Upload
ngotram
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
B A B I
P E N D A H U L U A N
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan
antar manusia karena perkawinan tidak hanya sebuah peristiwa hukum
antara suami dan istri. Akan tetapi, perkawinan juga sebuah peristiwa
sosiologis yang berdampak bagi orang ketiga atau orang-orang diluar
perkawinan tersebut. Apabila ada pertanyaan terkait “ Mengapa setiap
manusia dianjurkan untuk melaksanakan perkawinan ?" mungkin setiap
orang juga menemukan berbagai alasan yang berbeda. Oleh karena
manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan
merupakan budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan
memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti
perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya
perkawinan adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit, dan bahkan
tertutup. Sedangkan dalam masyarakat modern budaya perkawinannya
maju, luas serta terbuka.1 Perkawinan sudah ada dalam masyarakat yang
sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota
masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat.
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, Bandung, Mandar Maju, 2003, Hlm 1.
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Perkawinan dianggap sebagai sebuah prosesi yang sakral dan suci
yang mana tidak mengherankan permasalahan mengenai perkawinan ini
sering kali dihubungkan dengan kaedah-kaedah agama. Selain kaedah
agama, perkawinan juga erat kaitannya dengan adanya norma hukum dan
aturan yang mengaturnya. Hukum diperlukan dalam perkawinan
dikarenakan dampak dari diberlangsungkannya perkawinan itu sendiri
dimana akan menimbulkan hak, kewajiban, serta tanggung jawab masing-
masing mempelai juga anggota keluarganya. Apabila tidak ada aturan
hukum yang jelas mengikat terkait hal tersebut, maka ditakutkan akan
terjadi perselisihan dikemudian hari.
Aturan perkawinan bagi bangsa Indonesia adalah Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku secara resmi sejak
tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, kemudian berlaku
secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang tersebut
sudah berlaku secara formal yuridis bagi bangsa Indonesia, dan telah
menjadi bagian dari hukum positif. Undang-undang perkawinan ini, selain
meletakkan asas-asas, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi
pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia.2
2 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun
1974, Jakarta, Dian Rakyat, 1986, hlm. 16
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 1
menyatakan bahwa “ Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara
seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha esa”.3 Ikatan lahir batin yang sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak asasi manusia itu
sendiri, yang mana menunjukan bahwasanya perkawinan merupakan
bagian dari hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak
beragama dan juga hak menikah dan membentuk keluarga yang
ketentuannya juga diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Walaupun tentang perkawinan ini telah
ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tidak
berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang
berkaitan dengan perkawinan, contoh persoalan yang tidak diatur oleh UU
Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang berbeda agama.4
Masalah kawin beda agama kembali mencuat setelah adanya
pengajuan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi pada
September 2014 yang lalu. Pasal tersebut mengatur terkait syarat sahnya
perkawinan, yang mana berbunyi sebagai berikut:
3 Djaja S Meliala,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, Nuansa Aulia,
Bandung, 2008, hlm.,1. 4 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Pionir Jaya, Bandung, 1986, hlm.
11
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal tersebut diintepretasikan bahwa negara memberikan pembatasan
terhadap perkawinan yang hanya diakui secara sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut.
Dengan demikian, pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang
jelas kepada calon mempelai yang menikah apabila memiliki keyakianan
ataupun agama yang berbeda. Ketentuan tersebut memberikan pembatasan
berdasarkan agama terhadap kebebasan hak untuk menikah dan
membentuk keluarga terhadap lelaki dan perempuan yang telah dewasa
yang mana diatur dalam Universal Declaration on Human Rights (
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
menerangkan dan juga menegaskan bahwasanya perkawinan merupakan
bagian dari Hak dasar manusia dalam pergaulan masyarakat Internasional.
Hal tersebut dilihat dimana secara khusus hak untuk menikah dan
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
membentuk keluarga diatur dalam pasal 16 UDHR yang mana berbunyi
sebagai berikut :5
Article 16
(1) Men and women offull age, without any limitation due to
race, nationality or religion, have the right to marry and to
found a family. They are entitled to equal rights as to
marriage, during marriage and at its dissolution
(2) Marriage shall be entered into only with free and full
consent of intending spouses
(3) The family is the natural and fundamental group unit of
society and is entitled to protection by society and State
Pasal 16
(1) Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan,
dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan
atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk
keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal
perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat
perceraian
5 Vide Pasal 16 ayat (1),(2), dan (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( Universal
Declarationof Human Rights) tentang Hak menikah dan membentuk keluarga, yang dideklarasikan
pada tanggal 10 Desember 1948.
