28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejahatan, sebagaimana penyimpangan, merupakan sebuah konsep dengan makna yang beragam, tersebar dan sukar dirumuskan. Seperti yang dikutip oleh penulis What is Crime? Defining and Measuring the Crime Problem dari Henry dan Lanier (2001), definisi kejahatan yang begitu spesifik akan berakibat pada pengabaian tindakan atau perilaku lainnya yang merugikan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, SARA, dan bahkan kejahatan kerah putih. Namun, jika didefinisikan terlalu luas, semuah tindakan menyimpang dari norma umum akan dianggap sebagai kejahatan. Pada kenyataannya, telah terjadi perubahan yang signifikan pada cara bagaimana para kriminolog dan ‘hukum’ dalam melihat sesuatu hal yang diperhitungkan sebagai ‘kejahatan’. Kejahatan bersifat kontekstual; bergantung pada sejarah, agenda sosial, atau situasi dan kondisi dari tempat dan waktu terjadinya. Pengertian yang dipaparkan hukum tentang kejahatan mungkin dapat dilihat sebagai jawaban, tetapi dia terbuka untuk beragam interpretasi. Sebagaimana oleh hukum, definisi oleh 1

ATRO

Embed Size (px)

DESCRIPTION

oke banget

Citation preview

Page 1: ATRO

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejahatan, sebagaimana penyimpangan, merupakan sebuah konsep dengan

makna yang beragam, tersebar dan sukar dirumuskan. Seperti yang dikutip oleh

penulis What is Crime? Defining and Measuring the Crime Problem dari Henry dan

Lanier (2001), definisi kejahatan yang begitu spesifik akan berakibat pada pengabaian

tindakan atau perilaku lainnya yang merugikan, seperti kekerasan dalam rumah

tangga, SARA, dan bahkan kejahatan kerah putih. Namun, jika didefinisikan terlalu

luas, semuah tindakan menyimpang dari norma umum akan dianggap sebagai

kejahatan.

Pada kenyataannya, telah terjadi perubahan yang signifikan pada cara

bagaimana para kriminolog dan ‘hukum’ dalam melihat sesuatu hal yang

diperhitungkan sebagai ‘kejahatan’. Kejahatan bersifat kontekstual; bergantung pada

sejarah, agenda sosial, atau situasi dan kondisi dari tempat dan waktu terjadinya.

Pengertian yang dipaparkan hukum tentang kejahatan mungkin dapat dilihat sebagai

jawaban, tetapi dia terbuka untuk beragam interpretasi. Sebagaimana oleh hukum,

definisi oleh aparat pemerintah (penguasa) dan pakar kriminologi digunakan oleh

masyarakat untuk menakar batas atau tingkat dari kejahatan itu sendiri.

Definisi kejahatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, sejak Abad

keenambelas, merujuk pada tindakan atau perilaku yang dilarang, digugat dan

dihukum oleh hukum tentang kejahatan (Henry dan Lanier, 2001: 6). Sedangkan para

pakar kriminologi yang lain berpendapat bahwa pengertian kejahatan dari sudut

pandang hukum atau perundang-undangan masih memiiki ruang yang terbatas,

seperti terabaikannya permasalahan tentang kejahatan kerah puti atau kejahatan yang

dilakukan oleh orang-orang terhormat (Sutherland, 1949a). Oleh karena itu,

dibutuhkan banyak cara dan pendekatan untuk memahami kejahatan.

1

Page 2: ATRO

Pada review ini, saya akan lebih fokus pada bagaimana usaha pendefinisian

kejahatan yang dilakukan oleh pakar melalui analisis dimensi-dimensinya dengan

pendekatan Piramida John Hagan dan Prisma Kejahatan.

