18
B A B I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan antar manusia karena perkawinan tidak hanya sebuah peristiwa hukum antara suami dan istri. Akan tetapi, perkawinan juga sebuah peristiwa sosiologis yang berdampak bagi orang ketiga atau orang-orang diluar perkawinan tersebut. Apabila ada pertanyaan terkait “ Mengapa setiap manusia dianjurkan untuk melaksanakan perkawinan ?" mungkin setiap orang juga menemukan berbagai alasan yang berbeda. Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinan adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit, dan bahkan tertutup. Sedangkan dalam masyarakat modern budaya perkawinannya maju, luas serta terbuka. 1 Perkawinan sudah ada dalam masyarakat yang sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat. 1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2003, Hlm 1. TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARA DALAM MEMBATASI PEMENUHAN HAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama) DEBBY STEVANI Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

B A B I P E N D A H U L U A N A. LATAR BELAKANGetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/99641/potongan/S1... · sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan dilihat berdasarkan aturan

  • Upload
    ngotram

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

B A B I

P E N D A H U L U A N

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan

antar manusia karena perkawinan tidak hanya sebuah peristiwa hukum

antara suami dan istri. Akan tetapi, perkawinan juga sebuah peristiwa

sosiologis yang berdampak bagi orang ketiga atau orang-orang diluar

perkawinan tersebut. Apabila ada pertanyaan terkait “ Mengapa setiap

manusia dianjurkan untuk melaksanakan perkawinan ?" mungkin setiap

orang juga menemukan berbagai alasan yang berbeda. Oleh karena

manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan

merupakan budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan

memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti

perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya

perkawinan adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit, dan bahkan

tertutup. Sedangkan dalam masyarakat modern budaya perkawinannya

maju, luas serta terbuka.1 Perkawinan sudah ada dalam masyarakat yang

sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota

masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat.

1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama, Bandung, Mandar Maju, 2003, Hlm 1.

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Perkawinan dianggap sebagai sebuah prosesi yang sakral dan suci

yang mana tidak mengherankan permasalahan mengenai perkawinan ini

sering kali dihubungkan dengan kaedah-kaedah agama. Selain kaedah

agama, perkawinan juga erat kaitannya dengan adanya norma hukum dan

aturan yang mengaturnya. Hukum diperlukan dalam perkawinan

dikarenakan dampak dari diberlangsungkannya perkawinan itu sendiri

dimana akan menimbulkan hak, kewajiban, serta tanggung jawab masing-

masing mempelai juga anggota keluarganya. Apabila tidak ada aturan

hukum yang jelas mengikat terkait hal tersebut, maka ditakutkan akan

terjadi perselisihan dikemudian hari.

Aturan perkawinan bagi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku secara resmi sejak

tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, kemudian berlaku

secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang tersebut

sudah berlaku secara formal yuridis bagi bangsa Indonesia, dan telah

menjadi bagian dari hukum positif. Undang-undang perkawinan ini, selain

meletakkan asas-asas, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan

memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi

pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia.2

2 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun

1974, Jakarta, Dian Rakyat, 1986, hlm. 16

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 1

menyatakan bahwa “ Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara

seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha esa”.3 Ikatan lahir batin yang sebagaimana yang disebutkan

dalam pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak asasi manusia itu

sendiri, yang mana menunjukan bahwasanya perkawinan merupakan

bagian dari hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak

beragama dan juga hak menikah dan membentuk keluarga yang

ketentuannya juga diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia. Walaupun tentang perkawinan ini telah

ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tidak

berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang

berkaitan dengan perkawinan, contoh persoalan yang tidak diatur oleh UU

Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang berbeda agama.4

Masalah kawin beda agama kembali mencuat setelah adanya

pengajuan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1

Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pada

September 2014 yang lalu. Pasal tersebut mengatur terkait syarat sahnya

perkawinan, yang mana berbunyi sebagai berikut:

3 Djaja S Meliala,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,

Bandung, 2008, hlm.,1. 4 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986, hlm.

11

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Pasal tersebut diintepretasikan bahwa negara memberikan pembatasan

terhadap perkawinan yang hanya diakui secara sah apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut.

Dengan demikian, pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang

jelas kepada calon mempelai yang menikah apabila memiliki keyakianan

ataupun agama yang berbeda. Ketentuan tersebut memberikan pembatasan

berdasarkan agama terhadap kebebasan hak untuk menikah dan

membentuk keluarga terhadap lelaki dan perempuan yang telah dewasa

yang mana diatur dalam Universal Declaration on Human Rights (

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

Di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

menerangkan dan juga menegaskan bahwasanya perkawinan merupakan

bagian dari Hak dasar manusia dalam pergaulan masyarakat Internasional.

