Upload
phungkien
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Bagi sebuah organisasi atau perusahaan, sumber daya manusia (SDM)
merupakan faktor yang sangat penting (Yeni & Niswati, 2012). Sumber daya
manusia sebagai pekerja merupakan sumber penggerak utama dalam industri
apapun di dalam era globalisasi saat ini (Siwi, 2005). Suatu organisasi seharusnya
tidak dapat dipisahkan dengan pekerja karena pekerjalah yang memainkan peranan
dalam menentukan kemajuan, kelancaran, keuntungan dan keberhasilan organisasi
(Eduard, 2011).
Perubahan yang terjadi saat ini secara global dan beberapa trend lainnya
menuntut organisasi saat ini untuk mencari cara baru untuk bertahan dalam
persaingan yang ketat dan berhasil dalam operasi organisasi (Kazlauskaitė &
Bučiūnienė, 2008). Lebih lanjut dijelaskan secara umum, saat ini diyakini bahwa
sumber daya manusia dan manajemen dalam sebuah organisasi berfungsi sebagai
aset strategis bagi organisasi tersebut. Perubahan yang ada saat ini memicu
perusahaan atau instansi pemerintahan untuk melakukan perubahan dalam
mengorganisasikan, mengelola, dan memanfaatkan departemen personalia/SDM
mereka secara efektif (Dessler, 2010).
UD. Naga Agung Surya Alam (UD. NASA) di Yogyakarta adalah adalah
salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha supplier bahan bangunan.
Berlokasi di Jalan Ring Road Barat, tepatnya di kelurahan Gamping, kecamatan
Gamping, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. UD. NASA
2
berdiri pada tahun 1995, tepatnya pada tanggal 10 Oktober 1995. Saat ini sumber
daya manusia UD. NASA, menghadapi tantangan yang cukup berat ketika bekerja
di lapangan. Untuk melayani permintaan pelanggan, karyawan dituntut untuk
profesional, berwawasan global, berkemampuan tinggi, bercorak kerja yang tinggi
dan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan (Andika &
Imam, 2015). Saat ini UD. NASA memiliki total 100 karyawan. Terdapat karyawan
bagian operasional dan karyawan bagian gudang. Pada bagian operasional,
karyawan mempunyai tugas seperti mempromosikan barang, mengontrol biaya
produksi, perpajakan, hingga mengatur para karyawan di UD. NASA. Sementara
karyawan bagian gudang memiliki tugas seperti bongkar muat barang, mengangkat
dan menurunkan barang, hingga mengirim barang sesuai tempat tujuan pengiriman.
Fereshti dan Fatkhurohman (2012) menyatakan agar karyawan tidak terlalu
rentan dengan tuntutan kerja yang menimbulkan stres, karyawan harus mampu
menjaga kesehatan mentalnya, yang pada akhirnya akan tetap menikmati segala
tekanan kerja dengan santai dan tidak stres. Stres akan menjadi masalah bagi
karyawan dan organisasi jika sudah mengarah kepada timbulnya burnout (Rizka,
2013). Maslach dan Leiter (2005) berpendapat bahwa “Job burnout is a negative
emotional reaction to job, created through long attendance in high stress
workplaces”. Maksudnya, burnout merupakan reaksi emosi yang negatif yang
terjadi di lingkungan kerja ketika suatu individu tersebut mengalami stres yang
berkepanjangan. Spector (2008) menyatakan bahwa burnout adalah keadaan
psikologis seorang karyawan yang mengalami tekanan di tempat kerja untuk jangka
waktu yang panjang. Sementara menurut Gonul dan Gokce (2014), burnout
3
merupakan respon yang berkepanjangan terkait faktor penyebab stres yang terus-
menerus terjadi tempat kerja di mana hasilnya merupakan perpaduan antara pekerja
dan pekerjaannya.
