8
Asthma Nokturnal Eksaserbasi dari asthma nokturnal dapat menggambarkan perubahan yang berhubungan saat tidur terhadap tonus airway, variasi irama sirkadian terhadap konsentrasi katekolamin, reflek gastroesophageal yang terkait dengan posisi tidur terlentang, ataupun menumpuknya sekret pada saluran nafas akibat depresi reflek batuk meningkatkan insidensi kematian akibat asthma di malam hari ataupun menjelang pagi hari. Asthma yang diinduksi oleh aspirin Aspirin dan kebanyakan antiinflamasi non steroid memicu bronkhospasme akut pada 8%-20% penderita asthma dewasa. Pada penderita yang sensitif terhadap aspirin, 15 menit sampai 4 jam setelah mengkonsumsi 10 mg aspirin ternyata dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, kongesti nasal, injeksi konjungtiva, dan rhinorea. Polip nasal sering ditemukan pada asthma yang sensitif terhadap aspirin, namun polip nasal juga dapat ditemukan pada asthma yang tidak sensitif terhadap aspirin. Diperkirakan aspirin dapat mencetuskan bronkhokonstriksi melalui blokade cyclooxygenase yang memediasi konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin, yang mana asam arakhidonat akan berformasi menjadi leukotrien bronkhokonstriktor. Insidensi yang tinggi pada sensitivitas cross terhadap NSAID lainnya menunjukkan mekanisme yang melibatkan inhibisi cyclooxygenase. Asthma Okupasional Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia, mengenai 5% hingga 10% populasi dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan 15% dari kasus baru yang didiagnosa sebagai asthma adalah karena paparan okupasional. Karena penatalaksanaan dari asthma okupasional adalah dengan mencegah paparan okupasi pada penderita, maka secara tidak langsung berimplikasi dengan perekonomian penderita. Diperkirakan terdapat 250 jenis agen penyebab asthma okupasional, dimana isocynate bertanggung jawab terhadap 10% kasus. Agen penyebab dapat berupa agen yang tergantung IgE (dimana periode

Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia

Asthma Nokturnal

Eksaserbasi dari asthma nokturnal dapat menggambarkan perubahan yang berhubungan saat tidur terhadap tonus airway, variasi irama sirkadian terhadap konsentrasi katekolamin, reflek gastroesophageal yang terkait dengan posisi tidur terlentang, ataupun menumpuknya sekret pada saluran nafas akibat depresi reflek batuk meningkatkan insidensi kematian akibat asthma di malam hari ataupun menjelang pagi hari.

Asthma yang diinduksi oleh aspirin

Aspirin dan kebanyakan antiinflamasi non steroid memicu bronkhospasme akut pada 8%-20% penderita asthma dewasa. Pada penderita yang sensitif terhadap aspirin, 15 menit sampai 4 jam setelah mengkonsumsi 10 mg aspirin ternyata dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, kongesti nasal, injeksi konjungtiva, dan rhinorea. Polip nasal sering ditemukan pada asthma yang sensitif terhadap aspirin, namun polip nasal juga dapat ditemukan pada asthma yang tidak sensitif terhadap aspirin.

Diperkirakan aspirin dapat mencetuskan bronkhokonstriksi melalui blokade cyclooxygenase yang memediasi konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin, yang mana asam arakhidonat akan berformasi menjadi leukotrien bronkhokonstriktor. Insidensi yang tinggi pada sensitivitas cross terhadap NSAID lainnya menunjukkan mekanisme yang melibatkan inhibisi cyclooxygenase.

Asthma Okupasional

Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia, mengenai 5% hingga 10% populasi dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan 15% dari kasus baru yang didiagnosa sebagai asthma adalah karena paparan okupasional. Karena penatalaksanaan dari asthma okupasional adalah dengan mencegah paparan okupasi pada penderita, maka secara tidak langsung berimplikasi dengan perekonomian penderita. Diperkirakan terdapat 250 jenis agen penyebab asthma okupasional, dimana isocynate bertanggung jawab terhadap 10% kasus. Agen penyebab dapat berupa agen yang tergantung IgE (dimana periode laten lebih panjang antara paparan dengan timbulnya gejala) dan agen yang tidak tergantung IgE (dimana interval waktu antara paparan dan timbulnya gejala singkat). Sensitifitas terhadap lateks pada pekerja kesehatan dapat bermanifestasi menyebabkan obstruksi saluran nafas selama bekerja di ruang operasi.

Asthma Infeksius

Asthma infeksius adalah meningkatnya resistensi saluran nafas yang disebabkan oleh penyakit inflamasi akut pada bronkhus. Agen penyebab dapat berupa virus, bakteri, atau organisme mycoplasma. Eradikasi dari agen penyebab dapat memperbaiki bronkhokonstriksi dengan cepat.

