21
36 BAB 1V PEMBAHASAN 4.1 Analisis Hukum Putusan Hakim Perkara No.201/Pid.B/2011/ PN.GTLO Tentang Penganiayaan Hukum pidana adalah hukum yang bersifat Publik, hukum pidana merupakan suatu kaidah hukum penting yang menjadi wacana hukum di Indonesia. Di dalam hukum pidana itu terkandung Aturan-aturan yang menentukan Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa), dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. Sifat Publik yang memiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat Nasional. Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan diseluruh wilayah Negara Indonesia. 1 Hukum pidana bertujuan menegakan nilai kemanusian, namun disisi lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi siapa saja yang melanggarnya. Hal ini juga didukung oleh Van Hamel mengatakan bahwa hukum pidana pada umumnya dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materiil dan hukuman pidana formal. Sedangkan menurut Moelyatno Pengertian Hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu 1 Tata Wijayanta, Hery Firmansyah,Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan, yogyakarta. Pustaka yustisia, hlm.37.

BAB 1V PEMBAHASAN 4.1 Analisis Hukum Putusan Hakim …eprints.ung.ac.id/426/10/2013-2-74201-271409014-bab4... · 4.1 Analisis Hukum Putusan Hakim ... Berdasarkan hasil Wawancara

  • Upload
    lelien

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

36

BAB 1V

PEMBAHASAN

4.1 Analisis Hukum Putusan Hakim Perkara No.201/Pid.B/2011/

PN.GTLO Tentang Penganiayaan

Hukum pidana adalah hukum yang bersifat Publik, hukum pidana

merupakan suatu kaidah hukum penting yang menjadi wacana hukum di

Indonesia. Di dalam hukum pidana itu terkandung Aturan-aturan yang

menentukan Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan

disertai ancaman berupa pidana (nestapa), dan menentukan syarat-syarat

pidana dapat dijatuhkan. Sifat Publik yang memiliki hukum pidana

menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat Nasional.

Dengan demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan diseluruh

wilayah Negara Indonesia.1

Hukum pidana bertujuan menegakan nilai kemanusian, namun

disisi lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi

kenestapaan bagi siapa saja yang melanggarnya. Hal ini juga didukung

oleh Van Hamel mengatakan bahwa hukum pidana pada umumnya

dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materiil dan hukuman

pidana formal. Sedangkan menurut Moelyatno Pengertian Hukum

pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu

1 Tata Wijayanta, Hery Firmansyah,Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan, yogyakarta.

Pustaka yustisia, hlm.37.

37

Negarayang mengadakan dasar-dasar dan mengatur tentang ketentuan

yang tidak boleh dilakukan dan dilanggar disertai ancaman pidana bagi

barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka

yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan

dengan cara bagaimana penanganan pidana itu dapat dilaksanakan.2

Hukum pidana materiil mengatur ketentuan tentang perbuatan yang

tidak boleh dilakukan dan dilarang yang disertai ancaman pidana bagi

barang siapa yang melakukan, sedankan hukum pidana formal mengatur

tentang kaitan dengan dalam hal apa kepada mereka yang telah

melanggar itu dapat dikenakan sangsi pidana dengan cara bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan, atau dengan pengertian

lainnya, hukum podana formal berfungsi untuk menegakkan hukum

pidana materil (hukum pidana formal biasanya disebut sebagai hukum

acara pidana didalam sistim peradilan pidana).3

Adapun beberapa asas yang dikenal dalam hukum pidana formal

atau hukum acara pidana yaitu:

1. Asas legalitas yaitu setiap perbuatan pidana harus di tuntut.

2. Asas oportunitas artinya demi kepentingan umum, jaksa agung

dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana.

3. Asas lexcripta yang artinya bahwa hukum acara pidana yang

mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada

harus tertulis.

2Ibid,hlm.38.

3Ibid,hlm.38.

38

4. Asas lexstricta yang artinya bahwa aturan hukum acara pidana

harus ditafsirkan secara ketat.

