Upload
rizal-fahmi
View
58
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
oke banget
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejahatan, sebagaimana penyimpangan, merupakan sebuah konsep dengan
makna yang beragam, tersebar dan sukar dirumuskan. Seperti yang dikutip oleh
penulis What is Crime? Defining and Measuring the Crime Problem dari Henry dan
Lanier (2001), definisi kejahatan yang begitu spesifik akan berakibat pada pengabaian
tindakan atau perilaku lainnya yang merugikan, seperti kekerasan dalam rumah
tangga, SARA, dan bahkan kejahatan kerah putih. Namun, jika didefinisikan terlalu
luas, semuah tindakan menyimpang dari norma umum akan dianggap sebagai
kejahatan.
Pada kenyataannya, telah terjadi perubahan yang signifikan pada cara
bagaimana para kriminolog dan ‘hukum’ dalam melihat sesuatu hal yang
diperhitungkan sebagai ‘kejahatan’. Kejahatan bersifat kontekstual; bergantung pada
sejarah, agenda sosial, atau situasi dan kondisi dari tempat dan waktu terjadinya.
Pengertian yang dipaparkan hukum tentang kejahatan mungkin dapat dilihat sebagai
jawaban, tetapi dia terbuka untuk beragam interpretasi. Sebagaimana oleh hukum,
definisi oleh aparat pemerintah (penguasa) dan pakar kriminologi digunakan oleh
masyarakat untuk menakar batas atau tingkat dari kejahatan itu sendiri.
Definisi kejahatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, sejak Abad
keenambelas, merujuk pada tindakan atau perilaku yang dilarang, digugat dan
dihukum oleh hukum tentang kejahatan (Henry dan Lanier, 2001: 6). Sedangkan para
pakar kriminologi yang lain berpendapat bahwa pengertian kejahatan dari sudut
pandang hukum atau perundang-undangan masih memiiki ruang yang terbatas,
seperti terabaikannya permasalahan tentang kejahatan kerah puti atau kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang terhormat (Sutherland, 1949a). Oleh karena itu,
dibutuhkan banyak cara dan pendekatan untuk memahami kejahatan.
1
Pada review ini, saya akan lebih fokus pada bagaimana usaha pendefinisian
kejahatan yang dilakukan oleh pakar melalui analisis dimensi-dimensinya dengan
pendekatan Piramida John Hagan dan Prisma Kejahatan.
1.2 Pendekatan Konsensus dan Konflik
Pendekatan ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mendefinisikan
kejahatan. Pendekatan consensus melihat bahwa masyarakat memiliki satu persepsi
atau asumsi yang sama dalam melihat kejahatan, sementara pendekatan konflik
melihat bahwa kejahatan merupaka satu istilah yang muncul akibat adanya
perbedaan-perbedaan gagasan di masyarakat yang pada dasarnya juga memiliki
tingkat dan kelompok kepentingan yang berbeda pula. Dalam pandangan konflik,
kejahatan merupakan satu definisi yang diberikan oleh kelompok kepentingan yang
lebih berkuasa atau dominan terhadap kelompok kepentingan yang minoritas dengan
menerapkan atau menjalankan satu sistem penghukuman dan opresi bagi yang
melanggar peraturan tersebut. Negara, merupakan salah satu contoh dari ilustrasi
bagaimana kelompok dominan memberikan definisi kejahatan bagi kelompok yang
ada di bawahnya atau yang berbeda dengan kepentingan negara tersebut.
1.3 Tujuan
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pekerjaan Sosial Koreksional
Mengenal permasalahan kejahatan yang ada dalam suatu masyarakat beserta reaksi
masyarakat terhadap masalah kejahatan itu sendiri. Memahami dan memaparkan hasil
analisis pemakalah sehubungan dengan tema makalah ini yakni Reaksi Masyarakat
Terhadap Kejahatan.
1.4 Alasan Pemilihan Masalah
Alasan pemakalah mengangkat tema mangenai Reaksi Masyarakat Terhadap
Kejahatan selain tuntutan tugas juga merupakan suatu tema yang menarik, mengapa
demikian? Karena dengan semakin maraknya tindakan kejahatan maka semakin
2
banyak reaksi dan aksi yang dilakukan oleh masyarakat dari sanalah sebagai bahan
pembelajaran kita dimana sebagai pekerja social sangat diperlukan, banyak contoh
kasus yang terjadi didalam masyarakat.