Hal tersebut dilihat dimana secara khusus hak untuk menikah dan

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

membentuk keluarga diatur dalam pasal 16 UDHR yang mana berbunyi

sebagai berikut :5

Article 16

(1) Men and women offull age, without any limitation due to

race, nationality or religion, have the right to marry and to

found a family. They are entitled to equal rights as to

marriage, during marriage and at its dissolution

(2) Marriage shall be entered into only with free and full

consent of intending spouses

(3) The family is the natural and fundamental group unit of

society and is entitled to protection by society and State

Pasal 16

(1) Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan,

dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan

atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk

keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal

perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat

perceraian

5 Vide Pasal 16 ayat (1),(2), dan (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( Universal

Declarationof Human Rights) tentang Hak menikah dan membentuk keluarga, yang dideklarasikan

pada tanggal 10 Desember 1948.

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan

bebas dan persetujuan kedua mempelai

(3) Keluarga adalah kesatuan alamiah dan fundamental dari

masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari

masyarakat dan negara

Selain itu, kedudukan hak untuk menikah dan membentuk keluarga

juga mendapatkan perlindungan Hukum Internasional pada Pasal 23 ayat

2 dan 3 dalam International Convenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) yaitu :

1. The family is the natural and fundamental group unit of

society and is entitled to protection by society and the State

2. The right of men and women of marriageable age to marry

and to found a family shall be recognized,

3. No marriage shall be entered into without the free and full

consent of the intending spouses.

1. Keluarga merupakan kesatuan kelompok masyarakat yang

alami dan fundamental dan berhak atas perlindungan dari

masyarakat dan negara.

2. Hak Pria dan wanita yang cukup umur untuk menikah dan

membentuk keluarga harus diakui.

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3. Perkawinan tidak boleh diadakan tanpa persetujuan yang

bebas dan sempurna dari kedua calon mempelai.

Dalam kedua instrumen Hak Asasi Manusia Internasional tersebut

menjelaskan bagaimana perkawinan sebagai bagian dari hak asasi manusia

seharusnya diberlangsungkan tanpa paksaan dan bebas dilakukan oleh

laki-laki dan perempuan tanpa adanya batasan agama, ras, dan

kewarganegaraan untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, apabila

hal tersebut dihubungkan dengan perngertian perkawinan menurut pasal 1

huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19746 yang mana Perkawinan

bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga

merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau

tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-

masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.7

Dilihat dari aturan tersebut, tampak adanya perbedaan aturan

maupun prinsip terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini.

Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia secara jelas diterangkan bahwa Indonesia berpedoman kepada

UDHR, yang mana hal tersebut tertera dalam pasal 75 Undang- Undang

No.39 Tahun 1999 yang mana berbunyi sebagi berikut

“....mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi

6Vide Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai

definisi Perkawinan 7 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 9

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia..”8 Dilihat dari ketentuan pasal tersebut, Indonesia

seharusnya secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan

ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UDHR tersebut terkait

kebebasan untuk menikah yang mana juga tercermin dalam ketentuan

Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 19459 sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia.

Berdasarkan bunyi pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, secara

eksplisit negara disini mencampurkan koridor perkawinan beserta

administrasinya berdasarkan koridor agama. Hal ini dikarenakan hanya

perkawinan yang sah yang dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil,

sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan dilihat berdasarkan aturan

agama masing-masing, maka secara tidak langsung administrasi

perkawinan juga tergantung dengan ketentuan agama atau kepercayaan

masing-masing. Hal tersebut mungkin tidak akan menjadi sebuah

permasalahan apabila perkawinan terjadi diantara laki-laki dan perempuan

yang seiman atau beragama sama. Namun, permasalahan pemenuhan hak

menikah dan membentuk keluarga ini muncul ketika dihadapkan kepada

kasus Perkawinan beda agama dimana laki-laki dan perempuan yang akan

menikah tidak seiman dan berbeda agama. Ketika hal tersebut terjadi,

8 Indonesia,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 75 butir a

,Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 , Tambahan Lembar Negara nomor

3886 9 Vide Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

timbul berbagai pertanyaan bagaimana keabsahan perkawinan tersebut,

lalu ketentuan agama mana yang harus diikuti, dan bagaimana pencatatan

perkawinannya. Selain itu, hal ini adalah faktual dan bukan persangkaan

bahwa masih banyak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak

dicatatkan yang mengalami diskriminasi pemenuhan dan perlindungan hak

anak, mencakup relasi dalam hukum keluarga, termasuk hak-hak atas

pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran. Tentu saja hal itu

vis a vis dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak ( the best interest of

child).10

Dengan demikian, dengan tidak adanya kepastian hukum terkait

pencatatan perkawinan beda agama, maka tidak hanya kedua mempelai

yang mengalami dampaknya. Akan tetapi, hal tersebut juga menjadikan

anak yang lahir dalam perkawinan beda agama juga tidak memiliki

kepastian secara hukum.