1.2 Pendekatan Konsensus dan Konflik

Pendekatan ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mendefinisikan

kejahatan. Pendekatan consensus melihat bahwa masyarakat memiliki satu persepsi

atau asumsi yang sama dalam melihat kejahatan, sementara pendekatan konflik

melihat bahwa kejahatan merupaka satu istilah yang muncul akibat adanya

perbedaan-perbedaan gagasan di masyarakat yang pada dasarnya juga memiliki

tingkat dan kelompok kepentingan yang berbeda pula. Dalam pandangan konflik,

kejahatan merupakan satu definisi yang diberikan oleh kelompok kepentingan yang

lebih berkuasa atau dominan terhadap kelompok kepentingan yang minoritas dengan

menerapkan atau menjalankan satu sistem penghukuman dan opresi bagi yang

melanggar peraturan tersebut. Negara, merupakan salah satu contoh dari ilustrasi

bagaimana kelompok dominan memberikan definisi kejahatan bagi kelompok yang

ada di bawahnya atau yang berbeda dengan kepentingan negara tersebut.

1.3 Tujuan

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pekerjaan Sosial Koreksional

Mengenal permasalahan kejahatan yang ada dalam suatu masyarakat beserta reaksi

masyarakat terhadap masalah kejahatan itu sendiri. Memahami dan memaparkan hasil

analisis pemakalah sehubungan dengan tema makalah ini yakni Reaksi Masyarakat

Terhadap Kejahatan.

1.4 Alasan Pemilihan Masalah

Alasan pemakalah mengangkat tema mangenai Reaksi Masyarakat Terhadap

Kejahatan selain tuntutan tugas juga merupakan suatu tema yang menarik, mengapa

demikian? Karena dengan semakin maraknya tindakan kejahatan maka semakin

2

Page 3: ATRO

banyak reaksi dan aksi yang dilakukan oleh masyarakat dari sanalah sebagai bahan

pembelajaran kita dimana sebagai pekerja social sangat diperlukan, banyak contoh

kasus yang terjadi didalam masyarakat.

Missalkan maraknya pembunuhan sadis dengan mutilasi, dan yang paling

menarik adalah biasanya sering terlihat dalam kejahatan Asusila seperti pornografi

dan perkosaan. Realitas kriminalitas cenderung meningkat selama beberapa periode

ini terutama pada tahun lalu yakni 2008 dan ada berbagai reaksi terhadap hal itu

terutama kritik pedas yang di lontarkan kepada media dalam hal ini media massa

(mass media) mengenai masalah sajian tentang kekerasan, pembunuhan sadis dengan

mutilasi, tidak lupa juga dengan kejahatan Asusila.

Dalam hal ini berita terutama dari media massa (mass media) mempunyai

pengaruh tersendiri terhadap masyarakat umum, khususnya kepada anak-anak. dari

pemberitaan kasus-kasus tersebut melalui berbagai macam media itu akan ada efek

tersendiri Jika pada anak-anak efeknya bisa langsung, pada orang dewasa efeknya

tertunda. Tayangan kriminalitas yang umumnya sebagian televisi swasta

menayangkan vulgar memang berpotensi besar di imitasi oleh orang dewasa saat

diberada dalam kondisi yang sama.

Untuk menghindarkan dari suatu tindakan kejahatan dikembalikan lagi kepada

individu masing-masing karena individu atau seseorang itu merupakan bagian

anggota masyarakat sehingga terikat oleh suatu norma-norma social yang berlaku

dalam masyarakat tersebut sehingga perlunya ada rasa tanggung jawab terhadap apa

yang akan dan telah diperbuat sehingga tindakan yang dilakukan tidak bertentangan

dengan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

Moral seseorang merupakan dasar pegangan orang unmtuk mengamalkan

kesadaran hukumnya, oleh karena itu seseorang itu harus memiliki rasa tanggung

jawab moral. Fungsi moral sendiri yang mengatur kelakuan manusia, oleh sebab itu

pembinaan mental anggota masyarakat khususnya sangatlah penting dan perlu

dipertimbangkan, hal ini sehubungan dalam memberikan pengertian dan pencerahan

menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional.

3

Page 4: ATRO

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kejahatan Dan Penjahat

Ada beberapa pengertian tentang kejahatan diantaranya adalah sebagai

berikut:

Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk,

sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti

mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara yuridis, Kejahatan

diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh undang-

undang. Disini diperlukan suatu kepastian hukum, karena dengan ini orang akan tahu

apa perbuatan jahat dan apa yang tidak jahat.

