26
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Perilaku Antisosial 1.1 Pengertian Perilaku Antisosial Penderita antisocial personality disorder (perilaku antisosial) adalah orang- orang paling dramatik atau orang yang menunjukkan sifat-sifat yang ada dalam dirinya secara berlebihan yang ditemui klinisi dalam praktiknya. Mereka ditandai oleh adanya riwayat tidak mau mematuhi norma-norma sosial. Mereka melakukan tindakan-tindakan yang bagi kebanyakan orang tidak dapat diterima. Individu- individu dengan gangguan kepribadian antisosial cenderung memiliki riwayat panjang untuk pelanggaran hak-hak orang lain (Widiger dan Corbitt, 1995). Robert Hare mendeskripsikan mereka sebagai “predator sosial yang menawan hati, memanipulasi, dan menerjang apa saja dengan kejam dalam menjalani kehidupannya. Sama sekali tidak memiliki hati nurani dan empati, mereka dengan semena-mena mengambil apa saja yang mereka inginkan dan melakukan apa saja yang mereka senangi, melanggar norma-norma dan ekspektansi sosial tanpa secuil pun rasa bersalah atau penyesalan” (Hare, 1993). Remaja sering dideskripsikan agresif karena mengambil apa saja yang mereka inginkan, tanpa peduli persaan orang lain. Mereka sering tidak melihat perbedaan antara kebenaran dan kebohongan ucapannya demi mencapai tujuannya. Mereka tidak menunjukkan penyesalan atau peduli pada efek-efek tindakannya yang kadang-kadang sangat merusak. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Perilaku Antisosial 1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/54725/4/Chapter II.pdf · Munculnya tingkah laku antisosial di usia dini berhubungan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perilaku Antisosial

1.1 Pengertian Perilaku Antisosial

Penderita antisocial personality disorder (perilaku antisosial) adalah orang-

orang paling dramatik atau orang yang menunjukkan sifat-sifat yang ada dalam

dirinya secara berlebihan yang ditemui klinisi dalam praktiknya. Mereka ditandai

oleh adanya riwayat tidak mau mematuhi norma-norma sosial. Mereka melakukan

tindakan-tindakan yang bagi kebanyakan orang tidak dapat diterima. Individu-

individu dengan gangguan kepribadian antisosial cenderung memiliki riwayat

panjang untuk pelanggaran hak-hak orang lain (Widiger dan Corbitt, 1995).

Robert Hare mendeskripsikan mereka sebagai “predator sosial yang menawan

hati, memanipulasi, dan menerjang apa saja dengan kejam dalam menjalani

kehidupannya. Sama sekali tidak memiliki hati nurani dan empati, mereka dengan

semena-mena mengambil apa saja yang mereka inginkan dan melakukan apa saja

yang mereka senangi, melanggar norma-norma dan ekspektansi sosial tanpa secuil

pun rasa bersalah atau penyesalan” (Hare, 1993).

Remaja sering dideskripsikan agresif karena mengambil apa saja yang mereka

inginkan, tanpa peduli persaan orang lain. Mereka sering tidak melihat perbedaan

antara kebenaran dan kebohongan ucapannya demi mencapai tujuannya. Mereka

tidak menunjukkan penyesalan atau peduli pada efek-efek tindakannya yang

kadang-kadang sangat merusak.

Universitas Sumatera Utara

Orang dengan perilaku antisosial (Antisocial Personal Disorder) secara

persisten melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering

melanggar hukum. Mereka mengabaikan norma dan konvensi sosial, impulsive,

serta gagal membina komitmen interpersonal dan pekerjaan. Walaupun

perempuan lebih cenderung untuk mengembangkan gangguan kecemasan dan

depresi dibandingkan laki-laki, laki-laki lebih cenderung menerima diagnosis

gangguan perilaku antisosial dibandingkan perempuan (Robins, Locke, & Reiger,

1991) dalam Nevid, dkk 2005.

