Upload
doancong
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
kenaikan kolesterol total, kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL), kenaikan
kadar trigliserid serta penurunan High Density Lipoprotein (HDL) (NCEP ATP
III, 2002). Dislipidemia dibagi menjadi berdasarkan profil lipid yang menonjol
seperti hiperkolesterolemia, hipertriglisedidemia, isolated low HDL cholesterol,
serta dislipidemia campuran (Adam, 2014).
Tabel 2.1 Klasifikasi Dislipidemia berdasarkan kriteria Fredricson
Fredricson Klasifikasi generik Klasifikasi Terapeutik Peningkatan Lipoprotein
I Dislipidemia eksogen
Hipertrigliseridemia
eksogen Kilomikron
IIa Hiperkolesterolemia Hiperkolesterolemia LDL
IIb
Dislipidemia
kombinasi
Hiperkolesterolemia
endogen dan Dislipidemia
kombinasi
LDL dan VLDL
III Dislipidemia remnant Hipertrigliseridemia
Partikel-partikel remnant
(beta VLDL)
IV Dislipidemia endogen Endogen VLDL
V
Dislipidemia
campuran
Hipertrigliseridemia
endogen VLDL dan kilomikron
(Hegele, 2009)
Sebenarnya kadar normal lipid serum bersifat relatif karena berbeda antara
satu orang dengan yang lainnya, namun secara umum National Cholesterol
Education Program Adult Panel III (NCEP ATP III) mengklasifikasikan lipid
serum pada orang dewasa seperti dalam tabel berikut :
Tabel 2.2 Klasifikasi kadar lipid serum dalam satuan mg/dL
Profil Lipid Interpretasi
Kolesterol Total
< 200 Optimal
200 – 239 Borderline
> 240 Tinggi
6
Kolesterol HDL
< 100 Optimal
100 – 129 Mendekati Optimal
130 – 159 Borderline
160 – 189 Tinggi
> 190 Sangat Tinggi
Kolesterol LDL
< 40 Rendah
> 60 Tinggi
Trigliserida
< 150 Optimal
150 – 199 Diinginkan
200 – 499 Tinggi
> 500 Sangat Tinggi
(Adam, 2014)
2.1.1 Kolesterol
Kolesterol merupakan komponen struktural penting dari membran dan
lapisan luar lipoprotein plasma. Kolesterol disintesis oleh berbagai jaringan
dari asetil-KoA dan merupakan precursor dari steroid lainnya dalam tubuh.
Kolesterol terdapat pada jaringan dan plasma dalam bentuk kolesterol bebas
maupun berikatan dengan asam lemak rantai panjang sebagai bentuk
penyimpanannya yaitu kolesterol ester (Botham & Mayes, 2009). Struktur
dasar kolesterol adalah inti sterol yang dibentuk dari asetil-KoA. Selanjutnya
inti sterol dapat dimodifikasi dengan berbagai rantai samping untuk
membentuk kolesterol, asam kolat yang merupakan bahan dasar asam empedu
yang dibentuk di hati, serta beberapa hormon steroid penting lain (Guyton,
2012).
Sekitar separuh kolesterol tubuh berasal dari proses sintesis (sekitar 700
g/hari) dan sisanya diperoleh dari makanan. Hampir semua jaringan yang
mengandung sel berinti mampu membentuk kolesterol, yang berlangsung di
retikulum endoplasma dan sitosol (Botham dan Mayes, 2009). Sebagian besar
kolesterol tergabung pada lapisan lipid membran plasma atau diubah menjadi
7
asam empedu, kolesterol juga digunakan untuk biosintesis hormon steroid.
Sekitar 1 gram kolesterol dilepaskan ke dalam empedu untuk kemudian
diekskresikan setiap harinya (Koolman, 2005).
Kolesterol dan kolesteril ester tidak dapat larut dalam air, namun harus
didistribusikan ke berbagai jaringan untuk penggunaan maupun
penyimpanannya, sehingga kolesterol dalam plasma darah diangkut oleh
lipoprotein plasma (Nelson and Cox, 2005). Terdapat empat tipe utama
lipoprotein yang diklasifikasikan berdasarkan densitasnya yaitu very low
density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), intermediate
density lipoprotein (IDL), dan high density lipoprotein (HDL) (Guyton, 2012).