5. Asas diferensiasi fungsional yang artinya setia aparat penegak

hukum dalam sistim peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya

sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain.4

Berdasarkan penjelasan di atas dikaitkan dengan putusan perkara

No. 201/Pid.B/2011/PN.GTLO dalam putusan ini merupakan suatu

bentuk Implementasi dari Asas Legalitas bahwa tindakan penganiayaan

dalam putusan tersebut mendapatkan suatu penuntutan secara hukum,

sehingganya dalam setiap perbuatan pidana haruslah dituntut berdasarkan

aturan yang ada.

Perkara tindak pidana penganiyaan merupakan tindak pidana yang

diancam dengan hukuman dua tahun delapan bulan sebagaimana yang

dijelaskan pada pasal 351 KUHP yang berbunyi barang siapaPasal 351

KUHP berbunyi sebagai berikut:

1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-

banyaknya tiga ratus rupia.

2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersala dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah

dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang

dengan sengaja.

Dalam putusan tersebut terdakwa di jatuhkan putusan 4 bulan

penjara, dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum dengan pidana

4Ibid,hlm.38-39.

39

penjara selama 6 (enam) bulan.Dari tuntutan dan putusan tersebut dapat

diuraikan bahwa putusan tersebut jauh dari rasa keadilan.Keadilan yang

dilamksud adalah keadilan masyarakat, keadilan dimana korban

mendapatkan perlindungan dengan putusan yang sesuai dengan

perbuatan terdakwa tersebut. Bila dilihat dari materi tuntutan jaksa

penuntut umum dapat diuraikan bahwa:

1. Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana

penganiayaan yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat

(1) KUHP sebagaimana yang telah kami dakwakan dalam surat

dakwaan;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama

6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada didalam tahanan;

3. Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp.

1.000,- (seribu rupiah);

Dengan tuntutan 6 bulan penjara menurut penulis tuntutan tersebut

jauh dari rasa keadilan, hal ini menurut salah seorang masyarakat.

Berdasarkan hasil Wawancara yang dilakukan penulis dengan

beberapa informan diantaranya yaitu: Hendra pada tanggal 19 September

2013 dikatakan bahwa keluarga merasakan kecewa dengan tuntutan jaksa

tersebut bagaimana mungkin perbuatan terdakwa yang menganiaya

dengan mengakibatkan luka hanya di tuntut dengan penjara 6 bulan,

padahal perbuatan tersebut menurut saya sangat menyakitkan. Hal yang

sama dikemukakan oleh Maryam Haras(wawancara, 28 September)

40

dengan tuntutan 6 bulan menurut saya tidak seimbang dengan perbuatan

yang dilakukan, jaksa penuntut umum tidak melihat akibat secara

psikologi dari korban tindakan penganiayaan.

Pertimbangan Aspek Yuridis,Filosofis, Dan Sosiologis Dalam

Putusan Hakim

Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan

kehakiman yang membawa 4 (empat) badan peradilan di bawahnya, yaitu

peradilan umum,peradilan agama,peradilan militer,dan peradilan tata

usaha negara, telah menetukan bahwa putusan hakim harus

mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan

sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang

berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral

justice), dan keadilan masyarakat (sosial justice).5

Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan

berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator

undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator undang-undang,

harus memahami undang-undang dengan mencari undang-undang yang

berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim yang harus

menilai apakah undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau

5Pedoman perilaku hakim,dalam bukunya Ahmad Rifai,op.Cit,hlm.126

41

memberikan kepastian hukum jika ditegakan, sebab salah satu tujuan

hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.6

Amar putusan nomor No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO menyatakan:

1. Bahwa terdakwa Halid Daud telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan;

2. menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana

penjara selama 4 (empat) bulan penjara;

3. menetapkan masa penahanan yang dijalani oleh terdakwa dikurangi

seluruhnya dari pidan yang dijatuhkan;

4. menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;

5. menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) buah pisau panjang 21 cm

dengan ciri gagang berbentuk kotak dan ujungnya pipih dan bagian

bawahnya tajam dirampas untuk dimusnahkan;

6. menetapkan terdakwa dibebani membayar biaya perkara Rp. 1.000,-

(seribu rupiah).