Missalkan maraknya pembunuhan sadis dengan mutilasi, dan yang paling
menarik adalah biasanya sering terlihat dalam kejahatan Asusila seperti pornografi
dan perkosaan. Realitas kriminalitas cenderung meningkat selama beberapa periode
ini terutama pada tahun lalu yakni 2008 dan ada berbagai reaksi terhadap hal itu
terutama kritik pedas yang di lontarkan kepada media dalam hal ini media massa
(mass media) mengenai masalah sajian tentang kekerasan, pembunuhan sadis dengan
mutilasi, tidak lupa juga dengan kejahatan Asusila.
Dalam hal ini berita terutama dari media massa (mass media) mempunyai
pengaruh tersendiri terhadap masyarakat umum, khususnya kepada anak-anak. dari
pemberitaan kasus-kasus tersebut melalui berbagai macam media itu akan ada efek
tersendiri Jika pada anak-anak efeknya bisa langsung, pada orang dewasa efeknya
tertunda. Tayangan kriminalitas yang umumnya sebagian televisi swasta
menayangkan vulgar memang berpotensi besar di imitasi oleh orang dewasa saat
diberada dalam kondisi yang sama.
Untuk menghindarkan dari suatu tindakan kejahatan dikembalikan lagi kepada
individu masing-masing karena individu atau seseorang itu merupakan bagian
anggota masyarakat sehingga terikat oleh suatu norma-norma social yang berlaku
dalam masyarakat tersebut sehingga perlunya ada rasa tanggung jawab terhadap apa
yang akan dan telah diperbuat sehingga tindakan yang dilakukan tidak bertentangan
dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Moral seseorang merupakan dasar pegangan orang unmtuk mengamalkan
kesadaran hukumnya, oleh karena itu seseorang itu harus memiliki rasa tanggung
jawab moral. Fungsi moral sendiri yang mengatur kelakuan manusia, oleh sebab itu
pembinaan mental anggota masyarakat khususnya sangatlah penting dan perlu
dipertimbangkan, hal ini sehubungan dalam memberikan pengertian dan pencerahan
menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kejahatan Dan Penjahat
Ada beberapa pengertian tentang kejahatan diantaranya adalah sebagai
berikut:
Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk,
sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti
mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara yuridis, Kejahatan
diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh undang-
undang. Disini diperlukan suatu kepastian hukum, karena dengan ini orang akan tahu
apa perbuatan jahat dan apa yang tidak jahat.
Menurut Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., Kejahatan adalah pelanggaran
dari norma-norma sebagai unsur pokok kesatu dari hukum pidana.
Menurut Richard Quinney, Definisi ttg tindak kejahatan (perilaku yg melanggar
hukum) adalah perilaku manusia yang diciptakan oleh para pelaku yang berwenang
dalam masyarakat yang terorganisasi secara politik, atau kualifikasi atas perilaku
yang melanggar hukum dirumuskan oleh warga-warga masyarakat yang mempunyai
kekuasaan.
Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan
kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik,
atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang
bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak yang membuat perumusan.
Dilihat dari segi sosiologis, kejahatan merupakan salah satu jenis gejala sosial, yang
berkenaan dengan individu atau masyarakat.
Dalam rumusan Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan
manusia, yang merupakan palanggaran norma, yang dirasakan merugikan,
menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.
4
2.2 Bentuk-Bentuk Gejala Kejahatan Yang Dilakukan Penjahat
Di dalam cabang Ilmu Sosiologi Hukum di kenal beberapa teori mengenai
bentuk gejala kejahatan di antaranya sebagai berikut:
a. Teori Labeling (Micholowsky)
Premis-premis teori Labeling sebagai berikut :
Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang.
Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Umumnya
tingkah laku seseorang yang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan
sebagai penjahat.Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi
dalam proses interaksi, di mana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal
balik antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok.
Terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap
sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
Teori Labeling Howard S. Becker menekankan dua aspek:
1. Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu sampai
diberi cap atau label sebagai penjahat; dan
2. Pengaruh daripada label itu sebagai konsekuensi penyimpangan tingkah laku,
perilaku seseorang bisa sungguh2 menjadi jahat jika orang itu di cap jahat.
Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu:
1. Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh
karena tekanan psikis dari dalam;
2. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan; dan
3. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalarn
sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.
