52
1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ilmu kesehatan kerja merupakan ilmu yang mendalami hubungan antara efek lingkungan kerja dengan kesehatan pekerja serta hubungan antara status kesehatan pekerja dengan kemampuannya untuk melakukan tugas yang harus dikerjakannya dengan tujuan untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan daripada mengobatinya. Pelaksanaannya diterapkan melalui Undang- Undang no. 1 tahun 1970 yang menjelaskan tentang keselamatan kerja. 1 Salah satu faktor fisika dilingkungan kerja yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja dapat mengakibatkan stress, menyebabkan cedera yang tidak disengaja, mengganggu konsentrasi, dan gangguan pendengaran hingga terjadinya kehilangan pendengaran atau tuli yang menetap. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) adalah gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising dilingkungan kerja. Banyak hal yang mempermudah sesorang menjadi tuli akibat terpajan

bab 1 97-2003

  • Upload
    rinieee

  • View
    78

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: bab 1 97-2003

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu kesehatan kerja merupakan ilmu yang mendalami hubungan antara

efek lingkungan kerja dengan kesehatan pekerja serta hubungan antara status

kesehatan pekerja dengan kemampuannya untuk melakukan tugas yang harus

dikerjakannya dengan tujuan untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan

daripada mengobatinya. Pelaksanaannya diterapkan melalui Undang-Undang no.

1 tahun 1970 yang menjelaskan tentang keselamatan kerja.1

Salah satu faktor fisika dilingkungan kerja yang dapat menyebabkan

penyakit akibat kerja adalah kebisingan. Kebisingan di tempat kerja dapat

mengakibatkan stress, menyebabkan cedera yang tidak disengaja, mengganggu

konsentrasi, dan gangguan pendengaran hingga terjadinya kehilangan

pendengaran atau tuli yang menetap. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise

Induced Hearing Loss) adalah gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh

bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya

diakibatkan oleh bising dilingkungan kerja. Banyak hal yang mempermudah

sesorang menjadi tuli akibat terpajan bising antara lain intensitas bising yang lebih

tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, dan mendapatkan

pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga (aminoglycoside, diuretika,

kemoterapi, salisilat, kina dan derivat kina dan vancomycine dan erytromycine). 1,2,3

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising, biasanya sembuh

setelah istirahat beberapa jam (1 – 2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu

yang cukup lama (10 – 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel sel rambut organ

corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi

mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat

mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan

Page 2: bab 1 97-2003

2

degeneratif pada struktur sel sel rambut organ corti. Akibatnya terjadi kehilangan

pendengaran yang permanen. tht andrina

Berdasarkan Kepmenaker 51/MEN/1999, tentang nilai ambang batas fisika

di tempat kerja disebutkan bahwa Nilai Ambang Batas terhadap kebisingan yang

dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan

kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari adalah 85 dB untuk waktu tidak lebih dari

8 jam perhari.5

Tedapat peningkatan kebisingan yang bermakna ditempat kerja dengan

adanya industrialisasi. Gangguan pendengaran, terutama kehilangan pendengaran

karena bising (Noise Induced Hearing Loss, NIHL), telah menjadi masalah umum

di sejumlah besar tempat kerja. Tempat kerja yang memiliki masalah kebisingan

memiliki sifat yang berbeda beda meliputi pabrik tekstil, pabrik baja, pabrik

minyak palem, pertambangan, lapangan udara, penggergajian, dan bahkan rumah

sakit.6

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada lesehatan kerja di

berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika

dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih. 7

Efek kebisingan suara pesawat terbang terhadap pendengaran dan jalur

pendengaran di teliti pada 112 pegawai bandara menggunakan audiometri dan

potensial listrik yang ditimbulkan pangkal otak menunjukkan pola NIHL yang

khas berupa cekungan pada frekuensi 3 atau 4 kHz dan tuli sedang pada frekuensi

6 – 8 kHz. Diantara pegawai ini, angka prevalensi tuli pada frakuensi tinggi secara

keseluruhan adalah 41,9 % dengan prevalensi tertinggi sebesar 65,2 % pada

pekerja bagian pemeliharaan yang terus menerus terpajang suara bising (Chen,

1992). 6

Pada penelitian ini penulis meneliti tentang hubungan masa kerja dan

penggunaan APD terhadap gangguan pendengaran pada pekerja ground handling

di Bandara Polonia Medan. Dari survei awal yang dilakukan oleh peneliti, kondisi

lingkungan kerja mempunyai intensitas kebisingan yang cukup tinggi. Jenis

Page 3: bab 1 97-2003

3

kebisingannya termasuk kebisingan intermitten atau kebisingan terputus-putus.

Terdapat 2 shift kerja, yaitu shift pagi dan shift siang.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “Hubungan Masa Kerja dan Penggunaan APD dengan Gangguan

Pendengaran pada Pekerja Ground Handling Bagian Lapangan di Bandara

Polonia Medan tahun 2013”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah : “ Adakah hubungan masa kerja dan penggunaan APD

dengan gangguan pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan di

Bandara Polonia Medan tahun 2013”.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan masa kerja dan penggunaan APD dengan

gangguan pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan di Bandara

Polonia Medan tahun 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan masa kerja terhadap gangguan pendengaran

pada pekerja ground handling di area lapangan terbang (apron) Bandara

Polonia Medan.

2. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pekerja ground handling dalam

penggunaan alat pelindung diri terhadap gangguan pendengaran pekerja

ground handling Bandara Polonia Medan.

Page 4: bab 1 97-2003

4

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan terutama mengenai risiko masa

waktu kerja terhadap pendengaran pekerja, sehingga dapat dilakukan

tindakan pencegahan dan penanggulangan.

2. Masukan bagi pekerja untuk mengetahui risiko akibat dari kebisingan

terhadap pendengaran, sehingga pekerja lebih menyadari pentingnya

menggunakan alat pelindung diri.

3. Bagi peneliti bermanfaat sebagai sarana memperdalam ilmu pengetahuan.

4. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat dalam mengembangkan lmu

pengetahuan dan dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian

selanjutnya.