Page 2: Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia

Terapi Parmakologi

Di masa lalu pengobatan asthma ditujukan pada pencegahan dan mengontrol bronkhospasm dengan obat-obatan bronkhodilator. Disadari bahwa pada pasien asthma terjadi inflamasi saluran nafas yang konsisten, maka pengobatan mengarah pada penggunaan kontikosteroid untuk mencegah dan mengontrol inflamasi bronkhial. Pada kenyataanya, terapi dengan bronkhodilator dapat menyamarkan inflamasi yang mendasari asthma dan secara tidak langsung terus menerus membiarkan paparan alergen terjadi.

Pemberian antiinflamasi reguler, terutama dalam bentuk inhalasi, direkomendasikan sebagai pengobatan asthma lini utama. Terapi dengan bronkhodilator B2-agonist direkomendasikan hanya pada pengobatan awal asthma yang diinduksi oleh aktivitas dan untuk pereda gejala asthma eksaserbasi akut dimana terapi antiinflamasi tidak dekuat.

Secara umum, pengobatan asthma dengan menggunakan obat antiinflamasi (korikosteroid, cromolyn), dan bronkhodilator (B-adrenergik, antikolinergik). Pemantauan fungsi paru secara serial sangat berguna untuk memonitor respon terhadap pengobatan. Ketika FEV1 kembali 50% nilai normal biasanya pasien hanya mengeluh gejala minimal bahkan tidak bergejala sama sekali.

Obat Antiinflamasi

Karena inflamasi kronis merupakan patogenesis utama dari asthma, maka sangat logis penggunaan obat seperti kortikosteroid maupun cromolyn untuk menekan inflamasi. Obat ini digunakan sebagai terapi profilaksis karena tidak memberikan efek bronkhodilator secara cepat dan juga bukan sebagai pereda gejala saat serangan.

a. Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan terapi farmakologi paling efektif untuk mengontrol gejala asma kronis dan mencegah eksaserbasi termasuk pada pasien dengan gejala minimal. Penggunaan obat ini diberikan secara inhalasi, dikarenakan penggunaan secara oral berhubungan dengan efek samping sistemik. Kortikosteroid inhalasi memiliki efek antiinflamasi pada mukosa bronkhus penderita asthma. Dengan berkurangnya inflamasi pada saluran nafas, kortikosteroid secara konsisten akan menurunkan hiper-responsitas saluran nafas pada penderita asthma baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Penurunan hiper-responsitas tidak akan maksimal sampai pengobatan diberikan selama bebrapa bulan. Preparat kortikosteroid inhalasi yang tersedia antara lain berupa bclomethasone, triamcinolone, flunisolide, fluticasone, dan budesonide. Diberikan 2 kali sehari. Pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah dapat menurunkan angka kematian oleh karena asthma.

Page 3: Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia

Farmakokinetik

Sebagian besar dari dosis kortikosteroid inhalasi (80%-90%) akan terdeposit pada orofaring dan tertelan, dimana obat yang tertelan akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan melalui liver. Sekitar 10%-20% akan masuk ke saluran pernafasan, kortikosteroid inhalasi sangat lipofilik, dan dengan cepat masuk kedalam sel saluran nafas dan berefek penting dalam menghambat gen pentranskripsi sitokin yang merupakan zat inflamasi asthmatik.

Efek Samping

Kortikosteroid inhlasi dapat menyebabkan efek samping lokal maupun sistemik. Efek samping lokal antara lain dysphonia (hoarseness), glositis, pharingitis,dan kandidiasis orofaringeal terutama pada pasien usia lanjut. Dysphonia berhubungan dengan adanya myopati pada otot laringeal dan bersifat reversibel bil pengobatan diputus. Insidensi infeksi tidak meningkat oleh karena Kortikosteroid inhlasi. Efek sistemik dari Kortikosteroid inhlasi tergantung dari jumlah obat yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik. Atas dasar Kortikosteroid dapat menekan aksis hipotalamus-hipofisi-adrenal, penggunaan Kortikosteroid inhlasi dengan dosis ≤1500μg perhari pada orang dewasa dan ≤400μg pada anak-anak hanya sedikit bahkan tidak memiliki efek pada fungsi hipofisis-adrenal. Tidak ada bukti bahwa Kortikosteroid inhlasi dapat menyebabkan efek metabolik, menggangu metabolisme tulang, mengganggu pertumbuhan, bahkan kortikosteroid inhalasi aman untuk ibu hamil.