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa.

Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, hakim

harus berpedomanpada sistem pembuktian sebagaimana diatur dalam

Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

6 Ahmad Rifai,penemuan hukum oleh hakim dalam persfektif hukum progresif ,Jakarta. Sinar

Grafika,2010,hlm.126.

42

benar-benar terjadi dan bawa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”

Berdasarkan rumusan Pasal di atas, sistem pembuktian yang dianut

dalam KUHP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara

gabungan antara sistem pembuktian positif dan negatif. Sistem

pembuktian tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu:

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang.

b. Keyakinan hakim harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang.

Alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184

ayat (1)KUHAP terdiri dari:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Dalam perkara ini alat bukti yang sah untuk dijadikan sebagai

bahan pertimbangan bagi hakim, yakni keterangan saksi, surat, dan

keterangan terdakwa. Selain itu, juga dihubungkan dengan barang bukti

yang diajukan dalam persidangan. Kesesuaian antara masing-masing alat

bukti serta barang bukti, maka akan diperoleh fakta hukum yang menjadi

dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan. Berdasarkan ketentuan

Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Penulis menganggap bahwa keseluruhan alat

43

bukti yang diajukan di persidangan berupa keterangan saksi, alat bukti

surat dalam hal ini visum et repertum, dan keterangan terdakwa

menunjukkan kesesuaian satu sama lain. Selain itu, juga terdapat

kesesuaian antara alat bukti dan barang bukti yang diajukan di

persidangan sehingga terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah di hadapan persidangan.

Putusan hakim No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang

Penganiayaan dalam penerapan aspek yuridis sangatlah jelas, ketentuan

pasal 351 menjadi rujukan utama. Bila di lihat lebih rinci lagi maka dapat

di uraikan bahwa unsur yang terdapat dalam pasal 351 KUHP antara lain:

1. Unsur barang siapa

Didalam setiap rumusan pasal-pasal KUHP maupun tindak pidana,

unsur (bestitelen) “barang siapa” merupakan sebuah kata yang penting

didalam melihat kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.Sebagai

sebuah kata “barang siapa” maka memerlukan kajian yang cukup serius

dalam asas kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dalam upaya

pembuktian.

Namun dalam upaya pembuktian, unsur “barang siapa/setiap

orang” tidak serta merta langsung menunjuk kepada perseorangan

(naturalijk persoon).Apabila meninjau pada Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum

pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami

(naturlijkee person). Selain itu, KUHP juga masih menganut asas

44

“sociates delinquere non potest” dimana badan hukum atau korporasi

dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP

sudah mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi dan

pertanggungjawaban komando)untuk membuktikan apakah terdakwa

telah melakukan perbuatan sebagaimana didalam surat dakwaan jaksa

penuntut umum, maka harus melihat teori pemidanaan,

pertanggungjawaban dan kesalahan dan pembuktian dimuka persidangan.

Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu

dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan

“hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”. 7

Menurut SIMONS, “strafbaar feit” harus dirumuskan karena :

a. untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu

harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang

diwajibkan oleh UU, dimana pelanggaran terhadap larangan

atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum;

b. agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan tersebut

harus memenuhi semua unsure dari delik seperti yang

dirumuskan didalam UU;

c. setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau

kewajiban menurut UU itu pada hakekatnya merupakan suatu

tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

“onrechtmatige handeling”.8

Syarat-syarat pokok dari sesuatu delik itu adalah :

a. dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat

didalam rumusan delik;

b. dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya;

c. tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan

sengaja atau tidak disengaja;

d. pelaku tersebut dapat dihukum.

7 http://www.jambiekspres.co.id/opini

8 http://www.jambiekspres.co.id/opini

45

Semua syarat-syarat tersebut oleh Lamintang, disebut “begeleidende

omstandigheden” atau “ vergezellende omstandigheden” atau “keadaan-

keadaan penyerta atau keadaan yang menyertai sesuatu tindakan.

