Bab 1- 4 Dan Lain-lain

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam pelaksanaan upaya penanggulangan HIV/AIDS ( Human Immuno Deficiency Virus / Aquired Immuno Deficiency Syndrome ), beberapa kendala yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat adalah mitos, diskriminasi dan stigmatisasi (Hasbullah,1999). Selama ini Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dikaitkan dengan mitos dan stigma sehingga mereka terpojok. Sikap masyarakat yang tidak bersahabat terhadap ODHA dapat dilihat dari perlakuan yang mereka alami, seperti dikeluarkan dari pekerjaannya, dikucilkan, bahkan sampai di usir dari lingkungan dimana ODHA tinggal (Jessica S, 2004) Berdasarkan data dari UNAIDS dan UNICEF tahun 2001, terdapat 11,8 juta penduduk usia 15-24 tahun menderita HIV/AIDS terdiri dari 7,3 juta perempuan dan 4,5 juta laki-laki yang tersebar di seluruh dunia (Busza J, 2004). Di Indonesia, sampai dengan bulan Juni 2004, kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 4.389 kasus, dengan prevalensi tertinggi di 6 provinsi, yaitu DKI Jakarta (1.219), Papua (1.036), Jawa Timur (459), Bali (352), Riau (291) dan Jawa barat (248), diperkirakan jumlah sesungguhnya sebanyak 90.000 sampai 130.000 di Indonesia (Depkes RI, 2004). Angka kejadian di Kalimantan Timur hingga bulan November 2004 tercatat 38 orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, 34 kasus HIV positif dan 4 kasus AIDS., 2 diantaranya sudah meninggal dunia. Pada tahun 1999 prevalensi HIV/AIDS di Kalimantan Timur sebanyak 0,6 %, tahun 2000 terjadi penurunan sebesar 0,1 % (0,5 %), tahun 2001 terus menurun sebanyak 0,2

2

% (0,3 % ), tahun 2002 kembali terjadi peningkatan sebanyak 0,7 % (0.9 %), tahun 2003 meningkat sebanyak 0,87% (1,67%), dan tahun 2004 sedikit mengalami penurunan sebanyak 0.38% (1,29%). Terdapat 3 ODHA yang tinggal di daerah Samarinda, berdasarkan analisa situasi yang dilakukan peneliti sebagai data awal penelitian pada siswa SMU Imanuel, Samarinda, Kalimantan Timur, dari 15 sampel yang diambil, terdapat 10 (66.7 %) siswa yang masih menolak untuk tinggal bersama satu lingkungan dengan ODHA, berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang terjadi pada siswa/i adalah masih adanya stigma terhadap ODHA. Sikap diskriminasi dan stigmatisasi ini sebetulnya muncul karena masyarakat belum memahami benar mengenai HIV/AIDS (Hasbullah, 1999). Setiap orang perlu belajar bagaimana dan mengapa tidak boleh

mendiskriminasikan ODHA. Siswa/i harus belajar bagaimana virus ini bisa ditularkan dan mereka bisa melindungi diri mereka dari risiko terinfeksi. Hal ini akan mengurangi diskriminasi dan stigma pada ODHA dengan cara memberikan pendidikan kesehatan. Oleh karena itu diperlukan upaya besar yang melibatkan semua pihak, baik itu dari petugas kesehatan, media massa, maupun siswa/i itu sendiri untuk memberikan informasi dan merubah sikap serta perilaku siswa/i, tetapi perlu diperhatikan pendidikan kesehatan tetap dilakukan walaupun siswa/i tidak mengetahui adanya ODHA di lingkungan mereka mengingat masalah ini ini bersifat sangat rahasia dan rentan untuk dibuka secara terang-terangan. Diharapkan dengan meningkatnya pengertian tentang penularan HIV/AIDS membantu meminimalkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA sehingga mereka dapat hidup secara normal seperti masyarakat lainnya.

2

1.2 Rumusan Masalah Penelitian 1. Bagaimanakah pengetahuan dan sikap siswa/I terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) 2. Apakah dengan pengetahuan yang sudah meningkat siawa/I menerima ODHA di lingkungannya. 3. Apakah pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS terhadap perubahan sikap siswa/I pada ODHA

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan tentang penularan

HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan stigma masyarakat pada ODHA.

1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi pengetahuan siswa/I tentang HIV/AIDS sebelum diberikan pendidikan kesehatan 2. Mengidentifikasi sikap siswa/I terhadap ODHA sebelum diberikan pendidikan kesehatan 3. Mengidentifikasi pengetahuan siswa/I tentang HIV/AIDS sebelum diberikan pendidikan kesehatan 4. Mengidentifikasi sikap siswa/I terhadap ODHA setelah diberikan pendidikan kesehatan 5. Menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan tentang HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa/I pada ODHA

2

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan adanya pengaruh pendidikan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap siswa/I SMU pada ODHA 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk penelitian selanjutnya dalam bidang Ilmu Keperawatan, khususnya menyangkut peran perawat sebagai edukator.

1.4.2 Praktis 1. Dapat digunakan sebagai masukan untuk upaya meoptimalkan pengetahuan dan sikap yang ada pada siswa/I tentang HIV/AIDS. 2. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi perawat dalam melakukan intervensi di dalam keluarga dan masyarakat, sehingga dalam aplikasinya dapat menetapkan intervensi yang sesuai. 3. Sebagai bahan pemikiran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penerimaan masyarakat terhadap ODHA.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai konsep teori yang mendasari atau mendukung penelitian ini, berdasarkan landasan teori yang meliputi: konsep tentang penularan HIV/AIDS, konsep tentang stigma, konsep pendidikan kesehatan, konsep tentang pengetahuan dan sikap, konsep teori L. Green tentang perilaku manusia dan Roger tentang perubahan perilaku. 2.1 Pendidikan Kesehatan 2.1.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan Istilah pendidikan kesehatan telah dirumuskan oleh para ahli pendidikan kesehatan dalam berbagai pengertian, tergantung pada sudut pandang masingmasing. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian oleh para ahli tersebut. Wood (1926) dalam definisi yang dikemukakannya (Hanlon, hlm.578) yang dikutip Tafal, (1984) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan sebagai sekumpulan pengalaman yang mendukung kebiasaan, sikap, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kesehatan individu, masyarakat dan ras. Stuart (1968) dalam definisi yang dikemukakan, dikutip oleh Staf Jurusan (PK-IP FKMUI 1984) mengatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah komponen program kesehatan dan kedokteran yang terdiri atas upaya terencana untuk mengubah perilaku individu, kelompok maupun masyarakat yang merupakan perubahan cara berpikir, bersikap dan berbuat dengan tujuan membantu pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit, dan promosi hidup sehat.

2

Nyswander (1947) yang dikutip Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis bukan proses pemindahan materi dari seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur. Hal itu dapat dilihat dari definisi yang dia kemukakan, yaitu: Pendidikan kesehatan adalah suatu proses pada perubahan pada diri seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan masyarakat. Pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan kepada seseorang atau orang lain, bukan seperangkat prosedur yang harus dilaksanakan atau suatu produk yang harus dicapai, tetapi sesungguhnya merupakan suatu proses perkembangan yang berubah secara dinamis, yang didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat. Ketiga definisi tersebut menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan perilaku yang dinamis dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia yang meliputi komponen pengetahuan, sikap ataupun praktik yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat baik secara individu, kelompok maupun masyarakat, serta merupakan komponen dari program kesehatan. Menurut Committee President on Health Education (1977) yang dikutip oleh Notoatmodjo (1997), pendidikan kesehatan adalah proses yang

menjembatani kesenjangan antara informasi kesehatan dan praktek kesehatan, yang memotivasi seseorang untuk memperoleh informasi dan berbuat sesuatu sehingga dapat menjaga dirinya menjadi lebih sehat dengan menghindari kebiasaan yang buruk dan membentuk kebiasaan yang menguntungkan kesehatan.

2

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, pada kesimpulannya pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan perilaku secara terencana pada diri individu, kelompok, atau masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. Pendidikan kesehatan merupakan proses belajar pada individu, kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai kesehatan menjadi tahu, dan dari tidak mampu mengatasi masalah kesehatan sendiri menjadi mandiri. Dengan demikian pendidikan kesehatan merupakan

usaha/kegiatan untuk membantu individu, kelompok, dan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan baik pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan untuk mencapai hidup sehat secara optimal. Dalam keperawatan, pendidikan kesehatan merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik individu, kelompok, maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidik.

2.1.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan Secara umum, tujuan dari pendidikan kesehatan ialah mengubah perilaku individu/masyarakat di bidang kesehatan (WHO, 1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (1997). Tujuan ini dapat diperinci lebih lanjut menjadi: 1. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat 2. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.

2

3. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada. 2.1.3 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, tempat pelaksanaan pendidikan kesehatan, dan tingkat pelayanan pendidikan kesehatan. 1. Sasaran pendidikan kesehatan Dari dimensi sasaran, ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: a. Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat 2. Tempat Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan Menurut dimensi pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai tempat sehingga dengan sendirinya sasarannya juga berbeda. Misalnya: a. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid, yang pelaksanaannya diintegrasikan dalam upaya kesehatan sekolah (UKS) b. Pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan, dilakukan di Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai Kesehatan, Rumah Sakit Umum maupun Khusus dengan sasaran pasien dan keluarga pasien. c. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau karyawan

2

2.1.4 Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Kesehatan Metode pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan pendekatan yang digunakan dalam proses pendidikan untuk penyampaian pesan kepada sasaran pendidikan kesehatan, yaitu individu, kelompok, keluarga dan masyarakat (Herawani, 2001). Metode pembelajaran dalam pendidikan kesehatan dapat berupa metode pendidikan individual, metode pendidikan kelompok dan metode pendidikan massa. Metode ini dipilih berdasarkan tujuan pendidikan, kemampuan perawat sebagai tenaga pengajar, kemampuan individu/ keluarga/ kelompok/ masyarakat, besarnya kelompok, waktu pelaksanaan pendidikan kesehatan, serta ketersediaan fasilitas pendukung. Metode pendidikan kesehatan antara lain: 1. Metode ceramah 2. Metode diskusi kelompok 3. Metode panel 4. Metode forum panel 5. Metode symposium 6. Metode demonstrasi 2.1.5 Alat Bantu Pendidikan Kesehatan Alat bantu pendidikan kesehatan adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam penyampaian bahan pendidikan dan biasa dikenal alat peraga pengajaran yang berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatu di dalam proses pendidikan, dapat memperoleh pengalaman atau pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu pendidikan (Notoatmodjo, 2003)

2

Alat peraga akan sangat membantu dalam melakukan penyuluhan agar pesan-pesan kesehatan dapat disampaikan lebih jelas dan lebih tepat. Adapun macam alat bantu pendidikan pada dasarnya ada 3 macam, yaitu: 1. 2. 3. Alat bantu lihat (visual aids) Alat bantu dengar (audio aids) Alat bantu lihat dengar yang lebih dikenal dengan Audio Visual Aids (AVA). Disamping pembagian tersebut, alat peraga juga dapat dibedakan menurut pembuatan dan penggunaannya, yaitu: 1. 2. Alat peraga yang complicated (rumit) Alat peraga yang sederhana, mudah dibuat sendiri dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh.

