6
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Glaukoma adalah penyakit multifaktorial yang memiliki karakteristik berupa hilangnya sel ganglion retina yang mengarah ke kerusakan khas dari saraf optik dan gangguan lapang pandang. Penyakit ini merupakan penyebab terbanyak kedua kebutaan di seluruh dunia dan mempengaruhi lebih dari 50 juta orang (Ilyas, 2007). World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 40-45 juta orang di dunia mengalami kebutaan, sepertiganya berada di Asia Tenggara. Berarti setiap menit diperkirakan 12 orang menjadi buta, empat orang diantaranya juga berasal dari Asia Tenggara (Depkes, 2007). Pada anak, setiap menit terdapat satu anak menjadi buta dan hampir setengahnya berada di Asia Tenggara. Sedangkan pada balita, WHO memperkirakan ada 1,4 juta yang menderita kebutaan dimana tiga perempat diantaranya ada di daerah-daerah miskin di Asia dan Afrika (Depkes, 2007). Berdasarkan hasil survey World Health Organization (WHO), penyebab utama kebutaan tahun 2002 adalah katarak (47,8%), glaukoma (12,3%), penyakit yang berhubungan dengan degeneratif (8,7%), kekeruhan kornea (5,1%), diabetes retinopati (4,8%), trakhoma (3,6%), dan lain-lain (17,6%) (Resnikoff & Pascolini, 2004). 1

BAB 1-Revisi Terbaru

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 1-Revisi Terbaru

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Glaukoma adalah penyakit multifaktorial yang memiliki karakteristik

berupa hilangnya sel ganglion retina yang mengarah ke kerusakan khas

dari saraf optik dan gangguan lapang pandang. Penyakit ini merupakan

penyebab terbanyak kedua kebutaan di seluruh dunia dan mempengaruhi

lebih dari 50 juta orang (Ilyas, 2007). World Health Organization (WHO)

memperkirakan sekitar 40-45 juta orang di dunia mengalami kebutaan,

sepertiganya berada di Asia Tenggara. Berarti setiap menit diperkirakan

12 orang menjadi buta, empat orang diantaranya juga berasal dari Asia

Tenggara (Depkes, 2007). Pada anak, setiap menit terdapat satu anak

menjadi buta dan hampir setengahnya berada di Asia Tenggara.

Sedangkan pada balita, WHO memperkirakan ada 1,4 juta yang

menderita kebutaan dimana tiga perempat diantaranya ada di daerah-

daerah miskin di Asia dan Afrika (Depkes, 2007). Berdasarkan hasil

survey World Health Organization (WHO), penyebab utama kebutaan

tahun 2002 adalah katarak (47,8%), glaukoma (12,3%), penyakit yang

berhubungan dengan degeneratif (8,7%), kekeruhan kornea (5,1%),

diabetes retinopati (4,8%), trakhoma (3,6%), dan lain-lain (17,6%)

(Resnikoff & Pascolini, 2004).

Bila dibandingkan dengan angka kebutaan di negara-negara

Regional Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia merupakan yang

tertinggi. Berdasarkan Survey Kesehatan Indera tahun 1993-1996,

sebesar 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan

penyebab utama adalah Katarak (0,78%), Glaukoma (0,20%), Kelainan

Refraksi (0,14%), Gangguan Retina (0,13%), dan Kelainan Kornea

(0,10%). Dari hasil survey tersebut glaukoma juga merupakan penyebab

kebutaan utama kedua di Indonesia (Depkes, 2007). Prevalensi nasional

Glaukoma adalah 0,5% (berdasarkan keluhan responden). Sebanyak 9

provinsi mempunyai prevalensi glaukoma diatas prevalensi nasional, yaitu

1

Page 2: BAB 1-Revisi Terbaru

Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,

Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,

Sulawesi Tengah, dan Gorontalo (Riskesdas Nasional, 2007).

Berdasarkan Survei Departemen Kesehatan Indonesia tahun 1996, dari

0.2% kebutaan akibat glaukoma, terdapat 0.16% kebutaan pada kedua

mata, dan 0.04% kebutaan pada satu mata (Ilyas, 2007).

Glaukoma adalah penyakit saraf optik jangka panjang yang ditandai

oleh adanya kerusakan struktur diskus optikus atau serat saraf retina dan

kelainan lapang pandangan (Vaughn & Asbury, 2004). Peningkatan

tekanan bola mata merupakan faktor risiko yang terutama dan tidak

merupakan penyakit glaukoma itu sendiri (Ilyas, 2007). Mekanisme

meningkatnya tekanan bola mata pada glaukoma terjadi karena gangguan

arus perpindahan cairan bilik mata (aqueous humor) akibat kelainan dari

sistem drainase bilik mata depan (disebut glaukoma sudut terbuka) atau

gangguan akses cairan bilik mata ke sistem drainase (disebut glaukoma

sudut tertutup) (Vaughn & Asbury, 2004). Tekanan bola mata umumnya

berada antara 10 – 21 mmHg dengan rata-rata 16 mmHg. Tekanan bola

mata dalam sehari dapat bervariasi yang disebut dengan variasi diurnal.