Tindak pidana atau strafbaar feit merupakan suatu perbuatan yang

mengandung unsur “perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan”

dan unsur “pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya”. Sehingga

dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat

dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang

tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat

atas kedua unsur itu.

Pertanggungjawaban pidana adalah konsep pertanggungjawaban

terhadap pelaku tindak pidana sebagai subjek hukum pidana dalam

mempertanggungjawabkan perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat

pertanggungjawaban pidana (asas kesalahan) karena melanggar pasal-

pasal tertentu dari aturan pidana yang mengancam sanksi pidana bagi

yang melanggarnya.

Dengan demikian, maka kita dapat memperhatikan tentang konsep

dasar didalam lapangan hukum pidana, maka ada 3 masalah pokok yaitu

perbuatan bagaimanakah yang dikategorikan sebagai tindak pidana,

kesalahan apa yang dapat dipertanggungjawabkan secara umum, sanksi

pidana apa yang pantas dikenakan kepada terdakwa

46

Dengan demikian maka unsure “barang siapa/setiap orang” ialah

orang yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi unsure tindak

pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa. Unsure “barang siapa/setiap

orang” tidak dapat ditujukan kepada diri terdakwa karena menentukan

unsure ini tidak cukup dengan menghubungkan terdakwa sebagai

perseorangan sebagaimana manusia pribadi atau subyek hukum yang

diajukan sebagai terdakwa dalam perkara ini, akan tetapi yang dimaksud

setiap orang dalam undang-undang adalah orang yang perbuatannya

secara sah dan meyakinkan terbukti memenuhi semua unsure dari tindak

pidana. Jadi untuk membuktikan unsure “barang siapa/setiap orang”

harus dibuktikan dulu unsure lainnya.

Karenanya unsure “barang siapa/setiap orang” masih tergantung

pada unsure lainnya. Apabila unsure itu telah terpenuhi maka unsure

“barang siapa/setiap orang” menunjuk kepada terdakwa, tetapi

sebaliknya apabila unsure-unsur yang lain tidak terpenuhi maka unsure

“barang siapa/setiap orang” tidak terpenuhi pula.

Dengan demikian dalam praktek yang sering terjadi dimana unsure

“barang siapa/setiap orang” sebagaimana sering didalam surat tuntutan

maupun dalam putusan hakim langsung menunjuk kepada terdakwa

tanpa melihat teori yang telah disampaikan memang menimbulkan

persoalan hukum.9

9http://www.jambiekspres.co.id/opini/unsur barang siapa dalam tindak pidana.html

47

Berdasarkan analisis hakim yang memutus perkara Putusan hakim

No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang Penganiayaan menguraikan

bahwa barang siapa yang dimaksud adalah subjek hukum pendukung hak

dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya,

yang dalam perkara ini adalah terdakwa Halid Daud alias Liko.Sebagai

subjek hukum pribadi kodrat. Selain dari pada itu maksud dimutnya

unsur ini adalah untuk menghindari adanya kesalahan subjek dalam

suatu perkara pidana.

Dalam penelitian ini penulis berkesimpulan bahwa unsur barang

siapa menempatkan orang/pelaku dalam subuah tindak pidana

berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan sehingga unsur

barang siapa tersebut menyakinkan hakim dalam putusannya. Majelis

dalam persidangan berdasarkan fakta hukum terdakwa sebagai subjek

hukum yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam

perkara ini tidak terdapat kesalahan subjek hal ini berdasarkan analisis

hakim perkara Putusan hakim No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang

Penganiayaan di Pengadilan Negeri Gorontalo.

2. Unsur Melakukan Penganiayaan

Penganiayaan adalah suatu perbuatan dengan sengaja

menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan) rasa sakit atau luka.

Sifat kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan

si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada

hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya

48

perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya

sengaja untuk berbuat jahat.Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk

adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa

perbuatannya dilarang.

Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus,

dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran

mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan. Untuk adanya

kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran,

bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat dipidana

Unsur ini telah terpenuhi bahwa perbuatan tersangka dengan

memukul orang laintelah menimbulkan rasa sakit dan luka terhadap

korban.Unsur ini dikuatkan dengan keterangan Saksi dan hasil visum.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam

hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Sengaja berarti

membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya, orang tak

bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya.

Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan

oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat.

Apabila di hubungkan dengan uraian pertimbangan hakim dalam putusan

perkara pidana Nomor No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO Tentang

Penganiayaan di Pengadilan Negeri Gorontalo anatar lain bahwa

menimbang uraian pengertian serta fakta-fakta huku majelis hakim

menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa yang mengayunkan pisau

49

adalah merupakan pelaksanaan kehendak (willen) serta setidaknya

terdakwa mengerti (wetten) bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut

terdakwa mengharapkan atau sekurang-kurangnya terdakwa dapat

menduga bahwa perbuatannya tersebut dapat menyebabkan atau

menimbulkan rasa sakit pada saksi korban.10

Lebih lanjut di uraikan mejelis hakim dalam putusan tersebut

bahwa unsur pasal yang terdapat dalam dakwaan tunggal penuntut umum

telah terpenuhi, maka terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang di

dakwakan dalam dakwaan tunggal penuntut umum.

Uraian diatas menunjukkan bahwa mejelis hakim dalam memutus

suatu perkara pidana sangatlah hati-hati. Pertimbangan hakim dalam

putusan haruslah berdasarkan pada fakta-fakta persidangan dan

keyakinan dari majelis hakim itu sendiri. Pencapaian keadilan dalam

putusan ini sangat jelas tidak dapat diterima oleh pihak korban. Keluarga

korban tidak dapat menerima putusan tersebut, hal ini berdasarkan hasil

wawancara dengan salah seorang keluarga korban Nanang Buyung, kami

berharap putusan hakim dalam perkara ini dapat memenuhi unsur

keadilan, harapan kami putusan hakim sesuai dengan perbuatan yang ia

lakukan tetapi. Konsep keadilan yang selama ini di dengung-dengungkan

hanya sebatas perkataan dan materi saja penegak hukum sering kali tidak

dapat memberikan rasa keadilan kepada para pencari keadilan itu sendiri.

10

Pertimbangan majelis hakim pada perkara No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO

50

Hal ini di akibatkan oleh karena hakim dalam hal memutus suatu perkara

tidak mempertimbangkan keadilan masyarakat, hakim seringkali hanya

bergantung pada ketentuan hukum tertulis tidak menafsirkan hukum pada

sisi sosiologis. Karena akibat dari Putusan tersebut saksi Korban

mengalami Luka pada bagian lengan kanan serta mengalami trauma

akibat luka tersebut saksi korban tidak dapat melakukan aktifitas saksi

korban sehari-hari.

Menganai aspek filosofis, merupakan aspek yang berintikan pada

kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis, mempertimbangkan

tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Aspek filosofis dan

sosiologis, penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan

pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-

nilai dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit

sebab tidak mengikuti asas legalitasdan tidak terikat pada sistem.

Pencantuman ketiga unsur tersebut tidak lain agar putusan dianggap adil

dan diterima masyarakat.11

Keadilan hukum (legal justice), adalah keadilan berdasarkan

hukum dan perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya memutuskan

perkara hanya berdasarkan hukum positif dan peraturan perundang-

undangan. Keadilan seperti ini keadilan menurut penganut aliran

legalistis positivisme. Dalam menegakan keadilan ini hakim atau

pengadilan hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka, hakim tidak

11

Ibid,hlm.126-127

51

perlu mencari sumber-sumber hukum di luar dari hukum tertulis dan

hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang pada perkara-

perkara konkret rasional belak. Dengan kata lain, hakim sebagai corong

atau mulut undang-undang.12

Keadilan hukum (legal justice) hanya didapat dari undang-undang,

justru pada suatu kondisi, akan menimbulkan ketidakadilan bagi

msyarakat, sebab undang-undang tertulis yang diciptakan mempunyai

daya laku tertentu yang suatu saat daya laku tersebut akan mati, karena

saat undang-undang diciptakan unsur keadilannya membela masyarakat,

akan tetapi setelah diundangkan, seiring dengan perubahan nilai-nilai

keadilan masyarakat, akibatnya pada undang-undang unsur keadilannya

akan hilang.13

Keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice)