b. Cromolyn

Cromolyn bekerja sebagai inhibitor inflamasi dengan cara menghambat pelepasan senyawa mediator dari sel mast dengan mempengaruhi stabilitas membran sel mast. Obat ini diberikan secara inhalasi, dan idealnya dimulai 7 hari sebelum paparan alergen dan 10-20 menit sebelum beraktivitas pada pasien asthma yang dicetuskan oleh akitivas. Cromolyn tidak efektif bila sudah terjadi bronkhospasme. Efek samping dari cromolyn inhaler tidak ada. Nedocromil memiliki efikasi yang sama dengan cromolyn.

c. Leukotriene Inhibitor

Inhibitor leukotrien efektif pada pasien dengan asthma ringan sampai sedang, dan dapat digunakan sebagai terapi tambahan atapun pengganti terapi antiinflamasi. Leukotrien sangat berguna pada asthma yang diinduksi oleh aktivitas, alergen, dan aspirin.

Obat Bronkhodilator

a. β-adrenergik agonis

Page 4: Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia

β-adrenergik agonis berfungsi sebagai bronkhodilator dengan cara menstimulasi reseptor β2 pada otot polos tracheobronkhial melalui aktivasi adenilat-siklase dan meningkatnya cyclic adenosine monophospat (cAMP) intraseluler. Agen β2 agonis konvensional tidak dapat mengontrol asthma seefektif penggunaan kortikosteroid inhalasi, namun penggunaan kombinasi dari keduanya dapat meningkatkan efikasi terapi. Dari sekian banyak agen-agen β2 agonis yang tersedia, albuterol adalah obat yang paling umum dipilih untuk pengobatan bronkhospame akut. Dengan menggunakan inhaler, obat diberikan melalui dua hingga tiga kali inhalasi yang dalam dengan interval 1 hingga 5 menit per inhalasi. Dosis inhalasi ini dapat diulangi setiap 4 hingga 6 jam. Efek samping, walaupun minimal melalui pemberian inhalasi, tetap dapat menyebabkan stimulasi saraf simpatik dan menyebabkan takikardi, disritmia jantung, dan pergeseran kalium intraselular. Beberapa teori mengatakan dengan pemberian agen β2 agonis jangka lama akan menyebabkan toleransi oleh karena menurunnya jumlah reseptor β pada membran sel. Namun pada kenyataanya efek toleransi terhadap agen β2 agonis tidak terbukti.

b. Obat antikolinergik

Obat antikolinergik menyebabkan bronkhodilatasi dengan blokade reseptor muskarinik pada otot polos saluran nafas. Ipratropium merupakan derivat sintetik atropin yang diberikan dalam bentuk inhaler. Indikasi utama penggunaan ipratoprium adalah pengobatan bronkhokonstriksi pada COPD. Pada penanganan asthma, ipratropium kurang efektif bila dibandingkan agen β2 agonis. Bila dibandingkan dengan efek yang segera pada agen β2 agonis, onset pada ipratropium 15-30 menit setelah pemberian, namun durasinya dapat bertahan hingga 4-6 jam. Struktur kuarterner ipratropium menyebabkan pembatasan absorpsi sistemik sehingga efek samping antikolinergik sistemiknya pun tidak ada.

PENGOBATAN STATUS ASTHMATIKUS

Status asthmatiku adalah keadaan bronkhospasme yang persisten setelah pemberian pengobatan awal dan dapat mengancam nyawa. Penanganan emergensi yang efektif untuk mengatasi status asthmatikus adalah pemberian agen β2 agonis inhaler berulang. Pemberian β2 agonis secara sistemik tidak memberikan manfaat. Pada pasien yang berusia kurang dari 45 tahun, β2 agonis inhaler dapat diberikan setiap 15-20 menit dengan dosis 3-4 inhalasi tanpa menyebabkan efek samping hemodinamik. Pemberian kortikosteroid intravena harus diberika sejak awal, karena efeknya baru muncul 12 jam setelah pemberian. Terdapat 2 regimen dosis yang lazim digunakan yakni (1) korisol 2 mg/KgBB IV diikuti dengan 0,5 mg/KgBB/jam, dan (2) metilprednisolon 60-125 mg IV per 6 jam. Pemberian oksigen diharapkan dapat mempertahankan saturasi oksigen arteri tetap di atas 95%.