Pada satu sisi, keinginan melegalkan kawin beda agama

merupakan ide sensitif yang sangat potensial menimbulkan polemik di

masyarakat. Namun, di sisi lain permintaan ini patut dihargai sebagai fakta

empiris yang berhubungan dengan jaminan dan perlindungan hak warga

negara untuk membentuk keluarga yang hendak atau telah melangsungkan

kawin beda agama. Akan tetapi, pembatasan yang terdapat dalam aturan

Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut

membuat banyak pasangan di Indonesia melangsungkan perkawinan

agama melalui penyelundupan hukum. Seorang Peneliti dari Human Right

10

http://www.kpai.go.id/tinjauan/perkawinan-tidak-dicatatkan-dampaknya-bagi-anak/ diakses

pada tanggal 6 Januari 2016 pukul 20.30 WIB

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan Pasal 2 ayat 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakibatkan

diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Ia melihat pasal tersebut telah

membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan

agama dan kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah.11

Pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama kerap menyiasati

berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya

perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Padahal,

jelas dalam instrumen HAM Internasional baik UDHR maupun ICCPR

dalam hal ini mengatur bahwa perkawinan haruslah dilandasi oleh unsur

“free” and “consent”. Namun, apabila melihat realita bahwa untuk

melaksanakan perkawinan beda agama tersebut ‘terpaksa’ mengharuskan

salah satu calon mempelai harus berpindah agama dan mengorbankan

agama ataupun kepercayaan yang dianutnya membuat pembatasan tersebut

secara tidak langsung melanggar unsur ‘free’ and ‘consent’ tadi. Selain itu,

siasat penyelundupan hukum dengan melaksanakan perkawinan di luar

negeri ataupun dengan cara adat juga berdampak pada aspek hukum lain

seperti status anak dan juga masalah waris.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka

pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi . Hal ini

berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah

undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan

11

http://nasional.kompas.com/read/2014/09/06/09352001/UU.Perkawinan.Mendiskriminasi.Pasang

an.Beda.Agama diakses pada tanggal 4 Januari 2016, pukul 15.00 WIB

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku

bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak

merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan,

maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di

Indonesia.12

Hal tersebut menjadi perdebatan, apakah pembatasan yang

terdapat dalam aturan perundang-undangan terkait perkawinan di

Indonesia tersebut telah melanggar prinsip Hak Asasi Manusi yang diakui

secara universal atau memang ada kewenangan negara untuk pembatasan

pemenuhan suatu Hak Asasi Manusia dengan alasan tertentu.

Setelah diratifikasinya International Convenant on Civil and

Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005, Negara

Indonesia memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan Hak-Hak yang ada

didalam ICCPR tersebut termasuk hak untuk menikah dan membentuk

keluarga. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan

penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara yang menjadi

negara-negara pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun

didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights).

Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat

terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila

negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan

12

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/1717/1359 diakses pada

tanggal 3 Desember 2015 pukul 16.09 WIB

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yang diatur didalamnya akan dilanggar oleh negara.13

Akan tetapi, dengan

adanya aturan perkawinan Indonesia yang berdasarkan UU Nomor 1

Tahun 1974 tersebut. Maka, secara tidak langsung adanya pembatasan

pemenuhan hak tersebut yang dilakukan oleh negara. Hal inilah yang

secara garis besar akan penulis ulas dalam penulisan hukum berjudul

“Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional terhadap

Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk

Menikah dan Membentuk Keluarga” dengan memfokuskan studi pada

kasus perkawinan beda agama di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan pada sub-bab

sebelumnya, Penulis menentukan rumusan masalah yang akan dibahas

dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan HAM dalam Hukum Internasional

mengenai perkawinan khususnya perkawinan beda agama ?

2. Bagaimanakah cara mengatasi gap dalam pengaturan perkawinan

beda agama dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

terutama hubungannya dengan Hak Asasi Manusia ?

13

IfdhalKasim, Hak Sipil dan Politik (Esai-Esai Pilihan), Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat (ELSAM), 2001, hlm.xi-xii

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin Penulis capai dalam penulisan hukum ini

mencakup 2 (dua) hal, yakni sebagai berikut :

1. Tujuan Subjektif

Tujuan Subjektif dari penulisan hukum ini adalah untuk

memperoleh semua data yang diperlukan dalam rangka

menyusun penulisan hukum guna memenuhi persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada.