Page 5: bab 1 97-2003

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebisingan

2.1.1. Bunyi dan Sifatnya

Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel syaraf pendengar

dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber

bunyi atau suara dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau

penghantar lainnya. Adapun sifat bunyi ditentukan terutama oleh frekuensi dan

intensitasnya. Frekuensi bunyi yang penting adalah 250 Hz, 500 Hz, 1.000 Hz,

2.000 Hz, 4.000 Hz, 8.000 Hz, dengan perincian sebagai berikut:8

1. Frekuensi antara 20 Hz sampai 20.000 Hz adalah frekuensi yang dapat

ditangkap oleh indera pendengaran manusia.

2. Frekuensi 250 Hz sampai 300 Hz, frekuensi ini sangat penting karena

frekuensi ini manusia dapat melaksanakan komunikasi atau percakapan

dengan baik.

3. Frekuensi 4.000 Hz yaitu frekuensi yang paling peka ditangkap oleh

indera pendengaran manusia, biasanya ketulian akibat pemaparan

kebisingan terjadi pada frekuensi ini.

2.1.2 Definisi Kebisingan

Bising adalah bunyi yang tidak dikehendaki atau diinginkan yang

melebihi ambang batas pendengaran. Predikat tidak dikehendaki ini sebenarnya

tergantung ada pandangan subjektif masing-masing orang.. Suara yang

dikehendaki seseorang mungkin tidak disenangi atau dikehendaki oleh orang

lain.2,9

Dalam kesehatan kerja, bising diartikan suara yang dapat menurunkan

pendengaran baik secara kualitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun

secara kuantitatif (penyempitan spektrum pendengaran), berkaitan dengan faktor

Page 6: bab 1 97-2003

6

intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu. Bising pada frekuensi antara 31,5 Hz

sampai 8000 Hz terutama penting karena efeknya terhadap pendengaran. Bising

pada frekuensi antara 300 sampai 3.000 Hz mengganggu percakapan harian. 6

Berdasarkan Kepmenaker No 51. tahun 1999, kebisingan adalah semua

suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan

atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan

pendengaran. 5

2.1.3. Jenis Kebisingan

Secara umum, jenis kebisingan dikelompokkan berdasarkan kontinuitas,

intensitas dan spectrum frekuensi suara antara lain:10

1. Steady state & Narrow band noise

Kebisingan yang terus-menerus dengan spectrum suara yang sempit

seperti suara mesin, kipas angin, dll.

2. Non-steady state & Narrow band noise

Kebisingan yang tidak terus menerus dengan spectrum suara yang sempit

seperti mesin gergaji, katup uap, dll.

3. Kebisingan intermiten

Kebisingan yang terjadi sewaktu-waktu dan terputus seperti suara pesawat

terbang, kereta api, dll.

4. Kebisingan impulsif

Kebisingan yang berintensitas tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan

pada alat pendengaran, seperti suara ledakan bom.

2.1.4. Frekuensi dan Intensitas Kebisingan

Frekuensi menjelaskan rata-rata getaran yang dihasilkan oleh perubahan

energi. Semakin cepat getara, semakin tinggi frekuensi gelombang bunyi yang

dihasilkan. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran perdetik yang disebut

‘Hertz (Hz)’ yaitu jumlah gelombang-gelombang yang sampai ditelinga setiap

Page 7: bab 1 97-2003

7

detiknya. Pada umumnya suatu kebisingan terdiri atas campuran sejumlah

gelombang dari berbagai macam frekuensi. Frekuensi suara paling rendah yang

dapat didengar manusia adalah sekitar 20 Hz dan yang paling tinggi 18 kHz.

Sedangkan intensitas mengacu pada volume suara dan dinyatakan dalam ‘desibel’

(dB).1,2,9

Tabel 2.1. Skala Intensitas Kebisingan dan Sumbernya

Intensitas (desibel) Sumber kebisingan

Kerusakan alat pendengar (batas dengar tertinggi)

Menyebabkan tuli Halilintar

Meriam

Mesin uap

Sangat hiruk Jalan hiruk pikuk

Perusahaan sangat gaduh

Peluit polisi

Kuat Kantor bising

Jalan pada umumnya

Radio

Perusahaan

Sedang Rumah gaduh

Kantor pada umumnya

Percakapan kuat

Radio perlahan

Tenang Rumah tenang

Kantor perorangan

Auditorium

Percakapan

Sangat tenang Suara daun

Berbisik

(batas dengar terendah)

Sumber: Suma’mur, 2009

120

100

80

110

90

70

60

50

40

30

20

10

0

Page 8: bab 1 97-2003

8

Tabel 2.2. Tingkat kebisingan

Desibel (dB)

Ambang pendengaran

Kantor yang sunyi

Weker yang berbunyi pada jarak 1 meter

Ruangan mesin kapal

Mesin turbo jet pada jarak 25 meter

0

40

80

120

140

(Sumber: buku saku kesehatan kerja, 2005)

2.1.5. Nilai Ambang Batas

Nilai Ambang Batas yang selanjutnya disingkat NAB adalah standar

faktor tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan

penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak

melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Kepmenaker No 51. tahun 1999).

Di Indonesia, Nilai Ambang batas (NAB) kebisingan adalah 85 dB yang

secara terus-menerus dinilai oleh Panitia Teknik Nasional NAB.10

WAKTU PEMAJANAN PERHARI INTENSITAS KEBISINGAN DALAM dB

JAM

MENIT

8

4

2

1

30

15

85

88

91

94

97

100

Page 9: bab 1 97-2003

9

DETIK

7,5

3,75

1,88

0,94

28,12

14,06

7,03

3,52

1,76

0,88

0,44

0,22

0,11

103

106

109

112

115

118

121

124

127

130

133

136

139

Tabel 2.3. Nilai Ambang Batas Kebisingan

2.1.6. Telinga Manusia

Menurut anatomi dan fungsi, telinga dapat dibagi menjadi telinga luar,

telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi menangkap bunyi,

menghantarkannya, dan memperkuat kira-kira 15 dB pada sekitar 2,5 kHz dan

menentukan arah datangnya bunyi. Telinga tengah mengubah getaran –suara

menjadi gelombang cairan. Kemudian telinga dalam mengubah getaran cairan

menjadi rangsang syaraf. 11

1. Telinga bagian luar

(Sumber: Kepmenaker No. 51,1999)

Page 10: bab 1 97-2003

10

Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga (meatus akustikus

eksternus), dan selaput gendang telinga (membrane timpani) yang merupakan

dinding pemisah antara liang telinga dengan telinga tengah. Bagian daun

telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga

dan akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu kompleks pada

telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting adalah

liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang

dilapisi kulit tipis. 6,11

2. Telinga bagian tengah

Bagian ini merupakan rongga yang berisi udara untuk menjaga

tekanan udara agar seimbang. Di dalamnya terdapat saluran Eustachio yang

menghubungkan telinga tengah dengan faring. Rongga telinga tengah

berhubungan dengan telinga luar melalui membran timpani. Hubungan telinga

tengah dengan bagian telinga dalam melalui jendela oval dan jendela bundar

yang keduanya dilapisi dengan membran yang transparan.