Menurut Guyton, 2012 terdapat faktor – faktor penting yang
mempengaruhi konsentrasi kolesterol plasma, diantaranya :
a. Peningkatan jumlah kolesterol yang dicerna tiap hari.
Meningkatnya kolesterol yang dicerna akan menghambat enzim
pembentukan kolesterol endogen yaitu 3-hidroksi-3-metilglutaril KoA
reduktase yang menimbulkan respon umpan balik intrinsik untuk
mencegah peningkatan kolesterol plasma yang berlebihan, sehingga
konsentrasi kolesterol plasma akan sedikit berubah.
b. Diet lemak yang sangat jenuh.
Keadaan tersebut akan meningkatkan penimbunan lemak dalam hati,
sehingga sel hati akan meningkatkan jumlah asetil-KoA untuk
menghasilkan kolesterol.
c. Pencernaan lemak yang mengandung asam lemak tak jenuh yang tinggi
8
Keadaan ini akan menekan konsentrasi kolesterol darah dari jumlah
sedikit sampai sedang.
d. Kekurangan dan kelebihan insulin atau hormon tiroid.
Hal tersebut akan berakibat perubahan derajat aktivitas enzim – enzim
khusus yang bertanggung jawab terhadap metabolisme lipid.
2.1.2 Metabolisme kolesterol dalam makanan
(Nelson and Cox, 2005)
Gambar 2.1 Metabolisme kolesterol yang berasal dari makanan
Makanan yang berlemak diketahui terdiri atas trigliserid dan kolesterol.
Ester kolesteril dalam makanan dihidrolisis menjadi kolesterol yang kemudian
diserap oleh usus bersama dengan kolesterol tak teresterifikasi dan lipid lain
dalam makanan. Selanjutnya kolesterol tersebut diangkut oleh kilomikron
bersama dengan kolesterol yang disintesis di usus. Dari kolesterol yang
diserap, 80 – 90% mengalami esterifikasi dengan asam lemak rantai panjang di
mukosa usus. 95% kolesterol kilomikron menuju hati dalam bentuk sisa
kilomikron (chylomicron remnants), dan sebagian besar kolesterol yang
disekresikan hati dalam bentuk VLDL dipertahankan selama pembentukan IDL
9
dan akhirnya LDLyang diserap oleh reseptor LDL di hati dan jaringan
ekstrahepatik (Botham dan Mayes, 2009).
2.1.3 Proses Ekskresi Kolesterol
Kolesterol diekskresikan dalam empedu yang bersifat larut dalam air
dengan bantuan aktivitas hepatosit dan kolangiosit hati yang terletak sepanjang
duktulus empedu. Hati mengekskresikan empedu sebanyak 1 liter per hari ke
dalam usus halus (Amirudin, 2014). Empedu berperan penting dalam
pencernaan dan absorpsi lemak dengan cara mengemulsikan partikel besar
lemak yang terdapat dalam makanan menjadi partikel yang lebih kecil, serta
membantu absorpsi produk akhir dari lemak yang telah dicerna melalui
membran mukosa intestinal (Guyton, 2012).
Kurang lebih 1 gram kolesterol di eliminasi dari tubuh setiap harinya.
Sekitar separuhnya di ekskresikan ke dalam feses setelah diubahi menjadi asam
empedu. Sejumlah besar kolesterol yang diekskresikan kedalam empedu akan
direabsorbsi dan diyakini bahwa sekurang-kurangnya sebagian kolesterol yang
merupakan prekursor senyawa sterol feses berasal dari mukosa intestinal.
Sejumlah besar ekskresi garam empedu akan di reabsorbsi kembali ke dalam
sirkulasi porta, diambil oleh hati dan diekskresikan kembali ke dalam empedu.
Garam empedu yang tidak direabsorbsi ataupun derivatnya diekskresikan
kedalam feses (Botham dan Mayes, 2009).