Perilaku antisosial seringkali disebut kepribadian psikopatik yaitu, tampak

hanya sedikit sekali mempunyai rasa tanggung jawab, moralitas, atau perhatian

pada orang lain. Perilaku hampir seluruhnya ditentukan oleh kepentingan mereka

sendiri (Rahmat, 2009).

Para penderita gangguan ini memiliki ciri berikut : perkembangan moral

mereka terhambat; mereka tidak mampu mencontoh perbuatan-perbuatan yang

diterima masyarakat (socially desirable behavior); kurang dapat bergaul dan

kurang tersosialisasi, dalam arti tidak mampu mengembangkan kesetiaan pada

orang, kelompok, maupun nilai-nilai sosial yang berlaku, maka mereka sering

bentrok dengan masyarakat (Supratiknya, 1995).

Individu dengan perilaku antisosial biasanya secara terus menerus melakukan

tingkah laku kriminal atau antisosial, namun tingkah laku ini tidak sama dengan

kriminalitas. Gangguan perilaku ini lebih menekankan pada ketidakmampuan

individu untuk mengikuti norma-norma sosial yang ada selama perkembangan

remaja dan dewasa (Sukarlan, 2005).

Universitas Sumatera Utara

1.2 Kriteria Perilaku Antisosial

Fitur-fitur gangguan perilaku antisosial (Durand, 2006) meliputi :

• Berumur paling sedikit 18 tahun dan telah menunjukkan pola pervasif dari

sikap tidak peduli dan pelanggaran hak-hak orang lain sejak umur 15

tahun.

• Tidak mematuhi norma-norma sosial, terbukti dari tindakan-tindakan

melanggar hukum yang dilakukannya.

• Suka memperdaya orang lain, termasuk berbohong, menggunakan nama-

nama alias, atau menipu orang lain untuk memperoleh keuntungan atau

kesenangan

• Impulsivitas atau tidak mampu membuat rencana kedepan.

• Iritabilitas atau agresivitas seperti sering ditunjukkan oleh seringnya

berkelahi atau melakukan penyerangan.

• Tidak peduli pada keselamatan orang lain.

• Secara konsisten tidak bertanggung jawab dalam pekerjaan atau dalam

membayar tagihan.

• Tidak menyesal karena telah menyakiti orang lain.

• Ada tanda gangguan yang muncul sebelum umur 15 tahun.

• Tidak muncul secara ekslusif selama perkembangan skizofrenia atau

selama episode manik.

Universitas Sumatera Utara

Ciri-ciri diagnostik dari gangguan perilaku antisosial dalam (Nevid, 2003) :

a. Paling tidak berusia 18 tahun

b. Ada bukti gangguan perilaku sebelum usia 15 tahun, ditunjukkan dengan

pola perilaku seperti membolos, kabur, memulai perkelahian fisik,

menggunakan senjata, memaksa seseorang untuk melakukan aktivitas

seksual, kekejaman fisik pada seseorang atau pada binatang, merusak atau

membakar bangunan secara sengaja, berbohong, mencuri atau merampok.

c. Sejak usia 15 tahun menunjukkan kepedulian yang kurang dan

pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, yang ditunjukkan oleh perilaku

sebagai berikut:

1) Kurang patuh terhadap norma sosial dan peraturan hukum,

ditunjukkan dengan perilaku melanggar hukum yang dapat atau

tidak dapat mengakibatkan penahanan, seperti merusak bangunan,

terlibat dalam pekerjaan yang bertentangan dengan hukum,

mencuri atau menganiaya orang lain.

2) Agresif dan sangat mudah tersinggung saat berhubungan dengan

orang lain, ditunjukkan dengan terlibat dalam perkelahian fisik dan

menyerang orang lain secara berulang, mungkin termasuk

penganiayaan terhadap pasangan atau anak-anak.

3) Secara konsisten tidak bertanggung jawab, ditunjukkan dengan

kegagalan memepertahankan pekerjaan karena ketidakhadiran

berulang kali, keterlambatan, mengabaikan kesempatan kerja atau

memperpanjang periode pengangguran meski ada kesempatan

Universitas Sumatera Utara

kerja, dan kegagalan untuk mematuhi tanggung jawab keuangan

seperti gagal membiayai anak atau membayar hutang dan atau

kurang dapat bertahan dalam hubungan monogami.