2. Tujuan Objektif

Tujuan Objektif dari penulisan hukum ini didasarkan pada

rumusan masalah yang telah Penulis kemukakan pada sub-bab

sebelumnya, yakni sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan HAM dalam

Hukum Internasional mengenai perkawinan khususnya

perkawinan beda agama.

b. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi gap dalam

pengaturan perkawinan beda agama dalam Hukum

Internasional dan Hukum Nasional terutama hubungannya

dengan Hak Asasi Manusia.

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

D. KEASLIAN PENELITIAN

Penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan terhadap

beberapa sumber, telah banyak penelitian dengan topik Penegakan Hak

Asasi Manusia, namun tidak penulis temukan penelitian yang serupa

dengan judul Penulis yakni “Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia

Internasional terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi

Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga”. Adapun

penelitian yang serupa dengan tulisan penulis, berikut perbedaan dan

persamaannya dengan Penulisan Hukum yang dibuat penulis :

1. Tesis berjudul “ Kawin Beda Agama Dalam Legislasi

Hukum Perkawinan Indonesia Perspektif HAM ”, hasil

karya Faiq Tobroni.14

Tesis yang dibuat oleh Faiq ini sama-sama membahas

terkait perkawinan beda agama dalam persfektif HAM. Namun,

Faiq secara khusus lebih membahas terkait implikasi

penggunaan konsep maslahat, baik dari Maqashid Syari’ah dan

Utilitarianisme, terhadap kasus kawin beda agama. Selain itu,

dalam tesis tersebut Faiq juga membahas terkait implikasi

konsep tersebut dengan dinamika legislasi perkawinan konteks

Indonesia dalam mengakomodasi tuntutan HAM. Dilihat dari

14

Magister Hukum (M.H), Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia.

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

rumusan masalah dan pembahasan Tesis dari Faiq tersebut

tentunya berbeda dengan penulisan hukum yang penulis tulis

dikarenakan penulis lebih cendrung membahas perkawinan

beda agama dalam kaitan pemenuhan Hak menikah dan

membentuk Keluarga oleh negara dilihat dari Hukum HAM

Internasional yang mana tidak hanya dilihat dari persfektif

islam saja seperti karya Faiq tersebut, namun juga dari

persfektif agama-agama yang ada di Indonesia.

2. Jurnal berjudul “Interfaith Marriage and Religious

Commitment among Catholics”, hasil karya Larry R

Petersen.15

Jurnal yang dibuat oleh Petersen ini juga memiliki

kesamaan dengan Penulisan Hukum yang penulis tulis terkait

sama-sama membahas terkait “ Perkawinan Beda Agama”.

Akan tetapi, perbedaannya terdapat pada pembahasan Petersen

lebih kepada Perkawinan Beda Agama yang dilakukan oleh

Seseorang yang beragama Katolik dengan diluar agama

Katolik. Dalam jurnal tersebut, Petersen juga membahas terkait

Perkawinan Beda Agama apabila dikaitkan dengan HAM.

Namun, Jurnal Petersen ini berbeda jauh dengan penulisan

hukum penulis yang mana dapat dilihat dari segi lokasi yang

mana penulis menganalisis mengenai Pemenuhan Hak menikah

15

Student of Memphis State University

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dan membentuk keluarga terkait kasus Perkawinan Beda

Agama di Indonesia. Disamping itu, penulis juga lebih

membahas perkawinan beda agama secara keseluruhan dimana

dilihat dari berbagai agama yang ada di Indonesia.

Demikian kedua penelitian dengan tema yang hampir bermiripan

dengan penulisan hukum penulis, yakni terkait Hak Asasi Manusi dan

Perkawinan Agama. Kendati memiliki kesamaan topik, namun substansi

materiil dari apa yang disampaikan berbeda dimana dalam penulisan

hukum ini, penulis lebih membahas terkait kewenangan negara dalam

pembatasan pemenuhan HAM terutama terkait hak untuk menikah dan

membentuk keluarga di Indonesia. Oleh karena itu, Penulis memiliki

keyakinan bahwa sepanjang pengetahuan penulis bahwa penulisan hukum

ini adalah asli.

E. KEGUNAAN PENELITIAN

Secara khusus, berikut adalah beberapa keguanaan dari penulisan

hukum berjudul “Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak

untuk Menikah dan Membentuk Keluarga” ini :

1. Kegunaan Akademis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Hukum Internasional, lebih khusus lagi dalam bidang

hukum hak asasi manusia internasional dengan fokus utama

pada hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi-

bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang memiliki

research interest yang sama dengan Penulis, yakni dibidang

hak asasi manusi, khususnya terkait hak untuk menikah dan

membentuk keluarga.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

masyarakat pada umumnya terutama dalam pemenuhan hak

asasi manusia terkhusunya hak untuk menikah dan

membentuk keluarga.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

pertimbangan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam

pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negaranya

terkhususnya hak untuk menikah dan membentuk keluarga.

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/