2.2 Sikap (Attitude) 2.2.1 Pengertian Sikap Definisi sikap adalah bentuk evaluasi atau perasaan seseorang terhadap suatu objek yaitu perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Azwar, 2003). Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. (Herawani:et all, 2001) 2.2.2. Komponen Pokok Sikap Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu obyek

2

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave) 2.2.3. Berbagai Tingkatan Sikap 1. Menerima (receiving) 2. Merespon (responding) 3. Menghargai (valuing) 4. Bertanggung jawab (responsible) 2.2.4 Struktur Sikap Struktur terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang yaitu kognitif, afektif dan konatif (Azwar, 2003). Komponen kognitif atau pengetahuan merupakan representasi apa yang dipercayai seorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seorang mengenai yang diharapkan dari obyek tertentu sehingga kepercayaan itu terbentuk karena kurang atau tidak adanya informasi yang benar mengenai obyek sikap yang dihadapi (Azwar, 2003) Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional subyektif terhadap suatu obyek sikap. Secara umum komponen disamakan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Pada umumnya reaksi emosional yang merupakan komponen afeksi ini dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dipercayai sebagai suatu yang benar dan berlaku bagi obyek tersebut. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya, kaitan ini didasari oleh asumsi kepercayaan dan perasaan yang mempengaruhi perilaku (Azwar, 2003)

2

2.2.5 Proses Pembentukan Sikap Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu. Berikut ini akan diuraikan peranan masing-masing faktor dalam membentuk sikap manusia. 1. Apa yang telah dan sedang dialami seseorang ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis (Azwar, 2003) 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu komponen yang ikut mempengaruhi sikap. Pada umumnya individu cenderung memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut (Azwar, 2003) 3. Pengaruh kebudayaan Kebudayaan dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Individu memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan mendapat reinforcement (penguatan, ganjaran) dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut.

2

4. Media Massa Media massa sebagai sarana komunikasi yang berupa televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan kepercayaan dan opini seseorang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti dan tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. 5. Lembaga pendidikan dan agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. 6. Pengaruh faktor emosional Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat

2

merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. 2.2.6. Pengukuran Sikap Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah masalah pengungkapan (assessment) atau pengukuran

(measurement) sikap. Ada beberapa metode pengukuran sikap antara lain dengan observasi perilaku, pertanyaan langsung, pengungkapan langsung dan skala sikap. Pengungkapan sikap dalam bentuk self report merupakan metode yang dianggap paling baik. Hal ini dilakukan dengan menggunakan daftar pernyataanpernyataan yang harus dijawab oleh individu dan disebut sebagai skala sikap. Skala sikap (attitude scale) berupa kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu obyek sikap. Respon subyek pada setiap pernyataan itu kemudian dapat disimpulkan mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Salah satu sifat skala sikap adalah isi pernyataannya dapat berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurnya dan responden. Walaupun responden dapat mengetahui bahwa skala tersebut bertujuan mengukur sikap namun pernyataan tidak langsung ini biasanya sama dan mempunyai sifat proyektif. Respon individu terhadap stimulus (pernyataan-pernyataan) sikap yang berupa jawaban setuju atau tidak setuju itulah yang menjadi indikator sikap seseorang. Respon tampak yang dapat diamati langsung dari jawaban yang diberikan seseorang merupakan bukti satu-satunya yang kita perolah dan itulah yang menjadi dasar untuk menyimpulkan sikap seseorang (Azwar, 2003) 2.2.7 Teori Perilaku Manusia (menurut Lawrence Green)

2

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor luar lingkungan (nonbehavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor. 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor internal yang ada pada diri individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang mempermudah individu untuk berperilaku (Herawani et all, 2001) yang

terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.(Azwar: 2003) 2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.(Herawani et all, 2001) 3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan faktor yang menguatkan perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, teman sebaya, orang tua, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. L. Green mengemukakan teori yang menggambarkan hubungan pendidikan kesehatan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan seperti pada gambar di bawah ini:

2

Non masalah kesehatan Non perilaku Faktor Predisposisi (predisposing factors) Pendidikan kesehatan Faktor pendukung (enabling factors) Kualitas hidup Masalah kesehatan Perilaku

Faktor pendorong (reinforcing factors)

Gambar 1.1 Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku (Notoadmojo, 2003) 2.2.8 Teori Berubah (menurut Roger dan Shoamaker) Pendidikan kesehatan merupakan inovasi dibidang usaha kesehatan masyarakat, teori inovasi dapat dipakai dalam proses perubahan perilaku. Menurut teori inovasi, untuk menuju tingkah laku yang sesuai/adapted diperlukan lima langkah, yaitu kesadaran, minat, evaluasi, percobaan dan adopsi. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoadmojo, 1993).

2

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Roger (1974), menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan dari penelitian tersebut juga terungkap, bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yaitu: 1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus atau obyek. 2. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus. 3. Evaluation (menimbang-nimbang terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Trial, dimana orang sudah mencoba berperilaku baru 5. Adaptation, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus. 2.2.9 Praktik atau Tindakan (practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Praktek mempunyai beberapa tingkatan : 1. Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama. 2. Respon terpimpin (guided response) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.

2

3. Mekanisme (mechanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga. d. Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, beberapa hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilaksanakan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. 2.2.10 Pikiran, Kesadaran dan Ingatan Setiap pikiran hampir selalu melibatkan sinyal-sinyal yang menjalar secara bersamaan di dalam sebagian besar korteks serebri, thalamus, sistem limbik, dan farmasio retikularis batang otak. Definisi pikiran sesuai dengan aktivitas neuralnya adalah hasil dari pola perangsangan berbagai bagian sistem saraf pada saat yang bersamaan dan dalam urutan yang pasti, dimana mungkin terutama melibatkan korteks serebri, thalamus, sistem limbik dan bagian atas formasio retikularis batang otak. Proses ini disebut teori holistik dari pikiran. 1. Ingatan positif dan negatif

2

Walaupun kita sering berpendapat bahwa ingatan adalah hasil dari pengumpulan kembali pikiran-pikiran atau pengalaman-pengalaman

sebelumnya yang bersifat positif, tetapi tetap ada kemungkinan yang sama besar untuk ingatan negatif, bukan positif saja. Artinya, otak kita digenangi oleh informasi sensorik yang berasal dari seluruh panca indera. Jika pikiran kita diusahakan untuk mengingat semua informasi ini, maka kapasitas ingatan otak akan penuh dalam beberapa menit saja. Untunglah, otak memiliki kapasitas yang khas untuk belajar mengenali informasi yang tidak memberi akibat. 2. Klasifikasi ingatan Kita tahu bahwa ingatan tertentu hanya berlangsung beberapa detik, dan yang lainnya berlangsung beberapa jam, berhari-hari, atau bahkan bertahun-tahun. Dengan tujuan untuk membahas masalah ini, mari kita gunakan klasifikasi umum mengenai ingatan, yang membagi ingatan menjadi (1) ingatan jangka pendek, yaitu ingatan yang berlangsung beberapa detik atau paling lama beberapa menit, kecuali jika ingatan ini diubah menjadi ingatan jangka panjang; (2) ingatan jangka menengah, yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Dan (3) ingatan jangka panjang, yang sekali disimpan, dapat diingat kembali selama bertahun-tahun kemudian bahkan seumur hidup. a. Ingatan jangka pendek Ingatan jangka pendek dicirikan oleh ingatan seseorang mengenai 7 sampai 10 angka dalam nomor telepon (atau 7 sampai 10 kenyataan yang jelas lainnya) selama beberapa detik sampai beberapa menit pada sat etrsebut, tetapi hanya akan menjadi berlangsung lama jika seseorang terus menerus memikirkan tentang nomor-nomor atau kenyataan-kenyataan tersebut.

2

b. Ingatan jangka menengah Ingatan ini berlangsung bermenit-menit atau bahkan berminggu-minggu. Ingatan ini kadang-kadang akan hilang, kecuali jejak ingatan menjadi lebih permanen. Ingatan ini akan tetap kuat selama bermenit-menit, berjam-jam, berhari-hari, atau dengan pelatihan yang lebih kuat, dapat sampai sekitar 3 minggu tanpa adanya perangsangan. c. Ingatan jangka panjang Tidak ada batasan yang jelas antara jenis ingatan jangka menengah yang lebih lama dengan ingatan jangka panjang yang sesungguhnya. Namun, ingatan jangka panjang pada umumnya diyakini sebagai hasil dari perubahan struktural pada saat ini, bukan perubahan kimiawi. (Guyton, A. C; 1997)

2.3 HIV/AIDS AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Aquired artinya didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk saat kita lahir (Yayasan spiritia, 2002). Jika diindonesiakan Aquired Immune Deficiency Syndrome berarti Sindrom Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan . Itu berarti, AIDS bukan penyakit keturunan tetapi cacat karena sistem kekebalan tubuh dirusak setelah seseorang terinfeksi HIV (Syaiful, 2000). HIV adalah kependekan dari Human Immuno Deficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan kemudian menimbulkan AIDS.

2

HIV dapat memproduksi sendiri selnya dalam aliran darah manusia, yaitu pada sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih biasanya melawan bila diserang virus, tidak akan melawan HIV, karena HIV masuk secara baik-baik dengan mengetuk pintu. Sel-sel darah putih justru bersahabat dengan HIV, tetapi pada gilirannya HIV membalas secara licik memproduksi sel sendiri sambil merusak sel-sel darah putih. Hal ini bisa terjadi karena HIV merupakan sejenis retrovirus yaitu virus yang dapat berkembangbiak dalam darah manusia. Oleh karena HIV merusak sel-sel darah putih, lama kelamaan sistem kekebalan tubuh manusia pun ambruk. Pada saat itulah berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman, bakteri dan lain-lain sangat mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Syaiful, 2000). HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan serviks dan vagina, ASI, air liur, serum, urine, air mata, cairan alveolar, jaringan otak dan cairan serebrospinal. Transmisi dapat berlangsung efisien melalui darah dan semen. HIV juga dapat ditransmisikan melalui ASI dan sekret vagina/serviks (Price, Wilson, 1995) Mengenai terminologi HIV dan AIDS itu sendiri perlu diketahui hal-hal yang berikut. Penyebutan AIDS hanyalah istilah yang menunjukkan kondisi tubuh manusia yang sudah terinfeksi HIV. Sebenarnya, AIDS bukan penyakit (disease) tetapi merupakan suatu kumpulan daripada 70 kondisi lebih yang dapat terjadi pada diri seseorang yang sudah terinfeksi HIV. Dengan kata lain, lebih tepat kalau AIDS disebut sebagai sindroma yang merupakan kumpulan gejala-gejala berbagai penyakit dan infeksi. HIV, yang diidentifikasi sebagai penyebab AIDS, disetujui secara internasional sebagai terminologi yang sebelumnya dikenal sebagai HTLVIII (Human T Lymphotropic Virus) di Amerika Serikat dan LAV

(Lymphadenopathy Associated Virus) di Perancis.