4) Gagal membuat perencanaan masa depan atau impulsivitas, seperti

ditunjukkan oleh perilaku berjalan-jalan tanpa pekerjaan atau

tujuan yang jelas.

5) Tidak menghormati kebenaran, ditunjukkan dengan berulang kali

berbohong, memperdaya, atau menggunakan orang lain untuk

mencapai tujuan pribadi atau kesenangan.

6) Tidak menghargai keselamatan diri sendiri atau keselamatan orang

lain, ditunjukkan dengan berkendaraan saat mabuk atau berulang

kali mengebut.

7) Kurangnya penyesalan atas kesalahan yang dibuat, ditunjukkan

dengan ketidakpedulian akan kesulitan akan kesulitan yang

ditimbulkan pada orang lain, dan atau membuat alas an untuk

kesulitan tersebut

1.3 Faktor- faktor penyebab perilaku antisosial

(Nolen, 2007) menyebutkan faktor penyebab perilaku antisosial adalah

a. Kelainan genetik

Faktor genetik berpengaruh terhadap perilaku antisosial

b. Testosteron

Universitas Sumatera Utara

Sikap agresif dihubungkan dengan tingginya kadar testosteron,

kemungkinan lain dari tingginya kadar testosteron berpengaruh pada

perkembangan otak fetal yang akan mendukung terjadinya agresivisme.

c. Serotonin

Rendahnya kadar serotonin menyebabkan sikap impulsif.

d. Attention deficit/hyperactivity disorder

Anak-anak yang memiliki gangguan ini akan berkembang menjadi

perilaku antisosial dengan respon penolakan norma sosial dan

hukuman.

e. Fungsi eksekutif

Penderita gangguan perilaku antisosial mengalami defisit pada bagian

otak yang melibatkan fungsi eksekusi (perencanaan perilaku dan

pengontrolan diri)

f. Arousability

Rendahnya tingkat kecemasan menyebabkan tidak takut akan situasi

bahaya yang akan menyebabkan perilaku antisosial.

g. Faktor sosial kognitif

Anak dengan kecenderungan antisosial memiliki orangtua yang keras

dan sembrono, dan anak mengartikan situasi interpersonal ini sebagai

jalan yang mendukung sikap agresif.

Menurut (Nasir, A. & Muhith, A. , 2011) penyebab perilaku antisosial ini

berkaitan dengan peran keluarga. Kurangnya afeksi dan penolakan berat orangtua

merupakan penyebab utama perilaku antisosial. Selain itu juga disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

tidak konsistennya orangtua dalam mendisiplinkan anak dan dalam mengajarkan

tanggung jawab terhadap orang lain. Orangtua yang sering melakukan kekerasan

fisik terhadap anaknya dapat menyebabkan gangguan ini. Gangguan ini juga dapat

disebabkan karena kehilangan orangtua. Selain itu, ayah dari penderita antisosial

kemungkinan memiliki perilaku antisosial. Faktor lingkungan di sekitar individu

yang buruk juga dapat menyebabkan gangguan ini.

Menurut teori biologis, gangguan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu

sebagai berikut:

1. Kelebihan kromosom Y(laki-laki), menyebabkan pola XYY bukan XY

yang normal pada kromosom 23, tetapi teori ini tidak diterima.

2. Testosteron menjadi penyebab agresivitas laki-laki.

3. Adanya keabnormalan pada otak.

4. Karena kurang belajar dan perhatian yang neuropsikologis.

5. Karena faktor keturunan.

Sementara itu menurut teori psikologis, gangguan ini disebabkan oleh hal-hal

berikut:

1. Kondisi keluarga yang tidak harmonis dan ketidakkonsistenan dalam

pengasuhan anak.

2. Orangtua yang terlalu permisif dan kurang memperhatikan perilaku anak

yang tidak benar.