2.1.4 Hiperkolesterolemia sebagai pemicu radikal bebas di hati
Pada kondisi hiperkolesterolemia terjadi peningkatan kadar kolesterol
dalam plasma, sehingga tubuh akan berusaha untuk mengeluarkan kelebihan
kolesterol. Jalur utama pengeluaran kolesterol tersebut adalah melalui sintesis
10
asam empedu yang berlangsung di hati. Jalur sintesis asam empedu tersebut
diawali reaksi hidroksilasi kolesterol pada karbon 7α oleh sitokrom P450
kolesterol 7α- hidroksilase (CYP7A1) menjadi 7α- hidroksikolesterol, suatu
kelompok senyawa oksisterol (Botham & Mayes 2009). Kelompok senyawa
oksisterol tersebut akan mengaktifkan Liver X Receptors (LXR) yang
merupakan sensor bagi kolesterol. Saat jumlah oksisterol meningkat, maka
LXR akan menjaga sel dari kelebihan kolesterol dengan cara meningkatkan
ekskresi kolesterol melalui jalur sintesis asam empedu melalui peningkatan
ekspresi CYP7A1 sekaligus peningkatan aktivitasnya (Zhao & Wright 2010).
Reaksi hidroksilasi kolesterol memerlukan oksigen, NADPH, dan
sitokrom P450 oksidase. Kolesterol plasma yang tinggi pada kondisi
hiperkolesterolemia akan meningkatkan sintesis asam empedu sehingga
pemakaian oksigen dan NADPH, serta aktivitas sitokrom P450 oksidase
meningkat. Pada reaksi hidroksilasi kolesterol ini, sitokrom P450 juga berperan
dalam memperantarai metabolisme retikulum endoplasma yang dapat
mereduksi oksigen menjadi radikal bebas anion superoksida (•O2-). Jumlah
radikal bebas selanjutnya akan mempengaruhi kadar malondialdehid (MDA)
(Botham & Mayes 2009).
2.2 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif karena memiliki sebuah
elektron yang tidak berpasangan. Agar tetap stabil, molekul tersebut aktif
mengikat ataupun mendonorkan elektron. Oleh karena itu molekul radikal bebas
hanya terdapat dalam bentuk tidak terikat dengan waktu yang sangat singkat yaitu
10-9
– 10-12
sec (Botham & Mayes, 2009).
11
Radikal bebas yang paling berbahaya bagi sistem biologis adalah radikal
oksigen atau Reactive Oxygen Species (ROS), terutama superoksida (•O2-),
hidroksil (•OH), dan perhidroksil (•O2H). Kerusakan jaringan akibat radikal
oksigen biasa disebut oxidative damage. Ketiga radikal bebas ini dapat terbentuk
pada aktifasi berbagai enzim oksidatif yang terdapat dalam mitokondria, lisosom,
peroksisom, sitosol dan membran sel. Radikal bebas mudah berikatan dengan
asam lemak tak jenuh (PUFA) pada membran sel dan lipoprotein plasma memicu
terjadinya reaksi peroksidasi lipid yang selanjutnya akan membentuk hasil
peroksida lipid kemudian dialdehid yang sangat reaktif serta dapat mengubah
struktur protein dan asam nukleat (Botham & Mayes, 2009). Malondialdehid
(MDA) merupakan salah satu hasil akhir dari peroksidasi lipid. Pembentukan
MDA bermula dari peroksidasi lipid yang diawali dengan penghilangan atom
hidrogen (H) dari molekul lipid tak jenuh rantai panjang (PUFA) oleh gugus
radikal hidroksil (•OH), sehingga lipid bersifat radikal. Selanjutnya radikal lipid
bereaksi dengan atom oksigen (O2) membentuk radikal peroksil (•OO) yang
kemudian menghasilkan MDA dengan ikatan tak jenuh lebih dari tiga (Yustika et
al, 2013).