2

Orang yang terinfeksi HIV disebutkan dalam bahasa Inggris PLWA (People Living with AIDS) sedangkan yang baru tahap terinfeksi dan orang sekitarnya disebut PLWHA (People Living with HIV/AIDS). Di Indinesia masingmasing kategori ini diberi nama ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan OHIDA (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS), yaitu ODHA sendiri, keluarga serta lingkungannya. Tetapi belakangan ini disepakati untuk hanya memakai istilah OHIDA (Syaiful, 2000). 2.3.1 Perjalanan Alamiah HIV/AIDS 1. Fase I : terinfeksi HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan terjadinya perubahan serologik, dimana antibodi terhadap virus ini berubah dari negatif berubah jadi positif. Rentang waktu sejak virus HIV masuk ke dalam tubuh sampai antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period antara 15 hari sampai 3 bulan, bahkan ada yang mengatakan sampai 6 bulan (Hasbullah, 1999) Dalam fase ini umumnya seseorang yang telah terinfeksi HIV masih tampak dan merasa sehat-sehat saja, tanpa menunjukkan gejala apapun bahwa ia sudah tertular HIV. Akan tetapi orang tersebut tetap dapat menularkan HIV pada orang lain. Di antara orang-orang yang terinfeksi HIV ada juga yang menunjukkan gejala-gejala umum seperti demam, kelelahan dan gatal-gatal. tentu saja hal ini belum dapat disebut sebagai gejala AIDS karena gejala-gejala umum tersebut dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit lain sehingga kerap diabaikan. Karena itu, seseorang harus memperhatikan dengan lebih berhati-hati tentang kemungkinan seseorang telah terkena AIDS tanpa menyadari bahwa dia sesungguhnya telah lama terinfeksi HIV dan tanpa

2

disadarinya menularkannya pada orang lain melalui tindakan atau perilaku berisiko terhadap penularan AIDS.

2. Fase II : gejala-gejala mulai terlihat Dalam fase ini umumnya gejala-gejala AIDS mulai tampak, seperti hilangnya selera makan, gangguan pada rongga mulut dan tenggorokan, diare, pembengkakan kelenjar, bercak-bercak dikulit, demam serta berkeringat secara berlebihan di malam hari. Gejala-gejala tersebut di atas belum dapat dijadikan patokan bahwa itu adalah AIDS, Karena masih merupakan gejala-gejala umum yang juga terjadi pada penyakit-penyakit lain. Apabila seseorang mengalami gejala-gejala umum tersebut di atas dan mencurigai dirinya terkena AIDS, ia harus segera memeriksakan diri ke dokter. Tentu saja, terhadap orang tersebut kita tidak boleh sembarangan mengatakan bahwa ia menderita AIDS karena, pertama, penyakit yang diderita belum tentu merupakan perwujudan AIDS, sehingga penentuan AIDS atau tidaknya seseorang memerlukan keahlian dan pemeriksaan laboratorium teliti. Kedua, orang tersebut beserta keluarganya bisa dikucilkan oleh masyarakat karena terkena AIDS (PELKESI, 1995) 3. Fase III : Penyakit AIDS Dalam fase ini HIV benar-benar menimbulkan AIDS. Sistem kekebalan tubuh semakin menurun sehingga tidak ada lagi perlawanan tubuh terhadap penyakitpenyakit yang menyerang, termasuk kanker dan infeksi. Perwujudan penyakitpenyakit yang menyerang tubuh seseorang tergantung pada virus, bakteri, jamur atau protozoa yang menyebabkan infeksi, sehingga orang tersebut akan

2

menderita sakit yang semakin parah. Penyakit komplikasi yang diderita seseorang dapat merupakan perwujudan dari AIDS. Dalam kondisi seperti itu penderita AIDS juga tidak mampu memerangi penyakit-penyakit biasa seperti TBC, tonsilitis dan sebagainya. a. Penyakit-penyakit yang ada hubungannya dengan AIDS adalah: 1) Radang paru yang disebabkan oleh pneumocytis cranii pneumonia (PCP) 2) Infeksi saluran pencernaan yang menimbulkan diare dan turunnya berat badan 3) Kanker kulit yang disebut sebagai sarkoma kaposi: kandidiasis pada mulut, paru dan/atau tenggorokan: sitomegalovirus (CMV):

toksoplasmosis: herpes 4) gangguan susunan saraf yang menimbulkan gangguan mental dan koordinasi gerakan, kerusakan jaringan otak dan sebagainya. 5) TBC 4. Fase IV : Penderita meninggal karena salah satu penyakit Sebagaimana yang telah dipahami bahwa tanpa sistem kekebalan tubuh yang baik, sulit bagi seseorang untuk mempertahankan hidupnya dari serangan penyakit. Seseorang penderita mungkin dapat bertahan terhadap berbagai penyakit yang menyerang pada tahapan AIDS, tetapi umumnya hanya berlangsung selama 1-2 tahun saja. Selanjutnya, penderita AIDS akan meninggal dunia oleh karena satu penyakit atau komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya. AIDS bukan penyakit sehingga AIDS tidak menular. Yang menular adalah HIV, yaitu virus yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS. Virus ini

2

terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan vagina, dan bisa menular pula melalui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran penularan. Tidak ada gejala-gejala khusus jika seseorang sudah terinfeksi HIV. Dengan kata lain, orang-orang yang mengidap HIV tidak bisa dikenali melalui diagnosis gejala-gejala tertentu. Disamping itu, orang yang terinfeksi HIV bisa saja tidak merasa sakit. Adanya HIV hanya bisa diketahui melalui tes HIV. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa menunjukkan gejala-gejala klinis yang khas. Gejala klinis baru tampak pada tahap AIDS. Tetapi biarpun tanpa gejala-gejala klinis, seseorang yang sudah positif tertular HIV dapat menularkan virus ini kepada orang lain melalui cara-cara dan dalam kondisi yang sangat spesifik. HIV dapat ditemukan dalam darah, air mani dan cairan vagina dari seorang pengidap HIV dalan jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lain. Cairan tubuh yang tidak dapat menularkan HIV adalah air mata, keringat, kencing, dan air liur. 2.3.2 Enam Cara Penularan HIV/AIDS 1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV

Melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV tanpa perlindungan. Yang dimaksud hubungan seksual di sini adalah hubungan yang dilakukan secara vaginal, anal, dan oral. Hubungan oral adalah hubungan seksual yang menggunakan mulut sebagai pengganti vagina mempunyai risiko lebih kecil dibandingkan hubungan vaginal atau anal (PELKESI,1995). Kalau tidak memakai kondom, seorang pengidap bisa menularkan virus ini, selama hubungan kelamin berlangsung, air mani, cairan vagina dan kadang darah

2

mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut. Akibatnya, HIV yang terdapat dalam cairan-cairan tersebut dapat meresap kedalam aliran darah. Saat berhubungan seksual juga sering terjadi lecet-lecet yang ukurannya mikroskopis (hanya dapat dilihat dengan mikroskop) pada dinding vagina, kulit penis, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan bagi virus HIV untuk masuk ke aliran darah pasangannya (Syaiful, 2000). 2. Produk darah yang sudah tercemar HIV. Karena alasan inilah, maka banyak negara yang melakukan pemeriksaan dengan teliti terhadap persediaan darah sebelum ditransfusikan dengan maksud agar darah tersebut terbebas dari HIV. Apabila pemeriksaan darah tidak dapat dilakukan secara teliti, maka upaya yang perlu dilakukan adalah: a. Mengurangi atau menghindari dilakukannya transfusi darah yang kurang perlu. b. Memilih donor darah yang tidak terinfeksi HIV atau sekurang-kurangnya mempunyai risiko rendah terinfeksi HIV (PELKESI, 1995). 3. Ibu terhadap bayi, prenatal, intra (melahirkan), post natal (ASI)

a. Transmisi in utero Klasifikasi infeksi in utero bila spesimen yang diambil pada 48 jam pertama setelah lahir menunjukkan hasil positif dengan kultur (Lily, V. L, 2004). Laporan CDC (Center for Disease Control) Amerika memaparkan bahwa seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,01% - 0,7%. Transmisi vertikal virus AIDS dari Ibu kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui, kapan transmisi prenatal itu terjadi (Sarwono, 1999). Bila sang ibu baru terinfeksi HIV, tetapi belum menampakkan gejala-

2

gejala AIDS, maka kemungkinan bayi tersebut terinfeksi HIV 20 % sampai 35 %. Sebaliknya, bila sang Ibu telah benar-benar menunjukkan gejalagejala AIDS yang jelas, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV menjadi 50 % (PELKESI, 1995). Bukti langsung infeksi in utero adalah ditemukannya bagian dari jaringan abortus trimester I dan II dari perempuan yang terinfeksi mengandung HIV, isolasi HIV dari cairan amnion, adanya HIV pada darah tepi saat bayi lahir yang menunjukkan bahwa infeksi in utero terjadi beberapa hari sebelum lahir. Kemungkinan infeksi awal karena pada bayi belum sempurna sistem imunnya.(Lily V, 2004) b. Transmisi intra partum HIV/AIDS bukan merupakan penyakit keturunan, karena penyakit keturunan berada di gen-gen manusia, sedangkan HIV menular saat darah atau cairan vagina ibu membuat kontak dengan darah dan cairan anaknya. Ternyata HIV tidak menular melalui air ketuban atau bahan tumbuh yang diterima bayi dari ibunya melalui pusar selama di kandungan. Saat kritis bagi penularan HIV adalah proses melahirkan. Terjadi melalui transfuse fetomaternal selama persalinan atau kontak antara kulit atau mukosa membran bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan, beberapa faktor risiko penting untuk transmisi intrapartum antara lain lamanya rupture membran dan persalinan pervaginam (Lily V, 2004) Yang perlu diperhatikan adalah bila bayi tersebut dilahirkan sebagai pengidap HIV, maka usianya hanya sekitar 1-5 tahun saja. Dalam persalinan, seksio sesarea bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan (Sarwono, 1999).