3. Orangtua yang tidak menunjukkan afeksi.

4. Pendidikan yang didapat kurang memadai.

Universitas Sumatera Utara

5. Adanya pendapat bahwa antisosial datang dari semua kelas sosial yang

ayahnya antisosial (Nasir, A. & Muhith, A. , 2011).

1.3.1 Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial terkait dengan

kecenderungan kenakalan remaja (Sumiati, 2009) :

a. Identitas

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson, masa

remaja ada pada tahap dimana krisis identitas versus difusi identitas harus

diatasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua

bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya

perasaan akan konsistensi dalam kehidupan dan (2) tercapainya identitas

peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai,

kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut

dari remaja.

Erikson percaya bahwa deliquensi pada remaja terutama ditandai dengan

kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan

aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki

masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka

dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat

mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada

mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negative.

Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak

Universitas Sumatera Utara

kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya

untuk membentuk suatu identitas walaupun identitas tersebut negatif.

b. Kontrol diri

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk

mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.

Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial

yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan

remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat

diterima dan tingkah laku yang tidak dapat, namun remaja yang

melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal

membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat

diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan

antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai

dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku

mereka. Hasil penelitian yang dilakukan Santrok (1996) menunjukkan

bahwa ternyata kontrol diri mempunyai diri mempunyai peranan penting

dalam kenakalan remaja.

Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi

yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan

dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki

keterampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada

menurunnya tingkat kenakalan remaja.

Universitas Sumatera Utara

c. Usia

Munculnya tingkah laku antisosial di usia dini berhubungan dengan

penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua

anak yang bertingkah laku seperti hasil penelitian dari McCord(Kartono,

2003) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja

nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya.

d. Jenis Kelamin

Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial daripada

perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya

jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang

diperkirakan 50 kali lipat daripada geng remaja perempuan.

e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang

rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah

tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai

mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai

motivasi untuk sekolah. Umumnya remaja ini memiliki intelektual dan

prestasi yang rendah.

f. Proses Keluarga

Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.

Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua

terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif dapat

menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Sikap orang tua yang terlalu

Universitas Sumatera Utara

memanjakan anak dapat mempengaruhi anak menjadi nakal,karena

kebiasaan orang tua yang selalu mengabulkan permintaan anaknya. Sikap

orang tua yang kurang memberi kasih sayang, juga akan mengakibatkan

anak sering melakukan tingkah laku yang menyimpang dari aturan-aturan

dan menentang orang tua, karena anak ingin mendapatkan perhatian dari

orang tuanya. Pola asuh yang tak konsisten, kadang permisif, kadang

otoriter secara tidak langsung melatih anak menjadi antisosial. Orangtua

sekarang bilang boleh besok tidak boleh tanpa alasan jelas. Akibatnya

anak akan membuat rencana sendiri untuk mengelabui orangtuanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekanya (dalam

Santrock, 1996) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak

memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak

efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam

menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga

atau stres yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan.

Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja,

meskipun persentasenya tidak begitu besar.

g. Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan

resiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock

(1996) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak

melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang

Universitas Sumatera Utara

lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan regular dengan teman

sebaya yang melakukan kenakalan.

Kelompok teman sebaya memberi pengaruh pada sikap, pembicaraan,

minat maupun tingkah laku anak, kadang-kadang lebih besar daripada

pengaruh keluarga. Anak dan remaja biasanya akan selalu berusaha

memenuhi aturan-aturan kelompok agar tetap dapat diterima di kelompok

sebayanya. Hal ini dilakukan hanya karena alasan solidaritas atau

kesetiakawanan serta kekompakan.

h. Kelas sosial ekonomi

Adanya kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari

kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah

remaja nakal diantara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan

daerah yang memiliki banyak privilege diperkirakan 50:1 (Kartono, 2003).

Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas social rendah

untuk mengembangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat.

Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian

dan status dengan cara melakukan tindakan antisocial. Menjadi “tangguh”

dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas

social yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh

keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan

diri setelah melakukan kenakalan.

Universitas Sumatera Utara

i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan

remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan

remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan

memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka.

Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran,

dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Remaja yang hidup di

atas binaan orang-orang jahat (lingkungan preman, bandar narkoba,

perampok dan lain-lain) juga dapat menimbulkan perilaku antisosial.

Selain itu, lingkungan masyarakat yang kurang menentu bagi prospek

kehidupan yang akan datang, seperti masyarakat yang penuh spekulasi,

korupsi, manipulasi, gossip, isu-isu negatif, perbedaan yang terlalu

mencolok antara sikaya dan simiskin, perbedaan kultur, ras dan adat. Bisa

juga karena memang mereka.

2. Remaja

2.1 Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa

dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia

11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu menjelang masa dewasa muda

(Soetjiningsih, 2004). Di dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak, pengertian

remaja adalah individu yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah dan

dalam Undang-Undang Perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai

Universitas Sumatera Utara

umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat untuk tinggal.

Hampir sama dengan isi UU Perkawinan No 1 tahun 1974, anak dianggap sudah

remaja apabila cukup matang untuk menikah, yaitu umur 16 tahun untuk anak

perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.. WHO mendefenisikan remaja lebih

bersifat konseptual, ada tiga kriteria yaitu biologis, psikologik, dan sosial

ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap berbunyi

sebagai berikut:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi

dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh

kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sumiati dkk, 2009).

Santrock (2003) memberikan batasan usia remaja terdiri dari masa remaja awal

(10-14 tahun), masa remaja pertengahan (15-16 tahun) dan masa remaja akhir (17-

17 tahun).

2.2 Karakteristik Masa Remaja

Karakteristik perkembangan normal yang terjadi pada remaja dalam

menjalankan tugas perkembangannya dalam mencapai identitas diri antara lain

menilai diri secara objektif dan merencanakan untuk mengaktualisasikan

kemampuannya. Dengan demikian pada fase ini, seorang remaja akan :

a. Menilai rasa identitas pribadi

b. Meningkatkan minat pada lawan jenis

Universitas Sumatera Utara

c. Menggabungkan perubahan seks sekunder ke dalam citra tubuh

d. Memulai perumusan tujuan okupasional

e. Memulai pemisahan diri dari otoritas keluarga

Hurlock(1994) mengemukakan berbagai ciri dari remaja, diantaranya adalah:

a. Masa remaja adalah masa peralihan

Yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya

secara berkesinambungan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan

juga bukan seorang dewasa dan merupakan masa yang sangat strategis, karena

memberi waktu kepada remaja untuk membentuk gaya hidup dan menentukan

pola perilaku, nilai-nilai dan sifat-sifat yang sesuai dengan yang diinginkannya.

b. Masa remaja adalah masa terjadi perubahan

Perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga

berkembang. Ada empat perubahan besar yang terjadi pada remaja, yaitu

perubahan emosi, perubahan peran dan minat, perubahan pola perilaku dan

perubahan sikap menjadi ambivalen.

c. Masa remaja adalah masa yang banyak masalah

Masa remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Hal ini terjadi

karena tidak terbiasanya remaja menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa

meminta bantuan orang lain sehingga kadang-kadang terjadi penyelesaian yang

tidak sesuai dengan yang diharapkan.

d. Masa remaja adalah masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari remaja adalah berupa kejelasan siapa dirinya dan apa

peran dirinya di masyarakat. Remaja tidak puas dirinya sama dengan

Universitas Sumatera Utara

kebanyakan orang. Ia ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu,

sementara pada saat yang sama ia ingin mempertahankan dirinya terhadap

kelompok sebaya.

e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan

Stigma dari masyarakat bahwa remaja adalah anak yang tidak rapi, tidak dapat

dipercaya, cenderung berperilaku merusak sehingga menyebabkan orang

dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Dengan adanya

stigma ini akan membuat masa peralihan remaja ke dewasa menjadi sulit,

karena peran orangtua yang memiliki pandangan seperti ini akan mencurigai

dan menimbulkan pertentangan antara orangtua dengan remaja serta membuat

jarak diantara keluarga.

f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamatanya sendiri, baik

dalam melihat dirinya maupun melihat orang lain, mereka belum melihat apa

adanya, tetapi menginginkan sebagaimana yang diharapkan.

g. Masa remaja adalah ambang masa dewasa

Usia belasan yang terus berjalan, membuat remaja semakin matang

berkembang dan berusaha memberi kesan seseorang yang hampir dewasa. Ia

akan memusatkan dirinya pada perilaku yang dihubungkan dengan status orang

dewasa, misalnya dalam berpakaian dan bertindak.