diterapkan hakim, dengan pernyataan bahwa: “hakim harus menggali

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat “ (pasal 5 ayat (1)

undang-undang 48 tahun 2009), jika dimaknai secara mendalam hal ini

sudah masuk kedalam perbincangan tentang moral jistice dan social

justice.14

Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang hakim

dilakukan dalam kerangka menegakan kebenaran dan berkeadilan,

dengan berpegang pada hukum, undang-undang, dan nilai-nilai keadilan

dalam masyarakat. Dalam diri hakim diemban amanah agar peraturan 12

Ibid,hlm.127 13

Ibid,hlm.127 14

Ibid,hlm.127

52

perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila

penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan

ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice)

dan menyampingkan hukum atau peraturan perundang-undangan (legal

justice). Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum

yang hidup dalam masyarakat (the living law) yang tentunya sesuai pula

atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat (social justice). Keadilan yang dimaksud disni,bukanlah

keadilan proseduril (formil), akan tetapi keadilan substantif (materiil),

yang sesuai dengan hati nurani hakim.15

Secara analisis, keadilan meurut konsep Daniel S. Lev,

menggunakan istilah proseduril dan substantif, sedangkan Schuyt

menggunakan istila formil dan materiil. Keadilan proseduril (formil),

komponennya bergaya dengan gaya suatu sitem hukum, seperti rule of

law atau negara hukum rechtsstaat. Adapun komponen keadilan

substantif (materill) menyangkut apa yang dewasa ini dinamakan hak-

hak sosial serta menandai penataan politik, ekonomi dalam masyarakat.

Kosepsi keadilan berakar dari kondisi masyarakat yang

diinginkan.Konsep keadilan yang pada hakikatnya masih berupa

gagasan-gagasan yang abstrak yang lebih sulit untuk dipahami. Akan

lebih mudah memahami adanya ketidakadilan dalam

masyarakat.Keadilan proseduril (formil), diartikan suatu keadilan yang

15

Ibid,hlm.127-128

53

didapatkan dalam suatu putusan-putusan lembaga resmi yang dibentuk

menurut undang-undang negara, termaksuk putusan pengadilan.16

Selama ini banyak pihak menuntut hakim-hakim di Indonesia lebih

berpihak kepada perwujudan keadilan substantif (materiil) daripada

keadilan prosedural (formil) semata. Namun tuntutan itu memang bisa

diterima secara teoretis daripada praktis, karena membawa problem

hukum yang rumit.Keadilan prosedural (formil) adalah keadilan yang

mengacu kepada bunyi undang-undang an-sich. Sepanjang bunyi

undang-undang terwujud, tercapailah keadilan secara formal. Apakah

secara materiil, keadilan itu benar-benar dirasakan adil secra moral dan

kebajikan (virtue) bagi banyak pihak, para penegak keadilan prosedural

(formil) tidak memperdulikannya.Mereka para penegak keadilan

prosedural (formil) itu, baiasanya tergolong kaum positivistik.17

Bagi kaum positivisik, keputusan-keputusan hukum dapat

didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih

dahulu tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan,

serta moralitas.Betapapun tidak adil dan terbatasnya bunyi undang-

undang yang ada.Hukum adalah perintah undang-undang, dan darisitu

kepastian hukum bisa ditegakan.18

Pandangan positivistik tersebut ditantang oleh kalangan yang

berpandangan bahwa prinsip kebajikan dan moralitas mesti harus

16

Mulyana w. kusumah,dalam bukunya Ahmad Rifai,op.Cit,hlm.128 17

Prijal Djatmika,dalam bukunya Ahmad Rifai,op.Cit,hlm.128.