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan
bebas dan persetujuan kedua mempelai
(3) Keluarga adalah kesatuan alamiah dan fundamental dari
masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari
masyarakat dan negara
Selain itu, kedudukan hak untuk menikah dan membentuk keluarga
juga mendapatkan perlindungan Hukum Internasional pada Pasal 23 ayat
2 dan 3 dalam International Convenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) yaitu :
1. The family is the natural and fundamental group unit of
society and is entitled to protection by society and the State
2. The right of men and women of marriageable age to marry
and to found a family shall be recognized,
3. No marriage shall be entered into without the free and full
consent of the intending spouses.
1. Keluarga merupakan kesatuan kelompok masyarakat yang
alami dan fundamental dan berhak atas perlindungan dari
masyarakat dan negara.
2. Hak Pria dan wanita yang cukup umur untuk menikah dan
membentuk keluarga harus diakui.
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3. Perkawinan tidak boleh diadakan tanpa persetujuan yang
bebas dan sempurna dari kedua calon mempelai.
Dalam kedua instrumen Hak Asasi Manusia Internasional tersebut
menjelaskan bagaimana perkawinan sebagai bagian dari hak asasi manusia
seharusnya diberlangsungkan tanpa paksaan dan bebas dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan tanpa adanya batasan agama, ras, dan
kewarganegaraan untuk melangsungkan perkawinan. Akan tetapi, apabila
hal tersebut dihubungkan dengan perngertian perkawinan menurut pasal 1
huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19746 yang mana Perkawinan
bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga
merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau
tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-
masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.7
Dilihat dari aturan tersebut, tampak adanya perbedaan aturan
maupun prinsip terkait hak untuk menikah dan membentuk keluarga ini.
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia secara jelas diterangkan bahwa Indonesia berpedoman kepada
UDHR, yang mana hal tersebut tertera dalam pasal 75 Undang- Undang
No.39 Tahun 1999 yang mana berbunyi sebagi berikut
“....mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi
6Vide Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai
definisi Perkawinan 7 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 9
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia..”8 Dilihat dari ketentuan pasal tersebut, Indonesia
seharusnya secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam UDHR tersebut terkait
kebebasan untuk menikah yang mana juga tercermin dalam ketentuan
Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 19459 sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia.
Berdasarkan bunyi pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, secara
eksplisit negara disini mencampurkan koridor perkawinan beserta
administrasinya berdasarkan koridor agama. Hal ini dikarenakan hanya
perkawinan yang sah yang dapat dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil,
sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan dilihat berdasarkan aturan
agama masing-masing, maka secara tidak langsung administrasi
perkawinan juga tergantung dengan ketentuan agama atau kepercayaan
masing-masing. Hal tersebut mungkin tidak akan menjadi sebuah
permasalahan apabila perkawinan terjadi diantara laki-laki dan perempuan
yang seiman atau beragama sama. Namun, permasalahan pemenuhan hak
menikah dan membentuk keluarga ini muncul ketika dihadapkan kepada
kasus Perkawinan beda agama dimana laki-laki dan perempuan yang akan
menikah tidak seiman dan berbeda agama. Ketika hal tersebut terjadi,
8 Indonesia,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 75 butir a
,Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 , Tambahan Lembar Negara nomor
3886 9 Vide Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
timbul berbagai pertanyaan bagaimana keabsahan perkawinan tersebut,
lalu ketentuan agama mana yang harus diikuti, dan bagaimana pencatatan
perkawinannya. Selain itu, hal ini adalah faktual dan bukan persangkaan
bahwa masih banyak anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatatkan yang mengalami diskriminasi pemenuhan dan perlindungan hak
anak, mencakup relasi dalam hukum keluarga, termasuk hak-hak atas
pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran. Tentu saja hal itu
vis a vis dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak ( the best interest of
child).10
Dengan demikian, dengan tidak adanya kepastian hukum terkait
pencatatan perkawinan beda agama, maka tidak hanya kedua mempelai
yang mengalami dampaknya. Akan tetapi, hal tersebut juga menjadikan
anak yang lahir dalam perkawinan beda agama juga tidak memiliki
kepastian secara hukum.