Universitas Sumatera Utara

3. Perubahan Pada Remaja

3.1 Perubahan Fisik

Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan aspek fisiologis, di

masa remaja kelenjar hipofise menjadi masak dan mengeluarkan beberapa

hormone gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat pematangan sel telur dan

sperma, serta mempengaruhi produksi hormone kortikotrop berfungsi

mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosterone, estrogen, dan suprenalis yang

mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan

pertumbuhan(Monks dkk, 1999). Dampak dari produksi hormone tersebut

menurut Atwater (1992) adalah: (1) ukuran otot bertambah dan semakin kuat. (2)

testosterone menghasilkan sperma dan estrogen memproduksi sel telur sebagai

tanda kemasakan. (3) Munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti

membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-

rambut halus sekitar kemaluan, ketiak dan muka.

Kematangan seksual pada remaja putri ditandai dengan perkembangan rambut

pubis dan payudara. Dimulai dari umur 8 – 9 tahun, rambut pubis masih jarang,

halus, tipis dan payudara naik sedikit, diameter areola bertambah. Hingga sampai

pada umur 17 tahun rambut pubis sudah seperti orang dewasa yaitu segitiga

daerah genital dan menyebar ke tengah paha, sejalan dengan perkembangan

payudara sudah mature (rancangan puting dan areola masuk dalam kontur).

Hampir sama dengan kematangan seksual pada remaja putra, ditandai dengan

perkembangan rambut pubis, penis dan testis. Dimulai dari umur 8 – 9 tahun,

rambut pubis sedikit, pigmentasi ringan. Penis perkembangannya ringan dan

Universitas Sumatera Utara

perkembangan testis ditandai dengan pembesaran skrotum, pink. Hingga sampai

pada umur 17 tahun rambut pubis sudah seperti orang dewasa, ukuran penis dan

testis sama seperi dewasa. (SMR= Sexual Maturity Rating From Tanner JM:

Growth at adolescence, 2nd ed. Oxford.) dalam Sumiati (2009).

3.2 Perubahan Emosional

1. Keadaan Emosi Selama Masa Remaja

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan,

suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan

fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi laki-laki dan perempuan terutama

karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan

pada masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan

– keadaan itu (Hurlock, 1992).

2. Pola Emosi Pada Remaja

Pola emosi pada remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak.

Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tau, iri hati, gembira,

sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan

emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja tidak lagi

mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak,

melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras

mengkritik orang-orang yang menyebabkan amarah (Hurlock, 1992).

3. Kematangan Emosi

Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, pengalaman emosi yang

ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir

Universitas Sumatera Utara

masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan emosi secara

ekstrem dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi

dan kondisi lingkungan dengan cara yang dapat diterima masyarakat maka remaja

dikatakan mencapai kematangan emosi dan memberikan reaksi emosi yang stabil

(Hurlock, 1999).

Remaja yang ingin mencapai kematangan emosi harus belajar memperoleh

gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional.

Adapun caranya adalah dengan membicarakan berbagai masalah pribadinya

dengan orang lain, ia juga harus belajar menggunakan katarsis emosi untuk

menyalurkan emosinya dengan cara latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja,

tertawa atau menangis (Hurlock, 1992).