Selain itu terdapat pula tiga tulang pendengaran yang tersusun seperti

rantai yang menghubungkan gendang telinga dengan jendela oval. Ketiga

tulang tersebut adalah tulang martil (maleus) menempel pada gendang telinga

dan tulang landasan (inkus). Kedua tulang ini terikat erat oleh ligamentum

sehingga mereka bergerak sebagai satu tulang. Tulang yang ketiga adalah

tulang sanggurdi (stapes) yang berhubungan dengan jendela oval. Ketiga

Gambar 2.1. Anatomi telinga

Page 11: bab 1 97-2003

11

tulang tersebut dapat juga disebut oksikula. Antara tulang landasan dan tulang

sanggurdi terdapat sendi yang memungkinkan gerakan bebas.

Fungsi rangkaian tulang dengar adalah untuk mengirimkan getaran

suara dari gendang telinga (membran timpani) menyeberangi rongga telinga

tengah ke jendela oval. 3,6

3. Telinga bagian dalam

Juga disebut cochlea dan berbentuk rumah siput. Cochlea

mengandung cairan yang didalamnya terdapat membrane basiler dan organ

corti yang terdiri dari sel-sel rambut yang merupakan reseptor pendengaran.

Getaran dari jendela oval akan diteruskan oleh cairan didalam cochlea dan

mengantarkannya ke membran basiler. Getaran ini merupakan impuls bagi

organ corti yang selanjutnya akan dihantarkan ke otak melalui syaraf

pendengaran (nervus cochlearis). 6,11

Cara Kerja Indra Pendengaran :

Gelombang bunyi yang masuk ke dalam telinga luar menggetarkan

gendang telinga. Getaran ini akan diteruskan oleh ketiga tulang dengar ke

jendela oval. Getaran Struktur koklea pada jendela oval diteruskan ke cairan

limfa yang ada di dalam saluran vestibulum. Getaran cairan tadi akan

menggerakkan membran Reissmer dan menggetarkan cairan limfa dalam

saluran tengah.

Perpindahan getaran cairan limfa di dalam saluran tengah

menggerakkan membran basher yang dengan sendirinya akan menggetarkan

cairan dalam saluran timpani. Perpindahan ini menyebabkan melebarnya

membran pada jendela bundar. Getaran dengan frekuensi tertentu akan

menggetarkan selaput-selaput basiler, yang akan menggerakkan sel-sel rambut

ke atas dan ke bawah. Ketika rambut-rambut sel menyentuh membran tektorial,

terjadilah rangsangan (impuls). Getaran membran tektorial dan membran

Page 12: bab 1 97-2003

12

basiler akan menekan sel sensori pada organ Korti dan kemudian menghasilkan

impuls yang akan dikirim ke pusat pendengar di dalam otak melalui saraf

pendengaran. 6

2.1.7. Gangguan Akibat Kebisingan

Gangguan akibat kebisingan pada pekerja secara umum dapat dibagi

menjadi dua, yaitu:

2.1.7.1. Gangguan Kebisingan Auditori

1. Trauma Akustik.12

Melalui pajanan terhadap bising akut atau berkepanjangan,

kerusakan dapat terjadi di telinga dalam pada sel-sel sensorik melalui

proses metabolic (kekurangan oksigen) atau kerusakan mekanis langsung.

Pada kurva ambang pendengaran, biasanya terdapat penurunan pada 4 kHz

serta gangguan pendengaran untuk nada tinggi.

a. Trauma akibat letupan bunyi keras mendadak: pajanan akut terhadap

intensitas bunyi diatas 140 dB selama kurun waktu dibawah 2

milidetik. Pajanan ini menyebabkan tuli sesaat yang disertai nyeri

menusuk di telinga, dan terjadi perbaikan dalam hari-hari pertama

setelah kejadian.

b. Trauma akibat bunyi ledakan: pajanan terjadi pada intensitas bunyi

diatas 140 dB dalam kurun waktu lebih lama dari 2 milidetik.

Membran timpani mengalami kerobekan, dan bahkan telingan tengah

dengan osikulanya dapat ikut terkena.

c. Trauma bising kronik: terjadi akibat pajanan terhadap bising

berkepanjangan (di tempat kerja) dengan intensitas di atas 85-90 dB.

d. Trauma bising akut : pajanan bising yang sangat keras dan mendadak.

Misalnya konser music rock yang diperparah dengan kelainan posisi

vertebra servikal dengan iskemia transien.

Page 13: bab 1 97-2003

13

2. Temporary Treshold Shift (TTS)

Adalah efek jangka pendek dari pemaparan bising, berupa kenaikan

ambang sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan

terhadap bising akan kembali normal. Faktor yang mempengaruhi

terjadinya TTS adalah intensitas dan frekuensi bising, lama waktu

pemaparan dan lama waktu istirahat dari pemaparan, tipe bising dan

kepekaan individual.6

3. Permanent Treshold Shift (PTS)

Biasanya terjadi akibat waktu paparan yang lama (kronis).

Biasanya PTS dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 13

a. Tingginya level suara

b. Lamanya paparan

c. Spektrum suara

d. Temporal pattern, bila kebisingan yang berkelanjutan maka

kemungkinan terkena TTS akan semakin besar

e. Pengaruh obat-obatan.