2

Semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko penularan, sehingga lama kehamilan dapat dicegah dengan cara bedah sesario (HIS & STB, 2000)

c. Transmisi postpartum melalui ASI Pada populasi dimana ASI merupakan nutrisi utama bayi didapatkan bahwa 1/3 kasus HIV pediatri terjadi karena transmisi melalui ASI. HIV terdapat pada ASI yang terinfeksi. Mekanisme transmisi belum sepenuhnya diketahui (Lily, V. L, 2004). Jika bayi disusui oleh Ibu HIV positif, si bayi bisa menjadi tertular. Risiko bayi tertular melalui ASI dari Ibu HIV positif adalah kurang lebih 10%.(Anonim, 2004) 4. Jarum suntik atau alat-alat kedokteran yang tidak steril

Infeksi dapat terjadi bila seseorang diketahui atau tanpa diketahui sudah disuntik dengan jarum yang sudah dipakai untuk menyuntik orang yang terinfeksi HIV. HIV ini juga dapat menular lewat alat-alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani. Apabila alat-alat periksa telah menyentuh cairan tubuh dari orang yang terinfeksi HIV, kemudian langsung digunakan untuk orang lain, maka alat-alat tersebut menjadi sumber penularan HIV (PELKESI, 1995). 5. Alat-alat untuk menoreh kulit

Alat-alat tajam atau runcing, seperti pisau bedah atau jarum untuk membuat sayatan di kulit, menyunat seseorang, membuat tato, dan sebagainya adalah berbahaya karena dapat menularkan HIV. Sebab mungkin saja alat-alat sayatan

2

tersebut menyentuh darah orang yang terinfeksi HIV dan tanpa disterilkan lagi langsung digunakan untuk orang lain. Oleh sebab itu, alat-alat sayatan harus disterilkan terlebih dahulu sebelum maupun sesudah digunakan.

6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian. Infeksi HIV dapat terjadi bila jarum suntik digunakan secara bergantian dengan orang yang diketahui atau tanpa diketahui sudah terinfeksi HIV. Dengan cara ini, HIV menular lewat jarum suntik yang tidak steril, masuk ke dalam pembuluh darah orang lain yang menerima suntikan dengan jarum yang sama. Dari uraian ini dapat disimpulkan HIV tidak begitu mudah menular dan penularan dapat dicegah apabila diambil langkah yang tepat, yaitu memakai kondom bila berhubungan seksual dengan orang yang tidak diketahui status HIVnya, skrining darah, dan pemakaian alat suntik yang disterilisasi. HIV sangat mudah mati di luar tubuh manusia dan sangat sensitif terhadap suhu. Pada suhu 60 celcius HIV sudah mati. Jadi, sangatlah tidak masuk akal kalau dikira orang yang membawa-bawa jarum suntik yang katanya sudah berisi darah yang tercemar HIV ke pusat-pusat perbelanjaan, lalu menyuntikkannya kepada orang lain untuk menularkan virus itu kepadanya. Histeria ini terjadi sepanjang januari 1997. Kalangan ahli menyangsikan hal itu karena berbagai faktor. Misalnya, tentu tidak mudah menyedot darah dari pembuluh darah balik (vena) dan menyuntikkannya kembali ke pembuluh darah orang lain di tengah keramaian. Selain itu darah yang ada dalam spuit akan membeku dan terpisah atas dua bagian jika tidak menggunakan larutan pencegah pembekuan, yaitu serum dan bekuan darah, dalam

2

waktu 10-15 menit. Darah yang sudah membeku tidak mudah disuntikkan karena darah sudah membeku (Syaiful, 1999).

2.3.3 HIV Tidak Menular Melalui: 1. Peralatan makan seperti piring, sendok, garpu, gelas, sumpit dan lain-lain yang dipakai bersama dengan pengidap HIV 2. Pakaian, handuk dan saputangan yang dipakai bersama dengan orang yang terinfeksi HIV 3. Toilet yang dipakai bersama dengan orang yang terinfeksi HIV 4. Berpelukan atau berciuman dengan orang yang terinfeksi HIV (kalau sedang menderita sariawan atau luka lain dengan mulut) 5. Berjabat tangan dengan orang yang terinfeksi HIV 6. Hidup serumah dengan orang yang terinfeksi HIV 7. Serangga seperti nyamuk, kupu-kupu, tawon, kunang-kunang, dan lain-lain. Yang menyentuh orang yang terinfeksi HIV, kemudian hinggap pada orang lain tidak akan menularkan HIV 8. Gigitan nyamuk 9. Hubungan-hubungan biasa lainnya Kenyataan-kenyataan tersebut di atas memperkuat pandangan bahwa tidak selayaknya penderita AIDS disingkirkan atau dikucilkan dari pergaulan seharihari.(PELKESI, 1995) dimulut, disarankan tidak berciuman

2

2.3.4 Cara-cara Pencegahan Penularan HIV Menjaga agar jangan sampai cairan tubuh yang telah tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. Cara pencegahan tergantung cara penularan HIV. 1. Mencegah penularan HIV lewat hubungan seks Untuk mencegah penularan HIV lewat hubungan seksual ada tiga cara : a. Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks) b. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya. c. Untuk melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan hubungan seks aman termasuk menggunakan kondom. 2. Mencegah penularan lewat alat-alat yang tercemar darah HIV Untuk mencegah penularan lewat alat-alat yang tercemar darah HIV ada dua hal yang perlu diperhatikan : a. Semua alat yang menembus kulit dan darah (seperti jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur) harus disterilisasi dengan cara yang benar. b. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain. 3. Mencegah penularan HIV lewat transfusi darah atau produk darah lain. Untuk mencegah penularan lewat transfusi darah atau produk darah lain, perlu skrining terhadap semua darah yang akan ditransfusikan atau yang akan dipergunakan untuk diproses sebagai produk darah. Jika darah ini ternyata sudah tercemar harus dibuang. Skrining darah sudah dilakukan PMI. 4. Mencegah penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kejaninnya

2

Bila Ibu telah mengidap HIV, maka janin yang di dalam rahimnya dapat terinfeksi HIV atau dapat pula terjadi infeksi pada saat proses kelahiran berlangsung. Bila Ibu baru terinfeksi HIV, tetapi belum menampakkan gejalagejala AIDS, maka kemungkinan bayi tersebut terinfeksi HIV 20% sampai 35%, sebaliknya, bila Ibu telah benar-benar menunjukkan gejala-gejala AIDS yang jelas, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV menjadi 50%. yang perlu diperhatikan adalah bila bayi tersebut dilahirkan sebagai pengidap HIV, maka usianya hanya sekitar 1 5 tahun saja. 2.3.5 Kekeliruan Tentang Penularan Di atas telah ditegaskan bahwa HIV bukan penyakit, tetapi suatu virus yang hanya tertular melalui media darah, cairan sperma dan vagina. Pada cairan tubuh lainnya konsentrasi HIV sangat rendah, sehingga cairan itu tidak bisa menjadi media penularan. Implikasi dari sifat HIV adalah HIV juga tidak bisa menular melalui udara seperti TBC. Kecenderungan mengecap daerah tertentu, tempat-tempat pelacuran formal (lokalisasi) maupun tempat-tempat pelacuran liar, sebagai daerah rawan AIDS juga keliru, karena bukan suatu tempat yang rawan AIDS, tetapi manusia yang berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV, dimanapun mereka berada. Dan bila kedatangan seorang ODHA menimbulkan reaksi keras dari penduduk, itu terjadi karena ada masyarakat yang tidak diberitahukan kedatangan seorang ODHA tidak dengan sendirinya membahayakan. Penduduk tidak akan tertular HIV melalui udara dan penduduk setempat cukup menjaga diri dengan menghindari hubungan seksual yang tidak aman dengan ODHA itu (Syaiful, 2000).

2

Selain penularan HIV melalui darah dan cairan tertentu, perlu pula digarisbawahi penularan itu terjadi dalam kondisi yang sangat spesifik. Masyarakat masih sangat awam tentang cara penularan HIV, sehingga rasa takut tertular melalui pergaulan biasa masih terdapat umum. Jika pandangan yang keliru itu tidak diluruskan, rasa takut terhadap pengidap HIV akan terus berlebihan. Padahal rasa takut itu dapat dikurangi bila orang diberitahu bahwa mereka tidak perlu kuatir apabila mereka tidak berperilaku risiko tinggi terinfeksi HIV. Dengan kata lain, jangan berhubungan seksual dengan ODHA atau orang yang tidak diketahui status HIVnya tanpa memakai kondom (Hasbullah, 1999).

2.4 Stigma Masyarakat pada ODHA Kata stigma berasal dari bahasa inggris yang artinya noda atau cacat, sering juga disebut sebagai pandangan yang negatif (Dadang, H. Prof. Dr. dr: 2001) . Stigma juga berarti pencemaran, perusakan, atau yang sejenisnya, yang memberikan pengaruh amat buruk pada penerimaan sosial seorang individu yang terkena (Goffman, E) (Hugo, F, 1986). Secara umum stigma merujuk pada persepsi yang negatif pada suatu keadaan yang sebenarnya tidak terbukti. Stigma adalah suatu hal yang dipakai seseorang atau kelompok dalam menganggap suatu keadaan yang negatif yang kemudian akan dipakai menjadi suatu norma pada seseorang atau kelompok itu dalam masyarakat.(Busza J, 2004) Dalam HIV/AIDS, stigma yang ada adalah suatu keadaan yang mengarah pada infeksi, sebagai suatu pandemik yang terjadi secara global, stigma tentang

2

HIV/AIDS ditujukan kepada kaum homo, pengguna narkoba, dan pekerja seks. Mereka menjadi kelompok yang disingkirkan oleh adanya stigma. Sosiolog Erving Goffman dianggap orang yang berjasa karena telah memperkenalkan istilah stigma ke dalam ilmu-ilmu sosial. Tulisannya, stigma : Notes on The Management of Spoiled Identity (1963) dengan ringkasan etimologis singkat : Bangsa Yunani menggunakan istilah stigma untuk merujuk pada tanda-tanda tubuh yang didesain untuk mengungkapkan sesuatu yang ganjil atau buruk tentang status moral dari yang diberi tanda. Tandatanda tersebut digoreskan atau di cap pada tubuh dan menandakan bahwa penerimaannya adalah seorang budak, penjahat atau pengkhianat orang yang tercela, ternoda secara ritual, harus dihindari di tempat-tempat umum. Kini istilah ini...diterapkan untuk sifat tercela itu sendiri ketimbang untuk pengaruh tubuh terhadap sifat tersebut (Goffman, 1963) Perhatian terhadap stigma sesuai dengan perhatian yang lebih luas tentang penyimpangan dan penamaannya. Meskipun penting untuk diperhatikan bahwa stigma dapat muncul dari masing-masing bidang ini, namun juga harus diketahui bahwa kecenderungan untuk menghindari orang-orang yang menyimpang bisa juga muncul dengan rasa sungkan karena tidak tahu bagaimana bertingkah laku dihadapan mereka ketimbang sebagai refleksi pengucilan drastik yang biasanya diasosiasikan dengan istilah stigma. Tindakan penamaan seringkali menggerakkan proses rekontruksi kognitif yang merusak , yang memberikan data perilaku sebuah makna yang hampa dan tidak menyenangkan. karena itu muncul kecenderungan kuat bagi reaksi stigmatisasi untuk bergerak di dalam arah stereotype yang merasionalkan atau menjelaskan pengaruh negatif yang ada. Meskipun demikian banyak reaksi