Menurut Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, S.H., Kejahatan adalah pelanggaran

dari norma-norma sebagai unsur pokok kesatu dari hukum pidana.

Menurut Richard Quinney, Definisi ttg tindak kejahatan (perilaku yg melanggar

hukum) adalah perilaku manusia yang diciptakan oleh para pelaku yang berwenang

dalam masyarakat yang terorganisasi secara politik, atau kualifikasi atas perilaku

yang melanggar hukum dirumuskan oleh warga-warga masyarakat yang mempunyai

kekuasaan.

Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan

kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik,

atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang

bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak yang membuat perumusan.

Dilihat dari segi sosiologis, kejahatan merupakan salah satu jenis gejala sosial, yang

berkenaan dengan individu atau masyarakat.

Dalam rumusan Paul Mudigdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan

manusia, yang merupakan palanggaran norma, yang dirasakan merugikan,

menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.

4

Page 5: ATRO

2.2 Bentuk-Bentuk Gejala Kejahatan Yang Dilakukan Penjahat

Di dalam cabang Ilmu Sosiologi Hukum di kenal beberapa teori mengenai

bentuk gejala kejahatan di antaranya sebagai berikut:

a. Teori Labeling (Micholowsky)

Premis-premis teori Labeling sebagai berikut :

Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang.

Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Umumnya

tingkah laku seseorang yang dicap jahat menyebabkan orangnya juga diperlakukan

sebagai penjahat.Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi

dalam proses interaksi, di mana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal

balik antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok.

Terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap

sebagai penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.

Teori Labeling Howard S. Becker menekankan dua aspek:

1. Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu sampai

diberi cap atau label sebagai penjahat; dan

2. Pengaruh daripada label itu sebagai konsekuensi penyimpangan tingkah laku,

perilaku seseorang bisa sungguh2 menjadi jahat jika orang itu di cap jahat.

Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu:

1. Individual deviation, di mana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh

karena tekanan psikis dari dalam;

2. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan; dan

3. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalarn

sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.

5

Page 6: ATRO

Pada dasarnya teori labeling menggambarkan:

1. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal;

2. Predikat kejahatan dilakukan oleh kelompok yang dominan atau kelompok

penguasa;

3. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang

berkuasa;

4. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena

ditetapkan demikian oleh penguasa; dan

5. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut

jika dibuat kategori orang jahat dan orang tidak jahat. Premis tersebut

menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang bisa dikatakan

jahat apabila tidak terdapat aturan yang dibat oleh penguasa untuk

menyatakan bahwa sesuatu tindakan yang dilakukan seseorang atau

sekelompok orang diklasifikasikan sebagai kejahatan.

2.3 Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan

Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang

telah Kita pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan

masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah

pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi

pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian tujuannya dapat dibagi menjadi dua

yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena berbeda tujuannya maka secara

operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode pelaksanaan dan sifat

pelaksanaannya.

1. REAKSI REPRESIF

Secara singkat pengertian reaksi atau tindak represif adalah tindakan yang

dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau

6

Page 7: ATRO

peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan

rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.

Contoh Kasus; Tema (Pembobolan )

2. REAKSI PREVENTIF

Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan

agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman

kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-

pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat

merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar

perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.

Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi

informal

1. Reaksi Formal

Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku

kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang

diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut. Sebagai

suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana,

dengan demikian adalah;

a. mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,

b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta

c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi kejahatannya.

7

Page 8: ATRO

Contoh kasus; tema (efek jera shaming/malu untuk para koruptor)

Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi

masyarakat sipil salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk

mengenakan simbol-simbol berupa pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi.

Hal ini semakin menarik ketika ICW secara khusus mengusulkan sejumlah rancangan

pakaian khusus bagi koruptor tersebut.

Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor"

masuk dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu sendiri

dan sebagian berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa keinginan

untuk membuat malu dan jera lebih melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau

tidak melihat pada sejauh mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik.

Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar

hak-hak dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud

masih berstatus sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak

tersangka untuk diduga tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi

pemasyarakatan jelas tidak mendukung semangat memberikan reaksi formal yang

manusiawi dan melindungi HAM.

Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari

setiap reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku dan

membuatnya diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus koruptor" dalam

hal ini masih terlalu jauh dari bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini.

Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah

kepastian bahwa proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan

kepastian bahwa hakim akan memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa

keadilan masyarakat.

Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan

untuk tujuan mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan

teoritik tersebut disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu

namun ditujukan untuk membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang

8

Page 9: ATRO

telah dilakukan. Dalam konteks tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis

kejahatan dapat dipulihkan dengan cara ini.

Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu

yang tidak ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku

kejahatan cukup hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa

sakit" secara psikologis. Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan penolakan

masyarakat bagi pelaku kejahatan.

2. Reaksi Informal

Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh

warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya

kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat

sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada.

Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai

tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari

kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk

membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi

operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat

2.4 Hubungan Kejahatan dan Masyarakat

Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita tentang

batasan dan kondisi kejahatan didalam masyarakat mempunyai sifat relative.

Relativisme kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni adanya

ketertinggalan hukum karena perubahan nilai sosial dan perkembangan perilaku

masyarakat, adanya perbedaan pendekatan tentang kejahatan --di mana di satu sisi

memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai pendekatan moral-- serta adanya

relativisme dilihat dari sisi kuantitas kejahatan.

9

Page 10: ATRO

Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala fear of

crime dari anggota masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai kondisi

ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial menjadi korban kejahatan atau

merasa dirinya rentan dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan. Jadi

sebenarnya fear of crime itu sangat perceptual (tergantung bagaimana individu yang

bersangkutan mengukur kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan).

Analisis risiko menjadi penting dalam memahami hubungan antara pelaku dan

korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan

hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya membawa pelaku

kejahatan kepada korban. Namun masalahnya adalah tidak semua pihak yang

terviktimisasi menyadari bahwa mereka sebenarnya merupakan korban dari suatu

kejahatan.

Untuk lebih terperinci dan jelas mengenai kejahatan kaitannya dengan

masyarakat kita dapat mengacu pada Teori Tempat Kejahatan dan Teori Aktivitas

Rutin, Hasil pengamatan Shaw, McKay dan Stark menunjukkan bahwa kejahatan

tidak akan muncul pada setiap masalah sosial yang ada namun kejahatan akan muncul

andai kata masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan yang mendorong aspek-aspek

kriminogen.

Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan tentang

mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan di

dalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama

memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan,

heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut,

saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti

keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan structural.

Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi

tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian

fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara.

Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme

10

Page 11: ATRO

di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat,

motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme

kontrol sosial.

Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait

dengan ekologi sosial. Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan

antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.

2.5 Penjelasan Teori Struktur Sosial Tentang Kejahatan

Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat

dikelompokkan ke dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor

struktur sosial dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain;

1. Teori Belajar Sosial

Teori Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya,

mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola

kejahatan. Kejahatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari

melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi

yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan,

motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran

argumentasi yang mendukung dilakukannya kejahatan.

2. Teori Kontrol Sosial

Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di

dalam masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum.

Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat positif,

yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini merupakan

mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat melakukan pelanggaran hukum.

11

Page 12: ATRO

3. Teori Label

Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk

mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran

kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap

kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal,

pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu

diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari

perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan. teori Anomie, teori Frustrasi

Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda dan penjelasan

tentang hubungan antara Kondisi Ekonomi dan Kejahatan.

4. Teori Anomie

Teori Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma dalam

masyarakat karena adanya jurang perbedaan yang lebar antara aspirasi dalam bidang

ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang

diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi

tersebut.

5. Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda.

Pada dasarnya menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat dalam

kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai dan

normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk (dominan) tersebut, dapat

menimbulkan suatu pola perilaku kriminal.