2.1.7.2. Gangguan Kebisingan Non Auditori. 6

Meningkatnya kadar kebisingan juga menimbulkan reaksi stress dengan

variasi detak jantung, tekanan darah, pernapasan, gula darah, dan kadar lemak

darah. Bertambahnya motilitas saluran pencernaan dan tukak lambung juga

dilaporkan. Penelitian mengemukakan bahwa tingkat kebisingan di atas 55 dBA

menyebabkan timbulnya rasa terganggu maupun berkurangnya efisiensi.

2.1.8. Pengukuran Kebisingan

Maksud pengukuran kebisingan adalah: 8

a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di

perusahaan atau dimana saja

Page 14: bab 1 97-2003

14

b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi

intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan

dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau

perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam

kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya.

Pemilihan alat ukur kebisingan ditentukan oleh jenis kebisingan yang akan

diukur. Macam-macam alat pengukur kebisingan: 8

1. Sound level meter. Alat ini merupakan alat utama dalam pengukuran

kebisingan. Alat ini mengukur kebisingan diantara 30-130 dB dan dari

frekuensi 20-20.000 Hz.

2. Narrow band analyzer (alat analisis spektrum tipis) alat ini dipakai untuk

menganalisis kebisingan lebih lanjut.

3. Impact noise analyzer alat ini dipakai untuk kebisingan impulsif. Penggunaan

alat ini dibantu suatu alat perekam suara yang mampu mencatat frekuensi dari

20-20.000 Hz. Alat ini harus mempunyai sifat perbandingan antara sinyal

terhadap kebisingan yang tinggi, dan bekerjanya perekaman berlangsung

dengan kecepatan yang menetap.

4. Personal noise dose meter alat ini digunakan untuk mengukur dosis

kebisingan seluruh waktu perseorangan. Alat ini menunjukkan dosis

kumulatif paparan seorang tenga kerja dalam seluruh waktu kerjanya.

2.1.9. Pengendalian kebisingan

Kebisingan dapat dikendalikan dengan: 8

a. Pengurangan kebisingan pada sumbernya

Pengurangan kebisingan pada sumbernya dapat dilakukan misalnya dengan

menempatkan peredam pada sumber getaran, tetapi umumnya hal ini

dilakukan dengan melakukan riset dan membuat perencanaan mesin atau

peralatan kerja yang baru. Selain unpaya menurunkan kebisingan pada mesin

atau peralatan kerja, juga instalasi mesin atau peralatan kerja pada kedudukan

Page 15: bab 1 97-2003

15

yang meredam getaran ke lantai atau dinding sangat membantu menurunkan

tingkat kebisingan ditempat kerja.

b. Penempatan penghalang pada jalan transmisi

Isolasi tenaga kerja atau mesin atau unit operasi adalah upaya segera dan baik

dalam upaya mengurangi kebisingan. Penutup atau pintu keruang isolasi

harus mempunyai bobot yang cukup berat, menutup pas betul lobang yang

ditutupnya dan lapisan dalamnya terbuat dari bahan yang menyerap suara

agar tidak terjadi getaran yang lebih hebat sehingga merupakan sumber

kebisingan.

c. Proteksi dengan sumbat atau penutup telinga

Perlindungan pendengaran diselenggarakan untuk melengkapi tindakan

pengendalian kebisingan. Tujuan utama pemakaian pelindung pendengaran

adalah secara ekonomis mengurangi pajanan yang berbahaya hingga pada

tingkat aman bagi telinga pegawai untuk mencegah kehilangan pendengaran.

Alat pelindung pendengaran harus disediakan gratis bagi semua pekerja yang

terpajan bising di atas 85 dB. Pegawai harus dapat memilih pelindung

pendengaran dan diberi pelatihan mengenai cara pemakaian dan

pemeliharaannya. Pengepasan pelindung pendengaran yang sesuai adalah

penting karena terdapat variasi diameter dan bentuk kanal telinga. Jenis

pelindung pendengaran yang dipakai akan bergantung pada faktor pelemahan

(angka pengurangan bising) dan ciri spektrum lingkungan bising tempat

pegawai bekerja. 6

Ada 3 jenis alat pelindung pendengaran yaitu: 13

1. Sumbat telinga (ear plug), dapat mengurangi kebisingan 8 – 30 dB.

Biasanya digunakan untuk proteksi sampai dengan 100 dB.

Beberapa tipe dari sumbat telinga antara lain: Formable type,

Costum-molded type, Premolded type.

Page 16: bab 1 97-2003

16

2. Tutup telinga (ear muff), dapat menurunkan kebisingan 25-40 dB.

Digunakan untuk proteksi sampai dengan 110 dB.

3. Helm (helmet), mengurangi kebisingan 40-50 dB.

Sumbat telinga biasanya dipakai apabila: 8

i. Sumbat telinga benar-benar diperlukan, yaitu adanya kebisingan

lebih dari 100 dB (A)

ii. Tenaga kerja dapat membiasakan diri untuk memakainya, yang

biasanya pemakaiannya dicoba dalam periode waktu 3-4 minggu

pertama.

Problematik utama pemakaian alat proteksi pelindung pendengaran adalah

mendidik tenaga kerja agar konsisten patuh menggunakannya.

d. Pelaksanaan waktu paparan bagi intensitas di atas NAB

Untuk intensitas kebisingan yang melebihi NAB nya telah ada standar waktu

paparan yang diperkenankan sehingga masalahnya adalah pelaksanaan dari

pengaturan waktu kerja sehingga memenuhi ketentuan tersebut.

2.2. Gangguan Pendengaran

Manusia yang mengalami gangguan pendengaran (hearing loss) umumnya

mengalami kesulitan (ringan sampai berat) untuk membedakan kata-kata yang

memiliki kemiripan atau mengandung konsonan-konsonan pada rentang frekuensi

agak tinggi, seperti konsonan S, F, SH, CH, H dan C lembut. 3

Tingkat kemampuan pendengaran dibagi dalam beberapa tingkatan seperti

pada tabel berikut: 3

Tabel 2.4. Derajat Ketulian menurut ISO

Rentang batas kekuatan suara yang dapat didengar

Klasifikasi tingkat keparahan gangguan sistem pendengaran

-20 dB – 25 dB Rentang normal

Page 17: bab 1 97-2003

17

26 dB – 40 dB Tuli ringan 41 dB – 55 dB Tuli sedang 56 dB – 70 dB Tuli sedang berat 71 dB – 90 dB Tuli berat

> 90 dB Tuli sangat berat (sumber: ISO)

2.2.1. Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah

gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup

keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising

lingkungan kerja.

Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi

pada kedua telinga. Bising yang intensitasnya 85 dB atau lebih dapat

mengakibatkan kerusakan pada reseptor pada pendengaran corti di telinga dalam.

Yang sering mengalami kerusakan adalah alat corti untuk reseptor bunyi yang

berfrekuensi 3000 Hz – 6000 Hz dan yang terberat kerusakan alat corti untuk

reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan

bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih

lama terpapar bising, dan mendapat pengobatan yang bersifat merusak terhadap

telinga seperti streptomisin, kanamisin, garamisin, kina, asetosal, dan lain-lain. 3

Patofisiologi

Meknisme yang mendasari NIHL diduga berupa adanya stres mekanis dan

metabolik pada organ sensorik auditorik bersamaan dengan kerusakan sel sensorik

atau bahkan kerusakan sel sensorik atau bahkan kerusakan total organ Corti di

dalam koklea. Kehilangan sel sensorik pada daerah yang sesuai dengan frekuensi

yang terlibat adalah penyebab NIHL yang paling penting. Kepekaan terhadap

stres pada sel rambut luar ini berada dala, kisaran 0-50 dB. Biasanya dengan

Page 18: bab 1 97-2003

18

terjadinya TTS, ada kerusakan bermakna pada sel rambut luar. Frekuensi yang

sangat tinggi lebih dari 8 kHz memengaruhi dasar koklea. 6

Gejala Klinis

Adapun gejala-gejala gangguan pendengaran akibat bising adalah

kurangnya pendengaran disertai telinga berdenging atau tidak. Bila sudah cukup

berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa, dan

bila sudah lebih berat percakapan yang keras sukar dimengerti.

Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan:3

1. Reaksi adaptasi

Merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan

intensitas 70 dB atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis

pada saraf telinga yang terpajan bising.

2. Peningkatan ambang dengar sementara.

Merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat

pajanan bising dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat

terjadi dalam beberapa menit atau jam, jarang terjadi pemulihan dalam

satuan hari.

3. Peningkatan ambang dengar menetap.

Merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap

akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat

atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan berbagai struktur

koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis

dan lain-lain.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 3,6

a. Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam

jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih.

Page 19: bab 1 97-2003

19

b. Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemui kelainan.

c. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil rinne positif,

weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik, dan

scwabach memendek. Kesan jenis ketulian adalah tuli sensorineural.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Hubungan gangguan

pendengaran pada pekerja

berdasarkan:

a. Masa kerja

> 2 tahun

≤ 2 tahun

b. Penggunaan APD

Ya/Tidak

Gangguan Pendengaran

1. Tidak ada gangguan

pendengaran

2. Tuli sensorineural

Page 20: bab 1 97-2003

20

Variabel Bebas Variabel Terikat

3. 2. Definisi Operasional

Variabel Definisi operasionalAlat dan cara pengukuran

Hasil pengukuran

Skala pengukuran

Masa kerja

Lamanya waktu bekerja

yang dihitung dari awal

masuk sebagai pegawai

hingga sekarang yang

ditentukan dalam

hitungan tahun

Angket a. > 2 tahun

b. ≤ 2 tahun

Nominal

Penggunaan APD

penggunaan alat

pelindung diri berupa

ear muff atau ear plug

untuk mencegah

terjadinya gangguan

kesehatan khususnya

gangguan pendengaran

akibat kerja.

Angket a. Ya

b. Tidak

Nominal

Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran

yang disebabkan akibat

terpajan oleh bising

yang cukup keras dalam

jangka waktu yang

cukup lama dan

biasanya diakibatkan

oleh bising lingkungan

Angket a. Tidak ada gangguan pendengaran

b. Tuli sensorineural

Nominal

Page 21: bab 1 97-2003

21

kerja.

3.3. Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada hubungan masa kerja dengan gangguan pendengaran pekerja

ground handling bagian lapangan di Bandara Polonia Medan tahun 2013

Ho : Tidak ada hubungan penggunaan APD gangguan pendengaran pekerja

ground handling bagian lapangan di Bandara Polonia Medan tahun 2013

3. 4. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara masa kerja dan penggunaan alat pelindung diri dengan gangguan

pendengaran pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan

tahun 2013. Desain penelitian yang dipakai adalah cross sectional.

3. 5. Lokasi dan Waktu Penelitian

3. 5. 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bandara Polonia Medan tepatnya pada pekerja

ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan.

Adapun alasan dilakukan penelitian di tempat tersebut yaitu :

1. Adanya intensitas kebisingan yang tinggi pada tempat tersebut.

2. Adanya dukungan dan kemudahan dari pihak bandara untuk melakukan

penelitian di tempat tersebut

Page 22: bab 1 97-2003

22

3. 5. 2. Waktu Penelitian

Penelitan ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013.

3. 6. Populasi dan Sampel

3. 6. 1 Populasi

Populasi adalah seluruh tenaga kerja ground handling bagian lapangan

Bandara Polonia Medan mencakup porter, operator, operation, dan AVSEC

sebanyak 51 orang.

3. 6. 2. Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini diambil secara total sampling

yaitu seluruh populasi, yaitu seluruh tenaga kerja ground handling bagian

lapangan Bandara Polonia Medan.

3. 7. Metode Pengumpulan Data

3. 7. 1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan angket dan

dengan melakukan tes pendengaran menggunakan garpu tala 512 Hz.

3. 7. 2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari bagian engineering dan bagian

kesekretariatan PT. Jasa Angkasa Semesta Bandara Polonia Medan

Page 23: bab 1 97-2003

23

3. 8. Aspek Pengukuran

Gangguan pendengaran diukur dengan tes pendengaran menggunakan

garpu tala 512 Hz. Tes pendengaran yang dilakukan adalah tes Rinne, tes Weber

dan tes Scwabach.