Pada satu sisi, keinginan melegalkan kawin beda agama
merupakan ide sensitif yang sangat potensial menimbulkan polemik di
masyarakat. Namun, di sisi lain permintaan ini patut dihargai sebagai fakta
empiris yang berhubungan dengan jaminan dan perlindungan hak warga
negara untuk membentuk keluarga yang hendak atau telah melangsungkan
kawin beda agama. Akan tetapi, pembatasan yang terdapat dalam aturan
Pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut
membuat banyak pasangan di Indonesia melangsungkan perkawinan
agama melalui penyelundupan hukum. Seorang Peneliti dari Human Right
10
http://www.kpai.go.id/tinjauan/perkawinan-tidak-dicatatkan-dampaknya-bagi-anak/ diakses
pada tanggal 6 Januari 2016 pukul 20.30 WIB
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengakibatkan
diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Ia melihat pasal tersebut telah
membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan
agama dan kepercayaannya demi mendapat status hukum yang sah.11
Pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama kerap menyiasati
berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya
perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Padahal,
jelas dalam instrumen HAM Internasional baik UDHR maupun ICCPR
dalam hal ini mengatur bahwa perkawinan haruslah dilandasi oleh unsur
“free” and “consent”. Namun, apabila melihat realita bahwa untuk
melaksanakan perkawinan beda agama tersebut ‘terpaksa’ mengharuskan
salah satu calon mempelai harus berpindah agama dan mengorbankan
agama ataupun kepercayaan yang dianutnya membuat pembatasan tersebut
secara tidak langsung melanggar unsur ‘free’ and ‘consent’ tadi. Selain itu,
siasat penyelundupan hukum dengan melaksanakan perkawinan di luar
negeri ataupun dengan cara adat juga berdampak pada aspek hukum lain
seperti status anak dan juga masalah waris.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka
pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi . Hal ini
berdasarkan alasan yakni pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah
undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan
11
http://nasional.kompas.com/read/2014/09/06/09352001/UU.Perkawinan.Mendiskriminasi.Pasang
an.Beda.Agama diakses pada tanggal 4 Januari 2016, pukul 15.00 WIB
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku
bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak
merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan,
maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di
Indonesia.12
Hal tersebut menjadi perdebatan, apakah pembatasan yang
terdapat dalam aturan perundang-undangan terkait perkawinan di
Indonesia tersebut telah melanggar prinsip Hak Asasi Manusi yang diakui
secara universal atau memang ada kewenangan negara untuk pembatasan
pemenuhan suatu Hak Asasi Manusia dengan alasan tertentu.
Setelah diratifikasinya International Convenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005, Negara
Indonesia memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan Hak-Hak yang ada
didalam ICCPR tersebut termasuk hak untuk menikah dan membentuk
keluarga. ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan
penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara yang menjadi
negara-negara pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun
didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights).
Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin didalamnya akan dapat
terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila
negara berperan intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan
12
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/1717/1359 diakses pada
tanggal 3 Desember 2015 pukul 16.09 WIB
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
yang diatur didalamnya akan dilanggar oleh negara.13
Akan tetapi, dengan
adanya aturan perkawinan Indonesia yang berdasarkan UU Nomor 1
Tahun 1974 tersebut. Maka, secara tidak langsung adanya pembatasan
pemenuhan hak tersebut yang dilakukan oleh negara. Hal inilah yang
secara garis besar akan penulis ulas dalam penulisan hukum berjudul
“Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional terhadap
Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak untuk
Menikah dan Membentuk Keluarga” dengan memfokuskan studi pada
kasus perkawinan beda agama di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan pada sub-bab
sebelumnya, Penulis menentukan rumusan masalah yang akan dibahas
dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan HAM dalam Hukum Internasional
mengenai perkawinan khususnya perkawinan beda agama ?
2. Bagaimanakah cara mengatasi gap dalam pengaturan perkawinan
beda agama dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
terutama hubungannya dengan Hak Asasi Manusia ?
13
IfdhalKasim, Hak Sipil dan Politik (Esai-Esai Pilihan), Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), 2001, hlm.xi-xii
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin Penulis capai dalam penulisan hukum ini
mencakup 2 (dua) hal, yakni sebagai berikut :
1. Tujuan Subjektif
Tujuan Subjektif dari penulisan hukum ini adalah untuk
memperoleh semua data yang diperlukan dalam rangka
menyusun penulisan hukum guna memenuhi persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada.
2. Tujuan Objektif
Tujuan Objektif dari penulisan hukum ini didasarkan pada
rumusan masalah yang telah Penulis kemukakan pada sub-bab
sebelumnya, yakni sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan HAM dalam
Hukum Internasional mengenai perkawinan khususnya
perkawinan beda agama.
b. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi gap dalam
pengaturan perkawinan beda agama dalam Hukum
Internasional dan Hukum Nasional terutama hubungannya
dengan Hak Asasi Manusia.