5
Pada dasarnya teori labeling menggambarkan:
1. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal;
2. Predikat kejahatan dilakukan oleh kelompok yang dominan atau kelompok
penguasa;
3. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang
berkuasa;
4. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena
ditetapkan demikian oleh penguasa; dan
5. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut
jika dibuat kategori orang jahat dan orang tidak jahat. Premis tersebut
menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang bisa dikatakan
jahat apabila tidak terdapat aturan yang dibat oleh penguasa untuk
menyatakan bahwa sesuatu tindakan yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang diklasifikasikan sebagai kejahatan.
2.3 Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang
telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan
masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah
pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi
pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua
yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara
operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat
pelaksanaannya.
1. REAKSI REPRESIF
Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau
6
peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan
rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.
Contoh Kasus; Tema (Pembobolan )
2. REAKSI PREVENTIF
Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan
agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman
kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-
pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat
merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar
perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi
informal
1. Reaksi Formal
Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku
kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang
diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut. Sebagai
suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana,
dengan demikian adalah;
a. mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,
b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta
c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kejahatannya.
7
Contoh kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor)
Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi
masyarakat sipil salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk
mengenakan simbol-simbol berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi.
Hal ini semakin menarik ketika ICW secara khusus mengusulkan sejumlah rancangan
pakaian khusus bagi koruptor tersebut.
Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor"
masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu sendiri
dan sebagian berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa keinginan
untuk membuat malu dan jera lebih melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau
tidak melihat pada sejauh mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik.
Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar
hak-hak dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud
masih berstatus sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak
tersangka untuk diduga tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi
pemasyarakatan jelas tidak mendukung semangat memberikan reaksi formal yang
manusiawi dan melindungi HAM.
Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari
setiap reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku dan
membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus koruptor" dalam
hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini.
Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah
kepastian bahwa proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan
kepastian bahwa hakim akan memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa
keadilan masyarakat.
Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan
untuk tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan
teoritik tersebut disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu
namun ditujukan untuk membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang
8
telah dilakukan. Dalam konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis
kejahatan dapat dipulihkan dengan cara ini.
Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu
yang tidak ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku
kejahatan cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa
sakit" secara psikologis. Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan penolakan
masyarakat bagi pelaku kejahatan.
2. Reaksi Informal
Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh
warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya
kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat
sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.
Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai
tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari
kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk
membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi
operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat
2.4 Hubungan Kejahatan dan Masyarakat
Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita tentang
batasan dan kondisi kejahatan didalam masyarakat mempunyai sifat relative.
Relativisme kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni adanya
ketertinggalan hukum karena perubahan nilai sosial dan perkembangan perilaku
masyarakat, adanya perbedaan pendekatan tentang kejahatan --di mana di satu sisi
memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai pendekatan moral-- serta adanya
relativisme dilihat dari sisi kuantitas kejahatan.
9
Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala fear of
crime dari anggota masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai kondisi
ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial menjadi korban kejahatan atau
merasa dirinya rentan dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan. Jadi
sebenarnya fear of crime itu sangat perceptual (tergantung bagaimana individu yang
bersangkutan mengukur kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan).
Analisis risiko menjadi penting dalam memahami hubungan antara pelaku dan
korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan
hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya membawa pelaku
kejahatan kepada korban. Namun masalahnya adalah tidak semua pihak yang
terviktimisasi menyadari bahwa mereka sebenarnya merupakan korban dari suatu
kejahatan.
Untuk lebih terperinci dan jelas mengenai kejahatan kaitannya dengan
masyarakat kita dapat mengacu pada Teori Tempat Kejahatan dan Teori Aktivitas
Rutin, Hasil pengamatan Shaw, McKay dan Stark menunjukkan bahwa kejahatan
tidak akan muncul pada setiap masalah sosial yang ada namun kejahatan akan muncul
andai kata masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan yang mendorong aspek-aspek
kriminogen.
Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan tentang
mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan di
dalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama
memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan,
heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut,
saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti
keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan structural.
Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi
tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian
fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara.
Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme
10
di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat,
motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme
kontrol sosial.
Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait
dengan ekologi sosial. Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan
antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.
2.5 Penjelasan Teori Struktur Sosial Tentang Kejahatan
Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat
dikelompokkan ke dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor
struktur sosial dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain;
1. Teori Belajar Sosial
Teori Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya,
mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola
kejahatan. Kejahatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari
melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi
yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan,
motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran
argumentasi yang mendukung dilakukannya kejahatan.