Pengukuran fungsi paru dapat membantu untuk menentukan derajat serangan asthma dan respon terhadap terapi. Pasien dengan FEV1 atau puncak ekspirasi flow rate menurun hingga 20% dari normal beresiko terjadi hiperkarbia. Hiperkarbia (PaCO2 > 50 mmHg) yang terjadi walaupun telah diberikan terapi antiinflamasi dan bronkhodilator yang agresif menandakan telah terjadi kelelahan repirasi dan mutlak memerlukan intubasi dan bantuan ventilasi mekanis. Setelah intubasi trakeal terpasang, awasi pola ventilasi. Karena terjadi bronkhokonstriksi, dibutuhkan tekanan udara yang tinggi untuk memenuhi

Page 5: Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia

tidal volume. Di ruang operasi, mesin anestesi dapat menyediakan volume udara dengan tekanan yang cukup untuk melawan tekanan resistensi dari jalan nafas. Aliran udara yang tinggi menyebabkan waktu insipirasi menjadi lebih pendek sehingga memberikan cukup waktu untuk menghembuskan nafas dan menurunkan tekanan positif akhir ekspirasi (auto-PEEP). Fase ekspirasi menjadi lebih panjang yang memungkinkan untuk menghembuskan nafas dan mencegah auto-PEEP. Ketika FEV1 atau aliran ekspirasi puncak mencapai nilai 50% dari normal atau lebih, keluhan menjadi minimal bahkan menghilang. Pada keadaan ini frekuensi dan intensitas penggunaan terapi bronkhodilator dapat diturunkan.

Bila pasien resisten terhadap terapi, penyebab yang paling dominan dari obstruksi aliran ekspirasi disebabkan oleh edema dan inflamasi dari saluran nafas dan adana sekret intraluminal. Pasien akan mengalami serangan asthma eksaserbasi yang dapat mengancam nyawa karena asfiksia yang disebabkan oleh sumbatan mukus di jalan nafas. Pada keadaan tertentu dimana status asthmatikus mengancam nyawa walaupun telah diberikan terapi farmakologis yang agresif, dapat dilakukan pemberian general anesthesi untuk membuka saluran nafas. Dapat digunakan halothane, enflurane, dan isoflurane sebagai terapi yang efektif pada keadaan ini.

MANAJEMEN ANESTHESIA

Manajemen anestesi pada pasien dengan asthma membutuhkan pemahaman patofisiologi dari penyakit dan farmakologi obat-obatan yang akan digunakan. Frekuensi untuk terjadinya bronkhospasme dan laringospasme perioperatif lebih sering pada pasien asthma yang memiliki gejala dibanding dengan pasien asthma yang tidak memiliki gejala asthma.

Evaluasi Preoperatif

Evaluasi preoperatif pada pasien asthma membutuhkan pemahaman mengenai derajat penyakit dan keefektifan manajeman pengobatan saat ini. Tujuan dari evaluasi preoperatif adalah untuk meformulasikan pemberian anestesi yang dapat mencegah dan tidak menyebabkan obstruksi saluran nafas. Evaluasi preoperatif dimulai dengan mengobservasi riwayat penyakit yang dapat mencetuskan serangan dan karakteristik dari pasien asthma.

Tabel 1. Karakteristik pasien asthma yang perlu dievaluasi preoperatif

Usia OnsetPencetusRiwayat perawatan di rumah sakitAlergi Batuk Sputum (perubahan warna dan karakteristik)

Page 6: Asthma okupasional merupakan prevalensi terbanyak penyakit okupasi paru di dunia

Riwayat anestesi sebelumnyaPengobatan saat ini

Tidak ditemukannya suara mengi pada pemeriksaan auskultasi ataupun tidak adanya keluhan sesak nafas preoperatif menggambarkan pasien tidak dalam eksaserbasi akut asthma. Pada pemeriksaan darah, kadar eosinofil dapat meniliai secara tidak langsung derajat inflamasi dan hiper-reaktifitas saluran nafas. Pemeriksaan fungsi paru (terutama FEV1) sebelum dan setelah terapi bronkhodilator perlu dilakukan pada pasien asthma yang akan menjalani operasi besar. Fisioterapi, hidrasi sistemik, antibiotik yang tepat, dan terapi bronkhodilator selama preoperatif memberikan hasil yang lebih baik pada pemeriksaan fungsi paru. Membandingkan foto torak preoperatif dengan foto torak sebelumnya untuk mengevaluasi apakah terdapat perubahan. Analisa gas darah sebelum melakukan operasi dapat diindikasikan untuk melihat kecukupan ventilasi dan oksigenasi arterial.

Medikasi Preoperatif

Belum ada penelitian yang menerangkan tentang penggunaan obat maupun kombinasi obat yang digunakan sebelum operasi pada pasien dengan asthma. Belum ada bukti pula penggunaan opioid degan dosis yang digunakan untuk medikasi preoperatif dapat menyebabkan bronkhokonstriksi ataupun menstimulus pengeluaran substansi vasoaktif dari sel mast. Yang perlu diperhatikan justru adalah efek depresi nafas. Penggunaan obat antikolinergik perlu diperhatikan oleh karena obat ini dapat meningkatkan viskositas sekret sehingga menyulitkan untuk membuang sekret.