Suatu organisasi atau perusahaan perlu memahami dimensi-dimensi
burnout untuk mencegah ataupun meminimalkan terjadinya burnout. Menurut
Maslach (2003) ada beberapa dimensi dari burnout, yaitu (1) emotional exhaustion
(kelelahan emosional) keadaan dimana seseorang kehilangan kontrol akan
emosinya, (2) depersonalization (depersonalisasi), keadaan dimana seseorang
mulai mengabaikan tugas yang diberikan ataupun tidak menyelesaikan tugas tepat
pada waktunya, (3) reduced personal accomplishment (penurunan prestasi diri),
ditandai dengan berkurangnya kepercayaan diri seorang karyawan dalam
menyelesaikan tugasnya, menjadi orang yang pesimis ketika berhadapan dengan
tugas.
Kebanyakan dari penelitian mengenai burnout difokuskan pada profesi
yang secara umum mengarah pada profesi pelayanan, seperi dokter, guru, dan
pekerja pemberi layanan umum lainnya. Namun, burnout tidak hanya terjadi pada
seseorang yang berprofesi sebagai pekerja pemberi layanan saja, burnout juga
banyak ditemukan pada berbagai pekerjaan lain yaitu dalam bidang organisasi
maupun industri (Maslach, Jackson, & Leiter, 1996). Menurut survei Xero, 77%
pemilik usaha kecil merasakan efek dari burnout di tempat kerja, dan 87%
pengusaha mengalami stres yang berhubungan dengan pekerjaan bahkan saat
berlibur (Prokofyeva, 2017).
4
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti di UD. NASA pada hari
Selasa, 27 Maret 2018 kepada enam karyawan diperoleh data bahwa karyawan
mengalami indikasi burnout, antara lain kurang sigap saat bekerja, terlihat letih dan
lesu ketika mendapat tugas, mengantuk di tempat kerja, masih banyak karyawan
yang istirahat atau duduk-duduk pada saat jam kerja, hingga yang memainkan
gadget seperti handphone. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada hari
Selasa, 27 Maret 2018, kepada enam karyawan bagian gudang dan karyawan
operasional UD. Naga Agung Surya Alam, diperoleh hasil bahwa karyawan yang
bekerja di gudang merasa tertekan dengan target pengiriman barang kepada seluruh
klien oleh atasannya. Jika energi telah terkuras dan habis setelah menjalankan
pekerjaan yang cukup berat, karyawan lebih mudah emosi sehingga menjadi cepat
marah dan mudah cekcok atau beradu mulut pada karyawan lain bahkan kepada
atasannya. Jika mengacu pada dimensi burnout yang dikemukakan oleh Maslach
(2003), karyawan tersebut terindikasi mengalami emotional exhaustion (kelelahan
emosional) dimana ketika individu merasa sumber daya emosional telah terkuras
dan habis. Karyawan yang bekerja di bagian gudang juga mengungkapkan, apabila
merasa tertekan dan merasa jenuh dengan berbagai tuntutan tugas-tugas yang
diberikan, karyawan sering mengurangi keterlibatan dalam bekerja, dalam
pembagian tugas hanya menginginkan tugas yang lebih ringan, serta cenderung
lebih pemilih dalam melayani klien (subjektif), karyawan menjadi sulit untuk
menerima perintah dari atasannya. Pada karyawan bagian operasional, karyawan
juga merasa sangat jenuh dan bosan dengan pekerjaannya, hal tersebut dikarenakan
tuntutan bekerja untuk menggunakan komputer selama delapan jam setiap harinya.
5
Jika mengacu pada dimensi burnout yang dikemukakan oleh Maslach (2003),
karyawan tersebut terindikasi mengalami depersonalization (depersonalisasi),
dimana ketika individu merasa jenuh dengan berbagai tuntutan sehingga akan
mengabaikan permintaan-permintaan yang dituntut oleh pekerjaan. Selanjutnya,
jika sudah mengalami kelelahan secara emosional serta merasa jenuh dengan
tuntutan pekerjaan, biasanya karyawan akan mengalami penurunan dalam bekerja
dan cenderung memberikan penilaian negatif akan hasil kerjanya, karyawan merasa
tidak puas terhadap hasil kerja sendiri dan merasa tidak dapat membantu banyak
bagi karyawan lain, karyawan lebih memilih pekerjaan yang ringan saja karena
merasa tidak mampu untuk melakukan pekerjaan dengan tugas yang lebih berat.