Nuryoto (1992) menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang

ditandai dengan sikap sebagai berikut:

a. Tidak bersikap kekanak-kanakan

Artinya, remaja bisa memahami dan mengendalikan emosinya,

menanamkan sifat disiplin dalam hal pekerjaan dan kehidupan sosial,

berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak, fokus dalam mengambil

keputusan dan berpikir dengan cermat tentang baik atau buruknya suatu

pilihan.

b. Bersikap rasional

Bersikap rasional adalah mengidentifikasikan permasalahan berdasarkan

data-data dan fakta yang ada, bukan berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak

Universitas Sumatera Utara

jelas yang membuat individu menjadi tidak efektif bahkan bisa menjadi

depresi.

c. Bersikap objektif

Sikap objektif ini terlihat pada kebiasaan menyatakan apa adanya, tanpa

diikuti perasaan pribadi.

d. Dapat menerima kritikan, pendapat, argumentasi, dan keterangan orang

lain, walaupun pada akhirnya pendapat, argumentasi, kritik, dan

keterangan orang lain tersebut tidak diterima karena tidak sepaham atau

tidak sesuai dengan kata lain remaja harus memiliki sifat terbuka.

e. Bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan yaitu menerima

semua resiko dari apa yang ia telah perbuat.

f. Mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi yaitu, berusaha

untuk mengatasi sendiri suatu masalah tanpa mengeluh dan mengharapkan

bantuan kepada orang lain.

3.3 Perubahan Sosial

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang

berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan

lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada (Hurlock, 1992).

Monks dkk (1999) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu:

• Memisahkan diri dari orangtua

Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud

menemukan jati diri.

Universitas Sumatera Utara

• Menuju ke arah teman sebaya

Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman

sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengekspresikan segala

potensi yang dimiliki.

Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal

minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah

hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari

tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima,

diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya. Untuk mencapai

tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian

baru. Yang paling penting dan tersulit adalah penyesuaian terhadap hal-hal

berikut::

a. Kuatnya Pengaruh Kelompok Sebaya

Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman

sebaya sebagai kelompok, sehingga dapat dimengerti bahwa pengaruh

teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan

perilaku lebih besar daripada keluarga.

b. Perubahan Dalam Perilaku Sosial

Perubahan yang paling menonjol dari semua perubahan yang terjadi dalam

sikap dan perilaku sosial adalah hubungan heteroseksual. Dari tidak

menyukai lawan jenis sebagai teman, menjadi lebih menyukai daripada

teman sejenis. Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri

Universitas Sumatera Utara

dalam berbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik

dan kompetensi sosial remaja makin besar.

c. Pengelompokan Sosial Baru

Pada awal masa remaja minat individu beralih dari kegiatan bermain yang

melelahkan menjadi minat pada kegiatan sosial yang lebih formal dan

kurang melelahkan. Pengelompokan sosial yang paling sering terjadi

selama masa remaja adalah kelompok teman dekat, kelompok kecil,

kelompok besar, kelompok yang terorganisasi, kelompok geng.

d. Nilai Baru Dalam Memilih Teman

Remaja mengiginkan teman yang mempunyai minat dan nilai yang sama,

yang dapat mengerti dan membuatnya merasa nyaman serta dapat

dipercaya.

e. Nilai Baru Dalam Penerimaan Sosial

Remaja memiliki nilai baru dalam menerima atau tidak anggota-anggota

kelompok sebaya. Nilai ini didasari pada nilai kelompok sebaya yang

digunakan untuk menilai anggota. Remaja akan segera mengerti bahwa ia

dinilai dengan standar yang sama dengan yang digunakan untuk menilai

orang lain.

f. Nilai Baru Dalam Memilih Pemimpin

Pada umumnya remaja mengharapkan pemimpinnya mempunyai sifat-sifat

tertentu, seperti pemimpin yang berkemampuan tinggi yang akan

dikagumi dan dihormati orang lain, karena remaja merasa bahwa

Universitas Sumatera Utara

pemimpin kelompok sebaya mewakili mereka dalam masyarakat (Hurlock,

1992).

3.4 Tugas Perkembangan Remaja

Setiap tahap perkembangan akan mendapat tantangan dan kesulitan-kesulitan

yang membutuhkan suatu keterampilan untuk mengatasinya. Pada masa remaja,

mereka dihadapkan kepada dua tugas utama, yaitu mencapai ukuran kebebasan

atau kemandirian dari orangtua dan membentuk identitas untuk tercapainya

integrasi diri dan kematangan pribadi(Soetjiningsih, 2004).