12
(Henkell, 2011)
Gambar 2.3
Reaksi pembentukan MDA
MDA dapat merusak berbagai mekanisme fisiologis tubuh melalui
kemampuannya bereaksi dengan molekul seperti DNA dan protein. Sifat MDA
yang genotoksik tersebut dapat menyebabkan terjadinya mutasi yang beresiko
berlanjut menjadi kanker. Untuk mengukur kadar MDA dapat dilakukan dengan
mereaksikannya dengan asam thiobarbiturat (TBA). Kondensasi dari dua molekul
tersebut memiliki absorbansi yang tinggi sehingga dapat dinilai dengan mudah
menggunakan spektrofotometer (Rio, 2005)
Untuk melindungi kerusakan jaringan akibat akibat radikal bebas maka
diperlukan antioksidan. Antioksidan terbagi menjadi dua kelas : 1. Antioksidan
preventif yang mengurangi laju inisiasi reaksi berantai; 2. Antioksidan pemutus
rantai yang mengganggu propagasi reaksi berantai inisiasi, propagasi dan
terminasi (Botham & Mayes, 2009). Antioksidan diperlukan untuk mencegah
13
stres oksidatif yang merupaka kondisi ketidakseimbangan antara jumlah radikal
bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh. Enzim superoksida
dismutase (SOD) akan mengubah radikal superoksida (O2-) yang dihasilkan dari
respirasi serta yang berasal dari lingkungan, menjadi hidrogen peroksida (H2O2),
yang masih bersifat reaktif. SOD terdapat di dalam sitosol dan mitokondria.
Peroksida dikatalisis oleh enzim katalase dan glutation peroksidase (GPx).
Sementara katalase mampu menggunakan sartu molekul H2O2 sebagai substrat
elektron donor dan satu molekul H2O2 menjadi substrat elektron akseptor,
sehingga 2 molekul H2O2 menjadi 2 H2O dan O2 (Werdhasari,2014).
2.3 Kelor (Moringa Oleifera L)
2.3.1 Taksonomi
Klasifikasi Moringa oleifera dalam dunia tumbuhan adalah :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliphyta
Kelas : Dycotiledonae
Sub kelas : Dilleniidae
Bangsa : Capparales
Suku : Moringaceae
Marga : Moringa
Jenis : Moringa oleifera L
(UPT Materia MedicaBatu, 2017)
14
(Muhammad, 2016)
Gambar 2.2
Pohon kelor dan Daun Kelor
2.3.2 Klasifikasi dan Morfologi
Moringa Oleifera L atau biasa disebut dengan drumstick tree atau
horseradish tree atau ben tree dalam bahasa Inggris dan kelor dalam bahasa
Indonesia merupakan tanaman sayuran yang memiliki pertumbuhan cepat dan
biasanya dapat tumbuh tinggi hingga 10 sampai 12 meter. Pohon kelor banyak
ditemukan di Negara tropis dan subtropics seperti beberapa negara di Asia
Selatan, Asia Tenggara, Arab, Afrika, Amerika Tengah, Karibia dan Amerika
Selatan. Pohon kelor memiliki batang tebal yang berkayu dan berwarna putih
kotor serta memiliki cabang menyebar yang rapuh. Bunga kelor memiliki
bentuk malai dengan panjang 10 – 30 cm, majemuk, dan terletak di ketiak
daun. Buah kelor berbentuk polong dengan panjang 20 – 45 cm berwarna
cokelat kehitaman dan berisi 15 – 25 biji, bijinya berbentuk bulat bersayap tiga,
dan memiiki akar tunggang. Kelor memiliki daun menyirip ganda atau
biasanya menyirip tiga dengan tekstur berbulu dan panjangnya sampai dengan
45 cm yang tersusun berjajar secara spiral pada rantingnya. Pada daun yang
tersusun di bagian lateral memiliki bentuk bulat panjang sedangkan pada
bagian terminal memiliki bentuk bulat telur (Roloff, 2009).
15
2.3.3 Kandungan kelor (Moringa oleifera L)
Kelor sering disebut sebagai “The Miracle Tree” karena kemampuannya
mengobati berbagai macam penyakit. Kelor disebutkan memiliki 539 senyawa
yang telah dipergunakan untuk pengobatan tradisional Afrika dan India
(Ayurvedic) (Krisnadi, 2015). Melalui penelitian terdahulu diketahui bahwa
kelor mengandung berbagai macam nutrisi seperti vitamin, mineral, asam
amino, beta karoten, antioksidan, zat anti inflamasi, serta asam lemak omega 3
dan 6 (Razis, 2014). Kandungan nutrisi kelor tercantum dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.3 Kandungan nutrisi daun kelor
Kandungan Gizi Konsentrasi (per 100 gram)
Serat 11.23 g
Karbohidrat 56.33 g
Protein 9.38 g
Lemak 7.76 g
Energi 332.68 Kkal
Natrium 289 mg
Kalium 33.63 mg
Magnesium 25.64 mg
Fosfor 105.23 mg
Zat besi 9.45 mg
Zink 1.63 mg
Tembaga 0.88 mg
Kalsium 486.23 mg
Mangan 5.21 mg
(Sohaimy et al, 2015)
Menurut Bey dalam artikelnya yang berjudul “All Things Moringa” tahun
2010 menyebutkan bahwa kelor memiliki nutrisi tinggi dimana 100 gram daun
kelor kering mengandung 10 kali vitamin A daripada wortel, 12 kali vitamin C
jeruk, 17 kali kasium susu, 15 kali kalium pisang, 25 kali zat besi bayam dan 9
kali protein yogurt.