Hal tersebut menunjukkan indikasi adanya reduced personal cccomplishment
(penurunan prestasi diri) sesuai dimensi burnout yang dikemukakan oleh Maslach
(2003), bahwa karyawan yang mengalami reduced personal cccomplishment
(penurunan prestasi diri) akan tidak pernah puas terhadap hasil kerja sendiri serta
merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun
orang lain. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan,
diperoleh empat dari enam karyawan UD. NASA mengalami burnout. Hal tersebut
terlihat dari ciri-ciri yang mereka keluhkan dengan mengacu pada dimensi burnout
yang dikemukakan oleh Maslach (2003).
Pada setiap karyawan seharusnya mampu menghadapi burnout dengan baik
dalam suatu pekerjaannya (Maslach, 2001). Organisasi mengharapkan anggota
organisasi harus proaktif, menunjukkan inisiatif, self-directed, dan bertanggung
jawab atas perkembangan dan performa individu itu sendiri (Bakker, et al., 2008).
6
Dengan kata lain, organisasi membutuhkan anggota organisasi yang berenergi,
berdedikasi, dan berkonsentrasi penuh terhadap pekerjaannya, atau memiliki ikatan
terhadap pekerjaannya. Hal tersebut ditambahkan oleh pendapat Muhammad et al.
(2013) yang mengatakan bahwa sangat diharapkan jika burnout bisa terhindar dari
karyawan sehingga mampu meningkatkan sikap professional dalam melaksanakan
pekerjaan.
Burnout seringkali muncul di dunia kerja dikarenakan rutinitas serta tekanan
yang tinggi dalam kesehariaannya (Ramon & Anita, 2007). Hal tersebut juga
diperkuat oleh pendapat dari Muchinsky (2000), bahwa kecenderungan burnout
dapat dialami oleh karyawan yang berasal dari berbagai bidang bila memang
mendapat tekanan yang berlebihan dan menguras energi sehingga mengalami
frustrasi yang berkelanjutan. Individu yang mengalami kelelahan tidak berdaya
(burnout) dapat menguras hampir seluruh energi yang dimilikinya, sehingga hal ini
cenderung mengakibatkan seseorang lebih sulit untuk berkonsentrasi terhadap
pekerjaannya, atau gangguan pekerjaan lainnya (Zulkarnain & Pulungan, 2014).
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Maslach dan Jackson (1984) (dalam Anbar
& Eker, 2008) bahwa burnout merupakan masalah penting dalam kehidupan kerja
karena memiliki pengaruh pada kinerja, kualitas layanan, peningkatan absensi,
komitmen organisasi, kepuasan kerja dan masalah kesehatan yang berhubungan
dengan stres. Penelitian yang dilakukan Reza, dkk. (2011) menemukan bahwa
burnout merupakan variabel penting karena burnout merupakan indeks untuk
menunjukkan kinerja individu yang lemah dalam pekerjaan yang akan
7
mempengaruhi sikap, kesehatan fisik dan mental dan pada akhirnya akan
berdampak pada perilaku.
Menurut Maslach & Leiter (1997) timbulnya burnout disebabkan oleh
beberapa faktor, yang di antaranya : 1) Lingkungan kerja (dukungan sosial dari
rekan kerja yang tidak memadai, dukungan sosial dari atasan tidak memadai, beban
kerja yang berlebihan, konflik peran, jumlah individu yang harus dilayani, tanggung
jawab yang harus dipikul, kontrol yang rendah terhadap pekerjaan, serta kurangnya
stimulasi dalam pekerjaan, 2) Karakteristik individu, sumber tersebut dapat
digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografi yang mengacu pada perbedaan
jenis kelamin antara wanita dan pria dan faktor perfeksionis individu yang selalu
berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna, dan 3) Keterlibatan
emosional dengan penerimaan pelayanan atau klien, pada saat bekerja melayani
orang lain harus bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis,
frustrasi, ketakutan dan kesakitan.