2.6 Perkara HAM

Perasaan keadilan masyarakat yang terungkap dalam acara penguburan

tersebut – yang nota bene: tidak hanya dihadiri oleh orang Papua asli – dapat menjadi

energi pencarian kebenaran bagi segala pihak yang ingin mengungkapkan kebenaran.

Perasaan keadilan masyarakat perlu disalurkan dalam kerangka hukum positif. Untuk

12

Page 13: ATRO

itu sejumlah fakta yang bisa menjadi indikasi awal untuk menunjukkan apakah kasus

tersebut merupakan pidana biasa atau pelanggaran HAM:

Reaksi masyarakat internasional yang menyatakan keprihatinannya dan

mendesak pemerintah untuk melakukan pengungkapan fakta secara jujur dan adil

seperti dinyatakan oleh Forum Pasifik Selatan (13 November), Uni Eropa (17

November), Anggota-anggota Kongres Amerika Serikat (21 November), Duta Besar

Selandia Baru (11 Desember).

Tuntutan yang berkembang di tengah masyarakat Papua bahwa kasus tersebut

harus diselidiki oleh Tim Penyelidik Independen yang memiliki kekuatan hukum dan

kewibawaan yang amat tinggi seperti a.l. diungkapkan dalam demo di kantor

Gubernur Papua (11-12 Desember).

Pengiriman Tim Pencari Fakta Komnas HAM untuk melakukan pemantauan

(3-5 Desember) meski ditolak oleh Para Pemimpin Agama di Papua karena tidak

sesuai tuntutan berbagai komponen masyarakat (4 Desember)

Tanggapan Komisi II DPR-RI yang mengadakan dengar pendapat dengan

Kapolri dan Kapolda Irja mengenai kasus tersebut (4 Desember) dan meminta

penjelasan lanjutan (11 Desember)

Fakta-fakta di atas –yang masih akan terus bertambah— menunjukkan bahwa

kasus Theys sulit ditampung dalam kerangka hukum pidana biasa. Dengan

pengiriman tim penyidik Mabes Polri dan Rakor Polkam, penyelenggara negara

mengakui (secara de facto) dalam tindakan aparatnya (mabes Polri dan rakor polkam)

bahwa kasus Theys merupakan kasus politis yang memiliki implikasi luas di tingkat

negara karena menyangkut kekuasaan penyelenggara negara. Hal ini diperkuat

dengan tanggapan masyarakat Internasional mengenai penculikan dan pembunuhan

Theys.

Dengan mengakui dalam tindakan, penyelenggara negara menyatakan

pertanggungjawabannya dalam kasus Theys sehingga kasus Theys tidak dapat

dimasukkan dalam ordinary crimes yang menjadi bidang pidana biasa/ kriminal

murni melainkan extra-ordinary crimes yang menjadi bidang dari pengadilan HAM.

13

Page 14: ATRO

Di bidang pengadilan HAM, perkara yang diadili bukan sengketa antara orang

dengan orang lain melainkan antara penyelenggara negara dengan warganegara.

Kasus Theys hanya bisa ditempatkan dalam kerangka kebijakan pemerintah Indonesia

dalam menangani konflik vertikal yang terjadi di Papua. Karena itu alat untuk

memeriksa perkara tersebut adalah perangkat hukum Hak asasi manusia yang di

Indonesia dirumuskan dalam UU No. 26/ 2000 tentang Pengadilan HAM yang

banyak mengambil alih ketentuan-ketentuan dari Statuta Roma 1998 tentang

Mahkamah Pidana Internasional.

2.7 Dalam Kerangka Pengadilan HAM

Dalam wacana pengadilan HAM biasa dipakai tiga acuan penting: (1)

Pengadilan Internasional untuk Yugoslavia 1993 (International Tribunals for the

Former Yugoslavia/ ICTY) (2) pengadilan internasional untuk Rwanda 1994

(International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR), dan (3) Statuta Roma 1998

tentang Mahkamah Pidana Internasional. Ketiganya menjadi rujukan bagi UU No. 26/

2000 tentang pengadilan HAM terutama yang ketiga.