2. Teori Kontrol Sosial
Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di
dalam masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum.
Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat positif,
yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini merupakan
mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat melakukan pelanggaran hukum.
11
3. Teori Label
Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk
mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran
kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap
kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal,
pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu
diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari
perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan. teori Anomie, teori Frustrasi
Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda dan penjelasan
tentang hubungan antara Kondisi Ekonomi dan Kejahatan.
4. Teori Anomie
Teori Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma dalam
masyarakat karena adanya jurang perbedaan yang lebar antara aspirasi dalam bidang
ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang
diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi
tersebut.
5. Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda.
Pada dasarnya menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat dalam
kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai dan
normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk (dominan) tersebut, dapat
menimbulkan suatu pola perilaku kriminal.
2.6 Perkara HAM
Perasaan keadilan masyarakat yang terungkap dalam acara penguburan
tersebut – yang nota bene: tidak hanya dihadiri oleh orang Papua asli – dapat menjadi
energi pencarian kebenaran bagi segala pihak yang ingin mengungkapkan kebenaran.
Perasaan keadilan masyarakat perlu disalurkan dalam kerangka hukum positif. Untuk
12
itu sejumlah fakta yang bisa menjadi indikasi awal untuk menunjukkan apakah kasus
tersebut merupakan pidana biasa atau pelanggaran HAM:
Reaksi masyarakat internasional yang menyatakan keprihatinannya dan
mendesak pemerintah untuk melakukan pengungkapan fakta secara jujur dan adil
seperti dinyatakan oleh Forum Pasifik Selatan (13 November), Uni Eropa (17
November), Anggota-anggota Kongres Amerika Serikat (21 November), Duta Besar
Selandia Baru (11 Desember).
Tuntutan yang berkembang di tengah masyarakat Papua bahwa kasus tersebut
harus diselidiki oleh Tim Penyelidik Independen yang memiliki kekuatan hukum dan
kewibawaan yang amat tinggi seperti a.l. diungkapkan dalam demo di kantor
Gubernur Papua (11-12 Desember).
Pengiriman Tim Pencari Fakta Komnas HAM untuk melakukan pemantauan
(3-5 Desember) meski ditolak oleh Para Pemimpin Agama di Papua karena tidak
sesuai tuntutan berbagai komponen masyarakat (4 Desember)
Tanggapan Komisi II DPR-RI yang mengadakan dengar pendapat dengan
Kapolri dan Kapolda Irja mengenai kasus tersebut (4 Desember) dan meminta
penjelasan lanjutan (11 Desember)
Fakta-fakta di atas –yang masih akan terus bertambah— menunjukkan bahwa
kasus Theys sulit ditampung dalam kerangka hukum pidana biasa. Dengan
pengiriman tim penyidik Mabes Polri dan Rakor Polkam, penyelenggara negara
mengakui (secara de facto) dalam tindakan aparatnya (mabes Polri dan rakor polkam)
bahwa kasus Theys merupakan kasus politis yang memiliki implikasi luas di tingkat
negara karena menyangkut kekuasaan penyelenggara negara. Hal ini diperkuat
dengan tanggapan masyarakat Internasional mengenai penculikan dan pembunuhan
Theys.
Dengan mengakui dalam tindakan, penyelenggara negara menyatakan
pertanggungjawabannya dalam kasus Theys sehingga kasus Theys tidak dapat
dimasukkan dalam ordinary crimes yang menjadi bidang pidana biasa/ kriminal
murni melainkan extra-ordinary crimes yang menjadi bidang dari pengadilan HAM.
13
Di bidang pengadilan HAM, perkara yang diadili bukan sengketa antara orang
dengan orang lain melainkan antara penyelenggara negara dengan warganegara.
Kasus Theys hanya bisa ditempatkan dalam kerangka kebijakan pemerintah Indonesia
dalam menangani konflik vertikal yang terjadi di Papua. Karena itu alat untuk
memeriksa perkara tersebut adalah perangkat hukum Hak asasi manusia yang di
Indonesia dirumuskan dalam UU No. 26/ 2000 tentang Pengadilan HAM yang
banyak mengambil alih ketentuan-ketentuan dari Statuta Roma 1998 tentang
Mahkamah Pidana Internasional.