Tugas perkembangan masa remaja menurut Soetjiningsih (2004)

1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih

dewasa dengan teman sebaya dari kedua jenis kelamin

2. Memperoleh peranan sosial

3. Menerima keadaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif

4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua

5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri

6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan

7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga

8. Mengembangkan dan membentuk konsep-konsep moral

Tugas perkembangan masa remaja menurut (Havighurst dalam Hurlock, 1973)

1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya

baik sesama jenis maupun lawan jenis

Universitas Sumatera Utara

2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin

3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif

4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa

lainnya

5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi

6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja

7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga

8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk

tercapainya kompetensi sebagai warga negara

9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan

secara sosial

10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku

3.5 Perkembangan psikososial remaja

(Depkes RI, 2001) dan (Santrock, 1993) menyatakan bahwa perkembangan

psikososial remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu perkembangan psikososial

remaja awal (10-14 tahun), remaja pertengahan(15-16 tahun) dan remaja akhir

(17-19 tahun). Berikut ini ciri-ciri pada setiap tahap perkembangan, dampaknya

terhadap remaja dan efeknya terhadap orangtua.

3.5.1 Perkembangan psikososial remaja awal

Masa remaja awal adalah masa transisi, dimana usianya berkisar antara

10-14 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak

menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara

Universitas Sumatera Utara

fisik, psikis maupun social (Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut

kemungkinan dapat menimbulkan krisis yang ditandai dengan

kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu

perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu

(Ekowarni, 1993)

3.5.2 Perkembangan psikososial remaja pertengahan

Remaja pertengahan terjadi di usia 15-16 tahun. Remaja pada tahap ini

lebih mudah untuk diajak kerjasama, berpikir secara independen dan

membuat keputusan sendiri dengan menolak campur tangan orangtua dan

tidak mudah terpengaruh lagi oleh teman. Pada masa ini remaja mulai

bereksperimen dengan pengalaman baru (merokok, alkohol, NAPZA),

lebih bersosialisasi dengan membina hubungan dekat, membangun

nilai/norma dan moralitas dengan mempertanyakan nilai/norma yang

diterima dari keluarga, lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman

daripada keluarga, mulai berpacaran tetapi belum serius, intelektual lebih

berkembang dan mampu berpikir abstrak.

3.5.3 Perkembangan psikososil remaja akhir

Pada tahap ini, remaja memasuki era yang lebih ideal dari tahap

sebelumnya atau dapat dikatakan hampir siap untuk menjadi orang dewasa

yang mandiri. Periode ini terjadi pada usia 17-19 tahun. Remaja mulai

menggeluti masalah sosial, politik, nilai keagamaan, bahkan pindah

agama. Mengatasi stress yang dihadapi dengan sendiri, kecemasan akan

ketidakpastian masa depan mendorong remaja harus belajar agar dapat

Universitas Sumatera Utara

hidup mandiri baik bidang finansial maupun emosional. Status hubungan

pacaran dalam periode ini lebih serius dan stabil.

3.5.4 Karakteristik Perilaku Remaja Pada Perkembangan Psikososial

a. Perkembangan yang normal

Perkembangan remaja yang normal akan berhasil menemukan identitas

diri yang akan menunjukkan sikap-sikap yang positif. Remaja akan

mampu merencanakan masa depannya, menilai diri secara obyektif,

berpikir positif tentang dirinya, mampu berinteraksi dengan

lingkungan, bertanggung jawab serta mandiri.

b. Perkembangan yang menyimpang

Perkembangan remaja yang tidak normal atau mengalami

penyimpangan akan menimbulkan efek kebingungan dalam peran.

Dicerminkan dalam perilaku tidak mampu mengidentifikasi kelemahan

dan kekuatannya, tidak memiliki rencana masa depan, memiliki

perilaku antisosial, tidak mampu berinteraksi, memiliki konsep diri

yang buruk dan tidak mandiri.

Universitas Sumatera Utara