Pada penelitian ini, kajian diarahkan kepada faktor lingkungan kerja yang
memungkinkan karyawan mengalami burnout di tempat kerja. La Fellete (dalam
Sumaryani, 1997) mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis tidak nampak
tetapi nyata ada dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki lingkungan kerja
suatu organisasi. Karyawan yang mempunyai penilaian yang positif terhadap
lingkungan kerja psikologisnya berarti karyawan merasa bahwa lingkungan kerja
psikologisnya baik, sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi dan akan
menghambat lajunya tingkat burnout pada karyawan. Sebaliknya, karyawan yang
8
merasakan lingkungan psikologisnya mengancam, menekan dan tidak nyaman akan
lebih mudah menderita stres dan berpotensi mengalami burnout (Berliner, 2005).
Bentuk lingkungan psikologis yang dapat menyebabkan pegawai
mengalami burnout di antaranya dukungan sosial dari rekan kerja yang tidak
memadai (Maslach & Leiter, 1997). Hal tersebut mendapat dukungan pernyataan
bahwa dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan
burnout (Caputo, 1991; Cherniss, 1980; Pines dan Aroson, 1989; Maslach, 1982).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shropshire & & Kadlec (2012) dengan subjek
penelitian pada staf bagian IT (Information and Technology) menemukan bahwa
dukungan sosial dari rekan kerja memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan
terhadap burnout. Semakin tinggi dukungan yang diterima maka burnout akan
semakin rendah. Penelitian lain yang dilakukan Labiib (2013) dengan subjek
penelitian pada perawat juga menemukan hal yang sama, bahwa dukungan sosial
dari rekan kerja memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap burnout.
Semakin tinggi dukungan yang diterima maka burnout akan semakin rendah. Selain
itu, penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2013) tentang hubungan persepsi
dukungan sosial rekan kerja terhadap burnout pada teller bank menunjukkan bahwa
terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara persepsi dukungan sosial
rekan kerja dengan burnout pada teller bank.
Hal ini diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan pada hari Selasa, 27
Maret 2018 kepada enam karyawan, diperoleh hasil bahwa karyawan mengeluhkan
tentang kurangnya dukungan perhatian, penilaian positif, atau dorongan untuk maju
dari rekan kerja, sehingga karyawan kurang termotivasi dalam melakukan
9
pekerjaan. Jika mengacu pada dimensi dukungan sosial menurut Sarafino (2011),
karyawan terindikasi tidak mendapatkan dukungan emosional atau dukungan
penghargaan, yang meliputi ungkapan rasa empati, perhatian, penilaian positif, dan
dorongan untuk maju yang menyebabkan penerima dukungan memotivasi
pekerjaan. Karyawan juga mengeluhkan kurangnya bantuan dari rekan kerja
sehinga karyawan cukup kesulitan dalam menyelesaikan dan menangani masalah
di perusahaan. Jika mengacu pada dimensi dukungan sosial menurut Sarafino
(2011), karyawan terindikasi tidak mendapatkan dukungan instrumental yang
merupakan bantuan secara langsung dan nyata, seperti bantuan finansial atau
bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Karyawan juga mengeluhkan
tidak banyak mendapatkan nasihat atau saran yang diberikan oleh rekan kerja,
akibatnya karyawan merasa kebingungan dalam memahami situasi atau pada saat
mengambil tindakan atau pemecahan masalah. Jika mengacu pada dimensi
dukungan sosial menurut Sarafino (2011), karyawan terindikasi tidak mendapatkan
dukungan informasi, seperti pemberian nasihat, arahan, saran, atau umpan balik
tentang bagaimana individu melakukan sesuatu. Hal lain yang dikemukakan oleh
karyawan bahwa antara karyawan dan rekan kerja jarang menghabiskan waktu
bersama untuk melakukan suatu kegiatan apalagi jika sudah berada diluar jam kerja.