Pengadilan HAM menangani empat pelanggaran berat HAM : genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan agresi, dan kejahatan perang. Dari empat

kategori tersebut, kasus Theys coba dianalisis dengan kategori kedua: kejahatan

terhadap kemanusiaan. Menurut UU No. 26/2000 pasal 9 Kejahatan terhadap

kemanusiaan adalah “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari

serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut

ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…”

Unsur-unsur yang paling penting : serangan yang ditujukan secara langsung

pada penduduk sipil dan bagian dari kebijakan negara. Jenis tindakannya berupa

pembunuhan.

Dalam penjelasan UU No. 26/2000, definisi pembunuhan mengambil definisi

yang dirumuskan dalam pasal 340 KUHP. ICTR merumuskan tindak pidana

pembunuhan secara lebih tegas (Simon Chesterman, “An altogether different order:

14

Page 15: ATRO

defining the elements of crimes against humanity”, dalam: Duke Journals of

Comparative and International Law, No. 10, th. 2000, hlm. 307-327.):

Pembunuhan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik

yang ditujukan kepada penduduk sipil. Korban haruslah anggota penduduk sipil

tersebut. Korban dibunuh karena dia mengalami diskriminasi atas dasar kebangsaan,

suku, ras, keyakinan politis atau agama.

Berdasarkan kerangka hukum Pengadilan HAM di atas, dalam kasus Theys dapat

ditemukan unsur-unsur berikut:

Kebijakan penanganan masalah Papua oleh pemerintah Indonesia yang terus

menerus mengedepankan pendekatan militeristik yang terbukti dalam dokumen-

dokumen tertulis maupun deretan perkara pelanggaran HAM yang tidak pernah

diajukan ke muka pengadilan. Kebijakan baik tertulis maupun tidak tertulis inilah

yang menjadi kerangka utama untuk menempatkan kasus penculikan dan

pembunuhan Theys dalam kacamata kejahatan terhadap kemanusiaan. serangan

(penculikan dan pembunuhan) tersebut patut diduga menggunakan fasilitas negara

atau sekurang-kurangnya dibiarkan menggunakan fasilitas negara mengingat terdapat

pos-pos militer yang berada di jalur yang dilalui mobil Theys atau korban lain dari

serangan tersebut, yakni sopir Theys yang menurut para saksi kembali ke markas TNI

Kopassus (aparat negara) dan sesudahnya tidak diketahui kabarnya, tidak

mendapatkan perlindungan sepatutnya dari aparat negara. nyata-nyata menjadi

perhatian penyelenggara negara di tingkat tertinggi (rakor polkam dan mabes Polri).

Theys dibunuh bukan karena sengketa pribadi melainkan karena keyakinan

politiknya yang berbeda dan dianggap makar oleh pemerintah Indonesia terbukti dari

proses persidangan yang sedang berlangsung.

Theys bukan anggota kepolisian atau militer melainkan penduduk sipil yang mati

sebagai korban dari serangan yang secara langsung terarah kepadanya karena

didiskriminaskan atas dasar keyakinan politis.

Berdasarkan analisis ringkas di atas, kasus Theys merupakan pelanggaran

berat HAM yang digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan

15

Page 16: ATRO

(crimes against humanity) sehingga harus ditangani dengan UU No. 26/ 2000 tentang

Pengadilan HAM. Karena itu pilihan jalur hukumnya adalah Komisi Penyelidik

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) yang dibentuk oleh Komnas HAM

bukan DPR-RI atau pemerintah mengingat yurisdiksi UU No. 26/ 2000 yang

mengaturnya.

16

Page 17: ATRO

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan

kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik,

atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang

bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak yang membuat perumusan.

Penjahat adalah orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum atau yang

dilarang oleh undang-undang.

17

Page 18: ATRO

DAFTAR PUSTAKA

Noach, Simanjuntak.B., dan Pasaribu I.L, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984.

Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

W.A.Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, Rafika Aditama, Bandung, 2004.

Widiyanti Ninik dan Waskita Ylius, Kejahatan Dalam Masyarakat dan

Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

W.M.E. Noach, Kriminologi Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

18