2.7 Dalam Kerangka Pengadilan HAM
Dalam wacana pengadilan HAM biasa dipakai tiga acuan penting: (1)
Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia 1993 (International Tribunals for the
Former Yugoslavia/ ICTY) (2) pengadilan internasional untuk Rwanda 1994
(International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR), dan (3) Statuta Roma 1998
tentang Mahkamah Pidana Internasional. Ketiganya menjadi rujukan bagi UU No. 26/
2000 tentang pengadilan HAM terutama yang ketiga.
Pengadilan HAM menangani empat pelanggaran berat HAM : genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi, dan kejahatan perang. Dari empat
kategori tersebut, kasus Theys coba dianalisis dengan kategori kedua: kejahatan
terhadap kemanusiaan. Menurut UU No. 26/2000 pasal 9 Kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…”
Unsur-unsur yang paling penting : serangan yang ditujukan secara langsung
pada penduduk sipil dan bagian dari kebijakan negara. Jenis tindakannya berupa
pembunuhan.
Dalam penjelasan UU No. 26/2000, definisi pembunuhan mengambil definisi
yang dirumuskan dalam pasal 340 KUHP. ICTR merumuskan tindak pidana
pembunuhan secara lebih tegas (Simon Chesterman, “An altogether different order:
14
defining the elements of crimes against humanity”, dalam: Duke Journals of
Comparative and International Law, No. 10, th. 2000, hlm. 307-327.):
Pembunuhan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang ditujukan kepada penduduk sipil. Korban haruslah anggota penduduk sipil
tersebut. Korban dibunuh karena dia mengalami diskriminasi atas dasar kebangsaan,
suku, ras, keyakinan politis atau agama.
Berdasarkan kerangka hukum Pengadilan HAM di atas, dalam kasus Theys dapat
ditemukan unsur-unsur berikut:
Kebijakan penanganan masalah Papua oleh pemerintah Indonesia yang terus
menerus mengedepankan pendekatan militeristik yang terbukti dalam dokumen-
dokumen tertulis maupun deretan perkara pelanggaran HAM yang tidak pernah
diajukan ke muka pengadilan. Kebijakan baik tertulis maupun tidak tertulis inilah
yang menjadi kerangka utama untuk menempatkan kasus penculikan dan
pembunuhan Theys dalam kacamata kejahatan terhadap kemanusiaan. serangan
(penculikan dan pembunuhan) tersebut patut diduga menggunakan fasilitas negara
atau sekurang-kurangnya dibiarkan menggunakan fasilitas negara mengingat terdapat
pos-pos militer yang berada di jalur yang dilalui mobil Theys atau korban lain dari
serangan tersebut, yakni sopir Theys yang menurut para saksi kembali ke markas TNI
Kopassus (aparat negara) dan sesudahnya tidak diketahui kabarnya, tidak
mendapatkan perlindungan sepatutnya dari aparat negara. nyata-nyata menjadi
perhatian penyelenggara negara di tingkat tertinggi (rakor polkam dan mabes Polri).
Theys dibunuh bukan karena sengketa pribadi melainkan karena keyakinan
politiknya yang berbeda dan dianggap makar oleh pemerintah Indonesia terbukti dari
proses persidangan yang sedang berlangsung.
Theys bukan anggota kepolisian atau militer melainkan penduduk sipil yang mati
sebagai korban dari serangan yang secara langsung terarah kepadanya karena
didiskriminaskan atas dasar keyakinan politis.
Berdasarkan analisis ringkas di atas, kasus Theys merupakan pelanggaran
berat HAM yang digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan
15
(crimes against humanity) sehingga harus ditangani dengan UU No. 26/ 2000 tentang
Pengadilan HAM. Karena itu pilihan jalur hukumnya adalah Komisi Penyelidik
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) yang dibentuk oleh Komnas HAM
bukan DPR-RI atau pemerintah mengingat yurisdiksi UU No. 26/ 2000 yang
mengaturnya.
16
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan
kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik,
atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang
bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak yang membuat perumusan.
Penjahat adalah orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum atau yang
dilarang oleh undang-undang.
17
DAFTAR PUSTAKA
Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984.
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
W.A.Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.
W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, Rafika Aditama, Bandung, 2004.
Widiyanti Ninik dan Waskita Ylius, Kejahatan Dalam Masyarakat dan
Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
W.M.E. Noach, Kriminologi Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
18