2

stigmatisasi pada awalnya dicirikan oleh kegelisahan yang samara-samar dan pengaruh primitif yang tidak pada tempatnya (Adam K. Jessica K, 2000)

2.4.1 Diskriminasi Diskriminasi adalah susunan dari suatu aksi atau perlakuan berdasarkan stigma yang dilakukan secara langsung. (Busza J, 2004). Stigmatisasi yang ada membuat ODHA diasingkan, ditolak, dihindari, diberi sanksi sosial atau sering mendapat kekerasan fisik. Stigma yang ada menyebabkan masyarakat

beranggapan bahwa orang yang terinfeksi HIV karena perilaku buruk mereka, kutukan Tuhan, atau pandangan buruk lainnya. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang terjadinya HIV dan penularannya sehingga masyarakat takut terhadap AIDS dan menimbulkan diskriminasi terhadap ODHA (Busza J, 2004) Tabel di bawah ini akan menjelaskan hubungan HIV dan diskriminasi yang telah terjadi di negara Asia, dan contoh di bawah ini mengungkapkan bagaimana diskriminasi telah dilakukan.(Busza J, 2004)

Hubungan diskriminasi (diadaptasi dari Malcolm et al. 1998) Keluarga/masyarakat sekitar (di desa)

Contoh Mengucilkan ODHA dan takut terinfeksi oleh kontak biasa Melarang ODHA untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan desa Menolak anak yang terinfeksi HIV untuk bersekolah Kurang memberi dukungan bagi anggota keluarga yang terkena.

Tempat kerja

Mengharuskan mengikuti tes sebelum ataupun menolak pelamar Memecat karyawan yang diketahui status

2

HIVnya Menolak untuk nekerja bersama orang yang terinfeksi karena takut tertular Menolak untuk merawat Pelanggaran kerahasiaan Sikap yang berlebihan terhadap klien walaupun sudah menggunakan universal precaution Memberikan tekanan kepada klien yang dirawat untuk melakukan aborsi, sterilisasi. Penolakan terhadap ritual tradisional (pemakaman), melarang untuk menikah Melarang ODHA untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan Media Mengklaim pekerja seks sebagai pembawa virus, menetapkan aturan antara orang HIV/AIDS yang bersalah dan tidak bersalah Menyampaikan berita dari sudut pandang yang negatif, menyebarkan berita yang mebuat ketakutan dan kecemasan daripada keadaan yang normal

Pelayanan kesehatan

Agama

1. HIV/AIDS dihubungkan dengan stigma dan diskriminasi Di beberapa masyarakat, hukum, aturan-aturan dan kebijakan bisa lebih mendukung terjadinya stigmatisasi terhadap ODHA. Seperti perundangundangan yang mewajibkan setiap orang yang hendak mengadakan perjalanan internasional dan migrasi untuk dilakukan skrining dan tes HIV/AIDS terlebih dahulu. Pada banyak kasus, praktik diskriminasi seperti mewajibkan skrining pada orang-orang dengan kelompok risiko, lebih lanjut stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu menciptakan pengertian yang salah tentang rasa aman pada individu-individu yang tidak tergolong dalam kelompok risiko tinggi (Anonim, 2004)

2

Barangkali, sebagai respon, banyak daerah yang telah membuat undangundang untuk melindungi hak-hak dan kebebasan ODHA dan menjaga mereka dari tindakan diskriminasi, kebanyakan, hukum dan aturan-aturan ini telah mencari untuk menjamin hak-hak mereka dan bidang pekerjaan, pendidikan, dan kerahasiaan identitas, begitu pula dengan hak-hak untuk mengakses informasi, perawatan dan dukungan (HIS & STB, 2000). Mempercayai bahwa HIV/AIDS tidak akan pernah terjadi pada kita merupakan salah satu dari banyak bentuk penolakan. Penolakan ini menambah stigma pada ODHA yang membuat mereka makin tidak diterima. Stigma dan diskriminasi yang berlebihan dari masyarakat menyebabkan ODHA selalu disalahkan dan dihukum dan mereka sering menjadi korban kekerasan bahkan pembunuhan. Menyerang seorang pria karena dianggap sebagai homo telah banyak meningkat di banyak bagian di dunia seperti Brazil, Colombia, Ethiopia, India, Afrika Timur dan Thailand. Pada bulan Desember 1998, seorang perempuan bernama Gugu Dhlamini dilempari batu dan dipukuli hingga meninggal oleh para tetangganya di kota tempat tinggalnya, Durban, Afrika Timur, setelah berbicara secara jujur tentang status dirinya yang mengidap HIV secara terbuka di acara AIDS sedunia (Jenni F & Annabel K, 2004). 2. Mengapa muncul diskriminasi dan stigmatisasi Sikap diskriminasi dan stigmatisasi di masyarakat biasanya terjadi ketika kasus AIDS baru merebak dan masyarakat masih awam sekali menghadapinya. Keadaan ini biasanya dialami oleh masyarakat-masyarakat yang untuk pertama kali menghadapi AIDS. Misalnya sering terjadi bahwa

2

seorang anak sekolah SD yang positif HIV dilarang untuk tetap bersekolah dan kemudian dikucilkan. Hal ini terjadi karena orang tua murid yang lain takut anaknya dapat tertular karena bermain dengan ODHA. Padahal kita tahu bahwa ini tidak mungkin. Diskriminasi juga terjadi di lingkungan kerja, dan sering seorang karyawan dipecat oleh perusahaannya ketika diketahui positif HIV. Perusahaan takut bahwa ODHA yang tidak produktif lagi akan menjadi beban bagi perusahaan, dan mempunyai anggapan yang salah bahwa ODHA tersebut akan menularkan HIV kepada karyawan lainnya. Disamping diskriminasi terhadap ODHA, stigmatisasi juga terjadi pada kelompok berperilaku seks berisiko seperti pekerja seks komersial baik yang wanita maupun pria, waria, homoseksual dan lelaki hidung belang. Mereka dituding sebagai penyebab munculnya HIV/AIDS dan menyebarkannya kepada masyarakat, padahal, seperti dijelaskan diatas, hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Sikap diskriminasi dan stigmatisasi ini sebetulnya muncul karena masyarakat belum memahami benar mengenai HIV/AIDS dan sikap masyarakat yang terlalu berlebihan, tidak proposional dalam menghadapi masalah HIV/AIDS (Jessica S, 2004). 3. Mengapa stigma dihubungkan dengan AIDS Dibanyak kelompok masyarakat, ODHA seringkali dilihat sebagai sosok yang memalukan. Di beberapa kelompok minoritas, contohnya: homoseksual. Pada beberapa kasus, HIV/AIDS dihubungkan dengan perilaku seks yang menyimpang dan yang terinfeksi akan diberi sanksi. HIV/AIDS juga dilihat sebagai hasil dari perbuatan yang tidak

2

bertanggungjawab dan dipercaya membawa malu bagi keluarga atau masyarakat (Anonim, 2004)

2.4.1 Faktor-faktor Pendukung HIV/AIDS Dihubungkan Dengan Stigma 1. 2. HIV/AIDS adalah penyakit yang mengancam kehidupan Masyarakat takut terjangkit oleh HIV

3. Penyakit AIDS dihubungkan dengan perilaku (seperti, seks antara sesama jenis/laki-laki dan penggunaan obat terlarang dengan menggunakan jarum suntik) yang sudah distigmatisasi dibanyak masyarakat. 4. ODHA seringkali dianggap bertanggungjawab terhadap infeksi yang mereka alami 5. Agama atau kepercayaan mengarahkan beberapa orang untuk percaya bahwa orang dengan HIV/AIDS adalah akibat dari kesalahan moral (seperti melakukan hubungan seks dengan siapa saja atau perilaku seks yang menyimpang) Sejak awal, penyebaran serentetan images tentang AIDS memperkuat adanya stigmatisasi. 1. HIV/AIDS dianggap sebagai suatu hukuman (untuk perilaku yang tidak bermoral)

2

2. HIV/AIDS dianggap sebagai suatu kejahatan (korban yang bersalah dengan yang tidak) 3. HIV/AIDS dianggap sebagai suatu pernyataan perang (hubungannya dengan virus yang dikalahkan) 4. HIV/AIDS dianggap sebagai suatu yang menakutkan (orang yang terinfeksi menyeramkan dan menakutkan) 5. HIV/AIDS sebagai suatu pemisah (penyakit ini yang menyebabkan penderitaan yang memisahkan ODHA dengan sesamanya) 2.4.2 Diusir dan Dikucilkan Masyarakat Masyarakat awam pada awalnya menunjukkan reaksi yang berlebihan bila mengetahui seorang penderita AIDS berada dilingkungannya. ODHA tidak hanya diusir dari daerah tempatnya bekerja. Nasibnya bisa sama malangnya pada saat dia pulang. Pengucilan ODHA merupakan reaksi masyarakat yang

pengetahuannya terbatas tentang HIV/AIDS dan dilatarbelakangi rasa takut yang berlebihan. Mengingat hal itu masyarakat tidak boleh dihukum atas perilaku koletifnya. Itu juga digarisbawahi Prof. Dr. Sujudi, Menteri Kesehatan (1993), beliau memberikan komentar: Adanya pengidap virus HIV yang diusir penduduk setempat menunjukkan kurang tanggapnya petugas kesehatan. Masyarakat (yang mengusir ODHA) tersebut kurang mendapat penyuluhan dari petugas kesehatan. Kalangan medis juga menekankan pentingnya perubahan sikap masyarakat dengan menganjurkan: ..penderita AIDS jangan dikucilkan. Karena perlakuan demikian berdampak jelek, yakni penderita putus asa, dendam dan bahkan nekat menularkan penyakitnya yang mematikan itu kepada orang lain (Pikiran Rakyat,29/4-1992).