Adapun cara pengukurannya adalah:

1. Tes Rinne

Penala digetarkan, tangkai diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak

terdengar penala di pegang didepan telinga kira kira 2,5 cm. Bila masih

terdengar di sebut rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut rinne

negatif (-)

2. Tes Weber

Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala

(vertex, dahi, panggal hidung, ditengah tengah gigi seri atau di dagu).

Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut

waber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat di bedakan kearah

telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada

lateralisasi.

3. Tes Schwabach

Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus

sampai tidak terdengar bunyi, kemudian tangkai penala segera di

pindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang

pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut

schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,

pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada

prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat

mendengar bunyi disebut schwabach memanjang dan bila pasien dan

pemeriksa kira kira sama sama mendengarnya disebut dengan schwabach

sama dengan pemeriksa. 3

Tabel 3.1. Interpretasi Diagnosa Tes Rinne, Tes Weber dam Tes Schwabach. 3

Page 24: bab 1 97-2003

24

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosa

PositifTidak ada lateralisasi

Sama dengan pemeriksa

Normal

NegatifLateralisasi ke telinga yang sakit

Memanjang Tuli Konduktif

PositifLateralisasi ke telinga yang sehat

MemendekTuli Sensorineural

3. 9. Pengolahan dan Analisa Data

3. 9. 1. Pengolahan Data

Pengolahan data menggunakan program komputer melalui tahap – tahap

editing, coding, processing (data entry) dan cleaning dan disajikan dalam bentuk

tabel.

1. Editing

Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan

penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah

merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau

kuesioner tersebut.

2. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

peng”kodean”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf

menjadi data angka atau bilangan.

3. Processing ( Data Entry )

Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam

bentuk kode dimasukkan ke dalam program atau software komputer.

Dalam penelitian ini digunakan program SPSS versi 18.0

4. Pembersihan Data ( Cleaning )

Merupakan pengecekan kembali data yang sudah di entry , apakah ada

kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut mungkin terjadi pada saat

meng’entry’ ke komputer. 13

3. 9. 2. Analisa Data

Page 25: bab 1 97-2003

25

Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan : 13

1. Analisa Univariat

Menganalisa data dari variable-variabel yang diperoleh dan

menggambarkannya dengan statistik deskriptif yang disajikan pada tabel

distribusi frekuensi.

2. Analisa Bivariat

Mendapatkan keadaan hubungan antara dua variabel yang diteliti

berdasarkan uji chi-square menggunakan Statistical Product and Service

Solutions (SPSS) 18.00 for window.

3. Rasio Prevalens

Perbandingan antara jumlah subjek dengan penyakit pada satu saat dengan

seluruh subjek yang ada. Rasio prevalens dihitung dengan menggunakan

tabel 2 x 2 yang selanjutnya akan dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.2 Tabel Pengamatan Cross Sectional

Ya Tidak Jumlah

Ya a B a + b

Tidak c D c + d

Jumlah a + c b + d a + b + c + d

Keterangan:

a = subjek dengan faktor resiko yang mengalami efek

b = subjek dengan faktor resiko yang tidak mengalami efek

c = subjek tanpa faktor resiko yang mengalami efek

d = subjek tanpa faktor resiko yang tidak mengalami efek

Uji

Efek

Page 26: bab 1 97-2003

26

Rasio prevalens dihitung dengan membagi prevalens efek pada kelompok

dengan faktor resiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa faktor resiko.

RP =

3. Pengujian hipotesis

4. Penafsiran dan penyimpulan

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Perusahaan

PT Jasa Angkasa Semesta Tbk. didirikan pada tahun 1984 sebagai penyedia

layanan ground handling di bawah merek JAS Layanan Bandara. Perusahaan ini

mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1985 di Bandara Internasional

Soekarno Hatta di Jakarta melayani Cathay Pacific, Malaysia Airlines, Lufthansa

dan Singapore Airlines sebagai pelanggan pertama. Pada tahun 2000 perusahaan

ini mulai menangani kargo dan bisnis pergudangan setelah PT Cardig Air

menyerahkan bisnisnya ke JAS.

Page 27: bab 1 97-2003

27

JAS telah didaftarkan di Bursa Efek Surabaya (BES) sehingga menjadi

perusahaan ground handling pertama di Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek

pada tahun 2004, JAS bekerja sama dengan Singapore Airport Terminal Services

(SATS).

Pada saat lebih ini PT. JAS memiliki lebih dari 1.700 karyawan, JAS Airport

Services telah berkembang dan kini melayani lebih dari 30 maskapai penerbangan

internasional dan domestik di 10 bandara di Indonesia.

4.2. Ruang Lingkup Batas Pekerjaan Ground Handling

Ruang lingkup batas pekerjaan ground handling yaitu pada fase atau tahap

Pre Flight dan Post Flight, yaitu penanganan penumpang dan pesawat selama

berada di bandara. Secara teknis operasional, aktivitas ground handling dimulai

pada saat pesawat taxi (parking stand), mesin pesawat sudah dimatikan, roda

pesawat sudah diganjal (block on) dan pintu pesawat sudah dibuka (open the

door) dan para penumpang sudah dipersilakan untuk turun atau keluar dari

pesawat, maka pada saat itu para staf darat sudah memiliki kewenangan untuk

mengambil alih pekerjaan dari Pilot In Command (PIC) beserta cabin crewnya.

4.3. Jumlah Pekerja Ground Handling Bandara Polonia Medan

Tabel 4.1. Jumlah Pekerja Ground Handling Bandara Polonia Medan Tahun 2013

NO POSISI RUANG LINGKUP KERJA JUMLAH

1. Terminal

Non – Lapangan

15

2. Maintenance 23. Cargo Staff 4

4. Porter

Lapangan

37

5. Operator 5

6. Operation 6

7. Avsec 3

Page 28: bab 1 97-2003

28

Sumber : Bandara Polonia Medan

Catatan:

1. Operator : Tenaga kerja yang bertugas mengoperasikan GSE

(Ground Spot Equipment)

2. Porter : Tenaga kerja yang bertugas untuk memasukkan /

mengeluarkan barang dari pesawat.

3. Operation : Tenaga kerja yang bertugas mengatur pesawat pada saat

parkir.