Pada orang tertentu tekanan bola mata dapat lebih dari 21 mmHg yang

tidak pernah disertai kerusakan serabut saraf optik (hipertensi okuli) (Ilyas,

2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi glaukoma antara lain adalah

usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga (inheritance), diabetes melitus,

penyakit vaskuler (jantung, hipertensi), trauma, miopi (minus yang tinggi)

dan penggunaan steroid jangka panjang (Vaughn & Asbury, 2004; Ilyas,

2007; Ilyas dkk, 2003; PERDAMI, 2009). Secara khusus, dalam beberapa

studi epidemiologi menunjukkan bahwa tekanan darah sistemik yang

tinggi dikaitkan dengan adanya sedikit peningkatan TIO (Costa, Arcieri &

Harris, 2009).

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah arterial sentral.

Berbagai kriteria sebagai batasannya telah diajukan, berkisar dari sistol

140 mmHg dan diastol 90 mmHg hingga setinggi sistol 200 mmHg dan

diastol 110 mmHg (Saunders, 2006). Sebagian besar pasien hipertensi

2

Page 3: BAB 1-Revisi Terbaru

tidak memiliki gejala spesifik yang dapat menggambarkan terjadinya

peningkatan tekanan darah dan hanya dapat diidentifikasi melalui

pemeriksaan fisik. Meskipun sering dianggap sebagai gejala peningkatan

tekanan arteri, sakit kepala hanya merupakan ciri dari hipertensi yang

sudah berat. Secara umum sakit kepala tersebut berlokasi di daerah

oksipital dan timbul ketika pasien terbangun di pagi hari, tetapi akan

mereda secara spontan setelah beberapa jam. Keluhan lain yang mungkin

berhubungan dengan meningkatnya tekanan darah termasuk pusing,

palpitasi, mudah lelah, dan impotensi (Fisher & Williams ,2005).

Hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut disini adalah bahwa saat

ini Indonesia masih menjadi negara dengan angka kebutaan tertinggi

dibandingkan negara – negara Asia Tenggara lainnya, dan glaukoma

masih menjadi penyebab kedua terbanyak kebutaan tersebut (Depkes,

2007). Hipertensi sistemik diperhitungkan sebagai faktor risiko terbesar

untuk glaukoma, terutama untuk glaukoma sudut terbuka primer daripada

faktor-faktor risiko lainnya dalam beberapa penelitian terakhir (Ilyas,

2007). Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih lanjut pengaruh

hipertensi terhadap glaukoma, sehingga diharapkan apabila faktor risiko

tersebut memang masih tinggi tingkat risikonya, maka dapat direncanakan

tindakan lebih lanjut untuk melakukan pencegahan terhadap

perkembangan hipertensi menjadi glaukoma.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah tekanan darah tinggi (hipertensi) berpengaruh terhadap

terjadinya glaukoma pada pasien poli mata (rawat jalan) Rumkital Dr

Ramelan Surabaya periode bulan Oktober – Desember 2009?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui frekuensi kejadian hipertensi pada pasien poli mata

Rumkital Dr Ramelan Surabaya periode bulan Oktober -

Desember 2009

3

Page 4: BAB 1-Revisi Terbaru

2. Mengetahui frekuensi kejadian glaukoma pada pasien poli mata

Rumkital Dr Ramelan Surabaya periode bulan Oktober –

Desember 2009

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui apakah ada pengaruh hipertensi terhadap terjadinya

glaukoma pada pasien poli mata Rumkital Dr Ramelan Surabaya

periode bulan Oktober – Desember 2009

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Untuk Subyek Peneliti

a. Meningkatkan kesadaran penderita hipertensi terhadap

risiko terjadinya glaukoma

b. Memperbaiki tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit

glaukoma

c. Memperbaiki tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit

hipertensi

1.4.2 Untuk Peneliti

a. Mengetahui prevalensi pasien glaukoma

b. Memahami risiko hipertensi yang dapat menyebabkan

glaukoma

c. Memahami penyakit glaukoma sebagai salah satu penyebab

kebutaan terbanyak di Indonesia

1.4.3 Untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan

a. Mengoptimalkan tindakan pencegahan terjadinya glaukoma

pada pasien dengan riwayat hipertensi dalam upaya

perencanaan pencegahan kebutaan

b. Sebagai data dasar untuk penelitian penelitian selanjutnya.

4