2

1. Dipulangkan Kata dipulangkan pada dasarnya merupakan istilah halus atau eufisme untuk pengusiran. Menarik pula konteks yang menentukan kata mana yang lebih disukai untuk dipakai: masyarakat mengusir, sedangkan pihak Depkes memulangkan. Pemulangan ODHA dari satu daerah ke kampung asalnya di daerah lain merupakan tindakan yang dilakukan Depkes daerah tertentu dengan maksud memutus mata rantai penyebaran HIV. Perlu diingat tidak ada undangundang yang membenarkan tindakan ini. Pemulangan paksa pada dasarnya melanggar hak asasi setiap warga negara yang berhak untuk berdiam dimanapun keinginannya di seluruh wilayah Indonesia (Syaiful, 2000) 2. Dikarantina Apabila dilihat dari segi medis, karantina pada ODHA tidak diperlukan, karena HIV tidak menular dengan mudah seperti TBC. ODHA bisa hidup normal di lingkungannya tanpa bahaya bagi yang lain. Jadi, ODHA tetap hidup produktif di saat kondisi tubuhnya masih baik. Hanya ketika ODHA sudah mencapai masa AIDS, keluarga dan teman serta lingkungannya diharapkan memberikan dukungan yang positif agar semangat hidupnya tetap tinggi. Masyarakat mempunyai beberapa tanggung jawab yang sangat penting untuk penanggulangan AIDS. a. Mencegah penyebarluasan HIV/AIDS b. Mencari dan memberikan informasi yang jelas dam benar kepada orang yang memerlukannya c. Bersikap bersahabat, tidak menghindari atau bahkan memusuhi orang yang terinfeksi HIV/AIDS maupun ODHA

2

d. Menghargai hak konfidensialitas ODHA e. Jangan mendiskriminasikan kelompok-kelompok orang yang dianggap berperilaku berisiko tinggi f. Mendukung dan membantu program pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS (Hasbullah, 1999)

2.5 Masyarakat 2.5.1 Definisi Masyarakat Kontjaraningrat (1990) Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah lain saling berinteraksi. Kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. (Effendy, N, 1998) Soerdjono Soekanto (1982) Masyarakat atau komunitas adalah menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografi) dengan batas-batas tertentu, dimana yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar dari anggota-anggotanya, dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Mac Iaver (1957) Masyarakat adalah sekelompok manusia yang mendiami territorial tertentu dan adanya sifat-sifat yang saling tergantung, adanya pembagian kerja dan kebudayaan bersama.

2

Linton (1936) Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga dapat mengorganisasikan diri dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. 2.5.1 Ciri-ciri Masyarakat Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat itu memiliki cirri-ciri sebagai berikut: 1. Interaksi diantara sesama anggota masyarakat 2. Menempati wilayah dengan batas-batas tertentu 3. Saling tergantung satu dengan lainnya 4. Memiliki adat istiadat tertentu/kebudayaan 5. Memiliki identitas bersama 2.5.2 Interaksi Di dalam masyarakat terjadi interaksi sosial yang merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar perseorangan, antar kelompok-kelompok maupun antara perseorangan dengan kelompok, untuk terjadinya interaksi sosial harus memiliki dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi. 2.5.2 Wilayah Tertentu Suatu kelompok masyarakat menempati suatu wilayah tertentu menurut suatu keadaan geografis sebagai tempat tinggal komunitasnya, baik dalam ruang lingkup yang kecil RT/RW, Desa Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan bahkan Negara. 2.5.3 Saling Ketergantungan

2

Anggota masyarakat yang hidup pada suatu wilayah tertentu saling tergantung satu dengan yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tiaptiap anggota masyarakat mempunyai keterampilan sesuai dengan kemampuan dan profesi masing-masing. Mereka hidup saling melengkapi, saling memenuhi agar tetap berhasil dalam kehidupannya. 2.5.4 Adat Istiadat dan Kebudayaan Adat istiadat dan kebudayaan diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat, yang mencakup bidang yang sangat luas diantara tata cara berinteraksi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, apakah itu dalam perkawinan, kesenian, mata pencaharian, sistem kekerabatan dan sebagainya. 2.5.5 Identitas Suatu kelompok masyarakat memiliki identitas yang dapat dikenali oleh anggota masyarakat lainnya, hal ini penting untuk menopang kehidupan dalam bermasyarakat yang lebih luas. Identitas kelompok dapat berupa lamang-lambang bahasa, pakaian, simbol-simbol tertentu dari perumahan, benda-benda tertentu seperti alat pertanian, mata uang, senjata tajam, kepercayaan dan sebagainya. 2.5.6 Tipe-tipe Masyarakat Menurut Gilin and Gilin lembaga masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut, Dilihat dari sudut perkembangannya: 1. Cresive Institution Lembaga masyarakat yang paling primer, merupakan lembaga-lembaga yang secara tidak disengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat, misalnya yang menyangkut: hak milik, perkawinan, agama dan sebagainya.

2

2. Enacted Institution Lembaga kemasyarakatan yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya yang menyangkut: lembaga utang-piutang, lembaga perdagangan, pertanian, pendidikan yang kesemuanya berakar kepada kebiasaan-kebiasaan tersebut disistematisasi, yang kemudian dituangkan ke dalam lembaga-lembaga yang disyahkan oleh negara. 1. Dari sudut sistem nilai yang diterima oleh masyarakat a. Basic institution Lembaga kemasyarakatan yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, diantaranya keluarga, sekolahsekolah yang dianggap sebagai institusi dasar yang pokok. b. Subsidiary institution Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang muncul tetapi dianggap kurang penting, karena untuk memenuhi kegiatan-kegiatan tertentu saja. Misalnya pembentukan panitia rekreasi, pelantikan/wisuda bersama dan sebagainya. 2. Dari sudut pandang masyarakat a. Approved atau social sanctioned institution Adalah lembaga yang diterima oleh masyarakat seperti sekolah, perusahaan, koperasi dan sebagainya. b. Unsanctioned institution Adalah lembaga-lembaga masyarakat yang ditolak oleh masyarakat, walaupun kadang-kadang masyarakat tidak dapat memberantasnya,

misalnya kelompok penjahat, pemeras, pelacur, gelandangan dan pengemis dan sebagainya.

2

3. Dari sudut pandang penyebaran a. General institution Adalah lembaga masyarakat didasarkan atas faktor penyebarannya. Misalnya agama karena dikenal hampir semua masyarakat dunia. b. Restricted institution Adalah lembaga-lembaga agama yang dianut oleh masyarakat tertentu saja, misalnya Budha banyak dianut oleh Muangthai, Vietnam, Kristen khatolik banyak dianut oleh masyarakat Italic, Perancis, Islam oleh masyarakat Arab dan sebagainya. 4. Dari sudut pandang fungsi a. Operative institution Adalah lembaga masyarakat yang menghimpun pola-pola atau tata cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan,

seperti lembaga industri. b. Regulative institution Adalah lembaga yang bertujuan untuk mengawasi adat istiadat atau tata kelakuan yang tidak menjadi bagian mutlak daripada lembaga itu sendiri, misalnya lembaga hukum diantaranya kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. 2.5.7 Ciri-ciri Masyarakat Indonesia Dilihat dari struktur sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia dibagi dalam 3 kategori dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Masyarakat desa a. Hubungan keluarga dan masyarakat sangat kuat

2

b. Hubungan didasarkan kepada adat istiadat yang kuat sebagai organisasi sosial c. Percaya kepada kekuatan-kekuatan gaib d. Tingkat buta huruf relative tinggi e. Berlaku hukum tidak tertulis yang intinya diketahui dan dipahami oleh setiap orang f. Tidak ada lembaga pendidikan khusus dibidang teknologi dan

keterampilan diwariskan oleh orangtua langsung kepada keturunannya g. Sistem ekonomi sebagian besar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sebagian kecil dijual dipasaran untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Dan uang berperan sangat terbatas h. Semangat gotong royong dalam bidang sosial dan ekonomi sangat kuat 2. Masyarakat madya

a. Hubungan keluarga masih tetap kuat, dan hubungan kemasyarakatan mulai mengendor b. Adat istiadat masih dihormati, dan sikap masyarakat mulai terbuka dari pengaruh luar c. Timbul rasionalitas pada cara berpikir, sehingga kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib mulai berkurang dan akan timbul kembali apabila telah kehabisan akal d. Timbul lembaga pendidikan formal dalam masyarakat terutama

pendidikan dasar dan menengah e. f. Tingkat buta huruf sudah mulai menurun Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis

2

g.

Ekonomi masyarakat lebih banyak mengarah kepada produksi pasaran, sehingga menimbulkan diferensiasi dalam struktur masyarakat karenanya uang semakin meningkat penggunaannya

h.

Gotong royong tradisional tinggal untuk keperluan sosial dikalangan keluarga dan tetangga. Dan kegiatan-kegiatan umum lainnya yang didasarkan upah.

3. a. b.

Ciri-ciri masyarakat modern Hubungan antar manusia didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi Hubungan antar masyarakat dilakuakn secara terbuka dalam suasana saling pengaruh mempengaruhi c. Kepercayaan masyarakat yang kuat terhadap manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sabagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat d. Strata masyarakat digolongkan menurut profesi dan keahlian yang dapat dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga-lembaga ketrampilan dan kejuruan e. f. g. Tingkat pendidikan formal dan merata Hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang kompleks Ekonomi hampir seluruhnya ekonomi pasar yang didasarkan atas penggunaan uang dan alat pembayaran lain 4. Ciri-ciri masyarakat sehat a. Peningkatan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat 1) Mengatasi masalah kesehatan sederhana melalui upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan terutama untuk ibu dan anak

2

2) Peningkatan upaya kesehatan lingkungan terutama penyediaan sanitasi dasar yang dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup 3) Peningkatan status gizi masyarakat berkaitan dengan peningkatan status sosial ekonomi masyarakat 4) Penurunan angka kesakitan dan kematian dari berbagai sebab dan penyakit. Di dalam sebuah masyarakat, terdiri dari berbagai macam kelompok menurut fase tumbuh kembang yang dialami, yang mencakup masa neonatus, bayi, toddler, prasekolah, sekolah, remaja, dewasa muda, tengah baya, dewasa tua dan lansia (Hamid A, 1999), namun pada bab ini peneliti akan secara khusus membahas satu kelompok masyarakat saja yaitu masyarakat kelompok remaja. 2.5.8 Masa Remaja (12-18 tahun) Pertumbuhan fisik terjadi dalam waktu yang sangat singkat yaitu dalam 18 hingga 36 bulan, dan selesai selama masa pubertas. Remaja putri tingginya bertambah 5 sampai 20 cm dan beratnya bertambah 7 hingga 25 kg yang dialami 2 tahun lebih awal daripada remaja putra. Pengaruh hormonal ada pertumbuhan dan perubahan fisik remaja sangat myata terutama pada fungsi seksual atau karakteristik seks sekunder. Pertumbuhan reproduktif berakhir pada usia 17 tahun. Kelompok sebaya memberikan pengaruh utama dalam kehidupan remaja. Remaja lebih mandiri dan seringkali merasa bingung dengan perilaku orang tuanya. Tugas psikososial pada masa ini adalah mengembangkan identitas kelompok dan rasa identitas pribadi dan menjalin hubungan personal yang akrab baik dengan teman pria maupun dengan teman wanita yang disebut oleh Erikson