18

Ibid.128-129

54

dipertimbangkan pula dalam mengukur valditas hukum. Penganut hukum

moralitas itu berprinsip bahwa hukum itu harus mencerminkan

moralitas.Karena itu, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip

moralitas, bahkan bertentangan dengan moralitas, boleh atau bisa tidak

ditaati berdasar suatu hak moral (moral right).19

4.2 Akibat Hukum Terhadap Putusan Hakim Perkara No.

201/PID.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan

Seiring dengan perkembangan peradaban, dimana masyarakat luas

mulai sedikit demi sedikit mampu mengerti akan hak dan kewajibannya,

memahami makna keadilan, serta mampu menempatkan dirinya pada

fungsi kontrol terhadap pelaksanaan peran hakim dalam proses peradilan.

Setiap penyimpangan, kesalahan prosedur,serta hal-hal yang dirasakan

tidak adil atau tidak memuaskan dalam proses peradilan akan diikuti

dengan reaksi-reaksi sosial dengan berbagai bentuk, dari yang reaksi

halus sampai reaksi yang keras.

Fakta dilapangan misalnya pada Putusan hakim

No.201/Pid.B/2011/PN.GTLO tentang Penganiayaan telah meruntuhkan

propesional hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sekiranya

para hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masih didukung

oleh moral atau akhlak yang mulia, berbagai rayuan dan godaan yang

datang tidak akan mampu merubah sikap hakim itu sendiri. Kenyataan

19

Ibid.129

55

dilapangan masih banyak putusan hakim dalam proses peradilan yang

justru menciptakan polemik baru dan tidak menyelesaikan masalah.

Padahal idealnya putusan hakim yang dilahirkan tersebut harus mampu

menyelesaikan perkara.

Hasil survei Transparency International realitas praktik hukum

dilapangan ternyata ditandai dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap

putusan-putusan peradilan yang dinilai tidak adil, tidak jujur, memihak,

tidak sesuai dengan hukum yang ada atau dengan kata lain peradilan

bukan lagi sebagai tempat yang dapat memberi perlindungan bagi para

pencari keadilan. Menurut mantan Ketua Komisi III DPR periode 2004-

2009 Trimedya Panjaitan. Hasil survey Transparency International

tersebut menunjukan cita penegak hukum (Hakim, Jaksa, Advokad,

Polisi) dan peradilan dimata masyrakat tampak buruk dan masih

menunjukan praktik korupsi.

Idealnya sebagai salah satu pilar perwujudan kekuasaan kehakiman

yang bebas, mandiri, dan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna meneggakan hukum dan keadilan, maka diperlukan adanya

keterbukaan dan tanggungjawab hakim dalam melahirkan putusan yang

mencerminkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.Sebaiknya

putusan hakim yang tidak mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan

kemanfaatan pada akhirnya turut mempengaruhi citra lembaga

pengadilan.

56

Menurut Mochtar Kusumaatmadja setidaknya ada 6 (enam) faktor-

faktor yang melatarbelakangi ketidakpuasan masyarakat terhadap proses

peradilan selama ini. Faktor-faktor tersebut yakni, sebagai berikut:

1) Lambatnya penyelesaian perkara;

2) Adanya kesan hakim kurang berusaha memutuskan perkara

dengan sungguh-sungguh yang didasarkan pada pengetahuan

hukumnya;

3) Sering kasus penyuapan atau percobaan penyuapan terhadap

hakim tidak dapat dibuktikan;

4) Perkara yang diperiksa di luar pengetahuan hakim yang

bersangkutan, karena kompleksitas permasalahaan maupun

kemalasan hakim yang bersangkutan untuk membuka buku

referensi;

5) Para pengacara yang tidak profesional bertindak demi klien;

6) Pencari keadilan sendiri tidak profesional bertindak demi klien;

sebagai suatu cara untuk mencari keadilan menurut hukum,

melainkan hanya sebagai sarana untuk menenangkan perkaranya

dengan jalan apapun.