4. AVSEC : Tenaga kerja yang bertugas mengawasi kerja operator,

porter, dan operation.

4.4. Jam Kerja

Jam kerja yang berlaku bagi pekerja ground handling bagian lapangan

Bandara Polonia Medan terbagi atas dua shift.

1. Shift pagi ( pukul 05.00 – 14.00 WIB )

2. Shift siang (pukul 14.00 – 23.00 WIB )

Diberikan waktu istirahat 1 jam untuk tiap shift kerja. Waktu lembur

tergantung dari tertunda atau tidaknya penerbangan dari suatu maskapai.

4.5. Analisa Univariat

4.5.1. Umur Sampel

Tabel 4.2. Distribusi Sampel Menurut Umur Tenaga Kerja Ground Handling

Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013

No Umur ( Tahun ) Jumlah Persen1. 18-32 37 orang 72,5 %2. 33-46 14 orang 27,5 %Total 51 orang 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut umur yang terbanyak

pada kelompok 18-32 tahun tahun sebanyak 37 orang (72,5%).

Page 29: bab 1 97-2003

29

4.5.2. Masa Kerja Sampel

Tabel 4.3. Distribusi Sampel Menurut Masa Kerja Tenaga Kerja Ground

Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013

No Masa Kerja ( Tahun ) Jumlah Persen1. > 2 tahun 18 orang 35,3 %2. ≤ 2 tahun 33 orang 64,7 %Total 51 orang 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut masa kerja yang

terbanyak pada kelompok ≤ 2 tahun sebanyak 33 orang (64,7%).

4.5.3. Lama Kerja Sampel

Tabel 4.4. Distribusi Sampel Menurut Lama Kerja Tenaga Kerja Ground

Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013

No. Lama Kerja (Jam/hari) Jumlah Persen1. > 8 jam/hari 22 orang 43,1 %2. ≤ 8 jam/hari 29 orang 56,9 %Total 51 orang 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat distribusi sampel menurut lama kerja yang

terbanyak pada kelompok ≤ 8 jam/hari sebanyak 29 orang (56,9 %).

4.5.4. Pemakaian Alat Pelindung Telinga

Tabel 4.5. Distribusi sampel menurut pemakaian alat pelindung Telinga Tenaga

Kerja Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013

NoPenggunaan Alat Pelindung

TelingaJumlah Persen

1. Ya 50 orang 98,0 %2. Tidak 1 orang 2,0 %Total 51 orang 100 %

Page 30: bab 1 97-2003

30

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar sampel memakai alat

pelindung telinga saat bekerja yaitu sebanyak 50 orang (98,0%).

Pekerja juga diberikan alat pelindung diri berupa safety shoes yaitu sepatu yang

dilindungi besi pada bagian ujung kaki yang berguna untuuk melindungi kaki dari

terjatuhnya benda-benda berat.

4.5.5. Gangguan Pendengaran

Tabel 4.6. Distribusi sampel menurut Gangguan Pendengaran Tenaga Kerja

Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013

No. Gangguan PendengaranTelinga Kanan Telinga Kiri

N % N %

1. Tidak ada gangguan (Normal) 42 93 % 44 98 %2. Tuli Sensorineural 3 7 % 1 2 %Jumlah 45 100 % 45 100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat untuk telinga kanan sampel yang

pendengarannya normal sebanyak 42 orang (93 %), tuli sensorineural sebanyak 3

orang (7 %). Untuk telinga kiri sampel yang pendengarannya normal sebanyak 44

orang (98%), tuli sensorineural sebanyak 1 orang (2%).

4.6. Analisa Bivariat

4.6.1. Hubungan Masa Kerja (Tahun) dengan Gangguan Pendengaran

Tabel 4.7. Hubungan Masa Kerja (Tahun) dengan Gangguan Pendengaran pada

Pekerja Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013

Masa Kerja

(Tahun)

Gangguan Pendengaran

TotalYa Tidak

N % N %

> 2 tahun 1 25,0% 17 36,2% 18

≤ 2 tahun 3 75,0% 30 63,8% 33

Page 31: bab 1 97-2003

31

Total 4 100% 47 100% 51

Dari tabel di atas didapatkan pekerja ground handling yang bekerja > 2

tahun mengalami gangguan pendengaran sebanyak 1 orang (25%) dan yang

bekerja ≤ 2 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 3 orang

(75%). Pekerja ground handling yang bekerja > 2 tahun yang tidak mengalami

gangguan pendengaran sebanyak 17 orang (36,2%) dan yang bekerja ≤ 2 tahun

yang tidak mengalami gangguan pendengaran sebanyak 30 orang (63,8%).

Rasio prevalens yang didapatkan bernilai 0,62 dan nilai interval

kepercayaan (confidence interval) 95% rasio prevalensi tersebut berada diantara

0,057 dan 6,107. Maka, Masa kerja (tahun) belum dapat dikatakan bermakna

sebagai faktor resiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja

ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan.

Selanjutnya, hasil uji chi-square antara masa waktu kerja dengan

terjadinya gangguan pendengaran memperlihatkan bahwa nilai X2-hitung = 0,201

dan nilai sig-p= 0,654. Jika dibandingkan dengan nilai X2-tabel = 3,481 (yang

diperoleh dari daftar nilai kritis uji chi-square untuk df=1) dan nilai sig-α = 0,05,

terbukti bahwa nilai X2hitung (0,201) < X2-tabel (3,481) dan nilai sig-p (0,654) >

sig-α (0,05). Hasil analisis ini menunjukkan Ho diterima yang menyatakan bahwa

tidak ada hubungan antara lama waktu kerja dengan terjadinya gangguan

pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia

Medan.

4.6.2. Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Pendengaran

Tabel 4.8. Hubungan Penggunaan APD dengan Gangguan Pendengaran pada

Pekerja Ground Handling Bagian Lapangan Bandara Polonia Medan Tahun 2013

Penggunaan APD

Gangguan Pendengaran

TotalYa Tidak

N % N %

Page 32: bab 1 97-2003

32

Ya 4 100% 46 97,9% 50

Tidak 0 0% 1 2,1% 1

Total 4 100% 47 100% 51

Dari tabel di atas didapatkan pekerja yang menggunakan APD yang

mengalami gangguan pendengaran sebanyak 4 orang (100%) dan yang tidak

mengalami gangguan pendengaran sebanyak 46 orang (97,9%). Pekerja yang

tidak menggunakan APD yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 0

orang (0%) dan yang tidak mengalami gangguan pendengaran sebanyak 1 orang

(2,1%).