2

sebagai identitas versus keracunan identitas. Biasanya remaja dipenuhi oleh pertanyaan tentang arti kehidupan dan masa depan. Proses pengembangan identitas diri merupakan fenomena yang kompleks yang mencerminkan keturunan, nilai keluarga, pengalaman kehidupan masa lalu, keyakinan dan harapan untuk masa depan, serta persepsi mereka tentang tuntutan dan harapan orang yang berarti dalam kehidupannya. Memberikan kesempatan untuk berperilaku seperti orang dewasa antara lain, mengasuh, berpacaran atau meninggalkan rumah untuk sekolah di luar kota memungkinkan remaja untuk menelaah tanggung jawab dan peran orang dewasa. Pengarahan orang tua dalam menentukan alternative dan membuat keputusan yang logik dalam menyelesaikan masalah, sangat penting bagi remaja. Kita perlu memahami konflik yang pada umumnya dialami remaja yaitu konflik antara keinginan untuk menunjukkan identitas dirinya melalui kemandirian dengan perasaan masih tergantung pada orang tua. Dalam hal ini, komunikasi yang terbuka antara remaja dengan orang tua menjadi sangat penting. Dalam perkembangan kognitifnya, remaja mampu untuk berpikir tentang cara mengubah masa depan dan mampu mengantisipasi konsekuensi dari tiap perilaku mereka, serta dapat melihat hubungan abstrak antara diri mereka dengan lingkungannya. Dari segi moral, remaja biasanya mulai menentang nilai-nilai tradisional dan mencoba mengkajinya secara logik. (Hamid A, 1999)

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2

1.1 Kerangka Konseptual PenelitianPredisposing Factor; pendidikan, sikap, kepercayaan, tradisi, nilai Enabling factors; Ketersediaan sumber2/fasilitas Reinforcing factor; Sikap dan perilaku perawat HIV/AIDS Menerima adanya ODHA Pemberian pendidikan kesehatan Proses perubahan perilaku - Awarness - Interest - Evaluation - Trial - Adoption tidak menerima/stigma masy. pada ODHA

sikap

pengetahuan

tindakan

Menerima Merespon Menghargai Bertanggungjawab

6 tingkatan kognitif: memahami, aplikasi,analisis, sintesis,evaluasi

Persepsi Respon terpimpin Mekanisme Adopsi

Peningkatan penerimaan masyarakat terhadap ODHA secara positif Variabel tidak diteliti Variable diteliti

stigma yang terjadi di masyarakat dapat diminimalkan

Gambar 3.1 Kerangka konseptual hubungan tingkat pengetahuan masyarakat tentang penularan HIV/AIDS terhadap penerimaan masyarakat pada ODHA berdasarkan modifikasi teori perilaku L. Green (1980) dan teori perubahan Roger (1974).

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa adanya kasus HIV/AIDS yang terjadi mendapat reaksi yang bervariasi dari masyarakat, ada yang

2

menerima dan yang tidak menerima, yang dipengaruhi oleh tiga faktor menurut teori Lawrence green tentang perubahan yaitu predisposing factor yang terdiri dari pendidikan, sikap, kepercayaan, tradisi dan nilai, Enabling factors yang terdiri dari ketersediaan sumber-sumber atau fasilitas dan Reinforcing factor terdiri dari sikap dan perilaku tenaga kesehatan. Tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang bagaimana cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS membuat ODHA seringkali dikucilkan dan didiskriminasikan, kemudian oleh peneliti dilakukan intervensi berupa pendidikan kesehatan tentang cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, kemudian terjadi proses perubahan perilaku menurut teori perubahan Roger (1974) yang membentuk tiga bentuk perubahan yaitu sikap yang terdiri dari tahap menerima, merespon, menghargai, dan bertanggungjawab, pengetahuan yang terdiri dari proses kognitif, mulai dari tahapan tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi, dan tindakan yang terdiri dari persepsi, respon terpimpin, mekanisme dan adopsi. Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat menerima ODHA secara positif dan stigma yang terjadi di masyarakat dapat diminimalkan.

2.6 Hipotesis H1 : Terdapat pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS terhadap sikap masyarakat pada ODHA

BAB 4 METODE PENELITIAN

2

4.1 Desain atau Rancangan Penelitian yang Digunakan Dilihat dari cara pengumpulan dan pengolahan datanya maka penelitian dan pembahasan ini merupakan penelitian dengan rancangan One-Group Pratest-Post-Test Design, dimana dalam rancangan ini akan diungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subyek. Kelompok subyek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2003). Kelompok subyek merupakan masyarakat kelompok remaja yaitu siswa kelas II SMU Imanuel, samarinda, Kalimantan Timur. Sebelum dilakukan intervensi peneliti melakukan analisis situasi di daerah sasaran penelitian, terdapat 60% masyarakat yang tidak menginginkan adanya ODHA di lingkungan mereka, kemudian dilakukan pra test untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan masyarakat tentang cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS setelah itu dilakukan intervensi berupa pemberian pendidikan kesehatan tentang cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, intervensi dilakukan secara langsung dengan mengumpulkan masyarakat dalam satu lokasi. Setelah masyarakat melalui proses pendidikan kesehatan, dilakukan proses post test dengan menyebarkan kuisioner yang menyatakan apakah masyarakat bersedia untuk hidup satu lingkungan bersama dengan ODHA di daerahnya.Subyek K Pra test 0 Time 1 Perlakuan 1 Time 2 Pasca test 01 Time 3

Keterangan : K : Subyek (Siswa SMU Imanuel)

2

0 1 01

: Observasi sikap sebelum intervensi : Intervensi (pendidikan kesehatan) : Observasi sikap setelah diberi penyuluhan.

4.2 Populasi Sample dan Sampling 4.2.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti (Notoadmojo, 1993). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa SMU Imanuel Samarinda. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 22 orang. 4.2.2 Sampel Sample adalah reprentasi populasi yang dijadikan sumber informasi bagi semua data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian yang dihadapi (Ahmad W, 2000). Menurut Polit dan Hungler (1993) bahwa semakin besar sample yang dipergunakan semakin baik dan representative hasil yang diperoleh. Dengan kata lain semakin besar sample, semakin mengurangi angka kesalahan. Tapi sehubungan dengan keterbatasan biaya dan waktu yang peneliti miliki, yang tidak memungkinkan peneliti mengambil semua targetnya sehingga peneliti mengambil sample yang representative yaitu sample yang dapat mewakili populasi yang ada. 1. Kriteria Inklusi a. Usia antara 15-20 tahun b. Siswa SMU Imanuel

2.

Kriteria eksklusi

2

a. Usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 20 tahun b. Bukan siswa SMU Imanuel

4.2.3

Besar Sample Jumlah populasi yang akan diteliti sebanyak 22 orang. Dalam menentukan besar sample peneliti menggunakan rumus : Besar populasi < 1000, maka :

n=

N 1 + N (d)2

Keterangan : n : jumlah sample N : jumlah populasi d : tingkat signifikansi (p)

24 n= 11 + 20 ( 0,05 )2 24 1+ 20 (0,0025) 24 1 + 0,05

n=

n=

n = 24 n= 22 orang

4.2.4 Sampling

2

Cara pemilihan sample pada penelitian ini dilakukan

dengan

cara

Purposive Sampling (non probability sampling) yaitu suatu teknik penetapan sample dengan cara memilih sample di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki oleh peneliti yang disesuaikan dengan kriteria inklusi yang telah dirancang oleh peneliti, sehingga pemilihan sample tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2001) Peneliti memilih sample secara acak, dari satu sekolah tersebut, peneliti mengambil 22 orang sample dari kelas II IPS, disesuaikan dengan kriteria inklusi sehingga sample yang diambil dapat mewakili karakteristik populasi yang diinginkan.

4.3 Kerangka Operasional Kerja

2

Menentukan populasi dari smu imanuel Sample dipilih sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan oleh peneliti, yaitu siswa/I SMU Imanuel yang berusia antara 15 sampai 20 tahun

Mengidentifikasi pengetahuan, stigma siswa SMU imanuel kemudian melakukan intervensi berupa penkes. Setelah dilakukan intervensi dan menganalisis pengaruh penkes terhadap penerimaan masyarakat.

Dilakukan intervensi berupa pemberian pendidikan kesehatan tentang cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS secara langsung dengan mengumpulkan responden dalam satu ruangan

Post test: diberikan kuisioner berisi 12 pertanyaan dengan pilihan benar dan salah, untuk mengukur kembali sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang cara penularan HIV/AIDS dan 7 pertanyaan berupa pernyataan setuju atau tidak untuk mengukur apakah stigma di masyarakat sudah dapat diminimalkan yang sudah diberikan sebelumnya pada saat pre test Menggunakan analisis wilcoxon.

Hasil: ada atau tidak pengaruh pendidikan kes. tentang penularan HIV/AIDS dengan stigma masyarakat pada ODHA

Gambar 4.2 Kerangka kerja pengaruh pendidikan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS terhadap stigma masyarakat pada ODHA, berdasarkan rancangan One-Group Pra-Test-Post-Test Design .