16
Tabel 2.4 Kandungan vitamin daun kelor
Vitamin Konsentrasi (per 100 gram)
Vitamin A (β-carotene) 13.48 mg
Vitamin E 16.80 mg
Vitamin C 245.13 mg
Vitamin B1 (Thiamin) 0.05 mg
Vitamin B2 (Riboflavin) 0.8 mg
Vitamn B3 (Niasin) 220 mg
(Sohaimy et al, 2015)
Vitamin C dalam kelor dilaporkan memiliki peran utama sebagai antioksidan
yang melindungi tubuh efek buruk radikal bebas, polutan dan toksin (Leone, 2015)
2.3.3.1 Kandungan fitokimia daun kelor
Kelor (Moringa oleifera L) memiliki berbagai senyawa bioaktif
penting yang berkaitan dengan perannya sebagai antioksidan beberapa
diantaranya tercantum dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.5 Kandungan fitokimia kelor yang bersifat antioksidan
Kandungan antioksidan Konsentrasi
Polifenol 1535,6 mg/100g
Flavonoid 61,62 mg/g
Tanin 5 g/kg
Saponin 64 g/kg
(Leone, 2015)
Daun kelor diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi daripada bagian tanaman kelor lainnya dimana aktivitas
antioksidan tersebut berbanding lurus dengan kandungan flavonoid dan
kandungan polifenol yang dimilikinya (Castillo, 2013). Aktivitas
antioksidan daun kelor juga terbukti lebih tinggi daripada tanaman
sayuran yang lainnya seperti kubis, bayam, kacang – kacangan, kembang
kol dan brokoli (Pakade, 2013).
17
2.3.4 Peran ekstrak daun kelor untuk mengurangi kadar MDA
Untuk mendapatkan aktivitas antioksidan yang maksimal, daun kelor
dapat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 70%.
Daun kelor yang diekstraksi dengan metode tersebut memiliki total fenolat,
total flavonoid serta senyawa aktif utama dalam kadar yang tertinggi (Vongsak,
2013). Daun kelor memiliki berbagai kandungan senyawa antioksidan yang
potensial. Flavonoid berfungsi sebagai radical scavenger dengan cara
mendonasikan sebuah atom hidrogen dari gugus hidroksil fenolik pada saat
bereaksi dengan radikal bebas (Shofia, 2013). Flavonoid efektif dalam
penghilangan radikal hidroksil dan anion superoksida yang dihasilkan dari
sintesa asam empedu. Potensi antioksidan dalam senyawa flavonoid
disebabkan oleh pelepasan atom hidrogen yang terdapat pada gugus hidroksil
tersebut (Ria, 2012). Selain sebagai free radical scavenger flavonoid juga
meningkatkan antioksidan endogen dengan jalur enzimatis (Liu, 2013).
Flavonoid dan polifenol yang terkandung dalam kelor secara enzimatis dapat
meningkatkan aktivitas antioksidan endogen seperti superoxide dismutase
(SOD) dan catalase yang bereaksi dengan radikal bebas sebagai antioksidan
pemutus ikatan dan mencegah ikatan antara radikal bebas dengan PUFA
sehingga dapat mencegah reaksi peroksidasi lipid (Rajanandh, 2012). Adapun
kandungan ascorbic acid atau vitamin C dalam kelor berperan penting sebagai
antioksidan dengan cara mendonorkan elektron pada anion radikal superoksida
(H2O2), radikal hidroksil (•OH), singlet oxygen (O-), serta reactive nitrogen
species (NO) sehingga dapat menstabilkan radikal bebas tersebut agar tidak
menimbulkan kerusakan yang lebih parah (Aja, 2014).