Dikarenakan terdapat satu sel yang bernilai 0, maka hubungan dan rasio

prevalensi untuk mengetahui faktor resiko antara penggunaan APD dengan

terjadinya gangguan pendengaran tidak dapat ditentukan.

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Masa kerja dengan gangguan pendengaran

Salah satu faktor lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat

kerja adalah kebisingan. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced

Hearing Loss) adalah gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh bising yang

cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh

bising dilingkungan kerja.1,2,3

Page 33: bab 1 97-2003

33

Hilangnya pendengaran sementara akibat pemaparan bising, biasanya sembuh

setelah istirahat beberapa jam (1 – 2 jam). Bising dengan intensitas tinggi dalam waktu

yang cukup lama (10 – 15 tahun ) akan menyebabkan robeknya sel sel rambut organ

corti sampai terjadi destruksi total organ corti. Proses ini belum jelas terjadinya, tetapi

mungkin karena rangsangan bunyi yang berlebihan dalam waktu lama dapat

mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan

degeneratif pada struktur sel sel rambut organ corti. Akibatnya terjadi kehilangan

pendengaran yang permanen. 4

Berdasarkan Kepmenaker 51/MEN/1999, tentang nilai ambang batas fisika

di tempat kerja disebutkan bahwa Nilai Ambang Batas terhadap kebisingan yang

dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan

kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari adalah 85 dB untuk waktu tidak lebih dari

8 jam perhari. 5

Berdasarkan penelitian M. Chairan (2008) di Bandara Ahmad Yani

Semarang, mendapatkan pengaruh kebisingan terhadap kesehatan umumnya

kurang pendengaran presentasinya 60% dan tidak dilengkapi ear plug

presentasinya 94% menyebabkan terganggunya kenyamanan kerja. 14

Dari tabel 4.7. Rasio prevalens yang didapatkan bernilai 0,62 dan nilai

interval kepercayaan (confidence interval) 95% rasio prevalensi tersebut berada

diantara 0,057 dan 6,107. Maka, Masa kerja (tahun) belum dapat dikatakan

bermakna sebagai faktor resiko terhadap terjadinya gangguan pendengaran pada

pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia Medan.

Selanjutnya, hasil uji chi-square antara masa waktu kerja dengan

terjadinya gangguan pendengaran memperlihatkan bahwa nilai X2-hitung = 0,201

dan nilai sig-p= 0,654. Jika dibandingkan dengan nilai X2-tabel = 3,481 (yang

diperoleh dari daftar nilai kritis uji chi-square untuk df=1) dan nilai sig-α = 0,05,

terbukti bahwa nilai X2hitung (0,201) < X2-tabel (3,481) dan nilai sig-p (0,654) >

sig-α (0,05). Hasil analisis ini menunjukkan Ho diterima yang menyatakan bahwa

tidak ada hubungan antara lama waktu kerja dengan terjadinya gangguan

pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan Bandara Polonia

Medan.

Page 34: bab 1 97-2003

34

Hal ini dapat dikarenakan tingginya kesadaran pekerja dalam penggunaan

APD. Seperti yang terlihat pada tabel 4.5. bahwa sebagian besar sampel memakai

alat pelindung telinga saat bekerja yaitu sebanyak 50 orang (98,0%) dari

keseluruhan jumlah sampel yang berjumlah 51 orang.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Dari 51 pekerja yang menjadi sampel, sebagian besar sampel yaitu

sebanyak 50 orang menggunakan alat pelindung diri saat bekerja. Alat

pelindung diri berupa ear muff dan ear plug yang telah disediakan oleh

perusahaan. Pekerja juga diberikan safety shoes untuk melindungi kaki

dari kecelekaan akibat terjatuhnya benda-benda berat.

Page 35: bab 1 97-2003

35

2. Dari 51 pekerja yang menjadi sampel, sebagian besar sampel yaitu

sebanyak 47 orang tidak mengalami gangguan pendengaran. 4 orang

mengalami gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural.

3. Tidak didapatkan adanya hubungan masa kerja dengan gangguan

pendengaran pada pekerja ground handling bagian lapangan Bandara

Polonia Medan.

6.2. Saran

1. Perusahaan agar selalu meningkatkan kesadaran pekerja akan pentingnya

menggunakan alat pelindung diri saat bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harrington, J.M. Gill. F.S. Buku Saku Kesehatan Kerja Edisi 3. Jakarta.

EGC. 2005

2. McKenzie, J. Pinger, R.R. Kotecki, J.E. Kesehatan Masyarakat Suatu

Pengantar Edisi 4. Jakarta. EGC. 2003

Page 36: bab 1 97-2003

36

3. Soepardi, E.A. Iskandar, N. Bashiruddin, J. Restuti, R. D. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam.

Jakarta. FK UI. 2007

4. Yunita, A. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Medan. Fakultas

Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan USU. 2003

5. Departemen Tenaga Kerja RI. Himpunan Peraturan Perundangan Kesehatan

dan Keselamatan Kerja. Buletin Departemen Tenaga Kerja RI. 2005

6. Jeyaratnam, J. Koh, D. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta.

EGC.2010

7. Satriawan, R. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. RSUD Ahmad Yani.

Lampung. Metro. 2012

8. Suma’mur. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta.

Sagung Seto. 2009

9. Notoatmodjo, S. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta. Rineka

Cipta. 2007

10. Chandra, B. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta. EGC.

2006

11. Den Broek. V, Feenstra. L. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung

dan Telinga Edisi 12. Jakarta. EGC. 2010

12. Nagel, P. Gurkov, R. Dasar – Dasar Ilmu THT Edisi 2. Jakarta. EGC. 2012

13. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

2010

14. Chairan, M. Kajian Kebisingan Akibat Aktifitas di Bandara (Studi Kasus

Bandara Ahmad Yani Semarang). [Tesis]. Semarang. Universitas

Diponegoro. 2008