4.4 Identifikasi Variabel

2

Pada penelitian ini terdapat variabel independent yaitu : tingkat pengetahuan masyarakat dan variabel dependent, yaitu : stigma terhadap ODHA

4.6 Metode Pengumpulan Data dan Analisis data

2

4.6.1 Instrumen Untuk melakukan pengumpulan data peneliti membuat instrument sebagai pedoman pengumpulan data berupa kuisioner untuk mengevaluasi pengetahuan sebelum dan sesudah perlakuan, terdiri dari 12 pertanyaan berbentuk dichotomy question dengan pilihan benar/salah. Dari sejumlah pertanyaan tentang

pengetahuan yang dijawab oleh masyarakat akan dianalisis untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang penularan HIV/AIDS. Untuk

mengevaluasi bagaimana stigma masyarakat terhadap ODHA, terdapat 7 pertanyaan berbentuk skala likert dengan pilihan SS, S, TS, STS. Jawaban dari kuisioner yang telah dihitung secara manual, maka dilakukan uji analisis untuk mengetahui pengaruh antara variabel independent dan variabel dependent dengan menggunakan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang tersedia. 4.6.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah di SMU Imanuel Samarinda, Kalimantan Timur. Selama kurang lebih 10 hari dan pengumpulan data dilakukan setelah mendapat ijin dari pihak terkait. 4.6.3 Waktu Pelaksanaan pada tanggal 3 Februari sampai dengan 13 Februari 2005 4.6.4 Prosedur Pengumpulan Data Sebelum kuisioner disebarkan kepada responden, peneliti terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian, dijelaskan juga beberapa pertanyaan yang mungkin menimbulkan perbedaan makna dari interpretasinya dan beberapa kata yang mungkin asing bagi responden. Kemudian dilakukan

2

intervensi yaitu berupa pemahaman tentang definisi, penyebab, cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dan sikap terhadap ODHA, setelah itu kuisioner kembali disebarkan untuk mendapatkan hasil apakah ada pengaruh tingkat pengetahuan masyarakat tentang penularan HIV/AIDS terhadap stigma

masyarakat pada ODHA. 4.6.5 Teknik Analisis Data Setelah data kuisioner terkumpul, diperiksa kembali untuk mengetahui kelengkapan isi, kemudian ditabulasi berdasarkan sub variabel yang diteliti, kemudian dilakukan penghitungan data wilcoxon sifned rank test untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang penularang HIV/AIDS terhadap stigma masyarakat pada ODHA.

4.7 Etik Penelitian Persetujuan dan kerahasiaan responden adalah hal utama yang perlu diperhatika. Oleh karena itu peneliti sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu mengajukan ethical clearance kepada pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam penelitian, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak otonomi manusia yang menjadi subyek penelitian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti juga mengajukan ijin terlebih dahulu kepada Dinas Kesehatan Kota Samarinda, Kepala Sekolah SMU Imanuel, setelah mendapatkan persetujuan dari semua pihak tersebut di atas, peneliti memulai penelitian dengan menekankan prinsip-prinsip dalam etika yang berlaku, yang meliputi: 1. Lembar persetujuan menjadi responden

2

Sebelum lembar persetujuan diberikan kepada subyek penelitian, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, responden juga harus diberi penjelasan bahwa repsonden bebas dari eksploitasi dan informasi yang didapatkan tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan responden dalam bentuk apapun, hak-hak selama dalam penelitian, hak untuk menolak menjadi responden dalam penelitian, kewajiban apabila bersedia menjadi responden, dan kerahasiaan identitas responden yang menjadi subyek penelitian. Jika responden menyetujui, maka responden diminta untuk menandatangani surat persetujuan. 2. Tanpa nama (Anonimity) Kerahasiaan responden harus terjaga dengan tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data dan pada lembar kuisioner, cukup diberikan kodekode tertentu sebagai identifikasi subyek. 3. Rahasia Informasi yang diberikan oleh responden akan terjamin kerahasiaannya karena peneliti hanya menggunakan kelompok data sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian.

4.8 Keterbatasan Stigma masyarakat merupakan masalah yang abstrak sehingga sangat sulit untuk dilakukan penelitian, untuk itu dilakukan upaya dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap responden yang kemudian dari jawaban tersebut dilakukan analisis. Alat ukur

2

baku yang memiliki validitas dan reabilitas yang memadai belum tersedia. Selain itu, waktu dalam pengumpulan data juga sangat terbatas.

2

DAFTAR PUSTAKA

Adam, K & Jessica, K (2000). Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Edisi I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Ancok, D (1989). Teknik Pengukuran dan Skala Pengukuran. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM Azwar, S (2003). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Edisi II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Busza, J (2004). Stigma and Discrimination. http// binkesmas Depkes go.id/ kesga/ sub_3.php. Tanggal 04 Desember 2003 Dadang, H (2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fak. Kedokteran UI Depkes Kaltim (2005). Data Prevalensi HIV Kaltim. http//binkesmas depkes go. Id/kesga. Tanggal 18 Januari 2005 Green,W. Crish (2003). Fakta tentang AIDS. Jakarta: Yayasan Spiritia Guyton, A (1997). Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC Hasbullah, R (1999). Konseling Penyakit Menular Seksual dan HIV/AIDS untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: HAPP/USAID HIS & STB (2000). AIDS Stigma and Discrimination. [email protected]. Hugo, F (1986). Kamus Ilmu-ilmu Sosial. Edisi I. Jakarta: Rajawali

2

Ian, R (1981). Sociology. New York: Worth Publishers, Inc Jenni, F & Annabel, K (2004). HIV & AIDS Stigma and Discrimination. http://www. Avert.org/ Aidsyoun.htm. Tanggal 16 September. jam 17.00. Lily, V.L (2004). Transmisi HIV dari Ibu ke Anak. Majalah Kedokteran Indonesia. 54 (3: 90) Notoatmojo, S (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rhineka Cipta Nursalam (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Edisi I. Jakarta: Salemba Medika PELKESI (1995). Pendekatan Perencanaan Program Pencegahan PMS dan AIDS di Masyarakat. Jakarta: PELKESI, hal: 44 PELKESI (1995). Fakta dan Dugaan tentang AIDS. Jakarta: PELKESI Prent, K. Adi, S. (____). Kamus Latin Indonesia. Price, A. Sylvia (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC Sarwono, P (1999). Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Syaiful, W (2000). Pers Meliput AIDS. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan __________ (2004). Stigma & HIV AIDS. http://stigma/introduction.htm. Tanggal 21 Desember. jam 14.30

2

Lampiran 1

PERNYATAAN PERSETUJUAN (Informant Concern) Saya yang bertanda tangan di bawah ini: No. Responden Tanggal : :

Setelah diberi penjelasan mengenai cara penularan HIV/AIDS, mengerti dan memahami penjelasan dan informasi yang diberikan, saya bersedia berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang dilakukan oleh Sdri. Kristina, sampai dengan berakhirnya masa penelitian yang dimaksud. Bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya. Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak sedang dan dalam paksaan siapapun dan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Samarinda,

2005

Peneliti,

Responden,

( Kristina )

(

)

2

Lampiran 2

No. Resp.......

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENULARAN HIV/AIDS TERHADAP STIGMA MASYARAKAT PADA ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)

KUISIONER

Hasil penelitian ini akan digunakan untuk mengetahui pengaruh pendidikan tentang penularan HIV/AIDS dan stigma masyarakat terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Hasil dari penelitian ini tidak

dimanfaatkan untuk keperluan lain.

Petunjuk pengisian: a. Bacalah dengan cermat semua pertanyaan yang ada di dalam kuisioner ini b. Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang tersedia sesuai dengan pendapat dan keadaan yang sebenarnya c. Mohon kesediaannya untuk menjawab seluruh pertanyaan yang tersedia.

2

Lampiran 3 LEMBAR KUISIONER Isilah tanda silang (x) pada kotak yang telah disediakan sesuai dengan pertanyaan berikut:

No. Responden... A. Data Demografi 1. Jenis kelamin 1) Laki-laki 2) Perempuan 2. Pendidikan (SMU) 1) Kelas 1 2) Kelas 2 3) Kelas 3 IPS 4) Kelas 3 IPA

3. Umur 1) 15-16 th 2) 17-18 th 3) 19-20 th

2

5. Mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS dari 1) Televisi 2) Radio 3) Koran/majalah 4) Penyuluhan oleh tenaga kesehatan

2

Lampiran 4 KUISIONER PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENULARAN HIV/AIDS TERHADAP STIGMA MASYARAKAT PADA ODHA Jawablah dengan memberi tanda ( ) pada pilihan yang anda anggap paling tepat ! 1. Tingkat Pengetahuan (kognitif) No Daftar Pertanyaan 1 Apakah HIV/AIDS adalah penyakit menular ? 2 Pakaian, handuk, dan saputangan yang dipakaibersama dengan orang yang terkena AIDS akan menular ? Apakah menular jika memakai toilet bersama dengan orang yang terkena AIDS ? Apakah dengan bersalaman AIDS dapat menular ? Apakah memakai peralatan makan (piring, sendok, garpu, gelas, sumpit,dll) bersama-sama dengan orang yang terkena AIDS akan menular ? Apakah kondom dapat mencegah penularan HIV/AIDS ? Apakah berpelukan dengan orang yang terinfeksi HIV akan menular? Apakah hidup serumah dengan orang yang terinfeksi HIV dapat menular? Apakah HIV ditularkan melalui binatang atau serangga? Apakah HIV dapat menular pada anak yang meminum ASI ? Apakah AIDS dapat menular melalui gigitan nyamuk? Jika salah satu teman/keluarga anda terinfeksi HIV, apakah anda akan menjauhinya agar tidak tertular ?

Benar Salah

Kode

3 4 5

6 7 8 9 10 11 12

2. Sikap Masyarakat

2

Petunjuk : Saudara dimohon dapat mengemukakan pendapat secara jujur untuk menyatakan sikap saudara terhadap pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda check list () pada kolom yang telah disediakan sesuai dengan pilihan saudara. Keterangan pilihan : SS S TS STS ENo 1

: Sangat setuju : Setuju : Tidak setuju : Sangat tidak setuju : Bila anda tidak dapat menentukan pendapatPertanyaan Jika salah satu teman/keluarga saya terinfeksi HIV, saya akan menjauhinya agar tidak tertular. Orang dengan HIV/AIDS adalah kutukan Tuhan HIV/AIDS adalah hukuman bagi orang dengan perilaku yang menyimpang (homoseksual, lesbi, dll) ODHA patut diisolasi dari lingkungannya agar tidak menularkan kepada yang lain Anak yang positif HIV tidak perlu bersekolah agar tidak menularkan pada teman-temannya HIV/AIDS hanya menyerang orang yang berperilaku buruk (PSK, lelaki hidung belang) ODHA terlihat menyeramkan dan menakutkan SS S TS STS E Skore

2 3

4 5

6

7

Lampiran 5 SATUAN ACARA PENYULUHAN

2

Topik Subtopik Sasaran Tempat

: AIDS : Cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS : Siswa kelas 3 : SMU Imanuel Samarinda

Waktu : 1 x 45 menit

1. TUJUAN UMUM Setelah melalui proses penyuluhan, siswa dapat : a. memiliki pengetahuan dasar tentang HIV/AIDS, serta dapat menerangkan tahapan-tahapan perkembangan alamiah dari AIDS serta cara penyebarannya. b. menjelaskan tindakan-tindakan yang berisiko tinggi terhadap AIDS dan cara mencegah infeksi dan penularan HIV/AIDS

2. TUJUAN KHUSUS b. memahami istilah AIDS dan HIV c. menerangkan empat fase perkembangan alamiah AIDS beserta akibatnya terhadap manusia yang terinfeksi d. menjelaskan enam c