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
D. KEASLIAN PENELITIAN
Penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan terhadap
beberapa sumber, telah banyak penelitian dengan topik Penegakan Hak
Asasi Manusia, namun tidak penulis temukan penelitian yang serupa
dengan judul Penulis yakni “Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi
Pemenuhan Hak untuk Menikah dan Membentuk Keluarga”. Adapun
penelitian yang serupa dengan tulisan penulis, berikut perbedaan dan
persamaannya dengan Penulisan Hukum yang dibuat penulis :
1. Tesis berjudul “ Kawin Beda Agama Dalam Legislasi
Hukum Perkawinan Indonesia Perspektif HAM ”, hasil
karya Faiq Tobroni.14
Tesis yang dibuat oleh Faiq ini sama-sama membahas
terkait perkawinan beda agama dalam persfektif HAM. Namun,
Faiq secara khusus lebih membahas terkait implikasi
penggunaan konsep maslahat, baik dari Maqashid Syari’ah dan
Utilitarianisme, terhadap kasus kawin beda agama. Selain itu,
dalam tesis tersebut Faiq juga membahas terkait implikasi
konsep tersebut dengan dinamika legislasi perkawinan konteks
Indonesia dalam mengakomodasi tuntutan HAM. Dilihat dari
14
Magister Hukum (M.H), Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia.
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
rumusan masalah dan pembahasan Tesis dari Faiq tersebut
tentunya berbeda dengan penulisan hukum yang penulis tulis
dikarenakan penulis lebih cendrung membahas perkawinan
beda agama dalam kaitan pemenuhan Hak menikah dan
membentuk Keluarga oleh negara dilihat dari Hukum HAM
Internasional yang mana tidak hanya dilihat dari persfektif
islam saja seperti karya Faiq tersebut, namun juga dari
persfektif agama-agama yang ada di Indonesia.
2. Jurnal berjudul “Interfaith Marriage and Religious
Commitment among Catholics”, hasil karya Larry R
Petersen.15
Jurnal yang dibuat oleh Petersen ini juga memiliki
kesamaan dengan Penulisan Hukum yang penulis tulis terkait
sama-sama membahas terkait “ Perkawinan Beda Agama”.
Akan tetapi, perbedaannya terdapat pada pembahasan Petersen
lebih kepada Perkawinan Beda Agama yang dilakukan oleh
Seseorang yang beragama Katolik dengan diluar agama
Katolik. Dalam jurnal tersebut, Petersen juga membahas terkait
Perkawinan Beda Agama apabila dikaitkan dengan HAM.
Namun, Jurnal Petersen ini berbeda jauh dengan penulisan
hukum penulis yang mana dapat dilihat dari segi lokasi yang
mana penulis menganalisis mengenai Pemenuhan Hak menikah
15
Student of Memphis State University
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
dan membentuk keluarga terkait kasus Perkawinan Beda
Agama di Indonesia. Disamping itu, penulis juga lebih
membahas perkawinan beda agama secara keseluruhan dimana
dilihat dari berbagai agama yang ada di Indonesia.
Demikian kedua penelitian dengan tema yang hampir bermiripan
dengan penulisan hukum penulis, yakni terkait Hak Asasi Manusi dan
Perkawinan Agama. Kendati memiliki kesamaan topik, namun substansi
materiil dari apa yang disampaikan berbeda dimana dalam penulisan
hukum ini, penulis lebih membahas terkait kewenangan negara dalam
pembatasan pemenuhan HAM terutama terkait hak untuk menikah dan
membentuk keluarga di Indonesia. Oleh karena itu, Penulis memiliki
keyakinan bahwa sepanjang pengetahuan penulis bahwa penulisan hukum
ini adalah asli.
E. KEGUNAAN PENELITIAN
Secara khusus, berikut adalah beberapa keguanaan dari penulisan
hukum berjudul “Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
terhadap Kewenangan Negara dalam Membatasi Pemenuhan Hak
untuk Menikah dan Membentuk Keluarga” ini :
1. Kegunaan Akademis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Hukum Internasional, lebih khusus lagi dalam bidang
hukum hak asasi manusia internasional dengan fokus utama
pada hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi-
bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang memiliki
research interest yang sama dengan Penulis, yakni dibidang
hak asasi manusi, khususnya terkait hak untuk menikah dan
membentuk keluarga.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya terutama dalam pemenuhan hak
asasi manusia terkhusunya hak untuk menikah dan
membentuk keluarga.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
pertimbangan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam
pemenuhan Hak Asasi Manusia warga negaranya
terkhususnya hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL TERHADAP KEWENANGAN NEGARADALAM MEMBATASI PEMENUHANHAK UNTUK MENIKAH DAN MEMBENTUK KELUARGA (Studi Kasus Perkawinan Beda Agama)DEBBY STEVANIUniversitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/