Hal tersebut menunjukkan indikasi tidak adanya dukungan kelompok atau jaringan
sosial yang mengacu pada dimensi dukungan sosial menurut Sarafino (2011), saat
adanya ketersediaan individu lain untuk menghabiskan waktu bersama.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan
bahwa enam karyawan UD. Naga Agung Surya Alam mempunyai permasalahan
10
pada dukungan sosial dari rekan kerja. Sehingga dukungan sosial rekan kerja
diasumsikan sebagai faktor penting yang mempengaruhi burnout.
Menurut Sarafino (2011), dukungan sosial merujuk pada suatu
kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari
individu lain maupun kelompok. Hampir serupa dengan Sarafino, Taylor (2015)
mendefinisikan dukungan sosial sebagai pemahaman yang diterima dari individu
lain bahwa dirinya dicintai dan dipedulikan, dihormati dan dihargai, serta bagian
dari suatu jaringan komunikasi dan saling memberikan timbal balik. Sementara
menurut Roberts dan Gilbert (2009) dukungan sosial merujuk kepada tindakan yang
individu lain lakukan ketika individu menyampaikan bantuan.
Sarafino (2011) menjelaskan ada beberapa dimensi meliputi dukungan
sosial, yaitu : 1) dukungan emosional atau dukungan penghargaan, meliputi
ungkapan rasa empati, perhatian, penilaian positif, dan dorongan untuk maju atau
persetujuan akan gagasan atau perasaan individu, 2) dukungan instrumental, berupa
bantuan secara langsung dan nyata, seperti bantuan finansial atau bantuan dalam
mengerjakan tugas-tugas tertentu, 3) dukungan informasi, meliputi pemberian
nasihat, arahan, saran, atau umpan balik tentang bagaimana individu melakukan
sesuatu, 4) dukungan kelompok atau jaringan sosial, yaitu ketersediaan individu
untuk menghabiskan waktu dengan individu lain dalam berbagi minat yang sama
dan melakukan kegiatan sosial.
Burnout merupakan reaksi emosi yang negatif yang terjadi di lingkungan
kerja ketika suatu individu tersebut mengalami stres yang berkepanjangan (Maslach
& Leiter, 2005). Burnout berkorelasi dengan sejumlah variabel psikologis
11
diantaranya lingkungan kerja, dimana salah satu indikatornya berupa dukungan
sosial dari rekan kerja yang tidak memadai (Maslach & Leiter, 1997). Hal itu
didukung oleh Andarika (2004) menyatakan bahwa dukungan sosial berhubungan
secara langsung dengan burnout. Lebih lanjut dijelaskan, dukungan sosial membuat
individu merasa yakin bahwa dirinya dicintai, dihargai sehingga dapat mengurangi
gejala burnout yang dialaminya (Lempi, 2009). Sebaliknya, tidak adanya dukungan
sosial dapat menimbulkan ketegangan dan meningkatkan terjadinya burnout pada
individu (Purba, 2007).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti mengajukan sebuah
rumusan permasalahan dalam penelitian ini, “Apakah terdapat hubungan antara
dukungan sosial rekan kerja dengan burnout pada karyawan UD. Naga Agung
Surya Alam di Yogyakarta ?.”
B. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan permasalahan yang penulis kemukakan di atas, maka peneliti
ingin mengetahui hubungan antara dukungan sosial rekan kerja dengan burnout
karyawan UD.Naga Agung Surya Alam di Yogyakarta.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian
bagi ilmu psikologi umumnya dan khususya untuk psikologi industri dan
organisasi (PIO), terkait burnout. Selain itu, penelitian ini diharapkan
12
dapat menjadi salah satu referensi dan tambahan informasi baru mengenai
hubungan antara dukungan sosial rekan kerja dengan burnout karyawan
UD. Naga Agung Surya Alam di Yogyakarta.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu subjek untuk mengetahui
tingkat burnout yang ada pada dirinya dan penelitian ini juga diharapkan
dapat membantu pimpinan untuk lebih memahami tingkat burnout pekerja
ditinjau dari lingkungan kerja, yaitu dukungan sosial dari rekan kerja
sehingga pimpinan mampu mengambil tindakan preventif untuk
menurunkan tingkat burnout yang ada pada karyawan.