiap selesai
menyelesaikan tindakan keperawatan. Evaluasi ini menggunakan
format SO (Subjektif, Objektif).
2. Evaluasi hasil (sumatif) yang dilakukan dengan cara
memebandingkan respon klien dengan tujuan yang telah ditentukan.
Evaluasi hasil menggunakan format SOAP (Subjektif, Objektif,
Analisis, Perencanaan).
S: Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan.
43
O: Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan.
A:Analisis ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih ada atau muncul masalah baru.
P: Perencanaan tindak lanjut pasien berdasarkan hasil analisis diatas yang
berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila masalah belum
teratasi. Yang diharapkan dari implementasi yang dilakukan adalah klien
dapat mengontrol diri, verbalisasi ancaman kepada orang lain, perilaku
menyerang maupun perilaku melukai diri sendiri atau orang lain.
44
2.2.8 Hubungan Antar Konsep
Keterangan:
: Konsep yang utama ditelaah
: Tidak ditelaah dengan baik
: Berpengaruh
: Sebab akibat
: Berhubungan
Gambar 2.3. Hubungan antar konsep risiko perilaku kekerasan.
Skizofrenia Merupakan gangguan psikis yang
ditandai dengan penyimpangan realitas,
penarikan diri dari interaksi sosial, serta
disorganisasi persepsi, pikiran, dan
kognitif.
Resiko perilaku kekerasan
Pengkajian
Skizofrenia dengan resiko
perilaku kekerasan
Intervensi
1. Menjelaskan makna marah, fungsi marah,
frustasi, respon marah.
2. Menggunakan pendekatan yang tenang
dan meyakinkan.
3. Mengungkapkan isi hati.
4. Pencegahan perilaku kekerasan.
5. Monitor adanya benda yang berpotensi
membahayakan diri seperti tali atau
benda-benda tajam.
6. Latih cara mengungkapkan perasaan
secara asertif.
7. Latih mengurangi kemarahan secara
verbal dan nonverbal seperti bercerita atau
relaksasi.
8. Kolaborasi pemberian obat.
Evaluasi
Yang diharapkan dari
implementasi yang
dilakukan adalah klien
dapat mengontrol diri.
Implementasi
Dilakukan berdasarkan intervensi
keperawatan seperti menyegah perilaku
kekerasan,menggunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan, latih cara
mengungkapkan perasaan secara asertif.
Faktor resiko:
1. Pemikiran waham atau delusi.
2. Curiga pada orang lain.
3. Halusinasi.
4. Berencana bunuh diri.
5. Disfungsi sistem keluarga.
6. Kerusakan kognitif.
7. Disorientasi atau konfusi.
8. Kerusakan kontrol implus.
9. Persepsi pada lingkungan
tidak akurat.
10. Alam perasaan depresi.
11. Kelainan neurologis.
12. Lingkungan tidak teratur.
13. Riwayat atau ancaman
kekerasan terhadap diri
sendiri atau orang lain atau
destruksi properti orang lain.